Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Penyakit Jantung koroner (PJK) adalah penyebab kematian nomor satu di US dan
seluruh dunia. Setiap menit, seorang warga Amerika meninggal akibat PJK. Sekitar 37%
dari orang-orang yang mengalami suatu kejadian koroner akut , baik itu angina dan infark
miokard, akan meninggal oleh karenanya pada tahun yang sama. Tingkat kematian oleh
karena PJK telah menurun setiap tahunnya sejak 1968, dengan setengah dari penurunan
sejak 1980 sampai 2000 adalah karena penanganan dan setengahnya oleh karena perbaikan
pada faktor-faktor resikonya. PJK masih bertanggungjawab pada sekitar satu dari lima
kematian dan lebih dari 600 ribu kematian di US [1].
Faktor-faktor resiko dari PJK dapat dibagi ke dalam faktor yang dapat dimodifikasi,
seperti merokok, konsumsi sayuran dan buah yang rendah, inaktifitas fisik, hipertensi, dan
diabetes melitus; serta yang tidak dapat dimodifikasi, seperti usia, faktor keturunan, dan
jenis kelamin laki-laki [1].
Dari beberapa penelitian ditemukan bahwa defisiensi vitamin D dapat
meningkatkan nilai mean platelet volume (MPV) serta meningkatkan aktifitas trombosit.
Kedua hal tersebut dapat meningkatkan terjadinya trombosis yang pada akhirnya
meningkatkan resiko terjadinya PJK. Oleh karena itu tinjauan ini dibuat untuk melihat
hubungan yang lebih mendalam antara vitamin D dan trombosit dalam kaitannya dengan
PJK, sehingga diharapkan dapat diperoleh pengetahuan yang lebih baik mengenai
pencegahan dan atau pengobatan dari PJK.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 KARAKTERISTIK VITAMIN D

II.1.1 Sintesis dan metabolisme

Vitamin D bukan hanya merupakan suatu vitamin, namun lebih mengarah kepada
suatu hormon. Suatu substansi mirip lemak yang hanya ada di kulit dan tidak di jaringan
lain, yang disebut sebagai 7-dehydrocholesterol, dikonversi menjadi prohormon vitamin
D, yaitu cholecalciferol, melalui reaksi non-enzimatik saat terekspos oleh sinar ultraviolet
B (UVB) dari matahari. Kemudian cholecalcierol ditransfer ke dalam hati dan mengalami
hidroksilasi oleh enzim vitamin D-hidroksilasi pada karbon 25 untuk membentuk 25-
hydroxycholecalciferol. Pada proses hidroksilasi pertama ini sejumlah produk kemudian
dibentuk, namun yang terpenting adalah 25-hydroxycholecalciferol. Proses hidroksilasi
dikatalisasi oleh suatu monooksigenase yang bergantung pada sitokrom P-450. Enzim ini
ditemukan pada kompartemen mitokondrial dan mikrosomal. Hal ini merupakan sistem
dengan dua komponen yang mencakup flavoprotein dan sitokrom P-450 dan diatur oleh
konsentrasi dari kalsium terionisasi dalam serum [2,3,4].
Selanjutnya di ginjal akan mengalami lagi penambahan grup hidroxil kedua pada
karbon 1, yang terjadi pada tubulus proksimal yang dikatalisasi oleh enzim 25-OH-D3-1α-
hydroxylase yang akan menghasilkan bentuk hormon aktifnya, yaitu 1,25-
dihydroxyvitamin D (gambar 1). Sel-sel kulit, hati, dan ginjal yang berperan di dalam
sintesis vitamin D berbeda dari sel-sel tulang dan usus halus yang responsif terhadap
vitamin D. Memiliki tempat sintesis yang berbeda dari lokasi aksi adalah merupakan
karakteristik dari suatu hormon [2,3,4].
Saat ergocalciferol (sumber vitamin D dari makanan) diidentifikasi, komponen
tersebut kemudian disebut sebagai vitamin D2; dan saat komponen fisiologis diidentifikasi
sebagai cholecalciferol kemudian dinamakan sebagai vitamin D3. Tidak ada penyebutan
untuk vitamin D1 karena pada awalnya saat vitamin ini diisolasi dan diidentifikasi,
komponen yang diidentifikasi sebagai D1 ternyata merupakan campuran dari vitamin-
vitamin D lainnya, bukan sebagai entitas tersendiri [5].

2
Gambar 1. Sintesis vitamin D dari paparan sinar UVB dan yang didapatkan dari makanan [3]

Ergocalciferol kemudian mengalami proses metabolisme yang sama dengan


cholecalciferol. Bentuk teraktivasi dari dari D3 (25-hydroxy dan 1,25-
dihydroxycholecalciferol) memiliki potensi yang jauh lebih besar (masing-masing 2–5 kali
dan 5–10 kali) daripada bentuk asal mereka, yakni D3.[3] Bentuk yang dijadikan dasar
pengukuran kadar vitamin D dalam tubuh adalah kadar serum dari 25-
hydroxycholecalciferol dikarenakan waktu paruhnya yang lebih lama di dalam tubuh bila
dibandingkan dengan 1,25-dihydroxyvitamin D (hitungan minggu dibandingkan jam), dan
sebagai refleksi baik dari sintesis kutaneus maupun asupan dari diet [3,4,15].
Setelah diserap, vitamin D kemudian ditransportasikan dalam suatu bentuk
nonesterifikasi yang terikat ke sebuah protein pengikat vitamin D spesifik (DBP). Protein
ini hampir identik dengan α2-globulin dan albumin dari segi mobilitas elektroforesis.
Semua bentuk vitamin D diangkut oleh protein jenis ini, yang merupakan suatu globulin
dengan berat molekul sebesar 58,000 Da. Afinitas ikatannya berbeda-beda tergantung
bentuk vitaminnya. Analisis sekuens DNA dari DBP menunjukkan homologi dengan
fetoprotein dan albumin serum [4].
Vitamin D diabsorpsi dalam misel-misel lemak dan digabungkan ke dalam
kilomikron; sehingga, orang-orang dengan diet rendah lemak akan menyerap vitamin D

3
dalam jumlah yang sedikit yang tersedia dari diet. Setiap penyakit yang mengganggu
penyerapan lemak juga akan mengganggu penyerapan vitamin D. Bahkan, patut dicatat
bahwa dahulu pada waktu dimana rickettsia merupakan masalah kesehatan utama di
Skotlandia, ikan hering (suatu sumber yang kaya akan vitamin D) merupakan suatu bagian
yang signifikan dari diet; dapat diasumsikan bahwa dalam diet tersebut sangat rendah
mengandung lemak sehingga penyerapan dari vitamin D menjadi ikut terganggu. Vitamin
D diabsorpsi dalam jejunum dan ileum, baik dalam bentuk terhidroksilasi maupun yang
tidak [2].
Terdapat beberapa jalur dalam hal degradasi dari bentuk aktif 1,25-
dihydroxycholecalciferol, yang meliputi penglepasan oksidatif dari rantai sisi, hidroksilasi
tambahan pada karbon 24, pembentukan lakton (1,25 OH 2 D 2 -26,23 lactone), dan
hidroksilasi tambahan pada karbon 26. Meskipun 25-hydroxy cholecalciferol dapat
terakumulasi di jantung, paru-paru, ginjal, dan hati, 1,25-dihydroxycholecalciferol tidak
terakumumulasi. Bentuk aktifnya disimpan dalam jumlah yang signifikan namun dapat
ditemukan di dalam hampir semua jenis sel dan jaringan [4].
II.1.2 Sumber
Secara keseluruhan, paparan UVB menyediakan 80% sampai 100% dari kebutuhan
vitamin D harian. Jumlah dari paparan sinar matahari yang dibutuhkan oleh seorang
individu untuk memproduksi vitamin D bergantung pada warna kulit, usia, durasi pagi dan
siang hari, musim, serta lokasi [2].
Para ahli merekomendasikan bahwa seseorang seharusnya memaparkan tangan,
muka, dan lengan setidaknya dua sampai tiga kali setiap minggu sampai warna kulitnya
berubah menjadi merah muda (misalnya 5 sampai 10 menit) untuk menghasilkan vitamin
D yang cukup. Orang-orang dengan warna kulit yang gelap akan membutuhkan paparan
tambahan, sekitar tiga sampai lima kali dari jumlah waktu yang direkomendasikan tersebut
di atas (atau mungkin lebih banyak lagi). Pigmen melanin dalam jumlah banyak yang ada
pada orang-orang yang berkulit gelap merupakan pelindung sinar matahari yang poten [2].
Paparan sinar matahari hanya efektif untuk sintesis vitamin D di antara sekitar jam
8:00 AM dan 4:00 PM, dan tanpa menggunakan pelindung sinar matahari yang melebihi
sun protection formula (SPF) 8. Walaupun paparan berlebihan dari sinar matahari dapat

4
meningkatkan resiko dari kanker kulit, namun jumlah minimal dari paparan UVB yang
diperlukan untuk sintesis vitamin D tetap dianjurkan [2].
Walaupun sebagian orang mungkin memiliki vitamin D yang cukup yang disimpan
di dalam sel-sel adipose dari bulan-bulan musim panas, kebanyakan orang di iklim utara
sebaiknya mencari sumber vitamin D alternatif di bulan-bulan musim dingin. Secara garis
besar, siapapun yang tidak memiliki paparan sinar matahari yang cukup untuk sintesis
jumlah vitamin D yang cukup harus mendapatkan sumber dari diet [2].

Gambar 2. Sumber vitamin D dari makanan[2]

Hanya sedikit makanan yang mengandung vitamin D (ergocalciferol) dalam


jumlah yang signifikan. Sumber-sumber yang kaya akan vitamin D adalah ikan berlemak
(misalnya ikan sarden dan salmon), telur, dan hati. Beberapa makanan, misalnya susu dan
yogurt, diperkaya dengan ergocalciferol sintetis (gambar 2). Di USA dan Kanada, susu
biasanya diperkaya dengan 10 mikrogram (400 IU) per quart [2].

5
Walaupun telur, hati, mentega, dan beberapa merk margarin mengandung vitamin
D, penyajian dalam jumlah yang besar harus dikonsumi untuk mempertahankan jumlah
vitamin yang cukup dari sumber-sumber tersebut. Sebagai akibatnya, pola hidup vegetarian
yang ketat rentan terhadap resiko defisiensi vitamin D, terutama bagi mereka yang hidup
di belahan bumi utara dengan pancaran sinar matahari yang rendah [2].
Vitamin D diukur dalam satuan unit internasional (IU), dimana satu IU
menggunakan cholecalciferol, D3, sebagai referensi standar. 1 IU = 25 ng dari
cholecalciferol, yang ekuivalen dengan 65.0 pmol; 1 µg dari cholecalciferol = 40 IU [5].
II.1.3 Fungsi
Vitamin D bekerja pada banyak organ tubuh dan meliputi banyak fungsi-fungsi
penting dalam tubuh (gambar 4). Fungsi utama hormon vitamin D (1,25-dihydroxyvitamin
D) yang telah banyak dikenal selama ini adalah untuk membantu pengaturan dari kalsium
dan metabolisme tulang. Bekerja dengan hormon lain, terutama hormon paratiroid (PTH),
hormon vitamin D mengatur kalsium darah sehingga jumlah yang cukup akan disuplai ke
semua sel. Pengaturan ini melibatkan dua proses utama: hormon vitamin D membantu
meregulasi penyerapan vitamin D dan fosfat dari usus halus serta deposisi dari kalsium di
dalam tulang [2].
Hasil yang paling jelas dari aksi hormon vitamin D adalah peningkatan endapan
kalsium dan fosfor di dalam tulang. Tanpa endapan kalsium dan fosfor yang memadai
selama sintesis tulang, tulang menjadi melemah dan dapat bengkok bila di bawah tekanan.
Seorang anak dengan gejala-gejala ini memiliki penyakit rickettsia. Gejalanya juga
termasuk pembesaran kepala, sendi, dan tulang rusuk serta panggul yang cacat (gambar 3)
[2].
Penelitian telah menunjukkan rickettsia menjadi masalah pada bayi yang disusui
yang menerima sedikit paparan sinar matahari. Untuk pencegahan rickettsia, bayi yang
disusui harus diberikan vitamin D tambahan. Perlu diingat bahwa suplemen perlu
digunakan dengan sangat hati-hati untuk menghindari keracunan vitamin D pada bayi.
Rickettsia pada anak-anak juga berhubungan dengan malabsorpsi lemak, seperti yang
terjadi pada anak-anak dengan fibrosis kistik [2].
Osteomalasia, yang berarti tulang lunak, adalah penyakit dewasa yang sebanding
dengan rickettsia. Ini akibat dari penyerapan kalsium yang tidak efisien dalam usus atau

6
konservasi kalsium yang buruk oleh ginjal. Kedua masalah yang berhubungan dengan
kalsium ini dapat disebabkan oleh kekurangan vitamin D. Tulang kemudian kehilangan
mineral dan menjadi keropos dan lemah dan mudah patah. Ini dapat menyebabkan fraktur
di pinggul dan tulang lainnya. Risiko kekurangan vitamin D meningkat pada orang dewasa
yang lebih tua. Penuaan mengurangi produksi vitamin D di kulit sekitar 70% pada saat
seseorang mencapai usia 70 tahun [2].

Gambar 3. Seorang anak dengan rickettsia[2]

Osteomalasia pada orang dewasa paling sering terjadi pada orang dengan penyakit
ginjal, lambung, kandung empedu, atau usus (terutama ketika sebagian besar usus telah
diangkat) dan pada orang dengan sirosis hati. Penyakit-penyakit ini mempengaruhi aktivasi
vitamin D dan penyerapan kalsium. Orang dewasa dengan paparan sinar matahari terbatas
juga dapat menderita penyakit ini, seperti halnya pada banyak orang Afrika-Amerika [2].
Sebagai tambahan dari perannya dalam absorpsi kalsium, vitamin D juga
menginduksi pengambilan fosfat dan magnesium oleh brush border dari usus halus. Efek
pengambilan fosfat independen dari efeknya dalam absorpsi kalsium. Sehingga, jika

7
sintesis dari protein pengikat kalsium berakibat pada peningkatan dari pengambilan
kalsium, hal itu juga berakibat pada pengambilan magnesium yang signifikan [4].

Gambar 4. Efek dari vitamin D pada banyak organ tubuh [5]

Efek peningkatan pelepasan sitokin proinflamasi pada kekurangan vitamin D dapat


merusak sel-β pankreas, sehingga kekurangan vitamin D juga dikaitkan dengan resistensi
insulin atau gangguan sekresi insulin. Sehingga dapat dikatakan bahwa kekurangan
vitamin D dapat menyebabkan intoleransi glukosa dan diabetes tipe 2 [5,8].
Defek dari vitamin D pada aksis renin-angiotensin-aldosteron system (RAAS) pada
defisiensi vitamin D dapat mencetuskan aktivasi yang terus-menerus dari RAAS. Sebagai
contoh, studi pada subjek normotensif dan hipertensif memperlihatkan hubungan yang
terbalik antara metabolit vitamin D dan aktifitas renin plasma, terlepas dari kadar renin
dasar ataupun asupan garam. Juga pada studi sebelumnya pada 554 orang sehat dengan
kadar 25-OH D yang rendah didapatkan peningkatan kekakuan pembuluh darah arteri dan
disfungsi vaskular, independen dari faktor potensial lainnya [3,5,15].

8
Peningkatan ekspresi dari apolipoprotein A-1 (APOA1) juga dihubungkan dengan
defisiensi vitamin D. Sementara diketahui bahwa APOA1 merupakan konstituen utama
dari kolesterol HDL [3,5].
Vitamin D mengurangi proliferasi sel dan meningkatkan diferensiasi sel,
menghentikan pertumbuhan pembuluh darah baru, dan memiliki efek antiinflamasi yang
signifikan. Banyak penelitian menunjukkan adanya hubungan antara kadar vitamin D yang
rendah dan peningkatan risiko kanker, dengan bukti terkuat untuk kanker kolorektal.
Dalam Health Professionals Follow-up Study (HPFS), subjek dengan konsentrasi vitamin
D tinggi kemungkinan setengahnya yang didiagnosis dengan kanker usus besar
dibandingkan mereka yang memiliki konsentrasi rendah. Kesimpulan yang pasti belum
dapat dibuat tentang hubungan antara konsentrasi vitamin D dan risiko kanker, tetapi hasil
dari banyak penelitian menjanjikan. Ada beberapa bukti yang menghubungkan asupan
vitamin D yang lebih tinggi dengan risiko lebih rendah untuk kanker payudara. Efek status
menopause pada hubungan ini masih belum jelas [16].
Beberapa penelitian menyediakan bukti bahwa efek perlindungan dari vitamin D
pada jantung bisa melalui sistem hormon renin-angiotensin, melalui penekanan
peradangan, atau langsung pada sel-sel jantung dan dinding pembuluh darah. Dalam
Framingham Heart Study, pasien dengan konsentrasi vitamin D rendah (<15 ng/mL)
memiliki risiko penyakit jantung 60% lebih tinggi daripada pasien dengan konsentrasi lebih
tinggi. Dalam penelitian lain, yang mengikuti pria dan wanita selama 4 tahun, pasien
dengan konsentrasi vitamin D rendah (<15 ng/mL) tiga kali lebih mungkin didiagnosis
dengan hipertensi daripada mereka yang konsentrasi tinggi (> 30 ng/mL) [16].
Sebuah uji coba Norwegia terhadap subjek yang kelebihan berat badan
menunjukkan bahwa mereka yang menerima vitamin D dosis tinggi (20.000 atau 40.000
IU per minggu) mengalami peningkatan yang signifikan dalam skor skala gejala depresi
setelah 1 tahun dibandingkan mereka yang menerima plasebo. Hasilnya menentukan
korelasi antara vitamin D dan risiko depresi [16].
Dalam penelitian berbasis populasi di Italia Invecchiare in Chianti (InCHIANTI),
kadar vitamin D yang rendah dikaitkan dengan penurunan kognitif yang substansial pada
populasi lansia yang diteliti selama periode enam tahun. Tingkat rendah 25 (OH) D

9
mungkin sangat berbahaya bagi fungsi eksekutif, sedangkan memori dan domain kognitif
lainnya mungkin relatif dipertahankan [16].
Defisiensi vitamin D dapat berkontribusi pada penyakit autoimun seperti multiple
sclerosis (MS), diabetes tipe 1, rheumatoid arthritis, dan penyakit tiroid autoimun. [96]
Sebuah studi prospektif dari subyek kulit putih menemukan bahwa mereka dengan
konsentrasi vitamin D tertinggi memiliki risiko 62% lebih rendah terkena MS
dibandingkan dengan mereka yang konsentrasi terendah. Sebuah studi Finlandia yang
mengikuti anak-anak sejak lahir mencatat bahwa mereka yang diberi suplemen vitamin D
selama masa bayi memiliki risiko hampir 90% lebih rendah terkena diabetes tipe 1
dibandingkan dengan anak-anak yang tidak menerima suplemen [16].
Penyakit Parkinson adalah penyebab utama kecacatan pada populasi lansia.
Sayangnya, faktor risiko untuk penyakit ini relatif tidak diketahui. Baru-baru ini, telah
disarankan bahwa asupan vitamin D tidak memadai yang kronis dapat memainkan peran
penting dalam patogenesis penyakit Parkinson. Sebuah studi kohort berdasarkan Mini-
Finland Health Survey menunjukkan bahwa kadar vitamin D yang rendah dapat
memprediksi perkembangan penyakit Parkinson [16].

II.1.4 Kebutuhan

Diperkirakan prevalensi dari defisiensi vitamin D adalah sekitar 30-50% dari


populasi umum.[14] Satu sumber menyakatan bahwa asupan yang adekuat dari vitamin D
adalah 5 mikrogram per hari (200 IU per hari) untuk orang di bawah umur 51 tahun dan
meningkat dua sampai tiga kali lipat untuk yang berusia lebih tua. Bagi yang berusia di
atas 51 tahun rekomendasinya adalah 10 mikrogram per hari (400 IU per hari). Setelah
umur 70 tahun rekomendasinya menjadi 15 mikrogram per hari (600 IU per hari) [2].
Seperti yang sudah disebutkan, seseorang yang berusia muda dan berkulit cerah
dapat mensintesis semua vitamin D yang dibutuhkan dari paparan sinar matahari biasa.
Sejumlah ahli menyarankan orang yang berusia lanjut, terutama mereka yang berusia 70
tahun ke atas yang memiliki paparan sinar matahari yang terbatas ataupun berkulit gelap,
menerima 25 mikrogram (1000 IU) dari kombinasi makanan yang diperkaya vitamin D
dan tambahan multivitamin/mineral [2].

10
Gambar 5. Skema status dan terapi vitamin D menurut Institute of Medicine dan Endocrine Society [2]

Bagi mereka yang memiliki kadar vitamin D di bawah 20 ng/mL disarankan


mendapat 50.000 IU vitamin D setiap minggunya untuk jangka waktu 6-8 minggu,
dilanjutkan 600-20.000 IU per hari sampai kadarnya menjadi ≥20 ng/mL; sementara
mereka yang memiliki kadar vitamin D ≥20 ng/mL disarankan mendapat asupan harian
sebanyak 400 IU untuk memelihara kadarnya (gambar 5) [3].
Namun, sebuah konsensus belum dapat tercapai mengenai kadar optimal dari
vitamin D untuk memelihara kesehatan sistem nonskeletal dan memperoleh kemungkinan
keuntungan dari pencegahan penyakit kardiovaskular dan kanker. Ambil contoh, meskipun
Insitute of Medicine telah menyatakan bahwa kadar vitamin D >20 ng/mL sudah cukup,
namun Endocrine Society justru mengkategorikan kadar 20 sampai 29 ng/mL sebagai
insufisiensi vitamin D (gambar 4) [3].
Batas atas untuk asupan vitamin D adalah 50 mikrogram per hari (2000 IU per hari).
Terlalu banyak vitamin D yang dikonsumsi secara teratur dapat menimbulkan masalah,
terutama pada anak dan yang berusia dewasa muda. Bagi orang dewasa, asupan yang
melampaui batas atas tampaknya aman. Batas atas didasarkan pada resiko dari terlalu
banyak vitamin D, yang mana dapat menyebabkan penyerapan berlebihan dari kalsium
sehingga akan menyebabkan deposit kalsium di ginjal dan organ-organ tubuh yang lain [4].
Asupan vitamin D yang berlebihan ini juga akan menyebabkan gejala-gejala yang
khas dari hiperkalsemia: kelemahan, hilangnya selera makan, diare, muntah, konfusio, dan

11
peningkatan pengeluaran urin. Penumpukan kalsium di dalam organ-organ menyebabkan
gangguan metabolik dan kematian sel. Namun, toksisitas vitamin D tidak dapat timbul dari
berjemur di bawah sinar matahari yang terlalu lama karena tubuh dapat mengatur jumlah
yang disintesis di kulit [2].

II.1.5 Interaksi dengan obat-obatan dan nutrisi lain

Reseptor vitamin D membentuk heterodimer dengan retinoid X receptor (RXR),


yaitu reseptor vitamin A yang sering berpasangan dengan reseptor-reseptor penting lainnya
di dalam sel, sehingga fungsi yang tergantung vitamin D membutuhkan kadar vitamin A
yang memadai, tetapi tidak berlebihan. Sejumlah obat-obatan, termasuk barbiturat dan
antikonvulsan lainnya, menginduksi sitokrom P450, menghasilkan peningkatan
katabolisme kalsidiol (dan retinol), dan menyebabkan osteomalasia yang diinduksi oleh
obat [4].
Salah satu obat antituberkulosis, yaitu isoniazid, dapat menghambat cholecalciferol
25-hydroxylase di hati, dan pemberian yang berkepanjangan dapat menyebabkan
perkembangan osteomalasia. Strontium adalah inhibitor poten dari ginjal 1-hidroksilase,
dan keracunan strontium dapat menyebabkan perkembangan rickettsia yang resisten
vitamin D atau osteomalasia. Meskipun normalnya ada sedikit paparan intontium yang
berpotensi toksik, garamnya terkadang digunakan untuk mengobati keracunan timbal
kronis [4].
Kortikosteroid dapat mengurangi absorbs kalsium, yang berakibat pada gangguan
metabolism vitamin D. Dikarenakan vitamin D bersifal larut lemak, Orlistat dan
Cholestyramine dapat mengurangi absorbsinya dan sebaiknya diminum dengan jarak
terpisah beberapa jam. Fenobarbital dan fenitoin meningkatkan metabolism vitamin D
menjadi kompenen-komponen inaktif dan mengurangi absorbs kalsium, yang juga
mengganggu metabolism vitamin D [16].

12
II.2 KARAKTERISTIK TROMBOSIT
II.2.1 Struktur
Dengan menggunakan mikroskop cahaya pada apusan Wright-Stain (gambar 6)
didapatkan trombosit sebagai fragmen yang kecil, tidak berinti (yaitu, tidak memiliki
nukleus) dengan butiran kemerahan yang jarang, berukuran sekitar 2 mm dengan volume
sekitar 8 fl dan menunjukkan variasi yang cukup besar dalam ukuran dan bentuk.
Trombosit yang dilepaskan dari sumsum di bawah "kondisi stres", seperti trombositopenia,
dinamakan trombosit stres berukuran besar, dan sering berbentuk manik-manik; sedangkan
trombosit muda, yang baru saja dilepaskan dari sumsum, disebut ber-retikulasi dalam
kaitannya dengan konten RNA dan analog dengan retikulosit sel darah merah muda [6].

Gambar 6. Trombosit (panah) pada pemeriksaan mikroskop dengan pewarnaan Wright-Giemsa


dengan pembesaran 100 kali [6]

Trombosit tersedia dalam dua bentuk berbeda, saat istirahat dan diaktifkan, dengan
keadaan istirahat ditandai dengan aktivitas metabolisme awal dan bentuk yang diaktifkan
yang dihasilkan dari stimulasi agonis (misalnya respons terhadap trombin). Dengan
pemindaian mikroskop elektron, sirkulasi trombosit saat istirahat tampil sebagai cakram
datar dengan kontur halus, filopodia berduri jarang, dan bukaan acak dari suatu sistem
saluran, sistem kanalikuli yang terhubung ke permukaan (SCCS), yang invaginasi di
seluruh trombosit dan merupakan saluran yang dilalui isi granula saat eksositosis setelah
mengalami stimulasi (gambar 7). Meskipun platelet bersifat anukleasi, transmisi
mikroskop elektron mengungkapkan suatu permukaan yang kompleks dan sitoplasma yang
dilengkapi dengan sejumlah struktur subplatelet dan organel berbeda yang penting untuk
13
pemeliharaan hemostasis normal. Deskripsi awal mengenai anatomi trombosit berasal dari
penelitian yang dilakukan dengan transmisi mikroskop elektron; dan struktur trombosit
diklasifikasikan ke dalam empat area umum: permukaan trombosit, struktur membran,
sitoskeleton, dan granul [6].

Gambar 7. Struktur trombosit dengan mikroskop elektron; pembesaran 15,000 kali. Kebanyakan berbentuk
discoid (d), disertai dengan lekukan-lekukan (panah) [6]

II.2.2 Biokimia dan metabolisme

Trombosit terdiri dari sekitar 60% protein, 15% lipid, dan 8% karbohidrat menurut
berat kering. Mineral trombosit meliputi magnesium, kalsium, kalium, dan seng.
Trombosit mengandung sejumlah besar vitamin B12, asam folat, dan asam askorbat.
Konsentrasi natrium dan kalium dalam trombosit masing-masing adalah 39 dan 138 mEq.
Gradien terhadap plasma ini, rupanya didistribusikan dalam dua kompartemen metabolik
yang berbeda, dikelola oleh pompa ion aktif, yang memperoleh energi dari ATPase
membran tipe sensitif-ouabain, serta tergantung Na+/K+ [6].

14
Trombosit yang tidak distimulasi mempertahankan konsentrasi Ca2+ sitoplasma
yang rendah (∼100 hingga 500 nmol /L) dengan membatasi transpor Ca2+ dari plasma dan
mendorong penghabisan aktif ion ini dari sel. Dua pool kalsium ada dalam trombosit: suatu
pool sitosol yang berputar dengan cepat yang diatur oleh antiporter natrium-kalsium dalam
membran plasma dan pool penukar yang lebih lambat yang diatur oleh Ca2+/Mg+ -ATPase
dan diasingkan dalam sistem tubular yang padat. Platelet dapat mengangkut kalsium dari
sitosol dengan menggerakkannya terhadap gradien ke ruang ekstraseluler atau dengan
sekuestrasi dalam sistem tubular padat [6].

II.2.3 Pembentukan

Gambar 8. Hematopoiesis [7]

Trombosit dilepaskan dari megakariosit, di bawah pengaruh dari aliran di dalam


sinus kapiler. Regulator utama dari produksi trombosit adalah hormon trombopoietin
(TPO), yang disintesis di dalam hati. Sintesis meningkat dengan inflamasi dan secara

15
spesifik oleh interleukin 6 (Il-6). TPO berikatan dengan reseptornya pada trombosit dan
megakariosit, yang mana disingkirkan dari sirkulasi. Sehingga pengurangan pada massa
trombosit dan megakariosit meningkatkan kadar TPO, yang kemudian akan menstimulasi
produksi trombosit (gambar 8) [7].
Trombosit bersirkulasi dengan rata-rata masa paruh sekitar 7-10 hari. Kadar
trombosit darah normal berada di kisaran 150,000-450,000/uL. Sekitar sepertiga dari
keseluruhan trombosit berada di dalam limpa dan jumlah ini meningkat seiring dengan
membesarnya ukuran limpa, walaupun kadar trombosit jarang berkurang menjadi di bawah
40,000/uL sejalan dengan pembesaran limpa. Trombosit secara fisiologis sangat aktif,
namun dikarenakan sifatnya yang anukleasi maka kemampuannya untuk mensintesis
protein baru sangat terbatas [7].

II.2.4 Fungsi

Gambar 9. Kandungan granul dalam trombosit yang disekresikan saat teraktivasi [6]

Trombosit adalah elemen kunci dari berbagai mekanisme dalam tubuh manusia
termasuk hemostasis dan trombosis, imunitas, dan peradangan. Setelah diaktifkan, respons

16
trombosit relatif seragam dengan perubahan bentuk, ukuran, agregasi, ekspresi sel, dan
pelepasan berbagai sitokin [7].
Vaskular endotelium yang normal berkontribusi untuk mencegah terjadinya
trombosis dengan menghambat fungsi trombosit. Disaat vaskular endotelium cedera maka
efek-efek penghambatan ini terlampaui, lalu trombosit berikatan dengan permukaan intima
yang terekspos terutama melalui faktor von Willebrand (vWF), suatu protein multimerik
yang terdapat baik di plasma dan di dalam matriks ekstraseluler dari dinding pembuluh
darah subendotelial. Perlekatan trombosit berakibat pada pembentukan dari sinyal-sinyal
intraseluler yang mengarah pada aktivasi dari reseptor glikoprotein (Gp) trombosit IIb/IIIa
(α IIb β 3) dan resultan aggregasi trombosit [7].
Trombosit yang teraktivasi melepaskan kandungan granul (gambar 9), yang
meliputi nukleotida, protein pengikat, growth factors, dan prokoagulan yang mendorong
aggregasi trombosit dan pembentukan bekuan darah dan mempengaruhi lingkungan dari
bekuan yang sementara dibentuk. Selama aggregasi trombosit, trombosit tambahan
direkrut ke tempat cedera, yang mengarah kepada pembentukan dari suatu trombus
trombosit oklusif. Sumbatan trombosit kemudian distabilisasi oleh jaring-jaring fibrin yang
berkembang secara simultan disaat produk koagulasi mengalami kaskade (gambar 10) [7].

Gambar 10. Aktivasi trombosit dan trombosis [7]

17
II.3 PENGARUH VITAMIN D TERHADAP TROMBOSIT PADA PENYAKIT
JANTUNG KORONER
Ketidakcukupan vitamin D sangat umum di seluruh dunia, dan khususnya di Turki.
Secara khusus, kekurangan vitamin D sering terjadi pada wilayah Laut Hitam Timur Turki
(41.2°N). Dari suatu studi yang dilakukan oleh Cure MC et al, yang dilakukan di Turki
pada tahun 2013 yang lalu terhadap 434 pasien tanpa penyakit kronik dan tidak sedang
mengkonsumsi vitamin D atau suplemen kalsium, yang kemudian dibagi ke dalam tiga
kelompok berdasarkan kadar vitamin D dalam darahnya (grup 1 dengan kadar vitamin D
<10 ng/mL; grup 2 dengan kadar vitamin D 10-20 ng/mL; dan grup 3 dengan kadar vitamin
D >20 ng/mL), didapatkan hasil yaitu nilai volume trombosit rata-rata (MPV) pada grup 3
(7.5±1.0 fL) secara signifikan lebih rendah dibandingkan dengan grup 1 (8.1±1.1 fL, p
<0.001) dan grup 2 (7.9±1.0 fL, p=0.009). Pasien kemudian dibagi ke dalam dua grup
berdasarkan kadar vitamin D <20 ng/mL atau >20 ng/mL. Nilai MPV pada pasien-pasien
dengan kadar vitamin D <20 ng/mL secara signifikan lebih tinggi dibanding pada pasien-
pasien dengan kadar vitamin D >20 ng/mL (7.9±1.0 fL vs. 7.5±1.1 fL, p=0.003) [8].
Penelitian yang dilakukan oleh Yildirim T et al. di tahun 2016 pada pasien-pasien
dengan fibromyalgia syndrome (FMS) menunjukkan hasil bahwa nilai MPV secara
signifikan lebih tinggi pada grup dengan nilai 25 (OH) D ≤10 ng/mL dibandingkan dengan
grup kontrol (8.7 ± 0.7 vs 7.6 ± 0.3; p <0.001). Mereka juga menemukan hasil bahwa
terdapat hubungan negatif di antara nilai MPV dan nilai 25 (OH) D (r =-0.17; p=0.017) [9].
Penelitian oleh Gur EB et al. pada tahun 2015 mendapatkan hasil bahwa defisiensi
vitamin D dapat berkontribusi pada peningkatan resiko penyakit kardiovaskular di masa
depan dan peningkatan resiko dari komplikasi trombosis pada wanita hamil dengan
diabetes mellitus gestasional (GDM). Mereka melakukan penelitian yang mencakup 200
orang wanita hamil dengan, baik dengan GDM dan yang kadar glukosanya normal. Level
MPV secara signifikan lebih tinggi pada kelompok dengan defisiensi vitamin D
dibandingkan yang normal pada kelompok GMD (p=0,04) [10].
Dari studi lainnya di tahun 2017 oleh Park YC et al, yang meneliti 3190 subjek
yang berumur lebih dari 20 tahun, yang kemudian dibagi ke dalam tiga kelompok
berdasarkan kadar vitamin D dalam darahnya, mendapatkan hasil yaitu hitung trombosit
dan MPV berhubungan terbalik dengan kadar vitamin D pada orang dewasa. Jumlah

18
trombosit ditemukan paling tinggi pada pasien di dalam grup defisiensi (defisiensi; 261.5
± 51.2, insufisiensi; 249.8 ± 47.6 and sufisiensi; 246.9 ± 47.4, P< 0.001) dan nilai MPV
menunjukkan tendensi yang sama (defisiensi; 8.5 ±0.8, insufisiensi; 8.4 ±0.8 and sufisiensi;
8.3 ± 0.8, P <0.001) [11].
Korzonek-Szlacheta et al dari penelitiannya di Polandia pada tahun 2018 terhadap
78 pasien dengan coronary artery disease yang stabil juga menemukan bahwa nilai MPV
paling tinggi terdapat pada grup 1 dengan kadar vitamin D yang paling rendah (<10
ng/mL), moderat di grup 2 dengan kadar vitamin D 10-20 ng/mL, dan terendah di grup 3
dengan kadar vitamin D 20-30 ng/mL; sementara platelet distribution width (PDW) paling
tinggi di grup 1 dan 2. Lebih lanjut, rasio MPV terhadap hitung trombosit (MPV/PC)
adalah tertinggi di grup dengan defisiensi vitamin D (grup 1 dan 2) dibandingkan dengan
grup 3. Terdapat korelasi negatif di antara MPV dan konsentrasi 25(OH)D (R = -038, p =
0.001). Regresi linear menunjukkan bahwa kadar 25(OH)D secara mandiri dihubungkan
dengan MPV yang tinggi [12].
Zicari AM et al. yang meneliti 137 anak (70 merupakan kontrol; 67 dengan Sleep
Disorder Breathing (SDB)) di tahun 2016 juga menemukan hubungan yang bermakna
antara nilai MPV dengan level vitamin D (r = -0.39; p<0,001) [13].
Level dari sitokin proinflamasi seperti TNF-α dan IL-6 meningkat pada defisiensi
vitamin D [7]. Peningkatan pelepasan sitokin pada pasien dengan defisiensi vitamin D
dapat dikaitkan dengan reseptor vitamin D (VDR), yaitu faktor transkripsi yang memediasi
efek genomik kalsitriol, yang mana VDR diekspresikan secara konstitutif dalam monosit
dan makrofag. Kedua sitokin tersebut terkait dengan stres oksidatif dan merangsang
megakariopoiesis. Hal ini kemudian menyebabkan pelepasan trombosit teraktivasi yang
tidak matang dari sumsum tulang ke sistem sirkulasi sehingga meningkatkan kadar
trombosit dengan MPV yang tinggi [8].
Gula darah yang tinggi pada defisiensi vitamin D juga dapat menyebabkan
peningkatan MPV dengan cara meningkatkan reaktivitas trombosit dengan menginduksi
glikasi nonenzimatik protein pada permukaan dari trombosit. Selain itu, hiperinsulinemia
juga mempengaruhi trombosit karena fungsi trombosit secara langsung diatur oleh insulin
melalui reseptor insulin fungsional (IR) yang ditemukan pada permukaan trombosit

19
MPV, yang mencerminkan ukuran trombosit, adalah penanda fungsi trombosit
yang dapat diterima. Mengukur MPV biayanya murah dan dapat dimasukkan ke dalam tes
darah rutin. Bila dibandingkan antara kedua jenis trombosit yang berbeda ukuran,
trombosit yang lebih besar memiliki lebih banyak granula, agregat yang lebih cepat dengan
kolagen, memiliki tromboxan-A2 yang lebih tinggi, dan mengekspresikan lebih banyak
reseptor glikoprotein Ib dan IIb/IIIa bila dibandingkan dengan trombosit yang berukuran
lebih kecil; namun, keduanya mensekresi substansi yang merupakan mediator penting
untuk koagulasi, inflamasi, trombosis, dan aterosklerosis. Karena itu, trombosit yang
berukuran lebih besar dapat meningkatkan kejadian penyakit vaskular oklusif [8].
Satu mekanisme yang dilaporkan sebelumnya mengatakan bahwa vitamin D
memberikan efek antikoagulan dengan meningkatkan regulasi ekspresi glikoprotein
antikoagulan (trombomodulin) dan faktor antitrombotik serta menurunkan regulasi faktor
koagulasi kritis (tissue factor) dalam monosit. Selain itu vitamin D juga mengurangi
ekspresi molekul adhesi sel vaskular-1 (VCAM-1), molekul adhesi interseluler-1 (ICAM-
1) dan membran type-1 matrix metalloproteinase (MT1-MMP), sehingga dapat mencegah
aktivasi trombosit dan menurunkan fibrinolisis dan trombosis [8]. Selain itu, percobaan in
vitro pada sel endotelial manusia menunjukkan bahwa 1a, 25 (OH) 2D3 melemahkan
ekspresi membran metoproteinase matriks tipe 1 dan aktivasi platelet melalui pengurangan
molekul adhesi platelet CD62p, selanjutnya menyoroti kemungkinan efek terapi terhadap
destabilisasi plak aterosklerotik dan trombosis [17]. Sehingga dapat dikatakan bahwa
defisiensi vitamin D dapat meningkatkan aktivasi trombosit dan trombosis.

20
BAB III
KESIMPULAN

Pengetahuan akan fungsi vitamin D yang pada awalnya hanya fokus pada sistem
skeletal, kini semakin berkembang dengan dilakukannya penelitian-penelitian mengenai
efeknya pada organ atau sistem tubuh yang lain. Identifikasi dari VDR pada hampir semua
organ tubuh menggambarkan kerja yang luas dari vitamin D, termasuk pada jantung dan
pembuluh darah. Defisiensi vitamin D dapat mencetuskan penyakit jantung koroner
melalui banyak cara dan saling berkaitan satu sama lainnya. Hal itu dapat terjadi melalui
efek langsung pada trombosit, yaitu dengan peningkatan nilai MPV serta peningkatan
aktivasi trombosit; dan bisa juga melalui pengaruh dari resistensi insulin, diabetes melitus,
peningkatan produksi lipid, hipertensi, serta peningkatan kadar sitokin proinflamasi yang
ikut dicetuskannya.
Prevalensi defisiensi vitamin D masih cukup tinggi di seluruh dunia, yakni sekitar
30-50%. Merupakan keuntungan yang sangat baik bagi orang-orang yang tinggal di
kawasan tropis dengan curah sinar matahari yang tinggi sepanjang tahun, oleh karena
kebutuhan harian vitamin D sebanyak 80-100% dapat diperoleh melalui pancaran sinar
UVB. Sebaliknya bagi mereka yang tinggal di kawasan dengan curah sinar matahari yang
rendah, terutama di kawasan bumi utara, harus mendapat suplementasi vitamin D agar
tidak berkembang menjadi insufisiensi, atau bahkan defisiensi vitamin D. Bagi mereka
yang telah terlanjur menderita defisiensi vitamin D sebaiknya diterapi agar tidak
mengganggu fungsi dari banyak sistem tubuh.

21
BAB IV
SUMMARY

Knowledge about the function of vitamin D, which initially only focused on the
skeletal system, is now growing by conducting studies on its effects on other organs or
body systems. Identification of VDR in almost all organs of the body illustrates the
extensive work of vitamin D, including the heart and blood vessels. Vitamin D deficiency
can trigger coronary heart disease in many ways and are interrelated with each other. This
can occur through direct effects on platelets, namely by increasing the MPV value and
increasing platelet activation; and it can also be through the influence of insulin resistance,
diabetes mellitus, increased lipid production, hypertension, and increased levels of
proinflammatory cytokines that they trigger.
The prevalence of vitamin D deficiency is still quite high throughout the world,
which is around 30-50%. It is an advantage for people who live in the tropics with high
sunlight throughout the year, because the daily requirement of 80-100% of vitamin D can
be obtained through radiation with UVB rays. Conversely, for those who live in areas with
low sunlight, especially in the northern regions of the world, they must be supplemented
with vitamin D so that it does not develop into insufficiency, or even vitamin D deficiency.
Those who have already suffered from vitamin D deficiency should be treated so as not to
interfere with the function of many body systems.

22

Anda mungkin juga menyukai