Anda di halaman 1dari 5

Cinta Hanya Soal Waktu

Rifqia Istifaro

Lamongan, 1998
Lembayung senja mengantarkan kisah cinta klasik yang dialami oleh Sulis, si gadis kembang
desa yang cantik nan ramah. Nama lengkapnya Sulistyowati. Dalam kehidupannya, ia tak
pernah berpikir untuk menikah di usia yang relatif muda. Dua puluh dua tahun pun belum
genap. Prinsipnya adalah mengajar dan mengabdikan diri menjadi seorang guru dan masih
ingin berpetualang menjelajahi indahnya dunia. Namun, prinsip yang ia banggakan selama ini
akhirnya patah oleh seorang laki-laki yang membawanya ke arus hubungan yang serius.
Menikah dengan laki-laki ini tidak pernah ada dalam daftar masa depannya. Terlebih lagi, Sulis
tidak pernah mengidolakan sosok lelaki ini. Sulis bukannya tidak mau menikah, hanya saja ia
belum menginginkannya. Bahkan untuk sekadar memikirkannya saja belum.
Meski begitu, ia sudah mempunyai pacar sendiri dan enggan untuk bercerita ke orang tuanya
karena kedua orang tuanya memang tak suka dengan pacar sulis. Yang mengetahui masalah
percintaan Sulis hanyalah adik laki-lakinya yang kedua.
Sepulang mengajar, ia membersihkan diri seperti biasanya. Dari sudut pintu terlihat sang ibu
sedang berdiri memandangi gadis cantiknya, kemudian tak lama sang ibu mendekati Sulis dan
mengambil posisi duduk di samping Sulis. Sulis pun heran, ada apa gerangan, karena memang
sebelum sebelumnya Bu Sriyatun tidak pernah seperti ini. Akhirnya Bu sriyatun pun angkat
bicara,
“Nduk ayu... besok ada yang mau dateng lhoo,” ujar sang ibu dengan nada medoknya seraya
membenarkan posisi duduknya yang dirasa nyaman sambil mengelus-elus pundak sulis.
“Yah kalau mau datang ya biar datang to Bu, kenapa harus bilang Sulis,” jawab Sulis cuek.
“Ndak boleh gitu to nduk jawab e, ibu Ndak pernah mengajarkan kamu jadi ketus seperti ini,”
jawab Bu Sriyatun dengan lembut.
“ Hmmmm, njeh njeh Bu, punten, Memange sinten to, Bu?,” jawab Sulis dengan penasaran.
“Pokoknya ada lah, Nduk,” jawab Bu Sriyatun dengan Mesam-mesem.
“Terus kenapa, Bu? Apa hubungannya sama Sulis?”
“Yah siapa tau cocok, Nduk,”
“Maksud Ibu?” Sulis pun kaget. Pasalnya Ia tidak pernah didatangi oleh seorang laki-laki yang
tidak ia kenal. Paling-paling yang biasanya main ke rumahnya hanyalah teman sekolahnya
dulu.
“Udah, tinggal lihat besok. Pokoknya besok sepulang ngajar kamu gak usah mampir-mampir.
Langsung pulang yaa,” sambungnya.
***
Satu minggu yang lalu pada sore hari, bu Sriyatun sedang pergi kewarung terdekat, dan saat itu
ada seorang laki-laki yang kelihatannya cocok untuk dijodohkan dengan putrinya. Usut punya
usut Bu Sriyatun menanyakan tentang si pemuda itu kepada pemilik warung.
“Mat, Mat... Itu sopo toh, kok ngganteng tenan. Kelihatannya pantes lek sama Sulis,” tanya bu
Sriyatun dengan nada penasaran pada Mat Sa’id.
“Oh itu toh. Fauzi, Budeh.. Dia orang Tritunggal Babat. Kenapa to? Mau budeh jadiin menantu
to?” jawab si Mat Sa’id.
“Emang masih bujang to, Mat?,” tanya bu Sriyatun yang makin penasaran.
“Keliatannya ya masih, Budeh. Soalnya dia nggak pernah cerita-cerita masalah cewek.”
“Wah kebetulan dong, Mat. Pantes to lek sama Sulis??”
“Ya pantes aja, Budeh. Kalau bude mau nanti mat tanyain ke orangnya. Pripun?”
“Wah.. bener yo Mat, tolong bilangin ke dia!” gercap Bu Sriyatun .
***
(Fauzi POV)
Di Suatu sore saat saya sedang iseng-iseng main di rumah teman saya di sebuah desa di
kecamatan Sekaran, saya diajak teman yang bernama Mufid untuk nongkrong di warung
langganan. Saat saya, Mufid, dan yang lainnya asyik mengobrol, tiba-tiba ada seorang ibu-ibu
datang. Ibu itu membeli sesuatu di warung juga, seperti ada yang aneh dengan gerak-geriknya.
Tapi ya sudah lah, saya nggak mau ambil pusing.
Lalu saat ibu itu tadi sudah pergi, si Mat Sa’id pemilik warung itu menghampiri saya.
“Eh Zii, boleh ngomong sebentar?,” tanya Mat Sa’id.
“Kamu ini, Mat. Mau ngomong aja nunggu nanya. Yah silakan saja kalau kamu pengen
ngomong,” jawab saya sekenanya.
“Gini Zii, tadi ada ibu-ibu datang, tau?”
“Ibu-ibu yang barusan pergi itu kan?”
“Iyaa..”
“Kenapa memang, Mat?”
“Ibu-ibu tadi masih ada hubungan keluarga sama saya. Dia tadi tanya tentang kamu, terus
beliau minta kalau kamu mau dijodohin sama anaknya. Tapi kamu jangan khawatir Zii, anaknya
pendiem, cantik pula. Dia kembang desa, cantiknya masyaAllah pokoknya!” jelas Mat panjang
kali lebar.
“Wah kamu ini, Mat. Ada-ada saja,” elak saya.
“Beneran ini Zii, nggak bohong!. Besok sekitar jam setengah 2 kamu ke sini, tak ajak ke
rumahnya kalau nggak percaya!”
“Sebentar-sebentar, memang yang dilihat ibu-ibu tadi dari saya apa sih, Mat? Kok bisa
langsung mau jadiin saya menantunya? Saya belum bisa bilang iya, Mat. Soalnya belum tau
orangnya kayak gimana. Belum tau sifatnya kayak apa juga. Intinya kenal juga belum, Mat,”
jawab saya.
“Zii, tidak ada yang perlu diragukan lagi dari Sulis. Dia cantik, pintar, dia guru Zii..” jelas Mat
Sa’id.
“Gini lho, Mat. Memang benar dia guru, dia cantik, tapi saya butuh waktu untuk
memantapkannya,” jawab saya lagi.
“Ya sudah, ku kasih waktu seminggu bisa ‘kan buat memikirkan semua ini?”
“InsyaAllah deh.”
“Nanti kalau sudah, kamu ke sini lagi. Ok?!”
Saya pun hanya menganggukkan kepala dan kembali melanjutkan obrolan yang sempat
terputus dengan teman-teman.
***
Satu minggu pun berlalu. Dalam kurun waktu itu, Fauzi memantapkan diri untuk pertemuan
pertamanya dengan keluarga Sulis. Keesokan harinya Fauzi kembali ke desa Kudikan yang
terletak di daerah Sekaran. Ia langsung ke warung milik Mat Sa’id.
“Gimana, Zi?” tanya Mat Sa’id.
“Yaudah deh, Mat. Kita coba dulu,” jawab Fauzi seadanya.
Akhirnya, Fauzi dan Mat pun mendatangi rumah bu Sriyatun. Dan di saat yang bersamaan Sulis
pun pulang dari tempat mengajarnya. Fauzi hanya bisa melihat sekilas wajah Sulis, karena dia
buru-buru masuk ke dalam kamar setelah menyalami tangan bapaknya. Fauzi dan Mat Sa’id
pun duduk setelah dipersilakan oleh kedua orang tua Sulis. Akhirnya bapak Sulis angkat bicara.
“Ini toh Mat, yang namanya Fauzi itu?,” tanya pak Yakup.
“Enjih, pak Dhe. Ini yang namanya Fauzi,” jawab Mat Sa’id.
“Orang mana, Le?”
“Tritunggal, Pak,” jawab Fauzi singkat.
“Oh, orang Tritunggal toh Le. Yang desa konveksi kaos dan sablon itu?”
“Enjih, Pak. Betul.”
“Oh ya sudah. Tunggu sebentar ya, biar Sulis dipanggil sama ibunya,” pamit Pak Yakup.
“Enjih, Pak..”
Kemudian Pak Yakup masuk ke dalam dan menyuruh Bu Sriyatun untuk membujuk Sulis agar
mau keluar.
Sulis adalah tipe yang tak semudah itu untuk bertemu dengan seseorang yang baru dikenalnya.
Akhirnya Bu Sriyatun masuk ke kamar Sulis untuk membujuk Sulis agar mau keluar kamar.
“Nduk, mbok ya keluar to. Wong ada yang nyariin gitu,” ucap Bu Sriyatun kepada Sulis.
“Iku siapa to Buk, Lis ndak kenal..,” tolak Sulis halus.
“Loh. Ya laki-laki itu yang ibu maksud kemarin,” balas Bu Sriyatun .
“Oohhhh,” Sulis hanya ber-oh ria, karena ia juga tak mau ambil pusing.
“Gimana? Ngganteng too?” goda sang Ibu.
“Lis nggak lihat detail, Bu.”
“Wah kamu ini. Yaudah sekarang keluar gih!” suruh ibu.
Sulis pun menuruti perintah sang ibu. Saat Sulis keluar, bapak meringsut dan memberikan
tempat serta ruang untuk Sulis dan Fauzi mengobrol berdua. Saat dirasa kedua orang tua Sulis
sudah tidak ada disekitarnya, Fauzi pun angkat bicara. Fauzi menanyakan seputar apa yang
perlu ia pertanyakan pada Sulis. Sulis pun hanya menjawab seadanya. Dari pertanyaan-
pertanyaan yang diajukan Fauzi pada Sulis, Fauzi merasa, Sulis adalah wanita yang ia idamkan
selama ini. Jawaban Sulis sangat mengenakkan hati Fauzi. Fauzi pun merasa lega dengan
semua jawaban itu. Akhirnya Fauzi meminta izin untuk pamit pulang dan membicarakan perihal
ini dengan keluarganya di rumah.
Begitu sampai di kediamannya, Fauzi menceritakan semua tentang Sulis kepada kedua orang
tuanya tanpa ada yang ditambah maupun dikurangi. Awalnya bu Masribah, ibunya Fauzi,
melontarkan jawaban yang tidak mengenakkan hati. Bu Masribah masih merasa berat lantaran
ia harus merelakan putra pertamanya untuk menikah. Ia takut jikalau nanti sudah berumah
tangga Fauzi akan lupa kepadanya. Tapi mau bagaimana pun, Fauzi sudah merasa yakin
dengan Sulis. Ia tetap bersikukuh ingin menikahi Sulis.
Setelah bu Masribah melunak, keluarga Fauzi pun segera berkunjung ke rumah Sulis untuk
melamar. Keluarga Sulis pun menerima dengan baik. Alhasil, dari pertemuan pertama sudah
terjadi kesepakatan dalam penentuan hari pernikahan. Tepatnya jatuh dibulan November tahun
1998. Pihak keluarga Fauzi meminta jeda lima bulan karena ingin mempersiapkan semuanya
sematang mungkin. Tapi tiba-tiba di akhir Juni, pihak keluarga Sulis meminta untuk diajukan
pada Agustus tahun 1998. Pihak keluarga Fauzi pun merasa bingung, sebab hal itu bisa
dikatakan mendadak sekali.
“Maaf Bu, Pak.. Kenapa tiba-tiba pernikahan diajukan, padahal sudah ada kesepakatan akan
dilangsungkan bulan November?,” tanya Fauzi sopan kepada kedua orang tua Sulis.
“Gini lho, Le. Sulis mintanya diajukan jadi Agustus awal,” jawab ibu.
“Kalau boleh saya tahu, apa alasannya, Bu?” tanya Fauzi penasaran.
“Ibu ndak tahu, Le.. Sulis cuma bilang dia minta bulan Agustus awal. Kalau tidak mau ya tidak
jadi,” jawab bu Sriyatun seadanya.
“Oh Enjih, Bu. Kalau begitu saya pulang dulu dan matur pada kedua orang tua saya,”
“Iya, Le. Hati-hati.”
Saat sampai di rumah, Fauzi langsung membicarakannya kepada orang tuanya. Sama halnya
dengan Fauzi, kedua orang tuanya pun kaget lantaran bisa maju secepat itu. Ibunya sempat
bingung apa ada kejadian yang tidak tidak sehingga pernikahan ini maju secepat ini. Fauzi
sempat dituduh telah menghamili Sulis duluan, sampai Fauzi berani bersumpah kalau dia
benar-benar tidak pernah memegang Sulis sedikit pun sebelum sah.
Akhirnya tak ada pilihan lain, pihak keluarga Fauzi menyetujui percepatan pernikahan ini.
Awalnya memang Canggung gara-gara mendadak pernikahan ini diajukan, tapi pihak keduanya
mencoba untuk menetralkan suasana hati masing-masing.
Lamongan, 12 Agustus 1998
“Saya terima nikah dan kawinnya Sulistyowati binti Ya’kup dengan maskawin tersebut dibayar
tunai” Fauzi melantunkan ijab qobul-nya dengan lantang dan mantap.
“Alhamdulillah, para saksi bagaimana? Sah?” tanya Pak Ya’kup dan penghulu pada semua
saksi yang menghadiri acara ijab Qabul pagi ini.
“Sah!” jawab serentak para saksi.
“Alhamdulillah. Baarakallahu laka wa baarakaa alaika wa jamaa bainakumaa fii khoir.” Akhirnya
penghulu melanjutkan dengan doanya dan dimainkan oleh seisi saksi yang datang.
Rancangan acara demi acara pun selesai, saat dirasa sudah memiliki waktu ngobrol berdua
dengan Fauzi, Sulis mulai membicarakan masalah pernikahan yang maju secepat ini. Ternyata
usut punya usut, sebab mendadaknya pernikahan Fauzi dan Sulis dikarenakan saat itu, Sulis
sudah mempunyai kekasih, dan kekasihnya adalah seorang abdi negara (TNI). Kekasih Sulis
sudah berjanji akan pulang diakhir bulan Agustus untuk melamar Sulis.
Saat itu Sulis dilema, antara harus menurut orang tuanya yang sangat ingin menjadikan Fauzi
sebagai menantunya, atau dia yang juga harus menepati janji dengan kekasihnya. Akhirnya
Sulis mantab memilih menjadi anak berbakti. Sulis merasa harus lebih patuh kepada orang
tuanya. Ia tidak mau mengecewakan kedua orang tua yang sudah membesarkannya. Maka,
Sulis meminta kedua orang tuanya untuk mempercepat pernikahannya dengan Fauzi, laki-laki
yang dipilih oleh ibunya. Sulis rela meninggalkan kekasihnya.
Dan alhamdulillah tak perlu menunggu lama, pada 24 April 1999 dikaruniaiailah pasangan ini
anak pertama yang cantik. Anak itu mereka beri nama: Rifqia Istafaro.
Pernikahan Sulis memang didasari atas kepatuhan. Namun bukan berarti selamanya mereka
akan membangun bahtera rumah tangga hanya berbekal itu. Lambat laun, seiring berjalannya
waktu, cinta di antara keduanya bisa tumbuh begitu saja. Bahkan sampai saat ini, keluarga
Sulis dan Fauzi sudah dikaruniai dua orang anak, putra dan putri. Ternyata benar, cinta hanya
soal waktu.

Anda mungkin juga menyukai