Anda di halaman 1dari 23

Gerontologi

KESEHATAN
Oleh Kelompok 2 :
• Adytia Sulastiani 225059078
• Nabila Aprilia Abdilah 225059062
• Rizki Maryanti 235059004
• Syaiful Bahri 235059012

Dosen Pengampu: Dr. Susiana Nugraha, SKM, MN


PENDAHULUAN
Indonesia dihadapkan pada tantangan yang tidak
sedikit dalam menghadapi fenomena penuaan
penduduk. Salah satunya, bagaimana menjaga
kesehatan dan kualitas hidup penduduk lanjut usia.
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 menyebutkan
bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara
fisik, mental, spiritual maupun sosial yang
memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif
secara sosial dan ekonomis. Setiap orang membutuhkan
kondisi sehat baik secara fisik maupun psikis, agar tetap
dapat menikmati hidup, produktif dan bermanfaat, tidak
terkecuali bagi lansia.
LATAR BELAKANG
• Hidup lebih lama belum tentu berarti hidup dalam kondisi sehat. Terlebih,
prevalensi penyakit pada lansia mengalami peningkatan dari waktu ke
waktu, karena kerentanan terhadap penyakit meningkat seiring dengan
bertambahnya usia (Christensen, dkk., 2009).
• Pertambahan usia pada lansia cenderung diiringi dengan menurunnya
kapabilitas fungsional tubuh yang berdampak terhadap sistem imun tubuh.
Pada umumnya, penyakit yang dialami lansia merupakan penyakit yang
tidak menular, bersifat degeneratif, atau disebabkan oleh faktor usia,
misalnya penyakit jantung, diabetes mellitus, stroke, rematik dan cidera
(Kemenkes, 2021).
• Di samping itu, biaya kesehatan tidak murah sehingga lansia yang tidak
mandiri secara ekonomi memerlukan perlindungan jaminan kesehatan.
1.KONDISI KESEHATAN LANSIA

Kondisi kesehatan lansia dapat dilihat dari dua indikator kesehatan dasar yang dihasilkan dari kegiatan
Susenas Maret 2022. Indikator pertama adalah persentase lansia yang mengalami keluhan kesehatan,
yakni keadaan seseorang lansia yang mengalami gangguan kesehatan atau kejiwaan, baik karena
gangguan/penyakit yang sering dialami seperti panas, batuk, pilek, diare, sakit kepala, maupun karena
penyakit akut, penyakit karena kecelakaan, kriminalitas atau keluhan kesehatan lainnya. Keluhan yang
dicatat adalah keluhan fisik maupun psikis yang dialami lansia selama kurun waktu sebulan terakhir.
Indikator kedua adalah angka kesakitan (morbiditas) lansia, yaitu kondisi ketika seseorang lansia
mengalami keluhan kesehatan dan menyebabkan terganggunya aktivitas atau kegiatan sehari-hari.
Angka kesakitan merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur derajat kesehatan
penduduk (Kemenkes, 2021). Semakin tinggi angka kesakitan, menunjukkan derajat kesehatan
penduduk semakin buruk. Sebaliknya, semakin rendah angka kesakitan, derajat kesehatan penduduk
akan semakin baik.
• Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, persentase lansia yang mengalami keluhan
kesehatan relatif menurun seperti yang terlihat pada Gambar 4.1. Pada tahun 2022, tercatat
sekitar 42,09 persen lansia mengalami keluhan kesehatan. Persentase tersebut turun lebih dari
9 persen poin dibandingkan tahun 2018.
• Secara umum, angka kesakitan lansia memiliki pola yang sama dengan persentase lansia
yang mengalami keluhan kesehatan. Angka kesakitan lansia pada tahun 2022 sebesar 20,71
persen. Dengan kata lain, sekitar satu dari lima lansia di Indonesia mengalami sakit dalam
sebulan terakhir.
• Secara umum, setengah dari lansia yang
memiliki keluhan kesehatan dalam sebulan
terakhir terganggu aktivitasnya (sakit).
Persentase lansia yang mengalami keluhan
kesehatan maupun yang sakit tidak terlalu
berbeda jika dilihat berdasarkan jenis
kelamin (Gambar 4.2).
• Menurut kelompok umur, angka kesakitan
lansia meningkat seiring bertambahnya umur
lansia. Sekitar 1 dari 4 lansia yang berumur 80
tahun ke atas mengalami sakit (24,55 persen).
Hal ini terjadi karena seiring bertambahnya
usia, kondisi fisik semakin menurun, dan makin
rentannya mereka mengalami keluhan
kesehatan dan sakit (TNP2K, 2020).
• Di sisi lain, angka kesakitan lansia penyandang
disabilitas hampir dua kali lebih besar
dibandingkan lansia nondisabilitas (34,60
persen berbanding 18,82 persen).
• Sementara jika dilihat berdasarkan klasifikasi
desa, angka kesakitan lansia di perdesaan
lebih tinggi dibandingkan di perkotaan (23,92
persen berbanding 18,20 persen).
2.TINDAKAN PENGOBATAN
• Segala bentuk keluhan kesehatan, baik yang
mengganggu aktivitas sehari-hari maupun tidak,
seharusnya diobati sehingga tidak berlarut-larut agar
lansia bisa kembali sehat dan beraktivitas normal.
• Beberapa tindakan pengobatan yang menjadi
alternatif pilihan bagi lansia untuk meredakan
keluhan kesehatan yang dirasa yakni secara mandiri
(mengobati sendiri) atau dengan mengunjungi
tempat pelayanan kesehatan (rawat jalan). Namun
demikian, masih ada beberapa lansia yang bahkan
tidak melakukan pengobatan sama sekali ketika
memiliki keluhan kesehatan.
• Mayoritas lansia yang mengalami keluhan
kesehatan sudah berupaya melakukan tindakan
pengobatan atas keluhan kesehatan yang mereka
alami, baik dengan cara mengobati sendiri maupun
rawat jalan. Meskipun demikian, masih ada 2,32
persen lansia yang enggan untuk mengobati
keluhan kesehatan yang mereka alami (Gambar
4.3).
• Ketika seseorang sakit, terlebih bagi lansia,
hendaknya segera memeriksakan diri ke dokter
karena berisiko mengalami sakit yang lebih parah
jika dibiarkan berlarut-larut (Adventhealth, 2020). Hal
lain yang perlu diperhatikan, persentase lansia
penyandang disabilitas yang memilih untuk tidak
melakukan pengobatan apapun lebih besar
dibandingkan lansia nondisabilitas (3,42 persen
berbanding 2,13 persen).
• Secara umum, hampir separuh lansia yang memiliki
keluhan kesehatan mengobati keluhan kesehatan
yang mereka alami secara mandiri tanpa rawat
jalan (47,73 persen).
Lansia enggan untuk rawat jalan karena berbagai alasan.
Sejalan dengan penjelasan sebelumnya, mayoritas lansia tidak
rawat jalan karena mengobati sendiri. Alasan terbanyak
berikutnya adalah karena merasa tidak perlu. Hal ini dapat
dikarenakan keluhan kesehatan yang dialami masih ringan
sehingga merasa tidak perlu berkonsultasi kepada tenaga
kesehatan. Namun demikian, masih ada sekitar 1,52 persen
lansia yang tidak rawat jalan ketika mengalami keluhan
kesehatan dikarenakan tidak ada biaya.
• Beragam pilihan fasilitas pelayanan
kesehatan sesungguhnya telah tersedia
bagi lansia untuk melakukan rawat
jalan. Terlebih ketika mengobati sendiri
tidak cukup untuk menghilangkan
keluhan kesehatan, lansia perlu
berkonsultasi kepada tenaga kesehatan
untuk mengobati keluhannya. Dilihat
dari jenis fasilitas kesehatan (Gambar
4.5).
• Puskesmas/Pustu menjadi tujuan
favorit lansia yang rawat jalan dengan
persentase tertinggi yakni 38,27 persen.
Selain itu, lebih dari sepertiga lansia
yang rawat jalan memilih praktik
dokter/bidan untuk mengobati keluhan
kesehatannya (35,57 persen).
Persentase lansia yang rawat jalan ke
rumah sakit pemerintah sedikit lebih
besar dibandingkan dengan rumah
sakit swasta. Di sisi lain, hanya sebagian
kecil saja lansia yang melakukan
pengobatan tradisional/alternatif.
• Gambar 4.6 menunjukkan sekitar 4 hingga 5 dari 100 lansia di
Indonesia pernah dirawat inap dalam setahun terakhir (4,72
persen). Persentase lansia laki-laki yang pernah dirawat inap lebih
tinggi dibandingkan lansia perempuan (5,32 persen berbanding 4,15
persen). Informasi yang juga perlu menjadi perhatian adalah
persentase lansia penyandang disabilitas yang pernah dirawat inap
dua kali lebih besar dibandingkan kelompok lansia bukan
penyandang disabilitas (8,76 persen berbanding 4,17 persen).
• Persentase lansia yang pernah dirawat inap menurun sering
dengan meningkatnya status kesejahteraan lansia (yang
digambarkan dengan distribusi pengeluaran). Seperti yang terlihat
pada Gambar 4.6 di atas, setidaknya 7,56 persen lansia yang
berasal dari distribusi pengeluaran 40% terbawah pernah dirawat
inap dalam setahun terakhir. Berdasarkan klasifikasi desa,
persentase lansia di perkotaan yang pernah dirawat inap sedikit
lebih tinggi dibandingkan di perdesaan (5,04 persen berbanding
4,31 persen).
• Informasi mengenai lokasi rawat inap
tersedia pada Gambar 4.7. Dapat dilihat
bahwa rumah sakit merupakan fasilitas
kesehatan yang menjadi pilihan oleh
sebagian besar lansia untuk rawat inap, di
mana lansia yang dirawat inap di rumah
sakit pemerintah sebanyak 42,07 persen dan
rumah sakit swasta sebanyak 40,58 pesen.
Persentase tersebut cukup timpang jika
dibandingkan dengan persentase lansia
yang pernah dirawat inap di fasilitas
kesehatan lain seperti puskesmas,
klinik/praktik dokter bersama, praktik bidan,
dan lainnya.
• Salah satu hal yang dapat menjadi
penyebab adanya fenomena ini adalah
fasilitas di rumah sakit yang lebih lengkap
dibandingkan fasilitas kesehatan lain.
Selain itu, pada banyak wilayah memang
fasilitas rawat inap hanya tersedia di rumah
sakit sehingga wajar jika persentase lansia
yang pernah dirawat inap paling tinggi
adalah di rumah sakit.
• Tingkat keparahan penyakit dan daya tahan
tubuh menjadi salah satu faktor yang
menentukan lama waktu seorang lansia untuk
sembuh. Secara umum, lansia di Indonesia
membutuhkan waktu sekitar 5 hingga 6 hari
untuk rawat inap. Seperti yang ditunjukkan
pada Gambar 4.8, lansia penyandang
disabilitas memerlukan waktu rawat inap yang
lebih lama dibandingkan lansia nondisabilitas.
• Selain itu, terlihat pula bahwa lansia di
perkotaan memerlukan waktu rawat inap
yang lebih lama dibandingkan lansia di
perdesaan. Jika dilihat berdasarkan distribusi
pengeluaran, semakin tinggi status ekonomi
lansia maka semakin sedikit waktu yang
diperlukan untuk rawat inap. Yang cukup
menarik, semakin bertambah umur lansia,
kecenderungan waktu yang dibutuhkan untuk
rawat inap justru lebih singkat.
3. PEMANFAATAN JAMINAN KESEHATAN

Berdasar data Susenas Maret 2022, sekitar tiga


dari empat lansia yang dirawat inap
memanfaatkan jaminan kesehatan. Sementara
untuk keperluan rawat jalan, tidak sampai
separuh lansia yang menggunakan jaminan
kesehatan, yaitu sebesar 44,79 persen. Lansia di
perkotaan lebih banyak yang menggunakan
jaminan kesehatan dibanding lansia di
perdesaan, baik untuk rawat jalan ataupun rawat
inap. Jika dilihat berdasarkan kelompok umur,
kelompok lansia muda yang paling banyak
menggunakan jaminan kesehatan, untuk rawat
jalan. Sedangkan jika dilihat berdasarkan
kelompok pengeluaran, lansia pada rumah
tangga kelompok pengeluaran terbawah
cenderung lebih banyak yang menggunakan
jaminan kesehatan ketika rawat inap maupun
rawat jalan.
Gambar 4.10 menunjukkan lebih dari 82%
lansia yang berasal dari distribusi
pengeluaran 40% terbawah
menggunakan BPJS PBI untuk rawat
jalan maupun rawat inap. Akan tetapi,
masih ada sekitar satu dari tiga lansia
yang berasal dari distribusi pengeluaran
20% teratas yang menggunakan BPJS
PBI, baik untuk rawat jalan maupun
rawat inap. Pola pemanfaatan BPJS PBI
berbanding terbalik dengan BPJS Non-
PBI. Terlihat bahwa semakin tinggi
status ekonomi rumah tangga lansia,
maka semakin banyak persentase
lansia yang memanfaatkan BPJS Non-
PBI baik untuk rawat jalan maupun rawat
inap.
4. KEBIASAAN MEROKOK
Semakin meningkatnya usia harapan hidup, maka penting
pula diperhatikan peningkatan kualitas hidup lansia. Menurut
World Health Organization (WHO) batasan dari kualitas hidup
sangat luas dan bersifat multidimensional yang meliputi
beberapa domain, salah satunya adalah kesehatan fisik. Hal
yang dapat memengaruhi kesehatan fisik salah satunya
adalah pola hidup yang tidak sehat seperti mengonsumsi
rokok (Ibrahim, 2012). Rokok berpengaruh negatif terhadap
kesehatan karena kandungan zat kimia yang ada dalam
rokok sangat berbahaya bagi kesehatan terutama bagi
sistem pernafasan dan jantung. Namun demikian, hal ini
tidak menyurutkan lansia untuk meredam kebiasaan mereka
dalam merokok.
Data Susenas Maret 2022
memperlihatkan bahwa sekitar 3
dari 4 lansia di Indonesia
mengaku tidak pernah merokok
sebelum sebulan terakhir. Di sisi
lain, hampir seperempat lansia
di Indonesia masih merokok
dalam sebulan terakhir, baik
setiap hari (21,24 persen) maupun
tidak setiap hari (2,19 persen).
Semakin sering seseorang
merokok maka semakin besar
pengaruh yang ditimbulkan bagi
kesehatan (Ibrahim, 2012). Lansia
yang merokok setiap hari tentu
jauh lebih berisiko terkena
penyakit daripada yang merokok
tidak setiap hari.
Pola perilaku merokok pada lansia berbeda jika dilihat
menurut karakteristik demografi. Perbedaan yang paling
mencolok adalah pada disagregasi jenis kelamin. Lansia
laki-laki yang merokok jauh lebih banyak dibandingkan
lansia perempuan. Hasil Susenas Maret 2022 menunjukkan
bahwa hampir setengah dari lansia laki-laki masih merokok
dalam sebulan terakhir. Selanjutnya jika dilihat berdasarkan
kelompok umur, semakin tua umur ansia, semakin rendah
persentase lansia yang masih merokok dan semakin tinggi
persentase lansia yang tidak pernah merokok. Meski
demikian, persentase lansia usia 80 tahun ke atas yang
masih merokok dalam sebulan terakhir dapat dibilang
masih cukup tinggi, yakni 13,87 persen. Yang menarik
perhatian berikutnya adalah disagregasi menurut status
disabilitas. Meskipun persentasenya lebih rendah dibanding
kelompok lansia nondisabilitas, tercatat sebanyak 14,12
persen lansia penyandang disabilitas masih merokok
dalam sebulan terakhir. Sementara itu, jika dilihat
berdasarkan klasifikasi desa, persentase lansia yang masih
merokok lebih tinggi di perdesaan dibandingkan
perkotaan (26,78 persen berbanding 20,81 persen).
Ada beberapa alasan mengapa beberapa lansia dengan kemampuan finansial tinggi mungkin
memilih untuk melakukan pengobatan sendiri atau menghindari perawatan medis yang
direkomendasikan oleh penyedia layanan kesehatan:

1. Budaya, orang kaya lebih kepada ramuan tradisional


2. Takut prosedur invasive
3. Mampu membeli alat kesehatan
4. Kurangnya kesadaran
5. Kesibukan
6. Keinginan untuk mandiri dan privasi
7. Trauma terhadap pelayanan tenaga kesehatan
8. Adanya relasi
9. Latar belakang pendidikan yang baik membuat lansia dengan finansial yang baik dapat
mengobati dirinya sendiri atau pengetahuan pengobatan dasar yang baik
10. Rutin melakukan olahraga sehingga jarang sakit (seperti yoga)
11. Memiliki literasi kesehatan yang baik, sehingga ia lebih tenang jika dihadapkan dengan keluhan
kesehatan
Lansia dengan disabilitas mungkin memiliki beberapa alasan khusus
mengapa mereka enggan atau kesulitan melakukan pengobatan, meskipun
alasan ini dapat bervariasi antar individu. Beberapa faktor yang mungkin
memengaruhi keputusan mereka adalah:

1. Fasilitas kesehatannya tidak ramah disabilitas


2. Orang dengan disabilitas lebih down secara mental ketika sakit
3. Orang dengan disabilitas lebih mementingkan privasi (tidak ingin
dikucilkan oleh orang lain)
TERIMAKASIH

Anda mungkin juga menyukai