22c10029 - Luiziao Assen DPL - LEGAL DRAFTING
22c10029 - Luiziao Assen DPL - LEGAL DRAFTING
NIM : 22.C1.0029
B. Saran
1. Naskah Akademik Rancangan Undang-
Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan
Rehabilitasi dibuat dan disusun untuk dapat
dipergunakan sebagai acuan dalam
penyusunan Rancangan Undang-Undang
tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan
Rehabilitasi.
2. Perlu memasukkan Rancangan Undang-
Undang tentang Grasi, Amnesti, Abolisi, dan
Rehabilitasi kedalam Progaram Legislasi
Nasional Prioritas. ( hlm 237 )
Latar belakang RUU GAAR adalah adanya kebutuhan hukum di masyarakat dan keniscayaan
akan solusi hukum yang tepat untuk menjamin rasa keadilan dan sebagai wujud
perlindungan negara kepada warga negara. RUU GAAR ini ialah sebagai upaya merevisi UU
No.5 Tahun 2012 tentang Grasi.
Bila ditelaah lebih lanjut RUU GAAR telah masuk dalam prolegnas sehingga tema Urgensi
Pembentukan RUU GAAR sudah terlewatkan secara substansi. Lagi pula, pada kajian
tersebut belum secara mendalam membahas mengenai pengertian amnesti, abolisi, dan
rehabilitasi serta sejumlah problematika lain yang melingkupinya. Diksi grasi sudah cukup
jelas termaktub pada UU No. 22 Tahun 2002.
Sedikit menengok ke belakang pada tahun 2002 telah ditetapkan UU No. 22 Tahun 2002
tentang Grasi dan UU No. 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2002
tentang Grasi.
Jika dicermati sebagai suatu tataran UU, proses perubahan UU Grasi ini dapat dikategorikan
cepat. Hal ini mengingat pada saat itu terdapat kebutuhan yang mendesak dan penting
secara kenegaraan. Namun, patut disayangkan tidak dibarengi dengan penerbitan
ketentuan turunan yang lebih detail. Bahkan, sampai kini belum terdapat satu pun
ketentuan turunan dari UU Grasi tersebut.
Selama ini fokus Pemerintah dan DPR masih pada UU Grasi, belum pada aturan di
bawahnya. Hal ini dapat dipahami mengingat begitu banyaknya agenda Pemerintah dan DPR
dalam merumuskan peraturan pemerintah yang jauh lebih penting dan mendesak untuk
kemaslahatan bangsa.
Keberadaan UU Grasi yang masih bersifat deduktif, telah menyisakan banyak pertanyaan,
antara lain, jenis tindak pidana atau perkara apa saja yang dapat diberikan grasi; alasan
pemberian grasi; mekanisme dan prosedur pemberian grasi.
Akibat tidak adanya aturan turunan yang rigid, pada implementasi pemberian grasi
menimbulkan beberapa pertanyaan dari publik. Misalnya, pada 1 dasawarsa lalu, pemberian
grasi kepada Corby (WN Australia) dan Peter Grobmann (WN Jerman) yang cukup
kontoversi. Suatu keniscyaan adalah bila UU GAAR telah ditetapkan. Maka, untuk
implementasinya perlu dirumuskan suatu PP. Peraturan pemerintah tersebut nantinya juga
mengatur pemberian GAAR bagi warga negara asing (WNA), sedikit bercermin pada kasus
Corby dan Grobmann.
Di samping itu, pada era ini WNA yang bermukim di Indonesia populasinya makin banyak
dengan intensitas aktivitas yang beragam sehingga terbuka kemungkinan untuk melakukan
pelanggaran yang tidak sesuai dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia yang
pada akhirnya juga dapat mengajukan permohonan GAAR.
Dengan adanya PP tentang GAAR kelak, yang memuat hal-hal yang penting, detail, eksplisit,
dan terang maka dapat meminimalisasi sorotan publik kepada Presiden. Kausanya, Presiden
selalu mengalami sorotan ketika dihadapkan dengan permohonan GAAR, bahkan terkadang
menimbulkan polemik. Bila kelak PP GAAR telah ditetapkan, polemik yang mungkin terjadi
dapat ditekan. Sebagaimana diketahui bahwa perihal amnesti, abolisi, dan rehabilitasi
belum ada UU yang mengatur secara tegas.
Amnesti dapat diartikan sebagai pengampunan atau penghapusan hukuman yang diberikan
kepala negara kepada seseorang atau sekelompok orang yang telah melakukan tindak
pidana tertentu.
Abolisi adalah penghapusan proses hukum seseorang yang sedang berjalan. Abolisi
diberikan kepada terpidana perorangan dan diberikan ketika proses pengadilan sedang atau
baru akan berlangsung.
Adapun definisi rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam
kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat
penyidikan, penuntutan, atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut, ataupun diadili
tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya
atau hukum yang diterapkan.
Oleh karena itu, saat inilah waktu yang paling tepat untuk menggabungkan aturan mengenai
amnesti, abolisi, dan rehabilitasi yang tercerai-berai pada beberapa ketentuan dan ditarik ke
atas secara bersama dengan grasi menjadi UU GAAR.
Pendefenisian dan pengkategorian grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi perlu ditetapkan
secara rigid dan jelas. Hal yang tak kalah penting adalah merumuskan PP yang memuat
setumpuk pertanyaan terkait dengan GAAR. Para pemangku kepentingan dan praktisi
hukumlah yang lebih kompeten untuk mengkaji dan merumuskannya.
Sekarang adalah era keterbukaan informasi, yang berefek pada partisipasi publik yang makin
bermakna dalam perumusan UU dan turunannya.
Agar UU GAAR dan PP GAAR nantinya merupakan produk yang berkualitas, sudah
sepatutnya Badan Keahlian (BK) DPR RI dan Pemerintah bersinergi melakukan kajian daring.
Kajian ini bertujuan memperoleh masukkan terkait dengan muatan RUU GAAR dan naskah
PP GAAR, baik dari para pemangku kepentingan, para praktisi hukum, maupun dari kalangan
akademisi. Memang ini bukan merupakan pekerjaan yang dapat diselesaikan dalam waktu
singkat. Namun, Kemenkumham sebagai salah satu pemangku kepentingan telah memulai
dengan kegiatan Diskusi Publik Penyusunan Naskah Akademik RUU tentang GAAR di Padang
pada medio Mei 2022.
Ini adalah langkah awal yang baik bila dilakukan secara berkesinambungan, terjadwal, dan
tuntas demi membuahkan UU GAAR yang berbobot. Hal lain yang patut ditegaskan juga
yaitu sejauh mana pertimbangan Mahkamah Agung (MA) dalam memberikan masukkan
kepada Presiden terkait dengan grasi dan rehabilitasi.
Demikian juga dengan permohonan amnesti dan abolisi, sampai pada tataran mana
Presiden memperhatikan pertimbangan DPR. Pertimbangan MA dan DPR dapat lebih
dikukuhkan agar dapat ringankan beban Presiden dalam pemberian GAAR. Ihwalnya
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, pastinya memiliki setumpuk
agenda permasalahan yang harus dituntaskan juga.
Meskipun grasi, amnesti, abolisi, dan rehabilitasi adalah kewenangan yudikatif yang dimiliki
Presiden atau hak prerogatif Presiden, implementasinya tetap mempertimbangkan, antara
lain, aspek politik, sosial, dan kemanusiaan demi menorehkan rasa keadilan rakyat.
Tentu saja yang paling utama ialah atmosfer UUD NRI Tahun 1945 tetap mewarnai
keputusan tersebut.