Anda di halaman 1dari 9

KESOMBONGAN MERUSAK PERSAHABATAN

Halo! Perkenalkan aku Anya. Aku memiliki dua orang teman yang bernama Zia dan Lula.
Kami bertiga berteman sejak Sekolah Dasar, Kami bertiga sudah seperti saudara, namun kami
memiliki karakter yang sangat berbeda. Sekarang kami bertiga menduduki kelas 2 SMA, kami
tidak menyangka persahabatan kami bertahan sangat lama hingga kini. Ternyata di jenjang SMA
kami bersekolah di sekolah yang sama, hal itu membuat kami semakin sering bertemu di
sekolah, meskipun kami bertiga tidak berada di kelas yang sama. Di SMA kami bertiga memilih
jurusan peminatan yang berbeda, aku dan Lula mengambil jurusan IPS, sedangkan Zia
mengambil jurusan IPA.

Di saat jam istirahat, kami bertiga selalu bertemu di kantin untuk sekedar makan bersama dan
saling bertukar cerita satu sama lain. Waktu di SMA Lula menjadi seseorang yang dikenal
banyak orang karena keramahannya. Lula menjadi anak yang rutin mengikuti olimpiade-
olimpiade yang diadakan di sekolah. Karena semua itu, Lula menjadi anak yang sibuk dan
membuat kita bertiga menjadi jarang bertemu dan bertukar cerita. Pertemanan kami bertiga
menjadi renggang dan menjauh, kami jadi lebih menikmati bermain bersama teman kelas kami
masing-masing. Dan bahkan kami juga memiliki forum-forum sendiri bersama teman sekelas
kami. Tetapi di hari libur kami bertiga masih menyempatkan waktu untuk bertemu dan bermain
bersama. Kami hanya sekedar menonton film dan berbagi cerita satu sama lain.

Di Hari Sabtu yang cerah, kami bertiga berencana untuk menonton film, kami bertemu di
bioskop dengan gembira, seperti biasa kami berbagi tugas, aku bertugas untuk membeli tiket,
Lula bertugas membeli cemilan, dan Zia bertugas membeli minuman. Kemudian tak lama setelah
kami membeli cemilan untuk di dalam, teater kami ternyata sudah dibuka dan sudah
diperbolehkan untuk masuk. Akhirnya kami memasuki ruang teater bersama-sama, sambil
menunggu film dimulai kami bercerita ringan. Tanpa kami sadari, ternyata Lula telah mengganti
handphonenya yang lama dan menjadi handphone yang sedang ramai di kalangan masyarakat.
Tak lama Lula menyombongkan handphonenya yang baru.

“Eh, kalian tau nggak? aku ganti hp baru loh!” kata Lula.

“Wah! hp kamu keren nih. Ini hp yang lagi ramai di media sosial bukan sih?” responku.

“Iya dong! Kemarin aku dibeliin daddy ku hp ini, karena hp ku yang dulu udah nggak bisa
mengikuti zaman” jawabnya.

“Bukannya hp mu yang dulu masih bagus ya Lul? Hp mu yang dulu kan masih keluaran 2 tahun
yang lalu, masih bisa dibilang bisa mengikuti zaman sekarang ini” balas Zia.

“Tapi teman-teman kelasku udah pada ganti hp ini, jadi aku mau nggak mau juga harus ganti hp
ini” jawab Lula dengan merengek.

“Berarti cuma nurutin gengsi dong sayyy! Hahaha” sindir ku dengan tawa paksa.

“Eh udah-udah, filmnya udah mau dimulai ini” kata Zia menyudahi obrolan.
Setelah film yang kami lihat selesai, kami berencana mengunjungi kafe yang ada di dekat
bioskop untuk melanjutkan obrolan atau hanya sekedar memberi komentar pada film yang telah
kami tonton sebelumnya. Sesampainya dikafe kami memesan beberapa minuman dan camilan.

“Kalian jadi pesan apa?” tanya Lula.

“Emmm, aku ice cream aja deh satu” kataku dan disaut oleh Zia “Aku seperti biasa aja,
americano no sugar satu”.

“SIAP!” jawab Lula.

Selanjutnya kami bertiga mencari tempat duduk kosong yang bisa kami duduki. Setelah
mendapat tempat kosong dan menerima semua pesanan yang sudah kami pesan sebelumnya.
Kami langsung memulai obrolan kami.

“Ihh, tadi filmnya serem banget ga sih?” tanyaku.

“Iya ih. Apalagi pas tiba-tiba hantunya muncul pas di depan muka, ihh serem sampai kaget aku”
kata Zia.

“Biasa aja sih menurutku, soalnya aku kebiasaan nonton horor kalau dirumah bareng adikku”
Saut Lula ketus.

Langit sudah gelap dan jam di hp kami menunjukan pukul 19.00 WIB. Segera kami
menghabiskan makanan kami dan begegas pulang. Lula pulang terlebih dahulu karena dia sudah
dijemput, sedangkan aku dan Zia masih menunggu Gocar yang kita pesan. Disela-sela kami
berdua menunggu Gocar yang kami pesan tiba, kami berdua ngobrol tentang apa yang terjadi
hari ini.

“Zia, menurut kamu Lula sekarang berubah ga sih?” tanyaku memulai percakapan.

“Iya Nya, aku juga merasa seperti itu. Lula mulai besar kepala dengan apa yang dia punya
sekarang. Padahal dia dulu rendah hati, kenapa sekarang dia jadi seperti itu?” jawab Zia.

“Apa karena teman-teman kelasnya ya yang membuat dia menjadi seperti itu? Dia sekarang
seperti tidak mau kalah dan ingin menuruti gengsi pada dirinya” pendapatku menjawab
pertanyaan Zia sebelumnya.

“Iya sih. Tapi jangan berpikiran seperti itu dulu, belum tentu juga dia seperti itu, mungkin cuma
hari ini saja, kita lihat besok dia seperti apa. Ok?” saran Zia menetralkan suasana.

“Ok, siap!” jawabku menyetujuinya.

Tak lama Gocar ku dan Gocar Zia datang bersamaan dan kami berpamitan untuk pulang.

“Dadah Anya!!” Pamit Zia kepadaku.

“Dadah Zia!!” balasku.


Dan kita berdua berpisah, masuk kedalam Gocar masing-masing untuk pulang ke rumah.

Dipagi yang cerah bendera merah putih dikibarkan. Seluruh siswa siswi kelas X, XI, XII berbaris
dengan rapi untuk mengikuti upacara hari Senin. Dikarenakan barisan kelasku berdampingan
dengan barisan kelas Lula, maka aku tau aktivitas apa saja yang dilakukan Lula. Tak ku sangka
Lula tiba-tiba pingsan ditengah kegiatan upacara. Aku kaget dan ingin menolongnya, tapi apa
boleh buat aku tidak dapat keluar dari barisan. Sesaat setelah itu, aku lega karena Lula telah
dibawa menuju UKS bersama beberapa anggota PMR.

“Ah nanti aja aku ajak Zia jenguk Lula di UKS sehabis upacara selesai.” gumamku.

Setelah upacara dibubarkan, aku langsung menghampiri Zia dan mengatakan bahwa Lula
pingsan waktu upacara berlangsung. Akhirnya kami berdua bergegas pergi ke UKS untuk
menjenguk Lula. Sesampainya kita di UKS, ternyata teman kelas Lula sudah terlebih dulu ke
UKS untuk menghampiri Lula.

“Lula, kamu udah baikan?” tanyaku.

“Kamu kenapa bisa pingsan, Lula?” Tanya Zia.

Lula terdiam dan menghiraukan pertanyaan kami. Semua teman-teman Lula menoleh ke arah
kami aneh, mungkin mereka berpikir “Siapa mereka? Apa yang mereka lakukan disini? Apakah
mereka mengenal Lula?”. Lalu aku dan Zia saling tatap seolah merasakan hal yang sama yaitu
„bingung‟. Kami berdua menanyakan hal yang sama kembali kepada Lula. Tetapi nihil, Lula
tetap tidak merespon dan menghiraukannya. Lalu aku dan Zia memutuskan untuk keluar untuk
istirahat.

Sesampainya kami di kantin, kami membeli beberapa jajanan dan kami duduk berdua di salah
satu meja kantin untuk membahas masalah Lula lagi. Kami berdua sepertinya benar-benar
merasakan hal yang sama, kami merasakan bahwa sekarang Lula sudah berubah. Sampai dia
seolah-olah tidak mengenali kami berdua di depan temen-teman kelasnya. Kami merasa sakit
hati? Ya tentu. Bagaimana bisa kami teman lamanya, di perlakukan seperti itu di depan teman-
teman barunya.

“Bisa-bisanya ya Lula memperlakukan kita seperti itu.” kataku kesal.

“Apa dia tidak dengar kita ya?” tanya Zia polos.

“Nggak mungkin lah, tadi dia melihat kita dan kita juga sudah mengulang pertanyaan yang sama
kepadanya. Mana mungkin dia tidak mendengarnya?” jelasku.

“Iya sih bener juga ya. Lalu apa yang terjadi dengan Lula?” tanya Zia kepadaku.

“Sepertinya Lula sengaja untuk menghiraukan kita, jadi dia tidak menjawab pertanyaan kita
tadi.” kataku kesal.

“Kita harus cari tau kenapa Lula sekarang berubah, kamu jangan berfikir seperti itu dulu anya”
balas Zia.
Aku mengikuti ekstrakulikuler paduan suara. Setiap hari Senin sepulang sekolah, ekstrakurikuler
paduan suara berkumpul untuk latihan di ruang musik. Aku sedikit terlambat karena ada kerja
kelompok Bahasa Indonesia, pada saat aku berjalan ke ruang musik ada seorang perempuan yang
berjalan mendampingiku, ternyata tujuan kita sama yaitu ruang musik. Sesampainya di ruangan,
ternyata teman-teman sedang berdiskusi. aku langsung izin mengikuti diskusi dan duduk
bersebelahan dengan perempuan yang berjalan bersamaku tadi. Dia melihatku dan tersenyum
aku pun membalasnya dengan senyuman.

“Hai, aku nama aku Nisa. Nama kamu siapa?” sapa siswi itu kepadaku.

“Halo, nama aku Anya. Salam kenal Nisa” jawabku.

“Salam kenal juga Anya. Kalau boleh tau, kamu itu salah satu cewe yang tadi pagi di UKS buat
samperin Lula kan ya?” tanya Nisa.

“Eh, kok kamu tau?” tanyaku bingung.

“Iya, aku teman kelasnya Lula, tadi aku ada di UKS dan melihat kamu menghampirinya,
Memangnya kamu kenal sama Lula?” tanyanya lagi.

“Oh, aku teman dekat Lula sudah dari SD, ada apa kamu bertanya seperti itu?” jawabku.

“Tapi, waktu teman-temanku bertanya kepada Lula apakah dia mengenali kalian berdua, Lula
malah menjawab kalau dia tidak kenal kalian” jelas Nisa padaku yang membuat aku sangat
terkejut.

“Bener Lula bilang ke kalian kalau dia tidak mengenal kita?” tanyaku untuk memastikan apa
yang telah dikatakan Nisa kepadaku tadi.

“Iya beneran Anya, ngapain aku bohong. Aku tidak tau apa-apa tentang ini” jawab Nisa.

Setelah mendengar apa yang dikatakan oleh Nisa, aku langsung mengabari Zia lewat pesan teks
di hp ku. Aku meminta Zia untuk bertemu malam nanti di rumahku untuk membahas masalah
ini. Sesampainya aku dirumah, aku masih kepikiran dengan apa yang dikatakan Nisa. aku
bingung dan bertanya-tanya, “Apa benar yang dikatakan Nisa benar? Apa Nisa berbohong
padaku? Apakah Nisa benar-benar tidak tau apa-apa tentang ini?” pikirku tidak karuan. tetapi
pikiranku teralihkan karena aku ingat bahwa Zia akan datang ke rumahku malam ini dan aku
langsung membereskan kamarku.

Sesampainya Zia di rumahku, aku langsung mempersilahkannya untuk masuk dan mengajaknya
ke kamarku. Kamarku adalah tempat ternyaman kami bertiga saat mereka bermain ke rumahku.
Karena kita bisa melakukan apapun yang kita mau, dari menonton film, karaoke, tidur untuk
menghabiskan waktu bersama. Setelah Zia ku ajak masuk, aku langsung memulai percakapan
tentang apa yang dikatakan Nisa tadi sore kepadaku.

“Jadi gimana Nya? Apa yang ingin kamu katakan?” tanya Zia dengan segala keingin tahuannya.
“Jadi gini, tadi waktu aku paduan suara di sekolah aku bertemu teman baru dan ternyata dia
teman sekelas lula.” Jelasku.

“Terus apa masalahnya dengan teman Lula?” tanya Zia lagi kepadaku.

“Masalahnya itu dia bilang ke aku kalau dia tadi juga ada di UKS bersama teman-teman Lula
yang lain dan melihat kita berdua. Tapi ada suatu hal yang membuatku benar-benar kaget.”
jelasku menjawab pertanyaan Zia.

“Apa itu?” tanya Zia dengan raut wajah panik.

“Dia bilang kalau Lula sama sekali tidak mengenal kita, dia benar-benar tidak mempedulikan
kita di sana.” kataku dengan nada kesal dan penuh emosi.

“APA? beneran?” teriak Zia kaget.

“Beneran Zia, buat apa aku membohongimu? kita kan juga sama-sama memiliki firasat yang
sama Zi.” jawabku meyakinkan Zia.

“Wah Lula sudah keterlaluan. Kamu merasa nggak Nya, kalau Lula juga sekarang jarang mau
bergabung dengan kita di sekolah dan dia juga jarang ikut bermain dengan kita.” penjelasan Zia
seolah merasakan hal lain yang berubah pada Lula.

“Oh iya juga ya, aku baru menyadarinya. Sekarang Lula sudah menjadi orang yang sombong, dia
sudah bukan lagi Lula yang kita kenal sedari dulu.” kataku menyadarinya dan membuatku
semakin kesal.

“Lalu apa yang harus kita lakukan Anya?” Zia bertanya dengan perasaan bingung.

“Mau tidak mau kita harus membicarakan masalah ini dengan Lula langsung.” jawabku memberi
saran.

“Ok! Besok kita harus menemui Lula untik bicara tentang masalh ini.” jawab Zia menyetujui
rencanaku untuk membicarakan ini dengan Lula.

Setelah diskusi kami selesai, aku langsung mengirim pesan kepada Lula untuk memintanya
bertemu kami. Dengan alasan ikut makan bersama kami di kantin karena dia sudah lama tidak
bergabung makan bersama dengan kita. Tetapi pesanku tidak mendapatkan balasan darinya. Tapi
aku tetap setia menunggu hingga Lula menjawabnya. Hingga Zia memutuskan untuk pulang ke
rumahnya karena sudah terlalu malam.

Hari ini, hari dimana kita seharusnya bertemu dengan Lula untuk membahas masalah yang
terjadi kemarin. Waktu Istirahat telah tiba. Aku dan Zia pergi ke kantin bersama untuk membeli
beberapa cemilan dan minuman segar di hari yang panas ini. Sembari aku menunggu Zia
membeli minuman, aku menunggunya sambil membuka handphone ku dan memeriksa pesan
teks pada Lula kemarin malam. Tapi nihil, pesanku semalam masih belum ada respon dari Lula.
Disitu aku masih belum berfikir yang tidak-tidak. Tetapi disaat aku mau mencari keberadaan Zia,
pandanganku malah beralih ke arah lain. Disitu ada Lula! Aku melihat dia bersama teman-teman
kelasnya sedang membeli beberapa makanan. Aku menyapanya, tetapi Lula hanya menoleh
kearahku tanpa membalas sapaanku barusan. Sakit sekali rasanya tidak dipedulikan dengan
teman sendiri.

Zia menghampiriku setelah membeli minuman, ia bingung dengan apa yang terjadi. Karena ia
melihatku sedang marah. Lalu ia bertanya padaku.

“Anya, kamu kenapa terlihat sangat marah?” tanya Zia dengan panik.

“Barusan aku melihat Lula bersama dengan teman-temannya di kantin.” jawabku.

“Lalu apa yang membuatmu sampai marah seperti ini?” tanyanya bingung.

“Aku menyapanya tadi, tapi dia tidak memperdulikan aku sama sekali sedangkan dia melihatku
dan dia menyadari bahwa aku menyapanya.” jelasku dengan sangat kesal.

“Apakah Lula sudah membalas pesanmu kemarin malam Nya?” tanya Zia karena Zia masih
belum ku beri tau bahwa Lula sama sekali tidak merespon pesanku kemarin malam.

“TIDAK SAMA SEKALI! Lula sama sekali tidak merespon pesanku, sedangkan dia sudah
membacanya.” jawabku dengan sangat marah dan kesal semua menjadi satu.

“Wah! Keterlaluan sekali Lula, bisa-bisanya dia sesombong itu sekarang. Sampai-sampai kita
teman dekatnya dilupakan karena dia sudah memiliki teman baru.” jawab Zia ikut kesal kepada
Lula.

Kami berdua memutuskan untuk kembali ke kelas kami masing-masing. Kami berdua sangat
marah dengan Lula dan kami memutuskan untuk menemui Lula di rumahnya nanti malam untuk
meluruskan masalah ini.

Aku dan Zia sudah berada di depan rumah Lula. Kami berdua sudah siap untuk berperang
dengannya malam ini. Kami masuk dan disambut oleh Lula dengan sangat sinis dan kami
diajaknya menuju ke taman belakang. Tidak biasanya kami ke taman belakang rumah Lula
malam-malam seperti ini, kita biasanya bermain di kamar Lula. Sepertinya, Lula tau tujuan dari
kedatangan kami berdua malam ini.

“Ada apa kalian kesini malam-malam?” Lula membuka obrolan terlebih dahulu.

“Rasanya lama sekali kita tidak ngobrol lula, kita pengen ngobrol sama kamu. kita nggak ganggu
kamu kan?” tanya Zia dengan nada lembut.

“Menurutmu? Bukankah jam segini waktunya belajar ya?” jawab Lula dengan nada tidak ramah.

“Sepertinya kita perlu ngelurusin sesuatu deh!” sahutku.

“Aduh nggak usah basa-basi, langsung ke intinya aja.” jawab Lula.


“Disini kita butuh penjelasan, kenapa akhir-akhir ini kamu tidak memperdulikan kita? Apa kamu
ada masalah sama kita? Atau kita ada salah sama kamu?” tanya Zia dengan lembut.

“Bukannya kalian ya yang nggak pernah mengajakku? Kalian kemana-mana selalu berdua aja”
jawab Lula membela diri.

“Nggak mengajak? Kita berdua selalu menyapamu tapi kamu sendiri tidak mempedulikan kita.
Kita selalu mengirim pesan teks melalui group chat untuk mengajak bermain dan sekedar
berbagi kabar, tapi kamu tidak pernah merespon kita berdua. Apa itu yang kamu maksud kalau
kita berdua nggak mengajakmu? Atau kamu sendiri yang sudah tidak mau berteman dengan kita
berdua. Kamu selalu bermain dengan teman-teman barumu dan mengatakan kepada mereka
bahwa kamu sama sekali tidak mengenal kita!” jawabku penuh emosi.

“Kamu tau itu dari mana?” tanya Lula panik.

“Oh jadi bener, kamu memang berkata seperti itu kepada teman-teman kelasmu.” jawabku
dengan nada menyindir.

“ANYA CUKUP! Ya benar, memang aku tidak merespon kalian, memang aku tidak
memperdulikan kalian lagi, memang aku dengan sengaja menjauhi kalian, semua yang kalian
katakan semuanya memang benar. Malu rasanya punya teman seperti kalian yang nggak selevel
sama teman-teman sekelasku.” jawab Lula dengan penuh emosi.

“Keterlaluan kamu Lula. Kalau kamu memang tidak mau berteman sama kita nggak apa-apa,
kita juga uda nggak mau peduli lagi sama kamu.” jawabku penuh kecewa.

Aku langsung menarik tangan Zia dan kami pergi keluar meninggalkan Lula sendiri di taman
belakang rumahnya dengan penuh emosi dan perasaan sangat kecewa. Sesampainya dirumah,
aku menangis dengan penuh rasa kecewa. Bagaimana bisa kami berdua sebagai teman yang
selama ini ada untuknya saat suka maupun duka dengan mudahnya dia menyia-nyiakan kami
berdua. Sesak sekali rasanya dada ini semalaman.

Cahaya mentari sudah mulai menerangi kamarku. Berat rasanya raga ini untuk memulai hari,
apalagi melangkahkan kakiku ke sekolah, inginku lewati saja hari ini, dan langsung berganti
esok hari. Tetapi apa boleh buat kedua orang tuaku menginginkanku untuk tetap pergi ke
sekolah. Sesampainya disekolah hatiku sangat hampa seperti tidak ada semangat untuk menjalani
hari ini. Saatku berjalan menuju kelas tak sengaja aku berpapasan dengan Lula, aku tak
memperdulikannya tetapi sepertinya dia melihatku.

Hari ini aku pergi ke kantin sendiri tanpa ditemani oleh Zia seperti biasanya. sesaat aku memesan
makanan, tak sengaja aku bertemu dengan Zia. Zia sepertinya melihatku tak seceria biasanya.
Selesainya aku memesan makanan, aku mencari tempat duduk untuk makan, tak lama Zia
menghampiriku dan meminta untuk makan bersama.

“Anya, apakah kamu baik-baik saja? matamu terlihat bengkak seperti menangis semalaman”
tanya Zia.
“Aku sangat kecewa dan tidak menyangka Lula akan seperti itu kepada kita berdua, aku
menangis semalaman dan tidak bisa menahannya.” jelasku.

“Udah biarkan saja, toh dia juga sudah tidak peduli lagi dengan kita. Mending kita makan saja.”
balas Zia berusaha menenangkan diriku.
Sembari kami menghabiskan makanan kami, kami berencana untuk kembali ke kelas. Tiba-tiba
Lula datang menghampiri meja kami berdua yang tidak tau dari mana asalnya. Ia mengajak obrol
kami, tapi kami tidak mempedulikannya. Tetapi Lula memohon kami untuk mendengarkannya
bicara. Ia ingin meminta maaf atas kejadian buruk yang terjadi di antara kita bertiga kemarin
malam.

“Teman-teman! Aku mau bicara dengan kalian tentang kejadian kemarin.” kata Lula mengawali
obrolan.

“Bicara apa? Untuk apa kamu mau membicarakan masalah ini lagi, bukannya kemarin sudah
membuktikan kamu adalah teman yang munafik.” balasku ketus.

“Anya, nggak boleh bilang seperti itu.” sahut Zia menenangkanku.

“Teman-teman maafkan aku, aku kemarin benar-benar emosi. Aku tidak bermaksud seperti itu.
aku tidak malu berteman dengan kalian, aku hanya gengsi dengan teman-teman baruku. Mereka
hidup dipenuhi dengan kemewahan, sedangkan kita sudah terbiasa hidup sederhana. Aku takut
mereka tidak mau berteman denganku dan aku tidak memiliki teman dikelas.” jelas Lula panjang
lebar.

“Nggak apa-apa Lula, kamu tidak perlu takut, kalau kamu dijauhi mereka toh juga ada kita
disini.” jawab Zia.

“Nggak bisa gitu Zia. Dia sudah mengkhianati kita, bisa-bisanya kamu memaafkan dia semudah
itu.” sahutku ketus.

“Anya, tolong berikan aku satu kesempatan lagi. aku janji tidak akan menjadi Lula yang
sombong lagi.” mohon Lula kepadaku.

“Sudahlah Anya, maafkan saja lula dan beri dia kesempatan sekali lagi, semua manusia yang
hidup didunia ini tidak luput dari kesalahan. Apa ruginya kamu jika memaafkannya? Tidak ada
Anya, yang ada kita bertiga kembali berteman seperti dulu lagi dan menghabiskan waktu
bersama dengan bahagia.” jelas Zia menengahi masalah.

“Iya Anya, aku benar-benar minta maaf aku berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Aku
bersumpah demi persahabatan kita. Apa perlu aku mencium kakimu agar kamu mau
memaafkanku Anya? Tolong Anya maafkan aku.” Lula mulai menangis.

“Halah, omong kosong. Nggak usah pura-pura menangis tuan putri.” jawabku dengan nada
meledek.
“Aku harus apa Anya agar kamu dan Zia mau memaafkanku?” tanya Lula sambil menangis.

“Aku sudah memaafkanmu Lula, kau tak perlu melakukan apa-apa untukku. Kamu mendatangi
kami dan memberikan alasan sudah sangat cukup buatku.” sahut Zia seraya menenangkan Lula
yang tak berhenti menangis.

“Oke aku akan memaafkanmu jika kamu mau mengenalkan aku dan Zia di teman barumu,
gimana sanggup?” balasku meledek.

“Anya kamu jangan berlebihan deh.” sahut Zia.

“Kalau kamu nggak berani ya berarti kamu memang belum benar-benar mengakui kesalahanmu.
maaf ya Lula aku tak percaya lagi padamu.” balasku ketus.

“Oke aku akan mengenalkan kalian ke teman-teman baruku.” sahut Lula .

“Sekarang ya!” balasku menegaskan.

Lula menggandeng tanganku dan Zia menuju ke kelasnya untuk bertemu teman-teman barunya.
Kami langsung masuk ke kelas tanpa permisi menuju ke meja teman-teman Lula.

“Halo guys!” sapa Lula membuat teman-temannya berfokus padanya.

“Halo Lula!” jawab temannya serentak.

“Aku mau ngenalin ke kalian sahabatku dari kecil. Kenalin ini Zia, dia dari kelas IPA 1. Yang ini
Anya, dia dari kelas IPS 1. Mereka yang nyamperin aku di UKS waktu aku pingsan kemarin,
maaf banget guys aku mengaku tidak mengenali mereka. Jujur semata-mata aku takut kalian tak
mau menemaniku lagi karena Zia dan Anya adalah anak yang biasa hidup sederhana tidak seperti
kalian. Aku juga minta maaf ke kalian semua kalau pandanganku terhadap kalian negatif seperti
ini, silahkan jika kalian mau meninggalkanku karena ini, aku ikhlas, terimakasih banyak sudah
menemaniku guys.” jelas Lula sambil menangis.

“Kamu kenapa Lula? kita menemanimu bukan karena kekayaan. Toh uang yang kita pakai,
handphone yang kita pakai dan segala jenis kemewahan kita dari orang tua kita kan? kalau kamu
bertanya aku punya apa? aku tak punya apa-apa.” jawab Nisa menerangkan.

“Terimakasih banyak ya teman-teman kalian sudah mau saling menerima apa adanya.” jawab
Lula terbata-bata sambil menangis.

Pada akhirnya kami semua saling mengenal satu sama lain tanpa memandang adanya perbedaan
diantara kita. Hubungan persahabatan kami bertiga kembali seperti dulu lagi, pertemanan Lula
juga semakin erat seperti pershabatan kami bertiga kepada teman-teman barunya, Lula dan
teman-temannya pun sangat perhatian kepadaku dan Zia. Kami semua pun bisa dikatakan sering
keluar bersama.

Anda mungkin juga menyukai