Anda di halaman 1dari 14

ROLE PLAY APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA

SITUASI KLINIS II: MOORE’S THEORY PEACEFUL END


OF LIFE

Oleh:
NI MADE SRI MEIRA UTAMI
203221164

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN WIRA MEDIKA BALI
TAHUN 2020
ROLE PLAY APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA SITUASI
KLINIS II: MOORE’S THEORY PEACEFUL END OF LIFE

Role play ini yaitu mengenai perawatan paliatif pada pasien hiv/aids
menggunakan konsep teori moore’s theory: peaceful end of life.
Di suatu kota disebuah rumah sederhana hidup seorang anak perempuan
bernama Jihan berumur 17 tahun yang saat ini memasuki tahun ke-2 di sebuah
SMA. Namun dia tidak hidup sendirian, gadis itu hidup bersama ibunya yang
bernama Nyonya Soraya. Perempuan tangguh yang cantik berumur 40 tahun
yang rela melakukan apapun demi anak semata wayangnya. Mereka hanya
tinggal berdua, Tuan Madika yang merupakan suami dari Nyonya Soraya telah
meninggalkan mereka bersama dengan wanita lain.
Waktu menunjukkan pukul 22.00 WIB. Gadis itu duduk didepan pintu yang
sudah tak lagi terlihat kuat dengan kedua tangan menengadah dagu seakan
menunggu seseorang datang. Mata gadis itu tak terpejam menatap anak tangga
kecil penghubung rumahnya dengan jalanan. “prokk.. prokk.. prokkk..”
terdengar lirih langkah kaki seseorang.
Mendengarnya dengan sigap gadis kecil itu mengangkat pandangannya dan
segera masuk kedalam rumah.
Langkah kaki seseorang itu terhenti tepat didepan pintu tua tempat gadis
yang duduk menunggu.
Ny. Soraya : “(menghela nafas panjang) Kenapa kau selalu membuatku
semakin lelah?” lalu membersihkan bungkus makanan yang
berserakan dilantai.
Setelah selesai membersihkan sampah, Ny. Soraya membuka pintu dan
masuk keruang tamu, namun langkahnya terhenti melihat anak gadisnya duduk
sendiri seperti kebiasaannya.
Ny. Soraya : “Kamu belum tidur?”
Namun Jihan hanya diam tanpa menolehkan pandangannya kepada ibunya.
“brakkkk….” Ny. Soraya melemparkan sebuah kotak ke meja tepat didepan
Jihan.
Ny. Soraya : “Makanlah!”
Namun dengan cepat Jihan membuang kotak itu hingga isi dari kotak tersebut
berantakan di lantai.
Ny. Soraya : “(menghela nafas, lalu membungkuk membersihkan makanan
yang berserakan di lantai) Ternyata kamu sudah makan? Aku
membelinya jauh dipusat kota tadi. Besok bilanglah padaku
jika kamu tidak ingin makan. Tidurlah!”
Jihan masih konsisten dengan kediamannya. Setelah membersihkan
makanan yang berserakan, Ny. Soraya berjalan bermaksud masuk kedalam
kamarnya.
Jihan : “Kenapa kau sekarang terlihat sangat kurus ?” tanyanya masih
dengan raut wajah datar
Ny. Soraya : “Diet.” Lalu melangkah menuju kamarnya.
Jihan menghela nafas mendengar jawaban dari ibunya lalu melangkah
menuju kamarnya. Keesokan harinya. Waktu menunjukkan pukul 06.30 WIB.
Jihan duduk ditengah pintu tua sembari memakai kaos kakinya.
Ny. Soraya : “Minggirlah!” memerintah dengan nada sedikit tinggi lalu
berjalan keluar memakai sepatu hak tingginya.
Selesai memakai kaos kaki dan sepatunya, Jihan bangun dari duduk dan
berjalan bersiap berangkat ke sekolah.
Jihan : “Besok. Aku mengikuti kompetisi matematika di sekolahku.”
Celetuknya tanpa melihat ibunya
Ny. Soraya tak menanggapi anaknya, dia masih sibuk membenarkan
heelsnya.
Jihan : “Datanglah jika kamu punya waktu.” Tambahnya lagi masih
tanpa menatap ibunya.
Lagi, Ny. Soraya diam tak menanggapi.
Jihan : “Dan, berpakaianlah yang baik dan benar.” lalu berjalan cepat
meninggalkan ibunya
Mendengarnya, Ny. Soraya melihat dirinya sendiri yang memang memakai
pakaian terlalu terbuka.
Siang ini waktu menunjukkan pukul 2. Ny. Soraya seperti biasanya berdiri
ditepi jalan dekat pasar menunggu pelanggannya datang. Tiba-tiba suhu
badannya naik, mual muntah, dan kepalanya terasa sangat sakit. Memang 3 hari
belakangan ini Ny. Soraya merasa tidak enak badan. Bahkan sejak 3 bulan
terakhir, ia mengalami diare yang tak berhenti dan berat badannya berangsur-
angsur mengalami penurunan. Dengan sekuat tenaga mencoba menahan
tubuhnya yang semakin melemah namun Ny. Soraya jatuh dan tak sadarkan
diri. Dengan sigap orang yang berada disekitarnya membawanya ke Rumah
Sakit. Sesampai di Rumah sakit Ny. Soraya mendapat penanganan dan
dilakukan pemeriksaan-pemeriksaan untuk mengetahui penyakit yang ia derita.
Dari UGD, Ny. Soraya dipindahakan keruang perawatan.
Satu jam berlalu, perawat Tania datang keruang perawatan Ny. Soraya
dengan membawa beberapa hasil tes.
Perawat : “Selamat siang ibu. Bagaimana keadaan ibu sekarang ? sudah
merasa baikan ?”
Ny. Soraya : “Sudah agak mendingan sus. Tapi bagaimana saya bisa disini ?”
Perawat : “Tadi ada beberapa orang membawa ibu kesini karena ibu
pingsan. Dan mereka…..”
Ny. Soraya : “(memotong perkataan perawat) Mereka hanya orang biasa sust.
Mereka sudah pulang.”
Perawat : “Oh begitu. Tapi dimana keluarga ibu? Ada yang ingin saya
bicarakan dengan keluarga ibu.
Ny. Soraya : “Saya tidak punya keluarga sus, saya hanya tinggal dengan putri
saya.”
Perawat : “Lalu dimana putri ibu ?” sambil mencari-cari
Ny. Soraya : “Dia sedang belajar dirumah. Tapi, apa penyakit saya sust ?”
Perawat : “Apa ibu tidak memberitahu anak ibu jika ibu sedang dirumah
sakit ?”
Ny. Soraya : “Jangan sus. Dia anak yang pintar. Dia sedang belajar untuk
kompetisi besok disekolahnya. Sebenarnya saya sakit apa
sus?”
Perawat : “(menghela nafas panjang) Ibu, sebelumnya ibu harus tabah dan
sabar dengan keadaan ibu sekarang. Percayalah bu, semua
sudah direncanakan sebaik mungkin oleh Tuhan…
Ny. Soraya : “(memotong perkataan perawat) Maksud suster apa ? Saya sakit
apa ?”
Perawat : “Berdasarkan pemeriksaan yang telah ibu lakukan dan amanat
dari Dr. Cahyo ibu didiagnosa positif terkena HIV/AIDS.”
Ny. Soraya : “Apa? Suster pasti bercanda bukan? Tidak mungkin saya
mempunyai penyakit seperti itu. Saya masih bisa bergerak
dan saya masih sehat sus.”
Perawat : “Tapi berdasarkan pemeriksaan ibu positif HIV/AIDS. Ibu
harus menerimanya dengan tabah dan sabar. Dan ibu harus
menjalani perawatan di rumah sakit untuk beberapa hari
kedepan.”
Ny. Soraya : “Tidak mungkin! Tidak mungkin suster!! (berteriak dan
menangis menarik selimut)”
Perawat : “(memegang tangan pasien) Tenanglah bu, ibu harus
menerimanya. Semua sudah menjadi jalan dari Tuhan.”
Ny. Soraya : “(menangis tak dapat menerima keadaannya) Kenapa? Kenapa
Tuhan sangat tidak adil dengan hidupku? Bahkan aku tidak
berbuat apapun, kenapa semua terjadi padaku?!!”
Perawat : “Tenanglah bu. Sekarang bukan waktu untuk menyesali masa
lalu ibu, sekarang waktunya ibu untuk menjadi diri ibu yang
lebih baik lagi. Semua akan baik-baik saja jika ibu lebih
mendekatkan diri kepada tuhan YME.”
Ny. Soraya : “Jihan.. Jihan, dia tidak boleh tau keadaanku. Aku harus pulang,
dia pasti sudah menungguku” lalu berusaha beranjak dari
tempat tidurnya.
Perawat : “(menahan px) Ibu mau kemana ? ibu harus menjalani perawatan
disini. Tenanglah bu. Percayakan semua pada tuhan. Semua
akan baik-baik saja bu.”
Ny. Soraya : “Tapi siapa yang akan memperhatikan Jihan ? Jihan. Dia anak
yang manja. Dia tidak bisa hidup sendiri. Bagaimana bisa
aku bisa meninggalkannya sendiri?”
Perawat : “Tapi ibu harus menjalani perawatan disini. Kondisi ibu kini
sangat lemah.”
Ny. Soraya : “Pergilah sust. Saya ingin sendiri.”
Perawat : “Baik bu. Ibu tenangkan diri dulu, jika ada apa-apa ibu bisa
panggil saya atau perawat lain dengan menekan tombol yang
ada di dinding.”
Ny. Soraya diam dengan tatapan kosong, lalu perawat meninggalkan
ruangan Ny. Soraya.
Sudah 5 hari Ny. Soraya diam dengan tatapan kosong di ruang perawatan.
Perawat Tania setiap hari mengajaknya berbicara namun selalu diabaikan.
Keesokan harinya Ny. Soraya masih diam dengan tatapan kosong. Perawat
datang dan mendekati Ny. Soraya.
Perawat : “(membuka kelambu jendela) Selamat pagi ibu, bagaimana
keadaan ibu pagi ini? Apakah sudah merasa segar?”
Ny. Soraya hanya diam tak menjawab, masih dengan tatapan kosongnya,
lalu perawat duduk mendekat dengan Ny. Soraya.
Perawat : “Bu, apa yang bisa ibu ceritakan pada saya? Saya akan
mendengarkannya.”
Ny. Soraya : “Hari ini, Jihan menjadi peserta kompetisi matematika
disekolahnya. Dia sangat pintar. Seharusnya saya berada
disana untuk memberi semangat. Tapi dengan keadaan saya
seperti ini. Bahkan untuk memberi kesan baik untuknya saya
tidak bisa.”
Perawat : “(menghela nafas) Apa tidak sebaiknya ibu memberitahu putri
ibu dengan keadaan ibu sekarang? Saya yakin putri ibu akan
mengerti keadaan ibu.
Ny. Soraya : “Tidak bisa. Dia bukan gadis yang dapat menerima semua tanpa
ada alasan. Terlebih dia sangat membenci saya. Bahkan
mungkin dia tidak menganggapku ibu.”
Perawat : “Percayalah bu. Tidak ada anak yang tidak menganggap ibu
sebagai seorang ibu. Di dalam lubuk hati mereka ibu adalah
wanita yang paling ia cintai. Jadi, ibu jangan berfikir seperti
itu pada putri ibu.”
Ny. Soraya : “Seandainya ini tidak terjadi pada saya, saya akan
membahagiakan Jihan dengan sangat baik. Saya akan
menjadi ibu yang baik untuknya” kata Ny. Soraya mulai
meneteskan air mata.
Perawat : “Bu, semua sudah diatur sebaik mungkin oleh Tuhan. Dibalik
ini semua, Tuhan pasti sudah memberi hadiah yang baik
untuk ibu. Lagipula, hanya orang-orang yang disayangi-Nya
yang diberi cobaan. Tuhan tidak pernah memberi ujian
melebihi batas kemampuan hamba-Nya bu.”
Dua minggu berlalu, Ny. Soraya masih diam dengan tatapan kosong. Seperti
orang depresi, Ny. Soraya hanya diam dengan tatapan kosong tanpa mau
mengeluarkan satu katapun. Kondisinya pun semakin menurun, suhu badannya
naik-turun dan pusing di kepalanya tak kunjung sembuh.
Perawat : “(mendekati px dengan membawa makanan) Selamat pagi bu,
makan dulu ya bu?”
Ny. Soraya masih diam tak menjawab dan tak mau memakan makanannya.
Perawat : “Bu, makanlah sedikit agar kondisi ibu tidak lemah lagi. Saya
suapi ya bu?”
Ny. Soraya masih diam
Perawat : “Ibu tidak menyukai menu nya? Ibu ingin makan apa?”
Ny. Soraya : “Sus, apakah saya bisa bertahan untuk 3 bulan kedepan? Jihan
akan mewakili sekolahnya ke Jepang untuk olimpiade
matematika. Saya ingin melihatnya memegang medali
emas.”
Perawat : “Bu, hidup dan mati sudah diatur oleh Tuhan. Percayakan hidup
ibu dengan kehendak tuhan. Yang seharusnya ibu lakukan
sekarang adalah lebih mendekatkan diri kepada sang maha
pencipta. Jika ibu mau menjalani perawatan, insyaAllah
kondisi ibu akan kuat dan gejala-gejala yang ibu rasakan
dapat berkurang.”
Ny. Soraya : “Baik sus. Saya akan menjalani perawatan sesuai dengan saran
dokter. Saya mohon pertahankan hidup saya hingga 3 bulan
kedepan.”
Perawat : “Kami pasti akan melakukan yang terbaik untuk keadaan ibu.
Lebih baik sekarang ibu makan dan berpikirlah positif untuk
hidup ibu yang lebih baik lagi.”
Ny. Soraya : “Baik sus. Saya akan menjalani perawatan sesuai perintah
suster.”

Satu bulan Ny. Soraya menjalani perawatan di rumah sakit. Dia mengikuti
semua perawatan dengan baik dan tertib. Sekarang Ny. Soraya sudah mau
menerima keadaannya, diapun bersemangat untuk memulihkan keadaannya.
Di suatu siang, perawat Tania sedang berjalan menuju ruang perawatan Ny.
Soraya. Namun langkahnya terhenti ketika melihat seorang gadis dengan
seragam SMA berdiri dibalik pintu dengan mencuri pandangan kedalam
ruangan melalui celah kaca ditengah pintu. Perawat Tania berdiri dibelakang
gadis itu dan mencolek bahunya, dengan terkaget Gadis itu menatap perawat
Tania dan bermaksud lari meninggalkan rumah sakit.
Perawat : “Tunggu. (memegang tangan Jihan)”
Jihan berusaha melepas tangannya dari genggaman perawat Tania.
Perawat : “Apa kamu Jihan anak dari ibu soraya ?”
Jihan : “Bukan. (berusaha melepaskan tangannya)”
Perawat : “Tunggu. Saya ingin berbicara sebentar denganmu tentang
keadaan Ibu Soraya.”
Jihan : “Saya tidak ingin tahu! (berlari pergi)”
Perawat Tania kembali berjalan menuju ruang perawatan Ny. Soraya.
Keadaan Ny. Soraya pun semakin lemah dan Nampak sangat kurus.
Perawat : “(memeriksa TTV) selamat siang ibu. Bagaimana keadaan ibu
sekarang?”
Ny. Soraya : “Baik sust. Tapi kenapa saya selalu gelisah ya sus? Entah kenapa
banyak pikiran bersalah di otak saya.”
Perawat : “(duduk disamping pasien) maaf bu, ibu islam?”
Ny. Soraya mengangguk.
Perawat : “Cobalah untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah bu. Sholat
dan jika sedang jenuh berdzikir agar hati dan pikiran ibu
tenang. Serahkan semua kepada Allah.”
Ny. Soraya : “Bagaimana saya akan sholat sus? sedangkan untuk mengambil
air saja saya sudah merasa lemah.
Perawat : “Sholat tidak harus mengambil air wudhu bu. Ibu bisa
bertayamum menggunakan dinding yang ada disamping
ibu.”
Ny. Soraya : “Tidak sust. Saya belum ingin sholat. Saya rindu dengan anak
saya.”
Perawat : “(menghela nafas) Apa ibu ingin bertemu dengan putri ibu ?”
Ny. Soraya : “Ingin sekali saya memeluknya sust. Tapi dia pasti tidak akan
bisa menerima keadaan saya.”
Perawat : “Tidak bu. Putri ibu pasti sangat mengkhawatirkan ibu. Lebih
baik sekarang ibu lebih mendekatkan kepada Allah agar hati
ibu senantiasa tenang dan dapat mendoakan anak ibu.”
Ny. Soraya : “Iya sust.”
Siang hari pada hari berikutnya, seperti biasa jihan berdiri didepan pintu
menatap ibunya dari balik pintu. Perawat Tania yang melihat
Jihan dari kejauhan berjalan mendekatinya.
Perawat : “Apa kamu tidak akan masuk Jihan ?”
Jihan : “(terkejut dan mengeleng lalu bermaksud pergi, namun lagi-lagi
perawat Tania menahan tangan Jihan.
Perawat : “Ikutlah dengan saya sebentar saja.”
Dengan terpaksa jihan mengikuti perawat Tania menuju taman Rumah
Sakit. Mereka duduk disebuah kursi ditengah taman.
Perawat : “Kamu baru pulang sekolah ?”
Jihan mengangguk.
Perawat : “Apa kamu sudah mengetahui keadaan ibumu?”
Jihan kembali mengangguk.
Perawat : “Lalu apa kamu tidak akan menemui dan menemani ibumu?”
Jihan : “Dia tidak membutuhkan saya. Lebih baik suster yang
menjaganya”
Perawat : “Jihan. Bagaimanapun peran keluarga sangat penting bagi Ibu
Soraya dalam keadaan seperti ini. Apalagi kamu satu-
satunya keluarga yang dekat dengan Ibu Soraya. Kamu tidak
boleh bersikap seperti itu kepada ibumu sendiri.”
Jihan : “Suster tau apa tentang kami ? Bagaimana bisa dia disebut
seorang ibu jika tingkah lakunya bukan seperti seorang ibu.
Suster tidak tau kan bagaimana dia mendapat penyakit itu?
Yaa, karna dia suka gonta-ganti lelaki. Dan suster tau, tiap
hari saya duduk didepan pintu hingga tengah malam untuk
menunggunya, namun apa? Dia datang dengan pakaian
seperti itu.”
Perawat : “(menghela nafas) Tapi jihan, tidak ada gunanya menyesali
perbuatan dimasa lalu. Yang utama sekarang adalah Ibu
Soraya sangat membutuhkan dukungan dari kamu.
Bagaimanapun juga Ibu Soraya adalah ibumu. Wanita yang
telah melahirkanmu.”
Jihan masih diam dengan tatapan penuh emosi.
Perawat : “Jihan, keadaan ibumu sekarang semakin lemah. Apa kamu
tidak merasa sakit jika melihat ibumu seperti ini? Dia telah
menderita karena penyakitnya, apa kamu juga akan
menambah penderitaannya? Lupakan semua yang telah
terjadi Jihan, fokuslah untuk membahagiakan ibumu. Peluk
dia dan berilah kasih sayangmu.”
Jihan : “(terharu mendengar perkataan perawat) Baiklah. Besok aku
akan bertemu dengannya.”
Waktu cepat berganti. Hingga waktu yang ditunggu-tunggu pun datang.
Yaitu pertemuan ibu dan anak setelah satu bulan lebih tidak bertemu. Perawat
mengantar Jihan hingga depan pintu ruang perawatan Ny. Soraya. Terlihat Ny.
Soraya berbaring sambil membaca sebuah buku. Jihan berjalan mendekati
ibunya.
Ny. Soraya : “(terkejut) Jihan?”
Jihan : “Bagaimana keadaanmu?”
Ny. Soraya : “Oh aku baik-baik saja. Kenapa kamu kesini? Dan bagaimana
kamu tau kalau aku disini?”
Jihan : “Apa kamu akan terus menyembunyikan ini semua? Apa belum
cukup kamu tidak menganggapku ada?”
Ny. Soraya : “Apa maksudmu?”
Jihan : “Penyakitmu. Itu karena ulahmu sendiri. Berapa kali aku bilang
sama kamu untuk berhenti bekerja seperti itu. Tapi apa?
Sampai aku malu diejekin teman-temanku karena ulahmu.
Dan ayah, dia pergi karena tingkah lakumu!”
Ny. Soraya : “(berteriak) Jaga bicaramu Jihan!”
Jihan : “(marah-marah dan berteriak) Kenapa? Kamu kaget? Anak yang
kamu pikir masih kecil yang tak pernah kamu anggap ada
sekarang berani berbicara padamu? Kamu pikir selama ini
aku diam karena apa? Karena aku masih menghargai kamu
sebagai orang yang telah melahirkan aku. Tapi aku tidak bisa
melupakan semua. Ayah pergi karna kamu!”
Ny. Soraya : “(menampar Jihan)”
Jihan : “jhh. Akhirnya. Hampir selama 4 tahun aku menunggu
sentuhanmu akhirnya kamu nyentuh aku juga. Apa kamu
pikir aku sengaja membuat ulah untuk menyusahkanmu?
Asal kamu tau, aku ingin kamu memperhatikanku. Aku ingin
kamu memarahiku karena ulahku. Bukan yang hanya selalu
diam dan memperbaiki semuanya.”
Ny. Soraya : “Kamu tau, apa pekerjaanku selama ini? aku bukan pelacur
seperti yang kamu dengar dari orang-orang itu. Tiap pagi aku
menjadi kuli panggul dipasar dan malamnya aku menjadi
supir pengganti untuk para pemabuk itu. Dan soal ayahmu,
bukan ibu yang berselingkuh. Tapi ayahmu yang jahat. Dia
selalu mengoleksi banyak wanita muda hingga dia
menularkan penyakit ini padaku.”
Jihan : “(terkejut) Ke.. kenapa kamu baru menceritakan sekarang?”
Ny. Soraya : “Aku tidak ingin kamu membenci ayahmu. Cukup ibu yang
merasakan penderitaan ini, kamu jangan. Karena bagi ibu
kamu harta ibu satu-satunya!”
Jihan : “(diam menunduk dan memikirkan perkataan ibunya. air
matanya mulai menetes)
Ny. Soraya : “Percayalah jihan. Tidak ada ibu yang tidak menyayangi
anaknya. (lalu memeluk Jihan)”
Mulai dari saat itu, Jihan mulai luluh dan mau berbaikan dengan ibunya.
Jihan dibantu oleh perawat Tania selalu mengajak Ny. Soraya untuk beribadah
kepada Allah. Tiga bulan berselang, keadaan Ny. Soraya semakin memburuk.
Dia sudah tidak bisa berdiri dan berjalan. Jihan pun jarang datang ke RS karena
sibuk menyiapkan untuk kompetisinya di Jepang. Di sore hari, perawat Tania
duduk disamping Ny. Soraya.
Ny. Soraya : “Sus. Kenapa saya merasa sangat lemah akhir-akhir ini? Apa
saya akan mati?”
Perawat : “Hidup dan mati hanya Allah yang bisa menentukan bu. Lebih
baik sekarang ibu tidur dan berdzikir agar hati ibu tenang.”
Ny. Soraya : “Saya ingin sekali melihat Jihan membawa medali emas sus.
Saya ingin memeluknya saat pulang dari kompetisinya nanti.
Dan saya ingin disaat terakhir saya, saya ditemani oleh Jihan
dan pamannya. Saya ingin Jihan dirawat oleh pamannya.
Agar saya bisa pergi dengan tenang.”
Jihan : “Lebih baik sekarang ibu tidur ya ? Istirahat agar kondisi ibu
tidak semakin lemah.”
Satu minggu berlalu. Keadaan Ny. Soraya semakin memburuk, dia pun
mengalami penurunan kesadaran. Dengan cepat semua perawat dan dokter
segera memberi tindakan agar dapat mempertahankan hidupnya. Dengan berlari
dan membawa medali jihan datang dan memeluk Ny. Soraya.
Jihan : “Apa yang terjadi sust ?”
Perawat : “Keadaan Ny. Soraya memburuk Jihan.”
Jihan : “(memegang tangan Ny. Soraya) Ibu ? Ibu harus bertahan bu.
Jihan membawa medali ini untuk ibu. Dan paman, dia akan
segera datang. Bu, bukankah ini kali pertama aku
memanggilmu ibu? Apa ibu tak ingin mendengarnya? Bu,
aku mohon buka matamu bu. Bertahanlah sedikit lagi, paman
akan datang.”
Terlihat nafas Ny. Soraya semakin dalam dan panjang.
Perawat : “(merangkul bahu Jihan) iringi kepergian ibumu dengan
menyebut nama Allah Jihan.”
Jihan : “Bertahanlah sebentar bu, bukankah ibu ingin bertemu
denganku dan paman? Sebentar lagi paman datang.”
Tiba-tiba seorang lelaki tinggi dengan menggunakan setelan jas berlari
datang dan berdiri disamping Jihan.
Jihan : “Bu, paman sudah disini bu.”
Tn. Amin : “Soraya, aku disini. Aku akan menjaga Jihan. Kami ikhlas
melepasmu Soraya. Sebut nama Allah.”
Nafas Ny. Soraya semakin tak beraturan. Tanpa pikir panjang perawat Tania
membimbing Ny. Soraya didekat telinga Ny. Soraya menggunakan masker dan
handscoon.
Perawat : “Allah.. Allah.. Allah..”
Ny. Soraya semakin memburuk dan hanya mampu menggerakkan bibirnya
sedikit mencoba mengikuti bimbingan dari perawat Tania. Hingga Ny. Soraya
menghembuskan nafas terakhirnya.
Perawat : “Innalillahiwainna ilaihi rojiun.”
Jihan : “(menangis dan berteriak mendekati Ny. Soraya dan memegang
tangannya) ibu. Jihan janji Jihan akan jadi anak yang
membanggakan. Jihan akan menjadi dokter nantinya. Ibu
harus bahagia disana, Jihan akan selalu doain ibu. Maafin
Jihan bu. Jihan selalu menyalahkan ibu. Jihan sangat sayang
sama ibu. Ibu harus baik-baik disana. Ibu harus bahagia
dipelukan Allah. Jihan akan baik-baik saja bu. Ibu jangan
terlalu mengkhawatirkan Jihan.”
Dan akhirnya perawat menyiapkan perawatan jenazah Ny. Soraya sesuai
SOP.
Kesimpulan:
Dari roleplay diatas, dapat disimpulkan bahwa seorang perawat dalam
merawat pasien terminal harus mampu menerapkan teori peaceful end of life
dari Moore agar pasien dapat merasakan kedamaian di akhir hidupnya. Pada
dialog terdapat sikap perawat yang meyakinkan pasien untuk tetap bertahan
menjalani sisa hidupnya dengan baik. Kemudian perawat meyakinkan anak
pasien yang dimana sebagai keluarga terdekat untuk menerima ibunya,
memfasilitasi partisipasi orang-orang terdekat dalam pelayanan keperawatan
pasien, menerima rasa berduka keluarga, kekhawatiran, pertanyaan-pertanyaan
dan memberi kesempatan pada keluarga untuk mengalami kedekatan pada
orang yang dirawat.

Anda mungkin juga menyukai