Anda di halaman 1dari 8

Nama : Wahid

Nim : 20101020070

Kelas : Ski C

DAMPAK SUNGAI TERHADAP PERUBAHAN


SOSIAL EKONOMI KESEHATAN MASYARAKAT CIREBON
TAHUN 1900-1940
Wahid : 20101020070
wahidwahidfaqot@gamail.com

ABSTRAK

Di masa Hindu-Budha sampai VOC peran sungai sangat penting, sebab sungai adalah
jalan utama yang mudah ditemui serta diperlukan oleh warga Cirebon menjadi sarana
jalannya transportasi untuk menghubungkan kawasan pantai (pelabuhan) dengan pedalaman.
Namun, di masa Hindia Belanda keberadaan sungai di Kota Cirebon sudah berubah. Keadaan
sungai yang tidak sehat turut memengaruhi keadaan sosial masyarakat, sebagai akibatnya
banyak orang yang tak jarang terkena dampaknya, seperti wabah penyakit terutama malaria.
Yang disebabkan oleh dampak dari kondisi sungai yang tidak sehat. Serta juga dapat dilihat
ketika hujan datang, sungai meluap serta menggenangi rumah penduduk. Faktor-faktor
tersebut yang melatarbelakangi pemerintah Hindia-Belanda melakukan penindaklajutan
perbaikan terhadap keberadaan sungai-sungai di Kota Cirebon, seperti Sungai lama Kali
Bacin normalisasi Sungai Sipadu.

Kata Kunci : Peran Sungai, Kolonoal, Ekonomi, Kesehatan.


A. PENDAHULUAN

Sungai telah mendorong manusia dari berbagai peradaban untuk saling berinteraksi dan
mempengaruhi1. Hal ini juga terjadi di Cirebon, ramainya aktivitas pelabuhan Cirebon yang
terletak di dekat muara sungai sebagai jalur komersial, mendorong kegiatan ekonomi
masyarakat berupa pertukaran barang dagangan antara penduduk asli (pribumi) dengan
pendatang. Selain itu, kegiatan pertukaran budaya dan agama juga berlangsung, salah satunya
Islam. Sungai juga memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat Cirebon, dimana
sungai di Cirebon telah digunakan sebagai jalur bolak- balik kapal dari pedalaman ke pantai
atau sebaliknya.

Di sisi lain, pada abad ke-18 hingga pertengahan abad ke-20, diberitakan bahwa Kota
Cirebon merupakan kota yang kotor, becek dan bau. Hal ini, sehingga membawa citra Kota
Cirebon menjadi tidak sehat. Beberapa penyebabnya adalah kebiasaan masyarakat yang
sering membuang sampah ke sungai, pembuangan kotoran manusia dan hewan di sungai,
bahkan pembuangan sampah ke sungai. Hal ini menyebabkan berbagai wabah penyakit dan
banjir di Kota Cirebon.

Tantangan-tantangan di atas mendorong Pemerintah Kolonial untuk melakukan upaya-


upaya penataan kota yang lebih baik dan bersih, yang direncanakan untuk melawan sungai di
kota Cirebon, yang dimulai pada akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20 Masehi. Sebagai
upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda antara lain seperti normalisasi Kali
Bacin2.

B. PEMBAHASAN
a. Keberadaan Sungai Di Kota Cirebon Sebelum Tahun 1900

Sungai tidak hanya berperan penting dalam perkembangan dan penyebaran agama, tetapi
juga penting bagi masyarakat Cirebon untuk menghubungkan wilayah pesisir (pelabuhan)
dengan wilayah pedalaman. Perlu diketahui bahwa wilayah Cirebon terbagi menjadi dua
wilayah yaitu Cirebon Larang (pesisir) dan Cirebon Girang (pedalaman).

Pantai Cirebon merupakan pantai yang landai, tidak terjal, sehingga mudah dikunjungi
kapal apalagi perahu. Sebagian besar masyarakat bermata pencaharian sebagai nelayan
dengan mengandalkan hasil laut seperti ikan, terasi, garam, dan hasil laut lainnya. Kondisi

1
Rosidin, DN 2018.Syekh Nurjati Sang Peletak Dasar Islam Awal Di Cirebon. Raja Grafindo Persada
2
Molsbergen, G. 2010.Uit's Cheribon's Jilid 2 Geschiedenis der Gemeente Cheribon
alam yang demikian memungkinkan kemudahan dalam pembangunan sarana dan prasarana
pelabuhan di muara sungai.

Sementara itu, daerah pedalaman di sekitar Kota Cirebon merupakan daerah tanah subur
yang terdiri dari dataran rendah (lembah), dataran tinggi, bahkan daerah pegunungan dengan
beberapa gunung berapi seperti Gunung Ciremai, Gunung Sawal, dan Gunung Cakrabuana.

Dalam upaya untuk menghubungkan kedua wilayah tersebut, dibutuhkan infrastruktur


jalan seperti jalur darat dan jalur sungai. Sebelum datangnya Belanda dan adanya jalan
kolonial, rute tersebut merupakan rute yang sulit. Banyak kendala yang dihadapi seperti
banyaknya hutan liar, banyaknya satwa liar di pedalaman yang sering mengancam
masyarakat, serta memakan waktu yang lama dan belum dibangunnya jalan yang baik.
Melihat kenyataan tersebut, para pedagang dan masyarakat perlu mencari alternatif cara yang
mudah dan aman. Pada akhirnya, transportasi laut menjadi salah satu jalan dan membantu
menghubungkan kedua wilayah tersebut.

Beberapa sungai terpenting yang berperan dalam menghubungkan daerah pedalaman


dengan pantai Cirebon adalah Sungai Cimanuk, Kesunean, dan Losari. Informasi ini dimuat
dalam catatan Tome Pires yang diterbitkan di Cirebon pada tahun 1513, yang membahas
tentang sungai-sungai di Cirebon yang menghubungkan jalur jalan raya yang dapat dilalui
dengan hutan menuju pedalaman Cirebon. Disajikan sebagai berikut 3.

“Tanah Cherimon ada di sebelah Sunda, Cherimon ini punya Pelabuhan yang bagus dan pasti
ada tiga atau empat jung di sana. Tempat ini Cherimon ada di sekitar sana berliku-liku di atas
sungai; rongsokan bisa masuk ke sana”

Tak diragukan lagi, yang dimaksud Tome Pires adalah sungai Kesunean atau Kriyan,
yang bisa dilayari dengan jung (sejenis perahu) ke Cirebon Girang. Sungai Cimanuk di utara
dan sungai Losari di selatan juga berperan dalam menghubungkan wilayah pesisir dengan
interiornya di wilayah Cirebon. Sungai-sungai tersebut dimanfaatkan oleh petani untuk
mengangkut hasil pertanian dan hasil hutan yang dijual di pasar-pasar di wilayah pesisir4.

3
Sulistiyono, 1997. Pasang Surut Perkembangan Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX
4
Ibid
Adanya daerah pesisir dan pedalaman, menunjukkan posisi saling membutuhkan serta
mendukung satu sama lain. Untuk itu, eksistensi sungai telah menjadi infrastruktur sosial,
baik asal pelabuhan juga ke pelabuhan yang tentunya didukung oleh daerah pedalaman yang
sanggup menerima amanah menjadi pemasok pertanian. Hal ini memberikan bahwa Cirebon
bukan hanya Kerajaan Islam tetapi jua Kerajaan Maritim.

Pada masa VOC pusat kota dipindahkan ke Benteng De Beshermingh yang terletak di
tepi muara sungai tua Sukalila atau Sungai Cirebon yang dibatasi oleh kanal-kanal sungai.
Benteng ini juga didukung oleh bangunan lain mulai dari rumah tinggal, kantor kontrol,
kantor asisten residen, bahkan kantor residen, kantor pos, benteng dan didukung oleh
beberapa gudang (perdagangan komoditas) yang dapat dilihat pada gambar di bawah ini.

Gambar 1 : Benteng De Beshermingh dibangun di


1686 (Sumber: Sejarah Cirebon, https://www.hitoryocirebon.id , 2018)

Penempatan ibu kota keresidenan yang terletak di tepi sungai Sukalala atau muara
Sungai Cirebon, didukung oleh kantor keresidenan, kantor pengawas, benteng dan kantor
resmi pejabat kolonial lainnya, sehingga mewakili hierarki pemerintahan kolonial. Sedangkan
sarana prasarana seperti pelabuhan dan gudang (komoditas perdagangan) merupakan kegiatan
komersial. Pemilihan lokasi benteng De Beshermingh yang terletak di tepi muara sungai
sangat tepat bagi Perseroan, melihat Cirebon sebagai daerah dengan potensi ekonomi
pertanian dan kelautan yang melimpah, serta didukung oleh aspek geopolitik yang strategis.
b. Perubahan Fungsi Sungai Tahun 1900-1942

Pada masa VOC, sungai masih dipertahankan sebagai sarana transportasi utama, dimana
sungai digunakan sebagai jalur transportasi dari pedalaman ke pelabuhan atau sebaliknya.
Muara sungai juga digunakan sebagai pelabuhan ekspor dan impor. Namun, ketika masa
surutnya kekuasaan VOC di Cirebon yang kemudian diambil alih oleh pemerintah Kolonial
Belanda, keberadaan sungai di Cirebon mulai memudar. Hal ini terjadi karena Gubernur
Jenderal Daendels pada awal abad ke-19, kota-kota di Jawa mulai membangun jaringan
transportasi untuk keperluan militer dan ekonomi. Kemudian dari akhir abad ke-19 hingga
awal abad ke-20, jalan di Cirebon mendapat perhatian serius.

Perhatian tersebut muncul seiring dengan kebutuhan transportasi hasil bumi dari
pedalaman seperti kopi, tebu, beras, dan lain-lain. Masalah yang dihadapi pemerintah untuk
transportasi hasil pertanian adalah sarana dan prasarana, mengingat jalur transportasi sungai
yang dulunya merupakan “jalan raya” tidak dapat menjangkau seluruh pedalaman Cirebon.
Sehingga menyebabkan perpindahan dari moda transportasi air (sungai) ke transportasi darat.

Akibatnya air sungai menjadi kotor, penuh lumpur sehingga aliran sungai tidak mengalir
dengan benar. Yang kemudian Pada musim penghujan sering terjadi banjir dengan ketinggian
satu meter dan kelancaran aliran air sungai sangat bergantung pada pasang surut air laut
sehingga kompilasi udara pasang surut, sampah, dan kotoran masuk ke sungai kemudian
menumpuk di sungai. mulut sungai. Keadaan tersebut menimbulkan berbagai penyakit seperti
kolera, malaria dan penyakit lainnya5.

c. Dampak Sungai Terhadap Kesehatan

Sebagai bentuk normalisasi kembali terhadap sungai-sungai maka pemerintah Hindia


Belanda melakukan berbagai upaya di antaranya :

1. Sungai Kali Bacin

Sejak tahun 1908 pemerintah telah melakukan pencegahan penyakit dan pembersihan
desa, penimbunan limbah, pembersihan selokan di sekitar jalan, penempatan tempat sampah
di setiap desa, dan pengendalian makanan dan minuman oleh pengawas. Namun, pencegahan
ini belum signifikan dan tampaknya tidak mengarah pada perbaikan lingkungan. Pada tahun

5
Amelia, I. (2016). Dinamika Kota Pesisisr Dan Kesehatan Masyarakat Situasi Cirebon Pada Masa Kolonial
1906-1940
1911-1912 perencanaan pembangunan saluran air perkotaan belum diputuskan. Padahal
saluran air tersebut diperlukan untuk mengantisipasi banjir dan wabah penyakit.

Nanub pada tahun 1915 masih terjadi wabah malaria di kota Cirebon yang menelan
ratusan korban jiwa. Setelah dilakukan penelitian oleh tim dokter Pemerintah dari Jakarta
yang khusus menangani wabah ini, ternyata penyebabnya adalah Kali Bacin.

Gambar 2 : Pasien anak-anak akibat penyakit malaria dalam proses pendataan di Cirebon, Jawa Barat, 1920.
Sumber : ANRI, KIT Jawa Barat 142/77

Sungai Kali Bacin merupakan sungai yang berbau busuk dan menjamurnya penyakit
sehingga tidak heran dengan status ini orang menyebutnya dengan nama “Kali Bacin” yang
dalam bahasa Indonesia berarti sungai yang berbau busuk atau tidak sedap.

Pada tahun 1916 dinas pemberantasan malaria melakukan perbaikan di sekitar sungai
Kali Bacin dengan mempersempit saluran pembuangan yang berbau busuk, mengeruk saluran
hilir dengan pasir, dan di bawahnya dipasang gorong-gorong sebagai penampung air.

2. Sungai Sipadu

Sungai Sipadu merupakan sungai yang berada di depan Keraton Kasepuhan. Sebelum
Sungai/Kali Bacin mengalami degradasi, aliran sungai tersebut berhubungan dengan Sungai
Bacin yang terkenal dengan wabah penyakit.

Pada awal tahun 1925, wabah penyakit Kembali muncul terutama malaria kembali terjadi.
Kemudian pemerintah melakukan kajian terhadap kasus wabah malaria ini. Setelah dilakukan
penelitian intensif, ternyata tempat perkembangbiakan nyamuk malaria bukan lagi “Sungai
Bacin” melainkan muara sungai Sipadu.

Gambar 3 : Laporan mengenai jenis-jenis penyakit


yang menjangkiti masyarakat di kabupaten Cirebon, 1929

Faktor ekologi yang terjadi di sungai disebabkan oleh perilaku hidup tidak sehat
masyarakat di Kota Cirebon seperti membuang sampah ke sungai. Sehingga normalisasi
sungai mulai dilakukan antara lain dengan pembersihan saluran air, pengerukan lumpur di
muara sungai, menghaluskan belokan saluran, dan normalisasi saluran hilir dengan membuat
dinding saluran dan membuat bendungan saluran ke arah laut. Penyelesain seluruh proyek
saluran Sipadu dan penyediaan biaya cadangan untuk pekerjaan tambahan. Pekerjaan
normalisasi sungai Sipadu selesai pada tahun 1929.
C. KESIMPULAN

Perubahan keberadaan sungai terjadi karena dua faktor yaitu perubahan sarana
transportasi dari moda transportasi sungai ke moda transportasi darat, dan ekologi sungai
yang tidak sehat dan kotor yang menyebabkan sering terjadinya banjir. Akibatnya, sungai-
sungai di Kota Cirebon mengalami perubahan eksistensi seperti; transportasi darat di wilayah
sungai, pengerukan sungai, Kali Bacin, normalisasi sungai Sipadu, dan pembuatan gorong-
gorong.

DAFTAR PUSTAKA

Amelia, I. (2016). Dinamika Kota Pesisisr Dan Kesehatan Masyarakat Situasi Cirebon Pada
Masa Kolonial 1906-1940. Jurnal Jejak Nusantara, 04.
Molsbergen, G. (2010b).Uit's Cheribon's Jilid 2 Geschiedenis der Gemeente Cheribon (I.
Satibi (ed.))
Rosidin, DN (2018).Syekh Nurjati Sang Peletak Dasar Islam Awal Di Cirebon. Raja
Grafindo Persada.
Sulistiyono, ST (1997). Dari Lemahwungkuk Hingga Cheribon : Pasang Surut Perkembangan
Kota Cirebon Sampai Awal Abad XX.

Anda mungkin juga menyukai