Gerontologi Kelompok 2 Kesehatan
Gerontologi Kelompok 2 Kesehatan
KESEHATAN
Oleh Kelompok 2 :
• Adytia Sulastiani 225059078
• Nabila Aprilia Abdilah 225059062
• Rizki Maryanti 235059004
• Syaiful Bahri 235059012
Kondisi kesehatan lansia dapat dilihat dari dua indikator kesehatan dasar yang dihasilkan dari kegiatan
Susenas Maret 2022. Indikator pertama adalah persentase lansia yang mengalami keluhan kesehatan,
yakni keadaan seseorang lansia yang mengalami gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena
gangguan/penyakit yang sering dialami seperti panas, batuk, pilek, diare, sakit kepala, maupun karena
penyakit akut, penyakit karena kecelakaan, kriminalitas atau keluhan kesehatan lainnya. Keluhan yang
dicatat adalah keluhan fisik maupun psikis yang dialami lansia selama kurun waktu sebulan terakhir.
Indikator kedua adalah angka kesakitan (morbiditas) lansia, yaitu kondisi ketika seseorang lansia
mengalami keluhan kesehatan dan menyebabkan terganggunya aktivitas atau kegiatan sehari-hari.
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan
penduduk (Kemenkes, 2021). Semakin tinggi angka kesakitan, menunjukkan derajat kesehatan
penduduk semakin buruk. Sebaliknya, semakin rendah angka kesakitan, derajat kesehatan penduduk
akan semakin baik.
• Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, persentase lansia yang mengalami keluhan
kesehatan relatif menurun seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Pada tahun 2022, tercatat
sekitar 42,09 persen lansia mengalami keluhan kesehatan. Persentase tersebut turun lebih dari
9 persen poin dibandingkan tahun 2018.
• Secara umum, angka kesakitan lansia memiliki pola yang sama dengan persentase lansia
yang mengalami keluhan kesehatan. Angka kesakitan lansia pada tahun 2022 sebesar 20,71
persen. Dengan kata lain, sekitar satu dari lima lansia di Indonesia mengalami sakit dalam
sebulan terakhir.
• Secara umum, setengah dari lansia yang
memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan
terakhir terganggu aktivitasnya (sakit).
Persentase lansia yang mengalami keluhan
kesehatan maupun yang sakit tidak terlalu
berbeda jika dilihat berdasarkan jenis
kelamin (Gambar 4.2).
• Menurut kelompok umur, angka kesakitan
lansia meningkat seiring bertambahnya umur
lansia. Sekitar 1 dari 4 lansia yang berumur 80
tahun ke atas mengalami sakit (24,55 persen).
Hal ini terjadi karena seiring bertambahnya
usia, kondisi fisik semakin menurun, dan makin
rentannya mereka mengalami keluhan
kesehatan dan sakit (TNP2K, 2020).
• Di sisi lain, angka kesakitan lansia penyandang
disabilitas hampir dua kali lebih besar
dibandingkan lansia nondisabilitas (34,60
persen berbanding 18,82 persen).
• Sementara jika dilihat berdasarkan klasifikasi
desa, angka kesakitan lansia di perdesaan
lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (23,92
persen berbanding 18,20 persen).
2.TINDAKAN PENGOBATAN
• Segala bentuk keluhan kesehatan, baik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari maupun tidak,
seharusnya diobati sehingga tidak berlarut-larut agar
lansia bisa kembali sehat dan beraktivitas normal.
• Beberapa tindakan pengobatan yang menjadi
alternatif pilihan bagi lansia untuk meredakan
keluhan kesehatan yang dirasa yakni secara mandiri
(mengobati sendiri) atau dengan mengunjungi
tempat pelayanan kesehatan (rawat jalan). Namun
demikian, masih ada beberapa lansia yang bahkan
tidak melakukan pengobatan sama sekali ketika
memiliki keluhan kesehatan.
• Mayoritas lansia yang mengalami keluhan
kesehatan sudah berupaya melakukan tindakan
pengobatan atas keluhan kesehatan yang mereka
alami, baik dengan cara mengobati sendiri maupun
rawat jalan. Meskipun demikian, masih ada 2,32
persen lansia yang enggan untuk mengobati
keluhan kesehatan yang mereka alami (Gambar
4.3).
• Ketika seseorang sakit, terlebih bagi lansia,
hendaknya segera memeriksakan diri ke dokter
karena berisiko mengalami sakit yang lebih parah
jika dibiarkan berlarut-larut (Adventhealth, 2020). Hal
lain yang perlu diperhatikan, persentase lansia
penyandang disabilitas yang memilih untuk tidak
melakukan pengobatan apapun lebih besar
dibandingkan lansia nondisabilitas (3,42 persen
berbanding 2,13 persen).
• Secara umum, hampir separuh lansia yang memiliki
keluhan kesehatan mengobati keluhan kesehatan
yang mereka alami secara mandiri tanpa rawat
jalan (47,73 persen).
Lansia enggan untuk rawat jalan karena berbagai alasan.
Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, mayoritas lansia tidak
rawat jalan karena mengobati sendiri. Alasan terbanyak
berikutnya adalah karena merasa tidak perlu. Hal ini dapat
dikarenakan keluhan kesehatan yang dialami masih ringan
sehingga merasa tidak perlu berkonsultasi kepada tenaga
kesehatan. Namun demikian, masih ada sekitar 1,52 persen
lansia yang tidak rawat jalan ketika mengalami keluhan
kesehatan dikarenakan tidak ada biaya.
• Beragam pilihan fasilitas pelayanan
kesehatan sesungguhnya telah tersedia
bagi lansia untuk melakukan rawat
jalan. Terlebih ketika mengobati sendiri
tidak cukup untuk menghilangkan
keluhan kesehatan, lansia perlu
berkonsultasi kepada tenaga kesehatan
untuk mengobati keluhannya. Dilihat
dari jenis fasilitas kesehatan (Gambar
4.5).
• Puskesmas/Pustu menjadi tujuan
favorit lansia yang rawat jalan dengan
persentase tertinggi yakni 38,27 persen.
Selain itu, lebih dari sepertiga lansia
yang rawat jalan memilih praktik
dokter/bidan untuk mengobati keluhan
kesehatannya (35,57 persen).
Persentase lansia yang rawat jalan ke
rumah sakit pemerintah sedikit lebih
besar dibandingkan dengan rumah
sakit swasta. Di sisi lain, hanya sebagian
kecil saja lansia yang melakukan
pengobatan tradisional/alternatif.
• Gambar 4.6 menunjukkan sekitar 4 hingga 5 dari 100 lansia di
Indonesia pernah dirawat inap dalam setahun terakhir (4,72
persen). Persentase lansia laki-laki yang pernah dirawat inap lebih
tinggi dibandingkan lansia perempuan (5,32 persen berbanding 4,15
persen). Informasi yang juga perlu menjadi perhatian adalah
persentase lansia penyandang disabilitas yang pernah dirawat inap
dua kali lebih besar dibandingkan kelompok lansia bukan
penyandang disabilitas (8,76 persen berbanding 4,17 persen).
• Persentase lansia yang pernah dirawat inap menurun sering
dengan meningkatnya status kesejahteraan lansia (yang
digambarkan dengan distribusi pengeluaran). Seperti yang terlihat
pada Gambar 4.6 di atas, setidaknya 7,56 persen lansia yang
berasal dari distribusi pengeluaran 40% terbawah pernah dirawat
inap dalam setahun terakhir. Berdasarkan klasifikasi desa,
persentase lansia di perkotaan yang pernah dirawat inap sedikit
lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (5,04 persen berbanding
4,31 persen).
• Informasi mengenai lokasi rawat inap
tersedia pada Gambar 4.7. Dapat dilihat
bahwa rumah sakit merupakan fasilitas
kesehatan yang menjadi pilihan oleh
sebagian besar lansia untuk rawat inap, di
mana lansia yang dirawat inap di rumah
sakit pemerintah sebanyak 42,07 persen dan
rumah sakit swasta sebanyak 40,58 pesen.
Persentase tersebut cukup timpang jika
dibandingkan dengan persentase lansia
yang pernah dirawat inap di fasilitas
kesehatan lain seperti puskesmas,
klinik/praktik dokter bersama, praktik bidan,
dan lainnya.
• Salah satu hal yang dapat menjadi
penyebab adanya fenomena ini adalah
fasilitas di rumah sakit yang lebih lengkap
dibandingkan fasilitas kesehatan lain.
Selain itu, pada banyak wilayah memang
fasilitas rawat inap hanya tersedia di rumah
sakit sehingga wajar jika persentase lansia
yang pernah dirawat inap paling tinggi
adalah di rumah sakit.
• Tingkat keparahan penyakit dan daya tahan
tubuh menjadi salah satu faktor yang
menentukan lama waktu seorang lansia untuk
sembuh. Secara umum, lansia di Indonesia
membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 6 hari
untuk rawat inap. Seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 4.8, lansia penyandang
disabilitas memerlukan waktu rawat inap yang
lebih lama dibandingkan lansia nondisabilitas.
• Selain itu, terlihat pula bahwa lansia di
perkotaan memerlukan waktu rawat inap
yang lebih lama dibandingkan lansia di
perdesaan. Jika dilihat berdasarkan distribusi
pengeluaran, semakin tinggi status ekonomi
lansia maka semakin sedikit waktu yang
diperlukan untuk rawat inap. Yang cukup
menarik, semakin bertambah umur lansia,
kecenderungan waktu yang dibutuhkan untuk
rawat inap justru lebih singkat.
3. PEMANFAATAN JAMINAN KESEHATAN