Anda di halaman 1dari 2

Review Film Hope

Berita jahat belakangan ini kenapa terasa semakin banyak ya. Apa perasaanku saja? Atau kalian juga
sedang marah-marah setiap membaca kasus kekerasan seksual terjadi dimana-mana. Di kampus,
sekolah, pesantren, hingga di rumah tempat bernaung yang seharusnya menjadi ruang aman. Bukan
hanya dilakukan oleh si begal jalanan tak beradab, orang terdekat sekalipun bisa melakukannya.
Semua orang punya potensi melakukan kejahatan seksual, tidak terbatasi gender. Tapi, semua orang
juga punya kesadaran untuk memilih tidak jahat kan?

Malam tadi, menonton Film Hope (2013) membuatku berurai air mata. Walau hanya sebuah film,
tapi aku yakin kejadian seperti itu banyak terjadi secara nyata. Benar saja, pagi ini aku mencari
literatur film tersebut dan menemukan fakta bahwa Hope berangkat dari kasus Nayoung (2008) di
Korea Selatan. Kisah nyata itu menceritakan seorang gadis berusia 8 tahun diperkosa di sebuah toilet
gereja yang tak terpakai ketika sedang menuju sekolahnya. Pelaku kejahatan juga melakukan
penganiayaan yang mengakibatkan alat kelamin, anus, usus besar korban rusak dan cacat permanen.
Aku terluka membaca fakta itu. Tangisan pagi ini berlanjut.

Film Hope juga menceritakan kisah pilu yang hampir serupa. Adalah Sowon seorang anak
perempuan satu-satunya yang hidup bahagia bersama kedua orangtuanya. Orangtuanya Mi Hee
adalah pedagang toko kelontong dan Dong Hoon pekerja pabrik. Sowon adalah anak berusia 8
tahun yang cantik dan pintar. Ia cukup mandiri menjepit rambutnya dan berangkat ke sekolah
sendirian. Ayah dan Ibunya cukup sibuk bekerja, meski memang tetap menaruh cinta yang besar
pada Sowon.

Pagi itu menjadi pagi terpilu yang mengubah segalanya. Hujan deras dan buru-buru datang
terlambat ke sekolah membawa Sowon bertemu orang asing. Ibunya sempat berpesan untuk
mengambil jalan utama ke arah sekolah, tapi Sowon ingin mengambil jalan pintas agar lekas sampai.
Rumahnya tak terlalu jauh dari sekolah. Namun, ketika hampir sampai sekolah ada seorang pria
paruh baya yang menghampirinya dengan kondisi basah kuyup.

“Nak, paman kehujanan. Bolehkah berbagi payung? Itu payung yang cantik.”

“Tapi, aku terlambat,” ucap Sowon.

Sowon membagi payungnya. Ia ingin berbuat baik, tapi pria itu jahat. Ia membawa dan memperkosa
Sowon di gedung terbengkalai dekat sekolah. Dalam keadaan tragis, Sowon sempat menelfon 911. Ia
ditemukan dalam keadaan penuh luka, darah, dan kritis. Pelakunya melarikan diri.

Ibu dan Ayahnya mendatangi rumah sakit sembari tak kuasa menahan tangis. Menerima kenyataan
bahwa putri kecilnya mengalami kejadian memilukan rasanya sulit dan sakit. Apalagi menelan pil
pahit bahwa putrinya kehilangan organ penting dari tubuhnya dan menyebabkan Sowon harus selalu
menggunakan kantong kolostomi.

Perasaan orang tua mana yang tidak tercabik-cabik. Sowon bukan hanya terluka fisik, tapi juga
terguncang secara psikologis. Ia harus melewati proses penyembuhan yang panjang. Melalui trauma
dengan laki-laki, bahkan terhadap Ayahnya sendiri. Sowon selalu bersembunyi di balik selimut setiap
kali Ayah datang ke ruangannya. Ia merasa sangat malu.

Mengetahui hal itu, perasaan Ayah hancur. Kekerasan seksual begitu memberi trauma mendalam
bagi Sowon. Tapi, ia sangat ingin menemui putrinya.
Akhirnya Sang Ayah menemukan cara dengan mengenakan kostum kokomong agar bisa menghibur
Sowon. Ayah juga mendatangi sekolah dan meminta para guru mengerti bahwa putrinya perlu
mendapati perhatian khusus, terlebih dalam menghindari kontak dengan guru pria.

Selama menjalani proses penyembuhan Sowon ditangani oleh seorang psikiater Jung Sook,
perempuan yang juga pernah mengalami masa lalu menyakitkan. Anaknya menjadi korban
pelecehan seksual dan memilih bunuh diri karena merasa malu. Sowon bercerita pada sang psikiater
bahwa ia khawatir jika orangtuanya tak bisa bekerja karenanya, mengeluarkan banyak biaya
untuknya, dan khawatir jika adiknya lahir ia justru mengotori karena kantung kolostominya.

Perlahan, Sowon kembali ceria dan mampu bercerita. Ia mendapati dukungan penuh dari keluarga,
tetangga, sekolah, dan terapis sebagai bagian terpenting dari hidupnya. Sowon dikelilingi orang-
orang baik.

Tentu bukan hanya kesembuhan Sowon yang diinginkan banyak orang, melainkan pula keadilan.
Pelaku harus mendapati tempat yang setara dengan kejahatan yang diperbuat. Siapapun pasti ingin
pelaku dihukum seberat-beratnya karena keberadaannya sangat membahayakan Sowon, juga anak-
anak perempuan lainnya.

Sayangnya pengadilan tidak berjalan demikian. Pelaku hanya dihukum 12 tahun penjara karena
dianggap melakukan kejahatan dalam keadaan mabuk alkohol. Sang Ayah terluka mendengarnya. Ia
tidak siap membayangkan 12 tahun kemudian saat usia Sowon genap 20 tahun, pelaku sudah keluar
dari penjara dan berbuat sama bengisnya.

Ah, walau berakhir happy ending dengan kembali cerianya Sowon menjalani hari-hari rasanya
ketakutanku belum selesai. Sowon harus menanggung hidup dengan kantung kolostomi,

Film ini benar-benar menguras emosi. Aku menangis menontonnya. Rasanya ingin marah pada
mereka yang melihat kekerasan seksual sebagai bentuk kecelakaan biasa. Hey, ini adalah kejahatan
kemanusiaan yang telah merusak fisik dan psikologis korban. Ia akan mengenang ingatan buruk
seumur hidupnya dan itu sangat amat menyiksa. Sekalipun terapis membantunya memulihkan
bahagia, tetap tidak akan membuatnya melupakan semuanya.

Perasaan ngilu berbaur kesedihan menjadi satu.

Anda mungkin juga menyukai