Anda di halaman 1dari 12

Sejarah Bekasi (4): Kanal Pertama Bekasi,

Antara Moeara dan Pantai; Kali Bekasi dan


Sungai Tjitaroem Dihubungkan Kalimalang
*Untuk melihat semua artikel Sejarah Kota Bekasi dalam blog ini Klik Disini

Sejarah Bekasi adalah sejarah yang unik. Kota Bekasi kerap dihubungkan dengan kota kuno
dari sebuah kerajaan tua. Kota Bekasi juga kerap dihubungkan dengan kanal kuno, kanal
yang dihubungkan dengan kali Bekasi yang sekarang. Itu tentu adalah satu hal, sedangkan hal
yang lain adalah kanal melintang dari timur di Purwakarta hingga barat di Jakarta. Kanal itu
disebut Kalimalang. Kanal Kalimalang berpotongan dengan Kali Bekasi di pusat kota Bekasi.

Sungai Bekasi tompo doeloe (Peta 1724), Kota Bekasi masa kini

Keberadaan kanal di Indonesia pada masa ini sangat terkait sejarah kanal di era kolonial
Belanda (VOC/Pemerintah Hindia Belanda). Sangat banyak kanal dibangun oleh Pemerintah
Hindia Belanda. Kanal yang terkenal adalah Oosterslokkan di sisi timur sungai Tjiliwong dan
Westerslokkan di sisi barat sungai Tjiliwong. Kanal terkenal di tengah kota Batavia adalah
adalah Bandjier Kanaal. Di kota-kota lain juga Pemerintah Hindia Belanda membangun
kanal-kanal besar. Di Semarang disebut kanal barat, kanal timur dan kanal Kali Baroe; di
Soerabaja juga ada kanal besar disebut kanal Kalimas. Tentu saja juga ditemukan di Padang
(Banda Bakali). Tentu saja di kota pegunungan juga ada dibangun kanal yakni di Buitenzorg
dan Bandoeng.

Lantas seperti apa sesungguhnya sejarah kanal di Bekasi? Pertanyaan ini mungkin bagi
umum tidak terlalu penting. Namun artikel ini justru menganggap disitulah menariknya—
karena dianggap tidak penting. Kanal adalah instrumen pengendali banjir, kanal juga menjadi
sumber pengairan lahan yang tidak pernah banjir. Kanal-kanal di Bekasi memiliki sifat yang
khas. Itulah mengapa kita perlu meninjau kembali sejarah kanal di Bekasi. Kanal Bekasi di
jaman kuno terkait dengan kanal di Bogor. .
Kali Bekasi (Peta 1724)

Sumber utama yang digunakan dalam artikel ini adalah ‘sumber primer’ seperti surat kabar
sejaman, foto dan peta-peta. Sumber buku hanya digunakan sebagai pendukung
(pembanding), karena saya anggap buku juga merupakan hasil kompilasi (analisis) dari
sumber-sumber primer. Dalam penulisan artikel ini tidak semua sumber disebutkan lagi
karena sudah disebut di artikel saya yang lain. Hanya sumber-sumber baru yang disebutkan
atau sumber yang sudah pernah disebut di artikel lain disebutkan kembali di artikel ini hanya
untuk lebih menekankan saja*.

Kanal Kali Bekasi, Kanal Sungai Tjipakantjilan di Bogor

Merujuk pada prasasti Tugu (paruh abad ke-5), disebutkan ‘dilakukan penggalian di sungai
Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke
laut’ dan ‘saluran baru dengan air jernih bernama sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122
busur (12 Km)’. Lantas dimana sungai (kanal) Candrabhaga dan sungai (kanal) Gomati ini
berada. Prasasti Tugu memang tidak jauh dari sungai Bekasi, boleh jadi karena itu sungai
Candrabhaga diinterpretasi sebagai sungai Bekasi.
Benteng (Fort) Bacassie (Peta 1695)

Kanal dibuat untuk maksud tertentu, tidak selalu lurus. Kanal Gomati diperkirakan 12 Km,
suatu ukuran jarak yang jauh. Jika itu berada di sekitar sungai Bekasi, kanal 12 Km cukup
kontras. Berdasarkan Peta 1724 apakah ada sifat kanal yang muncul dalam peta? Tidak
terlihat. Boleh jadi sudah hilang karena kejadiannya sudah lampau (paruh abad ke-5). Lantas
kalau tidak di seputar sungai Bekasi, lalu dimana? Kanal kuno sejauh ini tetap menjadi
misteri.

Dalam Peta 1724 satu-satunya situs yang diidentifikasi di sekitar daerah aliran sungai Bekasi
adalah benteng (fort) Bacassie. Benteng ini tepat berada di muara sungai Bekasi. Keberadaan
benteng merupakan penanda navigasi bukti kontak orang Eropa/Belanda di sungai Bekasi.
Benteng Bacassie dibangun tahun 1695. Benteng yang seumur dengan benteng Antjol,
Maronda, Chirebon dan benteng Missier di Tegal.

Pada era VOC/Belanda tidak ditemukan petunjuk adanya kanal di seputar sungai Bekasi.
Dalam plakat 1776 di seputar sungai Bekasi di land Doea Ratoes, Telok Angsana dan
Karrang Tjongok ditemukan enam pabrik gula. Jumlah ini tidak bertambah, karena sudah
kesulitan mendapatkan kayu bakar. Untuk memenuhi kebutuhan kayu bakar bagi keenam
pabrik gula terserbut, pemilik pabrik gula harus mengadakan kontrak dengan pemilik land
Tjilengsi dan land Klapanoenggal dengan cara membawanya dengan rakit ke hilir melalui
sungai Tjilengsi. Pabrik ini adalah milik Jeremias van Riemsdijk.

Jeremias van Riemsdijk diduga adalah orang Eropa/Belanda yang pertama mengeksploitasi
wilayah pengaliran sungai Bekasi. Land Doe Raoes adalah lokasi terjauh properti Riemsdijk
di hulu sungai Bekasi. Land Doea Ratoes ini adalah tempat dimana terdapat kampong Bekasi
(cikal bakal kota Bekasi). Telok Angsana dan Karrang Tjongok berada agak le hilir di sisi
timur sungai Bekasi. Sebagai pionir di Bekasi, keluarga Riemsdijk diketahui menjual sisa
properti terakhir mereka pada tahun 1818. Era pioner Riemsdijk berakhir di Bekasi, era
pemilik baru land di Bekasi dimulai.

Pada peta-peta mikroskopik yang terbit sekitar tahun 1900, di wilayah daerah aliran sungai
Bekasi juga tidak ditemukan tanda-tanda sebuah kanal. Jika tidak ada pembangunan kanal di
sungai Bekasi, apakah yang dimaksud dalam prasasti Tugu hanya sekadar penggalian untuk
kebutuhan navigasi? Di dalam prasasti Tugu disebutkan: ‘dilakukan penggalian di sungai
Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum masuk ke
laut’.
Sketsa batu berukir di landhuis Tjilintjing dekat Toegoe (1909)

Jika mengikuti informasi ini penggalian sungai Candrabhaga dimaksudkan untuk


memperdalam sungai untuk kebutuhan navigasi. Hal ini karena tanda-tanda kanal tidak
ditemukan. Batas penggalian dimulai dari kota (‘setelah melampaui ibukota’) hingga ke
muara (‘sebelum masuk ke laut’). Kota yang dimaksud dalam hal ini adalah kota Bekasi.

Satu informasi lagi dalam prasasti ini adalah sungai baru seperti disebutkan ‘saluran baru
dengan air jernih bernama sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur’. Sungai Gomati
ini ini dapat diartikan sebagai kanal (saluran baru) yang dimaksudkan untuk mencukupi
kebutuhan air bersih di kota Bekasi? Sumber air bersih ini berada di hulu. Saluran baru yang
disebut sungai Gomati haruslah diartikan bahwa ada bagian-bagian tertentu (jika tidak
keseluruhan) yang merupakan haris lurus.

Penggalian sungai untuk kebutuhan navigasi dan pembuatan kanal untuk kebutuhan air bersih
adalah dua peristiwa besar, dua kebutuhan besar yang boleh jadi telah mengerahkan
penduduk dalam jumlah besar. Oleh karena itu dua peristiwa tersebut sudah selayaknya
diabadikan di dalam buku besar yang disebut prasasti (Prasasti Tugu).

Sungai Bekasi (sungai Candrabhaga) adalah gabungan sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas di
sekitar Bantar Gebang. Pada Peta 1724 satu-satunya nama yang diidentifikasi nama sebuah
kampong di daerah aliran sungai Bekasi adalah Bantar Gebang. Boleh jadi ini adalah sisa dari
kota-kota besar yang pernah ada di daerah aliran sungai Bekasi, dan kota Bekasi yang
sekarang adalah sebuah pelabuhan utama di daerah aliran sungai Bekasi.

Nama kota (kampong) Bantar Gebang dapat diasosiasikan dengan nama-nama kota di
wilayah hulu seperti Bantar Jati dan Bantar Kemang. Kota Bantar Jati adalah hulu
sungaiTjikeas dan kota Batar Kemang adalah hulu sungai Tjilengsi. Penarikan nama-nama-
nama (kota) geografis ini mengarahkan kita ke sebuah kota besar yang berada di pegunungan
di Pakwan-Padjadjaran. Kota ini berada diantara titik singgung terdekat antara sungai
Tjiliwong dan sungai Tjisadane. Di timur kota besar ini juga ditemukan kota (kampong)
Bantar Pete. Nama-nama botanis pete, jati dan kemang adalah nama pohon utama. Kota
Bantar Pete, Bantar Kemang dan Bantar Jati adalah tiga kota di sisi utara kota Pakwan-
Padjadjaran. Lantas apa artinya kota Bantar Gebang di hilir? Gebang adalah nama lain pohon
beringin.

Pelabuhan Bekasi (Candrabhaga) dari sudut pandang (kerajaan) Pakwan-Padjadjaran adalah


kota pelabuhan dari kerajaan Pakwan Padjadjaran. Karena itulah di masa lampau, sungai
Candrabhaga digali ke arah hilir di pantai digali untuk memperdalam agar lalu lintas
pelayaran dari laut lepas ke pedalaman di Bekasi menjadi lancar (pengaruh pengendapan atau
kenaikan tonase kapal). Dalam hubungan ini, arti candrabhaga diinterpretasi oleh
Poerbatjarakan yang mana ‘chandra’ berarti ‘bulan’ dan ‘sasi’ berarti ‘bagian’, yang dengan
demikian ‘candrabhaga’ adalah bagian dari bulan, dimana bulan itu sendiri berada di Pakwan
Padjadjaran.

Lalu bagaimana dengan kanal sungai Gomati? Kemungkinan kita tidak menemukan di hilir,
tetapi justru di hulu. Dimana itu? Saya menduga itu adalah sungai Tjipakantjilan, sungai air
bersih yang membelah kota Pakwan-Padjadjaran yang bersumber dari lereng gunung
Pangrango. Sungai Tjipakantjilan yang berada di kota Bogor sekarang adalah suatu sungai
yang sangat unik dan di beberapa ruas terlihat dalam yang tidak mungkin secara alamiah
terbentuk. Sungai ini berada di ketinggian diantara dua jurang dalam di sisi selatan (sungai
Tjisadane) dan di sisi utara (sungai Tjiliwong). Hanya tangan manusia yang dapat melakukan
itu karena sungai-sungai kecil di arah hulu sungai Tjipakantjilan secara alamiah harusnya
jatuh ke sungai Tjiliwong atau sungai Tjisadane.

Dalam perkembangannya, Kerajaan Taroemanagara yang dipercaya berada di daerah aliran


sungai Bekasi lambat laun merdup dan tamat. Kerajaan baru muncul yang diduga lebih
perkasa muncul di daerah pegunungan di Pakwan-Padjadjaran. Lokasi kerajaan
Taroemanagara di hilir sangat rentan terhadap serangan, tidak demikian dengan lokasi
kerajaan Pakwan_Padjadjaran yang berada di dalam benteng sungai Tjiliwong dan sungai
Tjisadane.

Seperti disebutkan dalam Prasasti Tugu ‘dahulu atas perintah rajadiraja Paduka Yang Mulia
Purnawarman’ itu dapat diartikan kerajaan masih berada di sungai Bekasi. Sementara dalam
Prasasri Tugu disebutkan ‘sungai Gomati, mengalir sepanjang 6.122 busur melampaui asrama
pendeta raja yang dipepundi sebagai leluhur bersama para brahmana’ diartikan sebagai
tempat suci di pegunungan. Dengan alasan tertentu, tempat suci ini kemudian ditetapkan dan
berkembang sebagai pusat kerajaan baru yang besar dugaan adalah Kerajaan Pakwan
Padjadjaran.

Dalam perkembangan lebih lanjut, rute perdagangan Kerajaan Pakwan-Padjadjaran tidak


mengikuti garis lalu lintas perdagangan di Bekasi tetapi lebih memilih garis lalu lintas
perdagangan yang baru melalui air di sungai Tjiliwong dan kemudian terbentuk lalu lintas
darat di sisi barat sungai mulai dari Pakwan-Padjadjaran hingga ke pelabuhan Soenda Kalapa
di pantai.

Rute lalu lintas ini adalah Kedang Badak, Tjilieboet, Bodjong Gede, Pondok Terong
(Tjitajam), Depok, Pondok Tjina, Srengseng, Tandjong, Doeren Tiga, Kampong Malajoe,
Menteng, Tjikini hingga ke Soenda Kalapa. Secara tekni jalur darat ini tidak pernah
memotong sungai mulai dari Pakwan-Padjadjaran hingga Soenda Kalapa. Sedang pelabuhan
sungai terjauh di hulu sungai Tjiliwong diduga terdapat di kota (kampong) Moeara Beres
(sekitar Bodnong Gede). Pelabuhan sungai ini semua berada di sisi barat sungai yakni di
Moeara Beres, Pondok Terong, Ratoe Djaja, Depok, Pondok Tjina, Tandjoeng, Tjililitan,
Kampong Melajoe, Matraman, Tjikini, Sawah Besar, Mangga Doea dan Soenda Kalapa
(Pasar Ikan). .

Untuk kebutuhan beras, Kerajaan Pakwan-Padjadjaran membangun pertanian di sisi timur


sungai Tjiliwong dengan membangun kanal baru dengan menyodet sungai Tjiliwong di hulu
di Katoelampa. Kanal baru ini (setelah sebelumnya terbentuk kanal air berish sungai
Tjipakantjilan) dialirkan melalui Bantar Kemang dan Bantar Jati untuk mendukung sungai
Tjilengsi dan sungai Tjikeas. Di hilir kanal ini terbentuk nama kota (kampong) baru yang
disebut Tjiloear. Nama ‘tjiloear’ apakah dikaitkan dengan nama sungai yang keluar (kanal)
dari sungai Tjiliwng?

Kanal sungai Tjilioer yang bersumber dari sungai Tjiliwong di Katoelampa pada era
VOC/Belanda ketika Gubernur Jenderal dijabat oleh van Imhoif (1743-1747) ditingkatkan
menjadi kanal besar yang kemudian disebut kanal timur (Oosterslokkan). Lalu pada era
Pemerintah Hindia Belanda di era Gubernur Jenderal Daendels (1808-1811) Oosterslokkan
ditingkatkan dengan meningkatkan debit air dengan menyodet sungai Tjikeas agar kanal
dapat ditarik lebih jauh ke hilir. Selain itu, Daendels yang telah membentuk kota baru,
Buitenzorg juga membangunan kanal baru di sisi barat sungai Tjiliwong dengan mengangkat
air sungai Tjipakantjilan yang jatuh ke sungai Tjisadane dan mengalirkannya ke Kedong
Badak melalu Paledang. Kanal ini diintegrasikan dengan sungai di Tjileboet.

Dengan demikian, sejauh ini di seputar sungai Kali Bekasi tidak ditemukan kanal. Yang
ditemukan adalah pengerukan sungai Kali Bekasi. Kanal sendiri hanya ditemukan di hulu di
pegunungan yang kemudian terbentuk Kerajaan Pakwan-Padjadjaran (suksesi Kerajaan
Taroemanagara).

Sulit mengetahui apakah tempat penemuan prasasti juga menunjukkan ibukota. Akan tetapi
isi teks dalam prasasti dapat dijadikan petunjuk awal untuk melacak dimana posisi GPS
ibukota. Disebutkan dalam prasasti bahwa ‘atas perintah Raja di Raja dilakukan penggalian
di sungai Candrabhaga setelah sungai itu melampaui ibukota yang masyhur dan sebelum
masuk ke laut’. Penggalian sungai yang dimaksud melewati kota besar (masyhur) hingga ke
pantai. Jika diandaikan kota itu adalah Bekasi yang sekarang, maka penggalian dimulai dari
hulu sungai Bekasi di Bantar Gebang hingga ke suatu tempat sebelum masuk ke laut (lihat
Peta 1724), katakanlah itu Moeara. Pada masa ini Moeara berada di Babelan, Dalam hal ini
Moeara adalah batas laut. Jika Moeara ini ditarik garis ke Toegoe, itu adalah dalam garis
sejajar. Jadi Toegoe dan Moeara adalah suatu tempat di garis pantai. Moeara pada 1000 tahun
yang lalu adalah pintu masuk ke sungai Bekasi dimana terdapat ibukota.
Posisi imajiner muara sungai Bekasie dan Tjitaroem (Peta 1724)

Pada waktu 1000 tahun yang lalu, apakah sungai Tjitaroem sepanjang yang sekarang? Jika
tidak, kita harus berpikir kasusnya sama dengan sungai Bekasi. Lantas dimana muara sungai
Tjitaroem? Tariklah garis dari tempat yang kini disebut Tanjung Pakis ke Moeara. Tanjung
Pakis akan tampak benar-benar suatu tanjung (cape). Muara sungai Tjitaroem berada di
sekitar garis Moeara dan Tandjoeng (Pakis). Gambaran ini masih tampak pada peta 300 tahun
yang lalu (Peta 1724).Oleh karena itu daratan di depan muara sungai Tjitaroem pada tempo
doeloe adalah lautan. Dengan kata lain Teluk Jakarta yang sekarang telah berkurang. Itu
karena ada proses sedimentasi yang lama yang disebabkan oleh bahan lumpur yang dibawa
arus sungai Bekasi dan sungai Tjitaroem. Sedimentasi ini lambat laun membentuk daratan.
Dalam hal ini muara sungai Tjitaroem dan muara sungai Bekasi tempo doeloe lebih dekat
satu sama lain jika dibandingkan pada masa ini.

Kanalisasi di Bekasi pada Era Moderen

Benteng (fort) Bacassie di muara sungai Bekasi mulai dibangun tahun 1695. Benteng ini
dibangun tidak (hanya) untuk menangkal serangan dari laut tetapi juga untuk benteng
pertahanan ketika memulai eksplorasi dan eksploitasi di daerah aliran sungai Bekasi. Benteng
Bacassie adalah pintu masuk menuju hulu sungai Bekasi untuk pengembangan pertanian tebu
dan pembangunan pabrik gula. Riwayat kanalisasi di Bekasi dimulai.

Sebelum benteng (fort) Bacassie dibangun, suatu ekspedisi tahun 1687 dikirim ke pedalaman
di hulu sungai Tjikeas dan hulu sungai sungai Tjilengsie (pangkal sungai Kali Bekasi).
Ekspedisi ini dipimpin Sersan Scipio. Rute ekspedisi yang dilakukan tidak dari pantai utara,
tetapi dari pantai selatan Jawa di muara sungai Tjimandiri (Pelabuhan Ratu sekarang).
Ekspedisi ini mengikuti sungai Tjimandiri lalu bergeser ke arah utara mendekati gunung
Salak (di sebelah timur). Setelah menyeberangi sungai Tjisadane tidak jauh kemudian
menemukan sungai Tjiliwong. Tentu saja tim ekspedisi ini baru menyadari mereka telah
berada di titik balik (melihat jauh ke pantai utara). Tim ekspedisi ini dilengakapi oleh
pemandu yang handal, ahli bahasa, ahli geologi dan ahli botani serta ahli geografi sosial
(pemetaan).
Fort Padjadjaran (Peta 1687)

Tim ekspedisi ini cukup lama berada di sekitar titik persingungan terdekat antara sungai
Tjisadane dan sungai Tjiliwong. Sementara para ahli melakukan tugasnya, sejumlah militer
dan koeli membangun pos pertahanan di titik tertentu. Pos pertahanan ini kemudian disebut
Fort (benteng) Padjadjaran). Posisi GPS fort ini tepat berada di Istana Bogor yang sekarang.
Dengan meninggalkan sebagian tentara dan koeli di benteng (baru) tim ekspedisi yang
dipimpin Scipio kembali ke Batavia menyusuri jalan dari kampong ke kampong sepanjang
sisi timur sungai Tjiliwong. Tiga nama kampong besar yang diidentifikasi dalam peta
ekspedisi adalah kampong (kota) Tjiloear, Kedong Halang dan Tjibinong.

Setelah benteng (fort) Tandjoeg (kini di Pasar Rebo) dan Fort Bacassie dibangun (1695)
sebagai benteng terjauh untuk menyangga benteng (fort) Padjadjaran, pada tahun 1703
kembali dikirim ekspedisi ke hulu sungai Tjiliwong dan meninjau wilayah Priangan hingga
ke Tjiandjoer. Ekspedisi ini dipimpin oleh Abraham van Riebeeck. Dalam laporan ekspedisi
ini diketahui tim berangkat dari Meester Cornelis terus ke hulu di sisi barat sungai Tjiliwong
dengan melewati Tjililitan, Tandjong, Pondok Tjina, Depok, Pondok Terong, Bodjong Gede,
Tjileboet dan Parung Angsana. Tim ini juga melaporkan hasil ekspedisi ke Priangan di
Tjiandjoe (melewati Gadok dan Tjisaroea). Lalu dalam perkembangannya, setelah pulang
dari Malabar (India) Abraham van Riebeeck diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC
(1709-1713). Tanaman kopi (yang diimpor) dari Malabat diintroduksi Abraham van Riebeeck
di daerah aliran sungai Tjiliwong dan Priangan. Percobaan pertama dilakukan di Kedaoeng
tahun 1711. Selain di hulu sungai Tjiliwong dan sisi barat Priangan juga kopi diintroduksi di
Semarang, Pada tahun 1724 sudah ditemukan kebun kapi di sisi barat sungai Semarang.

Gula dan kopi adalah komoditi modern yang tengah diusahakan oleh Pemerintah VOC untuk
melengkapi komoditi kuno lainnya untuk ekspor. Komoditi kuno yang masih ada umumnya
golongan rempah-tempah seperti cengkeh, pala, lada, kulit manis, getah poeli dan bahkan
masih ada dalam porsi kecil komoditi purba seperti kemenyan, kamper, benzoin dan damar.
Komoditi gula dan kopi dihasilkan dengan membangun pertanian tebu dan membuat kontrak
dengan pemimpin lokal (pribumi). Untuk pengembangan pabrik gula, para pengusaha
VOC/Belanda mengandalkan imigran yang didatangkan dari Tiongkok. Pada era gula inilah
Jeremias van Riemsdijk membuka lahan di daerah alisan sungai Bekasi untuk pembangunan
pertanian tebu dan pabrik gula.

Jeremis van Riemsdijk membuka lahan di tiga lokasi di daerah alisaran sungai Bekasi yakni
di Karang Tjongok, Telok Angsana dan land Doea Ratoes. Kampong (kota) Bekasi berada di
land Doea Ratoes. Masing-masing di tiga lokasi ini dibangun dua pabrik gula. Lokasi mana
diantara tiga tempat yang pertama dibangun pertanian dan sejak kapan tidak diketahui secara
jelas. Namun dalam plakat 1776 diketahui di daerah aliran sungai Bekasi sudah terdapat
enam pabrik gulu tersebut. Gubernur Jenderal VOC pada tahun 1776 adalah Jeremias van
Riemsdijk (1775-1777). Jeremias van Riemsdijk sebelumnya telah memiliki land Antjol (juga
perkebunan tebu dan pabrik gula).

Sudah barang tentu dalam pembangunan pertanian tebu di daerah aliran sungai Bekasi
diperlukan kanal-kanal baru untuk mendukung sistem irigasi (pengaturan air). Namun dalam
perkembangannya, pabrik gula tidak kondusif lagi di daerah aliran sungai Bekasi karena
sulitnya mendapatkan kayu bakar. Mendatangkan kayu bakar dari jauh seperti dari land
Tjilengsi dan land Klapanoenggal tidak efisien lagi.

Kaaal Bekasi (Peta 1900)

Pabrik gula lambat laun tutup semua dan dengan sendirinya pertanian tebu juga berakhir
(lahan-lahan pertanian tebu dan pabrik gula mulai bergeser ke Jawa). Lahan-lahan terakhir di
daerah aliran sungai Bekasi dijual keluarga Riemsdijk pada tahun 1818. Pengusaha gula,
keluarga pionir Riemsdijk di Bekasi tamat. Keluarga Riemsdijk memulai peruntungan baru
dengan membangunan pertanian tanaman kopi di Tjiampea.

Setelah berakhirnya era komoditi gula di daerah aliran sungai Bekasi, pertanian tanaman
pangan (beras) dimulai oleh pengusaha-pengusaha baru yang juga diperluas dengan mencetak
sawah-sawah baru. Pembangunan kanal irigasi (modern) dimulai. Keberadaan sistem irigasi
di daerah aliran sungai Bekasi dekat kota Bekasi dapat dilihat pada peta mikroskopik tahun
1900.
Kanal di landhuis Pondoek Poetjong dan Karang Tjongok

Kanal Bekasi dibangun sedikit di arah hulu kota Bekasi pada sisi timur sungai Bekasi. Kanal
ini menyodet sungai Bekasi dengan membangun kanal sepanjang sisi timur sungai. Kanal
mengairi persawahan di sisi timur sungai hingga ke arah hilir (lihat Peta 1900). Jika
diperhatikan situasi dan kondisi masa kini, posisi sodetan sungai Bekasi untuk membuat
kanal tersebut menjadi bendungan Bekasi yang sekarang. Bendungan Bekasi ini
diintegrasikan dengan pembangunan kanal Kalimalang. Kanal Bekasi ini diduga kanal
pertama di Bekasi sejak era Jeremias van Riemsdijk.

Masih di sekitar kota Bekasi (Peta Bekasi 1900) terlihat ada kanal yang lebih besar dibangun
di sisi barat sungai yakni dengan membendung rawa Tembaga dan mengalirkannya ke arah
hilir. Bendungan dan pangkal kanal tersebut tidak jauh di sisi barat stasion Bekasi. Sistem
Irigasi bendungan Rawa Tembaga di sekitar kota Bekasi ini diduga dirawat oleh pemilik land
Telok Poetjong, Bekasi West en Rawa Pasoeng. Pemilik land ini juga membangunn kanal di
sisi barat rawa yang dialirkan ke hilir melalui Krandji dan Odjoeng Menteng (lihat Peta
Tjibening 1901). Pemilik land ini juga membangun kanal dengan menyodet sungai Bekasi
dan kanal ini menuju landhuis Pondok Poetjong. Pemilik land Karang Tjongok juga
membangun kanal dengan menyodet sungai Bekasi dan mengalirkannya ke sisi timur sungai
Bekasi.
Kanal di lanhuis Babelan

Pada Peta Tjibening 1901 juga terlihat Rawa Pengangonan di land Pondok Kelapa dibendung
dengan membuat kanal ke hilir. Rawa Pengangonan ini juga didukung kanal yang berasal dari
Pondo Gede (land perkebunan tebu dan pabrik gula). Irigasi besar juga ditemukan di land
Babelan. Irigasi ini berada di sisi timur maupun sisi barat sungai Bekasi. Irigasi Babelan ini
airnya disodet dari sungai Bekasi dengan membangun kanal di dua sisi sungai (lihat Peta
Bebalan, 1903).

Land Bekasi West, land Bekasi Oost, land Pondok Poetjoeng, land Karang Tjongok, land
Gaboes, land Babakan (Pondok Soga), land Tandjong dan land Babelan (Rawa Bogor) adalah
land-land yang memanfaatkan sungai Bekasi untuk keperluan irigasi sawah dengan
membangun kanal-kanal. Land-land ini di masa lampau adalah area perkebunan tebu dan
pabrik gula semasa (keluarga) Riemsdijk.

Sungai Tjikeas, sungai Tjilengsi dan sungai Bekasi, kali Baroe

Kanal-kanal irigasi penting lainnya terdapat di land Tjikarang, land Tamboen dan land
Lemah Abang. Kanal-kanal di land Tjikarang en Gedong Gede menyodet sungau Tjikarang.
Land Tjikarang Noord (Pebajoeran) menyodet sungai Tjitaroem untuk membangunan kanal
irigasi yang mengairi sawah seperti di Penajoeran dan Telok Haoer. Sungai Tjitaroem juga
dimanfaatkan untuk membuat kanal di land Tjibaroesa. Land Tjibaroesa masuk Afdeeling
Buitenzorg, tetapi pada masa kini masuk wilayah Bekasi. Sungai Lemah Abang juga
dimanfaatkan untuk pembangunan kanal di Lemah Abang. Demikian juga sungai Tmaboen di
Tamboen. Sungai Tjibeet juga dimanfaatkan untuk pembangunan kanal demikian juga sungai
Tjipamingkis. Wilayah di hilir dekat pantai hampir tidak ditemukan kanal seperti di land
Soengai Boeaja, land Pondok Doea, land Soengai Bintaro dan land Karatan.

Last but not least: land-land yang berada di hulu sungai Bekasi juga terdapat kanal-kanal
besar. Kanal terbesar adalah kanal dari sungai Tjilengsi di Bantar Gebang (sekitar pertemuan
sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas). Kanal ini disebut Kali Baroe dialirkan ke arah timur ke
land Bekasi Oost (lihat Peta Bantar Gebang 1904). Masih di seputar wilayah pertemuan
sungai Tjilengsi dan sungai Tjikeas ini, sungai Tjikeas dibendung dengan membangun kanal
besar ke arah hilir melalui land Pondok Gede dan Tjikoenir. Kanal ini pada gilirannya
diteruskan untuk mendukung Rawa Pengangonan.

Kanal Kalimalang

Secara teknis, kanal-kanal di Bekasi sudah terbentuk sejak masa lampau di era kolonial
Belanda. Di era Republik Indonesia tentu saja pengembangan kanal terus dilakukan.
Tunggu deskripsi lengkapnya

*Akhir Matua Harahap, penulis artikel di blog ini adalah seorang warga Kota Depok sejak
1999 hingga ini hari. Pernah menjadi warga Kota Bogor (1983-1991) dan Jakarta Pusat
(1991-1999). Disamping pekerjaan utama sebagai dosen dan peneliti di Fakultas Ekonomi
dan Bisnis, Universitas Indonesia, saya memiliki hobi berkebun di seputar rumah--agar
lingkungan tempat tinggal segar dan hijau. Menulis artikel di blog hanya dilakukan saat
menonton sepakbola atau waktu senggang, utamanya jelang tidur..Saya sendiri bukan
sejarawan (ahli sejarah), tetapi ekonom yang memerlukan aspek sejarah dalam memahami
ekonomi dan bisnis Indonesia. Artikel-artikel sejarah dalam blog ini hanyalah catatan pinggir
yang dibuang sayang (publish or perish). Korespondensi: akhirmh@yahoo.com

Anda mungkin juga menyukai