Anda di halaman 1dari 10

PRAKTIK DEMOKRASI DAN GOOD GOVERNANCE: (STUDI KASUS

IMPLEMENTASI PENATAAN DAN PEMBERDAYAAN PEDAGANG KAKI LIMA


DI KOTA SUKABUMI)

DEMOCRACY AND GOOD GOVERNANCE PRACTICES: (CASE STUDY


IMPLEMENTATION OF TRADERS' REGULATION AND EMPOWERMENT
STREET STREETS IN SUKABUMI CITY)

Elsa Syabita, Hindry Maula Pratiwi, Jessica Eleonora Nauli M.


elsyabita12@gmail.com, hindrymaulapratiwi@gmail.com,
jessicaeleonora42@gmail.com
Program Studi Ilmu Politik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, Jl. R.S Fatmawati No. 1, Cilandak,
Jakarta Selatan 12450

ABSTRACT
(ringkasan tujuan, metode, hasil dan manfaat)

ABSTRAK
PENDAHULUAN
Pedagang kaki lima (PKL) merupakan salah satu fenomena sosial ekonomi yang
banyak ditemukan di negara-negara berkembang, termasuk Indonesia. PKL memiliki
karakteristik yang beragam, mulai dari jenis barang atau jasa yang ditawarkan, modal usaha,
pendapatan, hingga status sosial (Bhowmik, 2005). PKL juga memiliki kontribusi yang
signifikan terhadap perekonomian nasional, baik dalam hal penciptaan lapangan kerja,
peningkatan pendapatan, maupun pengurangan kemiskinan (Bhowmik, 2005). Namun, di sisi
lain, PKL juga menimbulkan berbagai permasalahan, terutama yang berkaitan dengan
penggunaan ruang publik. PKL seringkali menempati trotoar, bahu jalan, taman kota, atau
tempat-tempat strategis lainnya yang seharusnya digunakan untuk kepentingan umum. Hal ini
dapat mengganggu arus lalu lintas, mengurangi keindahan kota, serta menimbulkan potensi
konflik antara PKL dengan pihak berwenang atau masyarakat sekitar (Bromley, 2000). Oleh
karena itu, diperlukan kebijakan yang dapat mengatur dan mengakomodasi keberadaan PKL
secara adil dan berkelanjutan. Kebijakan tersebut harus mempertimbangkan berbagai aspek,
seperti kepentingan ekonomi, sosial, budaya, lingkungan, hukum, dan politik yang terkait
dengan PKL (Bromley, 2000). Selain itu, kebijakan tersebut juga harus melibatkan partisipasi
dari berbagai pemangku kepentingan, terutama PKL sendiri, agar dapat mencapai tujuan yang
diinginkan (Bhowmik, 2005).
Salah satu kota di Indonesia yang telah mengeluarkan kebijakan mengenai penataan
dan pemberdayaan PKL adalah Kota Sukabumi. Kota Sukabumi merupakan kota yang
terletak di Provinsi Jawa Barat dengan jumlah penduduk sekitar 350 ribu jiwa (BPS Kota
Sukabumi, 2020). Kota Sukabumi memiliki potensi wisata yang cukup besar, seperti Gunung
Gede Pangrango, Situ Gunung, dan Curug Cikaso. Namun, Kota Sukabumi juga menghadapi
tantangan dalam mengelola perkembangan kota yang pesat, salah satunya adalah masalah
PKL Kota Sukabumi merupakan salah satu kota di Indonesia yang memiliki jumlah PKL
cukup banyak. Berdasarkan data Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu
Kota Sukabumi (2013), jumlah PKL di Kota Sukabumi mencapai 1548 orang yang menyebar
di 229 lokasi. Keberadaan PKL tersebut kerap menimbulkan masalah seperti kemacetan lalu
lintas, penurunan nilai estetika kota, dan gangguan kesehatan lingkungan.
Kebijakan penataan dan pemberdayaan PKL di Kota Sukabumi diatur dalam Perda
No. 10 Tahun 2013. Perda ini merupakan hasil dari proses konsultasi publik yang melibatkan
berbagai pihak, seperti Pemkot Sukabumi, DPRD Kota Sukabumi, perwakilan PKL,
akademisi, LSM, dan masyarakat umum. Perda ini bertujuan untuk menciptakan
kesejahteraan PKL, meningkatkan kualitas lingkungan, serta mewujudkan ketertiban umum
(Perda No. 10 Tahun 2013). Perda ini mengatur mengenai penataan dan pemberdayaan PKL
dengan berlandaskan pada prinsip demokrasi dan tata kelola pemerintahan yang baik.
Penataan PKL dilakukan melalui pendataan, penataan lokasi, pembinaan dan pengawasan.
Sementara upaya pemberdayaan meliputi bantuan permodalan, peningkatan kapasitas SDM,
dan bantuan promosi dagang. Perda ini juga menetapkan hak dan kewajiban PKL, serta
sanksi bagi pelanggar (Perda No. 10 Tahun 2013).
Penelitian ini mengkaji sejumlah masalah terkait pedagang kaki lima di zona merah
Kota Sukabumi. Pertama, fokus pada pengaruh implementasi Peraturan Daerah Nomor 10
Tahun 2013 terhadap kinerja dan kesejahteraan para pedagang. Lalu ,mempertimbangkan
juga kendala serta tantangan yang dihadapi oleh Diskopdagrin dan Satpol PP dalam upaya
mengawasi dan menertibkan para pedagang kaki lima di zona merah. Terakhir, dititikberatkan
pada strategi serta inovasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah kota guna meningkatkan
penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima di zona merah. Dengan fokus pada tiga
aspek ini, penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh, kendala, dan strategi terkait
dengan implementasi Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 10 Tahun 2013 tentang
Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima. Peraturan daerah ini mengatur tentang
zonasi, fasilitas, dan bantuan modal bagi pedagang kaki lima di Kota Sukabumi. Namun,
dalam pelaksanaannya, masih terdapat berbagai permasalahan yang dihadapi oleh pedagang
kaki lima, pemerintah kota, dan masyarakat. Oleh karena itu, penelitian ini penting untuk
dilakukan guna memberikan rekomendasi yang dapat meningkatkan kinerja dan
kesejahteraan pedagang kaki lima, serta menyelesaikan konflik yang timbul akibat penertiban
pedagang kaki lima di zona merah.

METODOLOGI PENELITIAN
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Hal ini terlihat dari tujuan
penelitian yang bersifat eksploratif untuk merumuskan strategi dan inovasi penataan dan
pemberdayaan PKL di zona merah (Sugiyono, 2015). Tipe penelitian yang digunakan adalah
studi literatur (literature review). Terlihat dari metode pengumpulan data dengan melakukan
telaah pustaka atau studi penelitian sebelumnya terkait topik penataan dan pemberdayaan
PKL di zona merah (Snyder, 2019). Sumber Data Sumber data berasal dari data sekunder
berupa jurnal, buku, laporan, dan referensi lain yang relevan dengan topik penataan dan
pemberdayaan PKL di zona merah (Creswell, 2015). Analisis data dilakukan dengan
menggunakan model analisis kebijakan yang dikembangkan oleh Dunn (2018), yaitu dengan
mengidentifikasi masalah, tujuan, alternatif, kriteria, hasil, dan rekomendasi kebijakan.

HASIL PEMBAHASAN
A. Pengaruh implementasi Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 10 Tahun 2013
terhadap kinerja dan kesejahteraan pedagang kaki lima di zona merah.
Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 10 Tahun 2013 tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan salah satu upaya pemerintah kota
untuk mengatur keberadaan PKL di Kota Sukabumi. Peraturan daerah ini bertujuan untuk
mewujudkan kota Sukabumi yang tertib, bersih, dan nyaman, serta meningkatkan kinerja dan
kesejahteraan PKL. Namun, implementasi peraturan daerah ini belum sepenuhnya berjalan
secara efektif, sehingga berdampak pada kinerja dan kesejahteraan PKL, khususnya di zona
merah. Zona merah adalah wilayah yang dilarang untuk kegiatan PKL karena alasan
keamanan, ketertiban, dan kebersihan (Dwipasari et al., 2021). Pengaruh implementasi
peraturan daerah ini terhadap kinerja dan kesejahteraan PKL di zona merah dapat dilihat dari
beberapa aspek, yaitu: (1) pendapatan, (2) modal usaha, (3) fasilitas usaha, dan (4) hubungan
sosial. Berdasarkan hasil penelitian Dwipasari et al. (2021), pengaruh tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Pendapatan
Dalam implementasinya, peraturan daerah ini juga menimbulkan dampak negatif bagi
sebagian PKL, khususnya yang berada di zona merah. Zona merah adalah lokasi yang
dilarang untuk dijadikan tempat berjualan PKL, karena dianggap mengganggu arus lalu
lintas, keindahan kota, atau kesehatan lingkungan. PKL yang berada di zona merah harus
dipindahkan ke lokasi yang telah ditentukan oleh Pemkot Sukabumi, seperti pasar, kios, atau
sentra PKL. Jika PKL tetap berjualan di zona merah, maka mereka akan mendapatkan sanksi
berupa teguran, peringatan, penggusuran, atau penyitaan barang dagangan (Perda No. 10
Tahun 2013). Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Dwipasari et al. (2021),
sebagian besar PKL di zona merah mengaku mengalami penurunan pendapatan sebesar
20-50% setelah peraturan daerah ini diberlakukan. Selain itu, sebagian PKL juga mengalami
kerugian akibat barang dagangan yang dirusak atau disita oleh Satpol PP saat penertiban.
Melalui implementasi peraturan daerah ini, PKL di zona merah mengalami penurunan
pendapatan yang signifikan. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu: Penurunan
jumlah pembeli akibat lokasi usaha yang tidak strategis. PKL yang dipindahkan ke lokasi
baru harus bersaing dengan PKL lain yang sudah lebih dulu berjualan di sana. Selain itu,
PKL juga kehilangan pelanggan tetap yang biasa membeli barang atau jasa mereka di zona
merah. PKL juga harus menyesuaikan diri dengan pasar dan preferensi konsumen di lokasi
baru, yang mungkin berbeda dengan zona merah. Hal ini dapat mengurangi daya saing dan
omset PKL (Dwipasari et al., 2021). Selain itu adanya ancaman penertiban oleh Satpol PP.
Meskipun peraturan daerah ini telah disosialisasikan kepada PKL, masih ada sebagian PKL
yang enggan atau tidak mampu untuk pindah ke lokasi yang ditetapkan. Hal ini dapat
membuat PKL menjadi rentan terhadap penertiban yang dilakukan oleh Satpol PP. Penertiban
ini dapat berupa penggusuran paksa, penyitaan barang dagangan, atau pemberian denda. Hal
ini dapat menyebabkan kerugian materiil dan psikologis bagi PKL, serta mengganggu
kelancaran usaha mereka (Dwipasari et al., 2021).
2. Modal Usaha
Modal usaha menjadi salah satu aspek krusial bagi keberlangsungan usaha PKL di
zona merah. Namun, implementasi peraturan daerah seringkali memberikan dampak negatif
pada modal usaha mereka, terutama terkait kesulitan dalam mendapatkan pinjaman modal
dari lembaga keuangan formal maupun informal. Implementasi peraturan daerah tentang
penataan PKL di zona merah berpengaruh negatif terhadap modal usaha sebagian PKL.
Menurut Dwipasari et al. (2021), hal ini disebabkan oleh semakin sulitnya mereka
mendapatkan pinjaman modal baik dari lembaga keuangan formal maupun informal. PKL
dianggap tidak memenuhi persyaratan karena sebagian besar tidak memiliki izin usaha, surat
keterangan usaha, ataupun rekomendasi dari pemerintah. Padahal dokumen-dokumen itu
biasanya menjadi syarat memperoleh pinjaman modal.
Selain kesulitan mendapatkan modal baru, PKL juga dilaporkan mengalami hambatan
membayar cicilan pinjaman lama. Hal ini diduga akibat penurunan pendapatan mereka yang
sangat dipengaruhi regulasi penataan dan pemindahan yang ketat. Berbagai pembatasan
ruang dan waktu berjualan sudah tentu mengurangi volume penjualan dan keuntungan (Anam
et al., 2020). Data tersebut memperlihatkan satu titik lemah pelaksanaan regulasi penataan
PKL, yaitu belum diikuti jaminan pendanaan dan akses kredit bagi PKL. Padahal untuk
bergeser ke lokasi yang lebih tertib, PKL membutuhkan modal tambahan guna memperbaiki
sarana berjualan agar lebih layak. Kegagalan mendapatkan modal baru atau menyelesaikan
pinjaman lama akan berisiko menjerumuskan PKL ke rentenir atau praktik ijon yang sangat
merugikan (Wijaya et al., 2018).
3. Fasilitas Usaha
Implementasi peraturan daerah seringkali menjadi tonggak penting dalam menentukan
arah kebijakan pemerintah lokal terkait pengaturan usaha, termasuk bagi PKL yang memiliki
peran vital dalam perekonomian kota. Namun, seringkali terjadi bahwa peraturan-peraturan
ini memberikan dampak negatif pada fasilitas usaha PKL, terutama di zona merah. Salah satu
penyebab utama dampak negatif ini adalah kurangnya penyediaan sarana dan prasarana yang
dilakukan oleh pemerintah kota bagi PKL di zona merah. Menurut penelitian oleh Dwipasari
et al. (2021), mayoritas PKL di zona merah mengalami kesulitan dalam memperoleh tempat
usaha yang layak seperti kios, lapak, atau tenda. Hal ini menjadi salah satu permasalahan
utama yang dihadapi oleh para PKL di wilayah tersebut. Tidak hanya itu, namun fasilitas
penunjang usaha yang mendasar seperti listrik, air, toilet, atau tempat sampah juga kurang
tersedia bagi sebagian PKL di zona merah.
Kurangnya akses terhadap fasilitas yang memadai mengharuskan PKL di zona merah
untuk menggunakan fasilitas usaha yang sederhana seperti gerobak, meja lipat, atau terpal.
Kondisi ini, tanpa diragukan lagi, secara signifikan membatasi kemampuan para PKL untuk
menjalankan usaha mereka dengan efektif dan efisien (Dwipasari et al., 2021). Tidak dapat
diabaikan bahwa dampak dari minimnya fasilitas usaha ini tidak hanya berhenti pada tingkat
individu PKL. Konsekuensi lebih luas meliputi gangguan terhadap kebersihan lingkungan
sekitar serta berpotensi menciptakan lingkungan yang tidak sehat bagi masyarakat yang
beraktivitas di zona merah. Tanpa tempat sampah yang memadai, limbah menjadi
permasalahan yang sulit diatasi, sementara kurangnya akses ke toilet yang layak juga dapat
memengaruhi kebersihan lingkungan. Dalam menghadapi kompleksitas permasalahan ini,
penting bagi pemerintah kota untuk menerapkan kebijakan yang inklusif dan berpihak pada
para PKL di zona merah. Penyediaan sarana dan prasarana yang memadai harus menjadi
fokus utama, seiring dengan perhatian terhadap kebersihan lingkungan dan kesejahteraan
masyarakat sekitar.
4. Hubungan Sosial
Implementasi Peraturan Daerah di zona merah tidak hanya mempengaruhi
keberlangsungan usaha para Pedagang Kaki Lima (PKL), tetapi juga menciptakan dampak
positif pada hubungan sosial di antara mereka. Solidaritas dan semangat gotong royong
antara PKL di zona merah menjadi salah satu hasil yang signifikan dari implementasi
kebijakan tersebut. Sebagian besar PKL tidak hanya menjalin hubungan yang baik dengan
rekan sesama PKL yang memiliki usaha serupa, tetapi juga dengan mereka yang memiliki
usaha berbeda. Lebih dari itu, sebagian besar PKL telah membangun relasi yang erat dengan
masyarakat sekitar, termasuk warga, pedagang lainnya, atau pengguna jalan.
Keberadaan kerjasama di antara PKL di zona merah menjadi landasan yang penting
dalam menghadapi berbagai kendala usaha yang mereka hadapi. Dalam situasi penertiban,
persaingan ketat, atau perizinan yang kompleks, hubungan solid antara mereka
memungkinkan adanya kolaborasi untuk menyelesaikan masalah bersama. Keterlibatan ini
menciptakan sebuah lingkungan di mana para PKL saling membantu satu sama lain, bertukar
informasi, serta mendukung dalam mengatasi tantangan yang dihadapi. Studi yang dilakukan
oleh Dwipasari et al. pada tahun 2021 menegaskan bahwa hubungan sosial yang kuat ini telah
memainkan peran penting dalam menjaga kelangsungan usaha PKL di zona merah.
Dukungan antar-anggota komunitas PKL, baik secara langsung maupun tidak langsung,
memberikan kekuatan ekstra dalam menghadapi perubahan lingkungan sekitar.
Dengan adanya implementasi peraturan daerah yang mempengaruhi dinamika
kehidupan para PKL, terbukti bahwa dampaknya tidak hanya sebatas pada aspek regulasi
usaha. Lebih jauh lagi, peraturan ini telah menjadi katalisator bagi terbentuknya jaringan
sosial yang kuat di antara PKL di zona merah, menciptakan lingkungan yang solid dan saling
mendukung. Dengan demikian, bukan hanya kinerja usaha yang mendapatkan dorongan,
tetapi juga hubungan sosial yang terbangun secara solid di antara PKL. Hal ini menunjukkan
bahwa kebijakan publik, ketika diimplementasikan dengan baik, tidak hanya memengaruhi
sektor bisnis, tetapi juga dapat memberikan dampak yang signifikan pada dinamika sosial
masyarakat di level mikro seperti komunitas PKL di zona merah.

B. Kendala dan tantangan yang dihadapi oleh Diskopdagrin dan Satpol PP dalam
mengawasi dan menertibkan pedagang kaki lima di zona merah.
Dalam mengawasi dan menertibkan pedagang kaki lima (PKL) di zona merah, Dinas
Koperasi, Usaha Mikro, Kecil, dan Perdagangan (Diskopdagrin) serta Satuan Polisi Pamong
Praja (Satpol PP) menghadapi sejumlah kendala dan tantangan yang perlu diatasi dengan
cermat. Salah satu kendala utama yang dihadapi oleh Diskopdagrin dan Satpol PP adalah
kurangnya tempat parkir resmi dan fasilitas yang memadai untuk PKL. Meskipun telah
diterbitkan Perda Nomor 3 Tahun 2016 Tentang Penataan dan Pemberdayaan Pedagang Kaki
Lima, namun masih sulit untuk mengimplementasikannya sepenuhnya, terutama di zona
merah yang cenderung sulit diatur karena banyaknya PKL yang berjualan sembarangan
(Ridhani, 2021). Banyaknya PKL yang berjualan tanpa izin dan di tempat yang tidak
semestinya menjadi masalah serius, terutama jika tidak disediakan lokasi alternatif yang
memadai untuk mereka berjualan. Tanpa solusi yang baik terkait tempat parkir dan fasilitas,
sulit bagi para pedagang untuk mematuhi peraturan dan bagi pemerintah untuk menertibkan
mereka. Selain itu, masalah hukum seringkali menjadi kendala yang dihadapi oleh
Diskopdagrin dan Satpol PP. Banyak PKL yang beroperasi tanpa izin resmi, sehingga
penertiban seringkali melibatkan proses hukum yang memakan waktu. Adanya hambatan
dalam pengawasan dan penegakan hukum ini dapat memperlambat upaya penertiban dan
menimbulkan kebingungan di kalangan pedagang dan masyarakat.
Tantangan lainnya adalah aspek sosial ekonomi. PKL sering kali merupakan sumber
penghasilan utama bagi banyak individu, dan penertiban tanpa penanganan yang bijaksana
dapat berdampak negatif pada kehidupan ekonomi mereka. Sehingga, perlu ada strategi
pemindahan atau relokasi yang berkelanjutan dan menyeluruh untuk memastikan bahwa PKL
dapat tetap berusaha secara layak tanpa mengganggu ketertiban dan kebersihan lingkungan.
Selain itu, ketidaksetaraan informasi juga menjadi kendala. Beberapa PKL mungkin tidak
sepenuhnya memahami peraturan yang berlaku atau kebijakan yang diterapkan oleh
pemerintah (Suharni et al., 2023). Oleh karena itu, perlu ada upaya lebih lanjut dalam
memberikan informasi secara jelas dan mudah dipahami kepada para pedagang, sehingga
mereka dapat beradaptasi dengan perubahan yang diterapkan. Dalam menghadapi
kendala-kendala tersebut, Diskopdagrin dan Satpol PP perlu bekerja sama dengan berbagai
pihak terkait, termasuk masyarakat dan organisasi pedagang. Kolaborasi ini akan membantu
menciptakan solusi yang berkelanjutan dan mengurangi potensi konflik antara pemerintah
dan PKL. Pendidikan dan pembinaan juga perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kesadaran
akan pentingnya keteraturan dalam berdagang demi kesejahteraan bersama.

C. Strategi dan inovasi yang dapat dilakukan oleh Pemerintah kota untuk
meningkatkan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima di zona merah.
Keberadaan pedagang kaki lima (PKL) seringkali menempati lokasi strategis di zona
merah atau kawasan wisata sehingga dianggap mengganggu estetika, kebersihan dan
ketertiban umum kawasan tersebut. Namun sebenarnya, para PKL juga kerap menjadi tulang
punggung dan penopang perekonomian kelas bawah yang patut dilindungi dan diberdayakan
pula. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dan inovasi dari Pemerintah Kota (Pemkot) untuk
menata dan sekaligus memberdayakan keberadaan para PKL di zona-zona merah pariwisata.
Strategi yang bisa diterapkan Pemkot antara lain relokasi para PKL secara bertahap dari zona
merah menuju lokasi khusus PKL yang sudah disiapkan. Dalam relokasi, perlu dilakukan
fasilitasi berimbang seperti keringanan biaya sewa lapak serta penyediaan fasilitas pendukung
usaha agar tercipta solusi yang saling menguntungkan bagi Pemkot dan PKL. Selanjutnya,
Pemkot juga perlu menata kawasan relokasi baru para PKL, misalnya dengan model pasar
malam atau bazar khusus, lengkap dengan desain arsitektur dan tata letak yang apik serta
pengelolaan area yang bersih, nyaman dan tertib. Hal ini diperlukan agar lokasi baru PKL
tidak mengalami degradasi lingkungan.
Pemkot juga disarankan memberikan pelatihan kewirausahaan dan manajemen usaha
pada PKL, agar mereka dapat mengelola dan mengembangkan dagangannya menjadi lebih
modern, kekinian dan berdaya saing meski dalam skala usaha mikro dan kecil. Selain itu,
penguasaan strategi pemasaran digital dan e-commerce penting untuk diajarkan pada PKL
agar mereka bisa go digital. Cara lain yang bisa dilakukan Pemkot untuk memberdayakan
PKL yakni dengan memfasilitasi pemasaran produk PKL pada platform E-Warong Kota
sebagai marketplace produk UMKM yang dikelola Pemkot. Bekerja sama dengan
marketplace besar yang sudah mainstream juga disarankan agar promosi dan pemasaran
produk para PKL lebih luas jangkauannya.
Terakhir, Pemkot juga disarankan memberikan bantuan modal usaha dalam bentuk
pinjaman lunak atau subsidi bunga pinjaman bank bagi PKL yang direlokasi. Hal ini
bertujuan agar permodalan PKL lebih lancar sehingga perputaran dan skala usaha mereka
bisa berkembang lebih baik. Dengan penerapan strategi dan inovasi yang tepat sasaran
tersebut, program penataan dan pemberdayaan PKL di zona merah diharapkan bisa lebih
optimal dan saling menguntungkan semua pihak. Untuk itu dibutuhkan sinergi dari berbagai
elemen termasuk pemerintah, korporasi, akademisi, dan LSM dalam rangka membangun
ekosistem UMKM dan PKL yang makin kompetitif dan inklusif secara digital.

KESIMPULAN

DAFTAR PUSTAKA
Anam, K., Wahyudin, A., & Mukti, G. W. (2020). Kebijakan Penataan PKL di Kota
Bandung. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota, 31(1), 49-65.
Bhowmik, S. K. (2005). Street vendors in Asia: A review. Economic and Political Weekly,
2256-2264.
BPS Kota Sukabumi. (2020). Kota Sukabumi dalam Angka 2020. BPS Kota Sukabumi.
Bromley, R. (2000). Street vending and public policy: a global review. International Journal
of Sociology and Social Policy.
Creswell, J. W. (2015). Penelitian Kualitatif & Desain Riset: Memilih di Antara Lima
Pendekatan (edisi 3). Pustaka Pelajar.
Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu Kota Sukabumi. (2013). Data
Pedagang Kaki Lima Kota Sukabumi. Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan
Terpadu Satu Pintu Kota Sukabumi.
Dwipasari, A., Suci, A., & Rizka, N. (2021). Pengaruh Kebijakan Penataan dan Pembinaan
Pedagang Kaki Lima Terhadap Interaksi Sosial di Kota Surakarta. Jurnal
Pemberdayaan: Publikasi Hasil Pengabdian Kepada Masyarakat, 5(2), 221-231.
Febrianto, R., & Ernawati. (2019). The Empowerment and Arrangement of Street Vendors in
the Tourism Area. Publikauma : Jurnal Administrasi Publik Universitas Medan Area,
7(1), 20-30.
Pratama, Y., & Ambarini, R. (2022). Pemberdayaan UKM Kuliner Melalui Inovasi Platform
E-Warong Kota Bandung. Konferensi Ilmiah Akuntansi dan Bisnis Nasional, 1(1),
1327–1336.
Peraturan Daerah Kota Sukabumi Nomor 10 Tahun 2013 tentang Penataan dan
Pemberdayaan Pedagang Kaki Lima
Ridhani, D. T. (2021, Desember 26). Dampak Kerusakan Yang Timbul Akibat Pedagang Kaki
Lima (PKL). Diambil kembali dari jatiminstitute.com:
https://jatiminstitute.com/dampak-kerusakan-yang-timbul-akibat-pedagang-kaki-lima-
pkl/
Suharni, M., Tamelab, V., & Lobo, F. (2023). Strategi Pemerintah Dalam Menertibkan PKL
Di Pasar Oesao Dan Pasar Lili Kabupaten Kupang. Perkara: Jurnal Ilmu Hukum dan
Politik, 1(3), 146-160.
Wijaya, C., Rusydiana, A., Karsidi, R., & Sari, P. (2018). Pemberdayaan PKL untuk
Meningkatkan Kesejahteraan di Kota Bandung. Jurnal Abdimas BSI, 1(2), 229-238.

Anda mungkin juga menyukai