Anda di halaman 1dari 18

TEKNIK G-BANDING PADA KARYOTYPING

Pendahuluan

Penyakit genetik biasanya dikelompokkan menjadi kelainan gen tunggal


(hemoglobinopati, fibrosis kistik dan hemofilia) dan kelainan kromosom
(Sindrom Down, Sindrom Klinefelter ). Beberapa penyakit genetik, sebagai
contoh hemofilia yang terikat pada kromosom sex X (X-linked) sehingga
gangguan terjadi terutama pada laki-laki). Jika suatu kelainan terjadi pada
autosom dikenal istilah dominan atau resesif. Istilah dominan digunakan jika
kelainan pada gen dominan sehingga penyakit akan muncul pada seseorang yang
mewarisi gen dominan tersebut. Sedangkan pada kondisi resesif meski terdapat
kelainan pada gen, penyakit hanya muncul ketika gen diwarisi dari kedua orang
tua. Penyakit genetik dapat bervariasi dalam tingkat keparahannya, onsetnya
mencakup semua tahap kehidupan sejak bayi hingga usia tua.

Kelainan kromosom terjadi pada sekitar 1 per 160 kelahiran hidup, pada
60-80% kasus abortus, pada 10% kasus kelahiran mati, 13% pada kasus kelainan
jantung bawaan, 3-6% pada kasus infertilitas dan banyak pada kelainan bawaan.
(Howe B, 2014) Secara global, setidaknya 7,6 juta anak dilahirkan setiap tahun
dengan malformasi genetik, 90% dari bayi ini dilahirkan di negara berpenghasilan
menengah dan rendah. Data untuk menentukan prevalensi yang tepat sulit untuk
dikumpulkan, terutama di negara-negara berkembang, karena kondisi keragaman
yang sangat besar dan karena banyak kasus tetap tidak terdiagnosis.

Penegakan diagnosis penyakit yang disebabkan oleh kelainan genetik


tidaklah mudah. Kemajuan dalam memahami mekanisme genetik penyakit
memungkinkan pengembangan tes diagnostik dini, perawatan, atau intervensi
untuk mencegah timbulnya penyakit atau meminimalkan keparahan penyakit.
Beberapa metode saat ini digunakan di laboratorium pengujian genetik. Jenis tes
akan tergantung pada jenis kelainan yang sedang diukur. Secara umum, tiga jenis

1
pengujian genetik yaitu pengujian sitogenetika, biokimia, dan molekuler untuk
mendeteksi kelainan pada struktur kromosom, fungsi protein, atau urutan DNA.

Sitogenetika menurut Rooney merupakan studi tentang genetika pada


tingkat seluler. (Rooney, 2001) Lebih rincinya sitogenetika adalah ilmu tentang
struktur dan sifat kromosom, perilaku kromosom selama pembelahan sel somatik
dalam pertumbuhan dan perkembangan (mitosis) dan pembelahan sel germinal
dalam reproduksi (meiosis), pengaruh kromosom terhadap fenotip dan faktor-
faktor yang menyebabkan perubahan kromosom. (Ponnuraj KT, 2011)
Sitogenetika melibatkan pemeriksaan seluruh kromosom untuk mendeteksi
adanya kelainan pada kromosom, termasuk mendeteksi instabilitas kromosom.
(Howe B, 2014) Kromosom sel manusia yang membelah dapat dianalisis dengan
jelas di bawah mikroskop. Sel darah putih, khususnya limfosit T adalah sel yang
paling mudah diakses untuk analisis sitogenetika karena mereka mudah
dikumpulkan dari darah dan mampu cepat membelah dalam kultur sel. Sel-sel dari
jaringan lain seperti sumsum tulang (untuk leukemia), cairan ketuban (diagnosis
prenatal), dan biopsi jaringan lain juga dapat dikultur untuk analisis sitogenetika.
(Keagle MB, 2005)

Nageli, seorang ahli botani dari Swiss pada tahun 1840 pertama kali
menemukan struktur seperti benang di dalam inti sel yang dia sebut “transitory
cytoblast”. Istilah kromosom pertama kali dikenalkan oleh Waldayer pada tahun
1888. Kata kromosom berasal dari bahasa yunani, chromos yang berarti warna
dan soma yang berarti badan. (Kannan TP, 2009) Tahun 1956, Tijo dan Levan,
Ford dan Hamerton menemukan sel somatik yang normal pada manusia terdiri
dari 46 kromosom. (Veerabhadrappa SK, 2016)

Kromosom adalah struktur sub-seluler berbentuk “thread-like” yang ada di


nukleus setiap sel yang membentuk tubuh manusia. Kromosom tampak seperti
batang yang mengandung struktur yang terdiri dari benang-benang tipis
melingkar-lingkar. Di sepanjang benang-benang inilah terletak secara teratur
struktur yang disebut gen. Gen merupakan segmen fungsional dari DNA.
Nomenklatur kromosom manusia didasarkan pada Sistem Internasional untuk

2
Sitogenetik Manusia Nomenklatur / ISCN (1985). Ada 23 pasang kromosom di
sel manusia, terdiri dari 22 pasang autosom dan 1 pasang kromosom sex. (Hardi
F, 2009) Adanya DNA di dalam kromosom maka dikatakan kromosom
bertanggung jawab untuk mentransfer informasi genetik dari satu generasi ke
generasi lainnya. (Veerabhadrappa SK, 2016) Dengan demikian kelainan dalam
jumlah maupun struktur kromosom akan mengakibatkan kelainan genetik.
Sebagai contoh delesi lengan panjang kromosom 22 (kromosom philadelphia)
yang terdeteksi pada pasien chronic myeloid leukaemia. Delesi lengan panjang
kromosom 22 tersebut merupakan aberasi kromosom somatik yang pertama
ditemukan pada sel kanker. Penemuan tersebut sekaligus mendukung prediksi
Boveri pada tahun 1914 yang menyatakan bahwa kanker disebabkan oleh
perubahan kromosom. Analisis sitogenetika pada keganasan memiliki fungsi
diagnostik dan prognosis. (Ferguson-Smith MA, 2015)

Setelah ditemukan teknik banding pada karyotyping, masing-masing


kromosom manusia dapat diidentifikasi secara tepat dengan dasar dari pola pita
yang unik. Bahan untuk pemeriksaan kromosom didapatkan dari jaringan dengan
sel berinti antara lain : limfosit dari darah vena, sumsum tulang, fibroblast dari
jaringan kulit, cairan amnion dan jaringan tumor. (Veerabhadrappa SK, 2016)

Karyotyping

Karyotyping yang merupakan sitogenetika klasik adalah salah satu metode


yang paling umum dan mudah digunakan untuk menentukan instabilitas atau
kelainan kromosom. (Bates SE, 2011) Diantara anggota suatu spesies, karyotipe
sangat seragam, hal ini memungkinkan analisis sitogenetika untuk mendeteksi
berbagai penyimpangan dalam jumlah dan struktur kromosom yang berhubungan
dengan keadaan penyakit dan cacat perkembangan. ( Gangane, 2008)

Karyotyping adalah nomenklatur normal dimana kromosom ditata secara


berpasangan (homolog) secara sistematik untuk mendeskripsikan kromosom
normal atau abnormal. Dalam masing-masing kelompok, homolog kromosom

3
individu dipasangkan satu sama lain berdasarkan pola pita yang sama. Manusia
normal memiliki 46 kromosom atau 23 pasang yang terdiri dari 22 pasang
autosom dan 1 pasang kromosom sex yang menentukan jenis kelamin. Gambar 1
dan 2 menunjukkan karyogram kromosom normal.( Ponnuraj KT, 2011)

Gambar 1. Kromosom normal pada wanita. 22 pasang autosome dan 1 pasang


kromosom sex XX.

4
Gambar 2. Kromosom normal pada pria. 22 pasang autosome dan 1 pasang
kromosom sex XY

Tiga kunci yang digunakan oleh para peneliti untuk mengidentifikasi


kromosom adalah ukuran, pola pita dan posisi sentromer. Sentromer adalah
penyempitan yang tampak pada kromosom di tahap metafase di mana kedua
kromatid bersatu. Kromosom mempunyai lengan pendek yang disebut p dan
lengan panjang yang disebut q, kedua lengan tersebut dipisahkan oleh sentromer.
Setiap lengan kromosom dibagi menjadi beberapa region. Dua region yang
berbatasan langsung dengan sentromer ditetapkan sebagai "1" ( p1 dan q1), region
distal berikutnya sebagai "2," dan seterusnya. Region dibagi menjadi band (pita)
dan pita menjadi subpita. (Bates SE, 2011) Dalam menunjukan posisi pita
tertentu, empat item harus ada: nomor kromosom, simbol lengan, nomor region,
dan nomor pita dalam region. Sebagai contoh 1q23 berarti kromosom nomer 1,
lengan panjang regio 2 dan pita 3. (Hardi F, 2009) Simbol standar yang digunakan
dalam karyotyping ditunjukkan pada tabel di bawah ini.

5
Tabel 1. Simbol standar dalam karyotyping. (Gangane SD, 2008)

Kromosom dikelompokkan berdasarkan posisi sentromer pada kromosom menjadi


4 yaitu: (Gangane, SD. 2008)

1. Telosentrik. Sentromer terletak di ujung kromosom. Kromosom ini tidak


terdapat pada manusia.
2. Akrosentrik. Sentromer di dekat salah satu ujung kromosom.
3. Submetasentrik. Sentromer terletak di antara bagian tengah dan bagian
akhir pada kromosom.
4. Metasentrik. Sentromer terletak di dekat tengah dalam kromosom.

6
Gambar 3. Klasifikasi kromosom berdasarkan posisi sentromer

Klasifikasi kromosom menjadi 7 grup berdasarkan ukuran dan letak


sentromer dinamakan Klasifikasi Denver. Tehnik banding kromosom
memungkinkan struktur kromosom dilihat dengan mikroskop sehingga dapat
dikelompokkan menurut klasifikasi tersebut. (Veerabhadrappa SK, 2016)

Klasifikasi Denver :

Grup A : Kromosom 1 – 3 yang memiliki ukuran terbesar dengan sentromer


metasentrik.

Grup B : Kromosom 4 – 5 yang memiliki ukuran besar dengan sentromer


submetasentrik.

Grup C : Kromosom 6 – 12 yang memiliki ukuran medium dengan sentromer


submetasentrik.

Grup D : Kromosom 13 – 15 yang memiliki ukuran medium dengan sentromer


akrosentrik.

Grup E : Kromosom 16 – 18 yang memiliki ukuran pendek dengan sentromer


metasentrik atau submetasentrik.

Grup F : Kromosom 19 – 20 yang memiliki ukuran pendek dengan sentromer


metasentrik.

Grup G : Kromosom 21 – 22 yang memiliki ukuran sangat pendek dengan


sentromer akrosentrik.

7
Gambar 4. Klasifikasi Denver.

Teknik pewarnaan kromosom atau yang disebut teknik banding mulai


dikembangkan pada tahun 1970. Berikut adalah berbagai teknik banding yang
digunakan:

1. Q-banding
Teknik Banding kromosom yang pertama ditemukan adalah Q-Banding.
Pada teknik ini kromosom diwarnai dengan fluorokrom seperti quinacrine
mustard atau quinacrine dihidrochloride yang kemudian dievaluasi
dengan mikroskop fluoresen. Kelebihan dari teknik ini adalah tidak
memerlukan perlakuan awal.
2. G-banding
Teknik ini menggunakan cat Giemsa. Sebelum pengecatan, diperlukan
perlakuan awal. G-banding merupakan teknik banding yang paling banyak
digunakan karena memiliki resolusi yang lebih baik.
3. R-banding

8
Teknik R-banding merupakan kebalikan dari G-banding. Teknik ini
memerlukan suhu 65-88º C untuk denaturasi.
4. C-banding
Teknik ini memerlukan perlakuan dengan asam klorida 0,2 N
hydrochloride acid diikuti RNAse dan Natrium hidroksida. Mewarnai
bagian sentromer kromosom.

Aplikasi klinis karyotyping meliputi (Nussbaum RL, 2007) :

 Diagnosis klinis kelainan bawaan dan prenatal


 Kegagalan reproduksi
 Keganasan hematologi dan onkologi
 Pemetaan genetika

Meskipun kelainan kromosom bisa sangat kompleks, ada dua tipe dasar yaitu
kelainan numerik dan struktural. Kedua jenis kelainan ini dapat terjadi secara
bersamaan. Abnormalitas numerik melibatkan hilangnya atau bertambahnya
jumlah kromosom yang dapat mencakup autosom dan kromosom sex. Singkatan
yang digunakan adalah (+) untuk penambahan kromosom atau (-) untuk
kehilangan kromosom. Sel yang kehilangan kromosom disebut monosomi,
sedangkan penambahan kromosom disebut trisomi. Ada juga suatu kondisi yang
disebut triploidy di mana ada salinan tambahan dari setiap kromosom. (Hardi F,
2009)

Kelainan struktur kromosom yang umum diidentifikasi yaitu translokasi, delesi,


inversi, ring chromosome, isokromosom, mosaicism, dan chimerism.
(Veerabhadrappa SK, 2016)

9
Tabel 2. Contoh penyakit akibat kelainan numerik dan struktur kromosom
(Veerabhadrappa SK, 2016)

Karyotyping telah memungkinkan visualisasi anomali pada kromosom


yang sulit terdeteksi dan translokasi bagian kecil kromosom. Prosedur tersebut
juga memungkinkan setiap pasangan kromosom untuk dibedakan secara
individual, sehingga membantu pemahaman kita tentang dasar kromosom dari
gangguan genetik tertentu. (Veerabhadrappa SK,2016)

G-banding

G-Banding merupakan teknik pewarnaan kromosom dengan menggunakan


Giemsa. Metode ini paling banyak digunakan dalam karyotyping. Berbeda dengan
Q-Banding yang memerlukan mikroskop fluoresen, analisa kromosom pada
metode G-Banding dapat menggunakan mikroskop cahaya.

Pola pita (banding) kromosom terdiri dari pola garis atau pita terang dan
gelap yang muncul setelah diwarnai dengan pewarna. Pola pita unik digunakan
untuk mengidentifikasi setiap kromosom. Pita yang gelap merupakan bagian
kromosom yang bereplikasi lambat pada fase S, mengandung banyak Adenin dan
Timin serta sedikit gen yang aktif. Sedangkan pita yang terang adalah bagian

10
kromosom yang bereplikasi awal di fase S, mengandung banyak Guanin dan
Cytosine serta sekitar 80% gen aktif. (Veerabhadrappa SK, 2016)

Studi awal karyotipe manusia hanya mewarnai kromosom di dalam sel


dengan Giemsa dan menaruhnya di antara slide dan cover glass. Kondisi sebagian
besar sel tidak pada fase mitosis yang tepat untuk diamati dan kromosom tidak
tersebar dengan baik, sehingga penghitungan jumlah kromosom tidak dapat
dilakukan dengan tepat.

Pada tahun 1952, T. C. Hsu secara tidak sengaja mengganti air suling
untuk larutan salin normal yang digunakan dalam mencuci sel sebelum diletakkan
pada slide. Pemberian cairan hipotonik ini menyebabkan inti sel membengkak dan
memungkinkan kromosom untuk berpisah atau tersebar dengan baik.

Prosedur G-banding meliputi tahapan sebagai berikut :

1. Pengumpulan / pengambilan bahan

2. Pembiakan pada media kultur ( Set up)

3. Sinkronisasi

4. Pemanenan (Harvesting) :

- Penghentian pembelahan sel pada tahap metafase

- Hypotonic treatment

- Fiksasi

5. Pembuatan slide (Dropping)

6. Pewarnaan (Banding)

7. Pembacaan hasil

11
1. Pengumpulan / pengambilan bahan

2 ml darah tepi dimasukkan ke dalam vacutainer dengan antikoagulan


sodium atau lithium heparin 0,1ml. Stabilitas sampel sampai dengan 6 jam
pada suhu ruang dan maksimal 24 jam pada suhu 4o C.

2. Pembiakan pada media kultur ( set up )


Media yang digunakan untuk pembiakan antara lain RPMI 1640, Mc
Coy’s 5A, Gibco Pbmax karyotyping medium. Pembiakan dilakukan selama
72 jam.
3. Sinkronisasi
Sinkronisasi bertujuan untuk menyamakan fase mitosis. Proses terdiri dari
Blocking dan Release. Bahan yang digunakan pada Blocking adalah 100 µl
FdUR + 100 µl Ur yang ditambahkan ke dalam biakan sampel lalu
diinkubasi (inkubator CO2 5%, 37ºC) selama 15 – 17 jam dengan tutup
valcon dilonggarkan. Setelah itu dilanjutkan Release dengan penambahan
100 µl BrdU, kemudian valcon dibungkus dengan alumunium foil dan
diinkubasi (inkubator CO2 5%, 37ºC) selama 4 – 5 jam, tutup valcon
dilonggarkan .
4. Pemanenan ( harvesting )
Pemanenan hasil biakan diawali dengan penghentian pembelahan sel
pada tahap metafase dengan pemberian Colcemide 100 µl diikuti inkubasi
(inkubator CO2 5%, 37ºC) selama 20 menit. Kemudian disentrifuge selama
10 menit dengan kecepatan 1200 RPM.
Supernatan hasil sentrifuge dibuang lalu dilanjutkan dengan proses
hypotonic treatment pada pelet dengan pemberian larutan hipotonis yaitu KCl
0,075% sebanyak 9 ml. Kemudian sampel diletakkan dalam water bath pada
suhu 38,7º C selama 15 menit, diikuti sentrifuge selama 10 menit kecepatan
1200 RPM. Supernatan hasil sentrifuge dibuang.
Proses dilanjutkan dengan fiksasi. Tujuan utama fiksasi adalah untuk
menjaga sel dan komponen jaringan pada keadaan “life-like state”. Fiksasi
menggunakan 5ml larutan Carnoy’s Fix yang terdiri dari asam glasial dan

12
metanol perbandingan 1 : 3. Kocok perlahan dengan drop pipet. Warna sampel
menjadi coklat kehitaman. Kemudian sentrifuge selama 10 menit kecepatan
1200 RPM. Supernatan hasil sentrifuge dibuang. Ulangi pemberian Carnoy’s
Fix dan sentrifugasi tersebut sampai supernatan jernih. Lalu disimpan pada
suhu -20ºC minimal 24 jam. Sebelum disimpan, ditambahkan lagi Carnoy’s
Fix 5 ml. sampel yang telah disimpan minimal 24 jam pada suhu -20º C
tersebut siap untuk proses dropping.
5. Pembuatan Slide (Dropping)
Pembuatan slide diawali dengan persiapan kaca slide. Kaca slide direndam
dalam methanol 95% dingin selama 24 jam. Kemudian sebelum digunakan,
kaca slide yang telah selesai direndam tersebut dikeringkan dalam slide
warmer selama 24 jam pada suhu 38,5º C. Proses dilanjutkan dengan dropping
sampel ke atas slide. Bisa menggunakan mesin Dropping (metaphase
spreader), sampel diteteskan pada silde sebanyak 2 tetes, lalu dimasukkan
dalam slide warmer suhu 38,5ºC selama 4 hari dilanjutkan oven suhu 60ºC
selama 24 jam.
6. Pewarnaan (Banding)
Bahan untuk pewarnaan terdiri dari Tripsin 100 ml, Free Salt Solution /
FSS 100 ml (siapkan dalam 2 wadah : FSS I dan FSS II ) dan Giemsa. Giemsa
yang digunakan dicampur aquabidest dengan perbandingan 9 giemsa : 1
aquabidest. Cara pewarnaan sebagai berikut : slide dicelupkan dalam Tripsin
selama 12 detik, kemudian dicelupkan ke dalam FSS I selama 4 detik,
dilanjutkan ke dalam FSS II selama 4 detik dan terakhir masukkan slide ke
dalam larutan Giemsa selama 30 menit. Selanjutnya cuci slide dengan air
mengalir, keringkan dan baca di bawah mikroskop.
7. Pembacaan hasil
Pembacaan hasil pada teknik G-banding dilakukan dengan mikroskop
cahaya pembesaran 1000x. Dilakukan analisa kromosom sesuai ISCN
(International System for Human Cytogenetic Nomenclature). Dianalisis
apakah terdapat kelainan numerik maupun struktur.

13
Secara umum sitogenetika klasik seperti karyotyping memiliki kelebihan dan
keterbatasan sebagai berikut. (Bridge JA, 2008)

Kelebihan :

- Informasi global dalam satu pemeriksaan


- Meliputi anomali primer dan sekunder
- Sensitif dan spesifik
- Petunjuk untuk studi molekuler pada patogenetikal gen yang penting

Kekurangan :

- Memerlukan sampel yang segar atau baru


- Memerlukan waktu lama dalam pemeriksaan (1-10 hari)
- Penataan ulang submikroskopik dapat menyebabkan false negatif
- Sulit dilakukan pada sel dengan kepadatan yang rendah.

14
DAFTAR PUSTAKA

Bates, SE. Classical cytogenetics: karyotyping Techniques. Methods in Molecular


Biology. 2011; 767: 177-190. DOI 10.1007/978-1-61779-201-4_13

Bridge, JA. Advantages and limitations of cytogenetic, molecular cytogenetic, and


molecular diagnostic testing in mesenchymal neoplasms. J Orthop Sci. 2008; 13:
273-282. DOI 10.1007/s00776-007-1215-1.

Ferguson-Smith, MA. History and evolution of cytogenetics. Molecular


Cytogenetics. 2015; 8(19): 1-8. DOI 10.1186/s13039-015-0125-8

Gangane, SD. 2008. Cytogenetics. Human Genetics 3rd edition. Noida: Elsevier.

Hardi F, Sudoyo AW. Cytogenetics in oncology: From hematologic malignancies


to solid tumors. Med J Indones. 2009; 18(1): 69-75.

Howe B, Umrigar A, Tsien, F. 2014. Chromosome Preparation From Cultured


Cells. J. Vis. Exp. (83), e50203, doi:10.3791/50203.

Kannan TP, Zilfalil BA. Cytogenetics: Past, Present And Future. Malays J Med
Sci. 2009; 16(2):4-9.

Keagle MB, Gersen SL. 2005. Basic Laboratory Procedures. The Principles of
Clinical Cytogenetics Second Edition. Totowa, NJ : Humana Press Inc.

Moore CM, Best RG. Chromosome Preparation and Banding. Encyclopedia of


Life Sciences. [Internet]. 2001; 1 – 7 . Available from: www.els.net.

Nussbaum RL, McInnes RR, Willard HF. 2007. Chapter 2 The Human Genome
and the Chromosomal Basis of Heredity. In: Thompson & Thompson Genetics in
Medicine. Philadelphia: Saunders Elsevier

Ponnuraj, KT. Cytogenetic Techniques in Diagnosing Genetic Disorders. In:


Ikehara DK, editor. Advances in the Study of Genetic Disorders [Internet]. 2011.

15
Available from: https://www.intechopen.com/books/advances-in-the-study-of-
genetic-disorders/cytogenetic-techniques-in-diagnosing-genetic-disorders

Rooney DE, Czepulkowski B. 2001. Human Cytogenetics: Constitutional


Analysis : a Practical Approach. New York : Oxford University Press.

Veerabhadrappa SK, Chandrappa PR, Roodmal SY, Shetty SJ, Madhu Shankari
GS, Mohan Kumar KP. Karyotyping: Current perspectives in diagnosis of
chromosomal disorders. Sifa Med J 2016; 3:35-40.

16
Schweizer D., Ambros P.F. 1994. Chromosome Banding. In: Gosden J.R. (eds)
Chromosome Analysis Protocols. Methods in Molecular Biology™, vol 29.
Humana Press

Annunziato, A. 2008. DNA Packaging: Nucleosomes and Chromatin. Nature


Education 1(1):26-31 J

Bickmore, WA. 2001. Karyotyping Analysis and Chromosome Banding -


Encyclopedia of Life Sciences. Wiley Online Library. www.els.net. B

O'Connor, C. 2008. Cell Division: Stages of Mitosis. Nature Education 1(1):188-


193 i

O'Connor, C. 2008. Karyotyping for chromosomal abnormalities. Nature


Education 1(1):27-30 H

17
18

Anda mungkin juga menyukai