Anda di halaman 1dari 9

A.

Aset Teridentifikasi dan Liabilitas Diambil Alih


Aset terindentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil alih secara
mudah disebabkan adanya perbedaan nilai tercatat (nilai buku) dengan nilai wajar dari
asset atau liabilitas tersebut. Untuk memenuhi standar pengakuan sebagai dari
penerapan metode akuisisi dalam kombinasi bisnis, aset teridentifikasi yang diperoleh
dan liabilitas yang diambil alih harus memenuhi Kerangka Dasar Penyusunan dan
Penyajian Laporan Keuangan pada tanggal akuisisi. Aset teridentifikasi yang
diperoleh dan liabilitas yang diambil alih merupakan bagian dari pertukaran antara
pihak pengakuisisi dan pihak yang diakuisisi dalam transaksi kombinasi bisnis. Pihak
pengakuisisi juga mengakui aset takberwujud secara terpisah dari goodwill (PSAK 22
revisi 2010).
PSAK 22 revisi 2010 menyatakan bahwa “Pada tanggal akuisisi, pihak
pengakuisisi mengakui, terpisah dari goodwill, aset teridentifikasi yang diperoleh,
liabilitas yang diambil alih, dan kepentingan nonpengendali pihak diakuisisi”. 1
Atas diferensial yang muncul tersebut dibutuhkan jurnal eliminasi pada kertas
kerja konsolidasian untuk mengalokasikan diferensial tersebut kepada asset
teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas diambil alih.
Dalam kasus akuisisi PT. Andalas oleh PT. Nusantara, jika diasumsikan
bahwa perbedaan nilai investasi dan nilai buku disebabkan oleh nilai persediaan yang
dinilai lebih tinggi sebesar Rp50.000.000 dan nilai tanah yang lebih tinggi sebesar
Rp250.000.000, maka diferensial masing-masing akan dialokasikan ke persediaan dan
tanah sejumlah nilai tersebut. Pengalokasian diferensial pada asset teridentifikasi
menggunakan jurnal eliminasi sebagai berikut:2

Persediaan 50.000.000
Tanah 250.000.000
Diferensial 300.000.000
Mengatribusikan diferensial terhadap persediaan dan tanah

1. Goodwill
Selain disebabkan asset teridentifikasi atau liabilitas yang diambil alih,
diferensial juga dapat disebabkan oleh goodwill. Goodwill merupakan salah satu

1
Siti Maimunah dan Furqon Andhika Darmawan, “Analisis Penerapan Penyajian dan Pengungkapan Standar
Akuntansi Keuangan Indonesia Tentang Kombinasi Bisnis Pada Laporan Keuangan PT Telekomunikasi
Indonesia Tbk”, dalam Jurnal Ilmiah Akuntansi Fakultas Ekonomi, Vol. 2, No. 1, 2016: 26.
2
Dwi Martani, dkk., Akuntansi Keuangan Lanjutan 1, (Jakarta: Salemba Empat, 2017), h. 105.
aset tak berwujud yang timbul sebagai akibat dari merger dan akuisisi. 3 Goodwill
adalah suatu aset yang mencerminkan manfaat ekonomi masa depan yang timbul
dari aset lain yang diperoleh dalam kombinasi bisnis yang tidak dapat
diidentifikasi secara individual dan diakui secara terpisah. Pengakuan goodwill
yang disebabkan oleh kombinasi bisnis diatur dalam PSAK 22 (2018) paragraf 32:
“Pihak pengakuisisi mengakui goodwill pada tanggal akuisisi yang diukur sebagai
selisih lebih (a) atas (b) di bawah ini:
a) Nilai agregat dari:
i. imbalan yang dialihkan yang diukur sesuai dengan Pernyataan ini, yang
pada umumnya mensyaratkan nilai wajar tanggal akuisisi
ii. jumlah setiap kepentingan nonpengendali pada pihak diakuisisi yang
diukur sesuai dengan Pernyataan ini
iii. untuk kombinasi bisnis yang dilakukan secara bertahap, nilai wajar pada
tanggal akuisisi kepentingan ekuitas yang sebelumnya dimiliki oleh pihak
pengakuisisi pada pihak diakuisisi
b) Jumlah neto dari aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil
alih pada tanggal akuisisi.”

Pada PSAK 48 paragraf 11 dijelaskan bahwa ketidakpastian mengenai


kemampuan aset tak berwujud dalam menghasilkan manfaat ekonomi masa depan
yang cukup untuk memulihkan jumlah tercatatnya biasanya lebih besar pada saat
aset tersebut belum dapat digunakan daripada setelah aset tersebut dapat
digunakan mensyaratkan entitas untuk menguji penurunan nilai minimal sekali
setahun. Dalam praktek penilaian untuk tujuan penilaian ekuitas/aset tak berwujud
untuk keperluan pelaporan keuangan pada perusahaan tertutup (termasuk
goodwill) diukur dengan nilai wajar sebagaimana diatur pada SPI 201 (2018)
penurunan nilai dapat diindikasikan dari turunnya nilai aset dikarenakan kondisi
pasar atau perubahan teknologi, keusangan aset, rendahnya kinerja aset
dibandingkan dengan tingkat balikan yang diharapkan, atau keinginan untuk
menghentikan atau merestrukturisasi kegiatan operasional.4

3
Sarwenda Biduri dan Wiwit Hariyanto, Akuntansi Persekutuan dan Kombinasi bisnis, (Jawa Timur: Umsida
Press, 2020), h. 8.
4
Izath Rytami dan Primadonna Ratna M, “Valuasi Nilai Saham Perusahaan Non-Tbk dalam Pelaksanaan
Impairment Goodwill”, dalam Jurnal Akuntansi Trisakti, Vol. 8, No. 2, 2021: 211-212.
Menurut IFRS No. 3, goodwill adalah kelebihan-kelebihan, keistimewaan
yang dimiliki perusahaan yang dapat dinilai lebih oleh pihak lain. Kelebihan
tersebut karena perusahaan memiliki reputasi manajemen yang sangat bagus,
menghasilkan suatu produk unggul yang sulit dicari pesaingnya, letaknya strategis
dan lain-lain. Goodwill harus dikapitalisasi dan diuji untuk penurunan nilai setiap
tahunnya, goodwill tidak diamortisasi, penurunan nilai goodwill merupakan beban
nonkas, meskipun demikian penurunan nilai goodwill jelas mempengaruhi laba
bersih. Hal ini juga menyebabakan aset bersih dan equitas pemegang saham
berkurang disatu sisi, tetapi meningkat pengembalian atas aset, rasio perputaran
aset, pengembalian atas ekuitas, dan rasio perputaran equitas disisi lain. Terkait
dengan penggabungan usaha dan goodwill yang dihasilkan, jika penggabungan
usaha sebelum tanggal transaksi tidak dinilai ulang maka goodwill akibat
pembelian kontingen tertentu yang terjadi sebelum tanggal transisi harus
dilakukan penyesuaian, setiap aset tidak berwujud yang diperoleh tidak
berdasarkan IFRS (yang tidak memenuhi syarat sebagai goodwill) harus
diklasifikasi ulang, dan uji penurunan nilai harus dilakukan untuk goodwill,
sedangkan goodwill yang negatif harus dikreditkan terhadap ekuitas. Menurut IAS
No. 22 menyatakan bahwa kelebihan dari biaya akuisisi terhadap fair value dari
aset dan kewajiban yang dapat teridentifikasi dinyatakan sebagai goodwill dan
diakui sebagai aset. Peningkatan goodwill pada akuisisi menggambarkan
pembayaran yang dibuat oleh pengakuisisi atas manfaat ekonomi masa depan
yang diantisipasi. Menurut PSAK No. 22 (1994), Goodwill harus diamortisasi
sebagai beban selama masa manfaatnya. Dalam mengamortisasi goodwill, harus
digunakan metode garis lurus, kecuali terdapat metode lain yang dianggap lebih
tepat pada keadaan tertentu. Periode amortisasi goodwill tidak boleh lebih dari
lima tahun kecuali periode yang lebih panjang tetapi tidak lebih dari 20 tahun
dapat digunakan apabila terdapat dasar yang tepat (justifiable). Saldo goodwill
yang belum diamortisasi harus dievaluasi pada setiap tanggal neraca, dan apabila
terdapat indikasi bahwa jumlah tersebut tidak dapat sepenuhnya atau sebagian
dipulihkan (recovered) dari ekspektasi manfaat keekonomian di masa mendatang,
maka bagian jumlah yang tidak dipulihkan tersebut langsung dibukukan sebagai
beban pada periode yang bersangkutan.5

5
Nur Elan Hidayati, “Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia”, dalam Jurnal Akuntansi UNESA, Vol. 2,
No. 1, 2013: 15-17.
Standar akuntansi yang berlaku secara internasional berkaitan dengan
goodwill, yaitu IFRS 3, IAS 36, dan IAS 38 telah diadopsi dalam Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan di Indonesia (PSAK 19, PSAK 22, dan PSAK 48)
berlaku sejak 1 Januari 2011, menyatakan penghapusan metode amortisasi
goodwill dan mengharuskan pengujian penurunan nilai goodwill (impairment test)
minimal sekali dalam setahun dan atau pada saat terdapat indikasi bahwa nilai
goodwill mengalami penurunan. Pernyataan standar tersebut didasarkan pada
argumen bahwa goodwill adalah aset yang memiliki masa manfaat tak terbatas
sehingga metode amortisasi pada goodwill dianggap tidak sesuai. Banyak
argumen yang kontroversial terhadap pernyataan standar akuntansi tentang
goodwill. Para pendukung pernyataan tersebut berargumen bahwa goodwill harus
dikapitalisasi dan nilainya akan terus dipertahankan dari waktu ke waktu sehingga
nilai goodwill tidak akan menurun. Jika goodwill diamortisasi maka akan terjadi
perhitungan ganda, yaitu biaya mempertahankan nilai goodwill dan juga biaya
amortisasi goodwill. Oleh sebab itu, goodwill tidak perlu diamortisasi. Namun,
revaluasi secara berkala tetap perlu dilakukan untuk mengukur ada tidaknya
penurunan nilai kapital dan pada kasus tersebut, jumlah penurunan nilai
dibebankan kepada laba atau ekuitas. Selain itu, penentuan masa manfaat goodwill
bukan perkara yang mudah karena adanya derajat ketidakpastian di masa datang
yang sangat tinggi. Penentuan periode amortisasi seringkali dilakukan sewenang-
wenang yang akan berimbas pada laba perusahaan. Pihak yang kontra berargumen
bahwa goodwill tidak seharusnya dipertahankan karena goodwill tersebut akan
terus digantikan dengan goodwill yang baru. Selain itu, tingkat kemampuan
pemulihan nilai goodwill memiliki derajat ketidakpastian yang sangat tinggi.
Goodwill adalah sumber daya yang akan digunakan oleh perusahaan, oleh karena
itu harus dilakukan amortisasi yang akan mengurangi laba. Hal tersebut konsisten
dengan konsep akuntansi akrual, yaitu konsep penandingan (matching principle).
Goodwill dianggap sama dengan aset lainnya yang dikonsumsi dan digunakan
untuk menghasilkan laba di masa depan. Jika goodwill tidak diamortisasi, maka
laba di masa depan akan lebih saji (overstated) karena adanya biaya yang tidak
dibebankan. Pembebanan jumlah amortisasi goodwill setiap tahun (hingga masa
manfaat goodwill habis) akan sama dan relatif kecil sehingga tidak akan
menimbulkan volatilitas laba yang dilaporkan. Berbagai hasil penelitian telah
menunjukkan bahwa amortisasi goodwill memiliki relevansi nilai. Namun, para
penyusun standar memutuskan untuk tidak lagi mengamortisasi goodwill, dan
perusahaan disyaratkan untuk melakukan pengujian penurunan nilai goodwill.
Pengujian ini dapat menjadi lebih rumit ketika nilai pasar aktif untuk goodwill
tidak tersedia. Kondisi tersebut kemudian dimanfaatkan oleh para manajer untuk
melakukan pengujian secara subjektif. Selain itu, kerugian penurunan nilai
goodwill terjadi secara tidak teratur setiap tahunnya dengan jumlah yang
bervariasi, dan memungkinkan adanya jumlah nilai kerugian yang cukup besar
sehingga dapat mengakibatkan volatilitas yang tinggi atas laba yang dilaporkan.
Kerugian penurunan nilai dapat memberikan sinyal bahwa perusahaan akan
mengalami kerugian atas nilai ekonomis masa depan dan memiliki efek yang
signifikan terhadap aset dan pendapatan perusahaan. Teori keagenan (agency
theory) dapat menjelaskan bagaimana perilaku manajer dalam menerapkan standar
akuntansi dalam proses penyusunan laporan keuangannya. Asumsi dasar dalam
teori keagenan adalah bahwa setiap individu, baik agen maupun prinsipal, akan
berusaha memaksimalkan utilitasnya, dan mereka memiliki sumber daya serta
inovasi untuk melaksanakan maksud tersebut. Sebagai agen yang mewakili
prinsipal, manajer dipercaya untuk mengambil keputusan bisnis yang mewakili
kepentingan pemegang saham. Namun karena pemegang saham tidak dapat
mengobservasi semua tindakan dan keputusan yang dibuat oleh agen, muncul
suatu ancaman bahwa agen akan bertindak untuk memaksimalkan kesejahteraan
pribadinya, bukan kesejahteraan pemegang saham. Perubahan standar akuntansi
yang menghapuskan amortisasi goodwill dianggap memiliki sejumlah fleksibilitas
dan celah yang dapat digunakan manajemen dalam melaporkan penurunan nilai
goodwill dengan menggunakan pertimbangan sesuai kepentingan pribadinya.
Kondisi tersebut diperkuat dengan tidak tersedianya nilai pasar goodwill yang
jelas sehingga manajemen sebagai agen dapat memanfaatkannya untuk mengatur
laba yang dilaporkan, yang dikenal sebagai manajemen laba. Jadi, masalah
keagenan timbul ketika penilaian goodwill dilakukan berdasarkan insentif pribadi
dan subjektivitas. Teori akuntansi positif (positive accounting theory)
memprediksi bahwa manajer akan memilih prosedur akuntansi yang paling
optimal berdasarkan insentif pribadi yaitu untuk memperoleh bonus, memenuhi
kontrak hutang dan proses politik. Ketiga insentif tersebut dikenal sebagai
perilaku oportunistik manajer.6

Dalam kasus PT Andalas oleh PT Nusantara, jika diasumsikan bahwa


perbedaan nilai investasi dan nilai buku disebabkan oleh goodwill, maka
pengalokasian diferensial pada goodwill menggunakan jurnal eliminasi sebagai
berikut:

Goodwill 300.000.000
Diferensial 300.000.000
Mengatribusikan diferensial terhadap goodwill

2. Pembelian dengan diskon


Kadang kala, pihak pengakuisisi melakukan pembelian dengan diskon, yaitu
suatu kombinasi bisnis yang mana jumlah melebihi nilai agregat dari jumlah yang
dinyatakan. Jika selisih lebih itu tetap ada setelah penerapan ketentuan, maka
pihak pengakuisisi mengakui keuntungan yang dihasilkan dalam laporan laba rugi
pada tanggal akusisi. Keuntungan tersebut diatribusikan kepada pihak
pengakuisisi. Pembelian dengan diskon dapat terjadi, misalnya, dalam kombinasi
bisnis yang merupakan penjualan terpaksa (forced sale) yang terjadi karena pihak
penjual melakukannya karena diwajibkan. Namun demikian, pengecualian
pengakuan atau pengukuran untuk pos-pos (items) tertentu mungkin juga
mengakibatkan pengakuan keuntungan (atau perubahan jumlah keuntungan yang

6
Nunung Nuryani, dkk., “Pelaporan Kerugian Penurunan Nilai Goodwill Serta Dampaknya Terhadap Nilai
Perusahaan”, dalam Jurnal Riset Akuntansi dan Keuangan, Vol. 2, No. 3, 2014: 510-511.
diakui) pada pembelian dengan diskon. Sebelum mengakui keuntungan dari
pembelian dengan diskon, pihak pengakuisisi menilai kembali apakah telah
mengidentifikasi dengan tepat seluruh aset yang diperoleh dan liabilitas yang
diambil-alih serta mengakui setiap aset atau liabilitas tambahan yang dapat
diidentifikasi dalam pengkajian kembali tersebut. Pihak pengakuisisi selanjutnya
mengkaji kembali prosedur yang digunakan untuk mengukur jumlah yang
dipersyaratkan Pernyataan ini untuk diakui pada tanggal akuisisi untuk seluruh
hal-hal berikut ini:
a) Aset teridentifikasi yang diperoleh dan liabilitas yang diambil-alih;
b) Kepentingan non pengendali pada pihak yang diakuisisi, jika ada;
c) Untuk kombinasi bisnis yang dilakukan secara bertahap, kepentingan ekuitas
pihak pengakuisisi yang dimiliki sebelumnya pada pihak yang diakuisisi; dan
d) Imbalan yang dialihkan. Tujuan dari kajian kembali ini untuk meyakinkan
bahwa pengukuran tersebut telah mencerminkan dengan tepat semua informasi
yang tersedia pada tanggal akuisisi.7

Sebagai ilustrasi, misalkan PT. Nusantara Membeli PT. Andalas seharga


Rp1.000.000.000. Diketahui bahwa nilai wajar dari persediaan dan tanah adalah
Rp50.000.000 dan Rp150.000.000 lebih tinggi dibandingkan nilai bukunya (maka
nilai wajar dari asset bersih adalah Rp1.400.000.000), maka terdapat selisih
sebesar Rp400.000.000 antara nilai wajar asset bersih PT. Andalas dengan
konsiderasi nilai wajar yang diserahkan oleh PT. Nusantara. Berdasarkan transaksi
tersebut, PT. Nusantara akan mencatat jurnal sebagai berikut:8

1 Januari 2015

Investasi pada PT 1.000.000.000


Andalas
Kas 1.000.000.000
Mencatat pembelian saham PT Andalas

7
Dewan Standar Akuntansi Keuangan, Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan, (Jakarta: Ikatan Akuntan
Indonesia, 2010), h. 12-13.
8
Dwi Martani, dkk., Akuntansi Keuangan Lanjutan 1, (Jakarta: Salemba Empat, 2017), h. 105.
Jurnal eliminasi saat melakukan konsolidasi:

Saham biasa – PT Andalas 800.000.000


Saldo Laba 400.000.000
Diferensial 200.000.000
Investasi pada PT Andalas 1.000.000.000

Jurnal eliminasi saat mengalokasikan diferensial:

Persediaan 50.000.000
Tanah 150.000.000
Diferensial 200.000.000
Keuntungan Pembelian Aset 400.000.000
DAFTAR PUSTAKA

Biduri, Sarwenda., dan Wiwit Hariyanto. (2020). Akuntansi Persekutuan dan Kombinasi
bisnis. Jawa Timur: Umsida Press.

Dewan Standar Akuntansi Keuangan. (2010). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan,


Jakarta: Ikatan Akuntan Indonesia.

Hidayati, Nur Elan. (2013). “Perusahaan Go Public di Bursa Efek Indonesia”, dalam Jurnal
Akuntansi UNESA, Vol. 2, No. 1.

Maimunah, Siti., dan Furqon Andhika Darmawan, (2016). “Analisis Penerapan Penyajian dan
Pengungkapan Standar Akuntansi Keuangan Indonesia Tentang Kombinasi Bisnis
Pada Laporan Keuangan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk”, dalam Jurnal Ilmiah
Akuntansi Fakultas Ekonomi, Vol. 2, No. 1.

Martani, Dwi., dkk. (2017). Akuntansi Keuangan Lanjutan 1. Jakarta: Salemba Empat.

Nuryani, Nunung., dkk. (2014). “Pelaporan Kerugian Penurunan Nilai Goodwill Serta
Dampaknya Terhadap Nilai Perusahaan”, dalam Jurnal Riset Akuntansi dan
Keuangan, Vol. 2, No. 3.

Rytami, Izath., dan Primadonna Ratna M. (2021). “Valuasi Nilai Saham Perusahaan Non-Tbk
dalam Pelaksanaan Impairment Goodwill”, dalam Jurnal Akuntansi Trisakti, Vol. 8,
No. 2.

Anda mungkin juga menyukai