Anda di halaman 1dari 5

1.

Pengertian Irigasi

Definisi umum irigasi adalah penyediaan air untuk menyuburkan tanah yang penting bagi pertumbuhan
tanaman (Hansen 1992). Tujuan umum irigasi dijabarkan lebih lanjut. yaitu,

(1) memastikan keberhasilan produksi tanaman dalam menghadapi kekeringan jangka pendek

(2) mendinginkan tanah dan udara

(3) mengurangi risiko kekeringan

(4) mencuci atau melarutkan garam di tanah

(5) mengurangi risiko pipa tanah

(6) melunakkan lapisan persiapan lahan dan menggumpal ke dalam tanah dan (7) dengan penguapan
Pendinginan menunda perkecambahan.

Tujuan umum irigasi secara implisit mencakup kegiatan drainase pertanian, terutama yang terkait
dengan mencuci dan melarutkan garam dalam tanah.

Pasal 23 Peraturan Perundang-undangan tahun 1982 pengertian irigasi, seperti bangunan irigasi, daerah
irigasi, dan petak irigasi, yang dibakukan sebagai berikut: 1. Irigasi adalah usaha penyediaan dan
pengaturan air untuk menunjang pertanian (2) Jaringan irigasi adalah saluran dan bangunan yang
merupakan satu kesatuan pengaturan air irigasi, mulai dari penyediaan, pengambilan, penyaluran,
pembuangan dan penggunaan. (3) Daerah irigasi adalah kesatuan wilayah yang menerima air dari
jaringan irigasi. (4) Petak tersier adalah tanah yang menerima air irigasi. Dari pengertian tentang irigasi
dan jaringan irigasi, maka pengertian irigasi dapat dirumuskan sebagai bentuk penyediaan,
pengambilan, pembagian, pemberian, dan kegunaan air untuk pertanian dengan menggunakan satu
kesatuan saluran dan bangunan berupa jaringan irigasi.

Irigasi merupakan wadah bagi petani sawah untuk memenuhi air atas lahan pertaniannya. Jenis jenis
irigasi yaitu: Pertama, irigasi permukaan adalah sistem irigasi yang memompa air langsung ke sungai
melalui bangunan bendung atau bangunan pengambilan bebas. Air irigasi kemudian diarahkan secara
gravitasi melalui saluran kelahan pertanian. Kedua, irigasi lokal adalah distribusi air dengan garis
gravitasi, di mana dataran rendah atau lereng awalnya disuplai dengan air dan jumlah air yang
didistribusikan terbatas atau hanya didistribusikan secara lokal. Ketiga, irigasi semprot yaitu irigasi yang
biasanya menggunakan semprotan air atau sprinkle. Air yang di semprotkan ke lahan akan seperti kabut
sehingga tanaman mendapat air dari atas, daun basah terlebih dahulu kemudian menetes ke akar.
Keempat, irigasi tradisional dengan ember yaitu irigasi yang membutuhkan tenaga kerja secara
perorangan dengan jumlah yang banyak. Irigasi ini boros tenaga kerja dan tidak efektif karena
menggunakan ember sebagai wadah. Kelima, irigasi pompa air yaitu irigasi yang airnya berasal dari
sumur dalam dan dinaikan menggunakan pompa air yang kemudian dialirkan dengan pipa atau saluran.
Irigasi adalah suatu cara memberikan air dalam proses pertanian sesuai dengan kebutuhan tanaman
dalam lahan pertanian. Irigasi adalah usaha manusia untuk menambah air pada tanah atau lahan yang
ditanami agar tercipta suatu kondisi kandungan atau kadar lengas di zona perakaran yang sesuai bagi
pertumbuhan tanaman. ( Prof. Dr. H Muhjidin Marwadi 2016,193).

2. Permasalahan dalam pengelolaan Irigasi

Perubahan iklim seperti meningkatnya permukaan air laut, banjir, kekeringan, beberapa permasalahan
sumber daya dan permasalahan dalam pengembangan sumber daya air. Perubahan iklim global
berpengaruh terhadap temperatur , kelembaban relatif, lama penyinaran matahari, kecepatan angin,
curah hujan dan debit sungai. Tingginya intensitas curah hujan setelah terjadinya perubahan iklim
berdampak terhadap fluktuasi debit sungai pada musim hujan dan kemarau (Hukom et al. 2012).
Dengan berkurangnya debit sungai dan sumber daya air lainnya, berpengaruh terhadap sistem irigasi
sekitar bahkan dapat berpengaruh terhadap degradasi sistem irigasi.

Keterbatasan sumber daya finansial merupakan faktor penghambat utama dalam pengembangan irigasi.

Permasalahan alokasi air yang tidak terpenuhi dan banyaknya kehilangan air pada saluran utama, akibat
panjang saluran tersebut, banyak terjadi kehilangan air yang diakibatkan oleh adanya pengambilan air
secara liar oleh masyarakat disekitar saluran, kehilangan air karena evaporasi yang dipengaruhi oleh luas
penampang saluran dan panjang saluran, serta adanya perkolasi dan rembesan pada sepanjang ruas
saluran irigasi.

Pertumbuhan ekonomi dan peningkatan jumlah penduduk. Ada tiga kecenderungan yang diperkirakan
akan terjadi; permintaan air dari luar sektor pertanian akan meningkat lebih cepat dibandingkan dengan
permintaan air sektor pertanian.Pergeseran permintaan terhadap lahan juga akan mempengaruhi
permintaan terhadap air.

Permasalahan pengelolaan irigasi bisa berupa pendangkalan waduk, pendangkalan bendung dan kanal,
kerusakan saluran akibat lemahnya pemeliharaan, sistem irigasi tidak lagi sesuai dengan tuntutan
perubahan iklim, buruknya distribusi dan pengelolaan air, serta perbaikan dan pemeliharaan.

3. Kelembagaan pengelolaan irigasi dan pertanian

Kelembagaan mengandung makna aturan main yang dianut oleh masyarakat atau anggota yang
dijadikan pedoman oleh seluruh anggota masyarakat atau anggota organisasi dalam melakukan
transaksi (North, 1991). Kelembagaan secara evolusi tumbuh dari masyarakat atau sengaja dibentuk.
Namun pada hakekatnya bentuk kelembagaan mengatur tiga hal esensial, yaitu penguasaan,
pemanfaatan, dan transfer teknologi (Rachman, 1999).

Pakpahan (1991) menilai bahwa bentuk kelembagaan berdampak terhadap kinerja produksi,
penggunaan input, kesempatan kerja, perolehan hasil, dan kelestarian lingkungan. Seberapa jauh
kelembagaan yang direkayasa diterimamasyarakat bergantung pada struktur wewenang, kepentingan
individu, keadaan masyarakat, adat dan kebudayaan. Hal ini mengisyaratkan bahwa kelembagaan yang
mempunyai nilai-nilai dan norma yang mampu mengatur anggotanya berperilaku selaras dengan
lingkungannya akan mencerminkan suatu totalitas kinerja kehidupan sosial yang khas.

Lembaga-lembaga tradisional pengelola irigasi yang sampai saat ini masih bertahan membuktikan
betapa pentingnya organisasi dalam suatu pengelolaan air.

Dalam sistem kelembagaan pengelolaan irigasi terkandung makna elemen-elemen partisipan, teknologi,
tujuan, dan struktur dimana terdapat interdependensi satu sama lain. Sistem kelembagaan yang dianut
bertujuan kearah efisiensi, dengan mengurangi ongkos transaksi ("transaction cost"). Hubungan sistem
kelembagaan dan biaya transaksi tercirikan pada tiga kaitan sifat yang secara nyata menyebabkan
adanya perbedaan insentif dan pembatas bagi partisipan yaitu:

1) sifat fisik irigasi,

2) sifat masyarakat partisipan, dan

3) sistem kelembagaan.

Dalam konteks kelembagaan irigasi, tiga aspek penting yang sangat berperan adalah:

1) batas yurisdiksi ("jurisdiction boundary") yaitu batas otoritas suatu lembaga dalam mengatur sumber
daya air, yang umumnya berdasarkan batas hidrologis seperti saluran sekunder dan saluran primer.

2) hak kepemilikan ("property rights") yaitu hak setiap individu petani untuk mendapatkan pelayanan air
sesuai dengan kewajiban yang dibebankan, dan

3) aturan representasi ("rule of representation") yaitu aturan yang telah disepakati dengan tujuan untuk
menjamin terjadinya keseimbangan antara hak atas pelayanan air yang diperoleh dengan besarnya
kewajiban yang dibebankan.

Kelembagaan Pengelolaan Irigasi (KPI) memiliki kedudukan penting dalam pengelolaan sistem irigasi,
terutama dalam mewujudkan tertib pengelolaan irigasi melalui pelaksanaan fungsi koordinasi dan
komunikasi secara partisipatif, kolaboratif, dan berkelanjutan. Kelembagaan pengelolaan irigasi selain
perangkat daerah terkait irigasi yang memiliki peran strategis adalah Perkumpulan Petani Pemakai Air
dan Komisi Irigasi. Selama ini dukungan anggaran untuk pemberdayaan P3A/GP3A/IP3A dan operasional
Komisi Irigasi terbatas, sehingga perlu dukungan pembiayaan baik dari APBD provinsi dan kabupaten
maupun bersumber APBN dan sumber pembiayan lainnya sesuai ketentuan yang berlaku.

Pengelola jaringan irigasi paling dikenal di Indonesia adalah Subak di Bali dan Nagari di Sumatera Barat,
terutama kemampuannya dalam mengelola jaringan irigasi secara efisien. Namun demikian, Subak dan
Nagari hanya dua jenis organisasi pengelola jaringan irigasi tradisional yang telah berkembang di
Indonesia.

Menurut Irchamni (1995), peranan masyarakat dalam pembangunan irigasi dilihat dari fungsi dan peran
kelembagaan P3A. Kegiatan yang harus dilaksanakan untuk mengelola jaringan irigasi dengan baik dapat
dilihat dalam tiga kategori besar, yaitu kegiatan kelembagaan, bangunan kontrol air, dan penggunaan
air. Dalam kategori kelembagaan terdapat dimensi-dimensi seperti penyelesaian konflik, komunikasi,
pengerahan sumber daya, dan pengambilan keputusan. Kegiatan bangunan kontrol air merupakan alat
untuk mengetahui jumlah debit air yang sudah didistribusikan, termasuk usaha-usaha perekayasaan
irigasi, konstruksi suplesi air, dan operasi pemeliharaan jaringan irigasi. Tahap kegiatan berikutnya
adalah penggunaan air, pengalokasian, pendistribusian, dan pembuangan air. Tiga macam kegiatan ini
juga saling terkait satu sama lain dan dapat digunakan untuk meredam konflik antar sesama pengguna
air.

Menurut Soekanto (1990), lembaga pada dasarnya mempunyai beberapa fungsi, yaitu: (a) memberikan
pedoman kepada anggota masyarakat cara bertingkah-laku atau bersikap di dalam menghadapi
masalah-masalah dalam masyarakat, yang terutama menyangkut kebutuhan pokoknya; (b) menjaga
keutuhan masyarakat yang bersangkutan; dan (c) memberikan pegangan kepada masyarakat untuk
mengadakan sistem pengendalian sosial (social control), artinya sistem pengawasan dari masyarakat
terhadap tingkah-laku anggota-anggotanya. Lebih lanjut, Soekanto (1990) menjelaskan bahwa norma-
norma yang diciptakan untuk mengatur hubungan antar anggota masyarakat mempunyai kekuatan
mengikat yang berbeda. Pengertian norma dikenal ada empat, yaitu: (a) cara (usage) menunjuk pada
suatu bentuk perubahan; (b) kebiasaan folkways merupakan perbuatan yang diulang-ulang dalam
bentuk yang sama; (c) tata kelakuan (mores) merupakan kebiasaan yang dianggap sebagai cara
berperilaku dan diterima sebagai norma-norma pengatur; dan (d) adat-istiadat (customs) adalah tata
kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dengan pola-pola perilaku masyarakat.

4. Kelembagaan P3A dan penguatanya

Kartodihardjo (2000) menyatakan bahwa Kelembagaan P3A fungsi dan peranannya adalah mengelola air
irigasi dan mendistribusikan air irigasi secara merata pada petak tersier/kuarter. Sebagai kearifan lokal,
kelembagaan P3A perlu dilestarikan karena budaya dan nilai-nilai sosialnya dapat membangun kapasitas
pengelola kelembagaan P3A , sehingga berdaya, serta mendorong peningkatan kesadaran di kalangan
pengguna air untuk mengetahui dan mau melakukan kegiatan yang berkaitan dengan pemeliharaan air
dan pengelolaan irigasi.

Kelembagaan P3A adalah kumpulan organisasi yang memiliki ketentuan yang mengatur masyarakat
petani dalam mengakses peluang yang tersedia, serta bentuk kegiatan lain yang dapat dilakukan oleh
sejumlah orang, pihak-pihak lain dan hak-hak khusus yang diberikan dan tanggung jawab mereka.
Tadjuddin (1999) mendefinisikan lembaga sebagai seperangkat nilai, aturan, dan aspirasi yang unik
dalam dimensi ruang dan waktu, yang secara formal harus dinamis, artinya adaptif dengan perubahan.

Hayami dan Kikuchi (1999) berpendapat bahwa Kelembagaan suatu intuisi yang harus ditaati dan, dalam
hubungan interpersonal, dapat diartikan sebagai seperangkat aturan formal dan informal yang berkaitan
dengan hubungan manusia dan lingkungan adalah tentang hak asasi manusia dan hak dan kewajiban.

Kelembagaan P3A merupakan suatu sistem organisasi dan kontrol terhadap sumber daya. Menurut
Kurnia (1995), Helmi (1999), serta Martius dan Arief (2000) mengungkap bahwa anggota P3A pada
umumnya adalah petani padi dan pembudidaya ikan, berumur tua, berpendidikan rendah dan berstatus
keanggotaan rangkap (sebagai anggota kelompok tani). Karakteristik anggota P3A relatif sama atau tidak
berbeda dengan anggota kelompok tani, yakni rasa memiliki terhadap kelompok atau organisasinya
lemah. Menurut Pasandaran (1993) dan (Nugroho et al. 2002), lemahnya rasa memiliki dan partisipasi
mereka terhadap organisasinya terjadi karena proses pembentukan P3A bersifat top-down.

Menurut Anwar (2003), kelembagaan ini mencakup juga pengertian organisasi petani. Artinya, selain
“aturan main” (rule of the game) atau aturan perilaku yang menentukan pola-pola tindakan dan
hubungan sosial, kelembagaan juga termasuk kesatuan sosial yang merupakan wujud nyata dari
partisipasi. Lebih lanjut, partisipasi pada dasarnya menyangkut hal-hal tentang bagaimana masyarakat
terlibat langsung melakukan kegiatan di dalam program dan proyek pembangunan. Bourgeois (2007)
telah menganalisis prospektif partisipatif masyarakat dalam membangun hubungan dengan lembaga
eksternal untuk sumber daya dan bantuan teknis yang diperlukan tetapi tetap menguasai sumber daya
yang digunakan. Beliau memaparkan bahwa secara umum kelembagaan dapat dikelompokan menjadi
tiga yaitu: (a) organisasi yang tidak termasuk lembaga; (b) lembaga yang tidak termasuk organisasi; dan
(c) organisasi yang merupakan lembaga atau, sebaliknya, lembaga yang termasuk organisasi.

Penguatan kelembagaan P3A menuju keberdayaan P3A dapat ditentukan oleh tiga hal. Pertama adalah
sinergitas antar pemangku kepentingan dalam pengelolaan sumber daya air irigasi. Kedua adalah
kemampuan menciptakan dan merumuskan sumber daya air irigasi sebagai sumber daya milik bersama.
Ketiga adalah kemampuan membuat aturan penggunaan yang sesuai dengan norma dan nilai lokal
sehingga lebih memungkinkan diterapkan oleh petani.

Anda mungkin juga menyukai