Anda di halaman 1dari 23

IRIGASI DAN DRAINASE

TUGAS M8

Disusun Oleh:
Nama : Anggi Wiyaniputri Hasna
NIM : 215040201111159
Kelas :Q

Dosen Pengampu:
Prof. Ir. Didik Suprayogo, M.Sc., Ph.D.

FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2023
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Irigasi secara umum berkaitan dengan usaha mendapatkan air guna
menunjang kegiatan pertanian. Usaha tersebut menyangkut pembuatan sarana dan
prasarana irigasi yaitu berupa bangunan dan jaringan saluran ke petak irigasi untuk
memenuhi kebutuhan tanamn itu sendiri (Efendi et al., 2007). Tujuan irigasi pada
suatu wilayah adalah untuk penyediaan dan pengaturan air dari sumber air ke daerah
yang membutuhkan secara teknis dan sistematis guna menunjang kegiatan
pertanian.
1.2 Tujuan
Tujuan dari pembuatan Laporan Seleksi Sistem Irigasi Mata Kuliah Irigasi dan
Drainase, yaitu mahasiswa dapat mengetahui macam – macam sistem irigasi, kelebihan
dan kekurangan tiap metode sistem irigasi, kondisi dan kendala sistem irigasi, dan
proses mempertimbangan pilihan sistem irigasi.
BAB II
MEKANISME SELEKSI IRIGASI

2.1 Target Pengembangan Irigasi


Undang-undang No. 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air dan Peraturan
Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi mengamanatkan bahwa tanggung jawab
pengelolaan jaringan irigasi tersier sampai ke tingkat usahatani dan jaringan irigasi desa
menjadi hak dan tanggung jawab petani, yang terhimpun dalam wadah perkumpulan
petani pemakai air (P3A) sesuai dengan kemampuannya. Berdasarkan Peraturan
Pemerintah No. 38 tahun 2007 tentang pembagian urusan pemerintahan antara
Pemerintah, Pemerintah daerah Provinsi dan Pemerintah daerah Kabupaten/Kota
disebutkan bahwa kewenangan pengembangan/rehabilitasi jaringan irigasi tingkat
usahatani menjadi kewenangan dan tanggung jawab instansi tingkat Kabupaten/Kota
yang menangani urusan pertanian. Mengingat sebagian besar pemerintah Kabupaten/
Kota dan petani pemakai air sampai saat ini belum dapat menjalankan tanggung
jawabnya, maka Pemerintah dalam hal ini Kementerian Pertanian melalui Direktorat
Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian berusaha untuk membantu meningkatkan
pemberdayaan petani pemakai air dalam pengelolaan jaringan irigasi melalui kegiatan
pengembangan/rehabilitasi jaringan irigasi.
2.1.1 Tujuan dan Ssaran Investasi Irigasi
Investasi irigasi kecil oleh masyarakat memberikan dampak terhadap
peningkatan luas tanam dan produksi padi. Penelitian bertujuan mengkaji dampak
irigasi kecil terhadap peningkatan luas tanam dan produksi padi. Penelitian
dilakukan pada bulan Maret - Desember 2013 pada agro-ekosistem lahan tadah
hujan di Jawa Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat. Pengembangan irigasi
kecil berbasis investasi masyarakat (IKBIM) dianalisis menggunakan Net Present
Value, Incremental Benefit atau Cost Ratio dan Financial Internal Rate of Return.
Irigasi kecil sangat besar manfaatnya dalam meningkatkan perluasan tanam,
produksi dan pendapatan petani. Penggunaan pompa secara swadaya mampu
meningkatkan luas areal padi sawah dan indeks pertanaman. Investasi irigasi kecil
baik pompa maupun gravitasi dinilai layak dilakukan. Peran masyarakat dalam
investasi irigasi kecil sangat dominan, yang ditunjukkan dengan modal sosialnya
yang tinggi, tetapi sering terbentur pada kemampuan finansial yang terbatas. Dana
swadaya masyarakat yang dialokasikan untuk pengembangan jaringan irigasi
pompa relatif kecil dibanding jaringan irigasi grafitasi. (Supriadi, 2018).
Upaya mengatasi kekurangan air irigasi di musim kemarau, para petani di
Jawa, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan telah
lama memanfaatkan irigasi kecil dari air sadapan air sungai maupun air tanah.
Terutama di Jawa, penggunaan air tanah untuk irigasi semakin meluas terutama di
daerah yang telah beririgasi untuk menunjang diverifikasi tanaman, tetapi peran air
tanah untuk irigasi baru mencapai sekitar 2-3 persen dari luas areal sawah irigasi.
Masih rendahnya pemanfaatan irigasi kecil baik yang bersumber dari irigasi pompa
(yang sumber airnya dari air tanah maupun dari air permukaan) maupun irigasi
sederhana yang bersumber dari air permukaan (air sungai, danau/situ maupun mata
air) mempunyai peluang cukup besar untuk dikembangkan di masa yang akan
datang.
Investasi irigasi kecil (termasuk irigasi pompa) dapat dipandang sebagai salah
satu peluang untuk meningkatkan intensifikasi, ekstensifikasi dan diversifikasi
pertanian. Investasi irigasi kecil dapat dipandang sebagai bagian dari upaya untuk
menunjang ketahanan pangan pada tingkat nasional, lokal dan rumahtangga petani.
Kemampuan investigasi irigasi kecil oleh swasta, kelompok tani, petani perorangan
dan LSM perlu terus didorong dan ditingkatkan sehingga mampu berperan dalam
mendukung pembangunan pertanian wilayah. Pada daerah daerah irigasi yang
belum berkembang, diharapkan Pemerintah lebih berperan sebagai pelopor dan
motivator bagi pengembangan irigasi kecil. (Rivai, 2013).
Pengembangan irigasi kecil sebagai salah satu instrument kebijakan dalam
pembangunan pertanian berfungsi untuk mencapai sasaran antara dalam bentuk
perubahan pola tanam serta peningkatan intensitas tanam dan produktivitas dalam
rangka mendukung pencapaian sasaran akhir berupa peningkatan produksi
pertanian dan pendapatan petani.
2.1.2 Keselarasan Investasi Irigasi dengan Tujuan Janngka Panjang
Investigasi irigasi kecil oleh swasta dalam hal ini bisa petani sendiri, pengusaha
maupun lembaga swadaya masyarakat (LSM) akan memberikan dampak terhadap
peningkatan luas tanam dan produksi tanaman pangan utama. Oleh karena itu perlu
dipelajari berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan investasi irigasi kecil dan
viabilitas finansial sistim irigasi kecil berbasis investasi masyarakat. Agar berkelanjutan,
pengelolaan irigasi kecil memerlukan kelembagaan pengelolanya yaitu kepengurusan dan
anggota serta berbagai norma yang menyertainya. Menurut Pranadji (2006) bahwa para
ahli ekonomi, ekologi, dan ilmu sosial menempatkan tata nilai sebagai bagian penting
modal sosial tatanan kehidupan masyarakat dalam kaitannya dengan pengelolaan
masyarakat dan lingkungannya.

2.2 Kondisi dan Kendala Sistem Irigasi


Potensi air permukaan di Indonesia sebesar 2,7 Trilyun m3 /tahun, dapat
dimanfaatkan 691,3 milyar m3 /tahun. Dari potensi tersebut saat ini sudah
termanfaatkan sebesar 222,6 milyar m3 /tahun diantaranya untuk sektor irigasi
sebesar 177,1 milyar m3 /tahun. Rendahnya keandalan air irigasi di mana hanya
76.542 Ha (10,7%) luas irigasi permukaan yang airnya dijamin oleh waduk, sisanya
sebesar 6.383.626 Ha (89,3%) mengandalkan debit sungai. Kinerja jaringan irigasi yang
bergantung pada kondisi wilayah sungai. Belum optimalnya kondisi dan fungsi prasarana
irigasi permukaan nasional. Total irigasi permukaan di Indonesia seluas 7,1 juta ha atau
78% dari total luas irigasi nasional seluas 9,136 juta ha. Seluas 46% atau atau sekitar 3,3
juta ha prasarana irigasi dalam kondisi dalam kondisi rusak, dimana 7,5 % merupakan
kewenangan pusat sedangkan 8,26% merupakan irigasi kewenangan provinsi dan 30,4%
merupakan kewenangan pemerintah kabupaten atau kota. (Audit Kinerja Jaringan Irigasi,
2014).
Salah satu cara untuk melihat sistem irigasi yang terkait dengan kelembagaan
dan pembagian kewenangan antara pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/ kota tersebut adalah dengan melihat kinerjanya. Dengan
demikian, akan diketahui sejauh mana skema irigasi mencapai tujuan yangtelah
ditetapkan. Pengelolaan infrastruktur irigasi yang menunjang irigasi masa depan
diperlukan untuk terlaksananya multifungsi pertanian yaitu terwujudnya proses
diversifikasi pertanian secara meluas, meningkatnya fungsi konservasi sistem
irigasi, dan terpeliharanya warisan nilainilai budaya berupa kearifan lokal dan
modal sosial dalam pengelolaan irigasi (Pasandaran, 2007). Dalam rangka
pengelolaan sumber daya air irigasi yang efisien, dan berdimensi pemberdayaan
petani diperlukan penyesuain kelembagaan, baik untuk kelembagaan pemerintah,
swasta maupun petani (Rachman, 2009). Pengelolaan irigasi memerlukan
kelembagaan pengelolanya yaitu kepengurusan dan anggota serta berbagai norma
yang menyertainya, agar efisien dalam pemanfaatannya dan tetap berkelanjutan.
Dalam sistem irigasi, modal sosial merujuk pada sesuatu yang mendukung dan
memungkinkan semua distribusi air dengan kriteria tepat jumlah dan tepat waktu
untuk semua petani dalam satu daerah irigasi (Rivai, 2013).
2.2.1 Kondisi Sistem Irigasi Saat Ini
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dalam irigasi, antara lain:
faktor agroekologi, faktor teknologi budidaya dan faktor sosial ekonomi. Termasuk
faktor agrekologi adalah karakteristik iklim, sumber air, tanah, dan kondisi fisik
lahan. Sedangkan faktor teknologi budidaya termasuk pengolahan tanah, varietas
tanaman, pemeliharaan (termasuk pemupukan) dan panen serta pascapanen. Faktor
sosial ekonomi yang berpengaruh terhadap pengembangan irigasi kecil adalah: (1)
ketersediaan sarana dan prasarana (terutama transportasi, jaringan irigasi dan
pasar); (2) kebijakan pemerintah terutama yang berkaitan dengan harga input dan
output hasil pertanian, (3) kelembagaan yang terkait dengan bisnis pertanian,
seperti penyuluhan, pedagang input, pedagang output, penangkar benih, jasa
alsintan termasuk traktor, permodalan, penguasaan sumberdaya lahan dan
manajemen. (Rivai, 2013).
Permasalahan lapangan yang timbul karena perubahan peruntukan air irigasi
yang sebelumnya hanya untuk produksi beras dan berkembang untuk produksi ikan
kolam air deras, telah menimbulkan konflik kepentingan di tingkat lapangan.
Kondisi ini selalu disampaikan oleh petani dan petugas lapangan pada setiap
kesempatan, baik dilapangan maupun di tingkat nasional. Sementara itu antara
produksi beras dan ikan semua sama penting dan utama bagi daerah, karena itu
tidak ada yang dapat di nomor duakan, dan kondisi jaringan irigasi pada situasi
sekarang sudah tidak dapat mendukung dan terancam kelestarian dan
keberlanjutannya. (Saleh, 2010).
2.2.2 Kondisi Lahan Pertanian Saat ini dan Kendalanya
Degradasi lahan merupakan proses penurunan produktivitas lahan yang yang
ditandai dengan perubahan sifat fisik, kimia dan biologi (Sitorus, 2011) akibat
penurunan produktivitas lahan tersebut menciptakan lahan menjadi kritis (Kurnia,
2010). Pemupukan kimia secara tidak berimbang diidentifikasi menjadi penyebab
utama kerusakan lahan atau lahan kritis. Penurunan kualitas lahan yang cukup berat
dapat dilihat dari adanya gejala leveling-off di lahan pertanian. Gejala ini karena
jumlah penggunaan pupuk meningkat, rendahnya efisiensi pemupukan, dan lahan
secara fisik mengalami kerusakan yang gejalanya tanah menjadi cepat retak saat
kemarau dan jenuh air atau banjir saat hujan (Rattan, 2016). Usaha- usaha
konservasi lahan pertanian perlu dilakukan untuk mencegah kerusakan lahan yang
lebih parah dan mengembalikan lahan kritis menjadi potensial kembali. Sawah
merupakan lahan yang paling banyak dikelola petani di Indonesia.
Lahan ini secara terus menerus digenangi, atau digilir dengan tanaman
palawija (Sukwika & Firmansyah, 2020). Penggunaan lahan memiliki pengaruh
lokal bagi terjadinya kerusakan produktivitas ekosistem. Oleh sebab itu maka
penggunaan lahan sangat penting diimbangi usaha konservasi lahan itu sendiri
terutama bagi negara-negara yang ekonominya berbasis pertanian (Hardjowigeno,
2004). Kurangnya pengetahuan petani dalam pengolahan lahan menjadi penyebab
utama terabaikannya upaya konservasi lahan (Suryani, 2019), sehingga terjadilah
degradasi lahan pertanian. Status kerusakan lahan dan penyebaran lahan kritis di
Indonesia dapat tergolong ringan, sedang dan berat. Berdasarkan kajian kriteria
baku kerusakan lahan, maka yang tergolong lahan rusak ringan dan sedang berada
di wilayah dataran tinggi kabupaten Probolinggo Indonesia (Kaenchan, 2017). Oleh
karenanya perlu dilakukan upaya preventif sebagai strategi pemulihan produktivitas
lahan sawah menuju kemandirian pangan yang berkelanjutan.
Kerusakan lahan pertanian di Indonesia sudah cukup memprihatinkan,
sehingga mengharuskan petani Indonesia mengembalikan fungsi potensial lahan,
salah satunya dengan cara konservasi berbasis kearifan lokal. Dalam ulasan ini akan
dikaji lebih mendalam tentang peran petani Indonesia dalam usaha konservasi lahan
berbasis kearifan lokal dan artikel ini bertujuan untuk menganalisis peran petani
dalam konservasi lahan berbasis kearifan lokal serta kontribusinya dalam
pengembalian fungsi lahan.
2.2.3 Kinerja Sistem Irigasi Saat Ini
Berbagai pengaturan tanggung jawab maupun kewenangan pengembangan
dan pengelolaan sistem irigasi oleh pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan
pemerintah kabupaten/kota masih belum mampu mengatasi persoalan di lapangan
dengan tepat. Hal ini terlihat dari masih banyaknya Daerah Irigasi (DI) yang
prasarana irigasinya kurang berfungsi dengan tingkat kerusakan jaringan yang
tinggi sehingga memerlukan biaya tinggi. Selain itu, rendahnya kepedulian
terhadap penyediaan dana operasi dan pemeliharaan (OP), sumber daya manusia
tenaga OP terbatas, dan partisipasi perkumpulan petani pemakai air (P3A) atau
gabungan perkumpulan petani pemakai air (GP3A) juga belum optimal. Hal
tersebut juga ditunjang dengan masalah insentif lemah, hak properti yang
kompleks, dan kendala keuangan. Sistem irigasi yang baik menjadi suatu hal yang
perlu diperhatikan agar permasalahan tersebut tidak muncul atau minimal dapat
dikurangi. Sistem irigasi merupakan aspek yang sangat kompleks, yaitu meliputi
air irigasi, daerah irigasi, prasarana fisik irigasi, sumber daya manusia,
kelembagaan irigasi, manajemen, sarana penunjang irigasi, pembiayaan, dan
teknologi. Semua hal itu saling terkait satu sama lain untuk mencapai tujuan yang
diinginkan, yaitu menunjang pertanian sehingga produktivitasnya meningkat. Hal
ini terangkum dalam 5 pilar sistem irigasi, yaitu ketersediaan air, prasarana irigasi,
manajemen pengelolaan irigasi, institusi pengelola irigasi, dan sumber daya
manusia (Direktorat Irigasi dan Rawa, 2011).
Jaringan irigasi diperlukan oleh para petani yang membutuhkan sumber daya
(manusia, peralatan, bahan) yang tersedia. Untuk menempatkan sumber daya,
diperlukan suatu model yang mempengaruhi terlaksananya pemanfaatan irigasi
secara rinci sistematis, sehingga dapat memprediksi berjalannya program tersebut.
Jaringan irigasi sebagai media untuk memenuhi kebutuan air pertanian perlu
dikelola secara efektif dan efisien, satu cara pengelolaan air bawah tanah dan dari
sungai tersebut dimanfaatkan secara optimal perlu sistem yang tepat dalam
penerapannya diantaranya air bawah tanah dengan pompa yang didistribusikan
kearea persawahan sesuai kapasitas airnya, untuk aliran air dari sungai perlu
diterapkan dengan membuat saluran terbuka baik lahan kering atau basah dibuatkan
tampungan dengan sistem gravitasi yang mampu mengaliri lahan persawahan
dengan teknik perhitungan debit dan kebutuan air pada tanaman sesuai musim
tanam dan jenis tanaman yang di kembangkan secara optimum, dengan penerapan
jaringan irigasi yang mempertimbangkan aspek ketersediaan air, penerapan sistem
irigasi secara berkelanjutan untuk lebih efisien dengan metode gravitasi perlu peran
yang besar para petani dalam mencapai teknologi tersebut dengan bantuan para
Akademisi dan Instansi terkait. (Bisri, 2009).
Pengembangan pertanian di pulau kecil perlu didukung metode irigasi yang
tepat untuk menjamin kontinuitas produksi pertanian serta pengelolaan irigasi
berkelanjutan yang dapat meningkatkan produktivitas lahan di pulau kecil. Sumber
air yang jauh dari lahan pertanian harus dapat disalurkan tanpa mengalami
kebocoran, rembesan dan kehilangan air lainnya yang tidak dapat dimanfaatkan
lagi. Semakin banyak lahan yang dipergunakan untuk pembangunan dan semakin
sedikit lahan untuk pertanian apalagi di daerah perkotaan. Perkembangan pola
hidup manusia dari tahun ke tahun menyebabkan berubahnya alih guna lahan. Alih
guna lahan menyebabkan sulit ditemui lahan pertanian yang luas dan hanya
menyisakan lahan sempit atau sedikit. Oleh karena itu, dalam meningkatkan
produktivitas hasil pertanian dengan lahan yang terbatas diperkirakan dapat dibantu
dengan penggunaan sistem irigasi mikro. Salah satu jenis irigasi mikro adalah
irigasi sprinklers mini. Penggunaan sistem irigasi mikro dalam penerapannya tidak
membutuhkan lahan yang besar, serta dapat memanfaatkan sumber air yang
seadanya misalnya pada lahan kering (Negara, 2021).
2.3 Proses Mempertimbangkan Pilihan Irigasi
Berdasarkan cara pengaturan, pengukuran aliran air dan lengkapnya fasilitas,
jaringan irigasi dapat dibedakan menjadi 3 tingkatan yaitu: 1) Nonteknis, 2.) Semi
Teknis, 3) Teknis Perbedaan. Irigasi Non-teknis adalah irigasi yang pembagian air
tidak diukur atau diatur, air lebih akan mengalir ke selokan pembuang. Para
pemakai air tergabung dalam suatu kelompok yang sama dan tidak diperlukan
keterlibatan pemerintah di dalam organisasi jaringan irigasi semacam ini.
Persediaan air biasanya melimpah dan kemiringan berkisar antara sedang sampai
curam. Oleh karena itu hampir- hampir tidak diperlukan teknik yang sulit untuk
pembagian air. Jaringan yang masih sederhana itu mudah diorganisasi tetapi
memiliki kelemahan-kelemahan yang serius. Kelemahan tersebut diantaranya yang
pertama ada pemborosan air dan karena pada umumnya jaringan ini terletak di
daerah yang tinggi, air yang terbuang itu tidak selalu dapat mencapai daerah rendah
yang lebih subur. Kedua, terdapat banyak penyadapan yang memerlukan lebih
banyak biaya lagi dari penduduk karena setiap desa membuat jaringan dan
pengambilan sendiri-sendiri. Karena bangunan pengelaknya bukan bangunan
tetap/permanen maka umurnya mungkin pendek. (Bisri, 2009).
Irigasi Semi-teknis merupakan jaringan irigasi sederhana dan jaringan
semiteknis adalah bahwa yang belakangan ini bendungnya terletak di sungai
lengkap dengan pengambilan dan bangunan pengukur di bagian hilirnya. Mungkin
juga dibangun beberapa bangunan permanen di jaringan saluran. Sistem pembagian
air biasanya serupa dengan jaringan sederhana. Kemungkinan bahwa pengambilan
dipakai untuk melayani daerah yang lebih luas daripada daerah layanan jaringan
sederhana. oleh karena itu biayanya ditanggung oleh lebih banyak daerah layanan.
Organisasinya lebih rumit dan jika bangunan tetapnya berupa bangunan
pengambilan dari sungai maka diperlukan lebih banyak keterlibatan dari
pemerintah. (Bisri, 2009).
Irigasi Teknis adalah pemisahan antara jaringan irigasi dan jaringan
pembuang. Hal ini berarti bahwa baik saluran irigasi maupun pembuang tetap
bekerja sesuai dengan fungsinya masing-masing dari pangkal hingga ujung. Saluran
irigasi mengalirkan air irigasi ke sawah-sawah dan saluran pembuang mengalirkan
air lebih dari sawah-sawah ke selokan-selokan pembuang alamiah yang kemudian
akan membuangnya ke laut. Petak tersier menduduki fungsi sentral dalam jaringan
irigasi teknis. Luas petak tersier adalah maksimum 150 ha. Pembagian air di dalam
petak tersier diserahkan kepada petani. Jaringan-saluran tersier dan kuarter
mengalirkan air ke sawah. Kelebihan air ditampung di dalam suatu jaringan saluran
pembuang tersier dan kuarter dan selanjutnya dialirkan ke jaringan pembuang
primer. Jaringan irigasi teknis yang didasarkan pada prinsip- prinsip di atas adalah
cara pembagian air yang paling efisien dengan memperhitungkan waktu-waktu
merosotnya persediaan air serta kebutuhan- kebutuhan pertanian. Jaringan teknis
memungkinkan dilakukannya pengukuran aliran, pembagian air irigasi dan
pembuangan air lebih secara efisien. Jika petak tersier hanya memperoleh air pada
satu tempat saja dari jaringan pembawa utama, hal ini akan memerlukan jumlah
bangunan yang lebih sedikit di saluran primer, eksploitasi yang lebih baik dan
pemeliharaan yang lebih murah dibandingkan dengan apabila setiap petani
diizinkan untuk mengambil sendiri air dari jaringan pembawa. Kesalahan dalam
pengelolaan air di petak-petak tersier juga tidak akan mempengaruhi pembagian air
di jaringan utama. Keuntungan yang dapat diperoleh dari jaringan gabungan
semacam ini adalah pemanfaatan air yang lebih ekonomis dan biaya pembuatan
saluran lebih rendah karena saluran pembawa dapat dibuat lebih pendek dengan
kapasitas yang lebih kecil. Kelemahan- kelemahannya adalah bahwa jaringan
semacam ini lebih sulit diatur dan dieksploitasi, lebih cepat rusak dan
menampakkan pembagian air yang tidak merata. (Sri Baroroh, 2009).
2.3.1 Kekuatan dan Keterbatasan Biaya Relatif dari alternatif sistem irigasi
Teknologi irigasi curah dapat meningkatkan efisiensi penggunaan air irigasi dan
keseragaman irigasi yang diberikan lebih dari 80%. Salah satu kendala yang dihadapi pada
daerah lahan kering adalah terbatasnya pasokan air irigasi, dan sebagian besar
mengandalkan dari air hujan. Guna mendukung program ketahanan pangan yang tengah
gencar dilakukan oleh pemerintah beberapa tahun terakhir ini, tentu masalah ini harus dapat
segera ditangani. Kondisi lingkungan ini dapat mempengaruhi kehidupan hama dan
sekaligus kehidupan parasit dan predatornya. Irigasi Curah (Sprinkler Irrigation) metode
pemberian pada tanaman yang dilakukan melalui curahan air seperti curahan air hujan.
Irigasi tetes (Trickle Irrigation) adalah irigasi secara langsung baik pada permukaan tanah
maupun di dalam tanah melalui tetesan secara sinambung dan perlahan di daerah perakaran
tanaman atau di sekitar tanaman. Namun sistem ini memerlukan biaya investasi yang tidak
sedikit untuk keperluan biaya sumber air, pompa dan tenaga penggerak, sistem perpipaan,
dan nozel (sprayer). Hal ini tentu akan memberatkan bagi para petani kecil dengan luas
lahan yang relatif kecil dan terpisah-pisah. Irigasi tetes merupakan cara pemberian air
dengan jalan meneteskan air melalui pipa-pipa secara setempat di sekitar tanaman atau
sepanjang larikan tanaman. Disini hanya sebagian dari daerah perakaran yang terbasahi,
tetapi seluruh air yang ditambahkan dapat diserap cepat pada keadaan kelembaban tanah
yang rendah. (Iqrima, 2017). Teknologi irigasi curah dapat meningkatkan efisiensi
penggunaan air irigasi dan keseragaman irigasi yang diberikan lebih dari 80% (Kurniati et
al., 2014), selain itu kehilangan lahan akibat pemasangan sarana irigasi dapat dikurangi.
Sistem irigasi sprinkler dapat digunakan dalam berbagai kondisi permukaan lahan, baik
datar dan bergelombang. Jadi sistem ini sangat cocok diterapkan dalam pertanian lahan
kering. Namun sistem ini memerlukan biaya investasi yang tidak sedikit untuk keperluan
biaya sumber air, pompa dan tenaga penggerak, sistem perpipaan, dan nozel (sprayer). Hal
ini tentu akan memberatkan bagi para petani kecil dengan luas lahan yang relatif kecil dan
terpisah-pisah.
Sistem irigasi bawah tanah (subirrigation) merupakan salah satu cara
pemberian air irigasi yang dapat diterapkan secara menguntungkan, karena sistem
sub-irrigation memanfaatkan daya kapilaritas untuk menyerapkan air dari bawah
tanah ke zona perakaran. Ketinggian tanah juga mempengaruhi daya serap air
irigasi, sehingga berdasarkan penelitian sebelumnya ketinggian tanah yang
digunakan untuk tanaman tomat rampai dengan sistem irigasi bawah tanah dengan
hasil yang terbaik pada ketinggian tanah 30 cm (Septiana, 2014). Irigasi mikro
memiliki kemampuan penghematan air yang tinggi. Terutama bila diberikan
dibawah permukaan tanah (subirrigation). Beberapa irigasi bawah tanah skala
mikro yang sudah dikembangkan diantaranya adalah irigasi kendi yang memiliki
tingkat efisiensi 100%. Namun irigasi ini masih memiliki kelemahan karena
kemampuan pengaliran sering tidak sesuai dengan keterhantaran hidroulik tanah.
Inovasi selanjutnya adalah dengan irigasi kapiler. Sistem ini memanfaatkan media
forous dalam mengalirkan air secara kapiler dari sumber air. Selanjutnya perlujuga
dikembangkan irigasi bawah tanah sekala mikro yang sejauh ini belum berkembang
di Indonesia. Irigasi ini mencoba memanfaatkan media untuk mengalirkan air
langsung dibawah permukaan tanah dan berada dekat permukaan tanah. Irigasi ini
akan lebih efisien karena kehilangan air karena perkolasi dan aliran permukaan tida
ada. Aplikasi dilakan irigasi bawah tanah bisa juga dilakukan dengan media kapiler
yaitu air dialirkan melalui bahan media dari bawah menuju media tanah di zona
akar tanaman. Untuk itu pada makalah ini akan menyajikan hasil penelitian
bagaimana metode kapilaritas bisa dijadikan sebagai metode penyediaan air bagi
tanaman.
Teknologi irigasi mikro adalah salah satu teknologi sistem irigasi yang
mengaplikasikan air hanya di sekitar zona perakaran tanaman. Beberapa jenis
irigasi mikro yang sudah dikembangkan adalah irigasi tetes (drip irrigation),
microspray, dan mini sprinkler. Masing-masing jenis irigasi tersebut dapat
dibedakan berdasarkan tipe outlet atau pengeluaran air yang digunakan, yaitu: (1)
irigasi tetes, meneteskan air melalui pipa berlubang dengan diameter kecil atau
sangat kecil, (2) microspray, mencurahkan air di sekitar perakaran dengan diameter
pembasahan 1-4 m, dan (3) mini sprinkler, mencurahkan air di sekitar perakaran
dengan diameter pembasahan hingga 10 m. Sistem Irigasi mikro memberikan
beberapa keuntungan, antara lain hemat air, laju aliran air rendah, dapat dilakukan
bersamaan dengan pemupukan, dan dapat diterapkan pada berbagai topografi lahan.
Penggunaan irigasi mikro dapat menghemat air irigasi karena langsung
didistribusikan secara perlahan pada daerah perakaran tanaman. Hal ini berbeda
dengan irigasi permukaan yang membutuhkan air cukup banyak untuk membasahi
lahan. Pada irigasi mikro laju aliran air juga lebih rendah dibanding irigasi
permukaan dengan tekanan pengalirannya hanya sebesar 1-2 kg/cm2. Irigasi mikro
dapat diterapkan pada berbagai topografi lahan, mulai lahan datar, bergelombang
hingga berbukit. Di balik keuntungan penggunaan irigasi mikro, terdapat beberapa
permasalahan dalam penerapannya seperti lubang emitter (penetes) sering
tersumbat tanah, lumut atau kotoran lain yang terbawa aliran air. Efisiensi irigasi
mikro dapat ditingkatkan sampai lebih dari 90% jika sistem tetes dirancang dengan
tepat dan dioperasikan dengan teratur sesuai dengan jumlah kebutuhan dan waktu
pemberian air. (Herwindo, 2013). Secara teoritis, efisiensi irigasi tetes maupun
irigasi mikro lebih tinggi jika dibandingkan dengan irigasi permukaan, karena
selain dapat mengurangi kehilangan air berupa perkolasi dan limpasan (run-off),
sistem irigasi tetes hanya memberikan air pada daerah perakaran, sehingga
mengurangi kehilangan air irigasi pada bagian lahan yang tidak efektif untuk
pertumbuhan tanaman.
2.4. Rancangan, Manajemen dan Biaya Sistem Irrigasi yang terpilih
Irigasi mikro menjadi sistem irigasi yang terpilih dikarenakan keunggulan dari
berbagai aspek yang diperhitungkan. Penerapan sistem irigasi mikro untuk tanaman
bernilai ekonomis tinggi dapat menjadi alternatif dalam peningkatan efisiensi penggunaan
air irigasi. Hal ini dikarenakan penerapan irigasi mikro menggunakan jaringan perpipaan
dalam pemberian air irigasinya mempunyai nilai efisiensi sangat tinggi, sehingga dapat
mengoptimalisasi pemanfaatan air irigasi serta mendukung peningkatan ketahanan pangan
dan air. Penelitian ini bertujuan untuk merancang suatu desain jaringan irigasi mikro
berbasis multi komoditas dan mengetahui kinerja jaringannya. Jaringan irigasi mikro
berbasis multi komoditas diterapkan menggunakan tenaga gravitasi dengan memanfaatkan
sumber mata air yang mempunyai perbedaan tinggi sebesar 50 meter.
2.4.1. Sistem Irrigasi yang terpilih
Irigasi mikro terdiri atas beberapa jenis antara lain irigasi tetes, irigasi
subsurface, irigasi mini sprinklers dan mikro sprayer. Penggunaan sistem irigasi mikro
dalam penerapannya tidak membutuhkan lahan yang besar, serta dapat memanfaatkan
sumber air yang seadanya. Irigasi mikro dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan
produktivitas lahan kering. Sistem irigasi ini hanya mengaplikasikan air di sekitar
perakaran tanaman. Irigasi mikro cocok diterapkan pada lahan kering, berpasir, berbatu
atau sukar didatarkan dan cocok dan tepat diterapkan untuk tanaman ber- nilai
ekonomis tinggi (high value crop). Irigasi mikro saat ini banyak dipakai, terutama di
negara-negara maju yang menyadari bagaimana bernilainya air untuk kehidupan,
karena sangat hemat pemakaiannya sesuai kebutuhan tanaman. Irigasi mikro saat ini
sangat popular tidak hanya di terapkan pada daerah kering, tetapi di daerah perkotaan
dan daerah-daerah basah dimana air bernilai mahal. Irigasi mikro adalah salah satu
terobosan yang bisa dilakukan. Teknologi ini adalah suatu istilah bagi sistem irigasi
yang mengaplikasikan air hanya di sekitar zona penakaran tanaman. Irigasi mikro ini
meliputi irigasi tetes, microsprayer dan mini-sprinkler (Wiyono, 2006).
2.4.2. Rancangan Sistem Irrigasi yang di rekomendasikan
Ada beberapa jenis irigasi mikro, yaitu irigasi tetes (drip irrigation),
microsprayer, dan mini-sprinkler. Masing-masing jenis irigasi tersebut dapat
dibedakan berdasarkan tipe outlet atau pengeluaran air yang digunakan, yaitu: (1)
irigasi tetes, meneteskan air melalui pipa berlubang dengan diameter kecil atau
sangat kecil, (2) micro-spray, mencurahkan air di sekitar perakaran dengan
diameter pembasahan 1-4 m, dan (3) mini-sprinkler, mencurahkan air di sekitar
perakaran dengan diameter pembasahan hingga 10 m (BBP Mekanisasi Pertanian.
2008). Kesesuaian dan komposisi irigasi serta fasilitas pertanaman, sangat
berpengaruh terhadap keberhasilan penyelenggaraan irigasi khususnya untuk
menunjang pertanian dan penyiapan irigasi. Secara umum, karakteristik utama yang
membedakan irigasi mikro dengan teknologi pemberian air bertekanan lainnya
adalah besaran alirannya rendah, terlokalisasi, pembasahan permukaan dan volume
tanah parsial (kontras dari pembasahan permukaan penuh pada irigasi sprinkler),
aplikasi air yang sering dilakukan karena keterbatasan volume pembasahan air dan
pemberian dengan tekanan air yang lebih rendah dibandingkan dengan irigasi
sprinkler. Pada dasarnya kesesuaian dan komposisi irigasi dan fasilitas pertanaman,
sangat berpengaruh terhadap keberhasilan penyelenggaraan irigasi khususnya
untuk menunjang pertanian dan penyiapan irigasi. Sifat tanah meliputi tekstur
tanah, struktur tanah, berat jenis absolut, berat jenis spesifik, ruang
pori, kapasitas menahan air, infiltrasi, permeabilitas tanah, ketebalan humus
tanah dan kesesuaian tanah untuk pertumbuhan tanaman. Banyaknya air irigasi
yang diberikan ditentukan berdasarkan kapasitas menahan air dari tanah yang
menunjukkan jumlah air tanah tersedia serta penyerapan air oleh tanaman. Jumlah
air tanah tersedia yang merupakan selisih antara kapasitas lapang dengan titik layu
permanen. Air irigasi harus segera diberikan sebelum kadar air tanah mencapai titik
layu permanen, yang disebut dengan deplesi lengas yang direkomendasikan (Balai
Irigasi, 2009).
2.5. Revaluasi Pilihan Sistem Irrigasi untuk Ketercapaian Tujuan
Irigasi mikro dapat menjadi pilihan untuk meningkatkan produktivitas lahan di pulau
kecil. Sistem irigasi ini mengaplikasikan air di sekitar zona perakaran tanaman dan
merupakan salah satu teknologi irigasi bertekanan rendah dengan efisiensi irigasi sangat
tinggi. Irigasi mikro cocok diterapkan pada lahan dimana ketersediaan airnya terbatas,
lahan berpasir, berbatu atau sukar diratakan (Balai Irigasi, 2011). Irigasi mikro saat ini
banyak dipakai, terutama di negara-negara maju yang menyadari nilai air untuk kehidupan
berhubung sangat hemat pemakaian airnya sesuai kebutuhan tanaman.

2.5.1. Analisis ketercapaian tujuan


Ketercapaian tujuan dari aspek ekonomi menggunakan jenis irigasi basin dapat
fokus pada peningkatan produksi tanaman untuk mencapai hasil yang lebih baik
sekaligus mengurangi input tenaga kerja. Dengan sistem irigasi basin, maka produksi
tanaman jagung dan padi pada lahan pengamatan dapat optimal karena kesesuaiannya
dengan kondisi lahan baik dari segi kemiringan lahan, jenis tanah, serta iklim.
Selanjutnya dari aspek sosial dapat berhubungan dengan masalah gaya hidup, seperti
mendapatkan istirahat malam yang baik tanpa memikirkan tanaman kekurangan air.
Lahan pengamatan akan mendapatkan jumlah air yang cukup menggunakan irigasi
basin. Pada irigasi basin ini dilakukan dengan menggenangi tanah pada daerah
permukaan lahan. Sistem irigasi ini mudah untuk dilakukan serta membutuhkan biaya
yang sedikit. Penggunaan air pada irigasi ini dapat secara maksimal dengan komoditas
tanaman padi. Air dapat membasahi ke daerah perakaran tanaman, jika perencanaan
sistem distribusi air untuk dapat menegndalikan aliran air irigasi dengan melakuka
perataan lahan yang baik, sehingga penyebaran air dapat seragam pada seluruh petakan.
Selanjutnya, tujuan lingkungan mungkin berhubungan dengan pengurangan run-off
dan drainase dalam.
2.5.2. Analisis Risiko
Kelemahan penerapan irigasi mikro, yaitu: kurangnya bimbingan dan panduan
dalam penerapan irigasi mikro, kurangnya kontrol terus menerus terhadap peralatan, dan
apabila peralatan terkait irigasi mikro rusak, sulit mencari gantinya. Ancaman penerapan
irigasi mikro, yaitu: musim kemarau yang ekstrim, tidak lancar untuk mendapatkan pupuk,
tidak lancar untuk mendapatkan bibit tanaman, dan hama tanaman. (Rahmandani, 2020).
BAB III
PEMBAHASAN HASIL SELEKSI IRIGASI

3.1 Irigasi Mikro


Irigasi mikro adalah sistem irigasi yang pemberian airnya disekitar zona
perakaran tanaman, pemberiannya diantara jalur-jalur. Irigasi mikro meliputi irigasi
tetes (drip irrigation), microspray dan mini-sprinkler. Irigasi mikro dicirikan oleh
tipe outlet yang digunakan. Umumnya tetesan air keluar melalui pipa berlubang
yang berdiameter kecil atau sangat kecil atau sistem mencurahkan air disekitar zona
perakaran. Diameter pembasahan antara 1 sampai 4 meter yang akan dimanfaatkan
oleh tanaman dengan sedikit daya hisap perakarannya. Begitu juga kebutuhan daya
untuk pengaliran air tersebut sangat efisien sehingga aplikasi irigasi mikro mampu
mengefisienkan penggunaan daya dan air. (Umar, 2008). Irigasi mikro adalah salah
satu teknologi sistem irigasi yang mengaplikasikan air hanya di sekitar zona
perakaran tanaman. Beberapa jenis irigasi mikro yang sudah dikembangkan adalah
irigasi tetes, microspray, dan mini sprinkler.
3.2 Komponen Irigasi Mikro
Komponen irigasi tetes yang digunakan terdiri dari unit utama, jaringan pipa
utama, pipa sub utama/pembagi (manifold), pipa lateral, alat penetes (emitter) dan
komponen pelengkap (air vent, katup/ball valve, dan lain-lain). Unit utama jaringan
irigasi tetes terdiri dari pompa submersible bertenaga solar cell, sistem fertigasi,
katup/kran pengatur aliran, water meter dan filter utama. Pipa utama menggunakan
pipa galvanis dan pipa PVC dengan diameter 4 s.d. 2 inchi. Pipa PVC yang
digunakan merupakan PVC tipe AW yang mampu menahan tekanan sampai dengan
8 kg/cm2. Pipa galvanis dipergunakan pada jaringan pipa utama yang tidak
memungkinkan ditanam. Sementara itu, pipa pembagi (manifold) didesain berupa
modular (sistem bongkar pasang) dengan panjang satu unitnya adalah 1,5 m.
Sambungan antar modul menggunakan water connector. Jaringan pipa manifold
diletakkan searah melintang di atas bedengan atau lahan yang akan ditanami. Pipa
manifold menggunakan pipa PVC tipe AW dengan diameter 1,5 inchi. Pipa lateral
menggunakan tipe drip pipe dengan bahan Polyethylene (PE) berdiameter 16 mm,
tebal 0,9 mm, dan debit 1,6 liter/jam. Pipa lateral yang digunakan selain berfungsi
sebagai pipa pengantar sekaligus sebagai penetes (dripper). Jarak antar lateral dan
penetes 30 cm x 30 cm dan 50 cm x 50 cm disesuaikan dengan komoditas yang
ditanam oleh petani, yaitu tanaman palawija dan sayuran. Sistem penyambungan
pipa lateral ke pipa manifold menggunakan sistem knockdown sehingga cukup
dengan memasukkan pipa lateral yang disambung dengan dudukan nipple (take
off/connector) pada pipa manifold yang sebelumnya telah dilubangi dan dilengkapi.
Grommet berfungsi sebagai pengikat sekaligus seal guna menghindari bocoran di
sambungan antar pipa lateral dan pipa manifold. (Rahmandani, 2020).
3.3 Cara Kerja Irigasi Mikro
Cara kerja irigasi mikro dengan menyalurkan air dari sumber ke daerah
sasaran dengan pipa. Pada lahan dan sawah tersebut, pipa kemudian disumbat
menggunakan tekanan khusus dari alat atau pipa dengan begitu muncul pancaran
air. Sistem irigasi mikro adalah mengalirkan air secara buatan dari sumber air yang
tersedia kepada sebidang lahan untuk memenuhi kebutuhan tanaman. Irigasi mikro
juga dapat menanggulangi masalah kekeringah lahan, lokasi lahan yang sulit, serta
sulitnya distribusi air menuju lokasi lahan.
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Pengembangan lahan di Indonesia dan kondisi keadaan lahan pertanian saat
ini mengalami kendala karena ketersediaan air yang sangat terbatas. Pengembangan
lahan beririgasi sering terkendala kebutuhan air untuk lahan pertanian yang relatif
tinggi sehingga terjadi kompetisi penggunaan air dengan kebutuhan domestik.
Dengan demikian, pengembangan lahan beririgasi perlu dilakukan dengan
menerapkan teknologi irigasi hemat air seperti irigasi mikro. Irigasi mikro juga
bertekanan rendah dengan laju aliran yang dapat mengurangi pengairan yang
berlebihan pada suatu lanskap. Bentuk irigasi ini mengalirkan air langsung ke
tempat yang paling dibutuhkan oleh tanaman.
4.2 Saran
Penggunaan sistem irigasi mikro dapat dilakukan pada volume dan waktu
yang tepat, menjaga lengas tanah dengan kadar yang optimum melalui interval
irigasi yang pendek dan durasi yang lebih lama. Dari aspek sosial ekonomi, terjadi
performa yang baik pada aspek ekonomi para petani yang ditunjukkan dengan
kenaikan penghasilan serta dapat menyisihkan sebagian penghasilannya untuk
ditabung. Sedangkan dari aspek sosial, penerapan teknologi irigasi mikro sangat
dibutuhkan oleh petani.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar. 2018. Pengaruh Irigasi Terhadap Produktifitas Petani di Kabupaten


Jeneponto. Skripsi pada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas
Muhammadiyah Makassar.
Audit Kinerja Jaringan Irigasi. 2014. Dit Bina OP, Kementerian Pekerjaan Umum
dan Perumahan Rakyat. Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian.
Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol 30. No. 3. 2008.
Kemarau Datang, Irigasi Mikro pada Lahan Kering Jadi Pilihan.
Situgadung, Legok, Tangerang.
Balai Irigasi. 2009. Perencanaan Teknis Jaringan Irigasi Curah. Bekasi. Balai
Irigasi.
Banjarnahor, N., K. S. Hindarto, dan Fahrurrozi. 2018. Hubungan Kelerengan
dengan Kadar Air Tanah, pH Tanah, dan Penampilan Jeruk Gerga di
Kabupaten Lebong. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian. 20(1): 13-18
Bisri, M., & Titah Andalan, N. P. (2009). Irigasi Untuk Pertanian Studi Kasus Di
Kecamatan Batu Kota Batu.
Bjornlund H, van Rooyen A, Stirzaker R. 2017. Profitability and productivity
barriers and opportunities in small-scale irrigation schemes. Int J Water Res
Dev. 33(5):690-704.
Damayanti, L. 2012. Pengaruh irigasi terhadap kesempatan kerja, kemiskinan dan
ketahanan pangan rumah tangga tani di Daerah Irigasi Parigi Moutong.
Desertasi. Yogyakata (ID): Universitas Gajah Mada.
Departemen Pertanian. Herwindo, W., & Prihantoko, A. (2013). Kajian Desain dan
Kinerja Jaringan Irigasi Mikro Berbasis Multi Komoditas di Sumedang.
Jurnal Irigasi, 8(1), 46-58.
Efendi, et al. 2007. Irigasi Kelembagaan Dan Ekonomi. Jakarta: PT. Gramedia.
Hansen, V. E., O. W. Israelsen, dan G. E. Stringham. 1992. Dasar-Dasar dan
Praktek Irigasi. Erlangga : Jakarta.
Hardjowigeno S, et al. (2004). Morfologi dan Klasifikasi Tanah Sawah dalam Buku
Tanah Sawah dan Teknologi Pengelolaannya. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian.
Haryati. U. 2015. Teknologi Irigasi Suplemen untuk Adaptasi Perubahan Iklim
pada Pertanian Lahan Kering. Jurnal Sumberdaya Lahan Vol. 8 No. 1; 43-
57. Irawan, M. Y. 2016. Kajian Jaringan Irigasi Pada Desa Mukti Jaya
Kecamatan Rantau Pulung Kabupaten Kutai Timur. E-journal. 286-298.
Iqrima, H. S., Juliyanti, N. S., Muhamad P, I., & Imbarwati, S. 2017. Metode irigasi
curah dan irigasi tetes.
Kaenchan, P,. Guinée,J,. & Gheewala, S,. (2017). Assessment of ecosystem
productivity damage due to land use. Science of the Total Environment
STOTEN-24320; Pp 1-10. Elsevier : Thailand.
Kurnia, U., N. Sutrisno, dan I. Sungkawa. 2010. Perkembangan lahan kritis. Dalam
Membalik Kecenderungan Degradasi Sumberdaya Lahan dan Air. IPB
PRESS. Bogor.
Kurniati, Evi., Bambang Suharto., dan T. Afrilia. 2014. Desain Jaringan Irigasi
(Springkler Irrigation) pada Tanaman Anggrek. Jurnal Teknologi Pertanian,
8(1) 35-45.
Pasandaran E. 2007. Pengelolaan infrastruktur irigasi dalam kerangka ketahanan
pangan nasional. Anal Kebijakan Pert. 5(2):126-149.
Prabowo, A., Prabowo, A., Hadriadi, A., & Tjaturetna, M. J. B. (2004). Pengelolaan
Irigasi Tanaman Jagung Lahan Kering: Aplikasi Irigasi Tetes. Makalah
pada seminar “Peran Strategis Mekanisasi Pertanian Dalam Pengembangan
Agroindustri Jagung”, Badan Litbang Pertanian, Jakarta.
Purwantini, T. B dan Suhaeti, R. N. 2017. Irigasi Kecil: Kinerja, Masalah, Dan
Solusinya. Forum Penelitian Agro Ekonomi, 35(2): 91-105.

Anda mungkin juga menyukai