PENDAHULUAN
1
2
negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Kamboja, Laos, dan Malaysia, dengan
meningkatnya kemampuan pengendalian penyakit menular, harapan hidup akan
diperpanjang. Dengan transisi ekonomi negara-negara ini, menuju status "negara maju",
faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, obesitas, dan
merokok akan menjadi lebih umum, yang nantinya akan meningkatkan kasus stroke.
Namun, karena fasilitas kesehatan yang tidak memadai di negara-negara berkembang
ini, angka kematian akan tinggi.3
Hal ini sejalan dengan situasi yang ada di Indonesia, dimana jumlah penderita
stroke mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini berdasarkan data yang didapat
oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 prevalensi stroke berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7‰, di tahun 2018 prevalensi stroke menjadi
10,9‰. Prevalensi stroke tertinggi jatuh pada propinsi Kalimantan Timur menduduki
peringkat pertama sebesar 14,7‰, diikuti oleh Yogyakarta. Sementara yang terendah
berada di Provinsi Papua sebesar 4,1‰.4
Menurut studi INTERSTROKE yang dilakukan di 22 negara, menyebutkan
aktivitas fisik, diabetes melitus, gangguan kardiovaskular adalah faktor risiko umum
untuk stroke iskemik. Faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko stroke sebesar 90%.
Pada tingkat patologis, sebagian besar faktor risiko yang dapat dimodifikasi ini dapat
bertindak dengan cara mengubah struktur dan fungsi vaskular, mempromosikan
perubahan morfologi pembuluh darah (yaitu, hiperplasia dan aterosklerosis),
mengurangi cerebral blood flow (CBF) dan merusak autoregulasi serebrovaskular.
Terdapat perbedaan dengan kenyataan yang ada di Indonesia dimana meningkatnya
prevalensi stroke di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya prevalensi dari faktor-
faktor risikonya, seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas dan perilaku merokok.
Prevalensi hipertensi di Indonesia menurut RIKESDAS pada penduduk berusia diatas
18 tahun dari 25,8% di tahun 2013 naik menjadi 34% di tahun 2018. Prevalensi
penderita DM dari 6.9% di tahun 2013 menjadi 8.5% di tahun 2018. Prevalensi obesitas
pada dewasa tahun 2018 sebesar 21.8%. Prevalensi merokok menurut umur >10 tahun
sebesar 29.3% angka ini naik dari tahun 2013 yang hanya sebesar 28.8%. 4 Maka
diperlukannya penelitian terbaru untuk mengetahui perkembangan dari faktor risiko
stroke tersebut. Dan mencari faktor risiko manakah yang saat ini paling dominan
menyebabkan stroke. Sehingga penulis berkeinginan untuk meneliti mengenai peranan
dari setiap faktor risiko stroke untuk menyebabkan terjadinya stroke di RSUP Dr.
3
Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penelitian mengenai faktor risiko stroke.
Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang menyebutkan faktor risiko mana yang
paling dominan menyebabkan stroke. Mengingat hal ini nantinya akan berperan penting
untuk menetapkan program Kesehatan preventif untuk mencegah terjadinya stroke dan
berujung mengurangi beban negara dalam menanggulangi kasus stroke.
Salah satu penelitian yang dilakukan di Bali, tahun 2019. Penelitian ini merupakan
penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. 65 Subyek penelitian
yang sesuai dengan kriteria inklusi, diambil dari data rekam medis pasien stroke
iskemik yang rawat inap di RSUD Klungkung. Variabel yang diteliti dalam penelitian
ini yaitu usia, jenis kelamin, tekanan darah, kadar kolesterol, riwayat merokok, indeks
massa tubuh (IMT), aktivitas fisik, riwayat diabetes, riwayat fibrilasi atrium, dan
riwayat stroke dalam keluarga. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara stroke iskemik dengan indeks massa tubuh, tekanan
darah, riwayat merokok, riwayat diabetes, dan kadar kolesterol (p<0,005).
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Epidemiologi
Menurut data WHO jumlah kejadian stroke di negara-negara berkembang
cenderung meningkat, pada tahun 2016, terdapat 13,7 juta insiden stroke baru
secara global; 87% di antaranya adalah stroke iskemik dan menurut perkiraan
sekitar 10%-20% dari jumlah ini merupakan kasus large vessel occlusion.2
Berdasarkan data yang didapat oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
tahun 2013 prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7‰,
di tahun 2018 prevalensi stroke menjadi 10,9‰. Prevalensi stroke tertinggi jatuh
pada propinsi Kalimantan Timur menduduki peringkat pertama sebesar 14,7‰,
diikuti oleh Yogyakarta. Sementara yang terendah berada di Provinsi Papua
sebesar 4,1‰.4
(seperti hemiplegia, afasia, daln lain-lain). Gambaran CT Scan otak atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan adanya infark di kortikal,
serebelum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm
dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.
2) Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari
jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari:
A. Resiko tinggi
a) Prostetik katub mekanik
b) Mitral stenosis denga atrial fibrilasi
c) Fibrilasi atrial
d) Atrial kiri / atrial appendage thrombus
e) Sick sinus syndrome
f) Miokard infark baru (<4 minggu)
g) Thrombus ventrikel kiri
h) Kardiomiopati dilatasi
i) Segmen ventricular kiri akinetik
j) Atrial myxoma
k) Infeksi endocarditis
B. Risiko sedang
a) Prolaps katub mitral
b) Kalsifikasi annulus mitral
c) Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
d) Turbulensi atrial kiri
e) Aneurisma aeptal atrial
f) Paten foramen ovale
g) Atrial flutter
h) Lone atrial fibrillation
i) Katub kardiak bioprostetik
j) Trombotik endocarditis non bacterial
k) Gagal jantung kongestif
l) Segmen ventricular kiri hipokinetik
m) Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan)
9
Faktor Risiko
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi terdiri atas:
1. Usia
Dari 795.000 kasus stroke yang terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat,
87% diklasifikasikan sebagai stroke iskemik, dan dikatakan bahwa usia tua adalah
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yang paling kuat untuk terjadinya
stroke. Dimana angka kejadiannya yang berlipat ganda setiap 10 tahun setelah
usia 55 tahun. Perkiraan tiga perempat dari semua stroke terjadi pada orang
berusia ≥65 tahun. Penelitian lain di Perancis mencatat 5.101 kasus stroke
pertama (tahun 1987-2015), dimana insiden stroke memiliki persentase sama
besar pada pasien usia <75 tahun dan ≥ 75 tahun. Namun kejadian stroke berulang
meningkat hingga 58% pada usia ≥ 75 tahun. Meningkatnya faktor usia tidak
10
lepas dari fakta bahwa prevalensi faktor risiko stroke tertentu termasuk diabetes,
hipertensi, fibrilasi atrium, dan penyakit jantung koroner dan penyakit arteri
perifer terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Pertambahan usia berkaitan erat dengan kekakuan pembuluh darah. Seiring
dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada pembuluh darah yaitu
berkurangnya jumlah elastin yang disertai terpisah-pisahnya (fragmenting), dan
patahnya serabut-serabut elastin di lapisan media, juga bertambahnya jumlah
kolagen, dan hipertrofi sel otot polos. Pembuluh darah dengan serabut elastin
yang sedikit akan kehilangan fungsinya dalam menahan beban dan kemudian
mengalihkannya pada serabut kolagen yang lebih kaku sehingga kekakuan
pembuluh darah meningkat secara drastic. Tekanan darah sistolik dan tekanan
nadi meningkat seiring pertambahan usia terutama dikarenakan berkurangnya
elastisitas dari arteri-arteri besar. Kemampuan autoregulasi pembuluh darah yang
kaku menurun sehingga tidak dapat mengantisipasi kenaikan darah yang tiba-tiba.
Akibatnya dapat terjadi ruptur. Selain itu, pada pembuluh darah yang menua akan
terjadi perubahan komposisi protein dalam matriks ekstraseluler yang akan
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan dimulainya proses aterosklerosis.7
2. Jenis kelamin
Hubungan jenis kelamin dengan risiko stroke tergantung pada usia. Pada usia
muda, wanita memiliki risiko stroke yang sama atau bahkan lebih tinggi
dibanding pria. Meskipun pada usia yang lebih tua risiko relatifnya sedikit lebih
tinggi untuk pria. Risiko stroke lebih tinggi pada wanita pada usia lebih muda
kemungkinan disebabkan kehamilan dan postpartum, serta faktor hormonal
lainnya, seperti penggunaan dari kontrasepsi hormonal. Secara keseluruhan,
stroke lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki, karena umur
perempuan yang lebih panjang dibandingkan dengan pria. Sebuah penelitian
dilakukan di 8 tempat berbeda Negara-negara Eropa menemukan bahwa risiko
stroke meningkat sebesar 9% per tahun pada pria dan 10% per tahun pada wanita.7
Namun Wang dalam penelitian lainnya mengemukakan bahwa laki-laki memiliki
tingkat risiko yang tinggi mengalami kejadian stroke sebesar 1,20 kali dibandingkan
dengan wanita. Jumlah pasien laki-laki yang menderita stroke lebih banyak daripada
perempuan. Yang sering terkena stroke ialah laki-laki, dengan frekuensi umur tersering
11
>60 tahun. Estrogen diduga berperan dalam mencegah proses atherosclerosis. Oleh
sebab itu, perempuan pada masa pramenopause memiliki proteksi terhadap
berbagai penyakit vascular, termasuk stroke, yang timbul akibat sumbatan
pembuluh darah oleh plak atherosklerotik. Pada masa ini, perempuan memiliki
risiko lebih kecil untuk terkena stroke dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi
pada masa postmenopause produksi estrogen akan menurun sehingga efek
proteksinya juga menurun.8
Meaghan dan Louise pada tahun 2018, menjelaskan dalam studinya megenai
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang secara garis besar:
a. kerusakan iskemik menyebabkan gangguan mitokondria sel saraf, yang
sangat penting untuk mempertahankan energi seluler dan mengatur stres
oksidatif. Baik estrogen dan progestin berperan dalam meningkatkan fungsi
mitokondria dan meningkatkan proses antioksidan dalam neuron. Pada
percobaan dengan tikus, tikus betina memiliki lebih banyak respirasi oksidatif
yang efisien daripada laki-laki secara keseluruhan, bahkan setelah terjadi
stroke iskemik.
b. Penghapusan mediator angiotensin II reseptor tipe 2 (AGTR2), memperburuk
ukuran infark dan memperburuk aliran darah otak pada tikus jantan, tetapi
tidak pada tikus betina.
c. Astrosit pada otak tikus betina resisten terhadap iskemik, yang merupakan
efek perlindungan dari estrogen.
d. Iskemia serebral juga menginduksi aktivasi mikroglia, sel imun system saraf
pusat. Aktivasi ini setelah iskemik adalah penting untuk mencegah kerusakan
jaringan sekunder dan perbaikan jaringan dan regenerasi. Di awal kehidupan,
pada tahap neonatal dan dewasa muda, tikus jantan memiliki aktivasi
mikroglial yang diinduksi iskemia lebih tinggi daripada tikus betina. Hal ini
disebabkan efek anti inflamasi yang didorong oleh hormon seks wanita,
seperti penelitian in vitro menunjukkan bahwa estrogen dan progestin dapat
menekan pelepasan inflamasi mediator dalam mikroglia dan mengurangi
saraf kematian sel.9
12
3. Faktor genetik
Meningkatnya risiko pada pasien dengan paternal dan untuk keturunan
dibawahnya, riwayat maternal dari stroke telah dibuktikan. Ini mungkin karena
genetik yang diturunkan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor
risiko lingkungan, seperti kemiripan dalam hal makanan dan gaya hidup antara
orang tua dengan anak cucunya. Status pasti hiperkoagulasi (kekurangan protein
C dan S, mutasi faktor V Leiden) diturunkan secara autosom dominan. Kondisi-
kondisi yang dapat menyebabkan diseksi arteri, seperti fibromuskular displasia,
juga mempunyai komponen genetik.
Ada bukti yang muncul bahwa genetika berkontribusi terhadap risiko
terjadinya stroke iskemik. Beberapa varian genetik terkait koagulasi telah
diidentifikasi, meskipun besarnya efek dari masing-masing varian masih dianggap
kecil. Penelitian MetaStroke adalah salah satu penelitian kolaborasi genetik
terbesar mengenai stroke iskemik, termasuk didalamnya 15 negara Eropa,
Amerika Utara, dan Australia. MetaStroke mengkonfirmasi hubungan stroke
dengan varian gen di dalam darah-jenis gen ABO (rs505922), yang berhubungan
dengan kadar protein koagulasi faktor von Willebrand dan faktor 8. Simpulannya
menyatakan bahwa terdapat hubungan untuk kasus stroke tipe LVO (large vessel
occlusion) dan kardioemboli tetapi tidak untuk SVD (small vessel disease).
GWAS (genome wide association study) stroke multietnis terbesar sampai
saat ini melaporkan 32 lokus genetic yang berperan dalam kejadian stroke. Sekitar
setengah dari lokus genetik stroke tersebut, berhubungan pula dengan kelainan
pembuluh darah lainnya, terutama darah tinggi. Dalam analisis kolaboratif
selanjutnya antara MetaStroke dan beberapa penelitian kohort lainnya, gen PITX2
dan ZFHX3 juga terkait dengan stroke kardioemboli, dan gen HDAC9 dan lokus
9p21 dikaitkan dengan stroke LVO. Temuan ini memberikan wawasan
patofisiologi stroke: PITX2, misalnya, mengkodekan enzim aktivator
transkripsional yang terlibat dalam pengembangan dari simpul sinoatrial dan
pengaturan ion channel yang berfungsi memodulasi konduksi jantung; ZFHX3
juga mengkodekan enzim transkripsi. Gen HDAC9 mengkodekan histone
deacetylase mekanismenya untuk menyebabkan stroke aterosklerotik masih belum
jelas. TSPAN2 mengkodekan tetraspanin-2, protein transmembran yang mengatur
transduksi sinyal dan berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan sel;
TSPAN2 pada tikus, dapat mengaktivasi mikroglia dan astrosit.7
13
2. Merokok
Secara konvensional, asap rokok dibagi menjadi dua fase: fase tar dan fase gas.
Fase tar didefinisikan sebagai bahan yang terjebak ketika aliran asap melalui filter
yang mempertahankan 99,9% dari semua bahan partikulat dengan ukuran > 0,1
µm. Fase gas adalah bahan yang dihembuskan oleh perokok setelah fase tar. Asap
dari fase tar mengandung >1017 radikal bebas/g, dan asap dari fase gas
mengandung >1015 radikal bebas/hembusan. Zat radikal terkait dengan fase tar
berumur panjang (jam ke bulan), sedangkan zat radikal yang terkait dengan fase
gas memiliki rentang hidup lebih pendek (detik).
Asap tembakau yang ada di lingkungan dihasilkan dari kombinasi asap
sidestream, asap dari tembakau yang dibakar (85%) dan sebagian kecil
dihembuskan oleh perokok (mainstream) (15%). Asap sidestream mengandung
konsentrasi yang relatif lebih tinggi komponen gas beracun dari rokok mainstream
merokok
16
perubahan pada biosintesis NO dapat memiliki efek primer dan sekunder pada
inisiasi dan perkembangan aterosklerosis dan kejadian trombotik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok menyebabkan sekitar 20%
hingga 25% pada jumlah leukosit darah tepi. Secara in vivo, merokok dikaitkan
dengan peningkatan level kelipatan penanda inflamasi termasuk protein C-reaktif,
interleukin-6, dan tumor necrosis factor alpha. Rekrutmen lokal leukosit pada
permukaan endotel sel adalah peristiwa awal dalam aterosklerosis. Merokok juga
menyebabkan aktivasi molekul proatherogenic yang juga berperan dalam
aterosklerosis.
Perokok memiliki kolesterol serum yang jauh lebih tinggi, trigliserida, dan
kadar lipoprotein densitas rendah (LDL), tetapi high-density lipoprotein (HDL)
lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Mekanisme yang bertanggung jawab
tidak jelas. Kelainan lipoprotein densitas tinggi baru-baru ini diduga berhubungan
dengan resistensi insulin. Bahkan, telah diusulkan bahwa resistensi insulin
merupakan kunci link potensial antara merokok dan penyakit kardiovaskular.11
Studi yang dilakukan oleh Shi dkk (2021) menunjukkan bahwa merokok (OR
= 2,998, 95% CI = 1,293-6,954) secara signifikan terkait dengan stroke iskemik.
Artinya pasien yang memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko terjadi stroke
iskemik sebanyak 2,998 kali. Merokok merupakan faktor risiko independen untuk
stroke iskemik. Dalam studi oleh Shi dkk tersebut, menemukan bahwa merokok
terkait erat dengan aterosklerosis dan Small Vessel Disease (SVD). Mekanisme
merokok mempengaruhi risiko stroke tidak sepenuhnya jelas, merokok
kemungkinan berkontribusi pada peningkatan risiko stroke melalui efek jangka
pendek pada pembentukan trombus di arteri aterosklerotik dan efek jangka
panjang terkait dengan perkembangan stenosis aterosklerotik. Merokok dapat
menyebabkan stroke juga melalui faktor-faktor reversibel seperti peningkatan
agregasi platelet dan vasokonstriksi arteri dengan meningkatkan aktivitas
simpatis, yang menjelaskan risiko stroke.
Sebuah studi kohort prospektif 10 tahun di Cina menemukan bahwa merokok
dapat meningkatkan risiko stroke iskemik di antara penderita hipertensi. Interaksi
signifikan terdeteksi antara merokok dan hipertensi pada risiko stroke iskemik.
Hasil studi Shi dkk juga sejalan dengan studi lainnya seperti studi yang dilakukan
oleh Garg dkk (2021) yang menunjukkan pasien dengan stroke iskemik lebih
18
3. Diabetes Melitus
Pradiabetes dan diabetes, termasuk DM tipe 1 dan tipe 2, adalah faktor
penyumbang kedua yang paling dikenal meningkatkan risiko stroke dua kali lipat,
meningkatkan kematian sebesar 20%, dan berhubungan dengan prognosis yang
buruk dan pemulihan yang lebih lambat. Prevalensi pradiabetes dan diabetes
melitus pada stroke pasien berkisar antara 28% dan 45%. Seperti hipertensi,
diabetes juga meningkat seiring bertambahnya usia dan meningkatkan risiko
stroke hingga 60% pada pasien lansia. Di Amerika Serikat, lebih dari 50% orang
Amerika berusia di atas 65 tahun adalah pra-diabetes.
Namun, pasien DM tipe 2 biasanya disajikan dengan faktor risiko tambahan
untuk stroke seperti hiperlipidemia, fibrilasi atrium, hipertensi, resistensi insulin
(IR), dan obesitas. Selanjutnya, small vessel disease, diidentifikasi sebagai stroke
kecil dengan ukuran <15 mm diameter adalah jenis yang paling umum dari stroke
terlihat pada pasien diabetes yang melibatkan arteri penetrasi kecil.
Pada tingkat molekuler, DM tipe 2 terutama terkait dengan resistensi insulin
(IR) dan hiperinsulinemia yang meningkatkan tekanan darah (BP) melalui
resorpsi natrium (Naþ) yang merangsang dan menyebabkan dislipidemia dan
aterosklerosis. Di sisi lain, DM tipe 1 meningkatkan risiko aritmia, fibrilasi
atrium, infark miokard, gagal jantung, dan gangguan kardiovaskular lainnya
dikarenakan oleh gangguan hipoinsulinemia yang menginduksi penurunan fungsi
Naþ/Kþ ATPase dan menyebabkan hiperkalemia. Namun, hiperglikemia yang
diinduksi oleh kedua jenis DM tersebut dapat meningkatkan tekanan darah dengan
menginduksi hiperosmolaritas dan mengaktifkan sistem saraf simpatis. Pada
pasien DM tipe 2, hyperinsulinemia menstimulasi peningkatan reabsorpsi NAþ
tubular di ginjal yang menyebabkan hypervolemia. Juga, hiperinsulinemia
menyebabkan pengaktifan sistem saraf simpatik yang berakhir dengan aktivasi
berkelanjutan dari sistem renin/ANG II, sehingga meningkatkan curah jantung
dan resistensi perifer yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu, hiperglikemia
dapat meningkatkan gangguan kardiovaskular seperti kardiomiopati diabetik dan
19
Hal serupa juga ditunjukkan pada studi yang dilakukan oleh Shi dkk (2021)
yang bertujuan untuk menentukan faktor risiko Small Vessel Disease (SVD) dan
membandingkannya dengan Large Artery Atherosclerosis (LAA), regresi logistik
multivariat menunjukkan bahwa hipertensi (OR = 6,706, 95% CI = 3,431- 13.106,
p < 0.001), diabetes mellitus (OR = 4.023, 95% CI = 1.635-9.898, p = 0.002),
kadar kolesterol total tinggi (OR = 5.327, 95% CI = 1.450-19.579, p = 0.012),
trigliserida tinggi (OR = 2,519, 95% CI = 1,174-5,405, p = 0,018) dan merokok
20
4. Penyakit Jantung
Dari studi INTERSTROKE diketahui bahwa etiologi jantung berhubungan
dengan peningkatan risiko stroke iskemik (OR 2,74, 99% CI 2,03-3,72) tapi tidak
dengan stroke hemoragik (OR 0,90, 99% CI 0,52-1,56). Kelainan jantung selain
AF yang berhubungan dengan peningkatan risiko stroke mencakup infark miokard
akut, kardiomiopati iskemik dan noniskemik, penyakit jantung katup (katup
prostetik, dan endocarditis infektif, patent foramen ovale/ PFO dan atrial septal
aneurysm/ASA), tumor kardiak, dan aterosklerosis aorta.13
Karena AF seringkali tanpa gejala dan sering tidak terdeteksi secara klinis, AF
terkait dengan risiko stroke sering diremehkan secara substansial. Dalam
metaanalisis dari 50 penelitian, AF terdeteksi pada 24% (95% CI, 17%–31%)
pasien embolic stroke of undetermined source (ESUS). Atrial fibrilasi (AF),
meskipun tanpa penyakit jantung katup, behubungan dengan peningkatan risiko stroke
iskemik 4-5 kali lipat dikarenakan pelepasan thrombus yang terbentuk akibat stasis aliran
darah dalam jantung. Studi Framingham, mendapatkan kejadian atrial fibrilasi dari 0,2
per 1000 di usia 30-39 dan menjadi 39,0 per 1000 di usia 80-89 tahun. 15 Penelitian
lainnya menyebutkan SVT paroksismal dan supraventrikular ektopik telah
dikaitkan dengan risiko stroke sebesar dua kali lipat, tanpa adanya AF.1
Penelitian yang dilakukan oleh Adelborg dkk menunjukkan risiko stroke pada
pasien gagal jantung adalah lima kali lebih tinggi daripada populasi umum. 14
Rowin dkk (2017) menunjukkan pasien dengan kardiomiopati hipertrofik
memiliki risiko tinggi berkembangnya fibrilasi atrium, yang berhubungan dengan
6-24% risiko stroke seumur hidup, dimana 11% di antaranya fatal. Pasien dengan
obstruksi midventrikular dan aneurisme apikal dapat berkembang menjadi stroke
dari trombus mural di apeks.15
Selain itu penyakit infeksi pada jantung juga dapat menjadi faktor risiko stroke,
penelitian oleh Garcia dkk menunjukkan insiden komplikasi serebrovaskular pada
21
pasien dengan endokarditis infektif sisi kiri sebesar 65-80% dimana 25-40%
bergejala. Risiko stroke semakin meningkat sesuai dengan ukuran dan mobilitas
vegetasi. Endokarditis yang disebabkan oleh staphylococcus aureus lebih rentan
terhadap emboli, dan vegetasi pada katup mitral membawa risiko lebih tinggi
daripada yang mempengaruhi katup aorta. 16
5. Dislipidemia
Telah banyak penelitian epidemiologi yang menunjukkan bahwa
dislipidemia, khususnya kadar LDL yang lebih rendah dikaitkan dengan tingkat
gangguan kardiovaskuler yang rendah pula. Asosiasi ilmiah termasuk American
Heart Association (AHA), American Stroke Association (ASA), American
College of Cardiology, National Lipid Association, Chinese Stroke Association,
European Society of Cardiology and European Atherosclerosis Society telah
membuat pedoman untuk mencerminkan pentingnya penilaian faktor risiko dan
manajemen, dan sebagian besar pedoman berfokus pada kadar LDL sebagai target
terapeutik utama dengan target LDL <2.6, <1.8, atau <1.4 mmol/L.31
AHA/ASA 2021 lebih spesifik menjelaskan peran LDL dan trigliserida
dalam pencegahan stroke iskemik.
a. Dua penelitian uji coba, SPARCL (Stroke Prevention by Aggressive
Reduction in Cholesterol Levels) dan TST (Treat Stroke to Target),
mengevaluasi terapi penurun lipid pada pasien setelah stroke iskemik.
Kedua uji coba tersebut menemukan manfaat yang signifikan dari terapi
penurun kolesterol dalam mencegah gangguan pembuluh darah,
termasuk stroke. SPARCL menemukan bahwa atorvastatin 80 mg
setiap hari mengurangi kekambuhan stroke pada pasien tanpa indikasi
lain untuk terapi statin. TST mengkonfirmasi bahwa target LDL-C <70
mg/dL lebih unggul daripada target 90 hingga 110 mg/dL untuk
mencegah gangguan kardiovaskular
b. Hipertrigliserida
Kategori hipertrigliseridemia adalah sedang (diukur saat puasa atau tidak
puasa trigliserida 175-499 mg/dL atau 2,0-5,6 mmol/L]) dan
hipertrigliseridemia berat (trigliserida puasa ≥500 mg/dL [≥5,6
mmol/L]). Pertama, kelebihan trigliserida akan dibawa oleh lipoprotein
22
Dalam sebuah literatur review pada tahun 2023, dari total 18 jurnal yang
dianalisis menunjukan bahwa trigliserida merupakan salah satu prediktor terhadap
prognosis dan mortalitas pada pasien stroke. Adapun rentang nilai trigliserida
yang memperburuk kondisi pasien ialah pasien dengan kadar trigliserida tinggi
>200 mg/dL. Trigliserida adalah jenis lemak yang diserap oleh usus setelah
dihidrolisis. Trigliserida kemudian masuk ke plasma darah dalam dua bentuk,
yaitu kilomikron yang dihasilkan dari penyerapan usus setelah lemak dikonsumsi,
dan very low density lipoprotein (VLDL) yang dibentuk oleh hati dengan bantuan
insulin. Bila kadar trigliserida dalam darah terlalu tinggi, maka kadar glukosa
darah juga akan ikut meningkat sehingga menyebabkan resistensi insulin yang
dapat berujung menimbulkan sindrom metabolik, dimana terjadi peningkatan
sitokin pro-inflamasi dan respon protrombotik. Trigliserida juga dapat berfungsi
sebagai sumber cadangan energi, sehingga kadar trigliserida berhubungan dengan
status gizi. Kadar trigliserida yang rendah, merupakan indikator malnutrisi.
Malnutrisi setelah stroke akut merupakan faktor prognosis yang buruk. 32
Mekanisme dimana dislipidemia menginduksi stroke melibatkan proses
aterosklerosis, trombosis, disfungsi endotel, dan kerusakan blood brain barrier
(BBB), mengurangi CBF aliran darah serebral, dan menginduksi apoptosis saraf.
Di samping itu, dislipidemia meningkatkan risiko stroke dengan menginduksi
hipertensi, resistensi insulin, obesitas, dan penyakit kardiovaskular. Namun, saat
ini diterima dengan baik bahwa peningkatan stres oksidatif dan inflamasi pada
endotelium, makrofag, dan jaringan lain, serta disfungsi endotel berikutnya dan
apoptosis adalah mekanisme utama dari dislipidemia menyebabkan stroke dan
juga kerusakan jantung. Seperti terlihat pada gambar 4.
23
intrinsic kematian sel (yaitu sumbu Bax, sitokrom C/caspase-3) [143, 146, 165].
Juga menginduksi kekakuan vaskular melalui peningkatan Caþ2 salah satu
oksidan bebas. Dislipidemia, melalui peningkatan stres oksidatif di endotel dan
inflamasi, meningkatkan permeabilitas BBB melalui pengaktifan calpain-1/2,
matrix metalloproteinase-2/9, dan RhoA.10
8. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik menurut WHO adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang membutuhkan pengeluaran energi termasuk aktivitas yang dilakukan
saat bekerja, bermain, melakukan pekerjaan rumah tangga, bepergian, dan terlibat
dalam kegiatan rekreasi. Aktivitas fisik yang teratur dan memadai akan mengurangi
risiko terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, diabetes, berbagai jenis
26
saraf, fungsi endotel, aliran darah serebral, integritas BBB dengan menghambat
TLR4/NF-κB, serta mengurangi pembentukan oksidan bebas, dan meningkatkan
enzim antioksidan dan menghambat pelepasan glutamat, menghambat ekspresi
glutamat metabotropik reseptor 5 (mGluR5) dan subunit reseptor N-metil-D-aspartat
tipe 2B (NR2B). 10
Gambar 2.5 Mekanisme molekular olahraga memberikan efek neuroprotektif dalam mencegah stroke
dan meningkatkan luaran klinis post stroke.10
1. Aktivitas fisik ringan. Aktivitas fisik ini hanya memerlukan sedikit tenaga
dan biasanya tidak menyebabkan perubahan dalam pernapasan saat
melakukan aktivitas masih dapat berbicara dan bernyanyi. Energi yang
dikeluarkan selama melakukan aktivitas ini (<3,5 Kcal/menit). Contoh
aktivitas fisik ringan :
a. Berjalan santai di rumah, kantor, atau pusat perbelanjaan
b. Duduk bekerja di depan computer, membaca, menulis, menyetir,
mengoperasikan mesin dengan posisi duduk atau berdiri
c. Berdiri melakukan pekerjaan rumah tangga ringan, seperti mencuci
piring, setrika, memasak, menyapu, mengepel lantai dan menjahit
d. Latihan peregangan dan pemanasan dengan lambat
e. Membuat prakarya, bermain kartu, bermain video game,
menggambar, melukis, bermain music
f. Bermain bilyard, memancing, memanah, menembak, golf, dan naik
kuda
2. Aktivitas fisik sedang. Pada saat melakukan aktivitas fisik sedang tubuh
sedikit berkeringat, denyut jantung dan frekuensi nafas menjadi lebih cepat,
tetap dapat berbicara, tetapi tidak bernyanyi.Energi yang dikeluarkan saat
melakukan aktivitas ini antara 3,5 - 7 Kcal/menit. Contohnya adalah :
a. Berjalan cepat (kecepatan 5 km/jam) pada permukaan rata di dalam
atau di luar rumah, di kelas, ke tempat kerja atau ke toko; dan jalan
santai, jalan sewaktu istirahat kerja
b. Pekerjaan tukang kayu, membawa dan menyusun balok kayu,
membersihkan rumput dengan mesin pemotong rumput
c. Memindahkan perabot ringan, berkebun, menanam pohon, mencuci
mobil
d. Bulutangkis rekreasional, bermain rangkap bola, dansa, tenis meja,
bowling, bersepeda pada lintasan datar, volley non kompetitif,
bermain skate board, ski air, berlayar
3. Aktivitas fisik berat. Aktivitas fisik dikategorikan berat apabila selama
beraktivitas tubuh mengeluarkan banyak berkeringat, denyut jantung dan
frekuensi nafas sangat meningkat sampai dengan kehabisan napas.Energi
yang dikeluarkan saat melakukan aktivitas pada kategori ini > 7 Kcal/menit.
30
Contoh :
a. Berjalan dengan sangat cepat (kecepatan lebih dari 5 km/jam),
berjalan mendaki bukit, berjalan dengan membawa beban di
punggung, naik gunung, jogging (kecepatan 8 km/jam) dan berlari
b. Pekerjaan seperti mengangkut beban berat, menyekop pasir,
memindahkan batu bata, menggali selokan, mencangkul
c. Pekerjaan rumah seperti memindahkan perabot yang berat,
menggendong anak, bermain aktif dengan anak
d. Bersepeda lebih dari 15 Km per jam dengan lintasan mendaki,
bermain basket, cross country, badminton kompetitif, volley
kompetitif, sepak bola, tenis single, tinju.33
9. Obesitas
Kelebihan berat badan atau obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak
abnormal atau berlebihan yang menyebabkan risiko terhadap kesehatan. IMT
31
(Indeks Massa Tubuh) adalah indikator yang paling banyak digunakan untuk
menentukan obesitas yaitu berat badan seseorang (dalam kilogram) dibagi dengan
kuadrat tinggi badannya (dalam meter). Peningkatan IMT adalah faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke (WHO, 2018).
Pada obesitas, terdapat peningkatan ukuran sel lemak (sel adiposa), tetapi sel
ini sedikit mengandung reseptor insulin. Akibatnya sel kurang bereaksi terhadap
pengaruh insulin yang berguna dalam pengaturan metabolisme karbohidrat dan
lemak. Peningkatan penguraian lemak menyebabkan banyaknya asam lemak dalam
darah. Asam lemak bebas ini selanjutnya diangkut ke hati dan bersama kolesterol
akan dibuat menjadi bentuk lipoprotein VLDL. Hal tersebut berakibat kolesterol dan
trigliserida dalam darah juga meningkat. Selain itu, sel adiposa juga memproduksi
sitokin inflamasi yang nantinya akan menyebabkan stroke.
Kelebihan lipid, termasuk trigliserida, disimpan di jaringan adiposa tubuh, dan
jaringan lain juga ikut membesar, seperti hati, otot rangka, dan organ dalam lainnya.
Dengan demikian, orang yang obesitas tidak hanya memiliki lebih banyak lemak
tubuh daripada orang yang tidak obesitas, tetapi juga memiliki massa otot yang lebih
ramping dan tingkat metabolisme istirahat yang lebih tinggi. Orang gemuk juga
memiliki curah jantung dan tekanan darah yang lebih tinggi.
Sebagian besar sel lemak pada jaringan adiposa subkutan berwarna putih
karena mengandung trigliserida dan kolesterol ester. Sel lemak putih ini
mengeluarkan hormon seperti leptin dan adiponektin, yang mengatur rasa lapar.
Adiposit coklat disimpan dalam jaringan adiposa visceral, dan jaringan ini signifikan
pada orang gemuk. Adiposit visceral ini terkait dengan banyak masalah kesehatan
metabolik dan mekanis yang menyertai obesitas. Misalnya, lemak di sekitar ginjal
menekannya dan menyebabkan hipertensi. Kelebihan didaerah faring dapat
32
menghalangi jalan napas selama tidur dan berhubungan dengan sleep apnea.
Kelebihan berat badan memberi tekanan ekstra pada persendian dan merupakan
faktor risiko osteoartritis. Lemak visceral yang berlebihan dapat menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam perut dan menyebabkan penyakit gastroesofageal
refluks. Jaringan adiposa yang berlebihan menyebabkan sekresi adipokin
proinflamasi yang berlebihan, yang menyebabkan peradangan sistemik tingkat rendah
pada banyak orang gemuk. Hidrolisis yang terjadi pada sel-sel lemak melepaskan
asam lemak bebas, yang diangkut ke tempat-tempat di seluruh tubuh dalam aliran
darah. Peningkatan kadar asam lemak bebas yang ditemukan pada orang gemuk ini
berkontribusi terhadap resistensi insulin, yang nantinya akan berhubungan dengan
diabetes melitus.
Di dalam jurnal AHA tahun 2021 menyebutkan peningkatan risiko 7% hingga
37% untuk stroke pada obesitas dibandingkan dengan peserta dengan berat badan
normal, atau 4% peningkatan risiko untuk setiap peningkatan BMI sebesar 5 kg/m2.
Namun di bagian kesimpulan, peneletian tersebut menunjukkan tidak ada peningkatan
risiko stroke iskemik untuk kelebihan berat badan atau obesitas yang sehat secara
metabolik bahkan ketika dipertahankan selama bertahun-tahun. Risiko stroke iskemik
meningkat seiring dengan banyaknya kelainan metabolic (hipertensi, diabetes dan
dislipidemia), dan faktor risiko metabolik terpenting adalah hipertensi.29
Patofisiologi
Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Terdapat perbedaan etiologi
keduanya. Pada iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat
tekanan perfusi (syok ireversible karena henti jantung, perdarahan sistemik yang
masif, fibrilasi atrial berat dll). Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat
menurunnya tekanan perfusi otak karena ada sumbatan atau pecahnya salah satu
pembuluh darah otak yang berakibat lumen pembuluh darah yang terkena akan
tertutup sebagian atau seluruhnya.Tertutupnya lumen pembuluh darah oleh karena
iskemik fokal, disebabkan antara lain :
1. Perubahan patologi pada dinding arteri pembuluh darah otak menimbulkan
trombus. Adanya tromboois ini, diawali oleh proses arteriosklerosis di
tempat tersebut. Pada arteriole dapat terjadi vaskulitis atau lipohialinosis
yang akan menyebabkan stroke iskemik berupa infark lakunar.
33
3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga
mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam
keadaan ini timbul defisit neurologis yang berlanjut.
Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat karena
CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh
darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi
dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih
lebih tinggi daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak
sampai mati, fungsi sel terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada
daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja
terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat
bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat.
Astrup menyebutnya sebagai ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin
diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut
sebagai daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).
Perlu diingat di daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi
metabolisme oksidatif sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat minimal
mengalami proses depolarisasi neuronal.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah
iskemia, sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen
atau karbondioksida menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah,
berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi
hemisfer yang berlawanan (diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping
itu, di daerah cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami
proses diaskisis yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada
sisi kontralateral hemisfer serebral (remote area)
manifestasi klinik sebagai akibat dari diasksis maupun iskemia pada daerah
hemisfer kontralateral.
Selanjutnya dikatakan bahwa aliran darah otak di bawah 17 cc/100 g
otak/menit, menyebabkan aktifitas otak listrik berhenti walaupun kegiatan pompa
ion masih berlangsung. Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron
penumbra masih hidup jika CBF berkurang di bawah 20 cc/100 gram otak/menit
dan kematian neuron akan terjadi apabila CBF di bawah 10 cc/100 gram
otak/menit.
Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi
kembali sebelum jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat.
Sedangkan sebagian lesi tetap akan mengalami kematian setelah beberapa jam
atau hari setelah iskemik otak temporer. Dengan kata lain, di daerah ischemic core
kematian sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis akibat kegagalan energi
(energy failure) yang secara dahsyat merusak dinding sel beserta isinya sehingga
mengalami lisis (sitolisis). Sementara pada daerah penumbra jika terjadi iskemia
berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya sehingga akan
terjadi kematian sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis, yaitu
disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel
yang disebut juga programmed cell death.
Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di
daerah sistem limbik dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap
iskemia. Keadaan ini penting dalam hubungannya dengan stroke yang disertai
dengan demensia. Hal yang juga menarik adalah bahwa sel-sel yang sensitif
terhadap iskemia terutama merupakan bagian dari serabut yang terisi glutamat.
Iskemia menyebabkan aktifitas intra seluler Ca2+ meningkat hingga peningkatan
ini akan menyebabkan juga aktifitas Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga
terjadi sekresi neutransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat, aspartat dan kainat
yang bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992),
membuktikan bahwa, akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat
yang dikeluarkan oleh sel, menyebabkan juga aktifitas reseptor neurotropik yang
merangsang pembukaan kanal Ca2+ yang tidak tergantung pada kondisi tegangan
potensial membran seluler (receptor-operated gate opening), disamping
37
terbukanya kanal Ca2+ akibat aktivitas NMDA reseptor “voltage operated gate
opening” yang telah terjadi sebelumnya.
Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke
dalam ruang intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan
kerusakan membrane sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya
proses fosforilase dari regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan
lipolisis yang akan menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel
dapat langsung terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total
dari sel karena berhentinya aliran darah. Disamping itu,desintegrasi sitoplasma
dan disrupsi membran sel juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat
lebih memperburuk keadaan lingkungan seluler.
Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat
kegagalan energi dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+, K+)
dan perubahan permeabilitas membran serta gradasi osmotik. Akibatnya
terjadinya pembengkakan sel (cytotoxic edema). Keadaan ini terjadi pada iskemia
berat dan akut seperti hipoksia dan henti jantung. Selain itu edema serebri dapat
juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan permeabilitas
kapiler rusak, sehingga cairan dan protein bertambah mudah memasuki ruangan
ekstraseluler sehingga menyebabkan edema vasogenik (vasogenic edema).
Efek edema jelas menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan
memperburuk iskemia otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan
akibat herniasi otak.
Diagnosis
A. Anamnesis
mengalami keluhan sakit kepala, disertai muntah tanpa didahului mual dan
penurunan kesadaran yang mengarahkan kecurigaan pada stroke hemoragik
dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Durasi sejak serangan
terjadi hingga tiba di pusat kesehatan juga merupakan hal penting, terutama
pada stroke iskemik untuk penentuan dilakukannya terapi trombolisis. Perlu
ditanyakan juga faktor risiko yang dimiliki pasien dan keluarganya seperti
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, pola
hidup seperti merokok dan minum alkohol, serta riwayat trauma kepala.
B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan umum, kesadaran (dengan
Glasgow Coma Scale) dan tanda vital. Pada stroke hemoragik lebih sering
terjadi penurunan kesadaran. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kepala, dada
(terutama jantung), abdomen dan ekstremitas. Pola pernapasan—seperti
Cheyne-Stokes, apneustik, hiperventilasi neurogenik—perlu diperhatikan
karena dapat menjadi petunjuk lokas lesi. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan batang otak seperti refleks cahaya pupil, refleks kornea dan
refleks okulosefalik. Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis satu
persatu, pemeriksaan motorik (dibandingkan kanan-kiri, atas-bawah untuk
menentukan kemungkinan lokasi lesi), pemeriksaan sensorik dan otonom
(terutama retensio atau inkontinensia urin dan alvi).
C. Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada pasien stroke adalah:
1. Computed tomography
CT scan darurat tanpa kontras adalah alat diagnostik pertama yang
paling penting digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
mengesampingkan setiap perdarahan atau stroke hemoragik. Berdasarkan
hasil CT dan onset gejala, seorang pasien dapat menjadi kandidat untuk
terapi fibrinolitik.35
Temuan pada CT scan tergantung pada usia infark. Pada fase
hiperakut (kurang dari 12 jam), peran utama CT otak non-kontras adalah
39
2. Magnetic Resonance
Mengingat kontras MRI jaringan lunak yang lebih tinggi, MRI
lebih unggul daripada CT pada fase hiperakut dan akut. MRI otak
dilakukan dengan dan tanpa kontras gadolinium IV, dan digunakan untuk
mengevaluasi stroke iskemik akut, serangan iskemik transien (TIA), dan
lesi otak hemoragik.31
MRI berbobot difusi (diffusion-weighted imaging) dapat
mengkonfirmasi diagnosis dan juga mengungkapkan ukuran dan lokasi
infark. Ini tidak dianggap sebagai pencitraan first line karena waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan gambar dan kurangnya ketersediaan.
Protokol MRI lain terutama diffusion-perfusion mismatch
menggambarkan area jaringan berisiko yang dapat diselamatkan dengan
perawatan dini dan mengidentifikasi pasien yang mendapat manfaat dari
terapi reperfusi setelah 4,5-6 jam awal stroke iskemik akut.35
40
4. Transcranial Doppler
Sedangkan alat diagnostik lainnya yang dapat digunakan untuk
menjangkau sistem pembuluh darah serebral secara non invasive adalah
Trancranial Doppler (TCD). Alat ini tidak mahal, aman dan sangat dapat
diandalkan jika dibandingkan dengan teknik lainnya. Pemeriksaan dapat
diulang beberapa kali dan dapat digunakan untuk melakukan pemantauan
berkelanjutan jika diperlukan. Metode ini berguna untuk mengevaluasi
adanya lesi oklusi pembuluh intracranial dengan banyak indikasi yang
muncul dalam penatalaksanaan stroke iskemik.
41
D. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan kesehatan
dasar pasien dan memberikan petunjuk terhadap etiologi stroke. Beberapa
laboratorium dasar termasuk panel metabolisme, hitung darah lengkap
dengan diferensial, Karakteristik Penderita lipid, hemoglobin A1c (HbA1c),
nitrogen urin darah (BUN), kreatinin, albumin, dan laju filtrasi glomerulus
(GFR). Di antaranya, gula darah acak, jumlah trombosit dan PT/PTT penting
untuk menentukan apakah pasien perlu menggunakan trombolisis IV. Pada
pasien yang lebih muda dengan gejala stroke, pemeriksaan laboratorium lain
yang mungkin dapat dilakukan termasuk panel koagulasi, faktor rheumatoid
(RF), antibodi antinuklear (ANA), dan penanda lain untuk vaskulitis.35
Tatalaksana
Tatalaksana stroke iskemik akut berdasarkan AHA tahun 2018 adalah:
1. Pada pasien dengan onset 6-16 jam, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT
Perfusion, DW-MRI, atau MR Perfusion untuk mempertimbangkan
trombektomi mekanik
2. Hanya pemeriksaan gula darah saja yang dilakukan sebelum pemberian
trombolisis IV. Apabila terdapat riwayat penggunaan antikoagulan
sebelumnya baru dilakukan pemeriksaan seperti INR, PT, dan aPTT.
3. Pemberian Alteplase sebaiknya dalam waktu 3 jam onset atau 3-4,5 jam
onset.
4. Persyaratan untuk trombolisis intravena adalah:
a. Stroke berat masih dapat dipertimbangkan untuk dilakukan trombolisis,
selagi memberikan manfaat, kecuali ada risiko untuk menjadi
perdarahan.
b. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani hemodialisis
dengan aPTT normal direkomendasikan untuk dilakukan trombolisis
c. Pada pasien tanpa riwayat trombositopenia, inisiasi trombolisis dapat
dilakukan sambil menunggu hasil hitung trombosit, dan jika didapatkan
hasil <100.000/ul maka trombolisis dapat dihentikan.
d. Pada pasien tanpa riwayat penggunaan antikoagulan oral, maka
trombolisis dapat dimulai hingga ketersedian hasil, jika INR > 1,7 atau
42
BAB III
METODE PENELITIAN
(
Zα √ 2 PQ + Zβ √ P 1 Q1 + P2 Q 2
)
2
n1=n2=
P1 − P2
Keterangan:
n = Besar sampel
Zα = Kesalahan tipe I sebesar 5%, sehingga ditetapkan nilai 1,96
Zβ = Kesalahan tipe II sebesar 20%, sehingga ditetapkan nilai 0,84
P2 = proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 0,1
Q2 = 1 – 0,1 = 0,9
48
P1 – P2 = selisis proporsi pajanan minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan sebesar 0,2.
P1 = P2 + 0,2 = 0,1 + 0,2 = 0,3
Q1 = 1 – P1 = 1 – 0,3 = 0,7
P = (P1 + P2)/2 = (0,3 + 0,1)/2 = 0,2
Q = 1 – P = 1 – 0,2 = 0,8
Lalu, dimasukkan nilai-nilai di atas pada rumus, diperoleh :
( )
2
Zα √ 2 PQ + Zβ √ P 1 Q1 + P2 Q 2
n1=n2=
P1 − P2
( )
2
1 , 96 √ 2 x 0 ,2 x 0 , 8+ 0 ,84 √ 0 ,3 x 0 ,7+ 0 ,1 x 0 , 9
=
0 , 3− 0 , 1
= 61,53 (dibulatkan menjadi 62)
Kriteria Inklusi
analisis data
Penyajian data
51
2 Jenis Kelamin Jenis kelamin pasien yang ditentukan Tanda pengenal Observasi 1 = Laki-laki, Nominal
melalui pemeriksaan fisik dan tercantum 2 = Perempuan
dalam rekam medis.
3 Aktivitas fisik Individu diklasifikasikan sebagai aktif secara Anamnesis Kuesioner 1 = Aktif Nominal
fisik jika mereka secara teratur terlibat dalam 2 = Tidak aktif
aktivitas derajat sedang (contoh berjalan cepat,
berlari pelan) selama minimal 10 menit 4 kali
dalam seminggu, atau melakukan aktivitas
berat (contoh mengangkut beban berat, sepak
bola, mendaki gunung) selama minimal 20
menit 2 kali seminggu, selama 1 tahun
terakhir. Jenis Aktivitas fisik dibagi
berdasarkan Kemenkes RI.
4 Merokok Merokok pada penelitian ini adalah orang Anamnesis Kuesioner 1 = Ya Nominal
yang menghisap rokok minimal 1 2 = Tidak
batang/hari selama 1 tahun terakir
5 Obesitas Kelebihan berat badan akibat akumulasi lemak Meteran dan Berat badan 1 = Ya Nominal
dengan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 timbangan yang diukur dengan 2 = Tidak
sudah dikalibrasi timbangan dalam
kilogram, tinggi
52
badan diukur
dengan meteran
dalam meter.
Indeks massa
tubuh dihitung
dengan membagi
berat badan
dengan kuadrat
tinggi badan
6 Hipertensi Riwayat didiagnosis hipertensi oleh dokter, Anamnesis dan Tekanan darah 1 = Ada Nominal
dan atau mengkonsumsi obat antihipertensi tensimeter diukur dengan 2= Tidak ada
selama 2 minggu terakhir, atau TDS ≥ 140 tensimeter
mmHg dan atau TDD ≥ 90 mmHg
7 Diabetes Riwayat didiagnosa diabetes mellitus oleh Anamnesis dan Glukosa darah 1 = Ada Nominal
melitus dokter dan atau menggunakan insulin dan laboratorium diukur dengan 2 = Tidak ada
atau obat antidiabetic oral, atau gula darah alat ukur/
puasa ≥ 126 mg/ dL. laboratorium
9 LDL tinggi Riwayat didiagnosis memiliki penyakit Anamnesis dan Cek LDL di 1 = Ada Nominal
hiperkolesterolemia oleh dokter dan atau laboratorium laboratorium 2 = Tidak ada
kadar LDL > 100mg/dL
10 Hipertrigliserida Riwayat didiagnosis memiliki penyakit Anamnesis dan Cek Trigliserida 1 = Ada Nominal
hipertrigliserida oleh dokter dan atau kadar laboratorium di laboratorium 2 = Tidak ada
trigliserida >150mg/dL
53
11 Riwayat Riwayat didiagnosa TIA/stroke oleh dokter Anamnesis Kuesioner 1 = Ada Nominal
TIA/stroke sebelumnya. 2 = Tidak ada
sebelumnya
12 Riwayat Riwayat TIA/stroke yang dialami orang tua Anamnesis Kuesioner 1 = Ada Nominal
TIA/stroke kandung pasien yang didiagnosa oleh dokter. 2 = Tidak ada
dalam keluarga
54
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Aktivitas fisik
Aktif
Tidak aktif
Merokok
Ya
Tidak
Obesitas
Ya
Tidak
Hipertensi
Ada
Tidak ada
Diabetes Melitus
Ada
Tidak Ada
Penyakit Jantung
Ada
Tidak ada
LDL tinggi
Ada
Tidak ada
Hipertrigliserida
Ada
Tidak ada
Riwayat TIA/Stroke
Keluarga
Ada
Tidak Ada
Diagnosis
57
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Aktivitas fisik
Aktif
Tidak aktif
Merokok
Ya
Tidak
Obesitas
Ya
Tidak
Hipertensi
Ada
Tidak ada
Diabetes Melitus
Ada
Tidak Ada
Penyakit Jantung
Ada
Tidak ada
LDL tinggi
Ada
Tidak ada
Hipertrigliserida
Ada
Tidak ada
58
Riwayat TIA/Stroke
Keluarga
Ada
Tidak Ada
Tabel 5. Dummy table hubungan faktor risiko dengan stroke (Logistik regresi
multivariat)
95% Confidence
Faktor Risiko OR Signifikan
Intrval
Usia
<45 tahun
≥ 45 tahun
Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
Aktivitas fisik
Aktif
Tidak aktif
Merokok
Merokok
Tidak merokok
Hipertensi
Ada
Tidak ada
59
Diabetes Melitus
Ada
Tidak Ada
Penyakit Jantung
Ada
Tidak ada
LDL tinggi
Ada
Tidak ada
Hipertrigliserida
Ada
Tidak ada
Riwayat TIA/Stroke
Keluarga
Ada
Tidak Ada