Anda di halaman 1dari 33

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep Arthritis Gout

1. Definisi

Penyakit asam urat adalah penyakit radang sendi yang dapat

menimbulkan rasa nyeri, panas, bengkak, dan kaku pada persendian

yang disebabkan oleh kandungan asam urat yang berlebih dalam darah

sehingga terjadi penumpukan kristal asam urat di persendian dan

jaringan lunak lain (Sari & Syamsiyah, 2019).

Gout adalah penyakit yang disebabkan gangguan metabolisme

purin yang ditandai dengan hiperurikemi dan serangan nyeri sinovitis

akut berulang-ulang. Penyakit ini paling sering menyerang pria usia

pertengahan sampai usia lanjut dan wanita pasca menopouse (Nurarif

& Kusuma, 2015).

2. Klasifikasi

Penyakit asam urat digolongkan menjadi penyakit gout primer dan

penyakit gout sekunder (Ode, 2017):

a. Penyakit gout primer

Sebanyak 99% penyebabnya belum diketahui (idiopatik).

Diduga berkaitan dengan kombinasi faktor genetik dan faktor

hormonal yang menyebabkan gangguan metabolisme yang dapat

mengakibatkan meningkatnya produksi asam urat atau bisa juga

7
8

diakibatkan karena berkurangnya pengeluaran asam urat dari

tubuh.

b. Penyakit gout sekunder

Penyakit ini disebabkan antara lain karena meningkatnya

produksi asam urat karena nutrisi, yaitu mengonsumsi makanan

dengan kadar purin yang tinggi. Prosuksi asam urat meningkat juga

bisa karena penyakit darah (penyakit sumsum tulang, polisitemia),

obat-obatan (alkohol, obat-obat kanker, vitamin B12).

3. Etiologi

a. Faktor yang dapat memicu penyakit asam urat antara lain (Sari &

Syamsiyah, 2019):

1) Keturunan (Genetik).

2) Jenis kelamin.

3) Usia.

4) Konsumsi makanan tinggi purin.

5) Konsumsi alkohol dan minuman ringan (soft drink) berlebihan.

b. Faktor pencetus terjadinya endapan kristal urat (Aspiani, 2014):

1) Diet tinggi purin.

2) Penurunan filtrasi glomerulus yang menyebabkan penurunan

ekskresi asam urat.

3) Pemberian obat diuretik seperti Tiazid dan Furosemid.

4) Minuman beralkohol.
9

4. Patofisiologi

Peningkatan kadar asam urat serum dapat disebabkan oleh

pembentukan berlebihan atau penurunan ekskresi asam urat, ataupun

keduanya. Asam urat adalah produk akhir metabolisme purin, asam

urat yang diresorpsi di tubulus proksimal ginjal. Sebagian kecil asam

urat yang diresorpsi kemudian diekskresikan di nefron distal dan

dikeluarkan melalui urin (Aspiani, 2014).

Pada penyakit arthritis gout terdapat gangguan kesetimbangan

metabolisme (pembentukan dan ekskresi) dari asam urat tersebut

terjadi penurunan ekskresi asam urat secara idiopatik, penurunan

ekskresi asam urat sekunder, misalnya karena gagal ginjal,

peningkatan asupan makanan yang mengandung purin, dan

peningkatan produksi atau hambatan ekskresi akan meningkatkan

kadar asam urat dalam darah. Asam urat ini merupakan suatu zat yang

kelarutannya sangat rendah sehingga cenderung membentuk kristal

(Aspiani, 2014).

Banyak faktor yang berperan dalam mekanisme serangan gout.

Salah satunya yang telah diketahui peranannya adalah konsentrasi

asam urat dalam darah. Mekanisme serangan gout akut berlangsung

melalui beberapa fase secara berurutan (Sya’diyah, 2018).

a. Presipitasi kristal monosodium urat.

Presipitasi monosodium urat dapat terjadi di jaringan bila

konsentrasi dalam plasma lebih dari 9 mg/ dl. Presipitasi ini terjadi
10

di rawan, sonovium, jaringan paraartikuler misalnya bursa, tendon,

dan selaputnya. Kristal urat yang bermuatan negatif akan

dibungkus (coate) oleh berbagai macam protein. Pembungkusan

dengan IgG akan merangsang netrofil untuk berespon terhadap

pembentukan kristal.

b. Respon leukosit polimorfonukuler (PMN)

Pembentukan kristal menghasilkan faktor kemotaksis yang

menimbulkan respon leukosit PMN dan selanjutnya akan terjadi

fagositosis kristal oleh leukosit.

c. Fagositosis

Kristal difagositosis oleh leukosit membentuk fagolisosom

dan akhirnya membran vakuala disekeliling kristal bersatu dan

membran leukosit lisosom.

d. Kerusakan lisosom

Terjadi kerusakan lisososom, sesudah selaput protein

dirusak, terjadi ikatan hidrogen antara permukaan kristal membran

lisosom, peristiwa ini menyebabkan robekan membran dan

pelepasan enzim-enzim dan oksidase radikal kedalam sitoplasma.

e. Kerusakan sel

Setelah terjadi kerusakan sel, enzim-enzim lisosom

dilepaskan kedalam cairan sinovial, yang menyebabkan kenaikan

intensitas inflamasi dan kerusakan jaringan.


11
Pathway

Alkohol Makanan tinggi purin Penyakit & Obat-obatan


(kepiting, seafood, dll)
Kadar laktat dalam Menghambat ekskresi asam
darah meningkat Kadar protein urat di tubulus ginjal
meningkat

Sekresi asam urat menurun


Gangguan metabolisme purin
Produksi asam urat meningkat
GOUT

Pelepasan kristal monosodium urat


(crystall phedding) Dalam dan sekitar
sendi
Penimbunan kristal urat
Penimbunan pada membran
Pengendapan kristal urat sinovial dan tulang rawan
artikular
Perangsangan respon
fagositosis oleh leukosit
Erosi tulang rawan, proliferasi
Leukosit memakan kristal urat inovial dan pembuluh panas

Mekanisme peradangan Degenerasi tulang rawan

Sirkulasi darah daerah Terbentuk tofus, fibrosis, akilosis


radang meningkat pada tulang

Vasodilatasi
Pembentukan tukak
P dari kapiler pada sendi Perubahan bentuk
pada sendi
Eritema panas
Tofus-tofus
Nyeri mengering Gangguan diri,
citra diri menurun
Kekauan pada sendi

Hambatan
Membatasi pergerakan
mobilitas
sendi

Gambar 2.1 Pathway Arthritis Gout (Sya’diyah, 2018)


12

5. Manifestasi Klinis

a. Menurut Aspiani (2014) terdapat empat stadium perjalanan klinis

dari penyakit arthritis gout antara lain:

1) Stadium I

Stadium I adalah hiperurisemia asimtomatik. Nilai normal asam

urat serum pada laki-laki adalah 5,1 ± 1 mg/dl, dan pada

perempuan adalah 4,0 ± 1,0 mg/dl.

2) Stadium II

Stadium II adalah arthritis gout. Pada tahap ini terjadi awitan

mendadak pembengkakan dan nyeri yang luar biasa, biasanya

pada kaki dan sendi metatarsofalangeal. Arthritis bersifat

monoartikular dan menunjukkan tanda-tanda peradangan lokal.

Serangan dapat dipicu oleh pembedahan, trauma, obat-obatan,

alkohol, dan stress emosional.

3) Stadium III

Stadium III adalah serangan gout akut (gout interitis) adalah

tahap interkritis. Tidak terdapat gejala-gejala pada masa ini,

yang dapat berlangsung dari beberapa bulan sampai tahun.

Kebanyakan orang mengalami serangan gout berulang dalam

waktu kurang dari 1 tahun jika tidak diobati.

4) Stadium IV

Stadium IV adalah gout kronik, dengan timbunan asam urat

yang terus bertambah dalam beberapa tahun jika pengobatan


13

tidak dimulai. Peradangan akibatnya kristal-kristal asam urat

mengakibatkan nyeri, sakit, dan kaku, juga pembesaran dan

penonjolan sendi yang bengkak.

b. Selain menjelaskan empat stadium perjalanan klinis dari penyakit

arthritis gout Aspiani (2014) juga menjelaskan gejala klinis

penyakit arthritis gout antara lain:

1) Nyeri tulang sendi.

2) Kemerahan dan bengkak pada tulang sendi.

3) Tofi pada ibu jari, mata kaki dan pinna telinga.

4) Peningkatan suhu tubuh.

c. Menurut Aspiani (2014) komplikasi yang terjadi pada arthritis gout

yaitu:

1) Deformitas pada persendian yang terserang.

2) Urolitiasis akibat deposit kristal urat pada saluran kemih.

3) Nephrophaty akibat deposit kristal urat dalam interstitial ginjal.

4) Hipertensi ringan.

5) Proteinuria.

6) Hiperlipidemia.

7) Gangguan parenkim ginjal dan batu ginjal


14

6. Pemeriksaan Diagnostik

Aspiani (2014) menjelaskan beberapa pemeriksaan diagnostik untuk

mendiagnosis penyakit arthritis gout antara lain:

a. Serum asam urat

Umumnya meningkat, diatas 7,5 mg/dl. Pemeriksaan ini

mengindikasikan hiperurisemia, akibat peningkatan produksi asam

atau gangguan ekskresi.

b. Leukosit

Menunjukkan peningkatan yang signifikan mencapai 20.000/mm³

selama serangan akut. Selama periode asimtomatikangka leukosit

masih dalam batas normal yaitu 5.000- 10.000/ mm³.

c. Eusinofil Sedimen Rate (ESR)

Meningkat selama serangan akut. Peningkatan kecepatan sedimen

rate mengindikasikan proses inflamasi akut, sebagai akibat deposit

asam urat di persendian.

d. Urin spesimen 24 jam

Urin dikumpulkan dan diperiksa untuk menentukan produksi dan

ekskresi dan asam urat. Jumlah normal seorang mengekskresikan

250- 750 mg/24 jam asam urat dalam urin.

e. Pemeriksaan radiografi

Pada sendi yang terserang, hasil pemeriksaan menunjukkan tidak

sterdapat perubahan pada awal penyakit, tetapi setelah penyakit


15

berkembang progresif maka akan terlihat jelas/ area terpukul pada

tulang yang berada di bawah sinovial sendi.

7. Penatalaksanaan

Aspiani (2014) mengemukakan berbagai penanganan penyakit

arthritis gout antara lain:

a. Stadium 1 (Hiperurisemia asimtomatik)

1) Biasanya tidak membutuhkan pengobatan.

2) Turunkan kadar asam jurat dengan obat-obat urikosurik dan

penghambat xanthin oksidase.

b. Stadium II (Arthritis Gout Akut)

Serangan akut arthritis gout dapat diobati dengan obat-obatan

antiinflamasi nonsteroid atau kolkisin. Obat-obat ini diberikan

dalam dosis tinggi atau dosis penuh untuk mengurangi peradangan

akut sendi. Kemudian dosis ini diturunkan secara bertahap dalam

beberapa hari.

1) Kalkisin di berikan 1 mg (2 tablet) kemudian 0,5 mg (1 tablet)

setiap 2 jam sampai serangan akut hilang.

2) Indometasin 4 x 50 mg sehari.

3) Fenil butazon 3 x 100-200 mg selama serangan, kemudian

turunkan.

4) Penderita di anjurkan untuk diet rendah purin, hindari alkohol

dan obat-obat yang menghambat ekskresi asam urat.


16

c. Stadium III (tahap interkritis)

Pengobatan gout kronik adalah berdasarkan usaha untuk

menurunkan produksi asam urat atau meningkatkan ekskresi asam

urat oleh ginjal. Obat alopurinol menghambat pembentukan asam

urat dari prekursornya (xantin dan hipoxantin) dengan

menghambat enzim xantin oksidase. Obat ini dapat diberikan

dalam dosis yang memudahkan yaitu sehari sekali.

1) Hindari faktor pencetus timbulnya serangan seperti banyak

makan lemak, alkohol, dan protein, trauma dan infeksi.

2) Berikan obat profilaktik (kalkisin 0,5- 1 mg indometasin tiap

hari.

d. Stadium IV (Gout kronik)

1) Alopurinol menghambat enzim xantin oksidase sehingga

mengurangi pembentukan asam urat.

2) Obat- obat urikosurik yaitu prebenesid dan sulfinpirazon.

3) Tofi yang besar atau tidak hilang dengan pengobatan konservatif

perlu dieksisi.

B. Konsep Lansia

1. Definisi Lanjut Usia

Lanjut usia adalah tahap akhir perkembangan manusia yang

ditandai dengan adanya kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang

ditandai dengan kulit yang mengendur, rambut memutih, gigi mulai

ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin memburuk,


17

gerakan lambat, dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho,

2017). Sedangkan menurut Undang-Undang Nomor 13 tahun 1998

Bab 1 Pasal 1 (2) tentang kesejahteraan lanjut usia bahwa umur 60

tahun adalah usia permulaan tua (Nugroho, 2017).

2. Batasan Lanjut Usia

a. Menurut WHO dalam Nugroho (2017) ada empat tahap, yakni :

1) Usia Pertengahan (middle age) adalah kelompok usia antara 45-

59 tahun.

2) Lanjut usia (elderly) adalah kelompok usia antara 60-74 tahun.

3) Lanjut usia tua (old) adalah kelompok usia antara 75-90 tahun.

4) Usia sangat tua (very old) adalah kelompok usia diatas 90 tahun.

b. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia (Depkes RI)

dalam Aspiani (2014) membaginya lanjut usia menjadi sebagai

berikut:

1) Kelompok menjelang usia lanjut adalah usia antara 45-54 tahun

dikatakan sebagai masa virilitas.

2) Kelompok usia lanjut adalah usia antara 55-64 tahun dikatakan

sebagai masa presenium.

3) Kelompok usia lanjut adalah usia lebih dari 65 tahun dikatakan

sebagai masa senium.


18

3. Tipe Lanjut Usia

a. Mangkunegoro IV dalam surat Werdatama dalam Nugroho (2017)

menyebutkan bahwa orang tua (lanjut usia) dalam literatur lama

(Jawa) dibagi menjadi dua golongan, yakni :

1) Wong Sepuh: orang tua yang sepi hawa nafsu, menguasai ilmu

“Dwi Tunggal”, yakni mampu membedakan antara baik dan

buruk, sejati dan palsu, Gusti Tuhan atau hambanya.

2) Wong sepuh: lanjut usia yang kosong, tidak tahu rasa, bicaranya

muluk-muluk tanpa isi, tingkah lakunya dibuat-buat dan

berlebihan, serta memalukan. Hidupnya menjadi hambat

(kehilangan dinamika dan romantika hidup).

b. Nugroho (2017) menjelaskan tipe-tipe lansia sebagai berikut:

1) Tipe arif bijaksana: lanjut usia ini kaya denganhikma

pengalaman, menyesuaikan diri dengan perubahan zaman,

mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati, sederhana,

dermawan, memenuhi undangan, dan menjadi panutan.

2) Tipe mandiri: lanjut usia ini senang mengganti kegiatan yang

hilang dengan kegiatan baru, selektif dalam mencari pekerjaan

dan teman pergaulan, serta memnuhi undangan.

3) Tipe tidak puas: lanjut usia yang selalu mengalami konflik lahir

batin, menentang proses penuaan, yang menyebabkan

kehilangan kecantikan, kehilangan daya tarik jasamani,

kehilangan kekuasaan, status, teman yang disayangi, pemarah,


19

tidak sabar, mudah tersinggung, menuntut, sulit dilayani, dan

pengkritik.

4) Tipe pasrah: lanjut usia yang selalu menerima dan menunggu

nasib baik, mempunyai konsep habis (“habis gelap tetbitlah

terang”), mengikuti kegiatan beribadat, tingan kaki, pekerjaan

apa saja dilakukan.

5) Tipe bingung: lanjut usia yang kagetan, kehilangan kepribadian,

mengasingkan diri, merasa minder, menyesal, pasif, acuh tak

acuh.

4. Proses Menua

Proses menua merupakan proses sepanjang hidup, tidak hanya

dimulai sejak permulaan kehidupan. Menjadi tua merupakan proses

alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap

kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Menua atau menjadi tua

adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan kemampuan

jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti diri dan mempertahankan

struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap

jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

(Nugroho, 2017).

5. Perubahan-perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia

Nugroho (2017) menjelaskan bahwa perubahan-perubahan yang

terjadi pada lanjut usia anta lain:


20

a. Perubahan Fisiologi

Perubahan fisiologi meliputi perubahan sel, sistem persarafan,

sistem kardiovaskuler, sistem pengaturan suhu tubuh, sistem

pernafasan, sistem pencernaan, sistem reproduksi, sistem

genitourinaria, sistem endokrin, sistem integumen, dan sistem

muskulokeletal.

b. Perubahan Mental

Perubahan mental pada lansia dapat berupa sikap yang mudah

curiga, bertambah pelit atau tamak bila memiliki sesuatu, keinginan

berumur panjang, ingin mempertahankan hak dan hartanya serta

ingin tetap berwibawa, dan ingin meninggal secara terhormat dan

masuk surga.

Faktor-faktor yang mempengaruhi perubahan mental antara lain:

1) Perubahan fisik, khususnya organ perasa.

2) Kesehatan umum.

3) Tingkat pendidikan.

4) Keturunan (hereditas).

5) Lingkungan.

6) Perubahan kepribadian yang drastis, namun keadaan ini jarang

terjadi. Lebih sering berupa ungkapan yang tulus dari perasaan

seseorang, kekakuan mungkin karena faktor penyakit.


21

c. Perubahan Psikososial

1) Pensiunan akan mengalami kehilangan finansial, status, teman/

kenalan, dan pekerjaan/ kegiatan.

2) Merasakan sadar terjadap kematian

3) Kemampuan ekonomi akibat pemberhentian kerja, biaya hidup

meningkat pada pendapatan yang sulit.

4) Adanya penyakit kronis dan ketidakmampuan.

5) Timbul kesepian akibat pengasingan dari lingkungan sosial.

6. Penyakit yang Sering Terjadi pada Lanjut Usia

Ada empat penyakit yang sangat erat hubungannya dengan proses

menua (Stieglitz, 1954 dalam Nugroho 2017) yaitu:

a. Gangguan sirkulasi darah, misalnya hipertensi, kelainan pembuluh

darah, gangguan pembuluh darah di otak 9koroner), ginjal, dan

lain-lain.

b. Gangguan metabolisme hormonal, misalnya diabetes melitus,

klimakterium, dan ketidakseimbangan tiroid.

c. Gangguan pada persendian, misalnya osteoarthritis, gout arthritis,

ataupun penyakit kolagen lainnya.

d. Berbagai macam neoplasma.

Menurut “The National Old People’s Welfare Council” di

Inggris penyakit atau gangguan umum pada lanjut usia ada 12

macam yakni:
22

a. Depresi mental.

b. Gangguan pendengaran.

c. Bronkitis kronis.

d. Gangguan pada tungkai/ sikap berjalan.

e. Gangguan pada koksa/ sendi panggul.

f. Anemia.

g. Demensia.

h. Gangguan penglihatan.

i. Ansietas/ kecemasan.

j. Dekompensasi kordis.

k. Diabetes melitusss, osteomalasia, dan hipotiroidisme.

l. Gangguan defekasi.

C. Konsep Nyeri

1. Definisi Nyeri

Nyeri didefinisikan sebagai suatu keadaan yang memengaruhi

seseorang, dan eksistensinya diketahui bila seseorang pernah

mengalaminya (Mc. Caffery, 1979 dalam Tamsuri, 2014).

Nyeri adalah suatu pengalaman sensorik dan emosional yang

tidak menyenangkan yang berhubungan dengan adanya kerusakan

jaringan baik secara aktual maupun potensial, atau menggambarkan

keadaan kerusakan seperti tersebut di atas (Asosiasi Nyeri

Internasional, 1979 dalam Tamsuri, 2014).


23

Nyeri diperkenalkan sebagai suatu pengalaman emosional

yang penatalaksanaannya tidak hanya pada pengelolaan fisik semata,

namun penting juga untuk melakukan manipulasi (tindakan)

psikologis untuk mengatasi nyeri (Kozier & Erb, 1983 dalam Tamsuri,

2014).

2. Klasifikasi Nyeri

Tamsuri (2014) menjelaskan klasifikasi nyeri dibagi menjadi

a. Klasifikasi berdasarkan awitan

1) Nyeri Akut

Nyeri yang terjadi dalam waktu (durasi) dari 1 detik

sampai dengan kurang dari 6 bulan. Nyeri akut umumnya terjadi

pada cedera, penyakit akut, atau pada pembedahan dengan

awitan yang cepat dan tingkat keparahan yang bervariasi

(sedang sampai berat).

2) Nyeri Kronis

Nyeri yang terjadi dalam waktu lebih dari 6 bulan. Nyeri

kronis umumnya timbulnya tidak teratur, intermiten, atau

bahkan persisten.

3. Etiologi Nyeri

Tim Pokja SDKI DPP PPNI, (2016). Penyebab nyeri terdapat 3 agen

pencedera yaitu

a. Agen pencedera fisiologis

Misal inflamasi, iskemia, neoplasma


24

b. Agen pencedera kimiawi

Misal terbakar, bahan kimia iritan)

c. Agen pencedera fisik

Misal abses, amputasi, terbakar, terpotong, mengangkat berat,

prosedur operasi, trauma, latihan fisik berlebihan.

4. Pengkajian Nyeri

Saputra (2013) pengkajian pada masalah nyeri seperti lokasi

nyeri, intensitas nyeri, kualitas dan waktu serangan. Pengkajian dapat

dilakukan dengan cara PQRST yaitu :

a. Provoking faktor yang mempengaruhi gawat/ringannya nyeri

b. Quality dari nyeri seperti rasa tajam, tumpul atau tersayat

c. Region yaitu daerah perjalanan nyeri

d. Severity adalah keparahan atau intensitas nyeri

e. Time lama atau waktu serangan atau frekuensi nyeri.

Menurut Tamsuri (2014) Komponen pengkajian nyeri

a. Intensitas nyeri

Gambaran tentang seberapa parah nyeri yang dirasakan oleh

individu. Pengukuranintensitas nyeri sangat subjektif dan

individual, dan kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama

dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda.

b. Karakteristik nyeri

Karakteristik nyeri meliputi lokasi nyeri, penyebaran nyeri,

dan kemungkinan penyebaran, durasi (menit, jam, hari, bulan) serta


25

irama (terus-menerus, hilag timbul, periode bertambat atau

berkurangnya intensitas nyeri) dan kualitas nyeri (ditusuk-tusuk,

terbakar, sakit, nyeri seperti digencet dan lain-lain sebagainya).

b. Faktor yang meningkatkan dan menurunkan nyeri

Berbagai perilaku sering diidentifikasi klien sebagai factor

yang merubah intensitas nyeri (misal: aktivitas, istirahat,

pengerahan tenaga, posisi tubuh, pengguanaan obat bebas dan lain

sebagainya) perilaku ini sering didasarkan pada upaya try and

error.

c. Efek nyeri terhadap kegiatan sehari – hari

Efek nyeri terhadap poal tidur, nafsu makan, konsentrasi,

interaksi dengan orang lain, gerakan fisik,bekerja, dan aktivitas

santai. Nyeri akut sering berkaitan dengan ansietas dan nyeri kronis

yang berhubungan dengan depresi.

d. Kekhawatiran individu terhadap nyeri

Dapat meliputi masalah yang luas seperti beban ekonomi,

prognosus serta berpengaruh terhadap peran dan citra diri.

5. Cara Mengukur Intensitas Nyeri

Beberapa alat ukur yang dapat digunakan untuk menilai

intensitas nyeri (menurut Saputra, 2013), yaitu:

c. Skala nyeri menurut Hayward

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala

nyeri hayward dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih


26

salah satu bilangan (dari 0-10) yang menurutnya paling

menggambarkan pengalaman nyeri yang ia rasakan. Skala nyeri

menurut Hayward dapat dituliskan sebagai berikut :

0 = tidak nyeri

1- 3 = nyeri ringan

4-6 = nyeri sedang

7-9 = sangat nyeri, tetapi masih dapat dikendalikan dengan

aktivitas yang dapat dilakukan.

10 = sangat nyeri

b. Skala nyeri menurut McGill

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala

nyeri McGill dilakukan dengan meminta penderita untuk memilih

salah satu bilangan (dari 0-5) yang menurutnya paling

menggambarkan pengalaman nyeri yang ia rasakan. Skala nyeri

menurut McGill dapat dituliskan sebagai berikut :

0 = tidak nyeri

1 = nyeri ringan

2 = nyeri sedang

3 = nyeri berat atau parah

4 = nyeri sangat berat

5 = nyeri hebat
27

c. Skala wajah atau Wong-Baker FACES Rating Scale

Pengukuran intensitas nyeri dengan menggunakan skala

wajah dilakukan dengan cara memperhatikan mimik wajah pasien

pada saat nyeri tersebut menyerang. Cara ini diterapkan pada

pasien yang tidak dapat menyatakan intensitas nyerinya dengan

skala angka, misalnya anak-anak dan lansia.

Skala wajah dapat digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.2 Skala Face (Saputra, 2013)

6. Penatalaksanaan Nyeri

a. Penanganan Nyeri

1) Tindakan Non Farmakologis

a) Teknik Distraksi

Distraksi adalah pengalihan dari fokus perhatian

terhadap nyeri ke stimulus yang lain (Tamsuri, 2014).

Teknik distraksi yang dapat dilakukan :

1) Menonton televisi

2) Berbincang-bincang dengan orang lain

3) Mendengarkan musik
28

b) Teknik Relaksasi

Teknik relaksasi sederhana terdiri atas napas

abdomen dengan frekuensi lambat dan berirama.

Menganjurkan klien memejamkan matanya dan bernafas

dengan perlahan dan nyaman. Irama yang konstan dapat

depertahankan dengan cara menghitung lambat dalam hati

saat bersamaan dengan inhalasi (“hirup, dua, tiga”) dab

ekhalasi (“hembuskan, dua, tiga”). Apabila pernapasan

yang teratur telah tercapai, perintahkan klien untuk

perlahan-lahan merelaksasikan otot-otot pada leher, tangan,

dada, paha, dan kaki (Tamsuri, 2014).

d. Tindakan Farmakologis

Pemberian obat analgetik yang dilakukan guna mengganggu

atau memblok transmisi stimulus agar terjadi perubahan persepsi

dan cara mengurangi kortikal terhadap nyeri (Tamsuri, 2014).

D. Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Menurut aspiani (2014) asuhan keperawatan pada klien dengan

gangguan muskuloskeletal dengan arthritis gout meliputi:

a. Identitas Klien

Identitas klien meliputi nama, jenis kelamin, usia, alamat, agama,

suku bangsa, status pekerjaan, nomer register, dan tanggal masuk.


29

b. Keluhan Utama

Keluhan utama pada penyakit arthritis gout adalah nyeri pada

sendi metatarsofalangeal ibu jari dan serangan yang bersifat

monoartikular.

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data dilakukan sejak awal munculnya keluhan dan

secara umum mencakup gejala awal dan bagaimana gejala itu

berkembang. Penting dinyatakan berapa lama pemakaian obat

analagetik dan allopurinol.

d. Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini kemungkinan ditemukan penyebab lain yang

mendukung terjadinya arthritis gout seperti penyakit ginjal kronis,

leukimia, dan hiperparatiroidisme. Masalah lain yang perlu

ditanyakan adalah apakah klien pernah dirawat di rumah sakit

sebelumnya dan konsumsi alkohol.

e. Riwayat Penyakit Keluarga

Apakah dalam keluarga ada yang mempunyai keluhan yang sama

dengan klien karena penyakit arthritis gout dapat dipengaruhi oleh

faktor genetik.

f. Riwayat Psikososial

Kaji respon emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan

klien dalam keluarga dan masyarakat. Respon yang didapat

meliputi adanya kecemasan terhadap sensasi nyeri, gangguan


30

mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri, defisit pengetahuan

akan penyakit dan pengobatan serta penyakit komplikasi yang

diakibatkan oleh penyakit arthritis gout.

2. Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan Umum

Keadaan umum klien lansia yang mengalami arthritis gout

biasanya lemah.

b. Kesadaran

Kesadaran klien umumnya composmentis dan apatis.

c. Tanda-Tanda Vital

1) Suhu meningkat (>37ºC).

2) Nadi meningkat (N : 70-82x/menit).

3) Tekanan darah meningkat atau dalam batas normal.

d. Pemeriksaan Persistem

1) Sistem Integumen

Kulit tampak memerah atau keunguan dan teraba hangat pada

area yang terserang arthritis gout.

2) Sistem Penginderaan

a) Mata : pada mata klien dengan arthritis gout tidak ada tanda

spesifik yang menunjukkan adanya arthritis gout, tetapi tetap

perlu dilakukan pengkajian seperti: kaji penglihatan, bentuk

mata, visus, warna sklera, gerakan bola mata.


31

b) Hidung: pada hidung klien dengan arthritis gout tidak ada

tanda spesifik yang menunjukkan adnya arthritis gout, tetapi

tetap perlu dilakukan pengkajian seperti: kaji bentuk hidung,

terdapat gangguan penciuman atau tidak.

c) Telinga: kaji pendengaran, terdapat gangguan pendengaran

atau tidak, biasanya terdapat tofi pada daun telinga.

3) Sistem Kardiovaskuler

Pada sistem kardiovaskuler klien dengan arthritis gout tidak ada

tanda spesifik yang menunjukkan adanya arthritis gout, tetapi

tetap perlu dilakukan pengkajian.

a) Inspeksi: apakah ada pembesaran vena jugularis.

b) Palpasi: kaji frekuensi nadi.

c) Auskultasi: apakah suara jantung normal (lup-dug) atau ada

suara tambahan.

4) Sistem Pencernaan

Pada sistem pencernaan klien dengan arthritis gout tidak ada

tanda spesifik yang menunjukkan adanya arthritis gout, tetapi

tetap perlu dilakukan pengkajian seperti:

a) Inspeksi: kaji bentuk abdomen, ada tidaknya pembesaran

pada abdomen.

b) Palpasi: apakah ada nyeri tekan pada abdomen.

c) Perkusi: apakah kembung/tidak.

d) Auskultasi: apakah ada peningkatan bising usus.


32

5) Sistem Muskuloskeletal

Biasanya terjadi pembengkakan yang mendadak (pada sendi ibu

jari) dan nyeri yang luar biasa serta juga dapat terbentuk kristal

di sendi-sendi perifer, deformitas sendi (pembesaran sendi). Kaji

kekuatan otot pada ekstremitas atas maupun bawah.

6) Sistem perkemihan

Hampir 20% penderita arthritis gout mempunyai penyakit batu

ginjal, kaji pula perubahan pola berkemih seperti: inkontinensia

urin, disuria, distensi kandung kemih, warna dan bau urin, serta

kebersihannya.

3. Pengkajian Tanda dan Gejala Arthritis Gout sebagai berikut:

a. Aktivitas atau istirahat

Nyeri mendadak di persendian, nyeri tekan yang akan mengganggu

aktivitas dan kebutuhan istirahat/ tidur klien.

b. Makanan dan Cairan

Kebiasaan mengonsumsi makanan tinggi purin, jumlah, dan jenis

asupan makanan dan cairan yang dikonsumsi dalam 24 jam.

c. Higiene

Kesulitan dalam melakukan perawatan diri karena adanya

gangguan mobilitas yang menghambat aktivitas.

d. Neurosensori

Pembengkakan pada sendi, dan kesemutan pada kaki maupun

tangan.
33

e. Nyeri atau Kenyamanan

Nyeri pada persendian, kemerahan pada sendi yang terkena dan

terasa kaku.

f. Keamanan

Resiko cedera jatuh akibat kesulitan dalam beraktivitas karena

nyeri sendi.

4. Diagnosa Keperawatan

Menurut Aspiani (2014), Nurarif & Kusuma (2015) diagnosa

keperawatan arthritis gout meliputi:

a. Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis

pembengkakan sendi, melaporkan secara verbal pada area sendi.

b. Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri persendian.

c. Risiko cedera berhubungan dengan ketidakmampuan dalam

beraktivitas.

d. Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan fisik pasien.

e. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya paparan

informasi mengenai penyakit.

5. Rencana Tindakan Keperawatan

Menurut Aspiani (2014), Nurarif & Kusuma (2015) rencana tindakan

keperawatan dengan arthritis gout dapat dijelaskan sebagai berikut:

a. Diagnosa I: Nyeri akut berhubungan dengan agen cedera biologis

pembengkakan sendi, melaporkan secara verbal pada area sendi.


34

1) Tujuan: nyeri klien berkurang.

2) Kriteria Hasil: mampu mengontrol nyeri, melaporkan bahwa

nyeri berkurang, rasa nyaman terpenuhi, ekspresi wajah rileks,

tidak meringis kesakitan.

3) Intervensi Keperawatan dan Rasional

a) Pantau kadar asam urat serum.

Rasional: untuk mengevaluasi keefektifan terapi.

b) Kaji aktivitas yang memperberat nyeri.

Rasional: mengetahui aktivitas yang memperberat nyeri.

c) Berikan masase yang lembut.

Rasional: untuk mengurangi rasa nyeri.

d) Ajarkan teknik relaksasi/ distraksi.

Rasional: memperlancar peredaran darah sehingga kebutuhan

oksigen pada jaringan terpenuhi dan mengurangi nyeri.

e) Kaji ulang nyeri secara komperehensif termasuk lokasi,

karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor presipitasi

setelah dilakukan tindakan mandiri perawat.

Rasional: untuk mengetahui sendi yang mengalami

peradangan dan skala nyeri klien.

f) Bantu klien dalam mengidentifikasi faktor pencetus.

Rasional: nyeri dipengaruhi oleh kecemasan dan peradangan

pada sendi.
35

g) Instruksikan klien untuk minum 2-3 liter cairan setiap hari.

Rasional: untuk membantu mencegah batu ginjal , komplikasi

pada arthritis gout.

h) Kolaborasii dengan tim medis dalam pemberian obat

analgetik dan obat antigout.

Rasional: untuk mengurangi rasa nyeri dan menghambat

reabsorpsi asam urat ginjal.

b. Diagnosa II: Hambatan mobilitas fisik berhubungan dengan nyeri

persendian.

1) Tujuan: klien mampu melakukan aktifitas fisik sesuai dengan

kemampuannya.

2) Kriteria Hasil: klien ikut dalam program latihan, tidak

mengalami kontraktur sendi, menunjukkan tindakan mobilitas,

dan memperahankan koordinasi optimal.

3) Intervensi Keperawatan

a) Kaji tingkat mobilitas fisik dan observasi adanya peningkatan

kerusakan.

Rasional: mengetahui tingkat kemampuan klien dalam

melakukan aktifitas.

b) Ajarkan klien melakukan latihan gerak aktif pada ekstremitas

yang tidak sakit.

Rasional: gerakan aktif memberi massa, tonus dan kekuatan

otot.
36

c) Bantu klien melakukan ROM (Range Of Motion).

Rasional: motivasi dilakukan agar klien senantiasa

melakukan ROM dengan teratur.

c. Diagnosa III: Risiko cedera berhubungan dengan ketidakmampuan

dalam bergerak.

1) Tujuan: risiko cedera dapat dicegah, tidak mengalami jatuh.

2) Kriteria Hasil: tidak ada cedera dan jatuh dari klien, tidak

terdapat tanda-tanda akan cedera dan mengalami jatuh.

3) Intervensi Keperawatan

a) Kaji tanda-tanda cedera

Rasional: mengetahui tanda-tanda penyebab cedera.

b) Diskusikan dengan klien dan keluarga mengenai perubahan

pada usia lanjut.

Rasional: lanjut usia merupakan faktor penyebab jatuh karena

fungsi tubuh mengalami penurunan.

c) Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang pencegahan

risiko cedera.

Rasional: mengetahui apakah keluarga paham akan

pencegahan risiko cedera, dan cara menghindarinya.

d) Kaji faktor pendukung terjadinya jatuh seperti rumah dan

kondisi klien.

Rasional: dengan hal itu dapat dimodifikasi dan

meminimalkan risiko cedera.


37

e) Diskusikan cara-cara pencegahan cedera dengan klien.

Rasional: upaya pencegahan terhadap risiko cedera.

d. Diagnosa IV: Harga diri rendah berhubungan dengan perubahan

fisik klien.

1) Tujuan: pasien mampu bersosialisasi dengan orang lain.

2) Kriteria Hasil: mampu mengidentifikasi kemampuan personal,

mampu mengidentifikasi hal-hal positif dirinya, mampu

mengikuti kegiatan masyarakat.

3) Intervensi Keperawatan:

a) Kaji perubahan persepsi dan hubungannya dengan derajat

ketidakmampuan.

Rasional: menentukan bantuan individual dalam menyusun

rencana perawatan atau pemilihan intervensi.

b) Ingatkan kembali realitas bahwa dapat menggunakan sisi

yang sakit dan belajar mengontrol sisi yang sehat.

Rasional: mengizinkan penerima manfaat merasakan adanya

harapan dan mulai menerima situasi baru.

c) Bantu klien dalam memperbaiki kebiasaan.

Rasional: membantu meningkatkan harga diri klien.

d) Diskusikan kemampuan dan aspek yang dimiliki

Rasional: mampu meningkatkan rasa percaya diri.

e) Dukung perilaku atau usaha peningkatan minat.

Rasional: mampu beradaptasi terhadap perubahan.


38

e. Diagnosa V: Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurangnya

paparan informasi mengenai penyakit.

1) Tujuan: klien terpenuhi informasi tentang arthritis gout.

2) Kriteria Hasil: klien menyatakan pemahaman tentang

penyakitnya, mampu menjelaskan kembali tentang penyakitnya,

tanda gejala, penatalaksanaan, maupun komplikasi arthritis gout

kepada perawat/ tim medis.

3) Intervensi Keperawatan

a) Berikan penilaian tentang tingkat pengetahuan klien tentang

penyakit arthritis gout.

Rasional: setelah mendapatkan paparan informasi mengenai

penyakitnya klien dapat melakukan upaya penanganan

kekambuhan arthritis gout, dan meminimalkan komplikasi

arthritis gout.

b) Berikan pengajaran sesuai tingkat pemahaman klien,

mengulang informasi bila diperlukan.

Rasional: klien dan keluarga tahu menganai penyakitnya.

c) Berikan informasi kepada klien tentang kondisinya.

Rasional: untuk mengetahui kondisi yang saat ini dirasakan

klien.

d) Sediakan lingkungan yang kondusif untuk belajar.

Rasional: membuat klien nyaman dalam belajar memperoleh

informasi tentang penyakitnya.


39

e) Rencanakan penyesuaian dalam penanganan bersama klien

dan dokter untuk memfalitasi kemampuan klien mengikuti

penanganan yang dianjurkan.

Rasional: mempercepat proses penyembuhan.

6. Evaluasi

Evaluasi merupakan tahap akhir dari proses keperawatan dan

merupakan tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan

yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana

keperawatan dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai.

a. Kadar asam urat klien normal pada pria dibawah 7 mg/dl dan pada

wanita dibawah 6 mg/dl.

b. Skala nyeri klien dapat berkurang

c. Peredaran darah klien lancar sehingga oksigen pada jaringan

terpenuhi

d. Rehidrasi klien dipantau

e. Obat antigout tersedia, klien minum obat dengan teratur.

Anda mungkin juga menyukai