Zuriah Aditya Mecca1, Naomi Stefani Pohan2, Elvira Fitri Umayya3, Rusni
Asmita Sigalingging4, Dewi Azmi5
Abstrak
Setiap sel organisme memiliki jumlah kromosom yang identik pada sel-sel susunan
tubuhnya (kecuali sel gamet). Pada manusia membentuk 22 pasang kromosom
autosomal dan satu pasang kromosom seks, yaitu kromosom X dan kromosom Y.
Laki-laki normal terdiri dari 22AA+XY; sedangkan perempuan normal terdiri dari
22AA+XX. Pada saat meiosis terjadi, setiap sel gamet (sperma dan ovum) membawa
setengah pasang kromosom dari sel induk. Kromosom dapat mengalami perubahan
(mutasi), baik itu berupa perubahan jumlah ataupun perubahan struktur. Perubahan
pada jumlah kromosom dapat terjadi karena hilangnya atau bertambahnya satu atau
lebih kromosom. Contohnya adalah poliploidi, monoploidi, trisomi, dan monosomi.
Perubahan jumlah kromosom, dapat terjadi karena adanya Non-disjunction, yang
terjadi pada saat meiosis. Sedangkan perubahan struktur kromosom, dapat terjadi
karena adanya delesi, inversi, translokasi, inversi, dan duplikasi. Untuk mendiagnosa
ada atau tidaknya kelainan pada kromosom. Metode yang digunakan adalah Kariotipe,
yaitu teknik menyusun kromosom berdasarkan jumlah dan strukturnya. Kariotipe dapat
dilakukan dengan cara mengambil gambar kromosom, memotong gambar kromosom
satu per-satu, dan mengorganisir. Kromosom yang telah disusun dalam karyogram
merupakan karyotipe sumber data penelitian yang penting dalam riset bahan genetik.
Penyusunan karyotipe dilakukan dengan cara mengurutkan pasangan kromosom dari
ukuran terbesar sampai terkecil berdasarkan kehomologan bentuk dan ukuran. Dari
keempat case yang dianalisis, diperoleh bahwa case 1 adalah kromosom penderita
down syndrome pada perempuan, case 2 adalah kromosom laki-laki normal, case 3
adalah kromosom penderita down syndrome pada laki-laki, dan case 4 adalah
kromosom perempuan normal.
I. Pendahuluan
Kromosom adalah benang-benang yang terdapat pada inti sel yang berfungsi
membawa DNA yang bersifat bawaan dan berisi tentang sebagian besar informasi
untuk aktivitas regulasi sel. Kromosom akan tampak jelas pada sel yang aktif
membelah. Jumlah kromosom di dalam inti sel dari berbagai organisme berbeda-beda
(Wulandari & Tofan, 2015).
Wilhem Roux (1883) mempunyai dugaan yang kuat bahwa kromosom di dalam
inti sel adalah pembawa faktor keturunan. Mekanisme pemindahan gen dari sel ke sel
digambarkan sebagai adanya struktur yang tidak terlihat dalam bentuk deretan atau
rantai, yang mengadakan duplikasi pada saat pembelahan sel. Pendapat ini didukung
1
oleh T. Boveri (1862-1915) dan W. S. Sutton (1902), yang membuktikan bahwa gen
adalah bagian dari kromosom (Effendi, 2020).
Setiap sel organisme memiliki jumlah kromosom yang identik pada sel-sel
susunan tubuhnya (kecuali sel gamet). Organisme yang hanya memiliki satu set
kromosom disebut dengan organisme haploid (n) sedangkan apabila organisme
memiliki sepasang set kromosom maka organisme tersebut disebut dengan organisme
diploid. Pada kondisi diploid setiap kromosom memiliki pasangan kromosom
homolognya. Dua kromosom dikatakan homolog apabila terdapat gen yang sama
untuk setiap lokusnya. Adanya perbedaan alel pada setiap lokus kromosom
mengakibatkan adanya perbedaan fenotip pada satu spesies (Artadana & Wina,
2018).
2
Untuk mendiagnosa ada atau tidaknya kelainan pada kromosom, dilakukan
Kariotipe, yaitu teknik menyusun kromosom berdasarkan jumlah dan strukturnya.
Kariotipe dapat dilakukan dengan cara mengambil gambar kromosom, memotong
gambar kromosom satu per-satu, dan mengorganisir. Kromosom yang telah disusun
dalam karyogram merupakan karyotipe sumber data penelitian yang penting dalam
riset bahan genetik. Penyusunan karyotipe dilakukan dengan cara mengurutkan
pasangan kromosom dari ukuran terbesar sampai terkecil berdasarkan kehomologan
bentuk dan ukuran. Agar memiliki nilai sebagai data penelitian karyotipe perlu
dianalisis. Analisis karyotipe terutama ditekankan pada variasi panjang lengan
kromosom, variasi panjang total komplemen haploid kromosom, indeks asimetri,
variasi bentuk dan struktur kromosom, klasifikasi kromosom, dan rumus karyotipe
(Mertha et al., 2021).
Sentromer merupakan dasar bagi penentuan bentuk kromosom dan salah satu
faktor yang menentukan dalam kariotipe. Pada saat pembuatan preparat kromosom
tidak semua sel dapat menunjukkan adanya lekukan utama (primary constriction) di
kromosom (Puspita et al., 2020). Setiap kromosom memiliki sentromer, karena
sentromer berfungsi sebagai tempat berpegangannya benang-benang plasma dari
spindel atau gelendong inti di waktu pembelahan sel berlangsung. Apabila benang
spindel berkontraksi sehingga memendek, maka kromosom bergerak (tertarik) ke arah
kutub sel (pada stadium anafase). Kromosom yang tidak memiliki sentromer disebut
kromsosom asentris, yang biasanya labil dan mudah hancur dan hilang dalam plasma.
Jika pada sebuah kromosom dapat ditemukan beberapa sentromer sehingga kerap
kali sukar mengenalnya, maka sentromer itu dinamakan diffuse centromere.
3
mengorganisir. Idiogram hasil dari kariotipe dapat dilakukan dengan memanfaatkan
aplikasi Karyo Measure dan Idiokar.
III. Metode
4
Dibandingkan setiap struktur kromosom pada gambar
Case 1 sampai Case 4 dengan gambar Karyotipe yang
dapat diakses pada link diatas.
5
Dimasukkan hasil penyusunan karyotipe ke dalam Tabel
Analisis Kromosom dan tentukan mutasi yang terjadi
pada kromosom
6
1 Metasentris Normal
2 Submetasentris Normal
3 Metasentris Normal
4 Submetasentris Normal
5 Submetasentris Normal
6 Submetasentris Normal
7 Submetasentris Normal
8 Submetasentris Normal
9 Submetasentris Normal
10 Submetasentris Normal
11 Submetasentris Normal
12 Submetasentris Normal
13 Akrosentris Normal
14 Akrosentris Normal
15 Akrosentris Normal
16 Metasentris Normal
17 Submetasentris Normal
18 Submetasentris Normal
19 Metasentris Normal
20 Metasentris Normal
21 Akrosentris Trisomi
22 Akrosentris Normal
23 XX ( Submetasentris) Normal
Hasil diagnosis : Down Syndrome Pada Perempuan, trisomi pada kromosom 21
Formula Kromosom : 47, XX, + 21
7
9C 8C 7C
8
Dari analisis yang dilakukan, pada Case 1 didapatkan hasil analisis
bahwasanya pada Case 1 terjadi mutasi pada kromosom tersebut. Dari perhitungan
jumlah kromosom pada Case 1 didapat hasil bahwa jumlah kromosom pada Case
tersebut berjumlah 47 yang mana hal ini adalah bentuk kelainan karena kromosom
normal manusia berjumlah 46 (22 pasang Autosome dan 1 pasang Gonosome). Dari
hasil analisis, diperoleh bahwa pada kromosom 21 terjadi penambahan sehingga
jumlahnya menjadi 3 atau disebut juga Trisomi, yang mana hal ini adalah tanda dari
penyakit kelainan genetik Sindrom Down pada jenis Trisomi 21. Oleh karena itu,
formula kromosom dari Case 1 adalah 47, XX + 21.
Sindrom Down merupakan suatu kelainan genetik yang paling sering terjadi dan
paling mudah diidentifikasi. Sindrom Down atau yang lebih dikenal sebagai kelainan
genetik trisomi, di mana terdapat tambahan kromosom pada kromosom 21. Sindrom
Down terjadi karena kelainan susunan kromosom ke-21, dari 23 kromosom manusia.
Pada manusia normal, 23 kromosom tersebut berpasang-pasangan hingga berjumlah
46. Pada penderita Sindrom Down, kromosom 21 tersebut berjumlah tiga (trisomi),
sehingga total menjadi 47 kromosom. (Irdawati & Muhlisin, 2009)
1) Trisomi 21 klasik adalah bentuk kelainan yang paling sering terjadi pada
penderita Sindrom Down, di mana terdapat tambahan kromosom pada
kromosom 21. Angka kejadian trisomi 21 klasik ini sekitar 94% dari semua
penderita Sindrom Down.
2) Translokasi adalah suatu keadaan di mana tambahan kromosom 21
melepaskan diri pada saat pembelahan sel dan menempel pada kromosom
yang lainnya. Kromosom 21 ini dapat menempel dengan kromosom 13, 14, 15,
dan 22. Ini terjadi sekitar 3-4% dari seluruh penderita Sindrom Down. Pada
beberapa kasus, translokasi Sindrom Down ini dapat diturunkan dari orang tua
kepada anaknya. Gejala yang ditimbulkan dari translokasi ini hampir sama
dengan gejala yang ditimbulkan oleh trisomi 21
3) Mosaik adalah bentuk kelainan yang paling jarang terjadi, di mana hanya
beberapa sel saja yang memiliki kelebihan kromosom 21 (trisomi 21). Bayi yang
lahir dengan Sindrom Down mosaik akan memiliki gambaran klinis dan masalah
kesehatan yang lebih ringan dibandingkan bayi yang lahir dengan Sindrom
9
Down trisomi 21 klasik dan translokasi. Trisomi 21 mosaik hanya mengenai
sekitar 2-4% dari penderita Sindrom Down (Irwanto et al., 2019).
10
X
Hasil diagnosis dari Case 2 adalah normal pada laki-laki dengan formula
kromosom 46 XY. Hasil identifikasi kromosom 1 sampai kromosom 23 menunjukkan
kromosom yang normal. Pada kromosom 23 terdapat jenis kromosom X dan
kromosom Y yang menunjukkan jenis kelamin adalah laki-laki.
Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa laki-laki normal
mempunyai 46 kromosom yang terdiri atas 22 pasang autosom dan 2 kromosom seks
X dan Y (Siswosudarmo, 1981).
11
Laki - laki dan perempuan mempunyai 2 buah kromosom yang bisa
menentukan jenis kelamin. Pada wanita, kedua belah kromosom seksnya adalah
kromosom X, sementara pada laki - laki kromosom seksnya terdiri atas X dan Y.
Susunan normal kromosom seks pada wanita adalah XX dan pada pria XY. Kromosom
X merupakan pembawa sifat perempuan dan juga penentu jenis kelamin perempuan,
dan kromosom Y merupakan kromosom pembawa sifat laki - laki dan juga penentu
jenis kelamin laki - laki. Apabila sperma yang membuahi sel telur mengandung
kromosom X, maka hasilnya adalah embrio perempuan (XX). Apabila sperma tersebut
mengandung kromosom Y maka hasilnya adalah embrio laki - laki (XY) (Dito et al.,
2023).
Proses pewarisan kromosom terjadi saat pembuahan, ketika sel sperma dari
laki-laki yang mengandung satu kromosom Y bertemu dengan sel telur dari
perempuan yang mengandung satu kromosom X. Hasilnya adalah embrio laki-laki
dengan pasangan kromosom seks XY. Ini adalah proses alamiah yang terjadi selama
pembentukan embrio dan menentukan jenis kelamin anak.
12
Ciri-ciri ini adalah hasil dari ekspresi genetik yang terkandung dalam kromosom
seks XY, dan mereka mengatur perkembangan biologis dan karakteristik seksual
sekunder laki-laki.
- Gametogenesis
- Pembuahan
13
No. Case : 3 (tiga)
Sex : XY (laki-laki)
14
X
Dari analisis data yang telah dilakukan pada case 3 dengan mengidentifikasi
tipe setiap kromosom hasil diagnosis menunjukkan kromosom penderita down
syndrome pada laki-laki. Hal ini ditandai dengan adanya mutasi kromosom, trisomi 21.
Orang dengan sindrom down memiliki 47 kromosom (normalnya 46 kromosom).
Kelainan genetik ini terjadi pada kromosom 21 yang jumlahnya menjadi tiga buah
(normalnya dua buah kromosom).
15
Down Syndrome atau Sindrom Down atau kelainan genetik Trisomi merupakan
sebuah kelainan genetik yang dapat menyebabkan penderitanya memiliki tingkat
kecerdasan yang rendah, kelainan fisik yang khas, serta hambatan tumbuh kembang.
Down Syndrome terjadi dikarenakan materi genetik ekstra di kromosom 21. Kelainan
genetik ini disebabkan karena gagalnya pembelahan sel gamet (sel telur atau sperma)
pada prose Meiosis I atau Meosis II (non disjunction) sehingga terdapat kromosom
ekstra pada kromosom 21 yang menyebabkan jumlah protein tertentu berlebih dan
mengganggu pertumbuhan normal dari tubuh seperti perubahan perkembangan
sistem otak (Siahaan & Kesuma, 2021).
Sindrom Down ditemukan oleh John Langdon Down pada tahun 1866. Ini
adalah kelainan kromosom di mana individu memiliki tambahan salinan kromosom 21,
baik penuh atau sebagian. Ada beberapa sejumlah kondisi medis yang terkait dengan
sindrom Down, yang paling umum adalah kelainan jantung, leukemia, gangguan
pencernaan, masalah penglihatan dan pendengaran, masalah gigi, penyakit tiroid,
apnea tidur obstruktif, epilepsi, dan penyakit Alzheimer. Sindrom Down juga
merupakan salah satu penyebab utama kecacatan intelektual (Diamandopoulos &
Green, 2018).
Dasar klinis mengenai sindrom down diungkapkan pertama kali oleh Professor
Jerome Lejeune (1926-1994) yang melakukan diagnosa genetik melalui teknik
pemeriksaan kariotipe pada tahun 1959. Pemeriksaan kariotipe pada awalnya adalah
sebuah metode untuk mengidentifikasi anomali pada kromosom yang terlihat.
Pemeriksaan dengan cara tersebut dapat mengobservasi penyimpangan kromosom
melalui mata ataupun menggunakan mikroskop.
Berikut ini adalah ciri-ciri Down Syndrome: (1) Bentuk kepala yang relatif kecil
dibandingkan dengan orang normal (microchephaly) dengan area datar di bagian
tengkuk; (2) Ubun-ubun berukuran lebih besar dan menutup lebih lambat (rata-rata
usia 2 tahun): (3) Bentuk mata sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan
(epicanthal folds): (4) Bentuk mulut yang kecil dengan lidah besar (microglossia)
sehingga tampak menonjol keluar Saluran telinga bisa lebih kecil sehingga mudah
buntu dan dapat menyebabkan gangguan pendengaran jika tidak terapi: (5) Garis
telapak tangan yang melintang lurus/horizontal (simian crease); (6) Penurunan tonus
otot (hypotonia): (7) Jembatan hidung datar (depressed nasal bridge), cuping hidung
16
dan jalan napas lebih kecil sehingga anak Down Syndrome mudah mengalami hidung
buntu; (8) Tubuh yang pendek; (9) Dagu kecil (micrognatia): (10) Gigi geligi kecil
(microdontia), muncul lebih lambat dalam urutan yang tidak sebagaimana mestinya
dan spot putih di iris mata (brushfiel brush field) (Siahaan & Kesuma, 2021).
1. Infeksi virus. Salah satu jenis virus yang paling sering menginfeksi prenatal
adalah Rubela yang mampu memengaruhi mutasi gen sehingga jumlah atau
struktur kromosom berubah.
2. Radiasi. Sekitar 30% ibu yang melahirkan anak dengan sindrom down
mengalami radiasi di daerah perut sebelum terjadinya konsepsi.
3. Usia sel telur dan sel spermatozoa. Pada saat usia perempuan memasuki usia
tua, kondisi sel telur terkadang menjadi kurang baik yang dapat menyebabkan
pembelahan saat kesalahan dibuahi oleh spermatozoa. Sedangkan pada sel
sperma berpotensi gangguan pematangan. mengalami
4. Usia ibu. Usia perempuan saat kehamilan juga turut menjadi faktor pemicu
terjadinya kegagalan perpisahan kromosom saat meiosis. Usia perempuan di
atas 35 tahun saat kehamilan diungkapkan berpotensi melahirkan bayi dengan
sindrom down dengan rasio sebesar 1 dalam 400 kelahiran.
Adapun faktor anaphase lag adalah kegagalan dari kromosom untuk bergabung
ke salah satu nucleus anak yang terjadi saat pembelahan sel sebagai akibat dari
keterlambatan pergerakan selama anafase atau ketika kromosom bergerak ke ujung
yang berlawanan (Balasong, 2022).
17
No. Case : 4 (empat)
Sex : XX (Perempuan)
18
Gambar 4.4 Idiogram case 4
20
V. Kesimpulan
Kromosom berasal dari 2 kata, yaitu Chroma : warna; dan Soma : badan.
Kromosom merupakan struktur seperti untaian benang yang membawa informasi
genetik (DNA/RNA). Pada sel eukariotik, kromosom disusun oleh Chromatin dan
dikemas oleh Histone. Secara umum, kromsom terdiri dari 2 struktur, yaitu :
Centromere (bagian pusat) dan Lengan (terdapat DNA). Pasangan kromosom terdiri
dari satu kromosom dari ibu dan satu kromosom dari ayah. Berdasarkan letak
Centromere, kromosom dibagi menjadi 4 tipe, yaitu : Metacentric, Sub-metacentric,
Acrocentric, & Telocentric. Berdasarkan informasi genetik yang dibawa, kromosom
dibagi menjadi 2, yaitu : Autosome (kromsom tubuh), yang membawa informasi
genetik untuk menentukan sifat tubuh, dan Gonosome (kromosom kelamin), yang
membawa informasi genetik untuk menentukan jenis kelamin. Kariotipe adalah teknik
menyusun kromosom berdasarkan jumlah dan strukturnya. Kariotipe dapat dilakukan
dengan cara mengambil gambar kromosom, memotong gambar kromosom dan
mengorganisir. Idiogram hasil dari kariotipe dapat dilakukan dengan memanfaatkan
aplikasi Karyo Measure dan Idiokar. Kromosom normal pada manusia yaitu 46 buah
atau 23 pasang dengan 22 pasang autosom dan 1 pasang gonosom. Karyotipe pada
manusia normal yaitu 22AA (autosom) + XX (genosom) untuk wanita 22AA (autosom)
+ XY (genosom) untuk laki-laki.
Dari praktikum ini dapat disimpulkan bahwa pada keadaan normal jumlah
kromosom suatu individu adalah konstan yaitu 46 kromosom. Akan tetapi karena
adanya kelainan kromosom pada individu yang disebabkan mutasi kromosom, maka
jumlah kromosom yang ada pada individu tertentu dapat berbeda dari yang
seharusnya karena mengalami mutasi.
21
VI. Daftar Pustaka
Artadana, I.B.M., & Wina, D.S. (2018). Dasar-Dasar Genetika Mendel dan
Pengembangannya. Surabaya : Graha Ilmu.
Campbell, N. A., Reece, J. B., Urry, L. A., Cain, M. L., Wasserman, S. A., Minorsky, P.
V., & Jackson, R. B. (2017). Biology (11th ed.). Pearson.
Dito, M.F., Dalfian, Ringgo, A., Mala, K. (2023). Hubungan Antara Riwayat Keturunan
Terhadap Jenis Kelamin Anak pada Keluarga di Wilayah Kerja Kantor Urusan
Agama Bandar Lampung. Jurnal Ilmu Kedokteran dan Kesehatan, 10(9), 2782-
2789.
Effendi, Y. (2020). Buku Ajar Genetika Dasar. Magelang : Pustaka Rumah C1nta.
Hartono, R. & Rudina, A. (2019). Biologi Sel dan Genetika. Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.
Irdawati & Muhlisin, A. (2009). Sindrom Down Pada Anak Ditinjau Dari Segi Biomedik
dan Penatalaksanaannya. Berita Ilmu Keperawatan. 2(1) : 47-50
Irwanto, Wicaksono, H., Ariefa, A., Samosir, S.M. (2019). A-Z Sindrom Down.
Surabaya: Airlangga University Press.
Mertha, I.G., Agil, I.I., Ahmad, R., I, W.M. Syamsul, B. (2021). Pelatihan Preparasi
Kromosom dan Analisis Karyotipe Pada Dosen-Dosen Biologi di Universitas
Nahdlatul Wathan Mataram. Jurnal Pengabdian Magister Pendidikan IPA, 4(4),
376-382.
22
Puspita, A., Agus, B.S., Aziz, P., Endang, S. (2020). Identifikasi Kromosom Homolog
Melalui Deteksi Nucleolus Organizer Regions dengan Pewarnaan AgNO3 pada
Tanaman Bawang Merah. Jurnal Bioteknologi & Biosains Indonesia, 7(1), 9-17.
Saskaprabawanta, M., Sultana, M.F., Tri, I.W. (2015). Analisis Kromosom pada
Penderita dengan Anomali Kongenital Multipel di Laboratorium Cebior. Media
Medika Muda, 4(4), 1476-1483.
Siahaan, B.N. & Kesuma, Y. (2021). Kriteria Desain Pusat Rehabilitasi Down
Syndrome Dengan Pendekatan Arsitektur Perilaku. LOSARI : Jurnal Arsitektur,
Kota dan Permukiman, 6 (1), 82-90.
Syafitri, K., Elza, A., Winoto, S. (2013). Metode Pemeriksaan Jenis Kelamin Melalui
Analisis Histologis dan DNA Dalam Identifikasi Odontologi Forensik. Jurnal
PDGI, 62(1), 11-16.
Tjahjani, N.P. (2013). Kelainan Genetik Klasik: Tinjauan Penciptaan Manusia dalam
Perspektif Al-Qur’an. Mudarrisa: Jurnal Kajian Pendidikan Islam, 5(2), 222-250.
Wulandari, A.S. & Tofan, R.W. (2015). Analisis Kromosom Tanaman Jati (Tectona
grandis Lf) dengan Metode Pewarnaan. Jurnal Silvikultur Tropika, 06(1), 49-54.
Yunitasari, I., Mahriani, & Oktarani, R. (2019). Pola Sidik Jari Tangan dan Ciri Fisik
Penderita Sindrom Down di Sekolah Luar Biasa (SLB) Kota Jember. BERKALA
SAINTEK, 7 (2), 34-38.
23
VII. Lampiran
Gambar Keterangan
Penomoran Kromosom
Pada Case 1
Penomoran Kromosom
Pada Case 2
24
Penomoran Kromosom
Pada Case 3
Penomoran Kromosom
Pada Case 4
25
Lampiran 7.2 Laporan Sementara
26
27
28
29
30