Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN HASIL DISKUSI KELOMPOK 2

BLOK 14 MODUL 4
HEMATEMESIS MELENA

Disusun oleh : Kelompok 2

Way Wimaba R T 2010016107


Muh. Ari Alfauzan 2110016014
Karina Diva Cantika 2110016017
Achmad Alkaff 2110016033
Farsya Aulia Bahri 2110016053
Elias Fransiskus Pardosi 2110016063
Vhania Yuannisa 2110016069
Naomi Christy Natasha Tambunan 2110016076
Ruth Sheren Romauly Simorangkir 2110016093
Muh Dzulfikar A A 2110016099

Tutor : Dr. dr. Nataniel Tandirogang, M.Si

PROGRAM STUDI KEDOKTERAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MULAWARMAN
SAMARINDA
2023

1
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas
limpahan rahmat serta hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan tugas laporan yang berjudul
“Dispepsia” ini tepat pada waktunya. Laporan ini kami susun dari berbagai sumber ilmiah
sebagai hasil dari Diskusi kelompok Kecil (DKK) kami.
Kami mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu sehingga
terselesaikannya laporan ini, antara lain:
1. Dr. dr. Nataniel Tandirogang, M.Si selaku tutor kelompok 6 yang telah membimbing
kami dalam menyelesaikan Diskusi Kelompok Kecil (DKK)
2. dr. Riries Choiru Pramulia Yudia, M.Kes selaku penanggung jawab modul B14M3
yang berjudul “ Kolik dan Disuria”
3. Teman-teman kelompok 2 yang telah menyumbangkan pemikiran dan tenaganya
sehingga Diskusi Kelompok Kecil (DKK) 1 dan 2 dapat berjalan dengan baik, serta
dapat menyelesaikan laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil (DKK).
4. Teman-teman mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Mulawarman angkatan
2021 dan pihak-pihak narasumber yang tidak dapat kami sebutkan satu-persatu.
Kami menyadari bahwa kemampuan kami dalam menyelesaikan laporan ini sangat
terbatas. Oleh karena itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun demi tercapainya kesempurnaan dari isi laporan hasil Diskusi Kelompok Kecil
(DKK) ini.

Samarinda, 14 Oktober 2023

Kelompok 2

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I 1
PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Tujuan 1
C. Manfaat 1
1
SKENARIO 2
A. Step 1 Identifikasi Istilah 2
B. Step 2 Identifikasi Masalah 3
C. Step 3 Analisa Masalah 3
D. Step 4 Kerangka Konsep 5
E. Step 5 Learning Objectives 6
G. Step 7 Sintesis 6
DAFTAR PUSTAKA 34
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Perdarahan saluran cerna bagian atas (PSCBA) adalah perdarahan saluran
makanan proksimal dari ligamentum Treitz. Berdasarkan etiologinya, PSCBA
diklasifikasikan menjadi dua jenis yaitu perdarahan saluran cerna bagian atas terkait
varises seperti varises esofagus dan perdarahan saluran cerna bagian atas non
varises seperti ulkus peptikum.
Perdarahan saluran cerna bagian atas dapat bermanifestasi sebagai hematemesis,
melena atau keduanya. Hematemesis adalah muntah darah dan melena adalah
pengeluaran feses atau tinja yang berwarna hitam yang disebabkan oleh adanya
perdarahan saluran makan bagian atas. Pada melenan dalam perjalanannya melalui
usus, darah menjadi berwarna merah gelap bahkan kehitaman. Perubahan warna
disebabkan oksidasi darah oleh HCL lambung, pepsin, dan warna hitam ini diduga
karena adanya pigmen porfirin.
B. Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam diskusi kami ini adalah untuk mengetahui dan
memahami tentang :
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi
a. Hematemesis
b. Melena
c. Ikterik
2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, tatalaksana dari :
3. Hepatitis kronis
4. Sirosis hepatis
5. Varises Esofagus
BAB II
PEMBAHASAN

I. SKENARIO TUTORIAL

Muntah darah…..

Pasien wanita 35 tahun dibawa ke igd RS karena penurunan kesadaran dan


gelisah sejak 2 jam sebelum masuk RS. Os sebelumnya mengalami muntah darah
sebanyak 2 gelas belimbing . Selama 2 hari berturut-turut sebelumnya juga mengeluh
tiap BAB berwarna hitam seperti kecap . Saat diperiksa keadaan umum tampak lemah,
somnolen, TD 80/60 mmHg, N 120x/menit, RR 26 x/menit . Pemeriksaan patologis yg
ditemukan ikterik (+), shifting dullness (+), udem pretibial +/+. Dokter jaga melakukan
pemeriksaan laboratorium darah lengkap dan serologis hepatitis. Pasien dirawat inap
untuk penanganan lanjutan.

A. Step 1 Identifikasi Istilah


1. Shifting dullness : Suatu metode pemeriksaan fisik dengan melakukan
perkusi untuk mendeteksi apakah terdapat asites atau cairan pada rongga
abdomen. Dikatakan positif jika terdengar suara redup.
2. Ikterik : Kondisi dimana terjadi akumulasi bilirubin yang
berlebih dalam sirkulasi darah yang ditandai dengan warna kekuningan,
biasanya dapat terlihat jelas pada sklera mata.
3. Somnolen : Tingkat kesadaran dimana seseorang mengalami
penurunan kesadaran. Ditandai dengan penderita mudah tertidur, tapi jika
dirangsang secara verbal/diajak bicara masih bisa terbangun, ketika rangsangan
berhenti pasien cenderung akan tidur kembali
4. Edema pretibial : Edema pada daerah tungkai bawah yaitu tibia bagian
depan
B. Step 2 Identifikasi Masalah
1. Apa penyebab muntah darah dan mengapa BAB hitam seperti kecap?
2. Mengapa terjadi ikterik dan shifting dullnes?
3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien tersebut?
4. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien tersebut?
5. Apa penanganan awal pada pasien?

C. Step 3 Analisa Masalah


1. Apa penyebab muntah darah dan mengapa BAB hitam seperti kecap?
Muntah darah karena pendarahan saluran cerna bagian atas, kalau muntah darah
berwarna hitam karena bercampur dengan asam lambung
Etiologi perdarahan sal cerna atas terbagi 2:
- Varises : melibatkan pelebaran vena, biasanya dimulai dari adanya
penyakit hepar kronik
- Non varises : tidak melibatkan pelebaran vena, biasanya kasus yang
paling sering adalah ulkus peptikum
Membedakan hematemesis dan hemaptoe :
- Hematemesis : terjadi pada saat muntah,
- Hemaptoe : terjadi pada saat batuk

BAB Hitam : Karena pendarahan yang jauh dari rektum yang bercampur dengan
asam lambung

2. Mengapa terjadi ikterik dan shifting dullnes?


Ikterik karena peningkatan kadar bilirubin, yang disebabkan karena
terganggunya fungsi hepar dalam me-metabolisme bilirubin. Peningkatan kadar
birilubin bisa meningkat di prehepatik, intrahepatik, post hepatik.
Pada fase prehepatik, contohnya peningkatan pemecahan eritrosit yang
berlebihan.
Ikterik juga bisa disebabkan karena penyakit hepatitis B. Dimana terjadi
kerusakan sel hepatosit sehingga metabolisme bilirubin terganggu.

Shifting dullnes terjadi karena proses perpindahan cairan ke intertisial yang dpt
disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik, penurunan tekanan osmotik
atau pelebaran pembuluh darah.
Shifting dullnes bisa ditemukan pada pemfis perkusi dengan ditemukannya suara
redup yang menandakan adanya cairan didalam rongga abdomen (asites)

Shifting dullnes berkaitan dengan gangguan fungsi hepar bisa terjadi penurunan
produksi albumin jika terjadi gangguan di hepar, penurunan albumin bisa
menyebabkan penurunan tekanan onkotik yg nyebabin cairan pindah ke
ekstravaskuler menuju interstisial buat mengimbangi tekanan otmotik

3. Bagaimana interpretasi hasil pemeriksaan pada pasien tersebut?


- Somnolen : kesadaran menurun
- TD 80/60 mmHg : terjadi penurunan (syok)
- Nadi 120x/menit : meningkat (takikardi)
- RR : 26X/Menit : peningkatan (takipneu)
- Ikterik (+) : karena kadar bilirubin meningkat
- Shifting dullness (+) : terjadi asites

4. Apa kemungkinan diagnosis pada pasien tersebut?


Varises : ruptur verises esofagus, hipertensi portal
non varises : peptik ulcer bleeding, gastritis erosif, mallory weiss tear

5. Apa penanganan awal pada pasien?


- Resusitasi ABC, jika ada oksigen diberi oksigen, cairan kristaloid, pemeriksaan
darah lengkap
- Pemasangan pipa NGT, Untuk menghindari aspirasi pendarahan
- Transfusi PRC, diberikan jika Hb kurang dari 7, dengan tanda oksigen hunger
- Terapi endoskopi, Hb minimal 10

D. Step 4 Kerangka Konsep


E. Step 5 Learning Objectives
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi
a. Hematemesis
b. Melena
c. Ikterik
2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi
klinis, diagnosis, tatalaksana dari :
a. Hepatitis
b. Sirosis hepatis
c. Varises Esofagus
F. Step 6 Belajar Mandiri
Pada tahap ini, mahasiswa akan mencari jawaban dari tujuan pembelajaran
(learning objective) yang sudah disepakati, referensi yang digunakan adalah
buku-buku dan jurnal yang telah disarankan, serta referensi tambahan bila
diperlukan, untuk kemudian dipahami dan dijelaskan kembali pada DKK 2 di step
ke-7 yaitu sintesis.

G. Step 7 Sintesis
1. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi
a. Hematemesis
Definisi
Hematemesis (muntah darah) dan melena (buang air besar berwarna hitam
dan lengket) merupakan keadaan yang diakibatkan oleh perdarahan saluran
cerna bagian atas. Hematemesis adalah muntah darah, yang mungkin jelas
merah atau memiliki penampilan yang mirip dengan bubuk kopi.
Etiologi

Kelainan di Esofagus
a. Varises esophagus

Penderita dengan hematemesis melena yang disebabkan pecahnya varises


esofagus, tidak pernah mengeluh rasa nyeri atau pedih di epigastrium. Pada
umumnya sifat perdarahan timbul spontan dan masif. Darah yang
dimuntahkan berwarna kehitam-hitaman dan tidak membeku karena sudah
tercampur dengan asam lambung.

b. Karsinoma Esophagus

Karsinoma esofagus sering keluhan melena daripada hematemesis.


Disamping mengeluh disfagia, badan mengurun dan anemia, hanya seseklai
penderita muntah darah dan itupun tidak massif

c. Sindrom Mallory - Weiss

Sebelum timbul hematemesis didahului muntah-muntah hebat pada


akhirnya baru timbul perdarahan, misalnya pada peminum alkohol atau
pada hamil muda. Biasanya disebabkan oleh karena terlalu sering muntah-
muntah hebat dan terus-menerus.

d. Esofagitis dan Tukak Esophagus

Esofagus bila sampai menimbulkan perdarahan lebih sering intermitten atau


kronis dan biasanya ringan, sehingga lebih sering timbul melena daripada
hematemesis. Tukak di esofagus jarang sekali mengakibatkan perdarahan
jika membandingkan dengan tukak lambung dan duodenum.

Kelainan lambung

a. Gastritis Erisova Hemoragika


Hematemesis bersifat tidak masif dan timbul setelah penderita minum
obat-obatan yang menyebabkan iritasi lambung. Sebelum muntah penderita
mengeluh nyeri ulu hati

b. Tukak Lambung

Penderita mengalami dispepsi berupa mual, muntah, nyeri ulu hati dan
sebelum hematemesis didahului rasa nyeri atau pedih di epigastrum yang
berhubungan dengan makanan. Sifat hematemesis tidak begitu masif dan
melena lebih dominan dari hematemesis Kelainan darah Misalnya
polisitemia vera, limfoma, luekimia, anemia, hemofilia, trombositopenia
purpura.

Patofisiologi
a. Hematemesis

Hematemesis diartikan sebagai muntah darah, dan melena sebagai


pengeluaran kotoran yang hitam seperti ter (lengket) karena adanya darah.

Sebagian besar perdarahan variseal akan timbul bila gradien tekanan


vena porta (sirkulasi portal) >12mmHg.

1) Peningkatan tekanan vena porta akan mengakibatkan terbentuknya


saluran kolateral dalam submukosa esofagus, lambung, dan rectum serta
dinding abdomen anterior yang lebih kecil dan lebih mudah pecah untuk
mengaihkan darah dari sirkulasi splenik menjauhi hepar.

2) Dengan meningkatnya tekanan dalam vena ini, maka vena tersebut


menjadi mengembang dan dilatasi oleh darah (varises).

Varises dapat pecah, mengakibatkan perdarahan gastrointestinal


massif. Pecahnya pembuluh yang mengalami varises Umumnya terdapat 2
teori yang menjelaskan tentang timbulnya perdarahan SCBA akibat
perdarahan variseal, yaitu teori erosi dan teori eksplosif. Pada teori erosi
disebutkan bahwa perdarahan variseal timbul sebagai akibat trauma
eksternal yang menyebabkan erosi pada pembuluh darah varises yang
berdinding tipis dan rapuh.

Teori eksplosif menyebutkan bahwa perdarahan variseal lebih


disebabkan oleh perburukan hipertensi portal yang telah ada sehingga
meningkatkan tekanan hidrostatik pada pembuluh darah yang mengalami
varises. Hal tersebut mengakibatkan peningkatan ukuran varises dan
menurunnya ketebalan dinding pembuluh darah sehingga daya regang
pembuluh darah pun menurun.

Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan


tertahan pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna feses
menjadi hitam. Paling sedikit perdarahan sebnyak 50-100 cc baru dijumpai
keadaan melena. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48-72 jam
setelah perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses yang
berwarna hitam tersebut menandakan masih berlangsung. Darah yang
tersembunyi terdapat pada feses selama 7-10 hari setelah episode
perdarahan tunggal.
b. Melena
Definisi
Melena merupakan hasil dari darah yang masuk ke saluran cerna
bagian atas dan dicerna kemudian dikeluarkan dalam bentuk feses. Feses
yang dihasilkan memiliki karakteristik berwarna coklat kehitaman dan
lengket

Etiologi

Hematemesis melena dapat disebabkan karena adanya perdarahan


saluran cerna bagian atas (PSCBA), seperti disrupsi pada lambung atau
barrier mukosa intestinal kecil bagian atas yang kemudian menghasilkan
inflamasi dan perdarahan.
Seperti yang diketahui bahwa perdarahan saluran cerna dibagi menjadi
perdarahan saluran cerna bagian atas dan bawah. Pada kasus hematemesis
melena lebih terkait pada PSCBA. Adapun PSCBA meliputi:
• Ulkus peptikum
• Esofagitis
• Gastritis dan duodenitis
• Varises
• Gastropati hipertensi portal (PHG)
• Angiodisplasia
• Lesi Dieulafoy
• Gastric antral valvular ectasia
• Mallory-Weiss tear
• Lesi Cameron
• Fistula aorto enterika
• Perdarahan pasca operasi (perdarahan pasca-anastomosis, perdarahan
pasca-polipektomi, perdarahan pasca-sfingterotomi)
• Tumor GI atas
• Hemobilia
• Hemosuccus pankreatikus

Patofisiologi
Pada melena dalam perjalanannya melalui usus, darah menjadi berwarna
gelap bahkan hitam. Perubahan warna disebabkan oleh HCl lambung,
pepsin dan warna hitam ini diduga karena adanya pigmen porfirin.
Kadang-kadang pada perdarahan saluran cerna bagian bawah dari usus halus
atau kolon asenden, feses dapat berwarna merah terang/gelap.
Diperkirakan darah yang muncul dari duodenum dan jejunum akan tertahan
pada saluran cerna sekitar 6-8 jam untuk merubah warna feses menjadi
hitam. Paling sedikit perdarahan sebanyak 50-100 cc baru dijumpai keadaan
melena. Feses tetap berwarna hitam seperti ter selama 48-72 jam setelah
perdarahan berhenti. Ini bukan berarti keluarnya feses yang berwarna hitam
tersebut menandakan masih berlangsung. Darah yang tersembunyi terdapat
pada feses selama 7-10 hari setelah episode perdarahan tunggal.

c. Ikterik
Definisi
Ikterik adalah warna kuning pada jaringan dan cairan tubuh akibat
meningkatnya kadar bilirubin di jaringan, cairan tubuh, dan darah
(hiperbilirubinemia). Bilirubin merupakan hasil metabolisme heme yang
berasal dari pemecahan hemoglobin dan hemoprotein lain, seperti
myoglobin, cytochrome, dan lainnya. Produksi bilirubin tiap harinya
berkisar antara 250-350 mg. Di dalam tubuh, bilirubin dapat ditemukan
dalam bentuk tidak terkonjugasi dan terkonjugasi. Ikterus baru dapat
diketahui secara klinis apabila kadar bilirubin dalam darah mencapai 3
mg/dl, sedangkan normalnya ialah 0,3-1,0 mg/dl. Ikterus dapat merupakan
salah satu tanda dari kelainan hari dan atau penyakit pankreato-bilier.
Etiologi
Penyebab utama dari ikterus bisa berbeda tergantung usianya. Pada
neonatus atau bayi, ikterus sering disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah dan kelainan kongenital, sedangkan pada anak usia sekolah
atau remaja hingga dewasa muda biasanya disebabkan oleh virus hepatitis A
atau E. Pada usia pertengahan atau yang lebih tua, biasanya disebabkan oleh
adanya batu saluran empedu, sirosis hati, dan keganasan pankreatobilier
atau hari. Ikterus juga bisa disebabkan oleh alkohol, keracunan obat, toxin
dari lingkungan, seperti jamur, vinyl chloride, atau pyrrolizidine alkaloids,
serta juga karena adanya autoimun dan wilson’s disease.
Jika ikterus ditemukan tanpa adanya kelainan fungsional hati yang lain,
maka kemungkinan penyebab ikterus tersebut ialah adanya penyakit
hemolitik seperti sickle cell anemia, paroxysmal nocturnal hemoglobinuria,
maupun infeksi parasit, bisa juga disebabkan karena eritropoesis yang
terganggu, obat-obatan seperti rifampicin, ribavirin, dan probenecid. Ikterus
juga bisa disebabkan karena penyakit yang diturunkan seperti gilbert’s
syndrome atau dubin-johnson syndrome.
Patofisiologi

Pembagian terdahulu mengenai tahapan metabolisme bilirubin yang


berlangsung dalam 3 fase; prehepatic, intrahepatic, dan pasca hepatic.
Pentahapan baru menambahkan 2 fase lagi sehingga pentahapan
metabolisme bilirubin menjadi 5 fase, yaitu fase :
1. Pembentukan bilirubin
2. Transport plasma
3. Liver uptake
4. Konjugasi
5. Ekskresi bilier
Yang akan dijelaskan secara rinci pada penjelasan berikut :
FASE PRAHEPATIK

Pembentukan Bilirubin
Sekitar 250 sampai 350 mg bilirubin atau sekitar 4 mg per kg
berat badan terbentuk setiap harinya; 70 – 80% berasal dari pemecahan
sel darah merah yang matang. Sedangkan sisanya 20-30% (early labelled
bilirubin) datang dari protein heme lainnya yang berada terutama dalam
sumsum tulang dan hati. Sebagian dari protein heme dipecah menjadi
besi dan produk antara biliverdin dengan perantaraan enzim heme
oksigenase. Enzim lain biliverdin reductase, mengubah biliverdin
menjadi bilirubin. Tahapan ini terjadi terutama dalam sel
retikuloendotelial. Peningkatan hemolisis sel darah merah merupakan
penyebab utama peningkatan pembentukan bilirubin. Pembentukan early
labelled bilirubin meningkat pada beberapa kelainan dengan eritropoiesis
yang tidak efektif namun secara klinis kurang penting.

Transport Plasma

Bilirubin tidak larut dalam air, karena bilirubin tak terkonjugasi


ini transportnya dalam plasma terikat dengan albumin dan tidak dapat
melalui membrane glomerulus, karenanya tidak muncul dalam air seni.
Ikatan melemah dalam beberapa keadaan seperti asidosis, dan beberapa
bahan seperti antibiotika tertentu, salisilat berlomba pada tempat ikatan
dengan albumin

FASE INTRAHEPATIK

Liver Uptake

Proses pengambilan bilirubin tak terkonjugasi oleh hati secara


rinci dan pentingnya protein pengikat seperti ligandin dan protein Y,
belum jelas. Pengambilan bilirubin melalui transport yang aktif dan
berjalan cepat, namun tidak termasuk pengambilan albumin.

Konjugasi

Bilirubin bebas yang terkonsentrasi dalam sel hati mengalami


konyugasi dengan asam glukoronik membentuk bilirubin diglukuronida
atau bilirubin konyugasi atau bilirubin direk. Reaksi ini yang dikatalisasi
oleh enzim microsomal glukoronil-transferase menghasilkan bilirubin
yang larut air. Dalam beberapa keadaan reaksi ini hanya menghasilkan
bilirubin monoglukoronide, dengan bagian asam glukoronik kedua
ditambahkan dalam saluran empedu melalui sistem enzim yang berbeda,
namun reaksi ini tidak dianggap fisiologik. Bilirubin konjugasi lainnya
selain diglukoronoid juga terbentuk namun kegunaannya tidak jelas.
FASE INTRAHEPATIK

Ekskresi Bilirubin

Bilirubin konyugasi dikeluarkan kedalam kanalikuli Bersama


bahan lainnya. Anion organic lainnya atau obat dapat mempengaruhi
proses yang kompleks ini. Didalam usus flora normal bakteri men
“dekonyugasi” dan mereduksi bilirubin menjadi sterkobilinogen dan
mengeluarkannya sebagian bedar kedalam tinja memberi warna coklat.
Sebagian besar diserap dan dikeluarkan kembali ke dalam empedu, dan
dalam jumlah kecil mencapai air seni sebagai urobilinogen. Ginjal dapat
mengeluarkan diglukoronida tetapi tidak bilirubin unkonyugasi. Hal ini
menerangkan warna air seni yang gelap khas pada gangguan
hepatoselular atau kolestasis intrahepatic. Bilirubin tak terkonyugasi
bersifat tidak larut dalam air namun larut dalam lemak, karenanya
bilirubin tak terkonyugasi dapat melewati barrier darah-otak atau masuk
ke dalam plasenta. Dalam sel hati, bilirubin tak terkonyugasi mengalami
proses konyugasi dengan gula melalui enzim glukoroniltransferase dan
larut dalam empedu cair.Berikut beberapa penyakit gangguan
metabolisme bilirubin

a. Hiperbilirubinemia tak terkonjugasi


● Hemolisis
● Sindrom gilbert
● Sindrom crigler-najjar
● Hiperbilirubinemia shunt primer
b. Hiperbilirubinemia konjugasi
i. Hiperbilirubinemia konjugasi non-kolestasis
● Sindrom dubin-johnson
● Sindrom rotor
ii. Hiperbilirubinemia konjugasi kolestasis
● Kolestasis intrahepatic
● Kolestasis ekstrahepatik (sumbatan pada ductus
bilier, terjadi hambatan bilirubin masuk kedalam
usus).

2. Mahasiswa mampu menjelaskan definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi


klinis, diagnosis, tatalaksana dari :
a. Hepatitis
Definisi

Hepatitis virus akut merupakan sindrom klinis akibat infeksi virus


hepatotropik. Manifestasi klinis dapat tampak jelas, tidak jelas/subklinis,
atau secara cepat mengalami progresi dan terjadi kegagalan faal hati yang
fatal. Kerusakan terbesar terjadi pada hati. Tergantung pada penyebabnya,
apakah terjadi infeksi secara bersamaan dengan virus yang berbeda, dan
apakah terdapat manifestasi ekstrahepatik, virus hepatitis akut mempunyai
berbagai derajat morbiditas dan dapat berkembang menjadi hepatitis kronis,
sirosis hati, bahkan karsinoma hepatoseluler, kecuali hepatitis virus A dan E
(self limiting disease).

Etiologi
Hepatitis A
Hepatitis A disebabkan oleh hepatitis A virus. Virus ini termasuk
Hepatovirus, yang masuk dalam famili Picornaviridae. Ukuran virus
hepatitis A adalah 27-32 nm, tidak mempunyai selubung, mempunyai
bentuk ikosahedral, positive single-stranded linier RNA virus, yang
mempunyai 7,5 kb genom.
Hepatitis B
Hepatitis B virus merupakan jenis virus DNA untai ganda, dengan ukuran
sekitar 42 nm yang terdiri dari 7 nm lapisan luar yang tipis dan 27 nm inti di
dalamnya. VHB dapat tetap inaktif ketika disimpan pada suhu 30-32°C
selama paling sedikit 6 bulan dan ketika dibekukan pada suhu -15°C dalam
15 tahun.
Virus ini memiliki tiga antigen spesifik yaitu antigen surface, envelope dan
core. Hepatitis B surface antigen (HBsAg) merupakan kompleks antigen
yang ditemukan pada permukaan VHB. Adanya antigen ini menunjukkan
infeksi akut atau karier kronis yaitu lebih dari 6 bulan. Hepatitis B core
antigen (HbcAg) merupakan antigen spesifik yang berhubungan dengan 27
nm inti pada VHB. Antigen ini tidak terdeteksi secara rutin dalam serum
penderita infeksi VHB karena hanya berada di hepatosit. Hepatitis B
envelope antigen (HBeAg) merupakan antigen yang lebih dekat
hubungannya dengan nukleokapsid VHB. Antigen ini bersirkulasi sebagai
protein yang larut di serum.

Hepatitis C
Hepatitis C disebabkan oleh RNA virus hepatitis C. Hepatitis C tergolong
virus dari famili flaviviridae dan genus hepacivirus. Seseorang tertular virus
ini karena terpapar oleh darah yang sebelumnya sudah terpapar oleh virus
hepatitis C.

Patofisiologi
Hepatitis A akut
Infeksi virus hepatitis A terutama menular melalui jalur fekal-oral,
demikian pula dengan air dan makanan yang terkontaminasi.
Kerang-kerangan mempunyai kemampuan untuk mencerna dan
menghasilkan virus hepatitis A yang terkonsentrasi sehingga dapat menjadi
sumber penularan virus. Transmisi terjadi terutama melalui kejadian luar
biasa (transmisi melalui makanan dan minuman), dan kontak dari orang ke
orang. Pada cairan tubuh, virus hepatitis A terkonsentrasi sebagian besar
pada feses, serum, dan air liur. Virus hepatitis A sangat jarang
ditransmisikan melalui produk darah atau prosedur medis. Virus hepatitis A
terdapat pada feses selama 3-6 minggu selama masa inkubasi, dapat
memanjang pada fase awal kerusakan hepatoselular pada pasien yang
simptomatik maupun yang asimptomatik. Penempelan virus paling
maksimal terjadi pada saat terjadinya kerusakan hepatoselular, selama
periode dimana individu yang terinfeksi berada dalam fase yang paling
infeksius. Virus hepatitis A sangat stabil pada lingkungan dan bertahan
hidup pada suhu 60°C selama 60 menit, tetapi menjadi tidak aktif pada suhu
81°C setelah pemanasan selama 10 menit. Virus hepatitis A dapat bertahan
hidup pada feses, tanah, makanan, dan air yang terkontaminasi. Virus
hepatitis A resisten terhadap deterjen dan pH yang rendah selama transisi
menuju lambung. Selama dicerna di saluran pencernaan, virus hepatitis A
berpenetrasi ke dalam mukosa lambung dan mulai bereplikasi di kripti sel
epitel intestin dan mencapai hati melalui pembuluh darah portal.

Hepatitis B akut
Selain transmisi vertikal, virus hepatitis B dapat ditransmisikan dengan
efektif melalui cairan tubuh, perkutan, dan melalui membran mukosa.
Hepatitis B terkonsentrasi dalam jumlah tinggi dalam cairan tubuh berupa
darah, serum, dan eksudat luka. Sementara itu konsentrasi yang sedang
terdapat pada semen, cairan vagina dan air liur. Konsentrasi yang
rendah/tidak ada dijumpai pada urin, feses, keringat, air mata, dan ASI.
Penularan yang lebih rendah dapat terjadi melalui kontak dengan karier
hepatitis B, hemodialisis, paparan terhadap pekerja kesehatan yang
terinfeksi, alat tatoo, alat tindik, hubungan seksual, dan inseminasi buatan.
Selain itu penularan juga dapat terjadi melalui transfusi darah dan donor
organ. Hepatitis B dapat menular melalui pasien dengan HBsAg yang
negatif tetapi anti-HBc positif, karena adanya kemungkinan DNA virus
hepatitis B yang bersirkulasi, yang dapat dideteksi dengan PCR (10-20%
kasus). Virus hepatitis B 100 kali lebih infeksius pada pasien dengan infeksi
HIV dan 10 kali lebih infeksius pada pasien hepatitis C. Adanya HBeAg
yang positif mengindikasikan risiko transmisi virus yang tinggi. Patogenesis
infeksi virus hepatitis melibatkan respons imun humoral dan selular. Virus
bereplikasi di dalam hepatosit, dimana virus tersebut tidak bersifat sitopatik,
sehingga yang membuat kerusakan sel hati dan manifestasi klinis bukan
disebabkan oleh virus yang menyerang hepatosit, tetapi oleh karena respon
imun yang dihasilkan oleh tubuh. Respon antibodi terhadap antigen
permukaan berperan dalam eliminasi virus. Respon sel T terhadap selubung,
nukleokapsid, dan antigen polimerase berperan dalam eliminasi sel yang
terinfeksi.

Hepatitis C akut
Respon imun tubuh terhadap virus hepatitis C meliputi respon imun
alami dan respon imun spesifik. Virus hepatitis C akan mempengaruhi
seluruh aspek interferon pada sel yang terinfeksi, induksi sinyal IFN-α/β
melalui jalur Jak-STAT (Janus Kinase – Signal Transducer and Activator of
Transcription), dan induksi IFN karena pemberian antiviral. Sel CD4+
sangat penting sebagai pembangkit dan pemeliharaan respon imun terhadap
infeksi virus karena sel T CD4+ dapat mensekresi sitokin yang
meningkatkan antibodi oleh sel B serta merangsang kinerja sel CD8+ yang
spesifik untuk sel yang terinfeksi virus.

Manifestasi klinis
Hepatitis A

Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik): ditemukan gejala


konstitusional seperti anoreksia, mual dan muntah, malaise, mudah lelah,
artralgia, mialgia, nyeri kepala, fotofobia, faringitis, atau batuk. Perasaan
mual, muntah, dan anoreksia seringkali terkait dengan perubahan pada
penghidu dan pengecapan. Dapat pula timbul demam yang tidak terlalu
tinggi. Perubahan warna urin menjadi lebih gelap dan feses menjadi lebih
pucat dapat ditemukan 1-5 hari sebelum fase ikterik. Fase ikterik: gejala
konstitusional umumnya membaik, namun muncul gambaran klinis
jaundice, nyeri perut kuadran kanan atas (akibat hepatomegali) , serta
penurunan berat badan ringan. Pada 10-20% kasus, dapat ditemukan
splenomegali dan adenopati servikal. Fase ini berlangsung antara 2-12
minggu.
Fase perbaikan (konvalesens): Namun, sebanyak <I% kasus menjadi
hepatitis fulminan, yakni munculnya ensefalopati dan koagulopati dalam 8
minggu setelah gejala pertama penyakit hati.

1. Hepatitis B Akut

Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik): gejala konstitusional


seperti anoreksia. mual, muntah, malaise. keletihan, artralgia, mialgia, sakit
kepala. fotofobia, faringitis, dan batuk. Dapat disertai dengan demam yang
tidak terlalu tinggi.

Fase ikterik: gejala prodromal berkurang, namun ditemukan sklera ikterik


dan penurunan berat badan. Pada pemeriksaan fisis, ditemukan
hepatomegali yang disertai nyeri tekan di area kuadran kanan atas abdomen.
Dapat ditemukan splenomegali, gambaran kolestatik, hingga adenopati
servikal. Hanya kurang dari 1% kasus hepatitis B akut yang menjadi gagal
hati akut.

Fase perbaikan (konvalesens): gejala konstitusional menghilang, namun


masih ditemukan hepatomegali dan abnormalitas pemeriksaan kimia hati.
2. Hepatitis B Kronis.
Memiliki gambaran klinis yang sangat bervariasi, mulai dari asimtomatik,
gejala hepatitis akut. hingga tanda-gejala sirosis dan gagal hati.

1. Hepatitis C akut (80% kasus akut bersifat simtomatis)


Fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum ikterik}. Gejala prodromal berupa
anoreksia, mual dan muntah. kelemahan, malaise, artralgia, mialgia.
demam, sakit kepala, fotofobia, faringitis, serta batuk dan flu. Satu hingga 5
hari sebelum kuning. dapat muncul warna urin yang lebih gelap dan feses
berwarna pucat.

Fase ikterik. ikterus sering disertai dengan hepatomegali dan nyeri di


kuadran kanan atas. Gambaran klinis hepatitis virus akut pada umumnya
tidak jauh berbeda, kecuali durasi keluhan pasca ikterik lebih panjang pada
hepatitis B dan C akut.

Fase perbaikan (konvalesens)


Hepatitis C kronis. Umumnya asimtomatis. dapat juga berupa gejala tidak
spesifik seperti malaise dan keletihan. Pada kondisi lanjut, dapat ditemui
tanda, gejala. serta komplikasi sirosis hati yang mudah dikenali: edema
ekstremitas. asites, hematemesis-melena, perubahan status mental, dan
sebagainya (Lihat Bab Sirosis Hati).

Diagnosis
a. Anamnesis
biasanya keluhan yang dikeluhkan oleh pasien berbeda tergantung
dengan fase yang sedang dialami. Pada stadium atau fase pra-ikterik,
pasien mengeluh sakit kepala, nyeri otot, mual muntah, demam,
anoreksia, nyeri pada perut kanan atas, dan warna urin yang kecoklatan.
Pada stadium ikterik, biasanya ikterus mulai terlihat di sklera kemudian
menuju kulit seluruh tubuh. Keluhan - keluhan yang terdapat di stadium
sebelumnya perlahan menghilang, namun pasien masih merasa lemah,
anoreksia, dan juga muntah. Pada stadium pasca ikterik, biasanya
ikterus mulai mereda, warna urin dan tinja kembali normal, namun
pasien merasa nyeri perut kanan atas terutama apabila terdapat
pembesaran hepar.
b. pemeriksaan fisik
memeriksa adanya ikterus di mata. Apabila sklera mata berwarna kuning
maka terjadi gangguan pada stadium prehepatik, jika berwarna oranye
berarti gangguan terjadi pada stadium hepatik. Jika urin berwarna kuning
kehijauan, maka bisa jadi ada gangguan pada sistem pascahepatik. Bisa
juga dilakukan palpasi untuk mengetahui ada atau tidaknya pembesaran
hepar
c. pemeriksaan penunjang
Diagnosis hepatitis biasanya ditegakkan dengan pemeriksaan tes fungsi
hati, khususnya alanin amino transferasi (ALF = SGPT), aspartat amino
transferase (AST = SGOT). Bila perlu bisa ditambah dengan
pemeriksaan bilirubin. Kadar transaminase (SGOT/SGPT) mulai
meningkat saat fase prodormal dan mencapai puncak saat timbulnya
ikterus. Peningkatan kadar SGOT SGPT yang menunjukkan adanya
gangguan sel hati ialah 50-2000 IU/ml. Jenis virus sebagai etiologi
hepatitis bisa didiagnosis dengan penanda virus, yaitu IgM anti HAV,
IgM anti HBc dan dapat dilengkapi dengan HBsAg. Pemeriksaan untuk
hepatitis C bisa menggunakan pemeriksaan anti HCV dan juga HCV
RNA
1. hepatitis B :
- Serologis hepatitis B : pemeriksaan HBsAg, anti HBs,
anti HBc, HBeAg, anti HBe, dan DNA-VHB
- Biokimia hati : pemeriksaan ALT, AST, gamma glutamyl
transpeptidase, alkalin fosfatase, bilirubin, albumin,
globulinm serta pemeriksaan darah perifer lengkap dan
waktu protrombin. Umumnya akan ditemukan ALT yang
lebih tinggi dari AST.
- USG dan biopsi hati : untuk menilai derajat
nekroinflamasi dan fibrosis
2. hepatitis C :
- Penanda seologis hepatitis C : anti VHC dan RNA VHC
- Biokimia hati
- USG dan biopsi hati

Tatalaksana
Hepatitis A Akut
Tidak ada tatalaksana yang khusus untuk HAV
Perawatan Suportif
a. Pada periode akut dan dalam keadaan lemah diharuskan cukup
istirahat. Aktivitas fisik yang berlebihan dan berkepanjangan harus
dihindari.
b. Manajemen khusus untuk hati dapat dapat diberikan sistem dukungan
untuk mempertahankan fungsi fisiologi seperti hemodialisis, transfusi
tukar, extracorporeal liver perfusion, dan charcoal hemoperfusion.
c. Rawat jalan pasien, kecuali pasien dengan mual atau anoreksia berat
yang akan menyebabkan dehidrasi sebaiknya di infus.
Dietetik
a. Makanan tinggi protein dan karbohidrat, rendah lemak untuk pasien
yang dengan anoreksia dan nausea.
b. Selama fase akut diberikan asupan kalori dan cairan yang adekuat.
Bila diperlukan dilakukan pemberian cairan dan elektrolit intravena.
c. Menghindari obat-obatan yang di metabolisme di hati, konsumsi
alkohol, makan-makanan yang dapat menimbulkan gangguan
pencernaan, seperti makanan yang berlemak.
Medikamentosa
a. Tidak ada pengobatan spesifik untuk hepatitis A.
b. Obat-obatan diberikan hanya untuk mengurangi gejala-gejala yang
ditimbulkan, yaitu bila diperlukan diberikan obat-obatan yang bersifat
melindungi hati, antiemetik golongan fenotiazin pada mual dan
muntah yang berat, serta vitamin K pada kasus yang kecenderungan
untuk perdarahan. Pemberian obat-obatan terutama untuk mengurangi
keluhan misalnya tablet antipiretik parasetamol untuk demam, sakit
kepala, nyeri otot, nyeri sendi.

Hepatitis B Akut
Umumnya bersifat suportif, meliputi tirah baring, serta menjaga agar asupan
nutrisi dan cairan tetap adekuat. Sekitar 95% kasus hepatitis B akut akan
mengalami resolusi dan serokonversi spontan tanpa terapi antiviral. Bila
terjadi komplikasi hepatitis fulminan, maka dapat diberikan lamivudin
100-150 mg/ hari hingga 3 bulan setelah serokonversi atau setelah muncul
anti-HBe pada pasien HBsAg positif.

Hepatitis C Akut
Regimen standar yaitu peg-interferon α (peg-INF α) kerja panjang
yang dikombinasikan dengan ribavirin. Peg-INF α dapat berupa peg-INF α
-2a (dosis 180 μg/minggu SK) atau peg-INF α -2b (dosis 1,5
μg/KgBB/minggu SK). sementara ribavirin diberikan dengan dosis 1000
mg/hari P.O. (untuk BB ≤ 75 Kg) atau 1200 mg/hari PO (untuk BB >75 Kg).
Konsensus PPHI tahun 2014 merekomendasikan pemberian kombinasi
peg-INF α dan ribavirin tersebut selama 24 minggu untuk VHC genotipe 2
atau 3. Sebelum inisiasi terapi antivirus, sangat penting untuk memastikan
tidak ada kontraindikasi pemberian peg-INF a dan Ribavirin.
Khusus pada infeksi VHC Genotipe I, terapi Ribavirin dan peg-IFN
α perlu dikombinasikan dengan Boceprevir atau Telaprevir (disebut sebagai
TripelTerapi). Tripel terapi dengan boceprevir direkomendasikan selama
28-48 minggu, sementara tripel terapi dengan telaprevir direkomendasikan
selama 24 -48 minggu (telaprevir diberikan hanya 12 minggu).

b. Sirosis hepatis
Definisi
Sirosis hati merupakan tahap akhir proses difus fibrosis hati progresif yang
ditandai oleh distorsi arsitektur hati dan pembentukan nodul regeneratif
Gambaran morfologi dari SH meliputi fibrosis difus, nodul regeneratif,
perubahan arsitektur lobular dan pembentukan hubungan vaskular
intrahepatik antara pembuluh darah hati aferen (vena porta dan arteri
hepatika) dan eferen (vena hepatika). Secara klinis atau fungsional SH
dibagi menjadi Sirosis hati kompensata dan Sirosis hati dekompensata,
disertai dengan tanda-tanda kegagalan hepatoselular dan hipertensi portal.

Etiologi
Di masa lalu penyakit hati alcoholic merupakan penyebab sirosis yang
paling menonjol di Amerika Serikat. Akhir-akhir ini hepatitis C mulai
meningkat jumlahnya sebagai penyebab utama baik hepatitis kronik maupun
sirosis secara nasional. Di Indonesia, banyak penelitian menunjukkan bahwa
hepatitis B dan C merupakan penyebab sirosis yang lebih menonjol,
dibanding penyakit hati alkoholik.
Banyak kasus sirosis "cryptogenic" ternyata disebabkan oleh penyakit
perlemakan hati non-alkoholik ("nonalcoholic fatty liver disease =
NAFLD"). Banyak pasien menunjukkan 1 atau lebih faktor risiko klasik
untuk timbulnya NAFLD, seperti: obesitas, diabetes, dan
"hypertriglyceridemia". Diduga steatosis dapat mengurang pada beberapa
penderita, sementara fibrosis hatinya justru berkembang dengan progresif,
yang membuat diagnosis histologi dari NAFLD menjadi sulit.
Penyebab utama sirosis di Amerika Serikat adalah:
1. Hepatitis C (26%)
2. Penyakit hati alkoholik (21%)
3. Hepatitis C plus penyakit hati alkoholik (15%)
4. "Cryptogenic" (18%)
5. Hepatitis B, yang bersamaan ("coincident") dengan hepatitis D
(15%)
6. Penyebab lain ("miscellaneous") (5%)
Penyebab lain ("miscellaneous") penyakit hati menahun dan sirosis:
● Autoimmune hepatitis (lupoid hepatitis) • Primary biliary
cirrhosis
● Secondary biliary cirrhosis (berhubungan dengan obstruksi
saluran empedu ekstra hepatic menahun)
● Primary sclerosing cholangitis
● Hemochromatosis
● Wilson disease
● Alpha-1 antitrypsin deficiency
● Granulomatous disease (eg, sarcoidosis)
● Type IV glycogen storage disease
● Drug-induced liver disease (eg, methotrexate, alpha methyldopa,
amiodarone)
● Venous outflow obstruction (eg, Budd-Chiari syndrome,
veno-occlusive disease)
● Chronic right-sided heart failure
● Tricuspid regurgitation

Patofisiologi
Sirosis hepatis terjadi akibat adanya cedera kronik irreversible pada
parenkim hati disertai timbulnya jaringan ikat difus (akibat adanya cedera
Fibrosis), pembentukan nodul degeneratif ukuran mikro nodul sampai
makro nodul. Hal ini terjadi karena adanya nekrosis hepatosit, kolaps
jaringan penunjang retikulin, disertai dengan deposit jaringan ikat. Fibrosis
terjadi akibat di aktivasinya dan berubahnya fungsi sel stellata yang berada
di ruang perisinusoidal. Sel stellata diaktivasi dan diubah fungsinya oleh sel
hepatosit nekrosis dan sel kupffer yang mengeluarkan faktor parakrin. Sel
stellata yang diaktivasi dan diubah fungsinya kemudian kehilangan vitamin
A, berproliferasi, dan mulai mensekresi TNF-Alpha dan TGF-beta yang
akan menyebabkan mereka memproduksi collagen. Collagen adalah bahan
utama dalam ekstraseluler matriks, jaringan fibrosis dan jaringan luka.
Ketika jaringan fibrotik menumpuk maka akan mulai untuk menekan Vena
sentral dan sinusoid.
Deposit ekstraseluler matriks di Space of disse akan menyebabkan
perubahan bentuk dan memacu kapilarisasi pembuluh darah. Kapilarisasi
sinusoid kemudian mengubah pertukaran normal aliran darah vena porta
dengan hepatosit, sehingga material yang seharusnya dimetabolisasi oleh
hepatosit akan langsung masuk ke aliran darah sistemik dan menghambat
material yang diproduksi hati masuk ke dalam darah.

Manifestasi klinis
Perjalanan penyakit sirosis hepatik sangat lambat, asimptomatis dan
seringkali tidak dicurigai sampai adanya komplikasi penyakit hati. Banyak
penderita ini sering tidak terdiagnosis sebagai SH sebelumnya dan sering
ditemukan pada waktu autopsi. Diagnosis SH asimtomatis biasanya dibuat
secara insidental ketika tes pemeriksaan fungsi hati (transaminase) atau
penemuan radiologi, sehingga kemudian penderita melakukan pemeriksaan
lebih lanjut dan biopsi hati.
Sebagian besar penderita yang datang ke klinik biasanya sudah dalam
stadium dekompensata, disertai adanya komplikasi seperti pendarahan
varises, peritonitis bakterial spontan, atau ensefalopati hepatis. Gambaran
klinis dari penderita SH adalah mudah lelah, anoreksia, berat badan
menurun, atrofi otot, ikterus, spider angiomata, splenomegali, asites, caput
medusae, palmar eritema, white nails, ginekomastia, hilangnya rambut pubis
dan ketiak pada wanita, asterixis (flapping tremor), foetor hepaticus,
dupuytren's contracture (sirosis akibat alkohol).

Diagnosis
Anamnesis
Perlu ditanyakan pemakaian alkohol jangka panjang, penggunaan narkotika
dalam bentuk suntikan, juga adanya penyakit hati menahun. Pasien dengan
hepatitis virus B atau C mempunyai kemungkinan tertinggi untuk mengidap
sirosis.

Pemeriksaan fisik
1) Hepatomegali dan atau splenomegali. Pada palpasi, hati teraba lebih
keras dan berbentuk lebih tak teratur (irregular) daripada hati yang
normal.
2) Spider telangiectasias (spider naevi), terutama pada pasien dengan sirosis
alkoholik. Spider ini terutama ditemukan di kulit dada. Namun spider
juga dapat dijumpai pada mereka yang tidak mempunyai penyakit hati.
3) Ikterus atau jaundice
4) Erythema palmaris.
5) Pembengkaan perut (ascites) dan atau tungkai bawah (edema).
6) Pasien dengan deposit tembaga (copper) yang abnormal di matanya atau
yang menunjukkan gejala-gejala neurology tertentu, mungkin mengidap
penyakit Wilson, yang merupakan kelainan genetic akibat akumulasi
tembaga yang abnormal di seluruh tubuh, termasuk dalam hati yang
dapat menimbulkan sirosis.

Sesuai dengan konsensus Baveno IV, status klasifikasi sirosis hati dapat
dibagi menjadi 4 status klinik berdasarkan ada tidaknya varises, asites
dan perdarahan varises:
A. Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada asites;
B. Stadium 2 : varises (+), tidak ada asites;
C. Stadium 3 : asites dengan atau tanpa varises;
D. Stadium 4 : perdarahan dengan atau tanpa asites.

Stadium 1 dan 2 dimasukkan dalam kelompok sirosis kompensata,


sementara stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata.

Pemeriksaan laboratorium
1) Peningkatan abnormal enzim transaminase (AST atau SGOT dan ALT
atau SGPT), pada pemeriksaan rutin dapat menjadi salah satu tanda
adanya peradangan atau kerusakan hati, termasuk sirosis.
2) Sirosis yang lanjut dapat disertai penurunan kadar albumin dalam darah,
juga penurunan faktor-faktor pembeku darah.
3) Peningkatan jumlah zat besi dalam darah dapat dijumpai pada pasien
dengan hemokromatosis, suatu penyakit genetic dari hati, yang juga
dapat menjurus ke sirosis.
4) Auto-antibodies (antinuclear antibody = ANA, anti-smooth muscle
antibody = ASMA, dan anti-mitochondrial antibody = AMA)
kadang-kadang dapat ditemukan pada darah pasien dengan hepatitis
autoimun ("autoimmune hepatitis"), atau PBC ("primary biliary
cirrhosis").

Pemeriksaan endoskopi
Varises esophagus dapat ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan
endoskopi. Sesuai dengan consensus Baveno IV, bila pada pemeriksaan
endoskopi pasien sirosis, tidak ditemukan varises, dianjurkan melakukan
pemeriksaan endoskopi ulang dalam waktu 2 tahun. Bila ditemukan varises
kecil, endoskopi ulang dilakukan dalam waktu 1 tahun. Sebaliknya bila
ditemukan varises besar, harus secepatnya dikerjakan terapi prevensi untuk
mencegah perdarahan pertama.
Pemeriksaan ultrasound (USG), computerized tomography (CT or
CAT) scan atau magnetic resonance imaging (MRI)
Untuk melakukan evaluasi adanya kemungkinan penyakit hati. Pada
pemeriksaan ini dapat ditemukan adanya hepatomegali, nodul dalam hati,
splenomegali, dan cairan dalam abdomen, yang dapat menunjukkan adanya
sirosis hati. Kanker hati (hepatocellular carcinoma = HCC) dapat ditemukan
dengan pemeriksaan USG, CT scan, maupun MRI abdomen. Kanker hati
sering timbul pada pasien dengan penyakit dasar sirosis.

Pungsi asites
Bila terdapat penumpukan cairan dalam perut, dapat dilakukan pemeriksaan
dengan cara melakukan pungsi cairan asites tersebut. Dengan pemeriksaan
khusus dapat dipastikan penyebab timbulnya asites tersebut, apakah akibat
sirosis atau akibat penyakit lain.

Tatalaksana

Tatalaksana Sirosis Dekompensata


Terapi ditujukan untuk mengatasi kegawatdaruratan dan mengembalikan ke
kondisi kompensata.

1. Tata laksana spesifik sesuai komplikasi yang ditemukan. Diantaranya,


ada tiga komplikasi utama yang akan dibahas dalam Bab terpisah, yaitu
varises esofagus, asites, dan ensefalopati hepatikum .Berikut Garis Besar
Pilihan Terapi Yang Dapat diberikan untuk masing-masing komplikasi:
a. Hipertensi portal dan varises esofagus: somatostatin (atau
analognya), terapi endoskopi, pemasangan TIPS, maupun
prosedur bedah;
b. Asites: restriksi garam, pemberian spironolakton dan furosemid,
parasentesis bila volume besar;
c. Sindrom hepatorenal: penggunaan agen vasopresor dan albumin,
tatalaksana gangguan elektrolit dan asam-basa (bila ada);
d. Peritonitis bakterial spontan: kultur dan pemberian antibiotik
spektrum luas;
e. Ensefalopati hepatikum: minimalisasi faktor pencetus, pemberian
laktulosa dengan/tanpa rifaksimin, suplementasi asam amino
rantai bercabang dan diet rendah asam amino lisin, metionin, dan
triptofan;
f. Koagulopati dan gangguan hematologi: per- timbangkan transfusi
pada kondisi gawat darurat.
2. Pada kebanyakan kasus, dekompensasi terjadi akibat adanya faktor
pencetus, seperti sepsis, hipotensi, atau penggunaan obat-obatan tertentu.
Identifikasi dan tata laksana faktor pencetus tersebut dapat
mengembalikan ke kondisi kompensata.
3. Pertimbangkan transplantasi hati. indikasi transplantasi hati adalah
sirosis dekompensata atau karsinoma hepatoseluler pada sirosis hati.
Namun, transplantasi dikontraindikasikan pada kondisi berikut:
- Aktif menggunakan obat-obatan terlarang. misalnya metadon
- AIDS. Infeksi HIV saja bukan kontraindikasi; Keganasan
ekstrahepatik;
- Sepsis tidak terkendali;
- Gagal organ ekstrahepatik (Jantung, paru);
- Trombosis splanikus yang meluas ke vena mesenterika superior.

c. Varises Esofagus
Definisi
Varises esofagus adalah terjadinya distensi vena submukosa yang
diproyeksikan ke dalam lumen esofagus pada pasien dengan hipertensi
portal.

Etiologi
Faktor-faktor predisposisi dan yang memacu terjadinya perdarahan varises,
sampai saat ini masih tetap belum jelas. Pada saat ini faktor- faktor paling
penting yang dianggap bertanggungjawab adalah:
1). Tekanan dalam varises;
2). Ukuran varises;
3). Tekanan di dinding varises,
4). Beratnya penyakit hati.
Dengan menggunakan model in vitro, Polio dan Groszmann menunjukkan
bahwa pecahnya varises berhubungan dengan tegangan (tension) pada
dinding varises. Tegangan ini tergantung pada radius varises. Pada model
ini, meningkatnya ukuran varises dan mengurangnya tebal dinding varises,
menyebabkan varises pecah.

Patofisiologi
Karena sistem vena portal tidak memiliki katup, resistensi pada tingkat
manapun antara pembuluh splanknikus dan sisi kanan jantung menghasilkan
aliran retrograde dan peningkatan tekanan. Kolateral perlahan-lahan
membesar dan menghubungkan sirkulasi sistemik ke sistem vena portal.
Seiring waktu, hal ini menyebabkan pleksus vena submukosa padat dengan
vena melebar berliku-liku di esofagus distal. Ruptur varises menyebabkan
perdarahan.

Pada pasien sirosis yang belum mengalami varises berarti tekanan portalnya belum
cukup tinggi untuk menyebabkan varises. Seiring bertambahnya tekanan portal,
pasien akan memiliki progresi mengalami varises yang kecil. Bertambahnya waktu
dan sejalan dengan peningkatan sirkulasi hiperdinamik, aliran darah yang melalui
varises akan meningkat sehingga meningkatkan tekanan pada dinding varises.
Perdarahan varises disebabkan ruptur terjadi ketika bertambahnya ketegangan
maksimal pada dinding varises. Diameter pembuluh darah merupakan salah satu
penentu tekanan variseal. Pada tekanan yang sama, pembuluh darah dengan
diameter besar akan ruptur sedangkan pembuluh darah dengan diameter kecil tidak
akan ruptur. Selain diameter pembuluh darah, salah satu penentu tekanan padan
dinding varises adalah tekanan di dalam varix yang berkaitan langsung dengan
HVPG. Oleh karena itu, penurunan HVPG seharusnya memicu penurunan tekanan
pada dinding varises sehingga mengurangi resiko ruptur. Perdarahan varises tidak
akan terjadi ketika HVPG diturunkan menjadi < 12 mmHg, dan resiko perdarahan
ulang juga menurun secara signifikan dengan penurunan HVPG lebih dari 20%
nilai awal.
Manifestasi klinis
Varises esofagus bersifat asimtomatis, hingga akhirnya pecah dan
menimbulkan hematemesis (muntah darah merah terang atau seperti kopi)
dengan/ tanpa melena (berwarna hitam seperti tar dan berbau busuk). Pecah
varises esofagus sering digambarkan dengan darah yang berkumpul pada
kerongkongan dan sebenarnya tidak dimuntahkan. Adanya melena
menandakan bahwa darah telah berada dalam saluran cerna minimal selama
14 jam. Perdarahan varises yang berat dapat menimbulkan gejala/tanda
hipovolemik dan mengancam nyawa.

Diagnosis

Diagnosis Adanya varises esofagus harus dideteksi dengan


endoskopi. Temuan varises pada endoskopi dapat dikategorikan sebagai
berikut:

- Derajat 1: varises yang kolaps bila esofagus dikem- bangkan


dengan udara;
- Derajat 2: varises antara derajat 1 dan derajat 3; Derajat 3: varises
yang cukup besar untuk menutup lumen.

Untuk menilai ada/tidaknya perdarahan varises pada endoskopi,


dapat digunakan beberapa indikator berikut:

- Perdarahan aktif yang terlihat kasat mata muncul dari varises


esofagus, biasanya menyembur (oozing) atau mengalir (spurting);
- Adanya tanda bekas perdarahan pada varises berupa white nipple
sign atau temuan bekuan darah;
- Tampak varises esofagus yang berwarna merah, dan ditemukan
darah pada lambung tanpa adanya sumber perdarahan lain;
- Terlihat varises esofagus yang berwarna merah, dengan
manifestasi klinis perdarahan saluran cerna atas, tanpa darah pada
lambung.

Tatalaksana
Prinsip perdarahan PVO adalah menjaga hemodinamik, mengontrol
perdarahan, dan mencegah perdarahan berulang. Segera pasang bedside
monitor, akses intravena, dan berikan resusitasi cairan. Transfusi packed red
cell (PRC) diindikasikan pada hemoglobin di bawah 7g/dL denga target 7-9
g/dL. Langkah manajemen selanjutnya adalah Obat Vasokatif, pilihannya
● Somatostatin. Dosis IV bolus 250 μg, dapat diulang dalam 1 jam pertama
jika perdarahan belum terkontrol. Kemudian, dilanjutkan dengan infus
250-500 μg/jam.
● Octretide, bolus IV 50 μg, dapat diulang dalam satu jam pertama jika
perdarahan belum terkontrol. Dilanjutkan infus 50 μg/jam.
● Vasopresin, dosis IV kontinyu 0,2-0,4 U/menit, dapat dinaikkan menjadi
0,8 U/menit selama 24 jam. Pemberian vasopressin bersamaan dengan
● Nitrogliserin untuk mempertahanakn tekanan sistolik tetap 90 mmHg
demgam dosis nitrogliserin IV awal 40 μg/menit, dapat dinaikkan hingga
μg/menit.
● Profilaksis antibiotic, maksimal 7 hari dengan seftriakson IV 1x1 gram.
● EGD segera dalam 12 jam, jika hemodinamik sudah stabil

BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Melena adalah feses tercampur darah yang memiliki penampakan hitam
gelap seperti tar. Sedangkan, Hematemesis adalah muntah yang berisi darah.
Hematemesis dan Melena menunjukkan adanya perdarahan pada saluran cerna
di bagian atas.
Hati merupakan organ penting yang memiliki banyak fungsi bagi tubuh.
Jika terjadi kelainan atau gangguan pada hati, kinerja dan berbagai fungsi organ
serta jaringan tubuh lain akan terganggu. Kelainan pada hati adalah kondisi
letika organ hati atau liver bermasalah dan tidak dapat berfungsi dengan baik.
Kelainan pada hati yang tidak diobati dapat menyebabkan berbagai gangguan
pada tubuh. Kondisi ini bisa muncul secara tiba-tiba, namun bisa juga terjadi
secara perlahan dan bertahap. Kelainan pada hepar ini sangat dipengaruhi oleh
faktor usia, pajanan/infeksi, ketahanan host, serta pola hidup sehari-hari. Contoh
kelainan yang dapat terjadi pada hepar adalah Hepatitis akut dan kronik, sirosis
hepatis, hingga bermanifestasi seperti Pendarahan atau ikterus.

B. SARAN
Mengingat masih banyaknya kekurangan dari kelompok kami, baik dari
segi diskusi kelompok, maupun dalam penulisan laporan dan sebagainya, untuk
itu kami mengharapkan kritik dan saran dari dosen-dosen yang mengajar baik
sebagai tutor maupun dosen yang memberikan materi kuliah, dari rekan-rekan
angkatan 2021 dan dari berbagai pihak demi kesempurnaan laporan. Dan kami
berharap semoga laporan ini dapat berguna bagi para pembaca.
DAFTAR ISI

Tjokroprawiro A, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam., Airlangga University Press,


Surabaya, 2015

Arifputera A, dkk. Kapita Selekta Kedokteran. Editor, Tanto C, dkk. Edisi 4.


Jakarta: Media Aesculapius. 2014;

Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam FK UI jilid II. Edisi VI. Jakarta:
InternaPublishing, 2015

Isselbacher, Kurt J. 2014. Harrison Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 1


Edisi 13. Jakarta: EGC.

Longo, D. L. (2013). Harrison’s Gastroenterology and Hepatology 2nd Edition.


McGraw-Hill.

Anda mungkin juga menyukai