Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH AKIDAH DAN AKHLAK

FIKIH KORUPSI
Dosen pengampu : Toat Hamim. S.Th.i,MIRKH

Dibuat oleh :

Dede robi (230401036)

Anjas priadana (230401005)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


MANAJAMEN
2023/2024

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT berkat karunia, rahmat, dan
hidayah-nya kami dapat menyusun makalah yang berjudul “fiqih korupsi”
dengan sebaik-baiknya. Adapun kami dapat membuat makalah ini, sebagai
tanda bukti bahwa kami telah menyelesaikan tugas yang diberikan. Dan kami
menyadari bahwa tanpa adanya bantuan dari pihak lain, penulisan makalah ini
tidak dapat diselesaikan dengan baik dan tepat waktu. Pada kesempatan ini kami
ingin mengucapkan terimakasih kepada pihak lain yang telah membantu
menyelesaikan makalah ini. Dalam menyusun makalah ini, kami menyadari
masih terdapat banyak kekurangannya, kekhilafan dan masih jauh dari kata
sempurna. Hal ini dikarenakan kami masih dalam tahap pembelajaran.
Oleh karena itu, kami dengan senang hati menerima saran dan kritikan yang
bersifat membangun semangat demi kesempurnaan dan penulisan makalah ini.

Tangerang, November 2023

Penulis

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2


BAB I ......................................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................................... 4
I.I Latar Belakang ................................................................................................................ 4
I.2Rumusan Masalah ........................................................................................................... 4
I.3 Tujuan.............................................................................................................................. 5
BAB II ....................................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 6
2.1 Pengertian ....................................................................................................................... 6
Rukun dan syarat korupsi antara lain: .......................................................................... 7
2.2 Perspektif hukum tindak pidana (fiqh jinayah ) korupsi........................................... 7
2.3 Kualifikasi Tindak Pidana Korupsi Dalam Fiqh Jinayah.......................................... 9
1. Ghulul (penggelapan) ................................................................................................... 9
2. Risywah (Penyuapan) ................................................................................................... 9
3. Ghasab (mengambil paksa hak/harta orang lain) ................................................... 10
4. Khianat (berbohong) .................................................................................................. 11
5. Sariqah (Pencurian) ................................................................................................... 11
6. Hirabah (Perampokan) .............................................................................................. 12
2.4 Sanksi Hukum Dalam Fiqh Jinayah .......................................................................... 13
1. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Ghulul (Penggelapan) ................................................. 13
2. Sanksi Hukum bagi Pelaku Risywah ........................................................................ 13
3. Sanksi Hukum Pelaku Ghasab .................................................................................. 14
4. Sanksi Hukum Pelaku khianat .................................................................................. 14
5. Sanksi Hukum pelaku Syariqoh................................................................................ 14
6. Sanksi Hukum pelaku Hirobah ................................................................................. 14
Hukuman-hukuman ta’zir ialah :..................................................................................... 15
BAB III.................................................................................................................................... 17
PENUTUP ............................................................................................................................... 17
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 18

3
BAB I
PENDAHULUAN
I.I Latar Belakang

Ketika mencari akar permasalahan dengan mempertanyakan mengapa korupsi


tidak pernah padam bahkan selalu bertambah parah dengan gunungan kasus yang tidak
pernah jua terselesaikan secara adil. Alasan mendasar adalah karena telah terjadinya
dekadensi moral dan iman di kalangan elit. Akhlak yang seharusnya mencerminkan
orang berpendidikan dan berderajat tinggi, namun malah seakan menjelma seperti orang
miskin yang mencuri harta orang lain untuk memenuhi urusan perutnya. Iman yang tidak
terasah dengan benar, semakin menjadikannya budak harta yang kemudian melupakan
tuhannya. Padahal dalam agama Islam praktik seperti penggelapan uang maupun barang,
suap-menyuap, maupun gratifikasi telah dilarang dengan tegas. Walaupun perbuatan ini
tidak dikategorikan secara hudud maupun qisas, dimana ketentuannya dialihkan pada
hukuman ta’zir. Namun tidak menutup kemungkinan bahwa hukuman ta’zir ini dapat
pula berbentuk hukuman mati dimana pelaku korupsi dapat lenyap selamanya dan
menjadi pelajaran bagi yang lain agar takut untuk berkorupsi.

Islam sebagai sistim nilai memegang peranan penting untuk memberikan


pencerahan nilai, penyadaran moral, perbaikan mental atau penyempurnaan akhlak,
dengan memanfaatkan potensi baik setiap indivisu, yakni hati nurani. Lebih jauh Islam
tidak hanya komitmen dengan upaya pensalehan individu, tetapi juga pensalehan social.
Dalam pensalehan sosial ini, Islam mengembangkan semangat untuk mengubah
kemungkaran, semangat saling mengingatkan, dan saling menasehati. Sejatinya Islam
mengembangkan semangat kontrol sosial.

Korupsi merupakan perbuatan maksiat yang dilarang oleh syara’, meskipun nash
tidak menjelaskan had atau kifaratnya. Akan tetapi pelaku korupsi dikenakan hukuman
ta`zir atas kemaksiatan tersebut. Perbuatan maksiat mempunyai beberapa kemiripan,
diantaranya, mengkhianati janji, menipu, sumpah palsu, makan harta riba dll. Maka
perbuatan termasuk ke dalam jarimah ta’zir yang penting.

1.1 Rumusan Masalah

Apakah pengertian dari korupsi menurut islam ?


Bagaimana perspektif hukum tindak pidana (fiqh jinayah ) korupsi ?
Apa sajakah kualifikasi dari tindak pidana korupsi dalam fiqh jinayah ?
Apa sajakah sanksi hukum dalam fiqh jinayah ?

4
I.2 Tujuan

 Untuk mengetahui pengertian dari korupsi


 Untuk memahami perspektif hukum tindak pidana (fiqh jinayah) korupsi
 Untuk mengetahui kulifikasi dari tindak pidana korupsi dalam fiqh jinayah
 Untuk mengetahui bagaimana sanksi hukum dalam fiqh jinayah

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pengertian

Korupsi Korupsi berasal dari satu kata dalam bahasa Latin yakni corruptio atau corruptus
yang disalin ke berbagai bahasa. Istilah corruptio diserap dalam bahasa Inggris menjadi
corruption atau corrupt, sedangkan dalam bahasa Belanda terbentuk kata corruptie
(korruptie). Dari istilah bahasa Belanda inilah yang kemudian dipakai oleh orang Indonesia
dalam penyebutan istilah korupsi. Secara harfiah, korupsi ialah kebusukan, keburukan,
kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, tidak bermoral, penyimpangan dari kesucian, kata-
kata atau ucapan yang menghina atau memfitnah. Dalam arti sosial tampaknya masyarakat
memang mengasosiasikan korupsi sebagai penggelapan uang dan menerima suap dalam
hubungannya dengan jabatan atau pekerjaan.

Secara umum korupsi dalam pandangan Islam adalah perbuatan kriminal yang
bertentangan dengan moral dan etika keagamaan. Prilaku korupsi dapat memupuskan pahala
jihad/syahid. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah menegaskan bahwa akibat
korupsi seseorang yang sepantasnya menjadi ahli sorga (karena Syahid), malah masuk neraka
karena prilaku culasnya. Ketika ada seorang sahabat gugur dalam peretempuran Khaibar,
banyak para sahabat memuji dan menyanjungnya sebagai pahlawan yang mati syahid,
sehingga ia akan menjadi ahli sorga. Akan tetapi Nabi menepisnya dengan mengatakan:

“ tidak, selembar sorban yang dicurinya dari harta rampasan perang Khaibar akan membakar
tubuhnya di neraka ”

Dan dalam firman allah dalam surat berikut menjelaskan:

- Surat An-Nisa ayat 29

Yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu”.

6
Meneliti pengertian yang telah digariskan dalam aturan perundang undangan Indonesia dan
juga difinisi yang telah diangkat Waled Hasanul Basri dalam makalah manumentalnya
tentang korupsi, maka kita menemukan Korupsi mengan-dung makna al-ghuluul, al-
khiyaanah, ar-risywah dan an-nahbu , sariqah ,dan ikhtilaas. Sebagaimana sama dimaklumi,
bahwa mengkaji sesuatu masalah, menurut disiplin ilmu fiqh haruslah dibahas terlebih dahulu
hakikat masalah, yaitu: definisi, hukum, rukun dan syarat dan jenis-jenisnyanya, ditambah
hikmah pensyariatan atau pelaranganya.Jenis-jenis korupsi akan memandu pengkaji kepada
dalil yang tepat digunakan untuk mengistinbathkan hukum bagi masingmasing jenisnya.

Rukun dan syarat korupsi antara lain:

1. Perbuatan korupsi: yaitu menguasai barang itu untuk miliknya dengan salah satu cara yang
telah kita identifikasi di atas, sehingga sanksinya nanti dapat disesuaikan.

2. Pelakunya pegawai atau karyawan ataupun orang yang berkaitan dengan harta asset milik
Negara, pelaku harus baaligh, aqil, rasyiid, mughtaar, dan lain-lainya.

3. Barang yang dikorupsi, yaitu harta benda milik Negara atau akan menjadi milik Negara
pengurusanyadipercayakan padanya.

4. Niat korupsi yaitu sengaja melakukan perbuatan itu untuk memiliki barang korupsi itu.

2.2 Perspektif hukum tindak pidana (fiqh jinayah ) korupsi

Fiqih jinayah terdiri dari dua kata, yaitu fikih dan jinayah. Pengertian fikih secara bahasa
(etimologi) berasal dari lafal faqiha, yafqahu, fiqhan, yang berarti mengerti, atau paham.
Sedangkan pengertian fiqh secara istilah (terminologi) fikih adalah ilmu tentang hukum-
hukum syara’ praktis yang diambil dari dalildalil yang terperinci. Adapun jinayah menurut
bahasa (etimologi) adalah nama bagi hasil perbuatan seseorang yang buruk dan apa yang
diusahakan. Sedangkan jinayah menurut istilah (terminologi) adalah suatu perbuatan yang
dilarang oleh syara’ baik perbuatan tersebut mengenai jiwa, harta atau lainnya.

Menurut istilah fiqih, jinayah adalah pelanggaran yang dilakukan oleh seorang terhadap
hak Allah atau larangan Allah, hak-hak manusia dan hak binatang di mana orang yang
melakukan wajib mendapat/ diberi hukuman yang sesuai baik dunia maupun di akhirat.1
Dalam rumusan lain di sebutkan bahwa jinayah adalah perbuatan dosa besar atau kejahatan
(pidana/ kriminal) seperti membunuh, melukai seseorang, atau membuat cacat anggota badan
seseorang.

Keberadaaan hukum jinayah dalam syariat Islam didasarkan kepada nash al-Quran antara lain adalah:

Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orangorang yang
berakal, supaya kamu bertakwa. (Al-Baqarah 179) Dan hendaklah kamu memutuskan
perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu

7
mengikuti hawa nafsu mereka. dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka
tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. jika
mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), Maka ketahuilah bahwa
Sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan mushibah kepada mereka dhsebabkan
sebahagian dosa-dosa mereka. dan Sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang
yang fasik. (QS. Al-Maidah 49).

Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan
kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, Kemudian mereka tidak merasa
dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya. (QS. An-Nisa’65).

Apabila kedua kata tersebut digabungkan maka pengertian fikih jinayah itu adalah ilmu yang
membahas pemahaman tentang hukum syara’ yang berkaitan dengan masalah perbuatan yang
dilarang (jarimah) dan hukumannya, yang diambil dari dalil-dalil terperinci. Pengertian fikih
jinayah (hukum pidana islam) tersebut di atas sejalan dengan pengertian hukum pidana
menurut hukum positif (hukum hasil produk manusia). Atau dengan kata lain hukum pidana
itu adalah serangkaian peraturan yang mengatur masalah tindak pidana dan hukumannya.
Namun antara hukum pidana islam dengan hukum positif tetap ada perbedaan diantara
keduanya, diantaranya adalah:

a) Hukum pidana islam lebih mengarah pada pembentukan akhlak dan budi pekerti yang
luhur, sehingga setiap perbuatan yang bertentangan dengan akhlak akan selalu dicela
dan diancam dengan hukum islam. Sedangkan hukum positif, atau yang dikenal
dengan undang-undang hanya mengarah pada apa yang menyebabkan kerugian secara
langsung bagi perseorangan atau ketentraman masyarakat, dan tidak mengarah pada
akhlak atau budi pekerti, sehingga jika tidak menimbulkan kerugian secara langsung,
walaupun bertentangan dengan akhlak maka itu tidak dianggap tindakan pidana.
b) Hukum positif (undang-undang) merupakan buatan/ produk manusia, sedangkan
hukum pidana islam bersumber dari Allah (wahyu) yang ditetapkan di dalam Al-
Qur’an dan As-sunah, yaitu jarimah hudud dan jarimah qisash. Ada pula hukum yang
diserahkan kepada ulil amri, yaitu jarimah ta’zir dengan berpedoman Al-Qur’an dan
Al-Hadis.

Dalam konteks ini pengertian jinayah sama dengan jarimah. Pengertian jarimah secara bahasa
(etimologi) adalah melakukan setiap perbuatan yang menyimpang dari kebenaran, keadilan,
dan jalan yang lurus (agama). Sedangkan menurut istilah (terminologi) sebagaimana
dikemukakan oleh imam Al Mawardi adalah perbuatan-perbuatan yang dilarang oleh syara’
yang diancam oleh Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Terlepas dari perbedaan
pandangan para fuqaha mengenai istilah yang lebih tepat (jarimah ataukah jinayah) , jarimah
terbagi dalam tiga jenis :

1. Golongan jarimah ta`zir yaitu larangan perintah tentang suatu hal yang tidak dirumuskan
secara pasti termasuk sanksinya, dan pelaksanaan hokum tergantung ada pihak penguasa.

8
2. Golongan jarimah qishas atau diyat yang terdiri atas pembunuhan sengaja, pembunuhan
seperti sengaja, pembunuhan tidak sengaja.

3. Golongan jarimah hudud yang terdiri atas zina, menuduh orang lain berzina, minum khamr
dan lain-lain. Pada hakikatnya, jarimah yang dapat disamakan dengan jenis atau larangan
perintah dalam hokum pidana positif yang dikualifikasikan sebagai bentuk perbuatan pidana,
atau strafbaarfeit, atau delik. Jika ketiga karakter tersebut dikaji lebih mendalam, maka dapat
dikatakan, hanya jarimah ta’zir yang dapat dianggap sepadan dengan delik dalam hukum
pidana. Sementara jarimah hudud dan qishas lebih dogmatis dan menjadi hak Allah yang
sudah paten.

2.3 Kualifikasi Tindak Pidana Korupsi Dalam Fiqh Jinayah

1. Ghulul (penggelapan)

Secara etimologis kata ghulul berasal dari kata kerja masdar, invinitif atau verbal noun-nya
ada beberapa pola semuanya diartikan oleh Ibnu al-Manzur dengan sangat kehausan dan
kepanasan. Lebih spesifik dikemukakan dalam al-Mu’jam al-Wasith bahwa kata ghulul dari
kata kerja yang berarti berkhianat dalam pembagian harta rampasan perang atau dalam harta-
harta lain.

Adapun kata ghulul dalam arti berkhianat terhadap harta rampasan perang, disebutkan dalam
firman Allah Surah Ali Imran (3) ayat 61 yang artinya: “Tidak mungkin seorang Rasulullah
berkhianat (dalam urusan harta rampasan perang). Barang siapa berkhianat niscaya pada hari
kiamat ia akan datang membawa apa yang dikhianatkan itu. Kemudian setiap orang akan
diberi balasan yang sempurna sesuai dengan apa yang dilakukannya dan mereka tidak
dizalimi”.

Pada umumnya, para ulama menghubungkan ayat ini dengan peristiwa Perang Uhud tahun
ke-3 H, meskipun ada juga riwayat yang menginformasikan bahwa ayat ini turun berkaitan
dengan kasus sehelai beludru merah yang hilang pada saat Perang Badar. Dari definisi ghulul
secara etimoogis di atas, bisa diketahui bahwa Ibnu Manzur berbeda dengan tim penulis al-
Mu’jam al-Wasith dalam mendefinisikan ghulul. Ibnu Manzur secara tegas menyatakan
bahwa secara bahasa ghulul berarti sangat kehausan. Sedangkan tim penyusun al-Mu’jam

al-Wasith langsung pada pengertian secara istilah, yaitu berkhianat terhadap harta rampasan
perang. Adapun definisi ghulul secara terminologis, antara lain dikemukakan oleh Rawas
Qala Arji dan Hamid Sadiq Qunaibi.

2. Risywah (Penyuapan)

Secara etimologis kata risywah berasal dari bahasa arab yang masdar atau verbal nounnya
bisa dibaca atau , (huruf ra’-nya dibaca kasrah, fathah, atau dhamah) berarti , "yaitu upah,
hadiah, komisi, atau suap. Manzur juga mengemukakan penjelasan Abul Abas tentang makna

9
kata risywah, ia mengatakan bahwa kata risywah terbentuk dari kalimat, anak burung
merengek-rengek ketika mengangkat kepalanya kepada induknya untuk disuapi.

Adapun secara terminologi, risywah adalah suatu yang diberikan dalam rangka mewujudkan
kemaslahatan atau sesuatu yang diberikan dalam rangka membenarkan yang batil/salah atau
menyalahkan yang benar.

Abdullah bin Umar meriwayatkan hadis, bahwa Nabi bersabda,

“orang yang menerima suap dan yang menyuap berada di neraka” (HR. AthThabrani).

Rasulullah mengatakan bahwa perbuatan yang dilarang adalah apabila seseorang menunaikan
hajatnya kepada saudaranya dengan memberikan hadiah, lalu si saudara menerima hadiah itu.
Lalu Rasulullah ditanya, “apakah perbuatan yang dilarang itu wahai Rasulullah?”Beliau
menjawab,”ia adalah suap.”

Dalam Kasy Al-Qina, risywah adalah sesuatu yang diberikan setelah permintaan, sedangkan
hadiah diberikan sebelumnya. Adapun hibah adalah pemberian tanpa ada ganti atau imbalan.
Shadaqah adalah harta yang dikeluarkan seseorang dalam alasan untuk mendekatkan diri
kepada Allah, seperti zakat. Perbedaan antara risywah, shadaqah dan hadiah adalah terletak
pada tujuannya. Risywah diberikan untuk mencapai suatu target duniawi untuki masa
sekarang/secepatnya, shadaqah dikeluarkan dengan tujuan untuk mencari ridha Allah,
sedangkan hadiah diberikan untuk memulyakan atau sebagai penghormatan kepada
seseorang.

Pada intinya risywah atau suap adalah suatu pemberian yang diberikan seseorang kepada
hakim, petugas atau pejabat tertentu dengan tujuan yang diinginkan oleh kedua belah pihak,
baik pemberi maupun penerima pemberian tersebut. Dalam kasus penyuapan, biasanya
melibatkan tiga unsur utama, yaitu pemberi suap (al-rasyi), penerima suap (al-murtasyi), dan
barang atau nilai yang diserah terimakan dalam kasus suap. Namun demikian, tidak menutup
kemungkinan dalam suatu kasus suap juga melibatkan pihak keempat sebagai broker
perantara antara pemberi dan penerima suap. Broker atau perantar ini disebut al-rasyi. Hukum
perbuatan risywah disepakati oleh para ulama adalah haram, khususnya risywah yang
terdapat unsur membenarkan yang salah dan atau menyalahkan yang mestinya benar. Akan
tetapi, para ulama menganggap halal sebuah bentuk suap yang dilakukan dalam rangka
menuntut atau memperjuangkan hak yang mestinya diterima oleh pihak pemberi suap atau
dalam rangka menolak kezaliman, kemudaratan, dan ketidakadilan yang dirasakan oleh
pemberi suap.

3. Ghasab (mengambil paksa hak/harta orang lain)

Secara etimologi ghasab berasal dari kata kerja berarti yang (mengambil suatu secara paksa
dan zalim). Muhammad al-Khatib al-Syarbini menjelaskan definisi ghasab secara etimologis
lebih lengkap dari definisi di atas, yaitu ghasab secara bahasa berarti mengmbil sesuatu
secara zalim (ia melakukannya juga) secara terang-terangan). Sedangkan alJurjani
mendefinisikan ghasab secara etimologis dengan mengambil sesuatu secara zalim, baik yang
diambil itu harta atau yang lain).

10
Sedangkan secara etimologis, ghasab didefinisikan sebagai upaya untuk menguasai hak orang
lain secara permusuhan/terang-terangan. Para ulama sepakat bahwa ghasab merupakan
perbuatan terlarang dan hukumnya haram untuk dilakukan. Dalam hal ini, Imam al-Nawawi
mengatakan bahwa pada prinsipnya seluruh kaum muslimin sepakat menyatakan bahwa
ghasab hukumnya haram. Adapun dalil-dalil tentangn larangan melakukan ghasab terdapat
dalam beberapa nash, baik al-Qur’an maupun Hadits bahkan ijma’ para ulama. Diantara ayat
yang melarang perbuatan ghasab adalah firman Allah swt dalam surah al-Nisa’ (4) ayat 29
dan al-Baqarah (2) ayat 188. Dalam dua ayat ini tersirat secara tegas bahwa Allah melarang
memakan harta satu orang dengan orang lain secara batil. Masuk dalam kategori memakan
harta sesama dengan cara batil ini adalah perbuatan ghasab karena di dalamnya terdapat
unsur merugikan pihak lain atau tepatnya ghasab termasuk melanggar larangan Allah swt.
Ketika menfsirkan ayat ini, alQurthubi secara tegas memasukan ghasab sebagai salah satu
bentuk perbuatan yang dilarang termasuk dalam kategori memakan harta sesama dengan cara
batil.

Disamping kedua ayat di atas, larangan dan ketentuan haramnya ghasab didasarkan atas
beberapa Hadits Rasulullah saw. Beliau pernah bersabda, bahwa sesungguhnya darah kalian,
harta kalian haram (untuk saling diganggu) seperti haramnya hari (nahr) kalian ini, Seperti
bulan (Dzulhijah) kalian ini di negeri (Mekah/Mina/tanah haram) kalian ini.

4. Khianat (berbohong)

Kata khianat berasal dari bahasa Arab yang merupakan bentuk verbal noun masdar dari kata
kerja Selain bentuk masdar –nya bisa berupa semuanya berarti (sikap tidak becusnya
seseorang pada saat diberikan kepercayaan). Bentuk isim fail/pelaku dari kata kerja adalah
Dalam kitab al-Misbah al-munir, al-Fayumi mengartikan dengan (seseorang yang berkhianat
terhadap sesuatu yang dipercayakan kepadanya)., dan oleh alSyaukani dalam Nail al-Authar
diberi penjelasan bahwa adalah orang yang mengmbil harta secara sembunyi-sembunyi dan
menampakkan perilaku baik terhadap pemilik (harta tersebut).

5. Sariqah (Pencurian)

Secara etimologis sariqah adalah masdar atau verbal noun dari kata
sarakah,yasriq,sarkoh,yang berarti mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-
sembunyi dan dengan tipu daya. Sedangkan secara terminologis, sariqah dalam syari’at
agama Islam adalah mengambil sejumlah harta senilai sepuluh dirham yang masih berlaku,
disimpan di tempat penyimpanannya atau dijaga atau dilakukan oleh seorang mukallaf secara
sembunyi-sembunyi serta tidak terdapat unsur syubhat sehingga bila barang tersebut kurang
dari sepuluh dirham yang masih berlaku maka tidak dikategorikan sebagai pencurian.

Jadi sariqah adalah mengambil barang atau harta orang lain dengan cara sembunyi-sembunyi
dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta
kekayaan tersebut. Dalam hal ini, Abdul Qadir Audah menjelaskan secara detail tentang
perbedaan pencurian kecil dan pencurian besar. Pada pencurian kecil, proses pengambilan
harta kekayaan tidak disadari oleh korban dan dilakukan tanpa seizinnya sebab dalam
pencurian kecil harus memenuhi dua unsur ini secara bersamaan, (yaitu korban tidak

11
mengetahui dan tidak mengizinkan). Bila salah satu dari dua unsur ini tidak ada maka tidak
bisa disebut dengan pencurian kecil.

Selanjutnya Abdul Qadir Audah menjelaskan bahwa pencurian besar adalah pengmbilan
harta yang dilakukan dengan sepengetahuan korban, tetapi ia tidak mengizinkan hal itu
terjadi sehingga terdapat unsur kekerasan. Bila di dalamnya tidak terdapat unsur kekerasan
maka disebut pencopetan, ghasab atau penjambretan. Syarat jarimah sariqah ada lima, yaitu;
pelaku sudah dewasa dan berakal sehat, pencurian tidak dilakukan karena pelakunya sangat
terdesak oleh kebutuhan hidup, tidak ada hubungan kerabat antara pihak korban dengan
pelaku, tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, dan pencurian tidak terjadi pada
saat peperangan di jalan Allah.

Berkaitan dengan unsur atau rukun tindak pidana ini, Abdul Qadir Audah mengemukakan
bahwa unsur-unsur sariqah terdiri dari empat macam, yaitu; mengmbil secara sembunyi-
sembunyi, barang yang diambil berupa harta, harta yang diambil tersebut milik orang, dan
unsur al-qasd al-jina’i (melawan hukum).

Dengan demikian bisa disimpulkan bahwa unsur-unsur atau rukun-rukun tindak pidana
pencurian ada empat, yaitu; mengmbil secara sembunyi-sembunyi, barang yang diambil
berupa harta kekayaan, harta yang diambil merupakan milik orang lain dan melawan hukum.
Sementara itu, Imam al-Nawawi mengemukakan ada enam unsur jarimh sariqah, yaitu;
barang yang diambil telah mencapai batas minimal, harta bukan sebagai milik pelaku, harta
merupakan benda-benda yang bernilai nominal dan dihargai, harta dimiliki korban secara
sempurna, bukan harta bersama, tidak terdapat unsur syubhat dari sisi kepemilikan antara
pelaku dan korban, dan harta tersimpan dalam tempat penyimpanan yang biasa digunakan
untuk menyimpan harta kekayaan.

6. Hirabah (Perampokan)

Secara etimologis hirabah adalah bentuk masdar atau verbal noun dari kata kerja yang berarti
yakni memerangi atau dalam kalimat “haraballah” berarti seorang bermaksiat kepada Allah.

Adapun secara terminologis, muharib atau qutta’u al-tariq adalah mereka yang melakukan
penyerangan dengan membawa senjata kepada satu komunitas orang sehingga para pelaku
merampas harta kekayaan mereka di tempet-tempat terbuka secara terang-terangan. Jadi
hirabah atau perampokan adalah tindakan kekerasan yang dilakukan oleh seseorang atau
sekelompok orang kepada pihak lain, baik dilakukan di dalam rumah atau di luar rumah,
dengan tujuan guntuk menguasai atau merampas harta benda milik orang lain tersebut atau
dengan maksud membunuh korban atau sekedar bertujuan untuk memberi teror dan menakut-
nakuti pihak korban.

12
2.4 Sanksi Hukum Dalam Fiqh Jinayah

1. Sanksi Hukum Bagi Pelaku Ghulul (Penggelapan)

Untuk dua jennis jarimah ini, walaupun dalam ayat alQur’an tidak disebutkan teknis eksekusi
dan jumlahnya, tetapi dalam beberapa hadits Rasulullah S.A.W secara tegas disebutkan teknis
dan jumlah sanksi keduanya. Hal inilah yang membedakan ghulul dengan jarimah qishas dan
hudud sehingga ghulul masuk dalam kategori jarimah takzir. Dari data-data hadits syarah-
syarahnya bias diketahui bahwa Rasulallah SAW tidak menganggap ghulul sebagai suatu
jarimah atau tindak kriminal yang pelakunya akan mendapatkan sanksi hukum sebagaimana
pada jarimah hudud dan qisas.

Dalam menangani kasus-kasus penggelapan atau ghulul, beliau tampaknya lebih banyak
melakukan pembinaan moral dengan menanamkan kesadaran untuk menghindari segala
bentuk penyelewengan dan mengingatkan masyarakat akan adanya hukuman ukhrawi berupa
siksa neraka yang akan ditimpakan Sanksi hukum pada ghulul tampaknya bersifat sanksi
moral. Ghulul mirip dengan jarimah riddah. kepada pelakunya. Sementara itu, terdapat
sebuah hadits riwayat Abu Dawud, Ahmad, alBaihaqi, dan Abu Ya’la yang mengatakan
bahwa Rasulullah S.A.W pernah bersabda “Barang siapa didapatkan dalam harta bendanya
barang hasil ghulul (pnggelapan) maka bakarlah harta benda itu dan pukulah dia.”Hadits
tentang perintah membakar harta hasil ghulul dan memukul pelakunya ini dinilai oleh hamper
seluruh ulama ahli hadits sebagai hadits dha’if.

2. Sanksi Hukum bagi Pelaku Risywah

Berkaitan dengan sanksi hukum bagi pelaku risywah, tampaknya tidak jauh berbeda dengan
sanksi hukum bagi pelaku ghulul, yaitu hukum ta’zir sebab keduanya tidak termasuk dari
ranah qishas dan hudud. Dalam hal ini, Abdul Muhsin al-Thariqi mengemukakan bahwa
sanksi hukum pelaku tindak pidana suap tidak disebutkan secara jelas oleh syari’at (al-Qur’an
dan Hadits), mengingat sanksi tindak pidana risywah masuk dalam kategori sanksi-sanksi
ta’zir yang kompetensinya ada di tangan hakim. Untuk menetukan jenis sanksi yang sesuai
dengan kaidah-kaidah hukum Islam dan sejalan dengan prinsip untuk memelihara stabilitas
hidup masyarakat sehingga berat dan ringannnya sanksi hukum harus disesuaikan dengan
jenis tindak pidana yang dilakukan, disesuaikan dengan lingkungan di mana pelanggaran itu
terjadi, dikaitkan dengan motivasi-motivasi yang mndorong sebuah tindak pidana dilakukan.

para pihak yang terlibat dalm jarimah risywah dinyatakan terlaknat atau terkutuk, hal ini
menjadikan risywah dikategorikan ke dalam dosadosa besar.Namun, karena tidak ada
ketentuan tegas tentang jenis dan tata cara menjatuhkan sanksi maka risywah dimaksud
dalam kelompok tindak pidana ta’zir. Abdul Aziz Amir mengatakan bahwa karenan dalam
teks-teks dalil tentang tindak pidana risywah ini tidak disebutkan jenis sanksi yang telah
ditentukan maka sanksi yang diberlakukan adalah hukuman ta’zir.berbagai peraturan
perundang-rundangan menanggulangi dan memberantas korupsi di negeri ini sudah jauh lebih
baik da ideal bila dibandingkan dengan konsep yang masih merupakan doktrin hukum yang
terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Berbagai peraturan perundang-undangan merupakann bentuk
konkret dari konsep ta’zir yang ditawarkan oleh fiqh jinayah, yaitu sebuah sanksi hukum

13
yang tidak dijelaskan secara tegas mengenai jenis dan teknis serta tata cara pelaksanaannya
oleh al-Qur’an dan hadits-hadits Rasulullah, melainkan diserahkan kepada pemerintah dan
hakim setempat.

3. Sanksi Hukum Pelaku Ghasab

Dari pengertian dan dalil-dalil ghasab, baik dalil al-Qur’an maupun Hadits, bisa diketahui
bahwa tidak satu nash pun yang menjelaskan tentang bentuk, jenis, dan jumlah sanksi hukum
bagi pelaku ghasab masuk dalam jenis sanksi perdata dan sanksi pidana. Secara Imam al-
Nawawi mengklafikasikan jenis sanksi bagi pelaku ghasab yang dikaitkan dengan kondisi
barang sebagai objek ghasab menjadi tiga kategori, yaitu pertama, barang yang dighasab
masih utuh seperti semula. Kedua, barang yang dighasab itu telah lenyap dan ketiga, barang
yang dighasab hanya berkurang. Dari ketiga kategori tersebut berlaku hukum ta’zir bagi
pelaku hudud atau qishah/diyat.

4. Sanksi Hukum Pelaku khianat

Tidak seperti dalil-dalil jarimah ghulul,risywah, dan ghasab.Pada dalil jarimah khianat, sanksi
hukum tidak disebutkan secara eksplisit, jelas, dan konkret. Oleh karena itu, khianat masuk
dalam kategori jarimah ta’zir, bukan pada ranah hudud dan qisas/diyat.

5. Sanksi Hukum pelaku Syariqoh

Apabila seseorang telah memenuhi syarat-syarat ditetapkan menjadi pencuri dan syarat-
syarat benda yang dicuri. Maka ulama’ sepakat bahwa sanksi hukuman yang harus diterima
adalah potong tangan. Karena telah ada dalil yang jelas dari al-Qur’an dan al-Hadits
mengenai hukuman bagi pencuri. Namun apabila belum memenuhi syarat-syarat di atas maka
hanya berlaku hukuman ta’zir.

6. Sanksi Hukum pelaku Hirobah

Dalil naqli tentang perampokan disebutkan secara tegas di dalam Surah alMa’idah (5) ayat 33
:

“Sesungguhnya hukuman bagi orang-orang yang memerangi Allah dan Rasululnya dan
membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan
kaki mereka silang,atau dibuang dari negeri (tempat kediaman). Yang demikian itu (sebagai)
penghianatan untuk mereka di dunia, dan di akhirat mereka beroleh siksaan yang besar”.

Ulama-ulama madzhab Syafi’I dan Abu Hanifah memahami kata aw (atau) pada ayat
sebagai sebagai rincian yang disebut sanksinya secara berurutan sesuai dengan jenis dan
bentuk kejahatan yang dilakukan oleh perampok. Sedangkan Imam Malik memahami kata aw
(atau) dalam arti pilihan, yakni empat macam hukuman yang disebutkan di atas, diserahkan
kepada yang berwenang untuk memilih mana yang paling sesuai dan adil dengan kejahatan
pelaku. Dengan demikian, pemberlakuan sanksi hukum terhadap pelaku jarimah hirabah
harus disesuaikan dengan tindak pidana yang dilakukan perampok..

14
2.5 Sanksi Hukum Syariah

Di dalam syariah islam terdapat ketentuan bahwa orang yang melakukan pelanggaran
tindak pidana itu mendapatkan hukuman berupa had ataupun ta’zir. Had adalah hukuman
yang sudah Allah jelaskan dan tentukan dalam al qur’an ataupun hadits bagi para
pelanggarnya, misalnya, hukum zina bagi orang yang sudah pernah menikah adalah dirajam,
hukum potong tangan bagi para pencuri. Sedangkan ta’zir adalah hukuman yang dijatuhkan
oleh para pelanggar hukum tindak pidana, akan tetapi belum dijelaskan oleh al qur’an
maupun hadist. Misal, menyewakan rahim seorang ibu, mengkonsumsi narkoba, dan lain-
lain.

Korupsi merupakan bentuk tindak pidana yang belum ditentukan hukumannya oleh syariat,
bentuk pidana seperti ini dalam Islam dinamakan jarimah ta’zir. Adapun hukuman dari
pelanggar jarimah itu sangat variatif, sesuai dengan kadar tindak kejahatan dan keputusan
hakim, mulai dari yang paling ringan sampai dengan yang paling berat.

Hukuman-hukuman ta’zir ialah :

1. Hukuman Mati
Pada dasarnya hukuman ta’zir dalam syariah hanya terbatas pada ta’dib (pengajaran),
dan tidak sampai membinasakan. Oleh karena itu sebenarnya tidak boleh ada unsur
penghilangan fungsi anggota badan ataupun penghilangan nyawa, Akan tetapi para
fuqaha membuat pengecualian dari aturan umum tersebut, yaitu dibolehkanya
dijatuhkannya hukuman mati. Dijatuhkannya hukuman ini karena tidak ada cara lain
untuk memberantas tindak pidana tersebut, seperti mata-mata, pembuat fitnah,
residivist yang berbahaya. Jikalau di Negara ini terdapat banyak kasus korupsi dan
tidak ada hukuman yang membuat pelaku jera, maka hukuman ini bisa dilaksanakan
demi terlaksananya Negara yang sejahtera.

2. Hukuman kurungan
Ada dua macam hukuman kurungan dalam syariah islam, yaitu hukuman kurungan
terbatas dan hukuman kurungan tidak terbatas (dilihat dari segi lamanya waktu).

a. Hukuman kurungan terbatas


Batas minimal bagi hukuman ini ialah satu hari, sedangkan batas maksimalnya
tidak ada kesepakatan dari para ulama’. Penetapan hukuman ini disyaratkan
bahwa hukuman tersebut menjadikan perbaikan pada pelaku. Kalau hukuman ini
tidak sesuai dengan harapan awal, maka hukuman lain bisa dijatuhkan pada waktu
masih dalam kurungan. Ada beberapa perbedaan antara hukum positif dengan
hukum islam mengenai hukuman pokok dalam kasus pidana. Dalam hukum
positif hukuman kurungan merupakan hukuman utama, sedangkan dalam hukum
islam dalam menentukan hukuman lebih subjektif, tergantung pada berat
ringannya kasus.

15
b. Hukuman kurungan tidak terbatas
Hukuman ini tidak ada batasan waktunya, jika pelaku sudah jera dan bertaubat
maka ketika itu dia sudah bisa keluar dari kurungan, jika tidak menjadi baik
ataupun bertaubat maka bisa selamanya di penjara. Orang- tersebut adalah pelaku
tindak pidana berat, seperti perampok, pembunuhan dan penganiayaan. Dalam
sebuah kitab fiqh menjelaskan bahwa pelaku korupsi terjerat beberapa hukum.
Yang pertama adalah hukuman mati. Karena korupsi tersebut sudah menjadikan
suatu Negara atau instansi. Hukuman kedua bagi koruptor atau pelaku korupsi
adalah diambil hartanya, hal ini bertujuan untuk mengembalikan harta Negara
yang sudah mereka makan.

16
BAB III
PENUTUP

Dari hasil pembhasan maklah yang telah tersaji dapat disimpulkan bahwa:

1. Korupsi menurut islam adalah perbuatan kriminal yang bertentangan dengan


moral dan etika keagamaan. Prilaku korupsi dapat memupuskan pahala
jihad/syahid. Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa Rasulullah menegaskan
bahwa akibat korupsi seseorang yang sepantasnya menjadi ahli sorga (karena
Syahid), malah masuk neraka karena prilaku culasnya.
2. Korupsi mempunyai perspektif hukum tindak pidana (fiqh jinayah ), yaitu
antara lain: hukum pidana islam dan hukum positif dimana diantaranya
mempunyai perbadaan dalam menjatuhkan hukuman bagi para pengkorupsi.
3. Ada beberapa kualifikasi dari tindak pidana korupsi dalam fiqh jinayah yaitu
antara lain adalah Ghulul (penggelapan), Risywah (penyuapan), Ghasab
(mengambil paksa hak orang lain), Khianat (berbohong), Sariqah (pencurian),
Hirobah (perampokan).
4. Sanksi hukum dalam fiqh jinayah dari beberapa kualifikasi tindak pidana
korupsi adalah antara lain: bagi para peluku Ghulul Allah SWT mengancam
mereka dengan neraka, bagi para peluku Risywah berlaku hukum ta`zir, bagi para
pelaku Ghasab hukumnya adalah haram, bagi para pelaku Khianat sangan dilarang
oleh Allah SWT, bagi para pelaku Sariqah berlaku hukum ta`zir, dan yang terakhir
adalah bagi para pelaku Hirobah juga sama berlakunya hukum ta`zir yang
disesuaikan dengna barang yang dirampok oleh pelaku Hirobah.

17
DAFTAR PUSTAKA

A.Hanafi. Azas-azas Hukum Pidana Islam.1993. Jakarta: Bulan Bintang.


Drs. Adami Chazawi, SH.2005. Hukum Pidana Materiil dan Formil Korupsi di
Indonesia. Malang: IKAPI Jatim.
Dr.H.M. Nurul Irfan, M.Ag,.2011. Korupsi dalam Hukum Pidana Islam. Jakarta:
Amzah.
Dr. H. Ahmad Wardi Muslic.1992. Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT. Sinar
Grafika.
Ismail, Muhammad Syah.1992. Filsafat Hukum Islam. Jakarta: Bumi Aksara.
Munawa, Fuad Noeh.1997. Islam dan Gerakan Moral Anti Korupsi. Jakarta:
Zikrul Hakim. Umam, Khairul.1998. Ushul Fikih I. Bandung: Pustaka Setia.
Wahab, Afif.1998. Hukum Pidana Islam. Banten: Yayasan Ulumul Quran.

18

Anda mungkin juga menyukai