Anda di halaman 1dari 4

MALEM SELIKURAN: TRADISI MALAM 21 HARI BULAN RAMADHAN DI DESA

BAKALAN KECAMATAN PURWANTORO KABUPATEN WONOGIRI


Disusun guna memenuhi Tugas Mata Kuliah Metodologi Studi Islam
Dosen Pengampu: Asep Maulana Rohimat, M.S.I

Disusun oleh:
Putri Handayani (225221010)

PROGRAM STUDI AKUNTANSI SYARIAH


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI RADEN MAS SAID SURAKARTA
2023
Pengertian
Malem selikuran berasal dari bahasa Jawa yang artinya malam dua puluh satu. Malem
selikuran merupakan tradisi dalam budaya jawa untuk menyambut malam Lailatul Qadar
yang menurut ajaran islam terjadi pada tanggal ganjil dimulai pada malam ke- 21 bulan
Ramadhan.
Selikur juga diartikan “sing linuwih ing tafakur” yang mana kalimat tersebut mengandung
perintah untuk lebih giat dalam mendekatkan diri kepada Allah SWT. Tradisi selikuran
dilaksanakan pada sepuluh terakhir bulan ramadhan merupakan malam yang disebut sebagai
Lailatul Qadar. Pada malam tersebut malaikat turun membawa kedamaian, malam yang oleh
al-Qur’an disebut sebagai malam kemulian yang lebih baik dari seribu bulan (QS. al-Qadr
(97): 3).
Sejarah
Tradisi ini sesungguhnya sudah lama muncul seiring dengan masuknya Islam ke Pulau Jawa,
yang dilakukan para Wali Songo dalam dakwahnya dengan menggunakan pendekatan
budaya, yaitu menggunakan budaya Jawa untuk menyampaikan ajaran-ajaran Islam. Asal
mula upacara malam selikuran tradisional diadakan di daerah Yogyakarta Hadiningrat
bermula dari kisah sejarah perjuangan seorang Pangeran Mangkubumi yang bergelar Sultan
Hamengku Buwono I, setelah menjadi raja. Dikisahkan bahwa Pangeran Mangkubumi dan
prajuritnya sudah bertahun-tahun menghadapi perang melawan Kompeni Belanda. Tepatnya,
itu terjadi pada suatu waktu pada bulan Ramadhan, Pangeran Mangkubumi berkata di
hadapan prajuritnya bahwa apabila perjuangannya berhasil, ia bernadzar akan
menyelenggarakan makan bersama mereka.
Akhirnya Pangeran Mangkubumi berhasil dalam perjuangannya, sehingga Pangeran
Mangkubumi kemudian memenuhi nadzarnya dengan cara menyelenggarakan makan
bersama-sama pada waktu berbuka puasa, yang kemudian dilanjutkan dengan tirakatan dalam
rangka menyongsong datangnya Lailatul Qadar atau "malam kemuliaan". Disamping itu
acara ini sekaligus juga dimaksudkan untuk mengadakan puji-pujian memuliakan terhadap
Khalifah Umar, Abu Bakar, Usman dan Ali yang merupakan sahabat-sahabat Nabi besar
Muhammad SAW. Tradisi-ini-diselenggarakan pada bulan Ramadhan tanggal 21, 23, 25, 27,
dan 29 dengan mengambil tern pat di Alun-alun Utara, wetan masjid, ke selatan sampai
Magangan berbentuk segi empat.1
Seiring perjalanannya, banyak warna dan bentuk pelaksanaan malam selikuran ini, misalnya
upacara malam Selikuran yang dilaksanakan masyarakat pedesaan yang akrab dengan adat
Jawa, yaitu masyarakat desa melaksanakan ritual kenduri di rumah setiap keluarga. Kenduri
dengan hidangan nasi dan lauk-pauk yang disebut Rasulan, diadakan pada setiap malam
tanggal ganjil, yaitu tanggal 21, 23, 25, 27, dan berakhir tanggal 29 Ramadan). Ada juga pada
acara selikuran dengan menyalakan lampu lampion (ting) dengan warna-warni disetiap rumah
dan jalan-jalan. Disamping itu, tradisi jaburan juga mewarnai di dalamnya, yaitu upaya
menyediakan konsumsi bagi acara likuran dengan cara gotong royong sistem giliran, dengan
kuantitas dan kualitas jaburan seikhlasnya. Ada juga acara khataman, yaitu sebuah acara do'a
1
Mifedwil Jandra, PERANGKAT/ ALAT-ALAT DAN PAKAIAN SERTA MAKNA SIMBOLIS UPACARA KEAGAMAAN DI
LINGKUNGAN KERATON YOGYAKARTA (Jakarta, 1991), 01.
bersama sebagai tanda selesainya membaca al-Qur’an. Dan masih banyak lagi acara-acara
yang dilakukan pada malam selikuran ini. Tentunya semua kegiatan tersebut sebagai upaya
memperbanyak peribadatan kepada Allah dan penyucian diri.2
Tradisi selikuran ditemukan pada masyarakat desa yang masih memegang adat dan budaya
yang sudah mengakar sejak zaman dulu. Hal demikian karena masyarakat tersebut
merupakan masyarakat yang masih kental dengan berbagai tradisi, adat dan budaya. Tradisi
ini biasanya ditemukan di kampung-kampung pelosok salah atunya di Desa Bakalan.

Desa Bakalan merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Purwantoro, Kabupaten
Wonogiri, Jawa Tengah. Tradisi tersebut juga masih mendarah daging di desa tersebut.
Masyarakat akan melakukan kenduri di rumah setiap warga dengan membuat dan menyajikan
berbagai macam hidangan, yaitu: golong, brok, jenang genep (bubur berjumlah empat dalam
satu piring), sego punar (nasi kuning), jenang kapuronto (bubur dari ketan dan katul), sego
rasul (nasi uduk), ayam ingkung yang dikukus, dan kering tempe. Kemudian dilaksanakan
pembacaan do’a yang dipimpin oleh salah satu toko yang ditunjuk di desa tersebut. Seusai
kenduri, hidangan dibagi rata ke semua orang yang ikut kenduri tersebut. Jadi setiap orang
mendapat berkat dari kenduri sehingga bisa merasakan masakan orang lain meskipun menu
yang disajikan sama. Kenduri dilaksanakan secara giliran dari rumah ke rumah.

Aqidah
Selikuran dalam perspektif Islam adalah berawal dari Rasulullah SAW yang beri’tikaf di
sepuluh hari terkahir bulan Ramadan, dan beliau bersabda:

‫ اْلَتِم ُسْو ا َلْيَلَة اْلَقْد ِر ِفْي اْلِو ْتِر ِم ْن اْلَع ْش ِر‬: ‫َتَح َّرْو ا وفي رواية‬
“Carilah malam Lailatul Qadar di (malam ganjil) pada 10 terakhir bulan Ramadhan” (HR.
Bukhari dan Muslim).

Dari sinilah dapat dipastikan bahwa tradisi Selikuran memang terdapat perpaduan nilai-nilai
Islam melalui budaya Jawa, sehingga akhirnya tradisi ini dilestarikan oleh kerajaan Islam
pada masa itu, dan tetap bertahan hingga hari ini. Seiring perjalanannya, banyak warna dan
bentuk pelaksanaan malam selikuran ini, misalnya malam Selikuran yang dilaksanakan
masyarakat desa Bakalan yang akrab dengan adat Jawa, yaitu melaksanakan ritual kenduri di
rumah setiap rumah warga. Kenduri dengan hidangan nasi dan lauk-pauk yang beragam nama
dan bentuknya, dan diadakan pada setiap malam tanggal ganjil dimulai dari malam 21 dan
berakhir pada malam 29 Ramadhan. Dari arti kata selikur yaitu “sing linuwih ing tafakur”
dimana terdapat perintah beri’tikaf seperti halnya yang dilakukan oleh Rasulullah SAW untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan harapan mampu mendapatkan kemuliaan di
malam Lailatul Qadar tersebut.

Fiqih
Malam selikuran ini merupakan budaya jawa untuk memperingati malam Lailatul Qadar di
10 hari terakhir pada bulan Ramadhan. Tradisi ini sesuai dengan prinsip syariah yang
diajarkan oleh agama Islam. Do’a yang dipanjatkan pun adalah doa keselamatan yang

2
Yahya Ismail, Adat-Adat Jawa Dalam Bulan-Bulan Islam Adakah Pertentangan (Solo: Inti Medina, 2009).
dipimpin oleh salah seorang warga yang suda ditunjuk sehingga tidak ada hal yang melanggar
syariat Islam. Allah berfirman dalam QS. al-Qadr (97): 1-5.

Artinya: “Sesungguhnya kami telah menurunkannya (al-Qur’an) pada malam kemuliaan.


Tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu? Malam kemuliaan itu lebih baik dari pada
seribu bulan. Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan Malaikat Jibril dengan izin
Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit
fajar’’.

Tasawuf

Pendekatan Sosial
Liberalisme dan Fundamentalisme
Islam Moderat

Anda mungkin juga menyukai