Anda di halaman 1dari 7

Potret Sebuah Kota

: Toboali

Angin sakal menjegal kapal-kapal


kandas digiring ke karang runcing

Toboali, kota yang kini tak lagi kukenali


di Simpang Lima ada Kantor Wedana yang dilupa
berjalan gemetar ke arah pasar
potret retro toko-toko Tionghoa dan
wajah kuyu anak-anak Melayu
melangkah ragu ke arah tak menentu
sepanjang jalan berdebu

Pelabuhan tua Sadai kadang disapa badai


nelayan berandai-andai hari esok yang entah
camar-camar enggan hinggap
pada lapuk papan dan besi karatan
yang tak menawarkan apa pun
akar bakau beringsut meninggalkan
Pantai Kelisut yang kusut

Ke arah selatan, ke batas lautan terbentang


meruwat kuburan keramat
awal mula riwayat kota yang pucat.

Yogyakarta, 2020
Toboali dan Apa-Apa
yang Tak Lagi Ada

Hanya batu bisu jadi penanda


pembaringan abadi yang tak lagi dikenali
nisan tak bernama itu kenangan, kuburan segala ingatan
peziarah datang dan berlalu, meninggalkan masa lalu

Kota direka dari tubuh sejarah yang luka


parit-parit dan tambang timah
laut semakin kalut
penambang berdatangan
umpama sekawanan camar lapar
berebut seekor bangkai ikan

Kapal-kapal tak kukenal silih berganti berhenti


anak-anak kumal mengais sisa kolonial yang tertinggal

Aku berdiri di mercusuar dengan kaki gemetar


memandang segala yang samar dan memudar
Toboali tak meninggalkan apa pun, kecuali
pilu yang menikam jantung

Nama-nama serupa jalan panjang


mengantarkan pada banyak kenangan
kukemasi ingatan, barangkali di puisi ini nantinya
seseorang mengerti, tak ada yang sia-sia
meski waktu membikin mati.

Yogyakarta, 2020
Memorabilia Lada

Rindumu makin mendung dan


menggumpal di langit.
Mencurahkan di kota perantauan
sebagai doa. Sepi perjalanan,
kenangan macet, separuhnya menetap
dan lainnya mulai beranjak.

Mata yang basah ini milikmu,


perempuan yang dilanda kemarau dalam hidupnya.
Masihkah matamu menyimpan ingatan kecilku
yang membiru di rimba dan sela-sela rumpun lada.
Musim yang kerontang dan sepi menerpa hari-harimu
di desa.

Ingatan lapuk dan mudah rapuh,


debu kemarau mengaburkan banyak hal,
ranting begitu sepi, ditinggalkan dedaunan.

Banyak hal datang dari masa silam: kebun lada, jalanan berlubang,
rimba, sungai, airmata yang tak diseka.
Di antara belukar aku berjalan dengan getir,
memandangi lubang tambang dan hamparan pasir.
Pedih dan debu memenuhi mata dan rongga dada.
.
Saban hari, kami menuju kebun,
berjalan membelah desa dan rimba.
Parang di pinggang, suyak di punggung.
Merawat rumpun lada, agar debar di dada
tetap nyala. Sulur lada merambati
pancang-pancang yang ditancapkan.

Kami tanam lada


Menyiasati keinginan supaya tak repas,
sekolah ke kota dan jadi sarjana.
Menerka-nerka musim panen yang memerah.
Menghitung bilangan bulan, sembari merapal doa-doa.
Berharap putik kembang jadi buah yang memenuhi karung-karung.
Jari lentik dayang-dayang Melayu tangkas memetik,
Di sini, nasib baik tak jemu diramu.

Kotagede, 2018
Yang Tidak Mereka Bicarakan
Ketika Mereka Berbicara Tentang Cinta

Sauh telah diangkat dan


kita mesti berangkat
Meninggalkan tanah merah
menuju daratan yang entah
di tenggara
ke Sriwijaya kita berniaga.

Musi seumpama matamu


cokelat dan dalam, sukar kuterka isinya
Kususuri tepian, sungai seperti pembatas buku
menandai dan memisah halaman
Menyeberangi Ampera yang menyambung kota
Palembang yang riuh
Perahu yang lelah bersandar di tepian
Alur dan alir menghanyutkan apa saja
ke muara.

Siti Fatimah, wajahmu bulan purnama


mata serupa seribu lampion di malam Imlek
Aku mencintaimu di segala musim
di musim hujan yang tiba-tiba tak reda
di musim kemarau yang tiba-tiba panjang.

Menyaksikan Pulau Kemaro yang sendiri dan lengang


Riwayat Tan Bun An dan Siti Fatimah yang tenggelam, senantiasa
dirawat orang-orang yang menolak lupa soal suratan
Sejarah melumut di dinding Pagoda, lumat oleh waktu
Musim merontokkan dedaunan di halaman Kelenteng Hok Tjing Bio.

Kemaro senantiasa sabar dan berdebar menanti kapal lewat


yang ditambatkan pada pelabuhan
Ingatan tanggal dan sebagian tertinggal
Barangkali, masih ada yang merawat riwayat dan meruwat hayat.

Kotagede, 2019
Batas

hari-hari diberi nama


kota-kota ditandai
batas-batas merentang
dari pangkal sampai seberang

Musi membelah tanah dan hal-hal


yang tak bisa dimiliki
keinginan yang panjang dengan
jangkauan yang pendek

Ampera menjelma tangan


mengulurkan pertemuan
menyingkat jarak, sesuatu yang kelak
disebut rindu

selat-selat telah dilintasi


begitu pula sepi
mengapa orang-orang terpaku
masa lalu dan tidak melaju ke masa depan?

jalan-jalan bercabang
menciptakan persimpangan
dan perpisahan
riwayat dicatat petualang pucat
yang lupa jalan pulang

seseorang, mungkin dia mungkin kau


bakal melambaikan tangan
melangkah tak searah.

Yogyakarta, 2021-2022
Menjadi Tiada

Menyelami kalut laut


matahari tergelincir pinggir Jakarta
pelabuhan sepi menutup diri
rumah-rumah basah kuyup
gagal menakar dan mengukur luapan tinggi air
musim hujan

Sampan tanpa nelayan


batu-batu bisu
seorang menebar jala
tak mendapati apa-apa, kecuali dirinya sendiri

seorang lain melempar mata


pancing lalu hening
menyisir pesisir
sunyi berdesir

cahaya jatuh di atap


dada megap-megap.

Jakarta, 2020
Bong

Menyingkir ke pinggir rel kereta


gigil kerikil dan debu tengah malam
angin dingin menjelang kemarau
remang mata bulan lampu pun padam

sunyi tegak puncak dini hari


malam kusam menyelinap ke balik dinding
pekat keringat bau apak melekat
pada bantal dan apa-apa yang kita kenal
di bong, apa saja yang mekar dan tumbang?

kau dapati mata-mata mencari cinta sepi


terlindas panas siang hari
rel jadi urat nadi, denyut hidup dinyalakan malam
kita jabat sepakat, mata sama ngerti betapa ngeri sendiri
sungguh, perempuan, kau sunyi tak teratasi.

Yogyakarta, 2020

Anda mungkin juga menyukai