Anda di halaman 1dari 9

Korelasi Kuantitas Faktor Risiko Dan Lokasi Infark Terhadap Intensitas Stroke

Iskemik Di RSPBA

Nama
Email

Abstrak
Stroke merupakan penyakit tidak menular yang menduduki peringkat kedua penyebab
kematian dan penyebab kecacatan nomor tiga di seluruh dunia. Pada tahun 2018, angka
kejadian stroke di Provinsi Lampung pada kelompok usia 15 tahun ke atas adalah 8,3%.
Statistik ini berasal dari kurangnya kesadaran individu mengenai faktor risiko yang terkait
dengan stroke, serta penerapan kebiasaan tidak sehat seperti merokok, perilaku sedentary, dan
konsumsi makanan yang berpotensi memicu stroke. Untuk mengetahui hubungan kuantitas
variabel risiko dan lokasi infark terhadap derajat keparahan stroke iskemik di RSPBA.
Penelitian ini menggunakan metodologi analisis yaitu uji korelasi gamma dan uji chi-square
dengan desain cross-sectional. Data yang digunakan merupakan data asli yang diperoleh
dengan pendekatan sekuensial sampling, sehingga diperoleh jumlah sampel sebanyak 35
orang. Terdapat hubungan yang kuat antara jumlah variabel risiko dan tingkat keparahan
stroke iskemik di RSPBA (p = 0,008). Uji korelasi gamma menghasilkan nilai korelasi yang
baik yaitu r = 0,645. Lokasi infark di RSPBA mempunyai korelasi yang kuat dengan derajat
keparahan stroke iskemik yang ditunjukkan dengan nilai p-value sebesar 0,005. Terdapat
hubungan yang signifikan antara jumlah faktor risiko dan tingkat keparahan stroke iskemik di
RSPBA (p=0,008). Selain itu, uji korelasi gamma menunjukkan hubungan positif sedang
dengan koefisien r=0,645. Uji chi-square menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara lokasi infark dan tingkat keparahan stroke iskemik di RSPBA (p = 0,005).
Kata Kunci: Stroke iskemik, Derajat Keparahan Stroke, Infark

PENDAHULUAN
Stroke merupakan penyakit tidak menular yang menduduki peringkat kedua penyebab
kematian dan peringkat ketiga penyebab kecacatan di seluruh dunia. Stroke menurut definisi
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia (PERDOSSI) adalah gangguan neurologis
yang tiba-tiba dan parah pada otak, sumsum tulang belakang, atau retina yang berlangsung
setidaknya selama 24 jam (Andrianary dan Antoine, 2019). Stroke dapat dikategorikan
menjadi dua jenis utama: stroke iskemik dan stroke hemoragik. Stroke iskemik mengacu pada
stroke yang dipastikan melalui pemeriksaan radiologi, patologi, atau bukti lain adanya
iskemia otak, sumsum tulang belakang, atau retina. (Andrianary & Antoine, 2019)

Menurut statistik yang diberikan oleh Organisasi Stroke Dunia, diperkirakan terdapat 13,7
juta kejadian stroke setiap tahunnya, yang mengakibatkan sekitar 5,5 juta kematian. Stroke
mempengaruhi negara-negara berpendapatan rendah dan tinggi. Prevalensi stroke di negara-
negara berpendapatan rendah telah meningkat hampir 100%. Di negara-negara
berpenghasilan tinggi, terjadi penurunan kejadian stroke sebesar 42% (Kementerian
Kesehatan Indonesia, 2018).
Indonesia merupakan salah satu negara di Asia Timur. Prevalensi stroke pada penduduk usia
≥ 15 tahun di Indonesia adalah 10,9%. Kelompok usia dengan prevalensi stroke tertinggi
adalah kelompok usia antara 55 dan 64 tahun, yaitu 33,3% dari seluruh kasus stroke.
Sebaliknya kelompok umur dengan prevalensi stroke terendah adalah kelompok umur 15
sampai 24 tahun. Persentase korban stroke di perkotaan sebesar 63,9%, sedangkan di
perdesaan sebesar 36,1% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia , 2018). Pada tahun
2018, angka kejadian stroke di Provinsi Lampung, menurut dokter, pada penduduk berusia 15
tahun ke atas adalah 8,3% (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2018).

Peradangan adalah salah satu dari beberapa elemen yang berkontribusi terhadap
perkembangan stroke. Peradangan memiliki dampak yang signifikan terhadap perkembangan
stroke. Referensinya dari Robbins dkk. (2010). Selama proses tersebut akan terjadi
peradangan yang menyebabkan aktivasi sel endotel, infiltrasi leukosit, terganggunya sawar
darah otak, serta penumpukan oksidan dan mediator inflamasi. Peristiwa tersebut akan
berkembang pesat dalam waktu beberapa jam dan pada akhirnya menyebabkan kerusakan
pada jaringan otak (Vural, Gümüşyayla, & Akdeniz, 2018). Balasannya Peradangan
merupakan faktor kunci dalam perkembangan stroke iskemik akut. Proses iskemia di otak
dapat memicu sekresi sitokin pro-inflamasi dan mencegah infiltrasi sel imun, sehingga
menyebabkan berkembangnya penyakit iskemik (Xue et al., 2017).

Jaringan isemik mengeluarkan sitokin dan kemokin yang menarik leukosit dari sirkulasi
perifer. Dalam populasi leukosit, terdapat neutrofil yang memulai kerusakan iskemia di otak.
Neutrofil mempunyai korelasi dengan tingkat keparahan stroke dan besarnya volume infark.
Penelitian yang dilakukan oleh Xue dkk. (2017) menemukan adanya korelasi antara tingkat
kerapuhan dengan stroke pada periode awal peningkatan neutrofil. Selain yang telah
disebutkan, stroke juga dikaitkan dengan faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus,
fibrilasi atrium, hiperkolesterolemia, penggunaan pil kontrasepsi, merokok, penggunaan
alkohol, dan riwayat stroke sebelumnya (Misbach dan Soertidewi, 2011). Di antara faktor-
faktor risiko ini, hiperkolesterolemia merupakan penyebab utama terjadinya stroke, yang
mengarah pada perkembangan aterosklerosis pada arteri darah ekstrakranial dan serebral
(Boehme, Esenwa, & Elkind, 2017). Dislipidemia merupakan faktor risiko yang dapat
berkontribusi terhadap perkembangan aterosklerosis. Dislipidemia dapat menyebabkan
penumpukan jaringan adiposa, yang selanjutnya dapat menyebabkan obstruksi arteri.
Obstruksi tersebut akan mengakibatkan tromboemboli, yang menyebabkan stroke, emboli
paru, dan Transient Ischemic Attack (TIA).

Risiko lain yang berkontribusi adalah diabetes melitus, suatu kondisi yang dapat
menyebabkan stroke akibat aterosklerosis. Hiperglikemia dapat menyebabkan kerusakan
dinding arteri darah besar dan perifer, sehingga mengakibatkan peningkatan pembentukan
agregat trombosit dan berkembangnya aterosklerosis (Soegondo 2013).

Selain itu, merokok merupakan faktor risiko stroke yang diketahui. Penelitian dengan jelas
menunjukkan korelasi yang signifikan antara merokok dan stroke. Hal ini sebagian besar
disebabkan oleh bahan kimia yang terkandung dalam rokok, terutama karbon monoksida
(CO) dan gas nikotin, yang dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah dan penyempitan
arteri darah tepi.

National Institute of Health Stroke Scale (NIHSS) adalah penilaian numerik yang digunakan
untuk mengevaluasi status klinis individu yang menderita stroke. NIHSS menawarkan
manfaat berbeda dibandingkan skala status neurologis lainnya karena sifatnya yang
komprehensif, memungkinkannya mencakup dan menilai fungsi otak secara keseluruhan. Tes
ini terdiri dari penilaian lapang pandang, pergerakan otot ekstra okular, fungsi motorik,
fungsi sensorik, ataksia, dan derajat kesadaran. Temuan ini cukup efektif dalam memfasilitasi
hasil diagnostik. Evaluasi NIHSS dapat dikategorikan menjadi tiga kelompok: skor lebih dari
20 menunjukkan kondisi sangat parah, skor antara 16 dan 20 menunjukkan kondisi parah,
skor antara 5 dan 15 menunjukkan kondisi sedang, dan skor kurang dari 5 menunjukkan
kondisi buruk. kondisi ringan (Ambresh dan Sanjeeth, 2021).

Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hafid (2014), penelitian ini fokus untuk
menguji hubungan antara hipertensi dengan kejadian stroke di RSUP Dr. Wahidin
Sudirohusodo Makassar. Selama periode Maret 2012 hingga Mei 2012, total 105 pasien
dilibatkan dalam penelitian ini. Temuan uji statistik menunjukkan nilai p sebesar 0,026, yang
menunjukkan adanya hubungan signifikan antara hipertensi dan stroke.

Frekuensi korban stroke di Provinsi Lampung sebesar 8,3% menurut Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia pada tahun 2018. Statistik ini muncul dari kurangnya kesadaran individu
terhadap faktor risiko dan penerapan kebiasaan tidak sehat, seperti merokok, kurang gerak.
perilaku, dan konsumsi makanan pemicu stroke. Tantangan dalam mengatasi stroke di
Indonesia berasal dari respon masyarakat yang kurang optimal, sebagian besar didorong oleh
meningkatnya prevalensi faktor risiko dan kurangnya kesadaran atau terbatasnya
pengetahuan individu dalam mendeteksi gejala stroke dini (Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia, 2018). Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan
jumlah faktor risiko dan lokasi infark dengan derajat keparahan stroke iskemik di RSPBA.

METODE
Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain cross sectional dengan
menggunakan uji korelasi gamma. Pemeriksaan ini dilakukan di Laboratorium RS Pertamina
Bintang Amin Bandar Lampung, pada Januari hingga Mei 2023. Sampel penelitian berjumlah
35 pasien stroke yang dipilih dengan pendekatan succesive sampling. Penelitian ini
menggunakan data sekunder, yaitu dengan melengkapi evaluasi NIHSS pada pasien stroke
iskemik di RSPBA dan melihat data rekam medis berupa CT-Scan. Data yang diperoleh
kemudian diolah dengan menggunakan perangkat lunak komputer SPSS. Uji analisis korelasi
yang digunakan adalah uji gamma.

HASIL DAN PEMBAHASAN


Penelitian dilakukan terhadap pasien terdiagnosis stroke iskemik yang mendapat perawatan di
RS Pertamina Bintang Amin Bandar pada bulan Januari hingga Mei 2023. Penelitian tersebut
menghasilkan temuan sebagai berikut:
Tabel 1 Hasil Uji Korelasi Jumlah Faktor Resiko dengan Derajat Keparahan Stroke
Derajat Jumlah Faktor Risiko r P Value
Keparahan Tidak
% Single % Multiple %
Stroke Identifikasi
Ringan 5 14,2 12 34,2 4 11,4 0,645 0,008
Sedang 1 2,8 5 14,2 7 20
Berat 0 0 0 0 1 2,8

Tabel 2 Hasil Uji Korelasi Lokasi Lesi Stroke dengan Derajat Keparahan Stroke
Derajat Jumlah Lesi P Value
Keparahan Hemisfer Hemisfer Hemisfer Kiri
% % %
Stroke Kiri Kanan dan Kanan
Ringan 8 22,8 10 28,5 3 8,6 0,007
Sedang 11 31,4 2 5,7 0 0
Berat 0 0 0 0 1 2,7

Penelitian ini menggunakan uji gamma untuk menguji korelasi antara variabel risiko dan
tingkat keparahan stroke yang dinilai dengan skor NIHSS. Nilai p yang dihasilkan adalah
0,008 (p<0,05), yang menunjukkan signifikansi statistik, dan nilai korelasinya adalah r =
0,645. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang cukup besar antara nilai variabel
risiko stroke dengan tingkat keparahan stroke.

Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Hafid (2014) menyelidiki hubungan antara diagnosis
hipertensi sebelumnya, yang diketahui sebagai faktor risiko stroke. Penelitian dilakukan di
RSUP Dr. Wahidin Sudirohusodo, dan hasilnya menunjukkan adanya hubungan yang
signifikan dengan p-value 0,026. Hal ini menunjukkan bahwa hipertensi berperan penting
dalam memicu stroke, karena berkontribusi terhadap pembentukan bekuan darah yang dapat
menyumbat arteri, suatu kondisi yang dikenal sebagai trombosis. Pecahnya darah akibat
hipertensi seringkali menjadi penyebab penyumbatan ini (MIMS Indonesia, 2010).

Hipertensi, seperti yang ditunjukkan oleh penelitian Simbolon, Simbolon, dan Siringo-ringo
(2018), merupakan faktor lain yang berkontribusi terhadap stroke. Penelitian yang dilakukan
di Rumah Sakit Santai Elisabeth mengenai korelasi merokok dengan kejadian stroke
membuahkan hasil yang signifikan. Diperoleh p-value sebesar 0,008 dan odds rasio (OR)
sebesar 15 menunjukkan bahwa merokok berhubungan signifikan dengan peningkatan risiko
stroke. Secara khusus, individu yang merokok 15 kali lebih mungkin mengalami stroke
dibandingkan dengan bukan perokok. Merokok secara signifikan berkontribusi terhadap
perkembangan plak arteri. Nikotin, bahan kimia yang ditemukan dalam rokok, dapat
merangsang fungsi jantung dengan peningkatan kecepatan dan intensitas, sehingga
menyebabkan peningkatan tekanan darah. Rokok mengandung karbon monoksida (CO) yang
dapat berikatan dengan hemoglobin sehingga mengakibatkan penurunan kadar oksigen dalam
darah. Hal ini dapat menyebabkan kekurangan oksigen pada jaringan tubuh, termasuk otak
(Simbolon, Simbolon, & Siringo-ringo, 2018).

Diabetes melitus merupakan faktor selanjutnya yang dapat memicu terjadinya stroke iskemik.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Letelay, Huwae, dan Kailola (2019), diteliti hubungan
antara diabetes melitus dan terjadinya stroke. Para peneliti menemukan adanya hubungan
yang signifikan antara diabetes melitus dan stroke, dengan nilai p-value 0,002. Hal ini
menunjukkan bahwa diabetes melitus berhubungan erat dengan stroke. Salah satu mekanisme
yang mungkin terjadinya hubungan ini adalah pembengkakan osmotik yang disebabkan oleh
hiperglikemia, yang dapat menyebabkan kerusakan sel endotel. Meningkatkan sintesis
protein plasma kaya glukosa, termasuk fibrinogen, haptoglobulin, makroglobulin, dan faktor
koagulasi V-VIII. Proses koagulasi dapat menyebabkan trombosis, yang selanjutnya dapat
berkembang menjadi makroangiopati dan dapat mengakibatkan stroke (Letelay, Huwae, &
Kailola, 2019).

Uji chi-square digunakan dalam pemeriksaan ini untuk menentukan adanya korelasi antara
lesi infark dan tingkat keparahan stroke, yang dinilai dengan skor NIHSS. Nilai p yang
dihitung adalah 0,018, menunjukkan korelasi yang kuat antara lokasi lesi infark stroke dan
tingkat keparahan stroke. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Prayoga (2016),
ditemukan bahwa dari total jumlah penderita, 19 orang (54,28%) mengalami lesi pada
belahan otak kiri, 12 orang (34,28%) mengalami lesi pada belahan kanan, dan 4 orang
(11,4%). %) memiliki lesi di kedua belahan otak. Penelitian juga mengungkapkan adanya
hubungan yang signifikan antara perbedaan tingkat defisit neurologis pada pasien stroke
iskemik dengan lesi hemisfer kiri dan kanan, dengan nilai p-value 0,001 (p < 0,05). Temuan
ini mendukung gagasan tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Hedna dkk. (2013), bahwa
terdapat variasi kebutuhan metabolisme tiap belahan bumi. Secara khusus, lesi belahan otak
kiri cenderung memiliki tingkat metabolisme sel yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan
aliran darah lebih cepat di belahan kiri. Akibatnya, belahan otak kiri lebih rentan mengalami
penurunan fungsi.

Penelitian ini mengkategorikan pasien stroke menjadi tiga kelompok berdasarkan tingkat
keparahan kondisinya: ringan, sedang, dan berat. Di antara mereka yang mengalami stroke
ringan terdapat 21 kasus (60%). Sebagai perbandingan, terdapat 13 kasus merokok di antara
individu yang mengalami stroke sedang. Angka kejadian stroke di Rumah Sakit Santai
Elisabeth memberikan hasil p = 0,008 yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan
antara merokok dan stroke. Nilai odds rasio (OR) sebesar 15 semakin mendukung hubungan
ini. Kejadian stroke sangat berkorelasi dengan kebiasaan merokok, karena mereka yang
merokok 15 kali lebih rentan terkena stroke dibandingkan mereka yang bukan perokok.
Merokok secara signifikan berkontribusi terhadap perkembangan plak arteri. Nikotin, bahan
kimia yang ditemukan dalam rokok, dapat mempercepat dan mengintensifkan aktivitas
jantung, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah. Rokok mengandung karbon
monoksida (CO) yang berikatan dengan hemoglobin sehingga mengakibatkan penurunan
kadar oksigen dalam darah. Hal ini menyebabkan kekurangan oksigen pada jaringan tubuh,
termasuk otak (Simbolon, Simbolon, & Siringo-ringo, 2018).

Diabetes melitus merupakan faktor selanjutnya yang dapat memicu terjadinya stroke iskemik.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Letelay, Huwae, dan Kailola (2019), diteliti hubungan
antara diabetes melitus dan terjadinya stroke. Para peneliti menemukan nilai p sebesar 0,002
yang menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara diabetes melitus dan stroke. Hal
ini dapat dikaitkan dengan efek hiperglikemia yang merusak pada sel endotel, yang
menyebabkan pembengkakan osmotik. Meningkatkan sintesis protein plasma kaya glukosa
seperti fibrinogen, haptoglobulin, makroglobulin, dan faktor koagulasi V-VIII. Proses
koagulasi dapat menyebabkan peningkatan risiko trombosis, yang pada gilirannya dapat
berkembang menjadi makroangiopati dan berpotensi mengakibatkan stroke (Letelay, Huwae,
& Kailola, 2019).

Uji chi square digunakan dalam pemeriksaan ini untuk menguji potensi korelasi antara lesi
infark dan tingkat keparahan stroke, seperti yang ditunjukkan oleh skor NIHSS. Nilai p
hitung sebesar 0,018 menunjukkan adanya hubungan yang signifikan antara lokasi lesi infark
stroke dengan tingkat keparahan stroke. Pada penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh
Prayoga (2016), ditemukan bahwa dari total partisipan, 19 orang (54,28%) mengalami lesi
pada belahan otak kiri, 12 orang (34,28%) mengalami lesi pada belahan otak kanan, dan 4
orang (11,4%) memiliki lesi di kedua belahan otak. Penelitian juga mengungkapkan adanya
hubungan yang signifikan antara perbedaan tingkat defisit neurologis pada pasien stroke
iskemik dengan lesi hemisfer kiri dan kanan, dengan nilai p-value 0,001 (p < 0,05). Peneliti
(Hedna et al., 2013) telah mengkonfirmasi bahwa terdapat variasi kebutuhan metabolisme di
setiap belahan bumi. Secara khusus, lesi belahan otak kiri menunjukkan metabolisme tingkat
sel yang lebih tinggi, sehingga menyebabkan aliran darah lebih cepat di belahan kiri. Belahan
otak kiri lebih rentan mengalami penurunan fungsi.

Penelitian tersebut mengkategorikan pasien stroke menjadi tiga kelompok berdasarkan


tingkat keparahan kondisinya: ringan, sedang, dan berat. Pasien stroke ringan berjumlah 60%
dari total, dengan total 21 pasien. Pasien stroke sedang menyumbang 37,1% dari total,
dengan 13 pasien. Pasien stroke parah hanya berjumlah 2,9% dari total, dengan hanya 1
pasien.

KESIMPULAN
Temuan uji korelasi menunjukkan hubungan yang signifikan secara statistik antara jumlah
variabel risiko dan tingkat keparahan stroke iskemik di RSPBA (p=0,008). Selanjutnya uji
korelasi gamma menghasilkan koefisien korelasi sebesar r=0,645 yang menunjukkan
keterkaitan yang tinggi. Terdapat korelasi yang kuat antara lokasi infark dan intensitas stroke
iskemik di RSPBA (p= 0,005).

DAFTAR PUSTAKA
Ambresh, A. and Sanjeeth (2021) ‘Outcome assesment of acute ischemic stroke by NIHSS
score’, IP Indian Journal of Neurosciences, 7(1), pp. 26–32.
doi:10.18231/j.ijn.2021.005.

Andrianary, M. and Antoine, P. (2019) ‘PERDOSSI 2019’, 2, p. 89.

Axanditya, B., Kustiowati, E. and P, D. (2014) ‘Hubungan Faktor Risiko Stroke Non
Hemoragik Dengan Fungsi Motorik’, Jurnal Kedokteran Diponegoro, 3(1), p. 105206.
Boehme, A.K., Esenwa, C. and Elkind, M.S. V (2017) ‘Stroke Risk Factors, Genetics, and
Prevention.’, Circulation research, 120(3), pp. 472–495.
doi:10.1161/CIRCRESAHA.116.30 8398.

Eirmawati, C., Wiratmo and Budi, P.S. (2014) ‘Hubungan antara Kebiasaan Merokok dengan
Kejadian Hipertensi di RSD dr . Soebandi Jember (Correlation Between Smoking and
the Incidence of Hypertension in Department of Cardiovascular Disease RSD dr .
Soebandi Jember )’, e-Jurnal Pustaka Kesehatan, 2(2), pp. 314–319.

Gschmack, E. et al. (2022) ‘Plasma autoantibodies to glial fibrillary acidic protein (GFAP)
react with brain areas according to Braak staging of Parkinson’s disease.’, Journal of
neural transmission (Vienna, Austria : 1996), 129(5–6), pp. 545–555.
doi:10.1007/s00702- 022-02495-4.

Hafid, M.A. (2014) ‘Hubungan Riwayat Hipertensi Dengan Kejadian Stroke Di RSUP Dr.
Wahidin Sudirohusodo Makassar’, Jurnal Kesehatan, VII(1), pp. 234–239.

Hakim, R.A.S. (2013) ‘Hubungan Antara Dislipidemia dengan Kejadian Stroke di Bangsal
Rawat Inap Irna B1 Bagian Neurologi Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Kariadi
Semarang’, Universitas Muhammadiyah Semarang, pp. 18–20.

Hedna, V.S. et al. (2013) ‘Hemispheric Differences in Ischemic Stroke: Is Left-Hemisphere


Stroke More Common?’, jcn, 9(2), pp. 97–102. doi:10.3988/jcn.2013.9.2.97.

Huang, Z.-X. et al. (2018) ‘Early neurological deterioration in acute ischemic stroke: A
propensity score analysis.’, Journal of the Chinese Medical Association : JCMA,
81(10), pp. 865–870. doi:10.1016/j.jcma.2018.03.011.

Kemenkes RI (2018) ‘Stroke Dont Be The One’, p. 10.

Letelay, A.N.A., Huwae, L.B.S. and Kailola, N.E. (2019) ‘Hubungan Diabetes Melitus Tipe
Ii Dengan Kejadian Stroke Pada Pasien Stroke Di Poliklinik Saraf RSUD Dr. M.
Haulussy Ambon Tahun 2016’, Molucca Medica, 12(April), pp. 1– 10.
doi:10.30598/molmed.2019.v12.i1 .1.

Ospel, J.M. et al. (2022) ‘Toward a Better Understanding of Sex- and GenderRelated
Differences in Endovascular Stroke Treatment: A Scientific Statement from the
American Heart Association/American Stroke Association’, Stroke, 53(8), pp. E396–
E406. doi:10.1161/STR.0000000000000 411. Prayoga (2016) ‘the Difference of
Neurological Deficit Levels in the Ischemic Stroke Left and Right
Hemispherelesions’, 8.

Roy-O’Reilly, M. and McCullough, L.D. (2018) ‘Age and Sex Are Critical Factors in
Ischemic Stroke Pathology.’, Endocrinology, 159(8), pp. 3120–3131.
doi:10.1210/en.2018-00465.
Simbolon, P., Simbolon, N. and Siringoringo, M. (2018) ‘Faktor Merokok Dengan Kejadian
Stroke’, Jurnal Kesehatan Manarang, 4(1), pp. 18– 25.

Venketasubramanian, N. et al. (2017) ‘Stroke Epidemiology in South, East, and South-East


Asia: A Review.’, Journal of stroke, 19(3), pp. 286–294. doi:10.5853/jos.2017.00234.

Vural, G., Gümüşyayla, Ş. and Akdeniz, G. (2018) ‘Neutrophil/Lymphocyte Ratio In Stroke


Patients And Its Relation With Functional Recovery’, Medeniyet Medical Journal, 33.
doi:10.5222/MMJ.2018.83097.

Wahyuni, S. and Amalia, L. (2022) ‘Perkembangan Dan Prinsip Kerja Computed


Tomography (CT Scan)’, GALENICAL : Jurnal Kedokteran dan Kesehatan
Mahasiswa Malikussaleh, 1(2), p. 88. doi:10.29103/jkkmm.v1i2.8097.

Xue, J. et al. (2017) ‘Neutrophil-toLymphocyte Ratio Is a Prognostic Marker in Acute


Ischemic Stroke.’, Journal of stroke and cerebrovascular diseases : the official journal
of National Stroke Association, 26(3), pp. 650–657.
doi:10.1016/j.jstrokecerebrovasdis .2016.11.010.

M. Sopiyudin Dahlan. (2016). Langkahlangkah membuat proposal penelitian bidang


kedokteran dan kesehatan : berdasar prinsip IKVE 1741, Important (1), Konsisten (7),
Valis (4), Etis (1)/ Sopiyudin Dahlan. Jakarta:; © 2016 CV Sagung Seto: Sagung
Seto,.

Notoatmodjo, S. 2018. Metodologi Penelitian Kesehatan. Cetakan Ketiga. Jakarta: Rineka


Cipta

Misbach, J. dan Jannis, J. 2011. Diagnosis Stroke. Dalam : Soertidewi, L., Jannis, J. Stroke.
Aspek Diagnostik, Patofisiologi, Manajemen. Hal : 57-61. Badan Penerbit FK UI.
Jakarta.

Misbach, J. dan Soertidewi, L. 2011. Anatomi Pembuluh Darah Otak dan Patofisiologi
Stroke. Dalam: Soertidewi, L., Jannis, J . Stroke Aspek Diagnostik, Patofisiologi,
Manajemen. Hal : 21-29. Badan Penerbit FK UI. Jakarta.

Botham, K.M., and Mayes, P.A. 2012. Lipids of Physiologic Significance. In: Rodwell,
V.W., Bender, D.A., Botham, K.M., Kennelly, P.J., Weil, P.A. Harper’s Illustrated
Biochemistry. 30th ed. pp 211-22. Lange Medical Book. New York.

Mach, F., Baigent, C., Catapano, A.L., Koskinas, K.C.,Casula, M., Badimon, L., et al. 2020.
2019 ESC/EAS Guidelines for the management of dyslipidaemias: lipid modification
to reduce cardiovascular risk. European Heart Journal. 41 : 111-188.

Maranhao, R.C., Carvalho, P.O., Strunz, C.C. and Pileggi, F. 2014. Lipoprotein (a): structure,
pathophysiology and clinical implications. Arquivos brasileiros de cardiologia. 103(1)
: 76-84.
Adam, J. M. F., 2014. Dislipidemia. Dalam : Sudoyo, A.W., Setiyohadi, B., Alwi. I., Setiati,
S., Simadibrata, M. K. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi VI. Hal : 1985 – 6.
Interna Publishing. Jakarta.

Chalos, V., van der Ende, N. A., Lingsma, H. F., Mulder, M. J., Venema, E., Dijkland, S. A.,
et al. 2020. National Institutes of Health Stroke Scale: An Alternative Primary
Outcome Measure for Trials of Acute Treatment for Ischemic Stroke. Stroke. 51(1) :
282-290.

MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi. 2010. Jakarta : BIP (PT. Bhuana Ilmu Populer)

Silbernagl S, Lang F. Teks dan atlas berwarna patofisiologi. Setiawan I, Moqthar I,


penerjemah. Resmisari T, Liena, editor. Jakarta : EGC, 2012.

Anda mungkin juga menyukai