Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian Irigasi

Berdasarkan PP No. 23 tahun 1982 tentang Irigasi, irigasi adalah usaha penyelidikan dan pengaturan air
untuk menunjang pertanian. Sedangkan jaringan irigasi adalah saluran dan pembuangan yang
merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan,
pengambilan, pembagian, pemberian dan penggunaanya.

Menurut Linsley dan Franzini (1992) irigasi adalah pengaliran air pada tanah untuk membantu
pengaturan ketersedian air dikarenakan curah hujan yang tidak cukup sehingga air bisa tersedia secara
optimal bagi pertumbuhan tanaman.

Sedangkan defini irigasi menurut Hansen (1990) merupakan penggunaan air tanah untuk penyediaan air
yang diperlukan untuk pertumbuhan tanaman.

Dalam dokumen Peraturan Pemerintah No. 23/1982 Pasal 1, irigasi, bangunan dan petak irigasi yang
telah dibakukan yaitu :

a. Irigasi adalah usaha penyediaan dan penyediaan dan pengaturan air untuk menunjang pertanian.

b. Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang merupakan satu kesatuan dan diperlukan untuk
pengaturan air irigasi mulai dari penyediaan, pengambilan, pembagian pemberian dan penggunaannya.

c. Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang mendapat air dari satu jaringan irigasi.

d. Petak irigasi adalah petak tanah yang memperoleh air irigasi.

Jenis-jenis Irigasi diantaranya sebagai berikut:

irigasi adalah suatu tindakan memindahkan air dari sumbernya ke lahan-lahan pertanian, adapun
pemberiannya dapat dilakukan secara gravitasi atau dengan bantuan pompa air. Pada implementasinya
ada empat jenis irigasi dilihat dari cara penyalurannya :

a. Irigasi gravitasi

Irigasi gravitasi adalah irigasi yang memanfaatkan gaya tarik gravitasi untuk mengalirkan air dari sumber
ke tempat yang membutuhkan, pada umumnya irigasi ini banyak digunakan di Indonesia, dan dapat di
bagi menjadi: irigasi genangan liar, irigasi genangan dari saluran, irigasi arus dan gelombang.

b. Irigasi bawah tanah

Irigasi bawah tanah adalah irigasi yang menyuplai air langsung ke daerah akar tanaman yang
membutuhkannya melalui aliran air tanah. Dengan demikian tanaman yang diberi air lewat permukaan
tetapi dari bawah permukaan dengan mengatur muka air tanah.
c. Irigasi siraman

Irigasi siraman adalah irigasi yang dilakukan dengan cara meniru air hujan dimana penyiramannya
dilakukan dengan cara pengaliran air lewat pipa dengan tekanan (4-6 Atm) sehingga dapat membasahi
aliran air yang cukup luas. ( Standar Perencanaan Irigasi Bagian 2, 2002).
d. Irigasi tetesan

Irigasi tetesan adalah irigasi yang prinsipnya mirip dengan irigasi siraman tetapi pipa tersiernya dibuat
melalui jalur pohon dan tekanannya lebih kecil karena hanya menetes saja. Keuntungan sistem ini yaitu
tidak ada aliran permukaan.

Irigasi adalah suatu cara memberikan air dalam proses pertanian sesuai dengan kebutuhan tanaman
dalam lahan pertanian. Irigasi adalah usaha manusia untuk menambah air pada tanah atau lahan yang
ditanami agar tercipta suatu kondisi kandungan atau kadar lengas di zona perakaran yang sesuai bagi
pertumbuhan tanaman. ( Prof. Dr. H Muhjidin Marwadi 2016,193).

2. Permasalahan dalam pengelolaan Irigasi

1.perubahan iklim seperti meningkatnya permukaan air laut, banjir, kekeringan, beberapa permasalahan
sumber daya dan permasalahan dalam pengembangan sumber daya air. Perubahan iklim global
berpengaruh terhadap temperatur , kelembaban relatif, lama penyinaran matahari, kecepatan angin,
curah hujan dan debit sungai. Tingginya intensitas curah hujan setelah terjadinya perubahan iklim
berdampak terhadap fluktuasi debit sungai pada musim hujan dan kemarau . Dengan berkurangnya
debit sungai dan sumber daya air lainnya, berpengaruh terhadap sistem irigasi sekitar bahkan dapat
berpengaruh terhadap degradasi sistem irigasi.

2.Keterbatasan sumber daya finansial

3.pendangkalan waduk

4.kerusakan saluran akibat lemahnya pemeliharaan

5.sistim irigasi yang tidak sesuai dengan tuntutan prerubahan iklim

6.buruknya distibusi pengelolaan irigasi

7.serta perbaikan dan pemeliharan acapkali di jadikan proyek segelintir orang

3. Kelembagaan pengelolaan irigasi pertanian

A. Kelembagaan Ditingkat Pemerintah Pusat


1. Instansi pemerintah yang dimaksudkan dalam hal ini adalah instansi-instansi pemerintah baik
ditingkat Pusat, provinsi maupun kabupaten/kota yang mempunyai wewenang dan tanggungjawab
dalam pengelolaan sistem irigasi.
2. Di tingkat Pusat, kementerian yang membidangi Sumber Daya Air (SDA)berada pada Kementerian
Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dan secara khusus berada pada Direktorat Jenderal Sumber
Daya Air.
3. Direktorat Jenderal Sumber Daya Air dalam melaksanakan pengembangan dan pengelolaan sistem
irigasi dilengkapi adanya Direktorat terkait antara lain : Direktorat Bina Pendayagunaan SDA, Direktorat
Pengembangan Jaringan SDA, Direktorat Irigasi dan Rawa, Direktorat Bina Operasi dan Pemeliharaan.
4. Terkait dengan pengelolaan SDA, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat telah
dilengkapi dengan Unit Pelaksana Teknis (UPT) yang membidangi Sumber Daya Air ditingkat
lapangan/daerah yang dikenal dengan nama Balai Wilayah Sungai atau Balai Besar Wilayah Sungai
(BWS/BBWS) yang jumlahnya saat ini mencapai 34 buah BWS/BBWS diseluruh Indonesia.

5. Disamping di lingkungan Direktorat Jenderal sumber daya air, sekurang-kurangnya terdapat tiga
kementerian/lembaga yang terkait dengan pengelolaan sistim irigasi yaitu : (1) Bappenas, (2)
Kementerian Dalam Negeri dalam hal ini adalah Direktorat Jenderal Bina Pembangunan Daerah (Bangda)
terkait kelembagaan dan masyarakat, dan (3) Kementerian Pertanian dalam hal ini adalah Direktorat
Jenderal Penyediaan Sarana Pertanian terkait dengan pemanfaatan air irigasi.

B. Kelembagaan Ditingkat Pemerintah Provinsi

1. Pengelolaan irigasi yang menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah provinsi pada prinsipnya
dilaksanakan melalui Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan nama seperti Dinas PU, PU-
Pengairan, Kimpraswil, Pengelolaan SDA, dan sebagainya. Umumnya SKPD yang dibentuk bukan hanya
untuk pengelolaan irigasi saja, akan tetapi lebih luas lagi seperti pengelolaan SDA, pengelolaan bidang
pekerjaan umum, dan bahkan pengelolaan energi dan sumber daya mineral.
2. Unit yang menangani pengelolaan irigasi berada Kepala Bidang/Subdinas O&P dan Kepala Seksi OP)
dan untuk melaksanakan tugas-tugas OP di lapangan sehari-hari di sebagian provinsi dilaksanakan oleh
Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang dikenal dengan Balai Pengelolaan SDA (BPSDA).

C. Kelembagaan Ditingkat Pemerintah Kabupaten/Kota


1. Pengelolaan irigasi yang menjadi wewenang dan tanggungjawab pemerintah kabupaten/kota pada
prinsipnya sama dengan pelaksanaan pengelolaan irigasi di tingkat provinsi, yaitu dilaksanakan melalui
Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) dengan nama yang berbeda-beda dan tidak hanya untuk lingkup
pengelolaan irigasi saja, akan tetapi lebih luas lagi.
2. Unit yang menangani pengelolaan irigasi berada Kepala Bidang/Subdinas O&P dan Kepala Seksi OP)
dan untuk melaksanakan tugas-tugas OP di lapangan sehari-hari di sebagian kabupaten/kota
dilaksanakan oleh Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) yang dikenal dengan Mantri/Pengamat/Kepala
Ranting yang dibantu para Juru Pengairan para penjaga bendung, penjaga pintu air danpekerja O&P.

Kelembagaan diwujudkan sebagai aturan main untuk mengatur pelaku ekonomi dalam suatu komunitas.

Kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut oleh masyarakat atau anggota yang
dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan
transaksi (North, 1991). Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk.
Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan,
pemanfaatan, dan transfer teknologi (Rachman, 1999).
Pakpahan (1991) menilai bahwa bentuk kelembagaan berdampak terhadap kinerja produksi,
penggunaan input, kesempatan kerja, perolehan hasil, dan kelestarian lingkungan. Seberapa jauh
kelembagaan yang direkayasa diterimamasyarakat bergantung pada struktur wewenang, kepentingan
individu, keadaan masyarakat, adat dan kebudayaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kelembagaan yang
mempunyai nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berperilaku selaras dengan
lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kinerja kehidupan sosial yang khas.

Lembaga-lembaga tradisional pengelola irigasi yang sampai saat ini masih bertahan membuktikan
betapa pentingnya organisasi dalam suatu pengelolaan air.

Dalam sistem kelembagaan pengelolaan irigasi terkandung makna elemen-elemen partisipan, teknologi,
tujuan, dan struktur dimana terdapat interdependensi satu sama lain. Sistem kelembagaan yang dianut
bertujuan kearah efisiensi, dengan mengurangi ongkos transaksi ("transaction cost"). Hubungan sistem
kelembagaan dan biaya transaksi tercirikan pada tiga kaitan sifat yang secara nyata menyebabkan
adanya perbedaan insentif dan pembatas bagi partisipan yaitu:

1) sifat fisik irigasi,

2) sifat masyarakat partisipan, dan

3) sistem kelembagaan.

Dalam konteks kelembagaan irigasi, tiga aspek penting yang sangat berperan adalah:

1) batas yurisdiksi ("jurisdiction boundary") yaitu batas otoritas suatu lembaga dalam mengatur sumber
daya air, yang umumnya berdasarkan batas hidrologis seperti saluran sekunder dan saluran primer.

2) hak kepemilikan ("property rights") yaitu hak setiap individu petani untuk mendapatkan pelayanan air
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, dan

3) aturan representasi ("rule of representation") yaitu aturan yang telah disepakati dengan tujuan untuk
menjamin terjadinya keseimbangan antara hak atas pelayanan air yang diperoleh dengan besarnya
kewajiban yang dibebankan.

Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) memiliki kedudukan penting dalam pengelolaan sistem irigasi,
terutama dalam mewujudkan tertib pengelolaan irigasi melalui pelaksanaan fungsi koordinasi dan
komunikasi secara partisipatif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Kelembagaan pengelolaan irigasi selain
perangkat daerah terkait irigasi yang memiliki peran strategis adalah Perkumpulan Petani Pemakai Air
dan Komisi Irigasi. Selama ini dukungan anggaran untuk pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A dan operasional
Komisi Irigasi terbatas, sehingga perlu dukungan pembiayaan baik dari APBD provinsi dan kabupaten
maupun bersumber APBN dan sumber pembiayan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku.

4. Kelembagaan P3A dan Penguatanya


Ketersediaan air irigasi untuk program penanaman padi dan palawija yang tidak mencukupi juga terjadi
karena faktor semakin meningkatnya penggunaan air irigasi dan tidak berjalan efektifnya lembaga
pengelola air irigasi. Salah satu lembaga pengelola air dan jaringan irigasi yang ditumbuhkembangkan
dari, oleh, dan untuk petani pemakai air di Indonesia adalah Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A).
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air menyatakan bahwa P3A merupakan
lembaga pengelola air irigasi yang bertugas untuk mendistribusikan air irigasi ke lahan sawah. Secara
historis, P3A telah ditunjuk sebagai lembaga pengelola air irigasi sejak dilaksanakannya program
Penyerahan Irigasi Kecil (PIK) atau Irrigation Management Transfer (IMT) pada tahun 1987.

Perkumpulan petani pemakai air yang beranggotakan petani pemakai air irigasi diharapkan mampu
mengelola air irigasi sehingga kebutuhan air irigasi untuk berusahatani padi dapat tercukupi. Pada
kenyataannya sebagian besar P3A di Indonesia belum mampu menjalankan peran dan fungsinya sebagai
fasilitator dan katalisator. Salah satu faktor yang menyebabkan tidak mampunya P3A dalam
menjalankan peran dan fungsi pengelolaan air irigasi adalah pembentukannya dilakukan secara top-
down (Kurnia 1995; Pasandaran 2008). Akibatnya, hanya sedikit kelompok P3A yang aktif melaksanakan
tugas pengelolaan air irigasi dengan baik. Oleh karena itu, agar kelembagaan P3A dapat berperan sesuai
tugas dan fungsinya, kelembagaannya perlu diperkuat. Undang-Undang RI Nomor 19 Tahun 2013
tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani menegaskan bahwa pemberdayaan petani (termasuk
petani pemakai air) adalah segala upaya untuk meningkatkan kemampuan petani untuk melaksanakan
tugas dan pengelolaan air irigasi untuk mendukung usahatani yang lebih baik melalui pendidikan dan
pelatihan yang melibatkan penyuluh dalam pendampingan. Mengingat posisi strategis kelembagaan P3A
dalam pengelolaan air irigasi, pengelolaan secara tepat dan berkelanjutan perlu diupayakan dengan
memadukan dukungan dari pihak pemerintah dan penyuluh yang dimulai dari daerah hulu sampai hilir
sesuai daya dukung pada kelembagaan P3A. Penguatan kelembagaan P3A sebagai pengelola air irigasi
idealnya dilakukan secara partisipatif. Namun pada kenyataannya, kelembagaan P3A tidak serta merta
ditumbuhkan secara partisipasi di kalangan P3A, baik dalam pengelolaan air irigasi, pengelolaan dana
iuran pemakaian air (Ipair), maupun dalam operasi dan pemeliharaan jaringan irigasi. Perkembangan
pengelolaan air irigasi oleh P3A semakin tidak efektif, antara lain dikarenakan struktur P3A tidak lagi di
bawah Dinas Pengelolaan Sumber Daya Air (PSDA) atau PU Pengairan, tetapi berada di bawah
pengawasan Dinas Pertanian Tanaman Pangan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1974.
Padahal secara historis, P3A ditumbuhkembangkan oleh PU Pengairan atau PSDA. Akibatnya,
permasalahan pengelolaan air irigasi yang dulunya dikelola oleh P3A semakin bertambah kompleks.
Kerusakan bangunan dan jaringan irigasi semakin parah dan dukungan partisipasi masyarakat petani
untuk memperbaiki jaringan irigasi semakin lemah. Bahkan, konflik yang terjadi antar pengguna air
irigasi dan antara pengguna airirigasi dengan pihak-pihak terkait juga semakin bertambah parah,
terutama pada saat pasokan air irigasi sangat dibutuhkan oleh para petani. Oleh karena itu,penguatan
kelembagaan P3A diperlukan.

Anda mungkin juga menyukai