Anda di halaman 1dari 59

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Stroke merupakan penyebab kematian kedua di dunia setelah penyakit jantung
iskemik dan penyebab kecacatan ketiga di dunia. Menurut World Health Organization,
stroke merupakan tanda-tanda klinis yang berkembang secara cepat dari gangguan
fungsi serebral fokal atau global, berlangsung lebih dari 24 jam atau hingga
menyebabkan kematian, serta terjadi tanpa penyebab lain yang jelas selain vaskular.
Stroke terjadi ketika aliran darah ke otak hilang akibat penyumbatan atau pecahnya
pembuluh darah ke otak sehingga terjadi kekurangan oksigen dan kematian mendadak
beberapa sel otak. 1
Saat ini di Amerika Serikat, stroke merupakan penyebab utama kecacatan yang
serius, sekitar 3% pria dan 2% wanita dilaporkan menderita kecacatan karena stroke.
Selain itu didapatkan laporan bahwa rata – rata setiap 3 menit 30 detik seseorang
meninggal karena stroke.1 Pada tahun 2016, terdapat 13,7 juta insiden stroke baru secara
global; 87% di antaranya adalah stroke iskemik dan menurut perkiraan sekitar 10%-
20% dari jumlah ini merupakan kasus large vessel occlusion. Kurang dari 5% pasien
dengan stroke iskemik akut menerima trombolisis intravena dalam jangka waktu
terapeutik yang memenuhi syarat dan kurang dari 100.000 trombektomi mekanik
dilakukan di seluruh dunia pada tahun 2016. Hal ini menyoroti kesenjangan yang besar
di antara pasien yang memenuhi syarat dan tingkat pemanfaatan yang rendah dari
kemajuan ini di seluruh dunia.2
Kemudian terdapat laporan bahwa angka kematian terkait stroke telah menurun
di Asia Timur negara-negara seperti Jepang, Korea, Taiwan, dan daerah perkotaan di
China. Hal ini mungkin disebabkan oleh pengendalian faktor risiko dan perawatan
stroke yang lebih baik di negara-negara ini. Penurunan angka kematian yang tinggi,
insiden dan morbiditas dari kasus stroke, diamati terutama di negara-negara
berpenghasilan tinggi, mencerminkan dampak ekonomi yang signifikan terhadap status
kesehatan suatu negara. Pola tingginya tingkat insiden dan kematian yang menurun
justru meningkatkan prevalensi stroke di negara-negara tersebut. Masalah ini dapat
diperparah karena negara-negara ini juga memiliki angka kelahiran yang rendah. Di
negara-negara Asia Selatan seperti India, Pakistan, dan Bangladesh, dan di negara-

1
2

negara berkembang di Asia Tenggara, seperti Kamboja, Laos, dan Malaysia, dengan
meningkatnya kemampuan pengendalian penyakit menular, harapan hidup akan
diperpanjang. Dengan transisi ekonomi negara-negara ini, menuju status "negara maju",
faktor risiko seperti hipertensi, diabetes melitus, hiperkolesterolemia, obesitas, dan
merokok akan menjadi lebih umum, yang nantinya akan meningkatkan kasus stroke.
Namun, karena fasilitas kesehatan yang tidak memadai di negara-negara berkembang
ini, angka kematian akan tinggi.3
Hal ini sejalan dengan situasi yang ada di Indonesia, dimana jumlah penderita
stroke mengalami peningkatan setiap tahunnya. Hal ini berdasarkan data yang didapat
oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013 prevalensi stroke berdasarkan
diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7‰, di tahun 2018 prevalensi stroke menjadi
10,9‰. Prevalensi stroke tertinggi jatuh pada propinsi Kalimantan Timur menduduki
peringkat pertama sebesar 14,7‰, diikuti oleh Yogyakarta. Sementara yang terendah
berada di Provinsi Papua sebesar 4,1‰.4
Menurut studi INTERSTROKE yang dilakukan di 22 negara, menyebutkan
aktivitas fisik, diabetes melitus, gangguan kardiovaskular adalah faktor risiko umum
untuk stroke iskemik. Faktor-faktor tersebut meningkatkan risiko stroke sebesar 90%.
Pada tingkat patologis, sebagian besar faktor risiko yang dapat dimodifikasi ini dapat
bertindak dengan cara mengubah struktur dan fungsi vaskular, mempromosikan
perubahan morfologi pembuluh darah (yaitu, hiperplasia dan aterosklerosis),
mengurangi cerebral blood flow (CBF) dan merusak autoregulasi serebrovaskular.
Terdapat perbedaan dengan kenyataan yang ada di Indonesia dimana meningkatnya
prevalensi stroke di Indonesia dikaitkan dengan meningkatnya prevalensi dari faktor-
faktor risikonya, seperti hipertensi, diabetes melitus, obesitas dan perilaku merokok.
Prevalensi hipertensi di Indonesia menurut RIKESDAS pada penduduk berusia diatas
18 tahun dari 25,8% di tahun 2013 naik menjadi 34% di tahun 2018. Prevalensi
penderita DM dari 6.9% di tahun 2013 menjadi 8.5% di tahun 2018. Prevalensi obesitas
pada dewasa tahun 2018 sebesar 21.8%. Prevalensi merokok menurut umur >10 tahun
sebesar 29.3% angka ini naik dari tahun 2013 yang hanya sebesar 28.8%. 4 Maka
diperlukannya penelitian terbaru untuk mengetahui perkembangan dari faktor risiko
stroke tersebut. Dan mencari faktor risiko manakah yang saat ini paling dominan
menyebabkan stroke. Sehingga penulis berkeinginan untuk meneliti mengenai peranan
dari setiap faktor risiko stroke untuk menyebabkan terjadinya stroke di RSUP Dr.
3

Mohammad Hoesin Palembang. Guna mengarahkan intervensi preventif dan terapi


secara umum. Sebenarnya hal ini sangat bermanfaat jika analisis faktor risiko dominan
dilakukan berdasarkan kabupaten/kota karena pola makan, aktifitas, dan gaya hidup
berbeda-beda akibat kultur budaya kabupaten/kota yang berbeda.

1.2. Rumusan Masalah


Bagaimana peranan setiap faktor risiko stroke dan faktor risiko mana yang paling
dominan untuk menyebabkan stroke iskemik pada pasien yang di rawat inap di RSUP
Dr. Mohammad Hoesin Palembang?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Tujuan Umum
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peranan setiap faktor
risiko stroke dan faktor risiko yang paling dominan untuk menyebabkan stroke
iskemik yang di rawat inap di RSUP Dr. Mohammad Hoesin.

1.3.2. Tujuan Khusus


1. Mendeskripsikan faktor-faktor risiko stroke dari penderita stroke iskemik
di RSUP dr. Mohammad Hoesin Palembang.
2. Mengetahui hubungan faktor-faktor risiko stroke dengan kejadian stroke
iskemik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
3. Menganalisa faktor risiko mana yang paling dominan untuk menyebabkan
stroke iskemik di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat untuk Akademik
Untuk bidang akademik, penelitian ini diharapkan dapat menjadi penelitian
awal dan menjadi data dasar bagi penelitian dengan topik yang sama dimasa
yang akan datang.
4

1.4.2 Manfaat untuk Klinisi


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi data dasar bagi RSUP Dr. Moh.
Hoesin Palembang untuk menentukan strategi preventif dalam rangka
penanggulangan dari kasus stroke.

1.4.3 Manfaat untuk Sosial


Penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu sumber bagi dokter
umum untuk memberikan edukasi pada masyarakat tentang faktor risiko
mana yang paling berperan dalam kasus stroke. Sehingga nantinya dapat
membangunkan kesadaran bagi masyarakat untuk mencegah stroke sejak
dini.

1.5. Hipotesis Penelitian


1. H1 : Faktor aktivitas fisik yang rendah, merokok, obesitas, hipertensi, diabetes
melitus, LDL tinggi, hipertrigliserida, penyakit jantung, Riwayat TIA/ stroke
sebelumnya, Riwayat TIA/ stroke dalam keluarga menyebabkan stroke iskemik.
2. H0 : Faktor aktivitas fisik yang rendah, merokok, obesitas, hipertensi, diabetes
melitus, LDL tinggi, hipertrigliserida, penyakit jantung, Riwayat TIA/ stroke
sebelumnya, Riwayat TIA/ stroke dalam keluarga tidak menyebabkan stroke
iskemik.

1.6. Orisinalitas Penelitian


Terdapat beberapa penelitian yang telah dilakukan di luar negeri, baik penelitian
cross sectional hingga systematic review, yang membahas mengenai epidemiologi
penderita stroke iskemik dan faktor-faktor risiko dari stroke. Meskipun demikian, hasil
yang didapat sangat bervariasi
Penelitian yang dilakukan oleh Venketasubramanian dkk pada tahun 2017,
melakukan systematic review epidemiologi kasus stroke di Asia Selatan, Asia Timur
dan Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Studi penelitian yang dimasukan dalam review
ini adalah studi yang dipublikasikan dalam Pubmed hingga 1 Nopember 2015. Hasil
dari studi ini menyebutkan prevalensi tertinggi hipertensi terlihat di Mongolia dan
Pakistan; diabetes melitus di Papua Nugini, Pakistan, dan Mongolia;
hiperkolesterolemia di Jepang, Singapura, dan Brunei; kurangnya aktivitas fisik di
5

Malaysia; obesitas di Brunei, Papua Nugini, dan Mongolia; merokok di Indonesia.


Hipertensi adalah faktor risiko yang paling sering, diikuti oleh diabetes melitus dan
merokok. Ada variasi dalam epidemiologi stroke antara negara-negara di Asia Selatan,
Timur, dan Tenggara.
Sedangkan studi yang dilakukan oleh Martin J O’Donnell dkk, pada tahun 2010,
meneliti hubungan faktor risiko dengan kejadian stroke dan menilai kontribusi faktor
risiko dengan beban biaya akibat penyakit stroke. Jenis penelitian yang digunakan
adalah case control, yang dilakukan di 22 negara, dalam kurun waktu 1 Maret 2007
sampai 23 April 2010, dengan kelompok kontrolnya adalah orang dengan tidak ada
Riwayat stroke dan telah dilakukan matching pada faktor usia dan jenis kelamin.
Didapatkan hasil pada 3000 kasus pertama stroke (n=2337, 78%, dengan stroke
iskemik; n=663, 22%, dengan stroke perdarahan) dan 3000 kontrol, faktor risiko yang
signifikan untuk semua stroke adalah: riwayat hipertensi (OR 2·64, 99% CI 2·26–3·08);
merokok (2·09, CI 18·9%, 15·3–23·1); rasio pinggang-pinggul (1·65, 1·36–1·99 untuk
tertile tertinggi vs terendah; 26·5%, 18·8–36·0); skor risiko diet (1·35, 1·11–1·64 untuk
tertinggi vs terendah tertil; 18·8%, 11·2–29·7); aktivitas fisik teratur (0·69, 0·53–0·90;
28·5%, 14·5–48·5); diabetes melitus (1·36, 1·10–1·68; 5·0%, 2·6–9·5); asupan alkohol
(1·51, 1·18–1·92 selama lebih dari 30 minuman per bulan atau pesta minuman keras;
3·8%, 0·9–14·4); stres psikososial (1·30, 1·06–1·60; 4·6%, 2·1–9·6) dan depresi (1·35,
1·10–1·66; 5·2%, 2·7–9·8); penyakit jantung (2·38, 1·77–3·20; 6·7%, 4·8–9·1); dan
rasio apolipoprotein B terhadap A1 (1·89, 1·49–2·40 untuk tertile tertinggi vs terendah;
24·9%, 15·7–37·1). Semua faktor risiko ini signifikan untuk stroke iskemik, sedangkan
hipertensi, merokok, rasio pinggang-pinggul, diet, dan asupan alcohol faktor risiko yang
signifikan untuk stroke hemoragik intraserebral.
Maya El Hajj dkk, pada tahun 2018, mempublikasikan penelitiannya yang berupa
case control, dengan tujuan untuk mencari faktor risiko yang potensial menyebabkan
stroke pada populasi Lebanon. Penelitian dilakukan 1 Januari 2012 sampai 31
Desember 2014 di dua rumah sakit di Lebanon. Adapun kelompok kasus adalah 202
kasus stroke, dan kelompok kontrolnya adalah 530 pasien yang dirawat di rumah sakit
dengan diagnosis bukan TIA ataupun stroke. Didapatkan hasil usia rata-rata stroke
adalah 68±13 tahun. Usia, merokok, riwayat hipertensi, aritmia, penyakit jantung
koroner/infark miokard, trombosis vena dalam/emboli paru, dan migrain secara
signifikan terkait dengan risiko tinggi stroke.
6

Di Indonesia sendiri sudah ada beberapa penelitian mengenai faktor risiko stroke.
Namun sampai saat ini belum ada penelitian yang menyebutkan faktor risiko mana yang
paling dominan menyebabkan stroke. Mengingat hal ini nantinya akan berperan penting
untuk menetapkan program Kesehatan preventif untuk mencegah terjadinya stroke dan
berujung mengurangi beban negara dalam menanggulangi kasus stroke.
Salah satu penelitian yang dilakukan di Bali, tahun 2019. Penelitian ini merupakan
penelitian analitik observasional dengan desain cross sectional. 65 Subyek penelitian
yang sesuai dengan kriteria inklusi, diambil dari data rekam medis pasien stroke
iskemik yang rawat inap di RSUD Klungkung. Variabel yang diteliti dalam penelitian
ini yaitu usia, jenis kelamin, tekanan darah, kadar kolesterol, riwayat merokok, indeks
massa tubuh (IMT), aktivitas fisik, riwayat diabetes, riwayat fibrilasi atrium, dan
riwayat stroke dalam keluarga. Hasil uji statistik chi-square menunjukkan adanya
hubungan yang signifikan antara stroke iskemik dengan indeks massa tubuh, tekanan
darah, riwayat merokok, riwayat diabetes, dan kadar kolesterol (p<0,005).
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Stroke Iskemik


Stroke didefinisikan sebagai kumpulan gejala akibat gangguan fungsi otak
akut baik fokal maupun global yang terjadi secara mendadak akibat berkurang
atau hilangnya aliran darah pada parenkim otak, retina, atau medulla spinalisyang
dapat disebabkan oleh penyumbatan atau pecahnya pembuluh darah arteri
maupun vena yang dibuktikan dengan pemeriksaan pencitraan otak dan atau
patologi. Menurut American Stroke Association tahun 2013, stroke iskemik adalah
episode disfungsi neurologis yang disebabkan oleh infark serebral, spinal, atau
retina fokal.5

Epidemiologi
Menurut data WHO jumlah kejadian stroke di negara-negara berkembang
cenderung meningkat, pada tahun 2016, terdapat 13,7 juta insiden stroke baru
secara global; 87% di antaranya adalah stroke iskemik dan menurut perkiraan
sekitar 10%-20% dari jumlah ini merupakan kasus large vessel occlusion.2
Berdasarkan data yang didapat oleh Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS)
tahun 2013 prevalensi stroke berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 7‰,
di tahun 2018 prevalensi stroke menjadi 10,9‰. Prevalensi stroke tertinggi jatuh
pada propinsi Kalimantan Timur menduduki peringkat pertama sebesar 14,7‰,
diikuti oleh Yogyakarta. Sementara yang terendah berada di Provinsi Papua
sebesar 4,1‰.4

Klasifikasi Stroke Iskemik


Berdasarkan kriteria TOAST “Trial of Org 10172 in Acute Stroke Treatment”,
stroke iskemik dibagi menjadi :6

1) Aterosklerosis Arteri Besar

Gejala klinik dan penemuan imejing otak yang signifikan (>50%)


stenosis atau oklusi arteri besar di otak atau cabang arteri di korteks
disebabkan oleh proses aterosklerosis. Gejala klinik adalah gangguan kortikal
8

(seperti hemiplegia, afasia, daln lain-lain). Gambaran CT Scan otak atau MRI
(Magnetic Resonance Imaging) menunjukkan adanya infark di kortikal,
serebelum, batang otak, atau subkortikal yang berdiameter lebih dari 1,5 mm
dan potensinya berasal dari aterosklerosis arteri besar.

2) Kardioembolisme
Oklusi arteri disebabkan oleh embolus dari jantung. Sumber embolus dari
jantung. Sumber embolus dari jantung terdiri dari:
A. Resiko tinggi
a) Prostetik katub mekanik
b) Mitral stenosis denga atrial fibrilasi
c) Fibrilasi atrial
d) Atrial kiri / atrial appendage thrombus
e) Sick sinus syndrome
f) Miokard infark baru (<4 minggu)
g) Thrombus ventrikel kiri
h) Kardiomiopati dilatasi
i) Segmen ventricular kiri akinetik
j) Atrial myxoma
k) Infeksi endocarditis
B. Risiko sedang
a) Prolaps katub mitral
b) Kalsifikasi annulus mitral
c) Mitral stenosis tanpa fibrilasi atrial
d) Turbulensi atrial kiri
e) Aneurisma aeptal atrial
f) Paten foramen ovale
g) Atrial flutter
h) Lone atrial fibrillation
i) Katub kardiak bioprostetik
j) Trombotik endocarditis non bacterial
k) Gagal jantung kongestif
l) Segmen ventricular kiri hipokinetik
m) Miokard infark (> 4 minggu, < 6 bulan)
9

3) Oklusi Arteri Kecil


Oklusi arteri kecil sering juga disebut infark lacunar. Pasien harus
mempunyai satu gejala klinis sindrom lacunar dan tidak mempunyai gejala
gangguan disfungsi kortikal serebral. Pasien biasanya mempunyai gambaran
CT scan / MRI kepala normal atau infark lacunar dengan diameter < 1,5 mm
di daerah batang otak atau subkortikal.

4) Stroke akibat dan penyebab lain yang menentukan:


A. Non- Aterosklerosis Vaskulopati
a) Non Inflamasi
b) Inflamasi non Infeksi
c) Infeksi
B. Kelainan hematologi atau koagulasi.

5) Stroke akibat dari penyebab lain yang tidak dapat ditentukan


Disini penyebab stroke tidak dapat ditentukan meskipun pemeriksaan
telah dibuat secara lengkap. Pada kategori ini termasuk juga bila pasien
menderita dua atau lebih penyebab potensial stroke, tetapi pemeriksa tidak
dapat menentukan faktor mana penyebab timbulnya stroke.

Faktor Risiko
A. Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi terdiri atas:
1. Usia
Dari 795.000 kasus stroke yang terjadi setiap tahunnya di Amerika Serikat,
87% diklasifikasikan sebagai stroke iskemik, dan dikatakan bahwa usia tua adalah
faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi yang paling kuat untuk terjadinya
stroke. Dimana angka kejadiannya yang berlipat ganda setiap 10 tahun setelah
usia 55 tahun. Perkiraan tiga perempat dari semua stroke terjadi pada orang
berusia ≥65 tahun. Penelitian lain di Perancis mencatat 5.101 kasus stroke
pertama (tahun 1987-2015), dimana insiden stroke memiliki persentase sama
besar pada pasien usia <75 tahun dan ≥ 75 tahun. Namun kejadian stroke berulang
meningkat hingga 58% pada usia ≥ 75 tahun. Meningkatnya faktor usia tidak
10

lepas dari fakta bahwa prevalensi faktor risiko stroke tertentu termasuk diabetes,
hipertensi, fibrilasi atrium, dan penyakit jantung koroner dan penyakit arteri
perifer terus meningkat seiring bertambahnya usia.
Pertambahan usia berkaitan erat dengan kekakuan pembuluh darah. Seiring
dengan bertambahnya usia, terjadi perubahan pada pembuluh darah yaitu
berkurangnya jumlah elastin yang disertai terpisah-pisahnya (fragmenting), dan
patahnya serabut-serabut elastin di lapisan media, juga bertambahnya jumlah
kolagen, dan hipertrofi sel otot polos. Pembuluh darah dengan serabut elastin
yang sedikit akan kehilangan fungsinya dalam menahan beban dan kemudian
mengalihkannya pada serabut kolagen yang lebih kaku sehingga kekakuan
pembuluh darah meningkat secara drastic. Tekanan darah sistolik dan tekanan
nadi meningkat seiring pertambahan usia terutama dikarenakan berkurangnya
elastisitas dari arteri-arteri besar. Kemampuan autoregulasi pembuluh darah yang
kaku menurun sehingga tidak dapat mengantisipasi kenaikan darah yang tiba-tiba.
Akibatnya dapat terjadi ruptur. Selain itu, pada pembuluh darah yang menua akan
terjadi perubahan komposisi protein dalam matriks ekstraseluler yang akan
menyebabkan terjadinya disfungsi endotel dan dimulainya proses aterosklerosis.7

2. Jenis kelamin
Hubungan jenis kelamin dengan risiko stroke tergantung pada usia. Pada usia
muda, wanita memiliki risiko stroke yang sama atau bahkan lebih tinggi
dibanding pria. Meskipun pada usia yang lebih tua risiko relatifnya sedikit lebih
tinggi untuk pria. Risiko stroke lebih tinggi pada wanita pada usia lebih muda
kemungkinan disebabkan kehamilan dan postpartum, serta faktor hormonal
lainnya, seperti penggunaan dari kontrasepsi hormonal. Secara keseluruhan,
stroke lebih banyak terjadi pada perempuan dibandingkan laki-laki, karena umur
perempuan yang lebih panjang dibandingkan dengan pria. Sebuah penelitian
dilakukan di 8 tempat berbeda Negara-negara Eropa menemukan bahwa risiko
stroke meningkat sebesar 9% per tahun pada pria dan 10% per tahun pada wanita.7
Namun Wang dalam penelitian lainnya mengemukakan bahwa laki-laki memiliki
tingkat risiko yang tinggi mengalami kejadian stroke sebesar 1,20 kali dibandingkan
dengan wanita. Jumlah pasien laki-laki yang menderita stroke lebih banyak daripada
perempuan. Yang sering terkena stroke ialah laki-laki, dengan frekuensi umur tersering
11

>60 tahun. Estrogen diduga berperan dalam mencegah proses atherosclerosis. Oleh
sebab itu, perempuan pada masa pramenopause memiliki proteksi terhadap
berbagai penyakit vascular, termasuk stroke, yang timbul akibat sumbatan
pembuluh darah oleh plak atherosklerotik. Pada masa ini, perempuan memiliki
risiko lebih kecil untuk terkena stroke dibandingkan dengan laki-laki. Akan tetapi
pada masa postmenopause produksi estrogen akan menurun sehingga efek
proteksinya juga menurun.8
Meaghan dan Louise pada tahun 2018, menjelaskan dalam studinya megenai
perbedaan antara laki-laki dan perempuan, yang secara garis besar:
a. kerusakan iskemik menyebabkan gangguan mitokondria sel saraf, yang
sangat penting untuk mempertahankan energi seluler dan mengatur stres
oksidatif. Baik estrogen dan progestin berperan dalam meningkatkan fungsi
mitokondria dan meningkatkan proses antioksidan dalam neuron. Pada
percobaan dengan tikus, tikus betina memiliki lebih banyak respirasi oksidatif
yang efisien daripada laki-laki secara keseluruhan, bahkan setelah terjadi
stroke iskemik.
b. Penghapusan mediator angiotensin II reseptor tipe 2 (AGTR2), memperburuk
ukuran infark dan memperburuk aliran darah otak pada tikus jantan, tetapi
tidak pada tikus betina.
c. Astrosit pada otak tikus betina resisten terhadap iskemik, yang merupakan
efek perlindungan dari estrogen.
d. Iskemia serebral juga menginduksi aktivasi mikroglia, sel imun system saraf
pusat. Aktivasi ini setelah iskemik adalah penting untuk mencegah kerusakan
jaringan sekunder dan perbaikan jaringan dan regenerasi. Di awal kehidupan,
pada tahap neonatal dan dewasa muda, tikus jantan memiliki aktivasi
mikroglial yang diinduksi iskemia lebih tinggi daripada tikus betina. Hal ini
disebabkan efek anti inflamasi yang didorong oleh hormon seks wanita,
seperti penelitian in vitro menunjukkan bahwa estrogen dan progestin dapat
menekan pelepasan inflamasi mediator dalam mikroglia dan mengurangi
saraf kematian sel.9
12

3. Faktor genetik
Meningkatnya risiko pada pasien dengan paternal dan untuk keturunan
dibawahnya, riwayat maternal dari stroke telah dibuktikan. Ini mungkin karena
genetik yang diturunkan dari faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan faktor
risiko lingkungan, seperti kemiripan dalam hal makanan dan gaya hidup antara
orang tua dengan anak cucunya. Status pasti hiperkoagulasi (kekurangan protein
C dan S, mutasi faktor V Leiden) diturunkan secara autosom dominan. Kondisi-
kondisi yang dapat menyebabkan diseksi arteri, seperti fibromuskular displasia,
juga mempunyai komponen genetik.
Ada bukti yang muncul bahwa genetika berkontribusi terhadap risiko
terjadinya stroke iskemik. Beberapa varian genetik terkait koagulasi telah
diidentifikasi, meskipun besarnya efek dari masing-masing varian masih dianggap
kecil. Penelitian MetaStroke adalah salah satu penelitian kolaborasi genetik
terbesar mengenai stroke iskemik, termasuk didalamnya 15 negara Eropa,
Amerika Utara, dan Australia. MetaStroke mengkonfirmasi hubungan stroke
dengan varian gen di dalam darah-jenis gen ABO (rs505922), yang berhubungan
dengan kadar protein koagulasi faktor von Willebrand dan faktor 8. Simpulannya
menyatakan bahwa terdapat hubungan untuk kasus stroke tipe LVO (large vessel
occlusion) dan kardioemboli tetapi tidak untuk SVD (small vessel disease).
GWAS (genome wide association study) stroke multietnis terbesar sampai
saat ini melaporkan 32 lokus genetic yang berperan dalam kejadian stroke. Sekitar
setengah dari lokus genetik stroke tersebut, berhubungan pula dengan kelainan
pembuluh darah lainnya, terutama darah tinggi. Dalam analisis kolaboratif
selanjutnya antara MetaStroke dan beberapa penelitian kohort lainnya, gen PITX2
dan ZFHX3 juga terkait dengan stroke kardioemboli, dan gen HDAC9 dan lokus
9p21 dikaitkan dengan stroke LVO. Temuan ini memberikan wawasan
patofisiologi stroke: PITX2, misalnya, mengkodekan enzim aktivator
transkripsional yang terlibat dalam pengembangan dari simpul sinoatrial dan
pengaturan ion channel yang berfungsi memodulasi konduksi jantung; ZFHX3
juga mengkodekan enzim transkripsi. Gen HDAC9 mengkodekan histone
deacetylase mekanismenya untuk menyebabkan stroke aterosklerotik masih belum
jelas. TSPAN2 mengkodekan tetraspanin-2, protein transmembran yang mengatur
transduksi sinyal dan berperan dalam perkembangan dan pertumbuhan sel;
TSPAN2 pada tikus, dapat mengaktivasi mikroglia dan astrosit.7
13

B. Faktor risiko yang dapat dimodifikasi


1. Hipertensi
Hipertensi adalah penyebab utama dari stroke hemoragik dan stroke
iskemik. Prevalensi hipertensi meningkat sesuai dengan pertambahan usia dan
lebih dari dua pertiga individu yang berusia lebih dari 65 tahun menderita
hipertensi. Hipertensi lebih banyak terjadi pada pasien dengan LVO dan SVD
tetapi kurang lazim pada pasien dengan stroke kardioemboli. Pasien yang
memiliki riwayat penyakit atau memiliki tekanan darah tinggi (TD) > 160/190
mmHg memiliki predisposisi untuk mengalami stroke sebesar 54%. Studi lain
juga menunjukkan bahwa orang hipertensi 3-4 kali lebih berisiko terkena stroke.
Menurut studi INTERSTROKE terbaru yang menyelidiki hubungan antara
pengetahuan, kesadaran, dan pengobatan hipertensi dengan risiko stroke dan
subtipe stroke di 32 negara antara 2007 dan 2015, angka kejadian stroke iskemik
dibuktikan di 77,3% dari total pasien dibandingkan dengan 22,7% kasus stroke
perdarahan intraserebral. Menurunkan tekanan darah sebesar 5-6 mmHg
menurunkan risiko stroke sebesar 42%.10

Tabel 2.1 Klasifikasi Tekanan Darah (JNC 8)


Klasifikasi Tekanan Darah Sistolik Tekanan Darah DIastolik
Normal ˂ 120 dan ˂ 80
Prehipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥160 atau ≥100

Dalam meta-analisis (11 studi), menjelaskan bahwa hipertensi adalah dengan


risiko stroke berulang (OR, 1,67 [95% CI, 1,45–1,92]). Di Amerika Serikat, control
ketat TDS <130 mm Hg dikaitkan dengan 42% insiden stroke yang lebih rendah
(95% CI, 9%–63%) dibandingkan dengan kontrol TDS standar (130–139 mmHg).
Sedangkan sebuah penelitian di China, dalam hasilnya menjelaskan kaitan antara
tekanan darah dan BMI. Di antara orang dewasa ≥35 tahun, TD ideal untuk
pencegahan stroke bervariasi berdasarkan BMI: BMI <24 kg/m2, risiko stroke paling
rendah pada mereka yang memiliki TD <130/80 mm Hg, sedangkan pada BMI ≥24
kg/m2, risiko stroke terendah pada mereka dengan TD <120/80 mm Hg. Kenaikan 20
mm Hg pada TDS dikaitkan dengan 1,28 kali risiko stroke (95% CI, 1,22–1,34), dan
peningkatan TDD 10 mm Hg dikaitkan dengan 1,14 kali risiko stroke (95% CI, 1.09–
1.19).1
14

Gambar 2.1 Mekanisme molekuler dimana hipertensi meningkatkan risiko stroke.10

Mekanisme molekuler dimana hipertensi meningkatkan risiko stroke terjadi


melalui modifikasi struktur dan fungsi pembuluh darah serebral. Mekanisme yang
beragam termasuk peningkatan hipertrofi otot polos, remodeling ke dalam,
mempromosikan disfungsi endotel, aterosklerosis, vasokonstriksi, trombosis, dan
kekakuan pembuluh darah, dan mengurangi aliran darah otak (CBF). Diawali
peningkatan tekanan intraluminal yang mengaktifkan fosfolipase C (PLC)
menyebabkan kontraksi otot polos pembuluh darah sehingga terjadi
vasokonstriksi. Selain itu tekanan intraluminal juga merangsang produksi inositol
trifosfat (IP3) dan Ca2þ intraseluler yang menginduksi vasokonstriksi pembuluh
darah. Selain itu, angiotensin II menghasilkan spesies oksigen reaktif (ROS)
dalam jumlah besar melalui aktivasi NADPH oksidase. Pada gilirannya, ROS
menginduksi perubahan struktur pembuluh darah, apoptosis, inflamasi, dan
vasokonstriksi dengan mengaktifkan aksis caveolin-1 (Cav-1)/PI3K/Akt,
menstimulasi NF-κB dan sitokin inflamasi, menginduksi vasokonstriksi melalui
aksi dari scavenging nitric oxide (NO) dan peroxynitrite oksidan (ONOO-),
meningkatkan regulasi endotelin-1 (ET-1), dan mengaktifkan poli-ADP-ribosa
polimerase (PARP), meningkatkan regulasi matriks metalloprotease-9 (MMP-9),
15

membuang antioksidan seperti mangan superoksida dismutase (MnSOD) dan


glutathione (GSH); meningkatkan oksidasi kolesterol lipoprotein densitas rendah
(ox-LDL) yang kesemuanya mendorong aterosklerosis; menurunkan regulasi dan
menghambat saluran kalium teraktivasi kalsium (SKCa / IKCa) dan kalium
(Kir2.x).10

2. Merokok
Secara konvensional, asap rokok dibagi menjadi dua fase: fase tar dan fase gas.
Fase tar didefinisikan sebagai bahan yang terjebak ketika aliran asap melalui filter
yang mempertahankan 99,9% dari semua bahan partikulat dengan ukuran > 0,1
µm. Fase gas adalah bahan yang dihembuskan oleh perokok setelah fase tar. Asap
dari fase tar mengandung >1017 radikal bebas/g, dan asap dari fase gas
mengandung >1015 radikal bebas/hembusan. Zat radikal terkait dengan fase tar
berumur panjang (jam ke bulan), sedangkan zat radikal yang terkait dengan fase
gas memiliki rentang hidup lebih pendek (detik).
Asap tembakau yang ada di lingkungan dihasilkan dari kombinasi asap
sidestream, asap dari tembakau yang dibakar (85%) dan sebagian kecil
dihembuskan oleh perokok (mainstream) (15%). Asap sidestream mengandung
konsentrasi yang relatif lebih tinggi komponen gas beracun dari rokok mainstream
merokok
16

Gambar 2.2 Mekanisme molekuler merokok meningkatkan risiko stroke.11

Gangguan fungsi vasodilatasi pembuluh darah adalah salah satu manifestasi


paling awal dari aterosklerotik. Dalam model hewan dan manusia, beberapa
penelitian telah menunjukkan bahwa perokok aktif dan pasif dikaitkan dengan
penurunan fungsi vasodilatasi. Nitrit oksida (NO), radikal bebas, yang paling
bertanggung jawab untuk fungsi vasodilatasi endotelium. Menggunakan ekstrak
asap rokok, yang mengandung nikotin dan zat lainnya yang belum diketahui,
menyebabkan perubahan aktivitas dari enzim endotel NO sintase. Tidak hanya
NO merupakan molekul vasoregulasi, tetapi juga membantu mengatur inflamasi,
adhesi leukosit, aktivasi trombosit, dan trombosis. Oleh karena itu, terjadi
17

perubahan pada biosintesis NO dapat memiliki efek primer dan sekunder pada
inisiasi dan perkembangan aterosklerosis dan kejadian trombotik.
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa merokok menyebabkan sekitar 20%
hingga 25% pada jumlah leukosit darah tepi. Secara in vivo, merokok dikaitkan
dengan peningkatan level kelipatan penanda inflamasi termasuk protein C-reaktif,
interleukin-6, dan tumor necrosis factor alpha. Rekrutmen lokal leukosit pada
permukaan endotel sel adalah peristiwa awal dalam aterosklerosis. Merokok juga
menyebabkan aktivasi molekul proatherogenic yang juga berperan dalam
aterosklerosis.
Perokok memiliki kolesterol serum yang jauh lebih tinggi, trigliserida, dan
kadar lipoprotein densitas rendah (LDL), tetapi high-density lipoprotein (HDL)
lebih rendah dibandingkan bukan perokok. Mekanisme yang bertanggung jawab
tidak jelas. Kelainan lipoprotein densitas tinggi baru-baru ini diduga berhubungan
dengan resistensi insulin. Bahkan, telah diusulkan bahwa resistensi insulin
merupakan kunci link potensial antara merokok dan penyakit kardiovaskular.11
Studi yang dilakukan oleh Shi dkk (2021) menunjukkan bahwa merokok (OR
= 2,998, 95% CI = 1,293-6,954) secara signifikan terkait dengan stroke iskemik.
Artinya pasien yang memiliki kebiasaan merokok memiliki risiko terjadi stroke
iskemik sebanyak 2,998 kali. Merokok merupakan faktor risiko independen untuk
stroke iskemik. Dalam studi oleh Shi dkk tersebut, menemukan bahwa merokok
terkait erat dengan aterosklerosis dan Small Vessel Disease (SVD). Mekanisme
merokok mempengaruhi risiko stroke tidak sepenuhnya jelas, merokok
kemungkinan berkontribusi pada peningkatan risiko stroke melalui efek jangka
pendek pada pembentukan trombus di arteri aterosklerotik dan efek jangka
panjang terkait dengan perkembangan stenosis aterosklerotik. Merokok dapat
menyebabkan stroke juga melalui faktor-faktor reversibel seperti peningkatan
agregasi platelet dan vasokonstriksi arteri dengan meningkatkan aktivitas
simpatis, yang menjelaskan risiko stroke.
Sebuah studi kohort prospektif 10 tahun di Cina menemukan bahwa merokok
dapat meningkatkan risiko stroke iskemik di antara penderita hipertensi. Interaksi
signifikan terdeteksi antara merokok dan hipertensi pada risiko stroke iskemik.
Hasil studi Shi dkk juga sejalan dengan studi lainnya seperti studi yang dilakukan
oleh Garg dkk (2021) yang menunjukkan pasien dengan stroke iskemik lebih
18

cenderung memiliki riwayat penggunaan tembakau/merokok dengan OR 1,64,


(95% CI 1,16–2,33), artinya mereka dengan riwayat penggunaan tembakau
memiliki risiko 1,64 kali untuk mengembangkan stroke iskemik.12

3. Diabetes Melitus
Pradiabetes dan diabetes, termasuk DM tipe 1 dan tipe 2, adalah faktor
penyumbang kedua yang paling dikenal meningkatkan risiko stroke dua kali lipat,
meningkatkan kematian sebesar 20%, dan berhubungan dengan prognosis yang
buruk dan pemulihan yang lebih lambat. Prevalensi pradiabetes dan diabetes
melitus pada stroke pasien berkisar antara 28% dan 45%. Seperti hipertensi,
diabetes juga meningkat seiring bertambahnya usia dan meningkatkan risiko
stroke hingga 60% pada pasien lansia. Di Amerika Serikat, lebih dari 50% orang
Amerika berusia di atas 65 tahun adalah pra-diabetes.
Namun, pasien DM tipe 2 biasanya disajikan dengan faktor risiko tambahan
untuk stroke seperti hiperlipidemia, fibrilasi atrium, hipertensi, resistensi insulin
(IR), dan obesitas. Selanjutnya, small vessel disease, diidentifikasi sebagai stroke
kecil dengan ukuran <15 mm diameter adalah jenis yang paling umum dari stroke
terlihat pada pasien diabetes yang melibatkan arteri penetrasi kecil.
Pada tingkat molekuler, DM tipe 2 terutama terkait dengan resistensi insulin
(IR) dan hiperinsulinemia yang meningkatkan tekanan darah (BP) melalui
resorpsi natrium (Naþ) yang merangsang dan menyebabkan dislipidemia dan
aterosklerosis. Di sisi lain, DM tipe 1 meningkatkan risiko aritmia, fibrilasi
atrium, infark miokard, gagal jantung, dan gangguan kardiovaskular lainnya
dikarenakan oleh gangguan hipoinsulinemia yang menginduksi penurunan fungsi
Naþ/Kþ ATPase dan menyebabkan hiperkalemia. Namun, hiperglikemia yang
diinduksi oleh kedua jenis DM tersebut dapat meningkatkan tekanan darah dengan
menginduksi hiperosmolaritas dan mengaktifkan sistem saraf simpatis. Pada
pasien DM tipe 2, hyperinsulinemia menstimulasi peningkatan reabsorpsi NAþ
tubular di ginjal yang menyebabkan hypervolemia. Juga, hiperinsulinemia
menyebabkan pengaktifan sistem saraf simpatik yang berakhir dengan aktivasi
berkelanjutan dari sistem renin/ANG II, sehingga meningkatkan curah jantung
dan resistensi perifer yang meningkatkan tekanan darah. Selain itu, hiperglikemia
dapat meningkatkan gangguan kardiovaskular seperti kardiomiopati diabetik dan
19

aterosklerosis serta meningkatkan tekanan darah dengan meningkatkan


peradangan dan stres oksidatif dan melalui kelebihan produksi spesies oksigen
reaktif (ROS), mengaktifkan NF-κB, dan menekan ekspresi sintase nitrit oksida
(NO) di endotel. Mekanisme di balik efek yang diberikan oleh hiperglikemia
termasuk mengaktifkan banyak jalur yang merusak seperti NADPH oksidase,
hexosamine, polyol; dan protein kinase C (PKC).10

Gambar 2.3 Mekanisme molekular diabetes melitus meningkatkan risiko stroke.10

Hal serupa juga ditunjukkan pada studi yang dilakukan oleh Shi dkk (2021)
yang bertujuan untuk menentukan faktor risiko Small Vessel Disease (SVD) dan
membandingkannya dengan Large Artery Atherosclerosis (LAA), regresi logistik
multivariat menunjukkan bahwa hipertensi (OR = 6,706, 95% CI = 3,431- 13.106,
p < 0.001), diabetes mellitus (OR = 4.023, 95% CI = 1.635-9.898, p = 0.002),
kadar kolesterol total tinggi (OR = 5.327, 95% CI = 1.450-19.579, p = 0.012),
trigliserida tinggi (OR = 2,519, 95% CI = 1,174-5,405, p = 0,018) dan merokok
20

(OR = 2,998, 95% CI = 1,293-6,954) secara signifikan terkait dengan SVD.


Dalam studi tersebut menunjukkan bahwa hipertensi memiliki kemungkinan
6,706 kali untuk menyebabkan stroke iskemik, diikuti dengan diabetes melitus
yaitu 4,023 kali, kadar kolesterol total tinggi yaitu 5,327 kali, trigliserida tinggi
yaitu 2,519 kali, dan merokok 2,998 kali berisiko.12

4. Penyakit Jantung
Dari studi INTERSTROKE diketahui bahwa etiologi jantung berhubungan
dengan peningkatan risiko stroke iskemik (OR 2,74, 99% CI 2,03-3,72) tapi tidak
dengan stroke hemoragik (OR 0,90, 99% CI 0,52-1,56). Kelainan jantung selain
AF yang berhubungan dengan peningkatan risiko stroke mencakup infark miokard
akut, kardiomiopati iskemik dan noniskemik, penyakit jantung katup (katup
prostetik, dan endocarditis infektif, patent foramen ovale/ PFO dan atrial septal
aneurysm/ASA), tumor kardiak, dan aterosklerosis aorta.13
Karena AF seringkali tanpa gejala dan sering tidak terdeteksi secara klinis, AF
terkait dengan risiko stroke sering diremehkan secara substansial. Dalam
metaanalisis dari 50 penelitian, AF terdeteksi pada 24% (95% CI, 17%–31%)
pasien embolic stroke of undetermined source (ESUS). Atrial fibrilasi (AF),
meskipun tanpa penyakit jantung katup, behubungan dengan peningkatan risiko stroke
iskemik 4-5 kali lipat dikarenakan pelepasan thrombus yang terbentuk akibat stasis aliran
darah dalam jantung. Studi Framingham, mendapatkan kejadian atrial fibrilasi dari 0,2
per 1000 di usia 30-39 dan menjadi 39,0 per 1000 di usia 80-89 tahun. 15 Penelitian
lainnya menyebutkan SVT paroksismal dan supraventrikular ektopik telah
dikaitkan dengan risiko stroke sebesar dua kali lipat, tanpa adanya AF.1
Penelitian yang dilakukan oleh Adelborg dkk menunjukkan risiko stroke pada
pasien gagal jantung adalah lima kali lebih tinggi daripada populasi umum. 14
Rowin dkk (2017) menunjukkan pasien dengan kardiomiopati hipertrofik
memiliki risiko tinggi berkembangnya fibrilasi atrium, yang berhubungan dengan
6-24% risiko stroke seumur hidup, dimana 11% di antaranya fatal. Pasien dengan
obstruksi midventrikular dan aneurisme apikal dapat berkembang menjadi stroke
dari trombus mural di apeks.15
Selain itu penyakit infeksi pada jantung juga dapat menjadi faktor risiko stroke,
penelitian oleh Garcia dkk menunjukkan insiden komplikasi serebrovaskular pada
21

pasien dengan endokarditis infektif sisi kiri sebesar 65-80% dimana 25-40%
bergejala. Risiko stroke semakin meningkat sesuai dengan ukuran dan mobilitas
vegetasi. Endokarditis yang disebabkan oleh staphylococcus aureus lebih rentan
terhadap emboli, dan vegetasi pada katup mitral membawa risiko lebih tinggi
daripada yang mempengaruhi katup aorta. 16

5. Dislipidemia
Telah banyak penelitian epidemiologi yang menunjukkan bahwa
dislipidemia, khususnya kadar LDL yang lebih rendah dikaitkan dengan tingkat
gangguan kardiovaskuler yang rendah pula. Asosiasi ilmiah termasuk American
Heart Association (AHA), American Stroke Association (ASA), American
College of Cardiology, National Lipid Association, Chinese Stroke Association,
European Society of Cardiology and European Atherosclerosis Society telah
membuat pedoman untuk mencerminkan pentingnya penilaian faktor risiko dan
manajemen, dan sebagian besar pedoman berfokus pada kadar LDL sebagai target
terapeutik utama dengan target LDL <2.6, <1.8, atau <1.4 mmol/L.31
AHA/ASA 2021 lebih spesifik menjelaskan peran LDL dan trigliserida
dalam pencegahan stroke iskemik.
a. Dua penelitian uji coba, SPARCL (Stroke Prevention by Aggressive
Reduction in Cholesterol Levels) dan TST (Treat Stroke to Target),
mengevaluasi terapi penurun lipid pada pasien setelah stroke iskemik.
Kedua uji coba tersebut menemukan manfaat yang signifikan dari terapi
penurun kolesterol dalam mencegah gangguan pembuluh darah,
termasuk stroke. SPARCL menemukan bahwa atorvastatin 80 mg
setiap hari mengurangi kekambuhan stroke pada pasien tanpa indikasi
lain untuk terapi statin. TST mengkonfirmasi bahwa target LDL-C <70
mg/dL lebih unggul daripada target 90 hingga 110 mg/dL untuk
mencegah gangguan kardiovaskular
b. Hipertrigliserida
Kategori hipertrigliseridemia adalah sedang (diukur saat puasa atau tidak
puasa trigliserida 175-499 mg/dL atau 2,0-5,6 mmol/L]) dan
hipertrigliseridemia berat (trigliserida puasa ≥500 mg/dL [≥5,6
mmol/L]). Pertama, kelebihan trigliserida akan dibawa oleh lipoprotein
22

densitas sangat rendah (VLDL). Untuk mengantisipasi trigliserida dalam


jumlah besar, pasien akan mengalami peningkatan VLDL ditambah
kilomikron. VLDL bersifat aterogenik, mirip dengan LDL. Maka masuk
akal bila untuk mengurangi tingkat VLDL akan mampu untuk
mengurangi risiko terjadinya gangguan kardiovaskular.

Dalam sebuah literatur review pada tahun 2023, dari total 18 jurnal yang
dianalisis menunjukan bahwa trigliserida merupakan salah satu prediktor terhadap
prognosis dan mortalitas pada pasien stroke. Adapun rentang nilai trigliserida
yang memperburuk kondisi pasien ialah pasien dengan kadar trigliserida tinggi
>200 mg/dL. Trigliserida adalah jenis lemak yang diserap oleh usus setelah
dihidrolisis. Trigliserida kemudian masuk ke plasma darah dalam dua bentuk,
yaitu kilomikron yang dihasilkan dari penyerapan usus setelah lemak dikonsumsi,
dan very low density lipoprotein (VLDL) yang dibentuk oleh hati dengan bantuan
insulin. Bila kadar trigliserida dalam darah terlalu tinggi, maka kadar glukosa
darah juga akan ikut meningkat sehingga menyebabkan resistensi insulin yang
dapat berujung menimbulkan sindrom metabolik, dimana terjadi peningkatan
sitokin pro-inflamasi dan respon protrombotik. Trigliserida juga dapat berfungsi
sebagai sumber cadangan energi, sehingga kadar trigliserida berhubungan dengan
status gizi. Kadar trigliserida yang rendah, merupakan indikator malnutrisi.
Malnutrisi setelah stroke akut merupakan faktor prognosis yang buruk. 32
Mekanisme dimana dislipidemia menginduksi stroke melibatkan proses
aterosklerosis, trombosis, disfungsi endotel, dan kerusakan blood brain barrier
(BBB), mengurangi CBF aliran darah serebral, dan menginduksi apoptosis saraf.
Di samping itu, dislipidemia meningkatkan risiko stroke dengan menginduksi
hipertensi, resistensi insulin, obesitas, dan penyakit kardiovaskular. Namun, saat
ini diterima dengan baik bahwa peningkatan stres oksidatif dan inflamasi pada
endotelium, makrofag, dan jaringan lain, serta disfungsi endotel berikutnya dan
apoptosis adalah mekanisme utama dari dislipidemia menyebabkan stroke dan
juga kerusakan jantung. Seperti terlihat pada gambar 4.
23

Gambar 2.4 Mekanisme molekuler dislipidemia meningkatkan risiko stroke10

Dislipidemia dikaitkan dengan peningkatan spesies oksigen reaktif (ROS) atau


oksidan bebas, dari mitokondria karena gangguan yang berlebihan dalam proses
fosforilasi oksidatif dan asam lemak (β)-oksidasi. Di samping itu, selanjutnya
oksidan bebas tersebut melalui mengaktifkan banyak enzim penghasil ROS
termasuk NADPH oksidase, myeloperoxidase (MPO), xanthan oksidase (XO),
menurunkan nitrit oksida endotel sintase, menipiskan antioksidan, dan
meningkatkan regulasi transkripsi yang diaktifkan faktor-3 (ATF-3) untuk
apoptosis. Juga, dislipidemia bisa mengganggu aliran darah serebral dengan
menurunkan sintesis dan pelepasan faktor pertumbuhan endotel vaskular (VEGF).
Selain itu, dislipidemia merangsang peradangan seluler dan makrofag infiltrasi
dan menyebabkan kerusakan BBB dengan merangsang beberapa jalur inflamasi
seperti ATF-3, inflamasi NRLP3, NF-κB, tumor necrosis factor-α (TNF-α), dan
interleukine-6 (IL-6), serta meningkatkan ekspresi beberapa enzim (misalnya
MMP9), kemokin (misalnya CXCL-1 dan CCL3), dan perekat molekul (misalnya
sebagai VCAM-1, CD11c/CD18, dan P-selektin). Selain itu, dislipidemia
menyebabkan apoptosis sel saraf dan sel endotel dengan meningkatkan regulasi
MMP2/9 dan myeloperoxidase (MPO), dan PCSK9, serta mengaktifkan jalur
24

intrinsic kematian sel (yaitu sumbu Bax, sitokrom C/caspase-3) [143, 146, 165].
Juga menginduksi kekakuan vaskular melalui peningkatan Caþ2 salah satu
oksidan bebas. Dislipidemia, melalui peningkatan stres oksidatif di endotel dan
inflamasi, meningkatkan permeabilitas BBB melalui pengaktifan calpain-1/2,
matrix metalloproteinase-2/9, dan RhoA.10

6. Riwayat TIA/ stroke sebelumnya


Rata-rata risiko berulangnya stroke iskemik setelah stroke iskemik atau TIA
pertama adalah sebesar 3% hingga 4%. Penelitian oleh Misbach dan Ali di 28 RS
di Indonesia pada tahun 1998 menemukan angka kejadian stroke berulang
sebesar 19,9%.19
Studi yang dilakukan oleh Khanevski (2019) yang menyelidiki kejadian stroke
iskemik atau TIA berulang pada populasi stroke di rumah sakit Norwegia, serta
menyelidiki faktor yang terkait dengan kekambuhan menunjukkan bahwa selama
masa follow up, 220 pasien mengalami 277 stroke iskemik atau TIA berulang.
Tingkat kekambuhan kumulatif adalah 5,4% pada 1 tahun, 11,3% pada 5 tahun,
dan 14,2% pada akhir masa tindak lanjut. Pasien dengan riwayat stroke
sebelumnya (HR = 1,63, 95% CI 1,18-2,24) secara independen berhubungan
dengan kekambuhan.20 Hal ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh Pan dkk
(2021) yang mengevaluasi risiko residual stroke berulang pada stroke iskemik
akut atau transient ischemic attack (TIA) dengan kepatuhan terhadap pencegahan
stroke sekunder berbasis pedoman dan mengidentifikasi faktor risiko dari risiko
residual, menunjukkan bahwa riwayat stroke merupakan faktor risiko independen
dari risiko residual.21
Selain itu studi yang dilakukan oleh Qin dkk yang menginvestigasi perbedaan
mortalitas, kecacatan dan tingkat kekambuhan pasien stroke iskemik tanpa dan
dengan riwayat stroke serta mengeksplorasi pengaruh riwayat stroke terhadap
prognosis stroke memaparkan hasil yaitu sebanyak 8181 (65,9%) pasien tanpa
riwayat stroke dan 4234 (34,1%) pasien dengan riwayat stroke dalam studi
tersebut, analisis multivariabel menunjukkan bahwa pasien dengan riwayat stroke
memiliki risiko kematian lebih tinggi [odds ratio (OR) 1,34,95% interval
kepercayaan (CI) 1,17-1,54], kekambuhan (OR 1,47, 95% CI 1,31-1,65) dan mRS
3-6 (ATAU 1,49,95% CI 1,34-1,66) pada 1 tahun. Studi tersebut menyimpulkan
25

bahwa riwayat stroke sebelumnya merupakan faktor risiko independen untuk


prognosis stroke iskemik yang buruk, yang selanjutnya menekankan pentingnya
pencegahan sekunder stroke iskemik.22

7. Riwayat stroke dalam keluarga


Riwayat stroke dalam keluarga diduga menjadi salah satu factor risiko stroke
meskipun penelitian menunjukkan hubungan yang inkonsisten di antara keduanya.
Family Heart Study menemukan peningkatan risiko stroke yang signifikan pada
keturunan tingkat pertama dari penderita stroke. Sedangkan Framingham
Offsping Study tidak menemukan hubungan yang signifikan antara Riwayat stroke
pada orang tua dengan risiko stroke pada keturunannya.
Terjadinya stroke dalam satu keluarga dapat disebabkan oleh factor genetic
maupun lingkungan tempat tinggal yang sama. Adanya keterlibatan genetic pada
berbagai penyakit yang menjadi factor risiko stroke seperti hipertensi, diabetes,
dan hiperkolesterolemia turut berperan dalam terjadinya stroke dalam satu
keluarga. Dengan adanya etiopatogenesis stroke yang beragam, peran factor
genetic dalam menyebabkan stroke masih menjadi kontroversi.23
Studi yang dilakukan oleh Flossmann dkk menunjukkan bahwa riwayat
keluarga dengan stroke meningkatkan risiko stroke sebesar 30%. Kembar
monozigot memiliki risiko stroke 1,65 kali lipat lebih tinggi daripada kembar
dizigotik.24 Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Fekadu dkk
yang menilai faktor risiko, presentasi klinis dan prediktor subtipe stroke pada
pasien dewasa yang dirawat di unit stroke pusat medis universitas Jimma (JUMC)
menunjukkan, faktor risiko yang diidentifikasi pada 114 (98,3%) pasien, yang
terdiri dari 59 (98,3%) pasien stroke iskemik dan 55 (98,2%) pasien stroke
hamoragik. Faktor risiko yang paling umum diidentifikasi salah satunya adalah
riwayat keluarga yaitu pada 39 (33,6%) pasien.25

8. Aktivitas fisik
Aktivitas fisik menurut WHO adalah gerakan tubuh yang dihasilkan oleh otot
rangka yang membutuhkan pengeluaran energi termasuk aktivitas yang dilakukan
saat bekerja, bermain, melakukan pekerjaan rumah tangga, bepergian, dan terlibat
dalam kegiatan rekreasi. Aktivitas fisik yang teratur dan memadai akan mengurangi
risiko terjadinya penyakit jantung koroner, hipertensi, stroke, diabetes, berbagai jenis
26

kanker, dan depresi.


Orang yang kurang aktif memiliki 20 – 30 % peningkatan risiko kematian
dibandingkan orang yang cukup aktif. Pada tahun 2010, secara global sekitar 23%
orang berusia 18 tahun atau lebih tidak cukup aktif (pria 20% dan wanita 23%) Di
negara berpenghasilan tinggi, 26% pria dan 35% wanita kurang aktif secara fisik
dibandingakn 12% pada pria dan 24 % pada wanita di negara berpenghasilan rendah.
Di Indonesia, berdasarkan Riset Kesehatan Dasar tahun 2018, proporsi penduduk
dengan aktivitas fisik kurang aktif adalah 35%. Penurunan aktivitas fisik sebagian
disebabkan tidak beraktivitas pada waktu senggang, perilaku tidak aktif di tempat
kerja dan di rumah, juga penggunaan modal transportasi pasif.26
Olahraga dapat merangsang plastisitas sinaptik saraf, rangsangan, dan
neurogenesis dengan merangsang brain-derived neurotrophic factor (BDNF),
vascular endotel growth factor (VEGF), dan insulin growth factor (IGF-1). Olahraga
dapat menstimulasi BDNF dengan meningkatkan regulasi ekspresi hypoxia-inducible
factor (HIF) yang merangsang sintesis beberapa protein sinaptik termasuk Tau, GAP-
43, PSD-95, dan sinapsin 1 (SYN-1). Selain itu, olahraga dapat menghambat
apoptosis saraf dengan merangsang phosphatidylinositol-3-kinase/protein B
(PI3K/Akt), meningkatkan kadar antioksidan, dan meningkatkan fungsi mitokondria.
Olahraga dapat meningkatkan metabolisme energi otak dengan merangsang Sumbu
BDNF. Juga, olahraga melemahkan stres oksidatif setelah stroke dan selama
rehabilitasi yang memberikan perlindungan saraf dan mengurangi aktivitas trombosis.
Selain itu, latihan fisik/ olahraga secara teratur menjaga struktur BBB dengan
mengurangi stimulasi kolagen VI di basal lamina dan menghambat MMP-9 dengan
mengaktifkan jalur ERK1/2. Juga, olahraga dapat meningkatkan aliran darah serebral
dengan mengurangi ekspresi ET-1 dan merangsang ekspresi saraf dan pembuluh
darah netrin-1 dan reseptornya, gen 5B yang tidak terkoordinasi (Unc5B) dan dihapus
pada kanker kolorektal (DCC). Selain itu, olahraga menghambat apoptosis saraf dan
merangsang kelangsungan hidup melalui mengaktifkan HIF-1α dan AMPK, ekspresi
GLUT1/3, dan aktivasi enzim fosfofruktokinase (PFK). Selain itu, olahraga dapat
mencegah peradangan saraf, apoptosis dan menghambat aktivasi MMP-9 melalui
beberapa mekanisme termasuk meningkatkan/mengaktifkan ERK1/2, heat shock
protein (HSP-70 dan HSP-20), midkine (MK), dan Bcl2, serta mengurangi ekspresi
dari Bcl-x, Bax, dan Campaspe-3. Terlebih lagi, olahraga mencegah peradangan
sistemik, saraf dan stres oksidatif dan selanjutnya merangsang kelangsungan hidup
27

saraf, fungsi endotel, aliran darah serebral, integritas BBB dengan menghambat
TLR4/NF-κB, serta mengurangi pembentukan oksidan bebas, dan meningkatkan
enzim antioksidan dan menghambat pelepasan glutamat, menghambat ekspresi
glutamat metabotropik reseptor 5 (mGluR5) dan subunit reseptor N-metil-D-aspartat
tipe 2B (NR2B). 10

Gambar 2.5 Mekanisme molekular olahraga memberikan efek neuroprotektif dalam mencegah stroke
dan meningkatkan luaran klinis post stroke.10

WHO memiliki rekomendasi kegiatan fisik dengan istilah "more is better".


Rekomendasi ini diperuntukkan untuk orang dewasa dan orang dewasa yang lebih
tua, serta mereka yang hidup dengan penyakit kronis, yaitu 150–300 menit per
minggu dengan intensitas aktivitas fisik sedang hingga berat, dan setidaknya aktivitas
muscle strengthening (olahraga dengan beban) dua kali per minggu, dan membatasi
waktu yang dihabiskan untuk tidak banyak bergerak, seperti menonton televisi dan di
depan computer. AHA juga merekomendasikan latihan aerobik secara teratur sebagai
dalam pencegahan dan pengobatan stroke.26
Aktivitas fisik didefinisikan sebagai gerakan tubuh yang dihasilkan oleh kontraksi
otot rangka yang meningkatkan pengeluaran energi di atas tingkat istirahat dan terdiri
dari tugas rutin sehari-hari seperti perjalanan pergi dan pulang kantor, tugas
pekerjaan, atau kegiatan rumah tangga, serta gerakan / aktivitas peningkatan
kesehatan yang disengaja. Olahraga merupakan komponen aktivitas fisik yang
28

direncanakan, terstruktur, dan berulang dengan maksud meningkatkan atau menjaga


kesehatan.
Adapun jenis aktivitas berdasarkan Center for Disease Control (CDC) dan
American College of Sports Medicine (ACSM) adalah sebagai berikut :
1. Aktivitas ringan (<4 kcal/menit), seperti berjalan pelan 1-2mph, peregangan
tubuh, bermain golf, bowling, memancing, menyapu lantai.
2. Aktivitas sedang (4 -7kcal/menit), yaitu aktivitas yang membutuhkan waktu
lama untuk berjalan, mendorong atau menarik benda dengan berat kurang dari
75 lbs (34kg), berdiri sambil mengangkat benda dengan berat kurang dari 50
(22kg) lbs, atau tugas yang sering kali membutuhkan usaha sedang dan banyak
menggunakan lengan, kaki, atau gerakan tubuh total sesekali seperti berangkat
kerja, bersepeda 5-9mph, olahraga aerobic, senam, tenis meja, badminton,
Latihan beban (ringan), berkebun, pekerjaan rumah (berkebun, mencuci
pakaian, mencuci kendaraan, mengurus anak dan lain-lain.
3. Aktivitas berat ( >7kcal/menit), yaitu Pekerjaan yang membutuhkan waktu lama
untuk berlari, gerakan cepat, mendorong atau menarik benda seberat 75 lbs
(34kg) atau lebih, berdiri sambil mengangkat benda berat seberat 50 lbs (22kg)
atau lebih, berjalan sambil membawa benda berat seberat 25 lbs (11kg) atau
lebih, atau aktivitas yang membutuhkan usaha yang berat dan gerakan tubuh
total yang ekstensif. Misalnya balap sepeda, berlari, mendaki gunung,
kalistenik, olahraga beladiri, Latihan beban, gulat, sepakbola, basket, kegiatan
berkebun seperti mencangkul dengan berat atau cepat (lebih dari 10 lbs per
menit), menggali parit, atau membawa beban berat, menebang pohon,
membawa kayu gelondongan besar, mengayunkan kapak, membelah kayu
gelondongan, atau memanjat dan memotong pohon.

Kementerian Kesehatan Indonesia secara umum juga mengklasifikasikan


aktivitas fisik menjadi 3 kategori berdasarkan intensitas dan besaran kalori yang
digunakan yaitu : aktivitas fisik ringan, aktivitas fisik sedang dan aktivitas fisik
berat. Aktivitas ini mencakup aktivitas yang dilakukan di sekolah, di tempat kerja,
aktivitas dalam keluarga/ rumah tangga, aktivitas selama dalam perjalanan dan
aktivitas lain yang dilakukan untuk mengisi waktu senggang sehari-hari.
29

1. Aktivitas fisik ringan. Aktivitas fisik ini hanya memerlukan sedikit tenaga
dan biasanya tidak menyebabkan perubahan dalam pernapasan saat
melakukan aktivitas masih dapat berbicara dan bernyanyi. Energi yang
dikeluarkan selama melakukan aktivitas ini (<3,5 Kcal/menit). Contoh
aktivitas fisik ringan :
a. Berjalan santai di rumah, kantor, atau pusat perbelanjaan
b. Duduk bekerja di depan computer, membaca, menulis, menyetir,
mengoperasikan mesin dengan posisi duduk atau berdiri
c. Berdiri melakukan pekerjaan rumah tangga ringan, seperti mencuci
piring, setrika, memasak, menyapu, mengepel lantai dan menjahit
d. Latihan peregangan dan pemanasan dengan lambat
e. Membuat prakarya, bermain kartu, bermain video game,
menggambar, melukis, bermain music
f. Bermain bilyard, memancing, memanah, menembak, golf, dan naik
kuda
2. Aktivitas fisik sedang. Pada saat melakukan aktivitas fisik sedang tubuh
sedikit berkeringat, denyut jantung dan frekuensi nafas menjadi lebih cepat,
tetap dapat berbicara, tetapi tidak bernyanyi.Energi yang dikeluarkan saat
melakukan aktivitas ini antara 3,5 - 7 Kcal/menit. Contohnya adalah :
a. Berjalan cepat (kecepatan 5 km/jam) pada permukaan rata di dalam
atau di luar rumah, di kelas, ke tempat kerja atau ke toko; dan jalan
santai, jalan sewaktu istirahat kerja
b. Pekerjaan tukang kayu, membawa dan menyusun balok kayu,
membersihkan rumput dengan mesin pemotong rumput
c. Memindahkan perabot ringan, berkebun, menanam pohon, mencuci
mobil
d. Bulutangkis rekreasional, bermain rangkap bola, dansa, tenis meja,
bowling, bersepeda pada lintasan datar, volley non kompetitif,
bermain skate board, ski air, berlayar
3. Aktivitas fisik berat. Aktivitas fisik dikategorikan berat apabila selama
beraktivitas tubuh mengeluarkan banyak berkeringat, denyut jantung dan
frekuensi nafas sangat meningkat sampai dengan kehabisan napas.Energi
yang dikeluarkan saat melakukan aktivitas pada kategori ini > 7 Kcal/menit.
30

Contoh :
a. Berjalan dengan sangat cepat (kecepatan lebih dari 5 km/jam),
berjalan mendaki bukit, berjalan dengan membawa beban di
punggung, naik gunung, jogging (kecepatan 8 km/jam) dan berlari
b. Pekerjaan seperti mengangkut beban berat, menyekop pasir,
memindahkan batu bata, menggali selokan, mencangkul
c. Pekerjaan rumah seperti memindahkan perabot yang berat,
menggendong anak, bermain aktif dengan anak
d. Bersepeda lebih dari 15 Km per jam dengan lintasan mendaki,
bermain basket, cross country, badminton kompetitif, volley
kompetitif, sepak bola, tenis single, tinju.33

Global Burden Disease, 2019 menunjukkan hubungan antara stroke yang


disebabkan oleh kurangnya aktivitas fisik adalah 1,68% secara global dan 2,75%
pada negara maju. Ketidakaktifan fisik merupakan faktor risiko yang signifikan
untuk terjadinya stroke pada populasi paruh baya dan lanjut usia. Hal ini didukung
oleh sebuah studi prospektif di China, dengan jumlah peserta 437.318,
menemukan bahwa aktivitas fisik dikaitkan dengan peningkatan risiko stroke (HR
1,74 [95% CI, 1,61–1,89].1
Penelitian Hermawan yang mengkaji hubungan derajat aktivitas fisik dengan
kejadian stroke di RSUP dr. Moewardi Surakarta menunjukkan hasil yang
bermakna. Penelitian terrsebut menyimpulkan bahwa pasien laki-laki yang kurang
melakukan aktivitas fisik lebih berisiko 14 kali untuk mendapat serangan stroke
iskemik akut dibandingkan pasien laki-laki yang mempunyai aktivitas fisik
cukup.27 Miranda et al dalam penelitiannya yang berjudul aktivitas fisik dan risiko
terhadap penyakit jantung koroner dan stroke pada orang usia lanjut,
menunjukkan bahwa tingginya aktivitas fisik dihubungkan dengan rendahnya
risiko terkena penyakit jantung koroner dan stroke (khususnya stroke iskemik).28

9. Obesitas
Kelebihan berat badan atau obesitas didefinisikan sebagai akumulasi lemak
abnormal atau berlebihan yang menyebabkan risiko terhadap kesehatan. IMT
31

(Indeks Massa Tubuh) adalah indikator yang paling banyak digunakan untuk
menentukan obesitas yaitu berat badan seseorang (dalam kilogram) dibagi dengan
kuadrat tinggi badannya (dalam meter). Peningkatan IMT adalah faktor risiko
utama penyakit kardiovaskular seperti penyakit jantung dan stroke (WHO, 2018).

Tabel 2.2 Kategori Indeks Massa Tubuh (IMT)30


Kategori IMT
Kurang < 18,5
Normal 18,5 – 22,9
Overwight 23 – 24,9
Obese ≥ 25

Pada obesitas, terdapat peningkatan ukuran sel lemak (sel adiposa), tetapi sel
ini sedikit mengandung reseptor insulin. Akibatnya sel kurang bereaksi terhadap
pengaruh insulin yang berguna dalam pengaturan metabolisme karbohidrat dan
lemak. Peningkatan penguraian lemak menyebabkan banyaknya asam lemak dalam
darah. Asam lemak bebas ini selanjutnya diangkut ke hati dan bersama kolesterol
akan dibuat menjadi bentuk lipoprotein VLDL. Hal tersebut berakibat kolesterol dan
trigliserida dalam darah juga meningkat. Selain itu, sel adiposa juga memproduksi
sitokin inflamasi yang nantinya akan menyebabkan stroke.
Kelebihan lipid, termasuk trigliserida, disimpan di jaringan adiposa tubuh, dan
jaringan lain juga ikut membesar, seperti hati, otot rangka, dan organ dalam lainnya.
Dengan demikian, orang yang obesitas tidak hanya memiliki lebih banyak lemak
tubuh daripada orang yang tidak obesitas, tetapi juga memiliki massa otot yang lebih
ramping dan tingkat metabolisme istirahat yang lebih tinggi. Orang gemuk juga
memiliki curah jantung dan tekanan darah yang lebih tinggi.
Sebagian besar sel lemak pada jaringan adiposa subkutan berwarna putih
karena mengandung trigliserida dan kolesterol ester. Sel lemak putih ini
mengeluarkan hormon seperti leptin dan adiponektin, yang mengatur rasa lapar.
Adiposit coklat disimpan dalam jaringan adiposa visceral, dan jaringan ini signifikan
pada orang gemuk. Adiposit visceral ini terkait dengan banyak masalah kesehatan
metabolik dan mekanis yang menyertai obesitas. Misalnya, lemak di sekitar ginjal
menekannya dan menyebabkan hipertensi. Kelebihan didaerah faring dapat
32

menghalangi jalan napas selama tidur dan berhubungan dengan sleep apnea.
Kelebihan berat badan memberi tekanan ekstra pada persendian dan merupakan
faktor risiko osteoartritis. Lemak visceral yang berlebihan dapat menyebabkan
peningkatan tekanan di dalam perut dan menyebabkan penyakit gastroesofageal
refluks. Jaringan adiposa yang berlebihan menyebabkan sekresi adipokin
proinflamasi yang berlebihan, yang menyebabkan peradangan sistemik tingkat rendah
pada banyak orang gemuk. Hidrolisis yang terjadi pada sel-sel lemak melepaskan
asam lemak bebas, yang diangkut ke tempat-tempat di seluruh tubuh dalam aliran
darah. Peningkatan kadar asam lemak bebas yang ditemukan pada orang gemuk ini
berkontribusi terhadap resistensi insulin, yang nantinya akan berhubungan dengan
diabetes melitus.
Di dalam jurnal AHA tahun 2021 menyebutkan peningkatan risiko 7% hingga
37% untuk stroke pada obesitas dibandingkan dengan peserta dengan berat badan
normal, atau 4% peningkatan risiko untuk setiap peningkatan BMI sebesar 5 kg/m2.
Namun di bagian kesimpulan, peneletian tersebut menunjukkan tidak ada peningkatan
risiko stroke iskemik untuk kelebihan berat badan atau obesitas yang sehat secara
metabolik bahkan ketika dipertahankan selama bertahun-tahun. Risiko stroke iskemik
meningkat seiring dengan banyaknya kelainan metabolic (hipertensi, diabetes dan
dislipidemia), dan faktor risiko metabolik terpenting adalah hipertensi.29

Patofisiologi
Iskemik otak dapat bersifat fokal atau global. Terdapat perbedaan etiologi
keduanya. Pada iskemik global, aliran otak secara keseluruhan menurun akibat
tekanan perfusi (syok ireversible karena henti jantung, perdarahan sistemik yang
masif, fibrilasi atrial berat dll). Sedangkan iskemik fokal terjadi akibat
menurunnya tekanan perfusi otak karena ada sumbatan atau pecahnya salah satu
pembuluh darah otak yang berakibat lumen pembuluh darah yang terkena akan
tertutup sebagian atau seluruhnya.Tertutupnya lumen pembuluh darah oleh karena
iskemik fokal, disebabkan antara lain :
1. Perubahan patologi pada dinding arteri pembuluh darah otak menimbulkan
trombus. Adanya tromboois ini, diawali oleh proses arteriosklerosis di
tempat tersebut. Pada arteriole dapat terjadi vaskulitis atau lipohialinosis
yang akan menyebabkan stroke iskemik berupa infark lakunar.
33

2. Perubahan akibat proses hemodinamik dimana tekanan perfusi sangat


menurun karena sumbatan di bagian proksimal pembuluh arteri seperti
sumbatan arteri karotis atau vertebro-basilar.
3. Perubahan yang terjadi akibat dari perubahan sifat sel darah, misalnya:
anemia sickle-cell, leukemia akut, polisitemia, hemoglobinopati dan
makroglobulinemia.
4. Tersumbatnya pembuluh akibat emboli daerah proksimal misalnya:
trombosis arteri– arteri, emboli jantung, dan lain-lain.
Sebagai akibat dari penutupan aliran darah ke bagian otak tertentu, maka
terjadi serangkaian proses patologik pada daerah iskemi. Perubahan ini dimulai di
tingkat seluler, berupa perubahan fungsi dan struktural sel yang diikuti kerusakan
pada fungsi utama serta integritas fisik dari susunan sel, selanjutnya akan berakhir
dengan kematian neuron.
Disamping itu terjadi pula perubahan-perubahan dalam milliu ekstra
seluler, karena peningkatan pH jaringan serta kadar gas darah, keluarnya zat
neurotransmiter (glutamat) serta metabolisme sel-sel yang iskemik, disertai
kerusakan sawar darah otak. Seluruh proses ini merupakan perubahan yang terjadi
pada stroke iskemik.
Pengurangan aliran darah yang disebabkan oleh sumbatan atau sebab lain,
akan menyebabkan iskemia di suatu daerah otak. Terdapatnya kolateral di daerah
sekitarnya disertai mekanisme kompensasi fokal berupa vasodilatasi,
memungkinkan terjadinya beberapa keadaan berikut ini:
1. Pada sumbatan kecil, terjadi daerah iskemia yang dalam waktu singkat
dikompensasi dengan mekanisme kolateral dan vasodilatasi lokal. Secara
klinis gejala yang timbul adalah transient ischemic attack (TIA) yang timbul
dapat berupa hemiparesis sepintas atau amnesia umum sepintas, yaitu selama
<24 jam.
2. Bila sumbatan agak besar, daerah iskemia lebih luas. Penurunan CBF
regional lebih besar, tetapi dengan mekanisme kompensasi masih mampu
memulihkan fungsi neurologik dalam waktu beberapa hari sampai dengan 2
minggu. Mungkin pada pemeriksaan klinik ada sedikit gangguan. Keadaan ini
secara klinis disebut RIND (Reversible Ischemic Neurologic Deficit).
34

3. Sumbatan yang cukup besar menyebabkan daerah iskemia yang luas sehingga
mekanisme kolateral dan kompensasi tak dapat mengatasinya. Dalam
keadaan ini timbul defisit neurologis yang berlanjut.

Pada iskemia otak yang luas, tampak daerah yang tidak homogen akibat
perbedaan tingkat iskemia, yang terdiri dari 3 lapisan (area) yang berbeda:
1. Lapisan inti yang sangat iskemik (ischemic-core) terlihat sangat pucat karena
CBF-nya paling rendah. Tampak degenerasi neuron, pelebaran pembuluh
darah tanpa adanya aliran darah. Kadar asam laktat di daerah ini tinggi
dengan PO2 yang rendah. Daerah ini akan mengalami nekrosis.
2. Daerah di sekitar ischemic-core yang CBF-nya juga rendah, tetapi masih
lebih tinggi daripada CBF di ischemic core . Walaupun sel-sel neuron tidak
sampai mati, fungsi sel terhenti, dan menjadi functional paralysis. Pada
daerah ini PO2 rendah, PCO2 tinggi dan asam laktat meningkat. Tentu saja
terdapat kerusakan neuron dalam berbagai tingkat, edema jaringan akibat
bendungan dengan dilatasi pembuluh darah dan jaringan berwarna pucat.
Astrup menyebutnya sebagai ischemic penumbra. Daerah ini masih mungkin
diselamatkan dengan resusitasi dan manajemen yang tepat.
3. Daerah di sekeliling penumbra tampak berwarna kemerahan dan edema.
Pembuluh darah mengalami dilatasi maksimal, PCO2 dan PO2 tinggi dan
kolateral maksimal. Pada daerah ini CBF sangat meninggi sehingga disebut
sebagai daerah dengan perfusi berlebihan (luxury perfusion).

Konsep “penumbra iskemia” merupakan sandaran dasar pada pengobatan


stroke, karena merupakan manifestasi terdapatnya struktur selular neuron yang
masih hidup dan mungkin masih reversible apabila dilakukan pengobatan yang
cepat.
Usaha pemulihan daerah penumbra dilakukan dengan reperfusi yang harus
tepat waktunya supaya aliran darah kembali ke daerah iskemia tidak terlambat,
sehingga neuron penumbra tidak mengalami nekrosis.
Komponen waktu ini disebut sebagai jendela terapeutik (therapeutic
window) yaitu jendela waktu reversibilitas sel-sel neuron penumbra terjadi
dengan melakukan tindakan resusitasi sehingga neuron ini dapat diselamatkan.
35

Perlu diingat di daerah penumbra ini sel-sel neuron masih hidup akan tetapi
metabolisme oksidatif sangat berkurang, pompa-pompa ion sangat minimal
mengalami proses depolarisasi neuronal.
Perubahan lain yang terjadi adalah kegagalan autoregulasi di daerah
iskemia, sehingga respons arteriole terhadap perubahan tekanan darah dan oksigen
atau karbondioksida menghilang.
Mekanisme patologi lain yang terjadi pada aliran darah otak adalah,
berkurangnya aliran darah seluruh hemisfer di sisi yang sama dan juga di sisi
hemisfer yang berlawanan (diaskisis) dalam tingkat yang lebih ringan. Disamping
itu, di daerah cermin (mirror area) pada sisi kontra lateral hemisfer mengalami
proses diaskisis yang relatif paling terkena dibanding sisi lainnya, dan juga pada
sisi kontralateral hemisfer serebral (remote area)

Gambar 2.6 Area Iskemia


Perubahan aliran darah otak bersifat umum/global akibat stroke ini disebut
diaskisis (Meyer et al.), yang merupakan reaksi global terhadap aliran darah otak,
dimana seluruh aliran darah otak berkurang/menurun. Kerusakan hemisfer
terutama lebih besar pada sisi yang tersumbat (ipsilateral dari sumbatan).2
Proses ini diduga karena pusat di batang otak (yang mengatur tonus
pembuluh darah di oatak) mengalami stimulasi sebagai reaksi terjadinya sumbatan
atau pecahnya salah satu pembuluh darah sistem serebrovaskuler, didasari oleh
mekanisme neurotransmiter dopamin atau serotonin yang mengalami perubahan
keseimbangan mendadak sejak saat stroke.
Proses diaskisis berlangsung beberapa waktu (hari sampai minggu)
tergantung luasnya infark. Mekanisme proses ini diduga karena perubahan global
dan pengaturan neurotransmiter. Perubahan-perubahan ini tampak secara
eksperimental maupun dengan pemeriksaan PET scan, akan tetapi tidak ada
36

manifestasi klinik sebagai akibat dari diasksis maupun iskemia pada daerah
hemisfer kontralateral.
Selanjutnya dikatakan bahwa aliran darah otak di bawah 17 cc/100 g
otak/menit, menyebabkan aktifitas otak listrik berhenti walaupun kegiatan pompa
ion masih berlangsung. Sedangkan Hakim (1998) menetapkan bahwa neuron
penumbra masih hidup jika CBF berkurang di bawah 20 cc/100 gram otak/menit
dan kematian neuron akan terjadi apabila CBF di bawah 10 cc/100 gram
otak/menit.
Daerah penumbra pada misery perfusion ini, jika aliran darahnya dicukupi
kembali sebelum jendela terapeutik, dapat kembali normal dalam waktu singkat.
Sedangkan sebagian lesi tetap akan mengalami kematian setelah beberapa jam
atau hari setelah iskemik otak temporer. Dengan kata lain, di daerah ischemic core
kematian sudah terjadi sehingga mengalami nekrosis akibat kegagalan energi
(energy failure) yang secara dahsyat merusak dinding sel beserta isinya sehingga
mengalami lisis (sitolisis). Sementara pada daerah penumbra jika terjadi iskemia
berkepanjangan sel tidak dapat lagi mempertahankan integritasnya sehingga akan
terjadi kematian sel, yang secara akut timbul melalui proses apoptosis, yaitu
disintegrasi elemen-elemen seluler secara bertahap dengan kerusakan dinding sel
yang disebut juga programmed cell death.
Meskipun ditemukan pada binatang, kenyataan ini menunjukkan bahwa di
daerah sistem limbik dan ganglia basal terdapat sel-sel yang sensitif terhadap
iskemia. Keadaan ini penting dalam hubungannya dengan stroke yang disertai
dengan demensia. Hal yang juga menarik adalah bahwa sel-sel yang sensitif
terhadap iskemia terutama merupakan bagian dari serabut yang terisi glutamat.
Iskemia menyebabkan aktifitas intra seluler Ca2+ meningkat hingga peningkatan
ini akan menyebabkan juga aktifitas Ca2+ di celah sinaps bertambah sehingga
terjadi sekresi neutransmitter yang berlebihan, yaitu glutamat, aspartat dan kainat
yang bersifat eksitotoksin.
Disamping itu Abe dkk (1987) yang diulas oleh Kogure (1992),
membuktikan bahwa, akibat lamanya stimulasi reseptor metabolik oleh zat-zat
yang dikeluarkan oleh sel, menyebabkan juga aktifitas reseptor neurotropik yang
merangsang pembukaan kanal Ca2+ yang tidak tergantung pada kondisi tegangan
potensial membran seluler (receptor-operated gate opening), disamping
37

terbukanya kanal Ca2+ akibat aktivitas NMDA reseptor “voltage operated gate
opening” yang telah terjadi sebelumnya.
Kedua proses tersebut mengakibatkan masuknya Ca2+ ion ekstraseluler ke
dalam ruang intraseluler. Jika proses berlanjut, pada akhirnya akan menyebabkan
kerusakan membrane sel dan rangka sel (sitoskeleton) melalui terganggunya
proses fosforilase dari regulator sekunder sintesa protein, proses proteolisis dan
lipolisis yang akan menyebabkan ruptur atau nekrosis.
Disamping neuron-neuron yang sensitif terhadap iskemia, kematian sel
dapat langsung terjadi pada iskemia berat dengan hilangnya energi secara total
dari sel karena berhentinya aliran darah. Disamping itu,desintegrasi sitoplasma
dan disrupsi membran sel juga menghasilkan ion-ion radikal bebas yang dapat
lebih memperburuk keadaan lingkungan seluler.
Pada infark serebri yang cukup luas, edema serebri timbul akibat
kegagalan energi dari sel-sel otak dengan akibat perpindahan elektrolit (Na+, K+)
dan perubahan permeabilitas membran serta gradasi osmotik. Akibatnya
terjadinya pembengkakan sel (cytotoxic edema). Keadaan ini terjadi pada iskemia
berat dan akut seperti hipoksia dan henti jantung. Selain itu edema serebri dapat
juga timbul akibat kerusakan sawar otak yang mengakibatkan permeabilitas
kapiler rusak, sehingga cairan dan protein bertambah mudah memasuki ruangan
ekstraseluler sehingga menyebabkan edema vasogenik (vasogenic edema).
Efek edema jelas menyebabkan peningkatan tekanan intrakranial dan akan
memperburuk iskemia otak. Selanjutnya terjadi efek masa yang berbahaya dengan
akibat herniasi otak.

Diagnosis
A. Anamnesis

Dalam anamnesis perlu ditanyakan identitas pasien, keluhan-keluhan


yang dialami pasien beserta onsetnya. Apakah keluhan terjadi tiba-tiba, saat
pasien sedang beraktivitas atau beristirahat. Pada stroke hemoragik, keluhan
umumnya muncul saat pasien sedang beraktivitas atau mengalami emosi yang
tidak terkontrol. Sebaliknya, keluhan stroke iskemik umumnya muncul saat
pasien sedang beristirahat, misalnya ketika baru bangun tidur. Apakah pasien
38

mengalami keluhan sakit kepala, disertai muntah tanpa didahului mual dan
penurunan kesadaran yang mengarahkan kecurigaan pada stroke hemoragik
dengan peningkatan TIK akibat efek desak ruang. Durasi sejak serangan
terjadi hingga tiba di pusat kesehatan juga merupakan hal penting, terutama
pada stroke iskemik untuk penentuan dilakukannya terapi trombolisis. Perlu
ditanyakan juga faktor risiko yang dimiliki pasien dan keluarganya seperti
hipertensi, diabetes melitus, dislipidemia, obesitas, penyakit jantung, pola
hidup seperti merokok dan minum alkohol, serta riwayat trauma kepala.

B. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dimulai dengan keadaan umum, kesadaran (dengan
Glasgow Coma Scale) dan tanda vital. Pada stroke hemoragik lebih sering
terjadi penurunan kesadaran. Selanjutnya dilakukan pemeriksaan kepala, dada
(terutama jantung), abdomen dan ekstremitas. Pola pernapasan—seperti
Cheyne-Stokes, apneustik, hiperventilasi neurogenik—perlu diperhatikan
karena dapat menjadi petunjuk lokas lesi. Pemeriksaan neurologis meliputi
pemeriksaan batang otak seperti refleks cahaya pupil, refleks kornea dan
refleks okulosefalik. Setelah itu dilakukan pemeriksaan nervus kranialis satu
persatu, pemeriksaan motorik (dibandingkan kanan-kiri, atas-bawah untuk
menentukan kemungkinan lokasi lesi), pemeriksaan sensorik dan otonom
(terutama retensio atau inkontinensia urin dan alvi).

C. Pemeriksaan Imaging
Pemeriksaan imaging yang dapat dilakukan pada pasien stroke adalah:
1. Computed tomography
CT scan darurat tanpa kontras adalah alat diagnostik pertama yang
paling penting digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan
mengesampingkan setiap perdarahan atau stroke hemoragik. Berdasarkan
hasil CT dan onset gejala, seorang pasien dapat menjadi kandidat untuk
terapi fibrinolitik.35
Temuan pada CT scan tergantung pada usia infark. Pada fase
hiperakut (kurang dari 12 jam), peran utama CT otak non-kontras adalah
39

menyingkirkan hematoma intrakranial. Kadang-kadang trombus intra-


arteri memiliki atenuasi tinggi di NCCT dan dapat dideteksi. Fenomena
ini disebut "tanda pembuluh hiperdens". Pada infark akut (12 hingga 24
jam), NCCT dapat menunjukkan hilangnya diferensiasi dari substantia
nigra dan substantia alba karena peningkatan kadar air akibat edema
sitotoksik. Pada infark subakut (24 jam hingga 5 hari), NCCT
menunjukkan edema vasogenik dengan efek massa dan margin yang
jelas. Risiko efek massa dan herniasi tinggi pada tahap ini. Dalam
temuan lama (dalam beberapa minggu setelah stroke), NCCT
menunjukkan hilangnya volume parenkim otak dan hipoattenuasi yang
kompatibel dengan ensefalomalasia.31

2. Magnetic Resonance
Mengingat kontras MRI jaringan lunak yang lebih tinggi, MRI
lebih unggul daripada CT pada fase hiperakut dan akut. MRI otak
dilakukan dengan dan tanpa kontras gadolinium IV, dan digunakan untuk
mengevaluasi stroke iskemik akut, serangan iskemik transien (TIA), dan
lesi otak hemoragik.31
MRI berbobot difusi (diffusion-weighted imaging) dapat
mengkonfirmasi diagnosis dan juga mengungkapkan ukuran dan lokasi
infark. Ini tidak dianggap sebagai pencitraan first line karena waktu yang
dibutuhkan untuk mendapatkan gambar dan kurangnya ketersediaan.
Protokol MRI lain terutama diffusion-perfusion mismatch
menggambarkan area jaringan berisiko yang dapat diselamatkan dengan
perawatan dini dan mengidentifikasi pasien yang mendapat manfaat dari
terapi reperfusi setelah 4,5-6 jam awal stroke iskemik akut.35
40

Gambar 2.7 Gambaran radiologis pada kasus stroke iskemik A) CT angiografi


menunjukkan oklusi MCA kanan (panah). B) Pencitraan Difusi MR menunjukkan difusi
kecil yang abnormal di hemisfer kanan. C) Pencitraan Perfusi MR menampilkan
kelainan yang melibatkan seluruh wilayah MCA kanan. D) CT scan kepala lanjutan
menunjukkan infark di daerah corona radiata kanan dan sebagian kecil korteks
serebral.31

3. Digital Substraction Angiography (DSA)


Visualisasi dan kuantifikasi aliran darah sangat penting untuk
diagnosis dan evaluasi pengobatan penyakit serebrovaskular. Angiografi
serebral berbasis kateter atau Digital Substraction Angiography (DSA)
tetap menjadi standar emas untuk stenosis arteri karotis, vaskulitis,
aneurisma serebral, dan malformasi serebrovaskular karena menawarkan
resolusi spasial yang tinggi.36
Sebagian besar pasien stroke iskemik menunjukkan stenosis arteri
pada angiografi, yang biasanya dilakukan 6 sampai 8 jam setelah masuk
rumah sakit. DSA adalah prosedur invasif; oleh karena itu, ini bukan
modalitas pencitraan pilihan pertama, kecuali untuk mengevaluasi pasien
yang mengalami SAH. Selain nilai diagnostik, angiografi memungkinkan
ahli intervensi untuk mengobati pembuluh darah yang tersumbat atau
stenotik atau malformasi vaskular.31

4. Transcranial Doppler
Sedangkan alat diagnostik lainnya yang dapat digunakan untuk
menjangkau sistem pembuluh darah serebral secara non invasive adalah
Trancranial Doppler (TCD). Alat ini tidak mahal, aman dan sangat dapat
diandalkan jika dibandingkan dengan teknik lainnya. Pemeriksaan dapat
diulang beberapa kali dan dapat digunakan untuk melakukan pemantauan
berkelanjutan jika diperlukan. Metode ini berguna untuk mengevaluasi
adanya lesi oklusi pembuluh intracranial dengan banyak indikasi yang
muncul dalam penatalaksanaan stroke iskemik.
41

D. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium dilakukan untuk menentukan kesehatan
dasar pasien dan memberikan petunjuk terhadap etiologi stroke. Beberapa
laboratorium dasar termasuk panel metabolisme, hitung darah lengkap
dengan diferensial, Karakteristik Penderita lipid, hemoglobin A1c (HbA1c),
nitrogen urin darah (BUN), kreatinin, albumin, dan laju filtrasi glomerulus
(GFR). Di antaranya, gula darah acak, jumlah trombosit dan PT/PTT penting
untuk menentukan apakah pasien perlu menggunakan trombolisis IV. Pada
pasien yang lebih muda dengan gejala stroke, pemeriksaan laboratorium lain
yang mungkin dapat dilakukan termasuk panel koagulasi, faktor rheumatoid
(RF), antibodi antinuklear (ANA), dan penanda lain untuk vaskulitis.35

Tatalaksana
Tatalaksana stroke iskemik akut berdasarkan AHA tahun 2018 adalah:
1. Pada pasien dengan onset 6-16 jam, dapat dilakukan pemeriksaan dengan CT
Perfusion, DW-MRI, atau MR Perfusion untuk mempertimbangkan
trombektomi mekanik
2. Hanya pemeriksaan gula darah saja yang dilakukan sebelum pemberian
trombolisis IV. Apabila terdapat riwayat penggunaan antikoagulan
sebelumnya baru dilakukan pemeriksaan seperti INR, PT, dan aPTT.
3. Pemberian Alteplase sebaiknya dalam waktu 3 jam onset atau 3-4,5 jam
onset.
4. Persyaratan untuk trombolisis intravena adalah:
a. Stroke berat masih dapat dipertimbangkan untuk dilakukan trombolisis,
selagi memberikan manfaat, kecuali ada risiko untuk menjadi
perdarahan.
b. Pasien dengan gagal ginjal stadium akhir yang menjalani hemodialisis
dengan aPTT normal direkomendasikan untuk dilakukan trombolisis
c. Pada pasien tanpa riwayat trombositopenia, inisiasi trombolisis dapat
dilakukan sambil menunggu hasil hitung trombosit, dan jika didapatkan
hasil <100.000/ul maka trombolisis dapat dihentikan.
d. Pada pasien tanpa riwayat penggunaan antikoagulan oral, maka
trombolisis dapat dimulai hingga ketersedian hasil, jika INR > 1,7 atau
42

PT yang abnormal maka trombolisis harus dihentikan.

e. Pasien yang berusia di atas 80 tahun masih dapat mendapatkan manfaat


trombolisis yang sama efektifnya dengan usia yang lebih muda
f. Kejang bukan merupakan kontraindikasi selagi merupakan komplikasi
stroke dan dapat diberikan terapi trombolisis dan kecuali stroke
merupakan suatu fenomena post iktal (Todd Paralisis)
g. Gula darah yang <50 atau > 400 mg/dl dapat diberikan trombolisis selagi
mampu nilainya dinormalkan
h. Pasien dengan riwayat keganasan dapat memperoleh manfaat dari terapi
trombolisis jika ekspetasi harapan hidup > 6 bulan dan tidak ada
kontraindikasi lainnya
5. Trombektomi mekanik pada panduan 2018 mendapatkan rekomendasi kelas 1
dan tingkat bukti A yang merujuk pada 2 trial tahun-tahun sebelumnya
DAWN dan DEFUSE 3.
6. Trombolisis intra-arteri masih mendapatkan rekomendasi kelas 1 walaupun
trombektomi mekanik memberikan luaran yang baik.
7. Penggunaan antiplatelet seperti Ticagrelor tidak direkomendasikan, tetapi
dapat menjadi alternatif jika terdapat kontraindikasi penggunaan Aspirin.
8. Pemberian antikoagulan segera sebagai preventif stroke sekunder dam
pemberian albumin dosis tinggi tidak perlu dilakukan
9. Saat ini belum ada satupun obat yang direkomendasikan untuk agen
neuroprotektif.

Hingga saat ini, trombolisis intravena dengan alteplase adalah satu-satunya


terapi yang diakui di dunia untuk tatalaksana kasus stroke iskemik akut. Alteplase
merupakan agen trombolitik selektif fibrin yang memecah fibrin menjadi produk
degenerasi fibrin, yang pada akhirnya dapat menghancurkan thrombus sehingga
kembali terjadi rekanalisasi pada arteri yang teroklusi. Grup studi National
Insititute of Neurological Disorders and Stroke (NINDS) pada tahun 1995 telah
melakukan studi penggunaan alteplase 0,9mg/kgBB pada pasien stroke iskemik
akut yang diberikan dalam waktu 3 jam pascaawitan. Hasil studi tersebut
menunjukkan kelompok yang diberikan alteplase memiliki setidaknya 30%
43

kecenderungan lebih besar untuk mengalami disabilitas minimal atau pemulihan


total dibandingkan kelompok plasebo.
Komplikasi utama terapi trombolitik adalah perdarahan. Perdarahan
intrakranial dapat timbul pada 7% - 8% pasien. Pasien stroke berat lebih mungkin
mengalami komplikasi perdarahan, tapi tidak ada bukti bahwa grup ini tidak
mendapat manfaat dari trombolitik intravena. Pasien usia lebih tua tidak
mengalami peningkatan risiko perdarahan, walaupun hasil keluaran lebih buruk
dan mortalitas lebih tinggi. Di samping usia dan skor NIHSS, faktor risiko
perdarahan intrakranial termasuk hipodensitas pada Computed Tomography (CT)
scan, kenaikan kadar gula darah, dan oklusi persisten arteri proksimal setelah 2
jam pemberian tPA intravena. Perdarahan sistemik dilaporkan terjadi 0,4%
sampai 1,5% pasien. Rekomendasi penatalaksanaan perdarahan intrakranial atau
sistemik setelah terapi trombolitik dengan pemberian kriopresipitat dan trombosit
walaupun bukti yang ada saat ini masih kurang. Komplikasi lain termasuk
angioedema wajah pada 1% sampai 5% pasien. Pada kebanyakan kasus, gejala
tersebut ringan dan cepat membaik, namun dapat membahayakan jika angioedema
yang terjadi menutupi jalan napas. Penatalaksanaan yang dapat diberikan adalah
dengan glukokortikoid dan antihistamin.
Trombolitik intravena efektif untuk rekanalisasi pembuluh darah kecil
(small vessel), sedangkan pembuluh darah besar lebih efektif menggunakan
pendekatan endovaskuler, yakni trombolisis IA atau trombektomi mekanik
Trombolisis intra-arterial memiliki beberapa manfaat dibanding
trombolisis intravena. Sebelum dilakukan trombolisis intra-arterial, dilakukan
DSA serebral. DSA serebral merupakan imejing terbaik untuk menganalisa
kondisi pembuluh darah otak dan leher. Hal ini tentu memberi dampak positif
analisa kasus yang lebih tajam, dan berkaitan dengan proses pengambilan
keputusan yang tepat. Trombolisis intra-arterial memungkinkan pemberian rtPA
yang langsung menuju trombus. Hal ini membuat kemungkinan lisisnya trombus
menjadi lebih besar. Dosis yang diperlukan untuk trombolisis intra-arterial juga
relatif lebih kecil dibanding pemberian intravena, sehingga potensi perdarahan
akibat trombolisis juga berkurang.
44

Kelemahan trombolisis intra-arterial ialah perlunya tim khusus


neurointervensi, biaya yang relatif mahal, dan dibutuhkannya fasilitas cathlab,
yang jumlahnya masih terbatas, hanya tersedia di beberapa rumah sakit besar.
Prosedur trombektomi mekanik menitikberatkan pada penggunaan alat
tambahan khusus untuk menarik secara mekanik trombus yang menyumbat
pembuluh darah. Terdapat beberapa pilihan alat khusus tersebut, namun saat ini
yang paling banyak dipakai dan direkomendasikan ialah jenis stent retriever.
Pasien sebaiknya dilakukan terapi endovaskuler dengan stent retriever jika
memenuhi 5 kriteria berikut: (Class I, Level of Evidence A)
(1) Skor modified Rankin Scale pre-stroke (mRS 0-1)
(2) Stroke iskemik akut yang mendapat terapi IV rtPA dalam rentang 4,5 jam
dari onset sesuai dengan pedoman perkumpulan/organisasi profesional
(3) Oklusi pada arteri karotis interna atau arteri cerebri media proksimal
(M1)
(4) Usia 18 tahun atau lebih
(5) Skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) 6 atau lebih
(6) Skor Alberta Stroke Program Early Computed Tomography Score
(ASPECTS) 6 atau lebih
(7) Tindakan endovaskuler dapat dimulai (groin puncture) dalam rentang 6
jam dari onset gejala.
Sebagaimana pengobatan dengan IV rtPA, reduksi waktu dari onset gejala
terhadap tindakan reperfusi endovaskuler sangat berkaitan dengan hasil keluaran
klinis yang lebih baik. Untuk meningkatkan kemanfaatannya, target reperfusi
hingga TICI derajat 2b/3 haruslah dicapai sedini mungkin dan dalam rentang 6
jam dari onset stroke (Class I, Level of Evidence B)
45

B.2. Kerangka Teori


LDL tinggi dan Aktivitas fisik
Usia Jenis Kelamin Hipertensi Diabetes Melitus Merokok
Hipertrigliserida

Jumlah Peningkatan tek Aktivitas fisik yg


Estrogen Hiperglikemia 1. Mengganggu aktivitas mitokondria sel Nikotin dan zat
elastin intralumen  cukup dapat
berperan dalam mengaktifkan jalur  prod ROS dan oksidan bebas, lainnya yg belum
berkurang, kontraksi otot polos menghambat apoptosis
mencegah yg merusak spt menekan NO oksidase diketahui
hipertrofi (vasokonstriksi) dan saraf dengan
atherosclerosis, NADPH oksidase, 2. Mengganggu aliran darah serebral mengganggu
sel otot mengaktivasi merangsang
dengan cara protein kinase C, dengan menurunkan sintesis dan aktivitas Nitrit
polos NADPH oksidase  pelepasan faktor pertumbuhan endotel phosphatidylinositol-
menekan hexosamine  Oksida
menghasilkan spesies vaskular (VEGF). 3-kinase/protein B
pelepasan produksi ROS +
oksigen reaktif (ROS) 3. Merusak BBB dengan merangsang (PI3K/Akt),
mediator meningkatkan NF-
inflamasi dan beberapa jalur inflamasi seperti ATF-3, meningkatkan kadar
Kekakuan KB + menekan NO
memperlambat inflamasi NRLP3, NF-κB, tumor Meningkatkan antioksidan, dan
pembuluh oksidase
proses ROS  menginduksi sitokin necrosis factor-α (TNF-α), dan sitokin inflamasi  meningkatkan fungsi
darah interleukine-6 (IL-6),
apoptosis sel inflamasi dan melepaskan IL-6, TNFα, protein mitokondria
meningkat
oksidan bebas (MMP-9, C-reaktif
glutathione)

Jaringan adiposa yang


berlebihan
Cedera endotel menyebabkan sekresi Obesitas
adipokin proinflamasi
yang berlebihan
pelepasan
Atherosklerosis
thrombus yang
Penyakit terbentuk akibat
stasis aliran Emboli Oklusi pembuluh darah otak
Jantung
darah dalam
jantung.
Stroke Iskemik
46

B.3. Kerangka Konsep

Faktor risiko stroke :


1. Usia
2. Jenis kelamin
3. Aktivitas fisik
4. Merokok
5. Obesitas
6. Hipertensi
7. Diabetes melitus
8. LDL tinggi
9. Hipertrigliserida
10. Penyakit jantung
11. Riwayat TIA/stroke sebelumnya
12. Riwayat TIA/stroke dalam keluarga

Stroke iskemik Bukan stroke


47

BAB III
METODE PENELITIAN

3.1. Desain Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif analitik dengan desain case control
dengan menggunakan data primer dari pasien yang dirawat inap di RSUP Dr.
Mohammad Husein Palembang. Semua data akan dikumpulkan melalui wawancara
secara langsung kepada pasien atau keluarga pasien dan mengisi kuesioner (setelah
sebelumnya mendapatkan informed consent).

3.2. Tempat dan Waktu


Pengambilan data akan dilakukan di instalasi rawat inap RSUP Dr. Mohammad
Hoesin Palembang periode 1 Maret 2023 – 31 Agustus 2023 dengan mencatat semua
data sesuai variabel yang diteliti.

3.3. Populasi dan Sampel Penelitian


3.3.1. Populasi Penelitian
Populasi penelitian adalah pasien yang dirawat inap di ruang rawat inap neurologi
dan penyakit dalam (divisi kardiologi, endokrinologi, alergi-immunologi, ginjal-
hipertensi) di RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang , yang masuk rawat inap
terhitung tanggal 1 Maret 2023.

3.3.2. Sampel Penelitian


Data yang akan didapatkan dalam penelitian ini adalah kategorik dan tidak
berpasangan, maka besar sampel minimal diperoleh dengan menggunakan rumus :

(
Zα √ 2 PQ + Zβ √ P 1 Q1 + P2 Q 2
)
2

n1=n2=
P1 − P2
Keterangan:
n = Besar sampel
Zα = Kesalahan tipe I sebesar 5%, sehingga ditetapkan nilai 1,96
Zβ = Kesalahan tipe II sebesar 20%, sehingga ditetapkan nilai 0,84
P2 = proporsi pajanan pada kelompok kontrol sebesar 0,1
Q2 = 1 – 0,1 = 0,9
48

P1 – P2 = selisis proporsi pajanan minimal yang dianggap bermakna, ditetapkan sebesar 0,2.
P1 = P2 + 0,2 = 0,1 + 0,2 = 0,3
Q1 = 1 – P1 = 1 – 0,3 = 0,7
P = (P1 + P2)/2 = (0,3 + 0,1)/2 = 0,2
Q = 1 – P = 1 – 0,2 = 0,8
Lalu, dimasukkan nilai-nilai di atas pada rumus, diperoleh :

( )
2
Zα √ 2 PQ + Zβ √ P 1 Q1 + P2 Q 2
n1=n2=
P1 − P2

( )
2
1 , 96 √ 2 x 0 ,2 x 0 , 8+ 0 ,84 √ 0 ,3 x 0 ,7+ 0 ,1 x 0 , 9
=
0 , 3− 0 , 1
= 61,53 (dibulatkan menjadi 62)

Berdasar perhitungan, didapatkan jumlah sampel minimal sebanyak 62 sampel.


Selanjutnya, cara pengambilan sampel penelitian diambil berurutan dengan
consecutive sampling berdasar pasien yang masuk instalasi rawat inap sampai
terpenuhi besar sampel minimal

3.4. Kriteria Inklusi dan Eksklusi


3.4.1. Kriteria Inklusi Kelompok Kasus
1. Usia pasien ≥ 18 tahun
2. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani surat informed
consent
3. Pasien yang sedang dirawat dengan diagnosis stroke iskemik.

3.4.2. Kriteria Inklusi Kelompok Kontrol


1. Usia pasien ≥ 18 tahun
2. Bersedia mengikuti penelitian dengan menandatangani surat informed
consent
3. Pasien yang sedang dirawat dengan diagnosis selain stroke. Pasien
dilakukan matching untuk faktor jenis kelamin dan usia. Untuk faktor
usia, sampel kontrol akan disesuaikan dengan sampel kasus, dengan
rentang ± 2 tahun.
49

3.4.3. Kriteria Eksklusi Kelompok Kasus


Pasien yang dieksklusi dari kelompok kasus adalah pasien yang dicurigai stroke
dan meninggal sebelum sempat dilakukan CT scan non kontras dan atau
pemeriksaan profil lipid dan gula darah puasa.

3.4.4. Kriteria Eksklusi Kelompok Kontrol


Adapun kriteria eksklusi dari kelompok kontrol adalah pasien yang meninggal
sebelum dilakukan anamnesis lengkap, pemeriksaan profil lipid dan gula darah
puasa.

3.5. Variabel Penelitian


3.5.1. Variable independent/ variabel bebas pada penelitian ini adalah:
a. Usia
b. Jenis kelamin
c. Aktivitas fisik
d. Obesitas
e. Merokok
f. Hipertensi
g. Diabetes melitus
h. Penyakit jantung
i. LDL tinggi
j. Hipertrigliserida
k. Riwayat TIA/stroke sebelumnya
l. Riwayat TIA/stroke dalam keluarga

3.5.2. Variabel dependen/ variabel terikat:


Pasien yang dirawat dengan diagnosis stroke iskemik
50

3.6. Alur Penelitian

Pasien yang dirawat di ruang rawat inap bagian neurologi dan


penyakit dalam RSMH Palembang

Kriteria Inklusi

Kriteria Kelompok Matching : jenis Kelompok Kriteria


Eksklusi kasus kelamin dan usia kontrol Eksklusi

Pencatatan data Pencatatan data

analisis data

Penyajian data
51

3.7.Definisi Operasional Penelitian


No. Variabel Definisi Operasional Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Ukur
1 Usia Usia pasien saat dirawat yang dinyatakan Tanda pengenal Usia dalam 1 = <45 tahun Nominal
dalam tahun dan tercantum dalam rekam tahun 2 = ≥45 tahun
medik.

2 Jenis Kelamin Jenis kelamin pasien yang ditentukan Tanda pengenal Observasi 1 = Laki-laki, Nominal
melalui pemeriksaan fisik dan tercantum 2 = Perempuan
dalam rekam medis.

3 Aktivitas fisik Individu diklasifikasikan sebagai aktif secara Anamnesis Kuesioner 1 = Aktif Nominal
fisik jika mereka secara teratur terlibat dalam 2 = Tidak aktif
aktivitas derajat sedang (contoh berjalan cepat,
berlari pelan) selama minimal 10 menit 4 kali
dalam seminggu, atau melakukan aktivitas
berat (contoh mengangkut beban berat, sepak
bola, mendaki gunung) selama minimal 20
menit 2 kali seminggu, selama 1 tahun
terakhir. Jenis Aktivitas fisik dibagi
berdasarkan Kemenkes RI.

4 Merokok Merokok pada penelitian ini adalah orang Anamnesis Kuesioner 1 = Ya Nominal
yang menghisap rokok minimal 1 2 = Tidak
batang/hari selama 1 tahun terakir

5 Obesitas Kelebihan berat badan akibat akumulasi lemak Meteran dan Berat badan 1 = Ya Nominal
dengan nilai Indeks Massa Tubuh (IMT) ≥ 25 timbangan yang diukur dengan 2 = Tidak
sudah dikalibrasi timbangan dalam
kilogram, tinggi
52

badan diukur
dengan meteran
dalam meter.
Indeks massa
tubuh dihitung
dengan membagi
berat badan
dengan kuadrat
tinggi badan

6 Hipertensi Riwayat didiagnosis hipertensi oleh dokter, Anamnesis dan Tekanan darah 1 = Ada Nominal
dan atau mengkonsumsi obat antihipertensi tensimeter diukur dengan 2= Tidak ada
selama 2 minggu terakhir, atau TDS ≥ 140 tensimeter
mmHg dan atau TDD ≥ 90 mmHg

7 Diabetes Riwayat didiagnosa diabetes mellitus oleh Anamnesis dan Glukosa darah 1 = Ada Nominal
melitus dokter dan atau menggunakan insulin dan laboratorium diukur dengan 2 = Tidak ada
atau obat antidiabetic oral, atau gula darah alat ukur/
puasa ≥ 126 mg/ dL. laboratorium

8 Penyakit Riwayat didiagnosa memiliki penyakit Anamnesis, Observasi 1 = Ada Nominal


jantung jantung oleh dokter atau ditemukan adanya EKG/ 2 = Tidak ada
kelainan dari hasil pemeriksaan EKG echocardiografi

9 LDL tinggi Riwayat didiagnosis memiliki penyakit Anamnesis dan Cek LDL di 1 = Ada Nominal
hiperkolesterolemia oleh dokter dan atau laboratorium laboratorium 2 = Tidak ada
kadar LDL > 100mg/dL

10 Hipertrigliserida Riwayat didiagnosis memiliki penyakit Anamnesis dan Cek Trigliserida 1 = Ada Nominal
hipertrigliserida oleh dokter dan atau kadar laboratorium di laboratorium 2 = Tidak ada
trigliserida >150mg/dL
53

11 Riwayat Riwayat didiagnosa TIA/stroke oleh dokter Anamnesis Kuesioner 1 = Ada Nominal
TIA/stroke sebelumnya. 2 = Tidak ada
sebelumnya

12 Riwayat Riwayat TIA/stroke yang dialami orang tua Anamnesis Kuesioner 1 = Ada Nominal
TIA/stroke kandung pasien yang didiagnosa oleh dokter. 2 = Tidak ada
dalam keluarga
54

3.8. Cara Kerja

1. Semua pasien yang dirawat inap di bagian neurologi yang diduga


mengalami stroke dilakukan CT scan otak. Setelah diagnosis stroke
dikonfirmasi CT scan, peserta yang setuju untuk berpartisipasi
dalam studi direkrut secara berurutan, kuesioner yang sudah dibuat
oleh peneliti, diberikan ke pasien untuk diisi bagi pasien yang
mampu berkomunikasi. Untuk pasien yang tidak mampu
berkomunikasi, persetujuan dan informasi diperoleh melalui
keluarga yang menunggu. Beberapa data dasar seperti nama, usia,
jenis kelamin, dan alamat dilihat dari rekam medis.
2. Selanjutnya, kelompok kontrol dipilih dari ruang rawat inap bagian
penyakit dalam menggunakan metode consecutive sampling. Ini
dilakukan setelah mendapatkan kasus. Kelompok kontrol akan
dicocokkan (matching) untuk faktor jenis kelamin dan usia, dengan
rasio kelompok kasus dan kelompok kontrol adalah 1 : 1.
3. Adapun data yang diambil sesuai dengan variabel penelitian yang
akan diteliti mencakup: usia, jenis kelamin, aktivitas fisik,
merokok, indeks massa tubuh, hipertensi, diabetes melitus,
penyakit jantung, penyakit ginjal, LDL, trigliserida, Riwayat
TIA/stroke sebelumnya, Riwayat TIA/stroke keluarga.
4. Data yang sudah didapat kemudian dianalisis secara deskriptif,
dilanjutkan dengan analisis bivariat untuk mengetahui hubungan
tiap faktor resiko terhadap kejadian stroke iskemik, apakah
memiliki hubungan yang positif atau negatif, dan seberapa besar
pengaruhnya. Untuk data yang bersifat nominal dan ordinal,
peneliti menggunakan uji chi square bila memenuhi syarat. Bila
tidak memenuhi syarat, akan digunakan uji alternatif seperti fischer
exact test. Terakhir, dilakukan analisis multivariat regresi logistic
untuk mendapatkan faktor risiko yang dominan.
55

3.9. Cara Pengolahan Data


Pengolahan data dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
1. Entry data, tahapan ini dilakukan dengan memasukkan data yang
didapat ke dalam tabel dalam bentuk Excel
2. Cleaning data, tahapan ini dilakukan dengan menyocokkan data
dan angka yang didapat sebenarnya
3. Edit data, tahapan ini dilakukan dengan memeriksa kelengkapan
dan kejelasan data yang didapatkan sesuai yang tercantum pada
formulir
4. Pengkodean, tahapan ini dilakukan dengan memberi kode pada
setiap informasi atau data yang telah terkumpul untuk
mempermudah pengolahan data
5. Data kemudian akan diolah dengan menggunakan SPSS 24.

3.10. Cara Penyajian Data


Data yang telah diolah akan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel.
Narasi akan disajikan pada setiap variabel penelitian.

Tabel 3.1 Dummy Table karakteristik penderita stroke iskemik berdasarkan


faktor risikonya.
Persentase
Faktor Risiko Jumlah
(%)
Usia
56
<45 tahun
≥ 45 tahun

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

Aktivitas fisik
Aktif
Tidak aktif

Merokok
Ya
Tidak

Obesitas
Ya
Tidak

Hipertensi
Ada
Tidak ada

Diabetes Melitus
Ada
Tidak Ada

Penyakit Jantung
Ada
Tidak ada

LDL tinggi
Ada
Tidak ada

Hipertrigliserida
Ada
Tidak ada

Riwayat TIA/ stroke


sebelumnya
Ada
Tidak ada

Riwayat TIA/Stroke
Keluarga
Ada
Tidak Ada

Diagnosis
57

Tabel 3.2. Dummy table Hubungan faktor risiko dengan stroke


Kelompok Kelompok OR (95%
Faktor Risiko
Kasus Kontrol Confidence Intrval)
Usia
<45 tahun
≥ 45 tahun

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

Aktivitas fisik
Aktif
Tidak aktif

Merokok
Ya
Tidak

Obesitas
Ya
Tidak

Hipertensi
Ada
Tidak ada

Diabetes Melitus
Ada
Tidak Ada

Penyakit Jantung
Ada
Tidak ada

LDL tinggi
Ada
Tidak ada

Hipertrigliserida
Ada
Tidak ada
58

Riwayat TIA/ stroke


sebelumnya
Ada
Tidak ada

Riwayat TIA/Stroke
Keluarga
Ada
Tidak Ada

Tabel 5. Dummy table hubungan faktor risiko dengan stroke (Logistik regresi
multivariat)
95% Confidence
Faktor Risiko OR Signifikan
Intrval
Usia
<45 tahun
≥ 45 tahun

Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan

Aktivitas fisik
Aktif
Tidak aktif

Merokok
Merokok
Tidak merokok

Indeks Massa Tubuh


Kurang
Normal
Overweight
Obese

Hipertensi
Ada
Tidak ada
59

Diabetes Melitus
Ada
Tidak Ada

Penyakit Jantung
Ada
Tidak ada

LDL tinggi
Ada
Tidak ada

Hipertrigliserida
Ada
Tidak ada

Riwayat TIA/ stroke


sebelumnya
Ada
Tidak ada

Riwayat TIA/Stroke
Keluarga
Ada
Tidak Ada

Anda mungkin juga menyukai