Anda di halaman 1dari 4

Masih Adakah Rumah Untukmu ?

Hari Minggu lalu, salah seorang dari jajaran kepresidenan mengeluarkan pernyataan bahwa
semua kegiatan akan dilaksanakan dari rumah lantaran virus korona yang mulai merebak
ditengah-tengah masyarakat. Sontak saja hal ini membuat gempar rakyat Indonesia, ditambah
dengan berita dari media-media yang menjadikan kronologi ini sebagai bahan untuk jurnal.

“Assalamu’alaikum siswa/i kelas XI MIPA 6. Diinformasikan bahwa sehubungan dengan


pandemi virus korona. Maka sekolah dilaksanakan secara virtual sesuai dengan himbauan
dari pemerintah. Terima kasih.” Tulis Bu Reka selaku wali kelas Zoya di grup kelas.

Tok..tok..tok...

Terdengar seseorang mengetuk pintu, Zoya yakin itu adalah bundanya.

“Masuk, bun” sahut Zoya.

Pintu terbuka, seperti biasa. Ratih membawakan anak emasnya itu segelas susu putih dan dua
lembar roti beserta selai stroberi di dalamnya.

“Jangan lupa minum susunya, ya. Rotinya juga jangan lupa dimakan.”

“Iya, bunda. Makasih ya”

Ratih mengangguk dan hendak bergegas keluar meninggalkan kamar Zoya. Tapi, langkah
Ratih terhenti setelah mendengar jeritan anak perempuannya itu.

“Zoyaaa, ada apa sih kok sampai teriak begitu ?” ucap Ratih sambil menggelengkan
kepalanya melihat tingkah laku Zoya

“BUNDAAA !!” Teriak Zoya seraya memeluk Ratih.

“Zoya lolos masuk semi final dalam ajang penulis muda Indonesia, Bunda.” Pekik Zoya.

“Selamat sayang, bunda bangga sama Zoya.”

“Yaudah bunda mau ke dapur dulu. Kamu juga belajar sana, buruan !! ” lanjut Ratih.

Zoya tersenyum menanggapi pernyataan bunda kesayangannya itu. Tak lama, Ratih pergi
meninggalkan kamar Zoya. Dengan cepat, Zoya kembali ke meja belajarnya untuk
melanjutkan sekolah virtualnya yang sempat ia acuhkan karena peristiwa yang baru saja
terjadi.
“Terimakasih bu,” seru anak kelas XI MIPA 6 yang menjadi pertanda berakhirnya sekolah
virtual pada hari ini.

Malam baru saja menjelang, sinar bulan dan kerlap-kerlip bintang perlahan-lahan muncul
menggantikan sinar mentari. Ratih bergegas menuju kamar Zoya untuk memintanya makan
malam di meja makan. Ia mengetuk pintu kamar anak semata wayangnya itu, namun
sepertinya Ratih tak mendapat balasan dari anaknya itu.

Ratih pun akhirnya memutuskan untuk masuk ke dalam kamar Zoya. Ia menghela napas
kasar, melihat putri mungilnya tidur dengan pulas. Akhirnya, Ia memutuskan untuk duduk di
samping kasur empuk milik Zoya.

“Sayang, ayo bangun yuk. Makan malam sudah bunda siapkan di bawah.”

Tapi tiba-tiba Ratih membelalakkan matanya ketika menyadari bahwa badan Zoya terlampau
panas terlebih saat ia mengecek suhu badan Zoya menggunakan termometer. Dengan mata
yang berkaca-kaca, Ratih memboyong Zoya untuk menuruni anak tangga dan membawanya
ke rumah sakit terdekat.

Di depan ruang UGD, Ratih tersenggal-senggal dengan napas yang berat. Ingin teriak, ingin
marah agar meluapkan semua emosi dan rasa cemasnya. Tapi yang ia lakukan hanya berdoa
kepada Tuhan agar putri kecilnya itu baik-baik saja. Setelah 6 jam Ratih di depan ruangan itu,
lelaki dengan masker dan atribut medisnya keluar dari ruangan.

“Bu, dari pemeriksaan dan tes swab yang sudah dilakukan, hasil menyatakan bahwa anak ibu
positif terinfeksi virus korona.” Ucap dokter

“Kebetulan ruangan pasien covid-19 di rumah sakit ini sudah penuh, buk. Ananda Zoya bisa
dirawat secara isolasi mandiri, namun ibu harus membuat surat pernyataan. Pasien sudah saya
kasih vitamin, kita tunggu pasien siuman dulu ya buk.” Lanjut sang dokter.

Kaki Ratih langsung tertunduk lemas, bahkan untuk menopang badannya, rasanya sudah
tidak mampu lagi. Bulir air mata yang ia simpan sejak tadi, sudah tak dapat ia bendung
setelah mendengar penjelasan dari dokter tersebut.

“Baiklah dok, terima kasih atas informasinya.”

Sembari menunggu Zoya sadar, Ratih bergegas membuat surat pernyataan isolasi mandiri.
Tak lama setelah Zoya sadar, mereka berdua memutuskan untuk kembali ke rumah dengan
kendaraan yang berbeda. Ratih menggunakan mobil pribadinya sedangkan Zoya
menggunakan ambulans milik rumah sakit.

Keesokan harinya, Ratih menyiapkan sarapan beserta obat-obatan peri kecilnya itu. Setengah
pilu ia meletakkan sarapan dan obat-obatan milik Zoya di depan kamarnya. Sementara itu, di
sudut kamar tampak seorang wanita yang menangis tersedu-sedu.

“Makan dan obat sudah bunda letakkan di depan kamar kamu, jangan lupa dimakan ya.
Semoga cepat sembuh, peri kecil. Bunda sayang Zoya.” Tulis Ratih di aplikasi pesan.

Ddrrrttt...ddrrrttt...ddrrrttt...

Ratih segera menerima panggilan masuk yang baru saja ia terima . Ya, itu panggilan masuk
dari peri kecilnya, Zoya Alveyra.

“Assalamu’alaikum cantik”

“Wa’alaikumsalam bunda”

“Zoya bagaimana sekarang kondisinya ? Sudah lebih sehat atau bagaimana ?”

“Masih sama saja bunda seperti kemarin”

“Kok lesu gitu bicaranya ? kenapa sayang ?”

“Semi final ajang penulis muda bakal digelar besok. Sedangkan, Zoya masih sakit” tutur
Zoya dengan isak tangis.

Rasanya, Ratih ingin menangis mendengar ucapan Zoya. Kata-kata yang keluar dari putri
kesayangannya itu berhasil menembus ulu hatinya.

“Zoya, anak bunda. Bunda mengerti perasaan Zoya sekarang. Bunda paham kalau menulis
merupakan kebahagiaan tersendiri bagi Zoya dan menjadi juara di perlombaan ini merupakan
mimpi Zoya dari dulu. Tapi, kesehatan Zoya jauh lebih penting sekarang. Bunda nggak mau
ada sesuatu yang buruk menimpa peri kecil bunda.”

“Sayang, jangan pernah putus asa, karena akan ada banyak hari-hari indah yang menantimu
dan belum kau jalani. Dan ingat kata bunda, virus korona mungkin bisa membunuh nyawa
seseorang tetapi dia tidak akan pernah bisa membunuh semangat dan asa yang ada di dalam
jiwa seseorang. Apalagi seseorang itu putri dari Bunda Ratih Agfardi.” Lanjut Ratih

“Zoya sayang sama bunda.”


“Bunda juga sayang sama putrinya bunda. Sekarang, sudah dulu teleponnya karena sekarang
waktunya Zoya tidur. Selamat malam sayang.”

“Selamat malam bunda.”

Setelah 2 minggu lamanya, kini Zoya dinyatakan sembuh dari covid-19, setelah kemarin ia
menjalani serangkaian tes.

Zoya dan Ratih menghela napas lega setelah mendengar kabar baik itu. Tampak bulan sabit
di bibir mereka berdua, sampai tanpa mereka sadari bulir-bulir air turun dari mata mereka
berdua. Mata yang memancarkan kebahagiaan.

“Masih adakah rumah untukmu ?

Tak ada jalan dan tak ada rumah...

Kau hanya berada di sebatas angan-angan...

Nun di bawah rata belaka...

Kau tak kuasa mencabut asa dan semangat dalam sanubari manusia...

Kau membuat bentala merintih pilu...

Pada sejatinya kau tak ada rumah di alam semesta ini...

Wahai virus, musuh alam jagat raya..” Catat Zoya di buku puisi pribadi miliknya.

TAMAT

Anda mungkin juga menyukai