Anda di halaman 1dari 2

 Berdasarkan imunologi, pasien DA ditandai dengan ekspresi profil sitokin sel T-helper

(Th)-2 yang kuat. Lesi kulit DA menunjukkan infiltrat sel T yang jelas. Sel T tersebut
dapat menginduksi apoptosis keratinosit dan berpengaruh pada fungsi sawar kulit yang
dapat mengarah kepada infeksi lebih lanjut dan terjadinya komplikasi.
 Sebagian besar pasien DA mengalami peningkatan eosinofil dan immunoglobulin E
(IgE) di dalam sirkulasi.
 Pada kebanyakan penderita dermatitis atopik terdapat reaksi kulit yang didasari oleh
immunoglobulin E (IgE) dan mempunyai kecenderungan untuk menderita asma, rhinitis
atau keduanya dikemudian hari dan dikenal sebagai allergic-march. (Santosa, 2007,
Boguniewicz and Leung, 2009)

 Vitamin D merupakan secosterol yang diproduksi secara endogen di kulit dari paparan
sinar matahari atau diperoleh dari makanan yang secara alami mengandung vitamin D,
Proses fotobiologi paparan sinar matahari terhadap kulit dapat memberikan 80 – 90
persen konsentrasi serum vitamin D3. Pengaktifan vitamin ini memerlukan proses
konversi oleh enzim (hidroksilasi) di liver dan ginjal. Terdapat dua bentuk vitamin D
yakni ergocalciferol (vitamin D2) dan cholecalciferol (vitamin D3). Vitamin D3
(cholecalciferol) berasal dari hewan; salmon, cod liver oil (minyak hati ikan cod), kuning
telur, makarel, dan tuna. Vitamin D2 dari tumbuh-tumbuhan, jus jeruk, sereal, dan jamur.
Studi penelitian mengemukakan vitamin D3 memiliki potensi 3x lebih baik dibanding
vitamin D2.
 Vitamin D merupakan prohormon yang memiliki fungsi utama mengatur keseimbangan
kalsium tubuh. Sebagai imunoregulasi, vitamin D memiliki dua fungsi penting sebagai
hormon sekosteroid pada regulasi hemostasis kalsium pada tubuh dan sebagai zat
esensial organik yang sangat penting terhadap respons imun. Vitamin D sebagai
imunomodulator berfungsi untuk mengembalikan dan memperbaiki keadaan patologik
menjadi normal kembali dengan cara menekan fungsi imun yang berlebihan
(imunosupresi).
 Pada dermatitis atopik dijumpai defek pada imunitas bawaan karena kurangnya
antimicrobial peptide (AMP) pada daerah kulit yang meradang. pemberian diet vitamin
D dapat meningkatkan fungsi imunitas bawaan pada kulit dermatitis atopik dibuktikan
secara in vitro bahwa vitamin D dapat merangsang pembentukan AMP pada tubuh. (Hata
et al., 2008)
 Berdasarkan imunologi, pasien DA ditandai dengan ekspresi profil sitokin sel T-helper
(Th)-2 yang kuat. Lesi kulit DA menunjukkan infiltrat sel T yang jelas. Sel T tersebut
dapat menginduksi apoptosis keratinosit dan berpengaruh pada fungsi sawar kulit yang
dapat mengarah kepada infeksi lebih lanjut dan terjadinya komplikasi. Maka diperlukan
Pemberian vitamin D oral untuk memberikan reaksi dalam menurunkan ekspresi sitokin
Th-2 dengan dijumpainya peningkatan vitamin D pada serum.
 Vitamin D dapat meningkatkan produksi cathelicidin (peptida antimikroba) merupakan
peran lebih jauh dari vitamin D dan dermatitis atopik. Pasien dermatitis atopik memiliki
kadar cathelicidin lebih rendah dibandingkan pasien psoriasis. Kadar cathelicidin yang
rendah pada pasien dermatitis atopik menyebabkan hilangnya aktivitas antibakteri
penurunan respons imun yang sangat penting untuk melawan bakteri sehingga pasien
dermatitis atopik mudah terinfeksi bakteri, salah satunya yakni Staphylococcus aureus.
Perubahan fisik sawar kulit dan peran peptide antimikroba pada kulit pasien DA
memberikan lingkungan yang nyaman untuk pertumbuhan bakteri dibandingkan kulit
normal, dan hal ini merupakan salah satu faktor terjadinya disbiosis pada pasien DA.

 Peningkatan koloni Staphylococcus aureus disebabkan oleh berbagai faktor, defek fungsi
sawar kulit, disfungsi fisik sawar kulit pada DA akibat perubahan regulasi filagrin (FLG)
dan involukrin, defisiensi lipid (kolesterol, asam lemak bebas, seramid), peningkatan
hilangnya air melalui kulit, dan aktivitas enzim proteolitik, peningkatan pH permukaan
kulit, lebih memudahkan bakteri dalam penetrasi kulit dan membentuk kolonisasi.
Ekspresi fibrinogen dan fibronektin akan meningkat pada keratinosit pasien DA dan
secara langsung akan berikatan dengan Staphylococcus aureus secara in vitro.

 Vitamin D merupakan vitamin larut dalam lemak yang utamanya dihasilkan oleh kulit.
Saat terjadi paparan radiasi sinar ultraviolet B (UVB), 7-dehydrocholesterol akan diubah
menjadi vitamin D3 (cholecalciferol). Vitamin D juga dapat ditemukan dalam makanan
dan suplemen seperti vitamin D2 (ergocalciferol) atau vitamin D3. Kulit tidak dapat
mengasilkan vitamin D2.

 Dalam hati, vitamin D2 dan D3 akan dihidroksilasi oleh enzim 25-hydroxylase menjadi
25- hydroxylasevitamin D atau calcidiol [25(OH)D]. Pada tubulus ginjal, 25(OH)D
dihidroksilasi oleh enzim 1-hydroxylase (CYP27B1) menjadi 1,25 dihydroxyvitamin D
atau calcitriol [1,25(OH)2D] yang merupakan bentuk aktif dari vitamin D serta berikatan
dengan reseptor vitamin D (RVD) di nukleus jaringan target. Reseptor vitamin D
diekspresikan lebih dari 30 jaringan dan organ. Selain itu, enzim 1-hydroxylase juga
diekspresikan oleh organ selain ginjal (ekstra renal), termasuk saluran cerna, kulit,
pembuluh darah, sel epitel payudara, osteoblas dan osteoklas.

 Calcidiol atau 25(OH)D dalam serum perlu diukur untuk menentukan kadar vitamin D
secara keseluruhan. Dalam sirkulasi, calsidiol merupakan bentuk biologi inaktif dari
vitamin D, dimana memilki waktu paruh 2-3 minggu dan kadarnya 1000 kali lipat lebih
banyak dibandingkan 1,25(OH)2D. Lebih dari 95% 25(OH)D yang diukur dalam serum
merupakan 25(OH)D3.

 Paparan sinar ultraviolet B (UVB) dengan panjang gelombang antara 290 dan 320 nm,
akan merubah prekursor vitamin D 7-dehydrocholesterol yang terletak pada membran
keratinosit lapisan basal dan spinosum epidermis menjadi previtamin D3 atau
cholecalciferol, yang kemudian segera diubah menjadi vitamin D3 dalam proses heat-
dependent. Sumber panas dari paparan sinar matahari yang berlebihan tidak
menyebabkan overdosis vitamin D3 karena konversi previtamin D3 menjadi fotoproduk
yang tidak aktif seperti lumisterol3 dan tachisterol3 serta konversi vitamin D3 ke
isomernya di kulit yaitu 5,6-trans vitamin D3, suprasterol I, suprasterol II yang diduga
memiliki efek kalsemik rendah pada konsentrasi fisiologis. Selain itu diketahui bahwa
produksi vitamin D akan berhenti di bawah 260 nm dan di atas 320 nm. Kedua bentuk
vitamin D (D3 dan D2) tidak aktif secara biologis dan memerlukan aktivasi di hati dan
kemudian ginjal. Setelah mengikat protein pembawa, vitamin D diangkut ke hati,
kemudian secara enzimatik dihidroksilasi menjadi 25- hydroxyvitamin D (25[OH]D)
oleh enzim CYP27A1 dan CYP2R1 yang merupakan bentuk sirkulasi utama vitamin D.
25-hydroxyvitamin D kemudian diubah menjadi bentuk aktif 1,25-dihydroxyvitamin D
(1,25[OH]2D) atau kalsitriol dalam ginjal oleh enzim 1α-hydroxylase (CYP27B1).

Anda mungkin juga menyukai