Di samping itu, ungkapan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) memiliki
nuansa persuasif agar seseorang selalu berhati-hati sebelum berbuat. Ia
perlu memikirkan apakah tindakan yang akan dilakukannya itu
berpengaruh baik atau buruk, baik terhadap dirinya maupun orang lain.
Bahkan, seseorang perlu berpikir cermat sebelum bertindak apakah
rencana yang akan dilakukan itu menyalahi aturan Tuhan (ajaran agama)
sehingga sudah terpikir apakah tindakan itu termasuk halal atau haram,
baik atau buruk, haq atau bathil.
Ungkapan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur) harus menjadi dorongan
berbuat dengan landasan keyakinan bahwa sejauh mungkin kita
menghindari tindakan buruk (karena Tuhan Maha Melihat) dan seseorang
semakin bersemangat untuk berbuat baik, karena didorong oleh keyakinan
bahwa Tuhan Maha Melihat kebaikan sebagai kebaikan walau kadang-
kadang mendapat nilai buruk dari orang lain. Ungkapan ini seirama dengan
wewarah Jawa yang lain, seperti ngundhuh wohing pakarti (memetik buah
perbuatan), nandur kabecikan (menanam kebaikan), dan sebagainya.
Seseorang harus yakin bahwa ia akan memetik atau mendapatkan nasib
dan kejadian sesuai dengan perbuatannya. Jika nandur kebecikan
(menanam atau berbuat baik), dirinya pasti akan ngundhuh kabecikan
(memetik kebaikan), sedangkan jika nandur elek (menanam atau berbuat
jelek), pasti akan ngundhuh (memetik) keburukan, baik yang me-ngunduh
(memetik) itu diri kita sendiri, anak kita, cucu kita, atau masyarakat kita.
Oleh sebab itu, nasihat yang menyatakan Gusti ora sare (Tuhan tidak tidur)
sangat cocok untuk memberikan rambu-rambu sebelum seseorang
memutuskan tindakan A atau B, atau C. Apapun yang diputuskan, ia akan
mendapat balasan sesuai yang dilakukan."