Anda di halaman 1dari 5

1

PENTINGNYA TAZKIYATUN NAFS

Apa makna tazkiyatun nafs?


1. Tazkiyah = tath-hiir = penyucian atau pembersihan. Karena itu zakat disebut zakat karena
ia kita tunaikan untuk membersihkan/menyucikan harta dan jiwa kita.
Nafs (bentuk jamaknya: anfus dan nufus) = jiwa atau nafsu.
Dengan demikian tazkiyatun nafs = penyucian jiwa atau nafsu kita.
2. Tetapi tazkiyah tidak hanya memiliki makna penyucian. Tazkiyah juga memiliki makna
numuww = tumbuh. Maksudnya, tazkiyatun nafs itu juga berarti menumbuhkan jiwa kita
agar bisa tumbuh sehat dengan memiliki sifat-sifat yang baik/terpuji.
Dengan demikian, tazkiyatun nafs itu pada dasarnya melakukan dua hal:
1. Menyucikan jiwa kita dari sifat-sifat (akhlaq) yang buruk/tercela (takhalliy – pakai kha’),
seperti kufur, nifaq, riya’, hasad, ujub, sombong, pemarah, rakus, suka memperturutkan
hawa nafsu, dsb.
2. Untuk kemudian kita hiasi dengan sifat-sifat (akhlaq) yang baik/terpuji (tahalliy – pakai
ha’), seperti ikhlas, jujur, zuhud, tawakkal, cinta dan kasih sayang, syukur, sabar, ridha,
dsb.

Mengapa tazkiyatun nafs itu penting?


1. Karena tazkiyatun nafs merupakan salah satu diantara tugas Rasulullah saw diutus
kepada umatnya.

            

(Al-Jumu’ah: 2)         

          

(Al-Baqarah: 151)       

Tugas Rasulullah saw:


 Tilawatul aayaat: membacakan ayat-ayat Allah (Al-Qur’an)
 Tazkiyatun nafs: menyucikan jiwa
 Ta’limul kitaab wal hikmah: mengajarkan kitabullah dan hikmah.
Sabda Rasulullah saw: “Innama bu’itstu li utammima makarimal akhlaq.”
2. Karena tazkiyatun nafs merupakan sebab keberuntungan (falah). Dan itu ditegaskan oleh
Allah SWT setelah bersumpah 11 kali secara berturut-turut, yang tidaklah Allah
bersumpah sebanyak ini secara berturut-turut kecuali hanya di satu tempat.
Bersumpah: menegaskan. Contoh: “Demi Allah, saya tidak mencuri.”
2

             

            

             

(QS Asy-Syams: 1-10)


1. Demi matahari dan cahayanya di pagi hari,
2. dan bulan apabila mengiringinya,
3. dan siang apabila menampakkannya,
4. dan malam apabila menutupinya,
5. dan langit serta pembinaannya,
6. dan bumi serta penghamparannya,
7. dan jiwa serta penyempurnaannya (ciptaannya),
8. maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya.
9. Sungguh beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu,
10. dan sungguh merugilah orang yang mengotorinya.

3. Karena tazkiyatun nafs itu seperti membersihkan dan mengisi gelas.


Jika gelas kotor, meskipun diisi dengan air yang bening, airnya akan berubah menjadi
kotor. Dan meskipun diisi dengan minuman yang lezat, tidak akan ada yang mau minum
karena kotor.
Tapi jika gelasnya bersih, diisi dengan air yang bening akan tetap bening. Bahkan bisa diisi
dengan minuman apa saja yang baik-baik: teh, sirup, jus, dsb.
Demikian pula dengan jiwa kita. Jika jiwa kita bersih, siap menampung kebaikan-
kebaikan. Tetapi jika jiwa kita kotor, tidak siap menampung kebaikan-kebaikan
sebagaimana gelas kotor yang tidak siap disi dengan minuman yang baik dan lezat.
3

Nafsu sendiri itu apa? Dan apa perlu kita tahu nafsu kita itu seperti apa?
Penting untuk mengenali dan tahu apa yang akan kita bersihkan. Sebagaimana kalau kita
mau membersihkan rumah kita. Kita harus tahu yang mau kita bersihkan itu tanah, atau
rumput, atau kaca, atau tembok, atau karpet, atau keramik, atau marmer. Setelah kita tahu
apa yang mau kita bersihkan berikut sifat-sifatnya, kita bisa memilih alat pembersih yang
sesuai.
Apa itu nafsu? Pertama-tama, kita harus tahu bahwa Allah telah mengilhamkan kepada
setiap nafsu manusia: fujur (potensi buruk) dan taqwa (potensi baik).

(QS Asy-Syams: 7-8)        

Dua potensi ini ada pada jiwa/nafsu setiap manusia. Tinggal kita masing-masing, mau
menguatkan potensi baiknya ataukah potensi buruknya?
Nah, dari sinilah manusia itu kemudian secara ekstrim bisa dibedakan menjadi dua:
1. Manusia yang bisa mengendalikan nafsunya, sehingga nafsu tunduk kepada dirinya.

(QS An-Naziat: 40-41)               

Hadits: “Laa yu’minu ahadukum hataa yakunu hawaahu taba’an lima ji’tu bihi (Tidaklah
beriman seseorang diantara kalian hingga hawa nafsunya mengikuti apa yang aku bawa.”
2. Manusia yang dikendalikan dan diperbudak oleh nafsunya, sehingga ia tunduk kepada
nafsu.

(QS Al-Furqan: 43)          

“Terangkanlah kepadaku tentang orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai


Tuhannya. Maka Apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya?”

Apakah nafsu manusia itu ada macam-macamnya atau tingkatan-


tingkatannya?
Allah sendiri dalam Al-Qur’an setidak-tidaknya mensifati nafsu dengan tiga sifat, yang
mengindikasikan macam-macam / tingkatan-tingkatan nafsu: An-Nafs Al-Muthmainnah, An-
nafs Al-Lawwamah, dan An-Nafs Al-Ammarah bis Suu’.

Apa itu An-Nafsul Muthmainnah?


An-Nafs Al-Muthmainnah artinya Jiwa yang Tenang.
Nafsu yang tenang dan tentram karena senantiasa mengingat Allah.
Nafsu yang tenang dan tentram karena senantiasa gemar berdekatan dengan Allah.
Nafsu yang tenang dan tentram dalam ketaatan kepada Allah.
Nafsu yang tenang dan tentram baik ketika ditimpa musibah maupun mendapatkan nikmat.
Jika mendapatkan musibah, ia ridha terhadap taqdir Allah. Jika kehilangan sesuatu, ia tidak
putus asa. Dan jika ia mendapatkan nikmat, ia tidak lupa daratan.
4

Nafsu yang tenang dan tentram dalam iman. Tidak tergoyahkan oleh keragu-raguan dan
syubhat.
Nafsu yang rindu untuk bertemu dengan Tuhannya.
Inilah nafsu yang ketika wafat dikatakan kepadanya:

(Al-Fajr: 27-28)          

Lalu apa itu An-Nafsul Lawwamah?


An-Nafs Al-Lawwamah artinya Jiwa yang Suka Mencela.

(QS Al-Qiyamah: 2)     

“Dan aku bersumpah dengan nafs lawwamah (jiwa yang gemar mencela dan menyesali
dirinya sendiri).”
Jika nafs muthmainnah adalah nafsu yang stabil, kokoh, tenang, dan tentram. Maka nafs
lawwamah adalah nafsu yang labil dan goyah, mudah berubah-ubah keadaannya. Kadang
ingat sama Allah, kadang lalai. Kadang suka memaafkan, kadang suka marah-marah. Kadang
sabar, kadang tidak sabar. Kadang taat, kadang bermaksiat.
Dikatakan lawwamah yang secara bahasa artinya ‘suka mencela’, karena nafsu ini ‘suka
mencela diri sendiri’. Ketika melakukan banyak ketaatan, ia tenang. Tetapi ketika melakukan
sedikit ketaatan ia mencela diri sendiri kenapa tidak berbuat lebih banyak. Dan ketika
melakukan keburukan atau kemaksiatan, ia mencela dirinya sendiri karena menyesali
perbuatan buruk atau maksiatnya itu. “Mengapa aku tadi melakukan keburukan ini?”
“Mengapa tadi aku tidak begini atau begitu?”
Barangkali ini adalah nafsu dari kebanyakan kita. Masih labil.

Terakhir, apa itu An-Nafsul Ammarah bis Suu’?


An-Nafs Al-Ammarah bis-Suu’ artinya Nafsu yang Senantiasa Mengajak kepada Keburukan.

(Yusuf: 53)                  

Ini adalah nafsu yang buruk dan tercela, karena ammarah bis suu’, senantiasa mengajak
kepada keburukan. Tetapi memang inilah sifat dasar dari nafsu. Jika nafsu tidak kita bina,
tidak kita didik, tidak kita kendalikan, tidak kita bersihkan, maka ia akan senantiasa
mengajak kepada keburukan.
Tetapi jika kita bina, kita didik, kita kendalikan, dan kita bersihkan, maka nafsu kita akan naik
peringkat: ammarah bis suu’  lawwamah  muthmainnah.
Dan membina nafsu ini memang tidak mudah, perlu mujahadah (usaha ekstra keras). Tetapi
harus. Jika tidak, selamanya kita tidak akan bisa mengendalikan hawa nafsu kita. Dikatakan:
“Nafsu itu seperti bayi yang menetek pada ibunya. Jika pada waktunya disapih ia tidak
disapih, maka ia akan selamanya menetek pada ibunya.”
5

Bagaimana peran syetan dalam mempengaruhi nafsu manusia?


Syetan memang akan selalu menggoda manusia, tanpa kenal menyerah.
Pada orang-orang yang memiliki nafsu muthmainnah, yang lebih dominan menyertainya
adalah para malaikat.
Sedangkan pada orang-orang yang memiliki nafsu ammarah bis suu’, yang lebih dominan
menyertainya adalah para syetan.
Orang-orang tua kita dahulu dengan sedikit guyon mengatakan: “Syetan yang menggoda
orang-orang yang taat, yang nafsunya muthmainnah, itu kurus-kurus. Sedangkan syetan
yang menggoda orang-orang yang suka bermaksiat, yang nafsunya lawwamah, itu gemuk-
gemuk.”

Nah, setelah kita mengetahui seperti apa nafsu kita, lalu bagaimana
melakukan tazkiyatun nafs?
Untuk melakukan tazkiyatun nafs, yang meliputi takhalliy dan tahalliy itu, kita memerlukan berbagai
macam cara/sarana (wasail) – wasailut tazkiyah.
Ibadah-ibadah kita: sholat, shaum, zakat dan infaq, haji, membaca Al-Qur’an, berdzikir, dsb, semua
itu merupakan wasailut tazkiyah – membersihkan jiwa dan menumbuhkan akhlaq yang terpuji.
Sebagai gambaran singkat bagaimana ibadah-ibadah kita bisa membersihkan jiwa kita, mendidik jiwa
kita, dan menumbuhkan akhlaq yang terpuji.
Sholat – Innash sholata tanha ‘anil fahsya’ wal munkar.
Shaum – menahan nafsu kita.
Zakat dan infaq – membersihkan harta kita, membersihkan jiwa kita dari sifat kikir dan
menunbuhkan sifat dermawan.
Haji – falaa rafatsa walaa jidaala fil hajj.
Demikian juga dengan sarana-sarana yang lain seperti membaca Al-Qur’an, berdzikir, dsb, semuanya
akan membersihkan jiwa dan menumbuhkan akhlaq yang terpuji.

Anda mungkin juga menyukai