Dalam pandangan Jawa, makan dan tidur adalah kenikmatan hidup. Oleh
sebab itu, sebagai kenikmatan dapat mengakibatkan seseorang lupa pada
tujuan hidup, lupa pada perjuangan hidup, dan kewajiban suci yang lain.
Oleh sebab itu, agar seseorang selalu dalam kontrol diri dan tidak tergoda
pada nafsu-nafsu buruk, perlu sekali untuk laku prihatin, yakni
mengurangi dan menjauhi kenikmatan hidup untuk dapat hidup samadya
(sewajarnya), atau (secukupnya), termasuk dalam makan dan tidur.
Pada umumnya Seseorang yang makan terlalu kenyang akan
mengakibatkan kemalasan bekerja. Akhirnya, dirinya lebih banyak tidur.
Jadi, antara makan dan tidur tidak dapat dipisahkan. Orang yang kurang
makan atau makan secukupnya pastilah tidak mudah tidur. Sementara itu,
tidur mengakibatkan hati seseorang menjadi diam, pikiran berhenti
sehingga tidak berkembang yang berakibat tidak dapat berpikir secara
jernih. Kebiasaan perut terlalu kenyang dan banyak tidur menyebabkan
pikiran keruh sehingga seseorang tidak mampu berpikir jernih yang
menjauhkan diri dari watak lembah manah (rendah hati), ati wening (hati
jernih), dan perwira (perwira).
Ajaran atau nasihat yang dirangkai dalam lagon tamba ati sebagai berikut.
Tamba Ati
Tamba ati iku ana limang prekara
Kang pisan ngaji Ouran sak maknane
Kaping pindho salat wengi lakonana
Ping telune dikir sira ingkang suwe
Kaping pate weteng ira ingkang luwe
Kaping lima wong kang soleh kumpulana
Kedua, sikap yang sebaiknya adalah mangan kanggo urip (makan untuk
hidup). Artinya, seseorang makan untuk menyambung hidup. Kita tahu
orang akan meninggal jika tidak makan. Akan tetapi, tidak harus makan
berlebih-lebihan. Makan secukupnya sekadar memenuhi kebutuhan tubuh
untuk tetap sehat. Sikap ini mendorong seseorang makan secukupnya dan
tidak bersifat abdul butun (hamba perut). Orang yang mampu
mengendalikan diri dalam makan sehingga makan secukupnya akan
mendatangkan kebaikan, setidaknya dia mampu berpikir jernih dan tidak
grusa-grusu (tergesa-gesa) karena memiliki ati wening (hati jernih). Oleh
sebab itu, jika hatinya wening, ia akan berwatak perwira sehingga
perilakunya lembah manah (rendah hati) yang tidak akan terjerumus pada
nafsu-nafsu duniawiah. Kata guling (tidur) itu sama dengan nendra (tidur
— kata bahasa Jawa krama inggil). Perlunya cegah dhahar lan guling
(mengurangi makan dan tidur) tersebut dinyatakan olch Pakubuwana IV
sebapai berikut.
Serat Wulangreh
Para orang tua dulu juga menyatakan mangan siladan yen ana ngomah,
yen ana pasamuan sing perwira (makan siladan tidak mengapa sewaktu di
rumah, dalam pertemuan bersikaplah perwira). Makan siladan (sayatan
bambu) maksudnya makan sederhana dan seadanya dan serba
kekurangan), tetapi jika di tempat umum tidak boleh bernafsu untuk
mendapatkan makan. Mangan secukupnya, baik dalam segi jumlah dan
mutu, mendorong seseorang berpikir jernih yang berpengaruh pada
kualitas moral. Seorang yang mementingkan makan dapat tergelincir pada
tindakan negatif dalam mencari kebutuhan makan, seperti mencuri,
menipu, dan sebagainya. Sementara itu, bagi seorang yang mangan
secukupnya justru dapat berpikir untuk makan makanan yang bersih atau
halal. Ia akan mencari rezeki yang bersih, dengan cara bersih sehingga
dirinya merupakan orang yang berkepribadian Mulia.