Anda di halaman 1dari 2

Pendahuluan

Di Kabupaten Bulukumba, khususnya Kecamatan Bontobahari bahasa pertama yang


digunakan adalah bahasa Makassar dialek Konjo. Sedangkan bahasa Indonesia adalah bahasa
kedua. (Sudah sesuai dengan ciri ke-1). Anak-anak di kecamatan tersebut sejak kecil sudah
menggunakan bahasa Makassar dialek Konjo untuk berkomunikasi. (Tidak sesuai dengan ciri ke-
1karena kurang efektif). Revisi: Anak-anak di kecamatan tersebut (S) menggunakan (P) bahasa
Makassar dialek Konjo (O) untuk berkomunikasi (K). Hal tersebut berimplikasi pada
penggunaan bahasa Indonesia saat proses pembelajaran di sekolah. (Sudah sesuai dengan ciri ke-
6 dalam teks “berimplikasi”). Di sekolah, guru maupun siswa cenderung menggunakan bahasa
daerah dalam percakapan. Tidak terkecuali di kelas VI. (Tidak sesuai dengan ciri ke-1 karena
kurang efektif). Revisi: Guru maupun siswa, termasuk kelas IV, (S) menggunakan (P) bahasa
daerah (O) dalam percakapan di sekolah (K). Padahal, seharusnya pada jenjang inilah tahap
penguasaan bahasa Indonesia sudah lebih matang, sebagai persiapan menuju jenjang pendidikan
yang lebih tinggi.
Berdasarkan observasi awal dan wawancara di kelas VI SD Negeri Kecamatan
Bontobahari Kabupaten Bulukumba, pada tanggal 12 Agustus 2015, peneliti menemukan
penggunaan campur kode dan alih kode pada tuturan guru dan siswa yang dilakukan pada
interaksi pembelajaran bahasa Indonesia. (Sudah sesuai dengan ciri ke-13 bergenre faktual).
Selain itu, menurut keterangan guru, ia kadang menggunakan bahasa Makassar dialek Konjo
dalam kegiatan belajar mengajar dengan tujuan agar siswa lebih mudah memahami penjelasan
guru. (Tidak sesuai dengan ciri ke-1 karena kurang efektif). Revisi: Selain itu (Konjungsi), guru
(S) seringkali menggunakan (P) bahasa Makassar dialek Konjo (O) dalam kegiatan belajar
mengajar dengan tujuan agar siswa lebih mudah memahami penjelasannya (K)
Penelitian ini, didasarkan pada dua alasan, pertama, untuk mengetahui lebih dalam ihwal
campur kode dan alih kode yang terjadi dalam pembelajaran bahasa Indonesia khususnya, bentuk
campur kode dan alih kode serta penyebabnya di Sekolah Dasar Kecamatan Bontobahari
Kabupaten Bulukumba. (Sudah sesuai dengan ciri ke-9 bersifat monologis karena memberikan
informasi). Sehingga dapat dijadikan kajian untuk meminimalisir penggunaaan campur kode dan
alih kode pada pembelajaran bahasa Indonesia di sekolah dasar terutama di Sekolah Dasar
Kecamatan Bontobahari Kabupaten Bulukumba. Kedua, kajian sosiolinguistik ihwal perkodean
ternyata masih langkah. (Sudah sesuai dengan ke-6 pada kata “sosiolinguistik, ihwal,
perkodean”). Hal tersebut diungkapkan Poedjosoedarmo dalam Rahardi (2010) bahwa masalah
perkodean hingga sekarang belum mendapatkan pemikiran yang serius, baik oleh linguis
Indonesia maupun luar Indonesia.
Beberapa teori yang mendukung untuk menjelaskan konsep dalam penelitian ini adalah
teori tentang sosiolinguistik, kedwibahasaan, campur kode, dan alih kode. Pembahasan mengenai
sosiolinguistik; hakikat maupun penggunaan bahasa dan sejumlah permasalahan dalam
sosiolinguistik penting untuk dijabarkan pada kajian teori ini sebagai dasar untuk memperkuat
teori mengenai campur kode dan alih kode karena sosiolinguistik merupakan cabang ilmu yang
mempelajari bahasa dalam kaitannya dengan penggunaan bahasa dalam masyarakat. (Sudah
sesuai dengan ciri ke-9 bersifat monologis). Selain itu, menurut Sumarsono (2004:201) selain
variasi dalam bahasa yang sama (variation within the same language), alih kode (code
switching), dan campur kode (mixing code) adalah tiga jenis pilihan bahasa yang dikenal dalam
kajian sosiolinguistik.(Sudah sesuai dengan ciri ke-6 dalam teks “bahasa yang sama (variation
within the same language), alih kode (code switching), campur kode (mixing code), dan kajian
sosiolinguistik.)”

Anda mungkin juga menyukai