Anda di halaman 1dari 16

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. Vitamin D

2.1. Definisi Vitamin D

Vitamin D diklasifikasikan sebagai nutrien, saat minyak hati ikan cod (yang
merupakan sumber vitamin D) ditemukan memiliki efek antirakhitis pada bayi.
Namun, sejak ditemukan reseptor vitamin D, istilah “vitamin” sudah tidak cocok lagi
dan vitamin D dianggap sebagai molekul yang berperan dalam kompleks sistem
endokrin. Berdasarkan struktur dan kerjanya, vitamin D mirip hormon steroid karena
dapat disintesis oleh tubuh, memiliki reseptor spesifik bekerja untuk organ dan
jaringan yang berbeda dari organ yang memproduksinya, serta memiliki respons
biologis spesifik setelah berinteraksi dengan reseptornya.7

Vitamin D terbentuk dari prohormon vitamin D3 dan D2 . Vitamin D2


(ergokalsiferol) didapatkan melalui radiasi UV dari ergosterol yang merupakan
komponen steroid yang dapat ditemukan pada tumbuhan, utamanya pada fungi,
sedangkan D3 (kolekalsiferol) dapat ditemukan di kulit setelah 7-dehidrokolesterol
terpapar oleh sinar ultraviolet. Pada individu sehat, sintesis vitamin D dipengaruhi
oleh paparan matahari yang adekuat, musim, serta kadar melanin pada kulit. Selain
itu, vitamin D juga dapat diperoleh dari makanan (alami atau yang difortifikasi) serta
suplemen.8 Manfaat klasik dari vitamin D umumnya meliputi regulasi mineral dan
metabolisme tulang dengan cara meningkatkan absorpsi kalsium pada tulang,
meningkatkan reabsorbsi kalsium dan fosfat pada usus, menjaga kadar fosfat dan
kalsium, serta meregulasi aktivitas osteoklas serta osteoblas pada tulang. Namun
studi-studi baru menemukan adanya peran vitamin D terhadap imunitas tubuh yang
diidentifikasikan oleh suatu reseptor vitamin D dan enzim yang ditemukan pada
banyak organ ekstra-tulang, salah satunya yaitu pada sel-sel sistem imun.3,4,9

1
2.2. Sintesis dan Metabolisme Vitamin D

Gambar 1. Metabolisme Vitamin


(Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016: Hal. 711)

Vitamin D secara biologis tidak aktif ketika pertama kali memasuki darah baik
dari kulit atau saluran pencernaan. Itu harus diaktifkan oleh dua perubahan biokimia
berurutan yang melibatkan penambahan dua hidroksil (—OH). Reaksi pertama
terjadi di hati, dan yang kedua terjadi di ginjal. Hasil akhirnya adalah produksi
bentuk aktif vitamin D, 1,25-(OH)2-vitamin D3, juga dikenal sebagai kalsitriol. PTH
(Parathyroid Hormone) merangsang enzim ginjal yang terlibat dalam langkah kedua
aktivasi vitamin D sebagai respons terhadap penurunan plasma Ca2+. Pada tingkat
yang lebih rendah, penurunan plasma PO43- juga meningkatkan proses aktivasi.
Vitamin D dalam berbagai bentuknya bersirkulasi dalam darah terutama terikat pada
protein pengikat vitamin D.10

Sintesis vitamin D3 (kolekalsiferol, D3) terjadi pada kulit dimana pro-vitamin D3


(7-dehidrokolesterol) diubah menjadi pre-vitamin D3 sebagai respons terhadap
paparan sinar matahari (radiasi ultraviolet B). Vitamin D3, diperoleh dari isomerisasi
pra-vitamin D3 di lapisan basal epidermal, atau penyerapan usus dari makanan alami
yang diperkaya serta suplemen vitamin D2 (ergokalsiferol) dan D3, diikat oleh
2
vitamin D binding protein (DBP) yang kemudian diangkut ke hati. Di hati, vitamin D
mengalami hidroksilasi oleh enzim 25-hidroksilase menjadi 25-hidroksivitamin D
(25(OH)D). 25(OH)D adalah bentuk utama vitamin D di sirkulasi biologis tidak aktif,
dan merupakan indikator status vitamin D. Setelah itu, vitamin D akan mengalami
hidroksilasi lagi di dalam ginjal oleh 1α-hidroksilase menjadi bentuk aktif 1,25-
dihidroksivitamin D (1,25(OH)2 D2 / D3 atau kalsitriol). Molekul 1,25(OH)2 D3 dapat
menempel dengan reseptor vitamin D (vitamin D receptor/VDR) yang berfungsi
sebagai faktor transkripsi di dalam nukleus sel kemudian membentuk kompleks
dengan reseptor retinoid-x (retinoid X receptor/RXR). Kompleks ini akan berikatan
dengan area spesifik pada DNA sel yang bersebelahan dengan gen target dan
membentuk protein.10,11

Mekanisme ini menunjukan bahwa 1,25D dapat memicu aktivitas gen di


berbagai sel dan merupakan dasar dari efek fisiologis yang dihasilkan oleh vitamin D.
Serum fosfat, kalsium, fibroblast growth factor (FGF-23), dan faktor lain dapat
meningkatkan atau menurunkan produksi kalsitriol. Kalsitriol juga dapat mengatur
sintesisnya sendiri dan menurunkan sintesis serta sekresi hormon paratiroid (PTH).
Kalsitriol juga dapat meningkatkan ekspresi 24-Ohase, enzim yang berperan pada
katabolisme kalsitriol menjadi asam kalsitroik yang larut air untuk kemudian
diekskresi ke dalam empedu.8,10

2.3. Fungsi Vitamin D

3
Gambar 2. Vitamin D aktif meningkatkan penyerapan Ca2+ dan PO43-
(Sherwood L. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Ed 8. Jakarta: EGC; 2016: Hal. 710)

Efek paling dramatis dari vitamin D yang diaktifkan adalah meningkatkan


penyerapan Ca2+ pada usus. Tidak seperti kebanyakan penyusun makanan, Ca2+
makanan tidak diserap sembarangan oleh sistem pencernaan. Sebagian besar Ca2+
yang tertelan biasanya tidak diserap tetapi hilang bersama feses. Ketika dibutuhkan,
lebih banyak Ca2+ dari makanan diserap ke dalam plasma di bawah pengaruh vitamin
D. Terlepas dari efeknya pada penyerapan Ca2+, bentuk aktif vitamin D
meningkatkan penyerapan PO43- pada usus. Selanjutnya, vitamin D meningkatkan
daya tanggap tulang terhadap hormon paratiroid.10

Vitamin D dan hormon paratiroid saling bergantung erat. Seperti hormon


steroid, vitamin D memberikan efeknya dengan mengikat dengan reseptor vitamin D
(VDR), dengan transkripsi gen pengatur kompleks ini dalam sel target dengan
mengikat elemen respons vitamin D dalam DNA. hormon paratiroid terutama
bertanggung jawab untuk mengontrol homeostasis Ca2+ karena aksi vitamin D terlalu
lamban untuk berkontribusi secara substansial pada pengaturan konsentrasi Ca2+
plasma dari menit ke menit. Namun, baik hormon paratiroid maupun vitamin D
sangat penting untuk keseimbangan Ca2+, memastikan bahwa, dalam jangka panjang,

4
asupan Ca2+ dari makanan ke dalam tubuh setara dengan keluaran Ca2+ dalam urin.
Ketika asupan Ca2+ diet berkurang, penurunan kadar Ca2+ plasma sementara yang
dihasilkan merangsang sekresi hormon paratiroid.10

Peningkatan hormon paratiroid memiliki dua efek penting untuk


mempertahankan keseimbangan Ca2+: (1) Merangsang reabsorpsi Ca2+ oleh ginjal,
sehingga menurunkan pengeluaran Ca2+; dan (2) mengaktifkan vitamin D, yang
meningkatkan efisiensi penyerapan Ca2+ yang tertelan. Karena hormon paratiroid
juga mendorong resorpsi tulang, kehilangan mineral tulang yang substansial terjadi
jika asupan Ca2+ dikurangi untuk waktu yang lama, meskipun tulang tidak secara
langsung terlibat dalam menjaga keseimbangan input dan output Ca2+. Serangkaian
penelitian dalam beberapa dekade terakhir menunjukkan bahwa fungsi vitamin D
lebih luas jangkauannya daripada efeknya pada penyerapan Ca2+ dan PO43- yang
tertelan. Efek luas vitamin D dihasilkan dari aktivasi reseptor vitamin D yang telah
ditemukan di banyak organ di seluruh tubuh. Vitamin D, pada konsentrasi darah yang
lebih tinggi daripada yang cukup untuk melindungi tulang, memperkuat kekuatan otot
dan membantu mencegah jatuh dengan meningkatkan kekuatan kaki. Itu juga menjadi
kekuatan penting dalam metabolisme energi dan kesehatan kekebalan tubuh.10

Vitamin D mengurangi peradangan dan harus hadir untuk aktivasi sel T, sel
darah putih yang bertanggung jawab untuk kekebalan yang diperantarai sel yang
menargetkan sel yang diserang virus dan sel kanker. Ini juga mempromosikan
produksi antioksidan yang memerangi radikal bebas, molekul alami yang sangat
reaktif, tidak stabil, dan merusak sel. Studi lebih lanjut menunjukkan bahwa vitamin
D membantu menggagalkan perkembangan diabetes mellitus, melawan penyakit
autoimun seperti multiple sclerosis, dan menurunkan risiko tekanan darah tinggi,
serangan jantung, dan stroke. Vitamin D dapat membantu membersihkan beta amiloid
dari plak otak yang terkait dengan penyakit Alzheimer.10

2.4. Peran Vitamin D

5
1. Peran terhadap kanker

Studi ekologi vitamin D dan kanker menunjukkan adanya hubungan terbalik


antara iradiasi UVB terhadap 15 tipe kanker: kandung kencing, payudara, mulut
rahim, usus besar, endometrium, esofagus, lambung, paru, ovarium, pankreas, rektum,
ginjal, vulva, limfoma Hodgkin dan non-Hodgkin.3 Manson, dkk. Menyatakan bahwa
studi asosiasi berkenaan penyebab antara status vitamin D dan risiko kanker yang
menurun memiliki keterbatasan karena adanya faktor perancu misalnya obesitas dan
kurangnya aktivitas.12

Efek anti-karsinogenik 1,25(OH)2D juga diduga terjadi melalui mekanisme


pro-apoptosis seperti menurunkan regulasi gen anti-apoptosis Bcl-2 (Bcl-2 adalah
protein anti apoptosis yang melindungi sel dari apoptosis dengan meregulasi fungsi
dari membrane mitokondria) dan meningkatkan regulasi ekspresi onkogen c-myc
(Protein c-myc (proto-onkogen) adalah protein yang disandi oleh gen c-myc, yang
berfungsi sebagai protein inti sel untuk transkripsi dan replikasi sel dalam siklus sel,
sehingga dikelompokkan dalam gen-gen pemicu terjadinya tumor), menekan invasi
tumor dan metastasis, serta meregulasi signaling reseptor androgen dan estrogen serta
menurunkan enzim aromatase (enzim ini bertindak sebagai katalis pengkonversi
androgen menjadi estrogen).12

2. Peran Terhadap Kardiovaskular

Studi asosiasi vitamin D dengan risiko penyakit kardiovaskular banyak


dilakukan, namun hubungan kausalitas belum terbukti. Reseptor vitamin D ada di
dalam endotelium, otot polos pembuluh darah, dan sel otot jantung, sehingga
berpotensi sebagai pelindung terhadap arterosklerosis melalui hambatan ambilan
kolesterol oleh makrofag (pembentukan sel busa), menurunkan proliferasi sel otot
polos vaskular, menurunkan ekspresi molekul adhesi pada sel endotel dan hambatan
pelepasan sitokin dari limfosit. Efek antidiabetik vitamin D disebabkan karena sel beta
pankreas mengekspresikan VDR. Adanya kalsitriol akan menstimulasi sekresi insulin.
Perbaikan status vitamin D juga menyebabkan perbaikan sensitivitas insulin, seperti
upregulasi reseptor insulin dan memodulasi inflamasi yang berperan dalam DM tipe

6
2.7,12

3. Peran Terhadap Imun

3.1. Vitamin D Terhadap Sistem Imun

Vitamin D memiliki peran fisiologis penting dalam sistem imun bawaan.


Studi menyatakan bahwa penemuan ini diawali pada eksperimen oleh Rook et al.
Yang meneliti aktivitas mikroba monosit dan makrofag yang diinduksi oleh
1,25(OH)2D terhadap media agar M. Tuberculosis. Eksperimen tersebut memberikan
hasil pengurangan proliferasi intraseluler bakteri. Hasil tersebut meningkat dengan
interferon-γ yang menstimulasi aktivasi enzim 1-α-hidroksilase (CYP27B1) yang
diekspresikan pada monosit atau makrofag beserta sel dendritik.13,14

Peran vitamin D dalam peristiwa ini yaitu membantu mentranskripsi


peptida bakterisidal sehingga membantu peningkatan kemotaksis, autofagi, dan fusi
fagolisosom sel imun. Peran kedua dari vitamin D yaitu peningkatan ekspresi 1-α-
hidroksilase pada makrofag dan monosit ketika mendapatkan stimulus imun
menyebabkan semakin banyak produksi 1,25-(OH)2D3. Keberadaan 1,25- (OH)2D3
mampu menghasilkan aktivitas anti inflamasi melalui peningkatan IL-10 pada
makrofag dan penurunan stimulus inflamasi. Bentuk 25-(OH)D3 juga mampu
memberikan peran imunoregulator dan meningkatkan toleransi yang dikarakteristikkan
oleh produksi IL-102.13,14

3.2. Vitamin D Terhadap Sistem Imun Bawaan

Terdapat ekspresi VDR pada sel imun adaptif seperti sel T dan sel B, 1,25-
(OH)2D memberikan dampak-nya dengan menargetkan Sel T helper melalui supresi
proliferasi sel T helper dan modulasi produksi sitokin oleh sel T helper. 1,25-(OH)2D
mampu menginduksi aktivitas sel T regulator yang mampu menekan respon imun oleh
sel T lain sebagai mekanisme pencegahan respon autoimun. Sel T regulator dapat
diinduksi oleh vitamin D melalui dua jalur, yaitu jalur tidak langsung melalui APC (sel
penyangga antigen/Antigen Presenting Cell) dan jalur langsung melalui konversi
intrakrin 25(OH)D sistemik menjadi 1,25-(OH)2D oleh sel T regulator. Peristiwa ini

7
dibuktikan dalam sebuah studi yang menyatakan bahwa administrasi 1,25-(OH) 2D
pada pasien dengan penyakit ginjal berdampak kepada peningkatan populasi sel T
regulator dalam sirkulasi.14

Pada sel B, 1,25-(OH)2D berperan dalam homeostasis sel B dengan meng-


inhibisi pembentukan sel plasma dan sel B memori dan meningkatkan apoptosis pada
sel B yang memproduksi imunoglobulin. Peran ini sangat penting dalam patogenesis
penyakit-penyakit imun, karena dalam penyakit imun seringkali terjadi sel B yang
memproduksi antibodi autoreaktif. 1,25 D juga mampu memberikan efek
antiproliferatif seperti inhibisi dari diferensiasi dan proliferasi, inisiasi dari apoptosis
dan penurunan produksi imunoglobulin yang diperantarai sel T-helper (Th) secara
tidak langsung.14

4. Peran Terhadap Infeksi

Monosit dan makrofag dapat mengenali pathogen-associated molecular


paterns (PAMPs) dari agen infeksi seperti tuberkulosis melalui toll-like receptor
(TLRs). Hal ini akan menginduksi VDR dan CYP27B1 (untuk membuat enzim 1-α-
hidroksilase), yang kemudian akan meningkatkan produksi lokal 1,25(OH)2D
(tergantung konsentrasi serum 25(OH)D). 1,25(OH)2 D kemudian akan meningkatkan
sistem imun non-spesifik (innate immune system) melalui produksi katelisidin (peptida
anti mikroba yang berperan pada proses imunitas terhadap TB), suatu peptida
antimikroba, reactive oxygen species (ROS), reactive nitrogen species, dan melalui
induksi autofagi. Melalui mekanisme ini, vitamin D berperan dalam penyakit infeksi.8

5. Peran Terhadap Ibu Hamil


5.1. Ibu Hamil dengan Preeklampsia
Baca KM, dkk (2018) dan Purswani JM, dkk (2017) menyebutkan dalam
hasil telaah sistematik yang telah dilakukan bahwa vitamin D berperan dalam
modulasi respon proinflamasi, sebagai imunomodulator, menurunkan stres oksidatif
pada pre-eklampsia, mempromosikan angiogenesis melalui vascular endothelial
growth factor (VEGF) dan modulasi gen, dan menurunkan tekanan darah melalui
penekanan transkripsi gen renin oleh jalur dependen VDR atau menurunkan
8
autoantibodi terhadap reseptor angiotensin tipe II dimana diketahui bahwa vitamin D
dapat menampilkan efek non-genomik (setiap tindakan yang tidak mempengaruhi
ekspresi gen pada awal mulanya atau secara langsung) melalui VDR yang berlokasi di
dalam membran plasma. Jalur cepat ini bekerja melalui enzim spesifik sebagai protein
kinase C (terlibat dalam pengendalian fungsi protein, membentuk kunci enzim yang di
jalur pensinyalan yang secara khusus memfosforilasi substrat pada residu
serin/treonin) dan mitogen-activated protein kinase (terlibat dalam jalur transduksi
sinyal yang memodulasi respons sel fisiologis dan patofisiologis). Mereka meregulasi
proliferasi sel dan diferensiasi sel, proses invasif, dan apoptosis.15,16,17

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Lechtermann ditemukan


bahwa pasien dengan preeklampsia tampak memiliki kadar vitamin D serum dan
regulasi pada CYP24A1 (membuat enzim yang disebut 24-hidroksilase) plasenta yang
rendah namun tidak pada ekspresi VDR atau CYP27B1 (untuk membuat enzim yang
disebut 1-alfa-hidroksilase) yang mungkin terganggu pada wanita hamil dengan
preeklampsia. Vitamin D dan VDR memiliki peran kritikal pada kehamilan dan
penurunan keduanya dapat menyebabkan penurunan trofoblas, tidak adekuatnya
remodeling arteriol uterin, penurunan proliferasi sitotrofoblas, peningkatan apoptosis
sitotrofoblas, dan seluruhnya berkaitan dengan insufisiensi plasenta yang menjadi
dasar terjadinya preeklampsia.18,19 Sebaliknya, pada penelitian yang dilakukan oleh
Xiao dkk menemukan VDR diekspresikan sangat tinggi pada jaringan plasenta dan
vena umbilikus pasien dengan preeklampsia berat onset dini yang dipercaya sebagai
mekanisme kompensasi untuk memenuhi kebutuhan vitamin D fetus dan
mempertahankan kesehatan pertumbuhan intrauterin. Lebih jauh, plasenta dari wanita
yang mengalami preeklampsia mengalami penurunan aktivitas enzim CYP27B1 jika
dibandingkan dengan kehamilan normal. Didapati bahwa ekspresi VDR plasenta yang
rendah pada ibu hamil meningkatkan risiko terjadinya preeklamsia dengan gambaran
berat sebesar 7,88 kali lebih besar dibandingkan ekspresi VDR tinggi.20

Menurut Retnosari, dkk (2015) berdasarkan penelitian yang dilakukan


terhadap ibu hamil yang di diagnosis preeklamsi dan di diagnosis hamil normal yang
melakukan pemeriksaan di RSUD H.M. Rabain dan empat puskesmas di wilayah
9
kabupaten Muara Enim. Total sampel 76 orang yang terdiri dari 38 orang kelompok
kasus dan 38 orang kelompok kontrol. Didapati Kadar vitamin D berkaitan dengan
awitan lanjut (terjadinya gejala klinis preeklamsi setelah kehamilan 34 minggu) pada
kejadian preeklamsi yang merupakan bagian dari faktor maternal. Konsep dari
maternal fetal (paternal) maladaptasi imunologik menjadi implikasi umum sebagai
penyebab preeklamsi. Implantasi fetoplasenta ke permukaan miometrium
membutuhkan beberapa elemen yaitu toleransi immunologik antara fetoplasenta dan
maternal, pertumbuhan trofoblas yang akan melakukan invasi kedalam lumen arteri
spiralis dan pembentukan sistem pertahanan imun. 21 Komponen fetoplasenta yang
melakukan invasi ke miometrium melalui arteri spiralis secara imunologik akan
menimbulkan dampak adaptasi dan mal adaptasi yang sangat penting dalam proses
kehamilan. Dampak adaptasi menyebabkan tidak terjadi penolakan hasil konsepsi
(pertemuan antara ovum matang dan sperma sehat yang memungkinkan terjadinya
kehamilan) yang bersifat asing, hal ini disebabkan karena adanya HLA-G berperan
penting dalam modulasi sistem imun. Adanya HLA-G pada plasenta dapat melindungi
trofoblas janin dari lisis oleh sel natural Killer (NK) ibu dan mempermudah invasi sel
trofoblas ke jaringan desidua ibu. Sebaliknya pada plasenta hipertensi dalam
kehamilan terjadi penurunan HLA-G yang kemungkinan akan menyebabkan
terjadinya maladaptasi.22

Maladaptasi diikuti dengan peningkatan rasio sel T yaitu Thelper 1 /


Thelper 2 menyebabkan peningkatan produksi sitokin proinflamasi. Pada sel Thelper 1
menyebabkan peningkatan TNFα dan peningkatan INFy sedangkan pada Thelper 2
menyebabkan peningkatan IL-6 dan penurunan TGFB1. Peningkatan inflamasi sitokin
menyebabkan hipoksia plasenta sehingga hal ini akan membebaskan zat-zat toksis
beredar dalam sirkulasi darah ibu yang akan menyebabkan terjadinya stress oksidatif.
Stress oksidatif bersamaan dengan zat toksis yang beredar dapat merangsang
terjadinya kerusakan pada sel pembuluh darah yang disebut disfungsi endotel.
Mekanisme kerusakan sel endotel dihubungkan dengan berbagai faktor. Salah satu
faktornya adalah status kadar vitamin D pada ibu hamil. Vitamin D dibawa dari ibu ke
janin melalui bentuk aktif 1,25 (OH)2D. Bentuk aktif 1,25 (OH)2D ini terjadi setelah
mengalami hidrolisis di dalam ginjal. Kerusakan sel pembuluh darah pada plasenta
10
dan ginjal menyebabkan kegagalan sintesis dari 1,25 (OH)2D sehingga menghasilkan
efek biologi berupa regulasi tekanan darah. Regulasi tekanan darah berhubungan
dengan sistem renin angiotensin. Renin bekerja secara enzimatik pada protein plasma
yang menyebabkan pembentukan angiotensin I dan angiotensin II yang memberikan
pengaruh vasokonstriksi yang sangat kuat sehingga menyebabkan terjadinya
peningkatan tekanan darah.22 Terdapatnya ikatan erat antara ekspresi VDR pada
plasenta yang rendah terhadap kejadian preeklampsia yang juga mendukung
keterkaitan antara kecukupan vitamin D pada masa kehamilan terhadap preeklampsia.

5.2. Ibu Hamil dengan Diabetes Melitus Gestasional (GDM)


Telaah sistematik yang dilakukan oleh Zhang Y, dkk (2018) mendapatkan
hasil bahwa meta-analisis saat ini termasuk 38 penelitian menunjukkan bahwa ibu
hamil dengan kadar vitamin D darah rendah memiliki risiko GDM 85,0% lebih tinggi
daripada ibu hamil dengan kadar vitamin D biasa. Pertama, kadar vitamin D darah
rendah dapat meningkatkan risiko GDM. Sementara itu, konsentrasi vitamin D darah
pada ibu hamil dengan GDM lebih rendah dibandingkan ibu hamil tanpa GDM.
Kedua, konsentrasi vitamin D darah pada ibu hamil berkorelasi terbalik dengan level
FPG dan HOMA-IR, dan berkorelasi terbalik dengan level FINS setelah menyesuaikan
bias publikasi. Ketiga, suplementasi vitamin D selama kehamilan secara efektif dapat
mengubah konsentrasi darah 25OHD, FINS, FPG, GSH, CRP, TC, LDL, HDL dan
HOMA-IR, tetapi hasilnya pada tingkat GSH, CRP, TC, LDL dan HDL jauh dari kuat
dan rentan terhadap bias publikasi. Hasil tinjauan sistematis ini mendukung
mekanisme yang disebutkan di atas untuk efek vitamin D pada GDM sampai batas
tertentu. Secara khusus, perubahan tingkat FPG, tingkat FINS dan HOMA-IR setelah
melengkapi vitamin D, dan korelasi terbalik antara konsentrasi vitamin D darah dan
indeks ini menunjukkan bahwa tingkat vitamin D darah mungkin dihasilkan dari
perubahan fungsi dan perkembangan pulau pankreas. Selain itu, efek suplementasi
vitamin D pada konsentrasi lipid darah dapat dihasilkan dari perbaikan metabolisme
hati, karena hati merupakan organ utama untuk lipogenesis. Glukosa akan diubah
menjadi lemak ketika asupan melebihi kapasitas penyimpanan dan oksidasi, sedangkan
lipid hati yang banyak dapat menyebabkan peradangan dan resistensi insulin hati.
Selain itu, CRP adalah protein fase akut yang berasal dari hati yang mencerminkan
11
peradangan. Eksperimen in vitro menunjukkan bahwa vitamin D dapat secara
langsung meningkatkan perkembangan sel T helper 2 dari sel T CD4+ naif. Sel T
helper 2 mengeluarkan interleukin-6, sitokin proinflamasi utama, diikuti dengan
peningkatan CRP. Pada model hewan, interleukin-6 dapat menginduksi
glukoneogenesis, diikuti hiperglikemia dan hiperinsulinemia.23

5.3 Ibu Hamil dengan Bakterial Vaginosis


Vitamin D terbukti meningkatkan regulasi gen yang mengkode protein
sambungan sel epitel dan merangsang proliferasi epitel vagina. Dua studi menemukan
bahwa wanita pasca menopause yang menerima pengobatan vitamin D mengalami
peningkatan jumlah sel epitel vagina superfisial dibandingkan dengan wanita yang
tidak menerima pengobatan, dan peningkatan ini disertai dengan penurunan pH
vagina. Vitamin D dapat meningkatkan pertumbuhan, diferensiasi, dan fungsi sel
epitel vagina, yang dapat meningkatkan ketebalan epitel vagina untuk mencegah atrofi
dan meningkatkan fungsi penghalang. Vitamin D yang cukup selama kehamilan dapat
mempengaruhi lingkungan vagina sehingga lebih mendukung flora yang
menguntungkan. Sudah diketahui bahwa insulin merangsang sintesis glikogen, dan
baru-baru ini telah ditemukan bahwa vitamin D menginduksi sintesis insulin. Vitamin
D juga terbukti meningkatkan fosforilasi dan inaktivasi glikogen sintase kinase,
penghambat sintesis glikogen, di jaringan adiposa. Oleh karena itu ada juga
kemungkinan bahwa kecukupan vitamin D mengubah homeostasis glukosa dalam
vagina untuk mendorong peningkatan deposisi glikogen. Peningkatan kadar glikogen
bebas vagina secara positif berkorelasi dengan kelimpahan relatif Lactobacillus, jadi
jika vitamin D benar-benar meningkatkan produksi glikogen vagina, peningkatan
laktobasilus yang menyertainya dan penurunan pH dapat mengakibatkan penurunan
kelimpahan organisme patogen dan terkait dengan BV.24

Vitamin D mempengaruhi kelimpahan bakteri terkait BV melalui efeknya


pada fungsi kekebalan tubuh. Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa pengobatan
vitamin D menginduksi ekspresi peptida antimikroba LL-37 dalam keratinosit,
neutrofil, monosit, dan kandung kemih dan sel epitel gingiva serta β2 defensin dalam
keratinosit, neutrofil, dan monosit, serta mempotensiasi sekresi. IL-8 dan CXCL10
12
dari sel epitel saluran napas. Efek ini dapat meningkatkan perekrutan leukosit ke epitel
vagina dan memodulasi respons antimikroba leukosit saat tiba di jaringan. Bakteri
vagina tertentu berhubungan dengan konsentrasi plasma 25(OH)D.24

5.4 Ibu Hamil dengan Keguguran Berulang dan Peradangan Plasenta


Penelitian yang dilakukan oleh Zhang Q, dkk (2018) pada 2648 wanita
yang melahirkan dengan plasenta (kelompok PIP (Placental Inflammation Positive) (n
= 922) dan PIN (Placental Inflammation Negative) = 1726) mendapat hasil yaitu kadar
vitamin D ibu secara statistik signifikan lebih rendah pada kelompok PIP
dibandingkan kelompok PIN, menunjukkan bahwa kejadian peradangan plasenta
cenderung menurun dengan meningkatnya kadar vitamin D.25

Penelitian yang dilakukan oleh Zhao, dkk (2021) menunjukkan dampak


kekebalan vitamin D pada wanita dengan keguguran berulang. Vitamin D menekan
sitokin yang diproduksi oleh sel Th1 (T Helper) dan mempromosikan sitokin yang
disekresikan oleh sel Th2. Selain itu, vitamin D meningkatkan fungsi sel Treg (sel T
regulator) yang berfungsi menekan respon sel B dan Sel T terhadap antigen lainnya,
sedangkan vitamin D mengurangi jumlah sel Th17 (sel pembentuk sistem imunitas
yang akan memerangi patogen berbahaya), yang mengeluarkan IL-17 sebagai sitokin
yang mampu mengatur aktivitas antibakteri dan proses inflamasi untuk melawan
infeksi lebih lanjut yang menunjukkan peranan vitamin D terhadap respon imun
terhadap infeksi dan proses penyembuhan. Vitamin D berkorelasi negatif dengan IL-
23, sedangkan IL-23 berkorelasi positif dengan IL-17. Aktivasi sel NK (Natural Killer)
perifer dan aksi sitotoksiknya dihambat oleh vitamin D. Vitamin D menghambat
sitotoksisitas NK perifer dengan menekan IFN γ dan IL 2. Produksi VEGF dan G CSF
(Granulocyte Colony-Stimulating factor/faktor perangsang koloni granulosit)
distimulasi oleh vitamin D. Vitamin D mendorong proliferasi CD55 penghambat
komplemen dan menghambat glikoprotein anti β2. Dengan menghambat faktor
jaringan dan APA (Anti-Phospholipid Antibodies), vitamin D dapat mencegah
terjadinya APS (Anti-Phospholipid Syndrome) pada RPL. Sehingga vitamin D dapat
secara signifikan memengaruhi autoimunitas dan imunitas seluler pada RPL. Vitamin
D dapat menekan produksi sitokin dengan secara bersamaan meningkatkan sistem
13
kekebalan tubuh bawaan dan mengurangi overaktivasi sistem kekebalan adaptif
sebagai respons terhadap peningkatan viral load (tolak ukur seberapa jauh dan cepat
penyakit berkembang dalam tubuh yang diketahui lewat jumlah virus di dalam sampel
darah). Dimana kadar vitamin D yang rendah dapat menyebabkan lebih banyak
aktivasi sel T dan karenanya meningkatkan respons imun. Ini dapat memengaruhi
risiko kondisi autoimun.26

2.5. Defisiensi
Banyak faktor yang mempengaruhi sintesis vitamin D di kulit. Orang berkulit hitam
membutuhkan waktu minimal 3-5 kali lebih lama untuk menghasilkan jumlah vitamin
D yang sama dengan orang kulit putih dikarenakan adanya melanin yang lebih tebal
dibandingkan orang berkulit putih. Selain itu, faktor lain yang menyebabkan defisiensi
vitamin D adalah sindrom mal-absorpsi lemak, sindrom nefrotik, konsumsi obat-
obatan yang mengganggu metabolisme vitamin D seperti antikonvulsan, AIDS/HIV,
glukokortikoid.27,28

2.6. Angka Kecukupan Gizi (AKG) Vitamin D

Angka kecukupan gizi (AKG) harian vitamin D tergantung pada usia, jenis
kelamin, dan kondisi kesehatan tiap orang. Berikut ini adalah AKG vitamin D per hari
secara umum menurut KEMENKES (2019) :
Usia 0–11 bulan: 10 mcg (400 IU)
Usia 1–64 tahun: 15 mcg (600 IU)
Usia ≥65 tahun: 20 mcg (800 IU)
Ibu hamil dan menyusui: 15 mcg (600 IU)

Vitamin D bisa didapatkan melalui suplemen multivitamin/multimineral. Tersedia


dalam bentuk suplemen makanan yang hanya mengandung vitamin D atau vitamin D
yang dikombinasikan dengan beberapa nutrisi lainnya. Dua bentuk vitamin D dalam
suplemen adalah D2 (ergokalsiferol) dan D3 (kolekalsiferol). Kedua bentuk
meningkatkan vitamin D dalam darah, tetapi kolekalsiferol dapat meningkatkannya
lebih tinggi karena kolekalsiferol lebih efisien diserap dan dimanfaatkan oleh tubuh
dan mungkin lebih baik dalam meningkatkan dan mempertahankan kadar vitamin D
14
dalam tubuh lebih lama dari ergokalsiferol. Vitamin D dalam bentuk cair dapat diserap
lebih cepat karena melewati langkah perantara, di mana tablet atau bentuk yang lebih
padat harus dihancurkan oleh asam lambung sebelum diserap. Vitamin D larut dalam
lemak, oleh karena itu paling baik dikonsumsi dengan makanan atau kudapan yang
mengandung lemak.29

Pada tahun 2010, Food and Nutrition Board di Institute of Medicine of the
National Academies (US) menetapkan bahwa asupan vitamin D yang cukup selama
kehamilan dan menyusui adalah 600 unit internasional per hari. Para ahli sepakat
bahwa suplemen vitamin D aman dalam dosis hingga 4.000 IU per hari selama
kehamilan atau menyusui. Ketika kekurangan vitamin D diidentifikasi selama
kehamilan, sebagian besar ahli setuju bahwa 1.000–2.000 unit internasional vitamin D
per hari aman.30

15
16

Anda mungkin juga menyukai