Anda di halaman 1dari 40

MAKALAH KORUPSI, KOLUSI,

NEPOTISME, DAN SUAP


(KKNS)

Disusun oleh :
Nurul Sakinah : 11221057
S1 KEPERAWATAN
STIKES PERTAMEDIKA
TA : 2022 / 2023

Jl. Bintaro Raya No.10, RT.4/RW.10, Tanah Kusir, Kby. Lama Utara, Kec. Kby. Lama,
Kota Jakarta Selatan, Daerah Khusus Ibukota Jakarta 12240
KATA PENGANTAR

Puja dan puji syukur kami panjatkan atas kehadiran Allah SWT atas kehadirat-
Nya yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah sehingga saya dapat menyelesaikan
tugas makalah ini dengan tepat waktu dan maksimal. Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Agama. Adapun topik yang dibahas dalam makalah ini
adalah “ Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap ”.

Saya sebagai penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu dalam penyusunan makalah sehingga memperlancar pembuatan makalah ini,
khususnya teruntuk Drs. Nizom Zaini, M.Pd.I yang telah membimbing saya, untuk orang
tua yang mendukung tersajinya makalah ini dan teman-teman yang telah berkontribusi
dengan mendukung secara moral untuk sempurna. Saya berharap semoga makalah ini
dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membaca makalah dan dapat mengetahui
tentang Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap. Saya mohon maaf apabila makalah ini
mempunyai banyak kekurangan dikarenakan keterbatasan kami yang masih dalam tahap
pembelajaran. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca yang sifatnya membangun,
sangat diharapkan oleh saya dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga makalah
sederhana ini bermanfaat bagi pembaca maupun saya. Atas perhatiannya saya ucapkan
terima kasih.

Jakarta, 18 April 2023

Nurul Sakinah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i

DAFTAR ISI .....................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................................. 1

1.1 Latar Belakang ......................................................................................................... 1

1.2 Tujuan ...................................................................................................................... 2

1.3 Sistematika Penulisan .............................................................................................. 2

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................. 3

2.1 Pengertian Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap ................................................ 3

2.2 Kriteria Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap ..................................................... 6

2.3 Dampak Negatif Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap ....................................... 9

2.4 Pandangan Al – Qur’an terhadap Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap .......... 11

2.5 Hukum Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap ................................................... 21

BAB III PENUTUP ........................................................................................................ 34

3.1 Kesimpulan .......................................................................................................... 34

3.2 Saran ..................................................................................................................... 35

Daftar Pustaka ................................................................................................................. 36

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Korupsi, kolusi dan nepotisme dapat menjatuhkan sebuah rezim dan bahkan
menyengsarakan suatu bangsa sebab korupsi merupakan suatu penyelewengan untuk
kepentingan pribadi, sedangkan kolusi merupakan suatu persekongkolan rahasia
untuk maksud dan tujuan yang tidak terpuji dan npotisme merupakan suatu
kecenderungan untuk mengutamakan sanak saudara sendiri dalam suatu jabatan
dilingkungan pemerintahan. Korupsi, kolusi dan nepotisme yang dipahami dari segi
agama Islam jelas menunjukkan bahwa hal tersebut merupakan suatu pelanggaran
hukun dalam arti merugikan orang lain, melanggar hak asasi manusia. Penyebab
terjadinya hal tersebut disebabkan rapuhnya kualitas moral.

Korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ketentuan peraturan


perundang-undangan yang mengatur tentang tindak pidana korupsi. Sedangkan
Kolusi adalah permufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antar
penyelenggara negara atau antara penyelenggara negara dan pihak lain yang
merugikan orang lain, masyarakat, dan atau negara. Sementara Nepotisme adalah
setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan hukum yang menguntungkan
kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas kepentingan masyarakat, bangsa,
dan negara.

Selain itu Suap atau penyuapan adalah tindakan memberikan uang, barang, atau
bentuk lain dari pembalasan dari pemberi suap kepada penerima suap yang dilakukan
untuk mengubah sikap penerima atas kepentingan atau minat si pemberi.
Berdasarkan pengertian menurut bahasa tersebut di atas, dapat disimpulkan, bahwa
korupsi, kolusi, nepotisme dan suap (KKNS) adalah mencerminkan tingkah laku,
baik dilakukan sendiri atau bersama-sama yang berhubungan dengan dunia
pemerintahan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

1
1.2 Tujuan

Adapun tujuan dari pembuatan makalah ini adalah :


1. Untuk mengetahui pengertian dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap
(KKNS)
2. Untuk mengetahui kriteria dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap (KKNS)
3. Untuk mengetahui dampak dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap (KKNS)
4. Untuk mengetahui pandangan al-qur’an terhadap Korupsi, Kolusi, Nepotisme,
Dan Suap (KKNS)
5. Untuk mengetahui hukum Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap (KKNS)

1.3 Sistematika Penulisan

BAB 1 PENDAHULUAN
Pada BAB ini di uraikan tentang latar belakang, tujuan penulisan dari makalah, serta
sistematika penulisan.

BAB 2 PEMBAHASAN
Pada BAB ini diuraikan tentang sub pokok bahasan mengenai tentang pengertian
dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap (KKNS), kriteria dari Korupsi, Kolusi,
Nepotisme, Dan Suap (KKNS), dampak negative dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme,
Dan Suap (KKNS), pandangan al qur’an dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap
(KKNS), serta hukum dari Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap (KKNS).

BAB 3 PENUTUP
Pada BAB ini diuraikan tentang hasil dari kesimpulan makalah dan memberikan
saran untuk makalah yang dibuat ini agar makalah selanjutnya dapat menghasilkan
yang lebih baik dari sebelumnya.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap

Kata korupsi berasal dari bahasa Inggris, corruption, yang berarti penyelewengan
atau penggelapan uang negara atau perusahaan dan sebagainya, untuk kepentingan
pribadi atau orang lain. Menurut Black’s Law Dictionary, Korupsi adalah perbuatan
yang secara sengaja dilakukan untuk mencari keuntungan baik untuk dirinya sendiri
maupun orang lain dengan cara yang salah. Dari sudut pandang hukum, tindak pidana
korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur sebagai berikut : perbuatan
melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana,
memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara
atau perekonomian negara. 1

Kata kolusi berasal dari bahasa Inggris, collution, yang berarti kerja sama rahasia
untuk maksud tidak terpuji atau persekongkolan. Kolusi merupakan sikap dan
perbuatan tidak jujur dengan membuat kesepakatan secara tersembunyi dalam
melakukan kesepakatan perjanjian yang diwarnai dengan pemberian uang atau fasilitas
tertentu sebagai pelicin agar segala urusannya menjadi lancar. Di Indonesia, kolusi
sering terjadi dalam proyek pengadaan barang dan jasa tertentu (umumnya dilakukan
pemerintah).2

Kata nepotisme berasal dari bahasa Inggris, artinya kecenderungan untuk


mengutamakan (menguntungkan) sanak saudara sendiri, terutama dalam jabatan,
pangkat di lingkungan pemerintah, atau tindakan memilih kerabat atau sanak saudara
sendiri untuk memegang pemerintahan. 3 Sedangkan suap dalam bahasa Arab disebut

1
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Cet. IV; Jakarta, Balai Pustaka, 1995)
h.527
2 Ibid., h.514
3 Ibid., h.687

3
“risywah”, yaitu apa yang diberikan untuk membenarkan yang batil, atau membatilkan
yang hak. 4

Berdasarkan pengertian menurut bahasa tersebut di atas, dapat disimpulkan,


bahwa korupsi, kolusi, nepotisme dan suap (KKNS) adalah mencerminkan tingkah
laku, baik dilakukan sendiri atau bersama-sama yang berhubungan dengan dunia
pemerintahan yang merugikan rakyat, bangsa dan negara.

Pengertian korupsi, kolusi, nepotisme dan suap menurut terminologis dapat


ditelaah dari pendapat para ahli berikut ini :
1. Menurut JW. Schoorl, korupsi adalah penggunaan kekuasaan negara untuk
memperoleh penghasilan, keuntungan atau prestise perorangan, atau untuk
memberi keuntungan bagi sekelompok orang atau suatu kelas sosial dengan cara
yang bertentangan dengan Undang-Undang atau dengan norma akhlak yang
tinggi. 5

2. Menurut Robert Klitgard, korupsi adalah tingkah laku yang menyimpang dari
tugas-tugas resmi sebuah jabatan negara, karena keuntungan status, atau uang
yang menyangkut pribadi (perorangan, keluarga dekat, kelompok sendiri) atau
melanggar aturan-aturan pelaksanaan beberapa tingkah laku pribadi. 6
Dengan
demikian, korupsi merupakan tindakan penyalahgunaan wewenang untuk
kepentingan pribadi, golongan atau kroninya.

3. Tentang kolusi, menurut Teten Masduki, Koordinator ICW (Indonesia Corruption


Watch) mengatakan bahwa kolusi adalah suatu sarana atau cara untuk melakukan
korupsi.7 Sedangkan menurut pasal 1 ayat 4 Undang-Undang RI Nomor 28 tahun
1999, kolusi adalah pemufakatan atau kerja sama secara melawan hukum antara

4 Majma’ al-Lughah al-Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Jilid I (Cet. II; Mishr: Dar al-Ma’arif, 1392 H/1972 M), h. 348.
5 JW. Schoorl, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-Negara Sedang Berkembang, (Jakarta:
Gramedia, 1980), h. 175.
6 Robert Klitgard, Membasmi Korupsi, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1998), h. 31.
7 Teten Masduki, Republika, Rabu, 10 Mei 2000, h.16.

4
penyelenggara negara, atau dengan pihak lain yang merugikan orang lain,
masyarakat, bangsa dan negara.

4. Sedangkan menurut JW. Schoolr, nepotisme adalah praktek seorang pegawai


negeri yang mengangkat seorang atau lebih dari keluarga dekat nya menjadi
pegawai pemerintah atau memberi perlakuan yang istimewa kepada mereka
dengan maksud untuk menjunjung nama keluarga, untuk menambah penghasilan
keluarga, atau untuk membantu menegakkan suatu organisasi politik, sedang ia
seharusnya mengabdi kepada kepentingan umum. 8

5. Sedangkan menurut Sayed Husen al-Athas, nepotisme adalah pengangkatan sanak


saudara, teman-teman atau rekan - rekan politik pada jabatan - jabatan publik
tanpa memandang jasa mereka maupun konsekuensinya pada kesejahteraan
publik.9

Sejalan uraian di atas, menurut pasal 1 ayat 5 Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun


1999, nepotisme adalah setiap perbuatan penyelenggara negara secara melawan
hukum yang menguntungkan kepentingan keluarganya dan atau kroninya di atas
kepentingan masyarakat, bangsa dan negara. Menurut MUI, bahwa suap (risywah)
adalah pemberian yang diberikan oleh seseorang kepada orang lain (pejabat) dengan
maksud meluluskan suatu perbuatan yang batil (tidak benar menurut syari’ah) atau
membatalkan perbuatan hak ( ‫الر ْشوة ُ مایُح قِِّ ُق ْالباطِ ل أ ْو یُبْطِ ُل اْلحق‬
ِ ).
10

Dari uraian di atas, dapat dikemukakan, bahwa korupsi, kolusi, nepotisme dan suap,
adalah tindakan atau perbuatan memanfaatkan jabatan atau kedudukan untuk
mendapatkan keuntungan, baik material atau prestise bagi pribadi atau keluarga, atau
kelompok, tanpa melihat kapabilitas, profesionalitas dan moralitas, dengan jalan
melanggar ketentuan-ketentuan yang ada, yang mana akibatnya merugikan orang lain,
masyarakat, bangsa dan negara.

8 JW. Schoorl, op.cit., h. 175.


9 AL -Athas, Sosiologi Korupsi, Sebuah Penjelajahan dengan Data Kontemporer, (Cet. IV; Jakarta: LP3ES, 1986), h.11
10 Departemen Agama RI, Himpunan Fatwa MUI, (Jakarta: Proyek Sarana dan Prasarana Produk Halal, 2003).

5
2.2 Kriteria Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap

Di antara kriteria Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap adalah sebagai berikut :
1. Penyalahgunaan wewenang untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok.

2. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk pengeluaran fiktif dan


manipulasi harga pembelian atau kontrak.

3. Menerima suap untuk memenangkan yang batil.

Sedangkan penyebab atau sumber korupsi, kolusi, nepotisme dan suap tersebut antara
lain sebagai berikut :
1. Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang. Hal ini menyangkut harga,
kualitas dan komisi.

2. Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan
penyelundupan administratif.

3. Perpajakan yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan pemeriksaan


pajak.

4. Pemberian izin usaha, dalam bentuk penyelewengan komisi dan serta pungutan
liar, atau suap.

5. Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan


jasa serta pungutan liar, atau suap.11

Berdasarkan apa yang disebutkan di atas, maka kriteria korupsi, dapat


diformulasikan sebagai suatu tindakan berupa penyelewengan hak, kedudukan,
wewenang atau jabatan yang dilakukan untuk mengutamakan kepentingan dan

11
Athas, op.cit., h.

6
keuntungan pribadi, menyalahgunakan atau mengkhianati amanat rakyat dan bangsa,
memperturutkan hawa nafsu serakah untuk memperkaya diri dan mengabaikan
kepentingan umum.

Kriteria kebijakan atau tindakan, apakah itu nepotisme atau tidak, memang tidak
selalu harus dilihat dari perspektif ada tidaknya hubungan darah atau kekerabatan
seseorang dengan pihak tertentu. Islam memberikan petunjuk mengenai pemilihan
dan pengangkatan seseorang untuk mejabat suatu kedudukan atas dasar
pertimbangan kapabilitas (kemampuan dan rasa tanggung jawab), profesionalitas
(keahlian) dan moralitas (al-Akhlaq al-Karimah).12

Jadi, seorang keluarga dekat dapat saja diangkat untuk jabatan tertentu, jika ia
mempunyai kemampuan dan keahlian serta akhlak yang terpuji di mata masyarakat.
Ketiga kriteria yang telah disebutkan yaitu, kapabilitas, profesionalitas dan moralitas
dibenarkan oleh Islam sebagaimana disebutkan dalam QS. Thaha: 29-34, berkenaan
dengan pengangkatan Harun saudara kandung Nabi Musa menjadi Nabi untuk
mendampinginya dalam mengemban Risalah Kenabian :

ْ ‫( ا ْشدُدْ بِه ا ْز ِر‬٣٠) ‫( ٰه ُر ْون اخِ ى‬٢٩) ‫وا جْع ْل ِلِّ ْي و ِزی ًْرا ِ ِّم ْن ا ْه ِل ْي‬
ْ ‫( وا ْش ِر ْكهُ فِ ْي ا ْم ِر‬٣١) ‫ي‬
(٣٢) ‫ي‬

(٣٤) ‫( ونذْ ُكرك كثِي ًْرا‬٣٣) ‫ك ْي نُسبِِّحك كثِي ًْرا‬

“Dan jadikanlah untukku seorang pembantu dari keluargaku, (yaitu) Harun,


saudaraku. Teguhkanlah dengan dia kekuatanku dan jadikanlah dia sekutuku dalam
urusanku, supaya kami banyak bertasbih kepada engkau, dan banyak mengingat
engkau.“

Dalam ayat di atas diungkapkan permintaan Nabi Musa as kepada Allah agar
Harun (saudara Musa) diangkat menjadi juru bahasa Musa dalam berdakwah. Hal itu
dijelaskan juga dalam QS. Al-Qasas 28: Ayat 34 :

12 Athas, op.cit., h.

7
ُ ‫وا خِ ْي ٰه ُر ْو ُن هُو ا ْفص ُح مِ ِنِّ ْي لِسا نًا فا ْرس ِْلهُ معِي ِردْا ً یُّص ِدِّقُنِ ْي ۖ اِ ِنِّ ْي اخا‬
(٣٤) ‫ف ا ْن یُّك ِذِّب ُْو ِن‬

"Dan saudaraku Harun, dia lebih fasih lidahnya daripada aku, maka utuslah dia
bersamaku sebagai pembantuku untuk membenarkan (perkataan)ku; sungguh, aku
takut mereka akan mendustakanku." (QS. Al-Qasas 28: Ayat 34).13

Selain kriteria yang telah disebutkan di atas, seseorang yang diangkat menduduki
jabatan tertentu meskipun ia dari kerabat dekat, juga ia harus mempunyai integritas
pribadi dan kredibilitas yang tinggi. kireteria korupsi secara umum adslah umumnya
tindak korupsi dilakukaan secara berkelompok atau melibatkan lebih dari satu orang
pelaku, pada umumnya bersifat rahasia, tertutup terutama motif yang
melatarbelakangi perbuatan korupsi tersebut.

Sedangkan kriteria kolusi adalah terjadinya proses tindakan tawar-menawar


kepentingan demi keuntungan, kerja sama tersembunyi dan penuh materi, manipulasi
prosedur birokrasi, pemaksaan keputusan atau kebijakan (pemerintah, perusahaan,
swasta atau masyarakat) secara sturuktural, misalnya melalui surat sakti, pemberian
ancaman dan kekerasan terhadap bawahan jika tidak meloloskan kepentingan atasan,
monopoli penafsiran konstitusi demi sukses dan langgengnya kepentingan
pengawetan orang-orang dekat untuk tetap menjabat dan menjabat demi keuntungan
lingkaran/kelompok kepentingan, pemanfaatan jaringan birokrasi struktural untuk
menegerukan kekayaan secara tidak sehat dan menyalahi prosedur yang berlaku
(seperti tender fiktif atau tidak transparan)14

Begitu pula nepotisme seperti halnya korupsi dan kolusi, kriterianya adalah
menggunakan dalam jaringan kekuasaan dan bisnis yang tidak sehat. Tujuan
Nepotisme mengawetkan atau dalam batas-batas tertentu memaksakan kehendak
dan kepentingan untuk tetap merajal kekuasaan (politik) dan penguasaan ekonomi
(bisnis) sehingga salah satu dampaknya adalah praktek monopoli dan brokensasi

13 (QS. Al-Qasas 28: Ayat 34).


14 Faturrahman Djamil, Korupsi, Kolusi, Nepotisme Dalam Perspektif Hukum Islam dan Moral Islam, (Jakarta: al-
Hikmah dan Ditbin Bapera Islam, 1999), h. 65.

8
yang diminati oleh keluarga atau orang-orang dekat tertentu, selain itu Umumnya,
pemimpinnya tidak kompeten, sehingga membutuhkan dukungan dari sanak
saudara di instansinya tersebut.15

Sedangkan kriteria suap adalah memberikan suap kepada hakim atau pejabat
dengan maksud untuk mendapatkan milik atau harta orang lain dengan cara yang
batil, atau untuk mendapatkan suatu pekerjaan atau jabatan, padahal tidak memenuhi
syarat atau kriteria yang diperlukan dengan cara menyogok. Selain itu kireteria suap
adalah penawaran, janji, atau pemberian sesuatu untuk mempengaruhi pejabat
berwenang termasuk ciri khas suap.

2.3 Dampak Negatif Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap

Dampak negatif Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap sebagai fenomena sosial,
dapat membahayakan kehidupan masyarakat, karena dampak negatifnya sangat luas
dan terasa sekali dalam kehidupan mereka. Adapun dampak negatif dari Korupsi,
Kolusi, Nepotisme dan Suap antara lain sebagai berikut :

1. Menghancurkan wibawa hukum. Orang yang salah dapat lolos dari hukuman,
sedangkan yang belum jelas kesalahannya dapat meringkuk dalam tahanan.
Pencuri ayam lebih berat hukumannya dari pada pencuri uang rakyat (koruptor)
yang merugikan negara dan masyarakat, karena dia memiliki uang yang banyak
untuk menyuap.

2. Menurunnya etos kerja. Para pemimpin dan pejabat yang mangkal dipemerintahan
adalah mereka yang tidak mempunyai etos kerja yang baik, sehingga
mengakibatkan menurunnya etos kerja. Bagi mereka uang segala-galanya.

3. Menurunnya kualitas. Seorang pandai dapat tersingkirkan oleh orang yang bodoh
tetapi berkantong tebal (berduit). Seorang profesional dapat terdepak oleh mereka

15 Ibid

9
yang belum berpengalaman tetapi berbacking kuat, karena nepotisme dan banyak
duit.

4. Kesenjangan sosial dan ekonomi. Karena uang negara hanya beredar dikalangan
kelas elit dari para konglomerat, yang berakibat tidak terdistribusikannya uang
secara merata, maka lahirlah fenomena di atas. Pemimpin dan pejabat yang naik
kursi karena Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap berlaku congkak dan secara
kontinyu memeras uang rakyat, sehingga membuat kesenjangan dalam sosial dan
ekonomi makin menajam.16

Jadi Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap itu dapat merusak akhlak dan moral
bangsa, mengacaukan sistem perekonomian dan hukum, menggerogoti kesejahteraan
rakyat dan menghambat pelaksanaan pembangunan, menimbulkan madharat bagi
orang lain, menghilangkan berkah dalam hidup dan kehidupan, juga dapat menyeret
pelakunya ke dalam neraka, karena Rasulullah SAW telah bersabda :

(‫ )رواه الطبرانى وأبو نعيم عن أبى بكر‬.‫ار أ ْو لى ِب ِھ‬ ُ ‫ُك ُّل جسد نبت مِ ْن‬
ُ ‫سحْت فالن‬

Setiap jasad yang tumbuh dari sesuatu yang haram, maka api neraka lebih layak
baginya’.(HR. Al-Thabrany dan Abu Nu’aim dari Abu Bakar).17

Bahkan doanya tidak diterima oleh Allah SWT, karena apa yang ia makan, minum
dan pakai berasal dari yang tidak halal. Anak-anak yang diberi makan dan minum
dari hasil KKNS sulit dididik menjadi anak yang saleh, beribadat kepada Allah dan
berbakti kepda kedua orang tua. Anak-anak seperti itu cenderung melanggar ajaran
agama, misalnya, mengkonsumsi obat-obatan terlarang (Narkoba), mencuri, menipu,
main judi dan lain-lain. Hal ini disebabkan, karena anak-anak tersebut dibesarkan
dari uang hasil Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap yang jelas dilarang oleh Allah,
dalam Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 188, surah Ali ‘Imran ayat 161, surah al-

16
al-Suyüti, al-Jãmi’u al-Saghîr, Jilid II, h.92
17 al-Suyüti, al-Jãmi’u al-Saghîr, Jilid II, h.92

10
Nisa’ 29 yang telah diuraikan sebelumnya dan ayat-ayat selainnya yang berkenaan
dengan masalah ini.

2.4 Pandangan Al – Qur’an terhadap Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap

Adapun ayat-ayat yang berkenaan dengan masalah-masalah Korupsi, Kolusi,


Nepotisme dan Suap antara lain :
1. QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188

‫ول تأ ْ ُكلُ ْوا ا ْموا لـ ُك ْم بيْن ُك ْم بِا ْلبا طِ ِل وتُدْلُ ْوا بِھا اِلى ْال ُحـک ِام لِتأ ْ ُکلُ ْوا ف ِر ْیقًا ِ ِّم ْن ا ْموا ِل النا ِس بِا ْ ِل ثْ ِم وا ْنـت ُ ْم‬
(١٨٨) ‫ت ْعل ُم ْون‬

wa laa ta-kuluuu amwaalakum bainakum bil-baathili wa tudluu bihaaa ilal-hukkaami


lita-kuluu fariiqom min amwaalin-naasi bil-ismi wa angtum ta'lamuun

"Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan
(janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim dengan maksud agar
kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu
mengetahui." (QS. Al-Baqarah 2: Ayat 188).18

2. (QS. Ali 'Imran 3: Ayat 161)

‫ت وهُ ْم ل‬ ِ ْ‫ي ا ْن یغُل ۖ وم ْن ی ْغلُ ْل یأ‬


ْ ‫ت بِما غل ی ْوم ْال ِق ٰيم ِة ۖ ثُم تُوفّٰى ُك ُّل ن ْفس ما كسب‬ ِّ ِ‫وما كا ن لِنب‬
ْ ‫ی‬
(١٦١) ‫ُظل ُم ْون‬

wa maa kaana linabiyyin ay yaghull, wa may yaghlul ya-ti bimaa gholla yaumal-
qiyaamah, summa tuwaffaa kullu nafsim maa kasabat wa hum laa yuzhlamuun

18
Al-Qur’an Indonesia

11
"Dan tidak mungkin seorang nabi berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang).
Barangsiapa berkhianat, niscaya pada hari Kiamat dia akan datang membawa apa
yang dikhianatkannya itu. Kemudian setiap orang akan diberi balasan yang sempurna
sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak dizalimi." (QS. Ali 'Imran 3:
Ayat 161).

Makna kosa kata dari kedua ayat di atas dapat dijelaskan sebagai berikut: Kata
“Tudlu” (‫ تدلوا‬,(diambil dari kata “dalwun”, (‫( دلو‬yang berarti ember. Maksudnya,
adalah mengulurkan ember ke dalam sumur untuk memperoleh air.14 Di dalam al-
Qur’an kata itu misalnya terdapat dalam surah Yusuf (12): 19, yaitu satu kafilah yang
singgah di tempat itu mengulurkan embernya ke dalam sebuah sumur untuk
memperoleh air, tetapi yang diperolehnya adalah seorang anak laki-laki, yang kelak
menjadi Nabi, yaitu Nabi Yusuf.

Dalam surah al-Baqarah (2): 188, umat yang beriman dilarang oleh Allah
memperoleh harta benda secara tidak sah, di antaranya, yang ditekankan sekali
adalah memberi sogokan kepada hakim agar hakim menjatuhkan putusan yang
menguntungkannya sehingga milik orang lain jatuh menjadi miliknya. Penggunaan
kata tudlu ini mengisyaratkan rendahnya martabat hakim yang mau menerima
sogokan, seakan ia berada di dasar sumur menanti uluran dari atas.19

Kata “al-Bathil” (‫( الباطل‬adalah “isim fa’il” dari kata kerja “bathala” yang berarti
hilang, rusak, rugi, batal dan batil, menunjukkan sifat suatu, orang atau pekerjaan,
atau barang, artinya adalah yang batil, yang hilang, yang rusak, atau yang rugi. Dari
makna-makna tersebut dapat dikemukakan, bahwa “al-Bathil” adalah suatu
perbuatan, atau cara yang dilakukan oleh seseorang, yang tidak mengikuti aturan atau
hukum yang telah ditentukan oleh agama Islam, seperti melakukan korupsi, kolusi,
suap, riba dan lain-lain, baik untuk kepentingan perorangan, keluarga, maupun untuk
kelompok, yang dapat menghilangkan hak orang lain, atau dapat mendatangkan

19
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Tafsirnya, (Edisi yang disempurnakan, Cet. I; Jakarta: Balitbang Agama,
1425 H/2004 M), h. 238.

12
kerugian, bagi masyarakat atau negara. Jadi, korupsi, kolusi, nepotisme dan suap
tercakup dalam makna al-bathil tersebut.20

Kata “Yaghlul” (‫( یغلل‬kata dasarnya adalah “al-ghall”, yang berarti curang, atau
mengambil sesuatu dengan cara sembunyi-sembunyi. Asalnya terambil dari kata
agalla al-jazir, ketika tukang daging menguliti binatang sembelihan, dia mencuri
daging dari binatang tersebut dan menyembunyi-kannya disela-sela kulit yang
dilipatnya. Dari kata ini muncul ungkapan “ al- gillu fi al-shudur” artinya
menyembunyikan kebenaran di hati. Pengkhianatan dengan cara mengambil harta
rampasan perang disebut al-ghulul 21

Tafsir ayat 188 al-Baqarah


Sebab turunnya ayat 188 al-Baqarah ini ialah bahwa Ibnu Asywa al-Hadhramy
dan Imri’i al Qais terlibat dalam suatu perkara soal tanah yang masing-masing tidak
dapat memberikan bukti. Maka Rasulullah saw menyuruh Imri’i al-Qais (sebagai
terdakwa yang ingkar) agar bersumpah. Tatkala Imri’il Qais hendak melaksanakan
sumpah, turunlah ayat ini.22

Tafsir ayat 188 surat al-Baqarah dijelaskan oleh al-Qurthubi, bahwa dalam ayat
188 al- Baqarah tersebut Allah melarang untuk makan harta orang lain dengan jalan
yang batil. Termasuk dalam larangan ini adalah larangan makan hasil judi, tipuan,
rampasan dan paksaan untuk mengambil hak orang lain, yang tidak atas kerelaan
pemiliknya, atau yang diharamkan oleh Syari’at meskipun atas kerelaan pemiliknya,
seperti pemberian/imbalan dalam perbuatan zina, atau perbuatan zalim, hasil tenung,
harga minuman yang memabukkan (miras) harga penjualan babi, dan lain-lain.23

20
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, h.61
21
Majma’ al-Lughah al-‘Arabiyah, al-Mu’jam al-Wasith, Jilid II, h. 659. Departemen Agama RI, al-Qur’an dan
Tafsirnya, h. 66
22 al-Qurthubi, al-Jami’ Li Ahkam al-Qur’an, Jilid II (t.t., t.p., 1372 H/1952 M), h. 337-378
23
Ibid., h. 338.

13
Selanjutnya al-Qurthubi mengatakan, bahwa orang yang mengambil harta orang
lain, yang tidak atas cara yang dibenarkan oleh syara’, maka ia telah memakannya
dengan cara yang batil. Termasuk dalam kategori memakan yang batil adalah qadhy
(hakim) memutuskan perkaramu sedangkan engkau mengetahui bahwa yang engkau
lakukan itu batil. Maka yang haram tidak menjadi halal karena putusan hakim, karena
ia memutuskan perkara berdasarkan yang zhahir (yang nampak). Hal ini sesuai
dengan Hadis Nabi SAW dari Ummu Salamah :

‫ ولعل بعضكم أن یكون الحن بحجتھ من بعض فأقضي لھ بنحو‬،‫إنما انا بشر وإنكم تختصمون إلى‬
‫ فليحملھا أو یذرها‬،‫فإنما أقطع لھ قطعة من النار‬،‫ فمن قضيت لھ من حق أخيھ شيئا یأخذه‬،‫ما أسمع‬.

"Sesungguhnya saya adalah manusia dan kamu datang membawa suatu perkara
untuk saya selesaikan. Barangkali di antara kamu ada yang lebih pintar berbicara
sehingga saya memenangkannya, berdasarkan alasan-alasan yang saya dengar. Maka
siapa yang mendapat keputusan hukum dari saya untuk memperoleh bagian dari harta
saudaranya (yang bukan haknya) kemudian ia mengambil harta itu, maka ini berarti
saya memberikan sepotong api neraka kepadanya, maka hendaklah ia membawanya
atau meninggalkannya. " (HR. Malik, Ahmad, al-Bukhary, Muslim dan lain-lain).24

Menurut al-Maraghi, bahwa larangan Allah agar “janganlah kamu memakan harta
di antara kamu”, maksudnya janganlah sebagian dari kamu memakan harta sebagian
yang lainnya, adalah mengingatkan bahwa menghormati harta orang lain selainmu
berarti menghormati dan menjaga hartamu. Sama halnya dengan merusak harta orang
selainmu adalah sebagai tindak pidana terhadap masyarakat (umat) yang engkau
adalah salah satu dari anggota masyarakat itu. 25
Selanjutnya menurut al-Maraghi,
bahwa banyak hal yang dilarang dalam ayat ini, antara lain : makan riba, karena riba
adalah memakan harta orang lain tanpa imbalan dari pemilik harta yang

24
Al-Qurtübi, al-Jãmi’ Li Ahkãm Al-Qur’an, h. 338. Lihat pula al-Suyüti, al-Jãmi’ al-Saghîr, Jilid I (Bairut- Libnan:
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, t.th.), h. 102
25 Al-Marãghy,Tafsir al-Marãghy,Jilid II (Cet. V;Musthafa al-Bãbi al-Halabi, 1394 H/ 1974 M), h. 81.

14
memberikannya. Juga termasuk yang dilarang adalah harta yang diberikan kepada
hakim (pejabat) sebagai suap dan lain-lain.26

Sedangkan menurut M. Quraish Shihab, bahwa makna ayat: “Janganlah kamu


memakan harta sebagian kamu antara kamu”, yakni janganlah memperoleh dan
menggunakannya. Harta yang dimiliki oleh si A hari ini, dapat menjadi milik si B
esok. Harta seharusnya memiliki fungsi sosial, sehingga sebagian di antara apa yang
dimiliki si A seharusnya dimiliki pula oleh si B, baik melalui zakat maupun sedekah.
Ketika si A menganggap harta yang dimiliki si B merupakan hartanya juga, maka ia
tidak akan merugikan si B, karena itu berarti merugikan dirinya sendiri.
Pengembangan harta tidak dapat terjadi kecuali dengan interaksi antara manusia
dengan manusia lain, dalam bentuk pertukaran dan bantu-membantu. Makna-makna
inilah yang antara lain dikandung oleh penggunaan kata antara kamu dalam firman-
Nya yang memulai uraian menyangkut perolehan harta. Kata antara juga
mengisyaratkan bahwa interaksi dalam perolehan harta terjadi antara dua pihak.
Harta seakan- akan berada di tengah dan kedua pihak berada pada posisi ujung yang
berhadapan.

Keuntungan atau kerugian dari interaksi itu, tidak boleh ditarik terlalu jauh oleh
masing-masing, sehingga salah satu pihak merugi, sedang pihak yang lain mendapat
keuntungan, sehingga bila demikian harta tidak lagi berada di tengah atau antara, dan
kedudukan kedua pihak tidak lagi seimbang. Perolehan yang tidak seimbang adalah
batil, dan yang batil adalah segala sesuatu yang tidak hak, tidak dibenarkan oleh
hukum, serta tidak sejalan dengan tuntunan ilahi walaupun dilakukan atas dasar
kerelaan yang berinteraksi.27

Selanjutnya dalam ayat 188 al-Baqarah tersebut, dijelaskan, bahwa Allah


melarang untuk menyuap hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian harta
orang lain dengan cara yang batil, seperti menyogok, sebagaimana dikatakan oleh M.
Quraish Shihab, bahwa salah satu yang terlarang dan sering dilakukan dalam

26 Lihat Al-Maragh, op.cit., h. 81.


27
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Jilid I (Cet. I; Ciputat: Lentera Hati, 2000), h. 387.

15
masyarakat, adalah menyogok (memberi suap). Dalam ayat ini diibaratkan dengan
perbuatan menurunkan timba ke dalam sumur untuk memperoleh air. Timba yang
turun tidak terlihat oleh orang lain, khususnya yang tidak berada di dekat sumur.
Penyogok menurunkan keinginannya kepada yang berwewenang memutuskan
sesuatu, tetapi secara sembunyi-sembunyi dan dengan tujuan mengambil sesuatu
secara tidak sah. Jangan kamu memakan harta di antara kamu dengan batil dan
menurunkan timbamu kepada hakim, yakni yang berwewenang memutuskan, dengan
tujuan memakan sebahagian dari harta orang lain itu dengan jalan berbuat dosa,
padahal kamu telah mengetahui buruknya perbuatan itu.

Sedangkan ulama memahami penutup ayat ini sebagai isyarat tentang bolehnya
memberi sesuatu kepada yang berwenang bila pemberian itu tidak bertujuan dosa,
tetapi bertujuan mengambil hak pemberi sendiri. Dalam hal ini, yang berdosa adalah
yang menerima bukan yang memberi. Demikian tulis al-Biqa’i dalam tafsirnya.
Menurut M.Quraish Shihab, bahwa isyarat yang dimaksud tidak jelas bahkan tidak
benar, walau ada ulama lain yang membenarkan ide tersebut seperti ash-Shan’ani
dalam buku hadisnya, “Subulus Salam”. Ayat di atas dapat juga bermakna, janganlah
sebagian kamu mengambil harta orang lain dan menguasainya tanpa hak, dan jangan
pula menyerahkan urusan harta kepada hakim yang berwewenang memutuskan
perkara bukan untuk tujuan memperoleh hak kalian, tetapi untuk mengambil hak
orang lain dengan melakukan dosa, dan dalam keadaan mengetahui bahwa kalian
sebenarnya tidak berhak.28

Sehubungan dengan penafsiran tersebut, Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Ali bin
Abi Thalhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas mengenai seseorang yang menguasai
harta kekayaan, namun tidak memiliki bukti kepemilikannya. Lalu dia memanipulasi
harta itu dan mengadukannya kepada hakim, sedang dia mengetahui, bahwa harta itu
bukan haknya dan dia juga mengetahui bahwa dirinya berdosa karena memakan
barang haram. Sebagian ulama salaf mengatakan, janganlah kamu mengadukan suatu
persoalan, sedang kamu mengetahui bahwa kamu berbuat zalim. Hal itu dilarang

28
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, h. 387-388

16
berdasarkan ayat dan Hadis riwayat Malik, Ahmad, al-Bukhary, Muslim dan selain
mereka dari Ummu Salamah sebagaimana telah disebutkan pada uraian sebelumnya.

Ayat dan hadis tersebut menunjukkan, bahwa ketetapan hakim tidak dapat
menghalalkan perkara haram yang berkarakter haram dan dia tidak mengharamkan
perkara halal yang berkarakter halal, karena dia hanya berpegang teguh kepada
zahirnya saja. Jika sesuai, maka itulah yang di-kehendaki dan jika tidak sesuai, maka
hakim tetap memperoleh pahala dan bagi yang menipu adalah dosanya. Oleh karena
itu, Allah berfirman : “Dan janganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan
batil...sedang kamu mengetahuinya,” yakni mengetahui kebatilan perkara yang kamu
sembunyikan di dalam alasan-alasan yang kamu ajukan.29

Berhubungan dengan ayat 188 al-Baqarah yang telah ditafsirkan di atas yang pada
intinya adalah mengharamkan pemilikkan harta dengan cara yang dilarang oleh
syari’at seperti menipu, korupsi, menyogok dan lain-lain, maka dalam ayat 29 dan
30 AN-Nisa disebutkan pula sebagai berikut :

‫ض ِم ْن ُك ْم ۗ َو ََل تَ ْقتُلُ ٰۤ ْوا‬


ٍ ‫ع ْن ت ََرا‬َ ‫ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل ت َأ ْ ُكلُ ٰۤ ْوا ا َ ْم َوا لَـ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِا ْلبَا طِ ِل ا َّ َِٰۤل ا َ ْن ت َ ُك ْونَ تِ َجا َرة‬
َ َ‫ص ِل ْي ِه نَا را ۗ َوكَا نَ ٰذلِك‬
‫علَى‬ ْ ُ‫ف ن‬ َ َ‫ظ ْلما ف‬
َ ‫س ْو‬ ُ ‫عد َْوا نا َّو‬ُ َ‫) َو َم ْن يَّ ْفعَ ْل ٰذلِك‬٢٩( ‫ّللا كَا نَ بِ ُك ْم َرحِ يْما‬ َ ٰ ‫س ُك ْم ۗ ا َِّن‬ َ ُ‫ا َ ْنـف‬
)٣٠( ‫ّللا يَ ِسيْرا‬
ِٰ
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka
sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu. Sesungguhnya
Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan barangsiapa berbuat demikian dengan
melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak akan memasukkannya ke dalam neraka.
Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. “

Dalam ayat 29 surah AN-Nisa tersebut Allah melarang dengan tegas untuk
mengambil harta orang lain dengan jalan yang batil, yaitu dengan cara yang dilarang
oleh agama Islam, seperti memakan, atau mengambil milik orang lain dengan cara

29
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Jilid I (t.t., Maktabah al-Tawfiqiyah, t.th.) h. 225.

17
melakukan korupsi, memakan riba, menyalahgunakan jabatan atau amanat untuk
memperoleh suap, menipu dan lain-lain, kecuali melalui perniagaan atas dasar
kerelaan bersama. Kemudian dalam ayat 30 AN-Nisa’ Allah memberi ancaman,
bahwa orang yang melanggar larangan tersebut akan dimasukkan ke dalam neraka.

Tafsir ayat 161 surah Ali ‘Imran


Menurut Ibnu Katsir, ayat 161 surah Ali ‘Imran yang mengatakan: ”Tidak
mungkin seorang Nabi berkhianat”, Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu Abbas,
dia berkata : Kaum muslimin kehilangan selimut beludru dalam perang Badar.
Mereka mengatakan, bahwa kemungkinan Rasulullah SAW telah mengambilnya.
Maka Allah menurunkan ayat ini (ayat 161 Ali ‘Imran), yaitu “tidak mungkin seorang
Nabi berkhianat”, yakni korupsi. Ini merupakan penyucian terhadap diri Nabi SAW
dari segala aspek pengkhianatan dalam menjalankan amanah, membagikan
ghanimah dan sebagainya.30

Ibnu Katsir mengatakan, bahwa Allah berfirman: “barang siapa berkhianat,


niscaya pada hari kiamat dia akan datang membawa apa yang dikhianatkannya itu.
Kemudian setiap akan diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang
dilakukannya dan mereka tidak dizalimi”. Ini merupakan larangan keras dan
ancaman yang tegas terhadap orang yang berkhianat (melakukan korupsi). Dalam
Hadis-Hadis Nabi SAW banyak pula menyebutkan larangan berkhianat (korupsi),
antara lain :

1. Diriwayatkan oleh Ahmad dari Abu Malik al-Asyjai, Nabi SAW bersabda

‫ط ُع أَ َحدَھُ َما مِ ْن‬ ِ ‫ أ َ ْو‬،‫ض‬


َ ‫فى الد َِّار فَيَ ْق‬ ِ ‫فى اْأل َ ْر‬ َ ‫الر ُجلَ ْي ِن َج‬
ِ ‫ار ْي ِن‬ ِ ‫ظ ُم ْالغُلُ ْو ِل ِع ْندَ هللاِ ذ َِراعٌ مِ نَ اْأل َ ْر‬
َّ َ‫ ت َِجد ُْو ن‬،‫ض‬ َ ‫أ َ ْع‬
‫ض ْينَ يَ ْو َم ْال ِقيَا َم ِة‬
ِ ‫سب ِْع أَ َر‬ َ ‫طعه‬
َ ‫ط َّوقَ ُه مِ ْن‬ َ َ‫ فَإِذَا ق‬،‫ب ِھ ذ َِراعا‬
ِ ِ‫صاح‬
َ ِ‫َحظ‬

"Korupsi yang paling besar menurut pandangan Allah ialah sejengkal tanah. Kamu
melihat dua orang yang tanahnya atau rumahnya berbatasan. Kemudian salah

30 Ibnu Kasîr, o.cit., h. 22

18
seorang dari keduanya mengambil sejengkal dari milik saudaranya itu. Maka jika dia
mengambilnya, akan dikalungkan kepadanya dari tujuh lapis bumi pada hari kiamat."

2. Diriwayatkan Imam Ahmad dari al-Mustawrid bin Syadad, Rasulullah saw


bersabda

ْ‫س لَ ُه خَا ِد ٌم فَ ْليُتَّ َخذ‬


َ ‫ أ َ ْو لَ ْي‬، ْ‫ت لَ ُه زَ ْو َجةٌ فَ ْليُزَ َّوج‬
ْ ‫س‬َ ‫ أ َ ْو لَ ْي‬،‫س لَ ُه َم ْن ِز َل فَ ْليُت َّ َخذْ َم ْن ِزَل‬
َ ‫ع َمال َولَ ْي‬ َ ‫ى لَنَ ا‬ َ ‫َم ْن ُو ل‬
‫غاٍل‬ َ ‫ش ْی ئا س َِوى ذَ ِلكَ فَ ُه َو‬ َ ‫اب‬
َ ‫ص‬ َ َ‫ َو َم ْن أ‬،‫س لَ ُه دَابَّةُ فَ ْليُت َّ َخذْ دَابَّة‬
َ ‫ أ َ ْو لَ ْي‬،‫خَا ِد َما‬

"Barang siapa diserahi suatu jabatan sedang dia tidak punya rumah, maka
berikanlah rumah untuknya, bila tidak punya isteri, maka kawinkanlah dia, bila
tidak punya pembantu, maka berilah dia pembantu dan bila dia tidak punya
kenderaan maka sediakanlah kenderaan untuknya. Barang siapa yang mengambil
sesuatu selain itu, maka dia adalah koruptor."

3. Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, al-Tirmidzi dan al-Hakim dari Abi Hurairah,
Rasulullah bersabda

‫ِي فِي اْل ُح ْك ِم‬


َ ‫الراشِي َواْل ُم ْرتَش‬
َّ ُ‫لَعَنَ هللا‬

“Allah mengutuk orang yang menyogok dan orang yang di sogok dalam
memutuskan perkara.”

4. Diriwayatkan oleh Abu Bakar bin Mardawaih dari Buraidah, Rasulullah bersabda

‫س ْب ِع ْينَ َخ ِر ْيفا َمايَ ْبلُ ُغ قَ ْع َرھَا َويُؤْ تَى بِ ْالغُلُ ْو ِل فَيُذَ ُّق َمعَ ُه ثُميُقَا ُل ِل َم ْن‬
َ ‫إِ َّن ْال َح َج َر يُ ْر مِ ى بِ ِه فِى َج َھنَّ َم فَيَ ْه ِوي‬
31
‫غ َّل يَ ْو َم اْل ِقيَا َمة‬ ِ ْ‫(و َم ْن يَ ْغلُ ْل ِيأ‬
َ ‫ت ِب َما‬ َ ‫ فَذَلِكَ قُ ْولُ ُه ت َ َع‬،‫ت ِب ِه‬
َ ‫الى‬ ِ ‫غ َّل ِب ِه ِإئ‬
َ

"Apabila sebuah batu yang dilemparkan ke dalam naraka jahanam, maka ia tidak
akan sampai ke dasarnya selama 70 musim gugur, kemudian didatangkan

31
Ibnu Kasir, op.cit. h.421

19
koruptor, lalu dilemparkan bersama barang hasil korupsinya. Dikatakan kepada
orang yang korup itu, bawa barangnya! Itulah yang dimaksud dengan firman
Allah: “Barang siapa yang berkhianat dalam harta rampasan perang), maka ia akan
datang pada hari kiamat dengan membawa barang yang dikhianatinya. "

Menurut Quraish Shihab, bahwa kata (‫ )يغل‬yagulla yang diterjemahkan di atas


dengan “berkhianat”, oleh sementara ulama dipahami dalam arti “bergegas
mengambil sesuatu yang berharga dari rampasan perang”. Karena itu, mereka
memahaminya terbatas pada rampasan perang. Tetapi bahasa menggunakan kata
tersebut dalam pengertian khianat secara umum, baik pengkhianatan dalam amanah
yang diserahkan masyarakat, maupun pribadi demi pribadi.32 Jadi menurut Quraish
Shihab, makna berkhianat dalam ayat 161 surah Ali ‘Imran tersebut, bukan hanya
berarti khianat pada harta rampasan perang, tetapi pengertiannya adalah khianat
secara umum. Orang berkhianat dalam peperangan dengan menyembunyikan harta
rampasan adalah sebagai koruptor menurut Hadis yang telah disebutkan di atas.

Dengan demikian, maka setiap orang yang berkhianat, seperti menyalahgunakan


jabatan, menerima suap untuk meluluskan yang batil, atau mengangkat keluarganya
untuk suatu jabatan, padahal keluarganya itu tidak kapabilitas, tidak profesional dan
tidak memiliki moral yang baik, semuanya itu tergolong khianat, yaitu khianat
kepada masyarakat dan negara. Orang yanng khianat bisa muncul dari pelaku
korupsi, kolusi, nepotisme atau pada pemberi suap dan orang yang disuap. Selain itu
terdapat pada ayat ayat yang berkaitan dengan korupsi ini terdapat pada Qs. al-
Māidah 5: 42

ْ ٰۤ
ِ ْ‫ِي بِا ْلفَت‬
‫ح اَ ْو‬ َ ‫ّللاُ اَ ْن يَّأت‬
ٰ ‫سى‬ ِ ُ ‫سا ِرع ُْونَ فِ ْي ِه ْم يَقُ ْولُ ْونَ نَ ْخ ٰشى ا َ ْن ت‬
َ َ‫ص ْيبَـنَا دَآئ َِرة ٌ ۗ فَع‬ َ ُّ‫ض ي‬ ٌ ‫َـرى الَّ ِذيْنَ فِ ْي قُلُ ْوبِ ِه ْم َّم َر‬
َ ‫فَت‬
َ َ ‫ع ٰلى َم ٰۤا ا‬
َ‫س ُّر ْوا فِ ٰۤ ْي ا َ ْنفُ ِس ِه ْم ٰندِمِ يْن‬ َ ‫ص ِب ُح ْوا‬ ْ ُ‫ا َ ْم ٍر ِم ْن ِع ْند ِٖه فَي‬

32 M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, h. 250-251

20
"Maka, kamu akan melihat orang-orang yang hatinya berpenyakit segera mendekati
mereka (Yahudi dan Nasrani), seraya berkata, "Kami takut akan mendapat bencana."
Mudah-mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada rasul-Nya), atau
sesuatu keputusan dari sisi-Nya, sehingga mereka menjadi menyesal terhadap apa
yang mereka rahasiakan dalam diri mereka." 33

2.5 Hukum Korupsi, Kolusi, Nepotisme, Dan Suap

Korupsi, Kolusi, Nepotisme, dan Suap (KKNS) menjadi salah satu masalah di
Indonesia yang belum terselesaikan. Dengan adanya TAP MPR - R.I. Nomor
XI/MPR/1999 tentang penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi,
kolusi, dan nepotisme, pemerintah kemudian menetapkan peraturan perundang -
undangan mengatur tindak kkns tersebut. Beberapa undang-undang tersebut yakni :
1. Undang- undang R.I. Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan halaman
negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme. Menimbang
yaitu :34
a. Penyelenggara negara mempunyai peran penting dalam mewujudkan cita-cita
perjuangan bangsa. Hal ini secara tegas dinyatakan dalam penjelasan undang-
undang dasar 1945 yang menyatakan bahwa yang sangat penting dalam
permintaan dan dalam hal hidupnya negara ialah semangat para penyelenggara
negara dan pemimpin pemerintahan. Dalam waktu lebih dari 30 (tiga puluh)
tahun, Penyelenggara negara tidak dapat menjalankan tugas dan fungsinya
secara optimal, sehingga penyelenggaraan negara tidak berjalan sebagaimana
mestinya.

Hal itu terjadi karena adanya pemusatan kekuasaan, wewenang, dan


tanggung jawab pada Presiden atau Mandataris Majelis Permusyawaratan
Rakyat Republik Indonesia. Di samping itu, masyarakat pun belum sepenuhnya
berperan serta dalam menjalankan fungsi kontrol sosial yang efektif terhadap
penyelenggaraan negara. Pemusatan kekuasaan, wewenang, dan tanggung

33 Al-Qur’an Indonesia
34
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999

21
jawab tersebut tidak hanya berdampak negatif di bidang politik, namun juga di
bidang ekonomi dan moneter, antara lain terjadinya praktek penyelenggaraan
negara yang lebih menguntungkan kelompok tertentu dan memberi peluang
terhadap tumbuhnya korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Tindak pidana korupsi, kolusi dan nepotisme tersebut tidak hanya


dilakukan oleh penyelenggara negara, antar penyelenggara negara, melainkan
juga penyelenggara negara dengan pihak lain seperti keluarga, kroni, dan para
pengusaha, sehingga merusak sendi - sendi kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara, serta membahayakan eksistensi negara. Dalam
rangka penyelamatan dan normalisasi kehidupan nasional sesuai tuntutan
reformasi diperlukan kesamaan visi, persepsi, dan misi dari seluruh
penyelenggara negara dan masyarakat. Kesamaan visi, persepsi, dan misi
tersebut harus sejalan dengan tuntutan hati nurani rakyat yang menghendaki
terwujudnya penyelenggara negara yang mampu menjalankan tugas dan
fungsinya secara sungguh-sungguh, penuh rasa tanggung jawab yang
dilaksanakan secara efektif, efisien, bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme,
sebagaimana diamanatkan oleh Ketatapan Majelis Permusyawaratan Rakyat
Republik ndonesia Nomor XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang
Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.

b. Undang-undang ini memuat tentang ketentuan yang berkaitan langsung atau


tidak langsung dengan penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi,
kolusi, dan nepotisme yang khusus ditujukan kepada para penyelenggara
negara dan pejabat lain yang memiliki fungsi strategis dalam kaitannya dengan
penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.35

35
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999

22
c. Undang-undang ini merupakan bagian atau sub-sistem dari peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan penegakan hukum terhadap
perbuatan korupsi, kolusi, dan nepotisme. Sasaran pokok undang-undang ini
adalah para penyelenggara negara yang meliputi penjabat negara pada
Lembaga Tertinggi Negara, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara,
Menteri, Gubernur, Hakim pejabat negara dan atau pejabat lain yang memiliki
fungsi strategis dalam kaitannya dengan penyelenggaraan negara sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

d. Untuk mewujudkan penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari


korupsi, kolusi, dan nepotisme, dalam undang-undang ini ditetapkan asas-asas
umum penyelenggaraan negara yang meliputi asas kepastian hukum, asas tertib
penyelenggaraan negara, asas kepentingan umum, asas keterbukaan, asas
proporsionalitas, asas profesionalitas, dan asas akuntabilitas.

e. Pengaturan tentang peran serta masyarakat dalam Undang-undang ini


dimaksud untuk memberdayakan masyarakat dalam rangka mewujudkan
penyelenggaraan negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan
nepotisme. Dengan hak dan kewajiban yang dimiliki, masyarakat diharapkan
dapat lebih bergairah melaksanakan kontrol sosial secara optimal terhadap
penyelenggaraan negara, dengan tetap menaati rambu-rambu hukum yang
berlaku.

f. Agar Undang-undang ini dapat mencapai sasaran secara efektif maka diatur
pembentukan Komisi Pemeriksa yang bertugas dan berwenang melakukan
pemeriksaan harta kekayaan pejabat negara sebelum, selama dan setelah
menjabat, termasuk meminta keterangan, baik dari mantan pejabat negara,
keluarga dan kroninya, maupun para pengusaha, dengan tetap memperhatikan
prinsip praduga tak bersalah dan hak-hak asasi manusia. Susunan keanggotaan
Komisi Pemeriksa terdiri atas unsur Pemerintah dan masyarakat mencermin
kan independensi atau kemandirian dari Lembaga ini.36

36 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999

23
g. Undang-undang ini mengatur pula kewajiban para penyelenggara negara,
antara lain mengumumkan dan melaporkan harta kekayaannya sebelum dan
setelah menjabat. Ketentuan tentang sanksi dalam undang-undang ini berlaku
bagi penyelenggara negara, masyarakat, dan komisi pemeriksa sebagai upaya
preventif dan represif serta berfungsi sebagai jaminan atas ditaatinya ketentuan
tentang asas-asas umum penyelenggaraan negara, hak dan kewajiban
Penyelenggara negara, dan ketentuan lainnya, sehingga dapat diharapkan
memperkuat norma kelembagaan, moralitas, individu dan sosial.37

2. Undang- undang R.I. nomor 31 tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana
korupsi peraturan pemerintah nomor 65 tahun 1999 tentang tata cara pemeriksaan
kekayaan penyelenggara negara.

3. Peraturan pemerintah nomor 66 tahun 1999 tentang persyaratan dan tata cara
Pengangkatan serta pemberhentian anggota komisi pemeriksa.

4. Peraturan pemerintah nomor 67 tahun 1999 tentang tata cara pemantauan dan
evaluasi pelaksanaan fungsi dan wewenang komisi pemeriksa.

5. Peraturan pemerintah nomor 68 tahun 1999 tentang tata cara pelaksanaan peran
serta masyarakat dalam penyelengaraan negara.

Tujuan pemerintah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28


tahun 1999 Tentang penyelenggara negara yang bersih dan bebas dari korupsi, kolusi,
dan nepotisme untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang bersih dari
tindakan penyelewengan kekuasaan dengan demikian, aparatur negara mampu
menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mesti nya dengan penuh tanggung jawab.

37 UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 28 TAHUN 1999

24
Selain itu kedudukan hukum korupsi, kolusi. nepotisme dan suap menurut
perfektik hukum islam korupsi, kolusi, nepotisme dan suap merupakan praktek yang
berhubungan dengan memakan harta orang lain dengan cara yang batil atau tidak
wajar dan kerja sama dalam perbuatan tercela serta penggunaan kekuasaan untuk
kepentingan pribadi, keluarga atau kelompok. Oleh karena itu, praktek korupsi,
kolusi, nepotisme dan suap hukumnya haram.

Keharaman Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap dapat ditinjau dari beberapa
aspek, antara lain sebagai adalah Perbuatan Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap
merupakan perbuatan curang dan penipuan yang secara langsung merugikan
keuangan negara dan masyarakat. Allah memberi peringatan agar menghindari
kecurangan dan penipuan sebagaimana disebutkan dalam Al- Qur’an surah Ali Imran
ayat 161. (Lihat pembahasan tentang pandangan Al-Qur’an terhadap Korupsi,
Kolusi, Nepotisme dan Suap).

Nabi Muhammad saw, telah menetapkan suatu peraturan, bahwa setiap kembali
dari peperangan, semua harta rampasan, baik yang kecil maupun yang besar
jumlahnya harus dilaporkan dan dikumpulkan dihadapan panglima perang, kemudian
Rasulullah SAW, membaginya sesuai dengan ketentuan bahwa 1/5 dari harta
rampasan itu untuk Allah, Rasul dan kerabatnya, anak yatim, orang miskin dan ibnu
sabil. Sedangkan sisanya 4/5 diberikan kepada mereka yang ikut perang.
Sebagaimana firman Allah dalam surah Al-Anfal ayat 41 : 38

‫سبِ ْي ِل ۗ ا ِْن‬َّ ‫س ْو ِل َو ِلذِى ْالقُ ْر ٰبى َوا ْليَ ٰتمٰ ى َوا ْل َمسٰ ِكي ِْن َوا ب ِْن ال‬ َّ ‫سهٗ َو ل‬
ُ ‫ِلر‬ ِ ٰ ِ ‫ش ْيءٍ فَا َ َّن‬
َ ‫ّلِل ُخ ُم‬ َ ‫غنِ ْمت ُ ْم ِم ْن‬ َ ‫َوا ْعلَ ُم ٰۤ ْوا اَنَّ َما‬
َ ‫ع ٰلى ُك ِل‬
‫ش ْيءٍ قَ ِدي ٌْر‬ َ ‫ع ٰلى‬
َ ُ‫ع ْب ِدنَا يَ ْو َم ْالفُ ْرقَا ِن يَ ْو َم ْالتَقَى ْال َج ْمعٰ ِن ۗ َوا ّٰلِل‬ َ ‫ّلِل َو َم ٰۤا ا َ ْنزَ ْلنَا‬
ِ ٰ ‫ُك ْنت ُ ْم ٰا َم ْنت ُ ْم بِا‬

"Dan ketahuilah, sesungguhnya segala yang kamu peroleh sebagai rampasan perang,
maka seperlima untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak yatim, orang miskin, dan
ibnu sabil, (demikian) jika kamu beriman kepada Allah dan kepada apa yang Kami
turunkan kepada hamba Kami (Muhammad) di hari Furqan, yaitu pada hari

38
Al-Qur’an Indonesia

25
bertemunya dua pasukan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. Al-Anfal 8:
Ayat 41).

Nabi Muhammad SAW tidak pernah menggunakan jabatan sebagai panglima


perang untuk mengambil harta rampasan di luar dari ketentuan ayat itu. Ayat 161
surah Ali ‘Imran yang telah disebutkan sebelumnya mengandung pengertian, bahwa
setiap perbuatan curang dan khianat seperti Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap
akan diberi hukuman yang setimpal kelak di akhirat. Hal ini memberi peringatan agar
setiap pejabat tidak terlibat dalam perbuatan Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap.
Dalam sejarah tercatat peristiwa-peristiwa yang mengandung arti, bahwa Islam
melarang keras perbuatan Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap. Misalnya: Nabi
Muhammad SAW mengancam Fatimah ra putri kandungnya, jika mencuri akan
dipotong tangannya. Umar bin Khattab mengancam keluarganya yang melakukan
pelanggaran akan dihukum dengan hukuman yang lebih berat.

Umar bin Abdul Aziz marah dan memerintahkan putrinya mengembalikan kalung
emas pemberian pengawas kas negara (bait al mal) ke bait al mal (kas negara), karena
kalung tersebut adalah milik negara dan hanya untuk negaralah harta itu boleh
digunakan, bahkan pernah khalifah Umar bin Abdul Aziz ketika datang kepadanya
seorang anak kandungnya dalam urusan yang bertalian dengan urusan pribadi, dia
memadamkan lampu yang sedang dipakainya. Ketika ditanya oleh putranya mengapa
dia memadamkan lampu pada saat kedatangannya itu, dia menjawab, bahwa lampu
ini adalah milik negara, sedangkan yang datang itu bertalian dengan urusan pribadi
saya. Saya tidak boleh menggunakan barang/harta milik negara untuk kepentingan
pribadi saya. Itulah sebabnya saya memadamkan lampu tersebut39.

Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap diharamkan, karena Korupsi, Kolusi,


Nepotisme dan Suap itu merupakan suatu perbuatan penyalahgunaan jabatan untuk
memperkaya diri sendiri, keluarga atau suatu kelompok. Hal ini merupakan
perbuatan yang menghianati amanat yang diberikan negara dan masyarakat

39
Guru Besar Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

26
kepadanya. Berkhianat terhadap amanat adalah perbuatan terlarang dan
mendatangkan dosa. Sebagaimana firman Allah dalam surah al-Anfal ayat 27 :

َ‫س ْو َل َوت َ ُخ ْونُ ٰۤ ْوا اَمٰ ٰنتِ ُك ْم َوا َ ْنـت ُ ْم تَ ْعلَ ُم ْون‬
ُ ‫لر‬ َ ٰ ‫ٰٰۤيـاَيُّ َها الَّ ِذيْنَ ٰا َمنُ ْوا ََل ت َ ُخ ْونُوا‬
َّ ‫ّللا َوا‬

"Wahai orang-orang yang beriman! Janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui." (QS. Al-Anfal 8: Ayat 27).

Dalam ayat yang lain Allah memerintahkan untuk memelihara dan menyampaikan
amanat kepada yang berhak menerimanya, sebagaimana firman-Nya dalam surah al-
Nisa’ ayat 58 :

ٰۤ ٰ َ ْ
ُ ‫ّللا نِ ِع َّما يَ ِع‬
‫ظ ُك ْم‬ ِ ‫ّللا يَأ ْ ُم ُر ُك ْم اَ ْن ت ُ َؤدُّوا اَل مٰ ن‬
َ ٰ ‫ت ا ِٰلى ا َ ْھ ِل َها ۗ َواِ ذَا َح َك ْمت ُ ْم بَيْنَ النَّا ِس اَ ْن ت َ ْح ُك ُم ْوا بِا ْلعَدْ ِل ۗ ا َِّن‬ َ ٰ ‫ا َِّن‬
‫صيْرا‬ِ َ‫سمِ يْع ۢا ب‬
َ َ‫ّللا كَا ن‬ َ ٰ ‫بِ ٖه ۗ ا َِّن‬

"Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya
kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah sebaik-baik yang memberi
pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha Mendengar, Maha Melihat." (QS. An-
Nisa' 4: Ayat 58).40 Kedua ayat tersebut di atas menerangkan, bahwa menghianati
amanat seperti perbuatan Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap bagi para pejabat
adalah dilarang. Oleh sebab itu hukumnya haram.

Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap diharamkan, karena Korupsi, Kolusi,


Nepotisme dan Suap itu merupakan suatu perbuatan memperkaya diri dan
mementingkan keluarga dengan cara ilegal. Hal ini adalah suatu perbuatan zalim
(aniaya). Karena kekayaan negara dan jabatan adalah harta dan kedudukan yang
diberikan masyarakat, termasuk masyarakat yang miskin dan buta huruf yang mereka
peroleh dengan susah payah.

40 Al-Qur’an Indonesia

27
Oleh karena itu, sungguh amat zalim seorang pejabat yang memperkaya dirinya
dan keluarganya dari harta masyarakat tersebut, sehingga Allah memasukkan mereka
ke dalam golongan orang yang celaka dan mendapat azab di akhirat. Sebagaimana
firman Allah dalam surah Al-Zukhruf ayat 65 :

ِ ‫عذَا‬
‫ب َي ْو ٍم ا َ ِلي ٍْم‬ َ َ‫اَل ْحزَ ا بُ مِ ۢ ْن َب ْي ِن ِه ْم ۗ فَ َو ْي ٌل ِل َّل ِذيْن‬
َ ‫ظلَ ُم ْوا مِ ْن‬ َْ ‫ف‬َ َ‫فَا ْختَل‬

"Tetapi golongan-golongan (yang ada) saling berselisih di antara mereka; maka


celakalah orang-orang yang zalim karena azab pada hari yang pedih (Kiamat)." (QS.
Az-Zukhruf 43: Ayat 65).41

Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap diharamkan, karena Korupsi, Kolusi,


Nepotisme dan Suap itu merupakan perbuatan terkutuk, sebagaimana disabdakan
Nabi SAW :

)‫ (رواه أحمد وأبو داود والترمذى وابن ماجه عن ابن عمر‬.‫الرا ِش ْى َو ْال ُم ْرتَشِى‬
َّ ‫لى‬ َ ِ‫لَ ْعنَةُ هللا‬
َ ‫ع‬

"Allah melaknat (mengutuk) orang yang menyuap dan yang menerima suap”. (H.R.
Ahmad, Abu Daud, Turmuzi dan Ibnu Majah dari Ibnu Umar).42

Dalam Hadis yang lain Rasulullah bersabda pula :

ُ ‫َۗ َما أ َ َخذَ َب ْعدَ ذَلِكَ فَ ُه َو‬


)‫(رواه أبو داود والحاكم عنبريدة‬.ٌ‫غلُ ْو ل‬

"Barangsiapa yang telah aku pekerjakan dalam suatu pekerjaan, lalu aku beri gajinya,
maka sesuatu yang diambil di luar gajinya itu adalah penipuan (korupsi)”. (HR Abu
Daud dan Hakim dari Buraidah).43

41
Al-Qur’an Insonesia
42 Al-Suyüti, op.cit., h 123
43 Ibid., h. 163.

28
Sehubungan dengan hukum Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap tersebut,
Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah memfatwakan, sebagai berikut :

1. Memberikan risywah dan menerimanya hukumnya adalah haram.

2. Melakukan korupsi hukumnya adalah haram.

3. Memberikan hadiah kepada pejabat. Jika pemberian hadiah itu pernah dilakukan
sebelum pejabat tersebut memegang jabatan, maka pemberian seperti itu
hukumnya halal (tidak haram), demikian juga menerimanya. Selain itu jika
pemberian hadiah itu tidak pernah dilakukan sebelum pejabat tersebut memegang
jabatan, maka dalam hal ini ada tiga kemungkinan :

a. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat tidak ada atau tidak akan ada urusan
apa- apa, maka memberikan dan menerima hadiah tersebut tidak haram.

b. Jika antara pemberi hadiah, dan pejabat terdapat urusan (perkara), maka bagi
pejabat haram menerima hadiah tersebut; sedangkan bagi pemberi, haram
memberikannya apabila perberian dimaskud bertujuan untuk meluluskan
sesuatu yang batil (bukan haknya).

c. Jika antara pemberi hadiah dan pejabat ada sesuatu urusan baik sebelum
maupun sesudah pemberian hadiah dan pemberiannya itu tidak bertujuan untuk
sesuatu yang batil, maka halal (tidak haram) bagi pemberi memberikan hadiah
itu, tetapi bagi pejabat haram menerimanya.

Di samping mengeluarkan fatwa, MUI juga menghimbau agar semua lapisan


masyarakat berkewajiban untuk memberantas dan tidak terlibat dalam praktek hal-
hal tersebut. Selain itu ada beberapa hadits yang menjekaskan tentang larangan
korupsi antara lain :44

44
5 Hadits tentang larangan korupsi

29
1. Hadist tentang Larangan Korupsi, Dalam Musnad Ibn Hanbal, jilid. 5, halaman
279

َ‫ع ْن ث َ ْوبَان‬ َ ‫ع ْن أ َ ِبي ُز ْر‬


َ َ‫عة‬ َ ‫ب‬ َّ ‫ع ْن أ َ ِبي ْال َخ‬
ِ ‫طا‬ ٍ ‫ع ْن لَ ْي‬
َ ‫ث‬ َ ‫َّاش‬
ٍ ‫عي‬َ َ‫عامِ ٍر َحدَّثَنَا أَبُو بَ ْك ٍر يَ ْعنِي ابْن‬
َ ‫َحدَّثَنَا ْاألَس َْودُ ْب ُن‬
‫ِش َي ْعنِي الَّذِي َي ْم ِشي َب ْينَ ُه َما‬
َ ‫الرائ‬ َ ‫ِي َو ْال ُم ْرتَش‬
َّ ‫ِي َو‬ َّ ‫سلَّ َم‬
َ ‫الراش‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫قَا َل لَ َعنَ َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللا‬

“Telah menceritakan kepada kami Al Aswad bin ‘Amir telah bercerita kepada
kami Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Laits dari Abu Al Khoththob dari Abu Zur’ah
dari Tsauban berkata; Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam melaknat orang yang
menyuap, yang disuap dan perantaranya (broker, makelar).”

2. Hadist tentang Larangan Korupsi, Dalam Riwayat Imam Bukhari

‫صلَّى‬
َ ِ ‫ع ْن النَّبِي‬ ِ َّ َ‫ع ْبد‬
َ َ‫ّللا ْبنَ يَ ِزيد‬ ٍ ِ‫ي ْب ُن ثَاب‬
َ ‫ت قَا َل‬
َ ُ‫سمِ ْعت‬ َ ‫ش ْعبَةُ قَا َل أ َ ْخبَ َرنِي‬
ُّ ‫ع ِد‬ ُ ‫َحدَّثَنَا َحجَّا ُج ْب ُن مِ ْن َها ٍل َحدَّثَنَا‬
‫ع ْن النُّ ْهبَ ِة َو ْال ُمثْلَ ِة‬
َ ‫سلَّ َم أَنَّهُ نَ َهى‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫ّللا‬

“Telah menceritakan kepada kami Hajjaj bin Minhal telah menceritakan kepada
kami Syu’bah ia berkata; telah mengabarkan kepadaku Adi bin Tsabit ia berkata;
Aku mendengar Abdullah bin Yazid dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam,
Bahwasanya beliau melarang nuhbah (harta rampokan) dan perbuatan mutilasi.”

3. Hadist tentang Larangan Korupsi, Dalam Kitab Musnad Ad-Darimi

‫ع ْن أَبِي ُح َم ْي ٍد‬ ُّ ‫ع ْن ع ُْر َوةَ ب ِْن‬


َ ‫الزبَي ِْر‬ َ ‫ع ْن يَ ْحيَى ب ِْن‬
َ ‫سعِي ٍد‬ َ ‫َّاش‬
ٍ ‫عي‬َ ُ‫سى َحدَّثَنَا إِ ْس َماعِي ُل بْن‬
َ ‫َحدَّثَنَا إِ ْس َحا ُق ْب ُن عِي‬
ُ ‫سلَّ َم قَا َل َھدَايَا ْالعُ َّما ِل‬
‫غلُو ٌل‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ ُ ‫السَّا ِعدِي ِ أ َ َّن َر‬
ِ َّ ‫سو َل‬
َ ‫ّللا‬

“Telah menceritakan kepada kami Ishaq bin Isa telah menceritakan kepada kami
Isma’il bin Ayyasy dari Yahya bin Sa’id dari Urwah bin Az Zubair dari Abu
Humaid As Sa’idi bahwasanya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“hadiah bagi para kuli adalah ghulul (hasil ghanimah yang diambil secara
sembunyi-senmbunyi sebelum pembagiannya).”

30
4. Hadist tentang Larangan Korupsi, Disebutkan dalam Shahih Ibn Hibban
‫صلَّى‬ ُ ‫ع ْن أَبِي ھ َُري َْرة َ قَا َل قَا َل َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬
َ ‫ّللا‬ َ ‫ع ْن أَبِي ِه‬ َ ‫ع َم ُر ْب ُن أَبِي‬
َ َ‫سلَ َمة‬ َ ‫عفَّا ُن َحدَّثَنَا أَبُو‬
ُ ‫ع َوانَةَ قَا َل َحدَّثَنَا‬ َ ‫َحدَّثَنَا‬
‫ِي فِي ْال ُح ْك ِم‬
َ ‫ِي َو ْال ُم ْرتَش‬
َ ‫الراش‬ َّ َ‫سلَّ َم لَ َعن‬
َّ ُ‫ّللا‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ
َ ُ‫ّللا‬

“Telah menceritakan kepada kami ‘Affan telah menceritakan kepada kami Abu
‘Awanah berkata; telah menceritakan kepada kami Umar bin Abu Salamah dari
bapaknya dari Abu Hurairah berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda: “Allah melaknat orang yang menyuap dan yang disuap dalam hukum.”

5. Hadist tentang Larangan Korupsi, Disebutkan dalam riwayat Imam At-Turmudzi

‫ع ْم ٍرو‬
َ ‫ّللا ب ِْن‬ َ ‫ع ْن أَبِي‬
َ َ‫سلَ َمة‬
َ ‫ع ْن‬
ِ َّ ‫ع ْب ِد‬ َ ‫الرحْ َم ِن‬
َّ ‫ع ْب ِد‬
َ ‫ث ب ِْن‬ ِ ‫ع ْن ْال َح‬
ِ ‫ار‬ ٍ ْ‫س َحدَّثَنَا ا ْب ُن أَبِي ِذئ‬
َ ‫ب‬ َ ُ‫َحدَّثَنَا أ َ ْح َمدُ ْب ُن يُون‬
‫الراشِي َو ْال ُم ْرتَشِي‬
َّ ‫سلَّ َم‬
َ ‫علَ ْي ِه َو‬ َّ ‫صلَّى‬
َ ُ‫ّللا‬ َ ‫ّللا‬ ُ ‫قَا َل لَعَنَ َر‬
ِ َّ ‫سو ُل‬

“Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Yunus telah menceritakan kepada
kami Ibnu Abu Dzi`b dari Al Harits bin Abdurrahman dari Abu Salamah dari
Abdullah bin ‘Amru ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat
orang yang memberi uang sogokan dan orang yang menerimanya.”45

Selain itu, pada rumusan pasal-pasal Undang-undang No. 31 Tahun 1999 tentang
pemberantasan tindak pidana korupsi ini terdapat tiga macam hukuman ta’zir, yaitu
sanksi pidana penjara, sanksi pidana denda, dan sanksi pidana mati. Amir dalam
kitabnya, At-Ta’zir fisy-Syariah Al-Islamiyah mengatakan bahwa hukuman ta’zir ada
sebelas macam, yaitu :

1. Hukuman mati.
2. Hukuman cambuk.
3. Hukuman penahanan
4. Hukuman pengasingan.

45
5 Hadits tentang larangan korupsi

31
5. Hukuman ganti rugi.
6. Hukuman publikasi dan pemanggilan paksa untuk hadir di majelis persidangan.
7. Hukuman berbentuk nasihat.
8. Hukuman pencelaan.
9. Hukuman pengucilan.
10. Hukuman pemecatan.
11. Hukuman berupa penyiaran.46

Sedangkan Wahbah Az-Zuhaili dalam kitabnya, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh,


mengatakan bahwa hukuman ta’zir ada lima macam, yaitu :

1. Hukuman pencelaan
2. Hukuman penahanan
3. Hukuman pemukulan
4. Hukuman ganti rugi materi
5. Hukuman mati karena pertimbangan politik

Hukuman ta’zir itu bisa berat dan bisa ringan, tergantung dari tindak pidana yang
dilakukan, bahkan sampai kepada hukuman mati, seperti yang disebutkan dalam UU
No. 31 tahun 1999 pasal 2 ayat (2) bahwa korupsi yang dilakukan dalam keadaan
tertentu dapat dijatuhkan hukuman mati.

Disamping itu , semua harta hasil korupsi harus dikembalikan.47 Selain itu,
Korupsi dalam syariat Islam diatur dalam fiqh Jinayah. Jinayah adalah sebuah
tindakan atau perbuatan seseorang yang mengancam keselamatan fisik dan tubuh
manusia serta berpotensi menimbulkan kerugian pada harga diri dan harta kekayaan
manusia sehingga tindakan atau perbuatan itu dianggap haram untuk dilakukan
bahkan pelakunya harus dikenai sanksi hukum, baik diberikan di dunia maupun
hukuman Allah kelak di akhirat. Menggelapkan uang Negara dalam Syari’at Islam

46
Tentang hukuman korupsi
47
Tentang hukuman korupsi

32
disebut Al-ghulul, yakni mencuri ghanimah (harta rampasan perang) atau
menyembunyikan sebagiannya (untuk dimiliki) sebelum menyampaikannya ke
tempat pembagian, meskipun yang diambilnya sesuatu yang nilainya relatif kecil
bahkan hanya seutas benang dan jarum.48

Selain itu, dalam pandangan islam nepotisme merujuk kepada firman Allah dalam
surah An-Nahl ayat 90 :

ُ ‫شآءِ َوا ْل ُم ْنك َِر َوا ْلبَ ْغي ِ ۗ يَ ِع‬


‫ظ ُك ْم لَعَلَّ ُك ْم‬ َ ‫ع ِن ْالفَ ْح‬
َ ‫ى ذِى ْالقُ ْر ٰبى َويَ ْنهٰ ى‬ َ ْ‫ّللا يَأ ْ ُم ُر بِا ْلعَدْ ِل َوا ْ َِل ح‬
ِٕ ‫سا ِن َواِ ْيت َٰۤا‬ َ ٰ ‫ا َِّن‬
َ‫تَذَ َّك ُر ْون‬

"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,


memberi bantuan kepada kerabat, dan Dia melarang (melakukan) perbuatan keji,
kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
mengambil pelajaran." (QS. An-Nahl 16: Ayat 90)49

Jika kita beranggapan bahwa “kekerabatan” sebagai acuan berfikir, dalam arti jika
seseorang memiliki hubungan saudara dengan pejabat yang menunjuknya maka itu
merupakan nepotisme. Jika di telaah lagi, mungkin sikap ini tampak kurang obyektif.
Hanya karena dilandaskan hubungan saudara, seseorang tidak mendapatkan sesuatu
yang sebenarnya menjadi hak mereka, padahal dia memiliki kemampuan
berkompeten dalam bidang itu, tentu sikap seperti ini sangat berlebihan dan
bertentangan dengan agama islam. Jadi dalam pandangan Islam, nepotisme sesuatu
yang tercela. Dimana menempatkan keluarga yang tidak punya kemampuan atau
kopetensi dalam suatu posisi karena dilandaskan oleh hubungan kekeluargaan atau
punya kemampuan, tetapi masih ada orang yang lebih baik dan berhak untuk jabatan
itu, namun yang didahulukan adalah keluarganya. Ini merupakan nepotisme yang
sangat dialarang. Karena ada orang lain yang dizalimi (Haknya diambil oleh orang
yang berkemampuan dibawahnya).50

48
Pandangan islam tentang korupsi
49 Al-Qur’an Indonesia
50 Nepotisme dalam persfektif islam

33
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
Haram hukumnya memakan harta orang lain dengan cara yang tidak dibenarkan
oleh syara’, seperti korupsi, judi, riba dan lain-lain. Haram hukumnya memberi suap
dan menerima suap untuk memperoleh sesuatu yang tidak sah menurut al-Qur’an dan
Hadis. Haram hukumnya melakukan tipu muslihat, seperti berkolusi dapat
merugikan orang lain, masyarakat atau negara, atau bertindak nepotisme seperti
memberikan jabatan tertentu kepada keluarga, padahal dia tidak memenuhi kriteria
untuk menduduki jabatan itu, hanya karena demi memperkaya diri dan keluarga.

Agama Islam mengakui adanya hak milik pribadi yanga berhak mendapat
perlindungan dan tidak boleh diganggu gugat. Hak milik pribadi, jika memenuhi
nisabnya, wajib dikeluarkan zakatnya dan kewajiban lainnya untuk kepentingan
agama, negara dan sebagainya. Sekalipun seseorang mempunyai harta yang banyak
dan banyak pula orang yang memerlukannya dari golongan-golongan yang berhak
menerima zakatnya, tetapi harta orang itu tidak boleh diambil begitu saja tanpa seizin
pemiliknya atau tanpa menurut prosedur yang sah.

Haram hukumnya melakukan korupsi, kolusi, nepotisme dan suap, tetapi khusus
nepotisme haram hukumnya jika yang diserahkan jabatan tidak profesional, tidak
kapabilitas dan tidak mempunyai moralitas yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dan
Hadis. Korupsi, Kolusi, Nepotisme dan Suap dilarang/haram, karena bertentangan
dengan ajaran al-Qur’an, Hadis dan Maqashid al- Syari’ah (tujuan syari’ah), serta
bertentangan dengan rasa kemanusiaan dan rasa keadilan, dan merugikan orang lain,
masyarakat dan negara.

34
Sedangkan menurut persfektif hukum ada undang- undang R.I. Nomor 28 Tahun
1999 tentang Penyelenggaraan Halaman Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme, Undang- undang R.I. Nomor 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; Peraturan Pemerintah Nomor 65 Tahun 1999
tentang Tatacara Pemeriksaan Kekayaan Penyelenggara Negara, Peraturan
Pemerintah Nomor 66 Tahun 1999 tentang Persyaratan dan Tatacara Pengangkatan
serta Pemberhentian Anggota Komisi Pemeriksa, Peraturan Pemerintah Nomor 67
Tahun 1999 tentang Tatacara Pemantauan dan Evaluasi Pelaksanaan Fungsi dan
Wewenang Komisi Pemeriksa, Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1999 tentang
Tatacara Pelaksanaan Peran Serta Masyarakat dalam Penyelenggaraan Negara.

Tujuan pemerintah menetapkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28


Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme untuk mewujudkan penyelenggaraan pemerintahan yang
bersih dari tindak penyelewengan kekuasaan. Dengan demikian, aparatur negara
mampu menjalankan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya dengan penuh
tanggung jawab.

3.2 Saran
Demikianlah makalah yang saya buat ini, semoga bermanfaat dan menambah
pengetahuan para pembaca. Saya mohon maaf apabila ada kesalahan ejaan dalam
penulisan kata dan kalimat yang kurang jelas, dimengerti, dan lugas. Karena saya
hanyalah manusia biasa yang tak luput dari kesalahan dan saya juga sangat
mengharapkan saran dan kritik dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Sekian penutup dari saya semoga dapat diterima di hati dan saya ucapkan terima
kasih yang sebesar-besarnya.

35
Daftar Pustaka

Amirudin, Aam. 2006. Bedah Masalah Kontemporer, Bandung : Khazanah


Intelektual. Diakses pada Selasa 02 Mei 2023 pukul 10.11 WIB, dari
http://elihrohayati.blogspot.com/2016/03/makalah-haditskorupsi-kolusi-
dan.html?m=1

Asy-Syaukani. 1993. Himpunan Hadis-Hadis Hukum, Jihd. 6. Surabaya : PT. Bina


Ilmu.

Departemen Agama RI, al-Gur'an dan Terjemahnya. Suarabaya : Jaya Sakti, 1989.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Cet. III.
Jakarta : Balai Pustaka, 1994.

Echlos, Jhon. M., dan Sadily, Hassan. 1996. Kamus Inggris Indonesia, Cet. XXIII.
Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.

Djamil, Faturrahman. 1999. Korupsi, Kolusi, Nepotisme Dalam Perspektif Hukum


Islam dan Moral Islam. Jakarta : al- Hikmah dan Ditbin Bapera Islam.

Hainzah, Andi, Bunga. 1986. Hukum Pidana dan Acara Pidana, Cet. 3. Jakarta :
Ghalia Indonesia.

Jawas, Sufyan. 2021. Hadits Tentang Larangan Korupsi. Purwakarta : Islam Pos.
Diakses pada Senin 01 Mei 2023 pukul 08.49 WIB, dari
https://www.islampos.com/5-hadist-tentang-larangan-korupsi-242966/

Khallaf, Abdul Wahhab. 1994. Kaidah-kaidah hukum Islam, Cet. IV. Jakarta : Raja
Grafindo Persada.

M. Amuen Rais. 1999 Menyingkap Korupsi, Kolusi dan Nepotisme di Indonesia,


Get. Yogyakarta : Aditya Media.

Mujieb, M. Abdul, et. Al. 1994. Kamus Isatah Figh, Cet. Jakarta : PT. Pustaka
Firdaus.

36
Noer, Munawaar Fuad. 1997. Islam dan Gerakan Moral anti Korupsi, (Ed) H. Abmad
Sya'i Mufid, Cet. 1. Jakarta : CV. Zikrur Hakim. Tabloid. Jurnal 6 Robiul
Awwal 1418 H/ 11 Juli 1967, nomor 281/ TH VII.

Rahmadhani, Chyntia Dyah. 2022. Pengertian Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme Serta
Landasan Hukum Di Indonesia. Jakarta : Tirto.Id. Diakses pada Selasa, 02
Mei 2023 pukul 11.20 WIB, dari https://tirto.id/pengertian-korupsi-kolusi-
dan-nepotisme-hukum-pencegahan-kkn-gorh

Wulandari, Siskawati. 2021. Dampak Korupsi, Kolusi, Dan Nepotisme. Batam :


Universitas Putera. Diakses pada Minggu 30 April 2023 pukul 21.36 WIB,
dari https://www.studocu.com/id/document/universitas-batam/manajemen/
dampak-korupsi-kolusi-dan-nepotisme/17643022

Yanggo, H. T. 2013. Korupsi, Kolusi, Nepotisme Dan Suap (KKNS) Dalam


Pandangan Hukum Islam. Tahkim IX, (1), 1-20.

37

Anda mungkin juga menyukai