Kasus Pidana Kelompok 11
Kasus Pidana Kelompok 11
Di susun Oleh :
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Segala puji bagi Allah yang
menguasai alam semesta. Sholawat serta salam semoga tetap tercurah kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW berserta sahabat dan keluarganya. Puji dan syukur kehadirat Allah
SWT yang telah melimpahkan segala rahmat-Nya serta atas izin-Nyalah akhirnya kami dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul “Hapusnya Kewenangan Menjalankan Tindak
Pidana Akibat Pemberian Grasi Bagi Antasari Azhar Terpidana Kasus
Pembunuhan Berencana” tanpa ada kendala.
Namun makalah ini tidak akan terselesaikan tanpa adanya bantuan dari berbagai pihak yang
berkenan membantu kami menyelesaikan makalah ini. Oleh karena itu, dengan selesainya
makalah ini rasa terima kasih yang tulus dan rasa hormat kami sampaikan kepada :
1. Orang tua yang selalu memberikan doa dan restu.
2. Ibu Briliyan Erna Wati, S.H, M.Hum Selaku dosen pengampu mata kuliah Hukum
Pidana
3. Teman-teman yang telah memberikan dukungan dan semangat.
4. Semua pihak yang bersangkutan dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena
itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan. Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi para pembaca dan semua pihak yang membutuhkannya.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
1
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cetakan ke-6, Aksara Baru, Jakarta, 1986, h.31
1
ayat (3) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi bahwa permohonan grasi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Sehingga secara tegas dan
pasti dalam asas ( lex stricta, lex scripta, lex certa ) grasi hanya dapat diajukan 1 (satu)
kali saja.
Berdasarkan dari persoalan yang telah di jelaskan, maka kami tentang grasi
yang diajukan lebih dari 1 (satu) kali oleh Antasari Azhar dalam makalah yang berjudul:
“HAPUSNYA KEWENANGAN MENJALANKAN TINDAK PIDANA AKIBAT
PEMBERIAN GRASI BAGI ANTASARI AZHAR TERPIDANA KASUS
PEMBUNUHAN BERENCANA”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah tertulis diatas, maka penulis dapat merumuskan
beberapa rumusan masalah yang akan dibahas dalam materi ini, diantaranya rumusan
masalah yaitu :
1. Bagaimana analisis hukum terhadap tindak pidana pembunuhan berencana yang
dilakukan Antasari Azhar ?
2. Bagaimana analisis pemberian grasi kepada antasari azhar terpidana
pembunuhan berencana ?
3. Bagaimana keabsahan pemberian grasi Antasari Azhar apakah sesuai dengan
Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2010 perubahan UU Nomor 22 Tahun 2002
Tentang Grasi ?
C. Tujuan
Dari rumusan masalah yang telah dirangkai di atas maka tentunya harus ada tujuan
penelitian yang mana hal tersebut memberi jawaban atas rumusan masalah yang telah
ditentukan, beberapa diantaranya adalah :
1. Untuk mengetahui putusan hukum terhadap tindak pidana pembunuhan
berencana yang dilakukan Antasari Azhar
2. Untuk mengetahui tentang grasi dan pemberian grasi oleh Presiden kepada
Antasari Azhar terpidana pembunuhan berencana
3. Untuk mengetahui keabsahan pemberian grasi Antasari Azhar apakah sesuai
dengan Pasal 2 ayat (3) UU Nomor 5 Tahun 2010 perubahan UU Nomor 22
Tahun 2002 Tentang Grasi.
2
BAB II
PEMBAHASAN
1. Identitas Pelaku
2. Duduk Perkara
3
memberi saksi Rani Juliani uang sejumlah US$. 300 dan memeluknya, serta
mengajak bersetubuh. Ajakan tersebut ditolaknya dengan mengatakan “lain kali
saja pak”, kemudian terdakwa mencium pipi kiri dan kanannya.
c. Bahwa setelah dihubungi Terdakwa bersedia bertemu korban ditempat yang
sama, korban menuju hotel dan meminta saksi Rani Juliani untuk mengaktifkan
HP nya supaya bisa mendengarkan pembiacaraan. Disela pembicaraan,
Terdakwa meminta saksi Rani Juliani untuk memijat punggungnya, saat sedang
dipijat terdakwa membalikkan tubuh dan terus menjamah tubuh saksi Rani
Juliani.
d. Bahwa sebelum pulang terdakwa memberi uang kepada saksi Rani Juliani
sebesar US$ 500 dan ketika akan keluar kamar tiba-tiba korban masuk dan
marah, kemudian menampar pipi saksi Rani Juliani. Setelah tenang, korban
mengajak saksi Rani Juliani pulang dan keesokan harinya korban meminta
pengakuan saksi Rani Juliani dibawah Al-Qur’an untuk menceritakan semua
apa yang terjadi di kamar nomor 803 Hotel Grand Mahakam. Setelah
mengetahui perbuatan terdakwa terhadap saksi Rani Juliani, pada kurun waktu
bulan Juni 2008 sampai dengan Desember 2008, korban menggunakan
kesempatan tersebut untuk menemui Terdakwa dikantornya sebanyak 5 kali.
e. Bahwa pada bulan Desember 2008, terdakwa menerima SMS dari korban yang
isinya bahwa terdakwa melakukan pelecehan seksual terhadap istri korban, dan
terdakwa tidak terima dituduh seperti itu, kemudian meminta korban untuk
datang ke kantornya. Karena keinginan korban tidak terpenuhi, korban
mengancam akan mempublikasikan perbuatan terdakwa terhadap istrinya ke
media dan akan mengadukan kepada DPR.
f. Bahwa pada saat pergantian tahun baru 2009 di Bali, istri terdakwa (saksi Ida
Laksmiwati, SH) menerima telepon dari seseorang yang mengatakan bahwa
suaminya tidur bersama perempuan lain. Mendengar ancaman dan teror tersebut
terdakwa merasa takut dan panik dan menduga bahwa orang yang meneror
tersebut adalah korban, kemudian saksi Sigit Haryo Wibisono diminta
membantunya mengatasi teror korban dengan mengamankan atau
menghabisinya,
g. Bahwa pada awal bulan Januari 2009, terdakwa bertemu dengan saksi Sigit
Haryo Wibisono dan saksi Kombes Pol. Drs. H. Chairul anwar. MH dirumah
saksi Sigit Haryo Wibisono, membicarakan tentang teror yang dialami
4
keluarganya dan pemerasan yang dilakukan korban terhadapnya. Kapolri
membentuk Tim yang diketuai oleh Kombes Pol. Drs. H. Chairul Anwar, MH
untuk melakukan tugas penyelidikan dan hasil penyelidikannya diberitahukan
kepada terdakwa, telah diperoleh foto korban, foto mobil yang biasa
digunakannya, alamat rumah, serta alamat kantor.
h. Informasi diperoleh terdakwa, bahwa saksi Rani Juliani bukan istri korban dan
korban sebagai pengguna narkoba. Tim melakukan penggerebekan dii salah satu
kamar hotel tempat korban dan melakukan razia narkoba. Karena tidak
ditemukan perbuatan pidana yang dilakukan oleh korban, tim yang dibentuk
kapolri menyarankan kepada terdakwa untuk membuat laporan polisi, namun
tidak disetujui dengan alasan privasi karena dirinya sebagai ketua KPK. Selain
meminta bantuan Kapolri, terdakwa juga memerintahkan stafnya yaitu Budi
Ibrahim dan saksi Ina Susanti untuk melakukan pelacakan dan penyadapan
nomor HP yang masuk ke HP istrinya. Terdapat 4 nomor telepon dan 2
diantaranya adalah milik korban.
i. Bahwa saksi Sigit Haryo Wibisono terus didesak terdakwa untuk membantu
menghabisi korban dengan menjadikan korban sebagai tersangka dalam perkara
korupsi oleh KPK, menjadikan korban sebagai korban perampokan yang akan
dilakukan oleh TKI. Saksi Sigit Haryo Wibisono menghubungi Kombes Pol.
Drs. Wiliardi Wizar dan menyampaikan permasalahan yang dialami terdakwa.
j. Bahwa pertemuan terdakwa dengan Kombes Pol Drs. Wiliardi Wizar akan
membicarakan kenaikan pangkat dan jabatannya dengan Kapolri dan saksi
Kombes Pol Drs. Wiliardi Wizar akan mencari orang yang bisa menghabisi
korban.
k. Bahwa pada tanggal 1 Februari 2009 saksi Kombes Pol Drs. Wiliardi Wizar
menghubungi dan mendatangi saksi Jerry Hermawan Lo di kantornya. Pada
pertemuan tersebut saksi Kombes Pol Drs. Wiliardi Wizar menyerahkan foto
korban, foto mobil, alamat rumah dan kantor korban. Saksi Jerry Hermawa Lo
menghubungi dan meminta saksi Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo untuk
bersedia bertemu dengan saksi Kombes Pol Drs. Wiliardi Wizar untuk datang
kerumahnya. Setelah bertemu dan melakukan pembicaraan untuk menghabisi
korban, saksi Edo meninggalkan rumah saksi Jerry Hermawan Lo lalu
menghubungi saksi Hendrik dan menyampaikan adanya perintah untuk
menghilangkan nyawa korban.
5
l. Bahwa pada bulan Maret 2009, saksi Kombes Pol Drs. Wiliardi Wilzar
menemui saksi Sigit Haryo Wibisono di Kantor Pers Indonesia Merdeka untuk
meminta dana operasional melaksanakan menghabisi nyawa korban sebesar Rp.
500.000.000,-. Setelah menerima dana operasional, saksi Kombes Pol. Drs.
Wiliardi Wizar menemui Saksi Edo lalu menyerahkan uang sebesar Rp.
500.000.000,- untuk biaya operasional. Pada malam itu juga, saksi Edo bertemu
dengan saksi Hendrik di McD tebet dan menugaskan agar menghabisi korban
namun uang yang diambil hanya Rp. 100.000.000,-.
m. Bahwa saksi Kombes Pol Drs. Wiliardi Wizar menghubungi saksi Edo dan
menegaskan kembali bahwa tugas menghabisi korban benar-benar tugas negara
dan pelaksanaannya jangan sampai lewat Pemilu Legislatif 2009, dan jika
berhasil maka pangkat dan karirnya akan naik. Saksi Edo mengatakan bahwa
dna operasional yang telah diterimanya sudah diserahkan kepada seorang
pelaksana dilapangan. Saksi Hendrik menghubungi dan mengajak saksi Amsi,
Bagol, dan Danil untuk menghabisi nyawa korban dengan dalih pekerjaan
tersebut adalah tugas negara. Apabila berhasil maka saksi Amsi memperoleh
imbalan sebesar Rp. 50.000.000, saksi Bagol sebesar Rp. 70.000.000, dan saksi
Danil sebesar Rp. 75.000.000. Atas ajakan tersebut mereka bersedia untuk
menghabisi nyawa korban.
n. Bahwa dengan adanya foto korban, foto mobil sedan BMW silver No. Pol B
191 E dan dana operasional telah diterima, serta perencanaan dan persiapan
untuk menghabisi korban telah matang, pada hari Sabtu, 14 Maret 2009 sekitar
jam 14.20 Wib. Ketika korban berada di mobil yang dikemudikan oleh saksi
Suparmin, laju kendaraannya dihalang-halangi mobil Toyota Avanza yang
dikemudikan oleh Amsi, dan saat mobil korban berjalan pelan, sepeda motor
Yamaha Scorpio yang dikendarai saksi Bagol dengan memboncengi saksi Danil
bergerak mendekat samping kiri mobil BMW yang dinaiki korban. Kemudian
saksi Danil mengarahkan senjata api jenis Revolver tipe S & W caliber 38 yang
telah dipersiapkannya kearah samping kiri belakang mobil korban yang searah
dengan kepala korban lalu menembak sebanyak 2 kali, hingga peluru
menembus kaca pintu mobil dan kena tepat di kepala korban.
o. Bahwa atas penembakan yang dilakukan saksi Danil menyebabkan korban
NASRUDIN ZULKARNAEN ISKANDAR meninggal dunia sebagaimana
diterangkan dalam Visum Et Repertum Nomor 1030/ SK. II/ 03/ 2-1009 tanggal
6
30 Maret 2009 yang ditandatangani oleh Dr. Abdul Mun’im Idries, SpF dokter
pemerintah pada Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo.
3. Pertimbangan Putusan
8
h. Surat Perintah Penyelidikan No.13C/01/XI/2008 tanggal 10 Nopember
2008, surat Perintah Penyadapan No.1B/01/22/I/2009 tanggal 6 Januari
2009, surat Perintah Penyadapan No.18/01/22/I/2008 tanggal 6 Februari
2009.
i. 3 (tiga) lembar Chart pecakapan Handphone tertanggal 8, 9 dan 12 Januari
2009. Permintaan CDR, SMS dan data pelanggan No. R- 43
0023/32/I/2009 tanggal 6 Januari 2009 periode untuk tanggal 3 Januari
2009.
j. Permintaan CDR, SMS No. R-0110/32/1/2009 tanggal 9 Januari 2009
periode untuk tanggal 1 Januari 2009 s/d 9 Januari 2009. Permintaan data
Pelanggan No. R-0024/32/I/2009 tanggal 6 Januari 2009 untuk No. HP
081381202747, 081311695795 dan 0811978245. Permintaan data
Pelanggan No. R-0024/32/I/2009 tanggal 6 Januari 2009 untuk No. HP
0818883155.
k. Dikembalikan kepada saksi Budi Ibrahim 1 (Satu) buah flashdisk merk
MY FLASH warna hitam dan putih kapasitas 2GB. 1 (satu) buah
Flashdisk merk Kingston warna hijau dan putih kapasitas 2GB. 1 (Satu)
buah flashdisk merk Nexus warna biru muda kapasitas 1 GB, 1 (Satu)
buah flashdisk merk Kingstone warna hitam; Dikembalikan kepada saksi
Setyo Wahyudi. 1 (Satu) buah HP merk Nokia Type 6300 C berikut
Simcard 0818777889 2 (dua) unit HP Nokia type 6275i.
l. 1 (Satu) unit HP Black Berry warna hitam, 1 (Satu) buah HP Nokia E.90
dengan ID Card 0811175211, 1 (Satu) unit HP merk Nokia type 6235
berikut Simcard. 1 (Satu) buah HP Nokia E.90 dengan nomor
0818736666, 1 (Satu) unit HP Fren ZTE type C330 Nomor 08889656751,
1 (Satu) unit HP merek Nokia type 6275i nomor 08889968899, 1 (Satu)
HP Black Berry type 8310, 1 (Satu) unit HP Nokia type 6800, 1 (Satu) HP
CDMA merk Nokia Type 2228, 1 (Satu) buah Simcard Esia No. 021-
97361984, 1 (Satu) buah carger Nokia.
m. 1 (Satu) buah printer merk HP PhotoSmart C. 6180 All-in-One dirampas
untuk Negara, 1 (Satu) lembar amplop putih bertuliskan no HP
08121050456, 0818883155, 081381202747, 081311695795, dan
0811978245, 1 (Satu) buah amplop besar warna coklat kosong, 1 (Satu)
lembar print out (area parkir Bowlling Ancol) kendaraan B 8214-QD, 1
9
(Satu) lembar foto copy 44 email INA SUSANTI kepada BUDI
IBRAHIM tanggal 20 Januari 2009 Jam : 12.39 PM serta balasan dari
BUDI IBRAHIM kepada INA SUSANTI tanggal 20 Januari 2009 jam
19:51 dengan subjek batu sari. 1 (Satu) buah alat rekam dengan panjang,
lebar, warna hitam sesuai dengan foto.
n. 1 (Satu) buah alat rekam dengan panjang/lebar, warna merah merk
CREATIVE Type MUVO N.200 1 GB sesuai dengan foto;- Dirampas
untuk dimusnahkan. 1 (satu) buah mobil sedan BMW warna Silver No.
Pol. B-191-E. 1 (satu) tas warna coklat gelap merk Bally. 1 (satu) buah
Handphone Merk Blackberry. 1 (satu) buah Handphone merk Nokia E.90,
1 (satu) buah Handphone merk Nokia 623, 1 (satu) buah Handphone
CDMA Fren. 1 (satu) buah Handphone merk Nokia 5250.
o. 1 (satu) celana panjang jeans (milik korban Nasrudin Zulkarnaen yang
dipakai saat terjadi penembakan di Jl. Hartono Raya Modernland
Tangerang. 1 (satu) unit mobil Avanza No. Pol. B/8870-NP warna silver
tahun 2005 Noka MHFFMRGK35KO39959 Nosin DA60752. 1 (satu)
lembar STNK an. BUSMANTO SATYO alamat Jl. Panglima Polim
No.127-A3 Rt. 8/1 Jakarta Selatan.
p. 1 (satu) buah buku daftar Nomor Polisi yang keluar masuk dilapangan
parkir Modernland Tangerang. 1 (satu) buah Kompor Gas merk RINAI, 1
(Satu) unit HP merk MITO warna hitam dan 2 Simcard, 1 (satu) dompet
warna hitam berisi uang tunai Rp. 2.600.000, 1 (satu) unit HP merk Sony
Ericson dan Simcard, 1 (satu) dompet berisi uang Rp. 300.000,
q. 1 (satu) sepeda motor Yamaha Scorpio No. Pol. B-6862-SNY warna hitam
tahun 2008 Noka : MH35BP0068K110463, 1 (satu) lembar STNK No.
Pol. B-6862-SNY atas nama Risty. Primasty alamat Jl. Jambu Kalibata
Indah U/26 Rt. 014/06 Jaksel, 1 (satu) buah Helmet warna merah maron
dengan pelindung mika warna 45 gelap dan ada stiker dibagian belakang
tertulis WTM Helmet, 1 (satu) unit HP Nokia Type 2600 nomor
981213397901.
r. 1 (satu) unit Yamaha Jupiter MX No.Pol B 6081 BVG warna abu-abu
tahun 2009 Noka: MH31S70059K500121 Nosin: 1S7499348, 1 (satu)
lembar STNK No. Pol B-6081-BVG an. Fransiskus T. Kerans alamat Jl.
Sanat Dalam Rt. 03/03 Tangki Jakarta Barat. Uang tunai 74.000.000, 1
10
(satu) buah dompet berisi uang Rp. 1.278.000, 1 (satu) unit HP Fren warna
silver dan 2 (dua) buah kartu (Esia dan Simpati), 1 (satu) unit sepeda motor
Yamaha Mio berikut STNK No. Pol. B-6118 SSE, 2 (dua) butir anak
peluru.
s. 1 (satu) pucuk senjata api jenis Revolver, merk S & W 6 (enam) silinder
berikut peluru sebanyak 27 (dua puluh tujuh) butir dan 2 (dua) selongsong
peluru. 1 (satu) buah proyektil peluru; Sebuah serpihan/pecahan anak
peluru; Dipergunakan dalam perkara Eduardus Noe Ndopo Mbete alias
Edo.
11
Presiden. Grasi, pada dasarnya, pemberian dari Presiden dalam bentuk
pengampunan yang berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan putusan kepada terpidana. Dengan demikian, pemberian grasi bukan
merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian
terhadap putusan hakim.
Pemberian grasi bukan merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
yudikatif, melainkan hak prerogatif Presiden untuk memberikan ampunan. Kendati
pemberian grasi dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan
kewajiban menjalani pidana yang dijatuhkan pengadilan, tidak berarti
menghilangkan kesalahan dan juga bukan merupakan rehabilitasi terhadap
terpidana. Grasi ini di atur dalam beberapa Undang- Undang di Indonesia, di
antaranya :
1) Undang- Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi
2) Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang- Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi;
3) Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-XIII/2015 tanggal 15 Juni
2016
4) Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 213/KMA/SK/XII/2014 tentang
Pedoman Sistem Kamar pada Mahkamah Agung
Hapusnya hak Negara untuk menjalankan pidana oleh sebab grasi ditentukan
oleh Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang rumusan lengkapnya (setelah di amandemen)
ialah Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung.”2 Perubahan mengenai kekuasaan Presiden termasuk prioritas
dalam agenda Perubahan UUD 1945, tak terkecuali Pasal 14. Finalisasi pembahasan
Pasal 14 tersebut kemudian disampaikan dalam Rapat BP MPR, Rapat Paripurna SU
2
Sekretariat Jendral MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
(1999-2002) Tahun Sidang 1999 (Jakarta, Sekretaris Jendral MPR RI, 2008), hlm.64.
13
MPR, dan terakhir dalam Rapat Pleno Komisi C MPR. Maka, rumusan Pasal 14
UUD NRI 1945 adalah sebagai berikut:
1) Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan
Mahkamah Agung;
2) Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan
Dewan Perwakilan Rakyat.
Dengan tujuan pemberian pertimbangan tersebut akan meningkatkan peran
lembaga yudikatif dan legislatif dalam menjalankan mekanisme checks and balance,
namun tidak mengurangi kekuasaan Presiden.
Melihat dari penjabaran dari alasan umum pemberian grasi di atas, dilansir
pada hukum online.com, pemberian grasi kepada Antasari Azhar oleh presiden yakni
atas pertimbangan mendalam dari Mahkamah Agung (MA), lembaga yang memiliki
kewenangan tertinggi dalam sistem peradilan negara. Selain itu, proses pengambilan
keputusan grasi ini juga dipengaruhi oleh sejumlah pertimbangan lain yang menjadi
poin-poin krusial dalam menyusun langkah-langkah menuju keputusan yang adil.
Berbagai pertimbangan yang menjadi landasan bagi pengabulan grasi ini
melibatkan pertimbangan-pertimbangan etis, hukum, dan sosial yang tidak dapat
diabaikan. Keputusan ini bukan semata-mata mengandalkan satu faktor, tetapi
merupakan hasil dari analisis komprehensif terhadap kondisi dan situasi yang
melibatkan Antasari Azhar. Dalam proses ini, Mahkamah Agung memainkan peran
kunci dengan menyajikan argumen dan pemaparan yang kuat, memberikan fondasi
yang kokoh untuk pemahaman Presiden Joko Widodo .
C. Keabsahan Pemberian Grasi Antasari Azhar apakah sesuai dengan pasal 2 ayat
3 UU Nomor 5 tahun 2010 perubahan UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi.
3
Undang-undang No. 5 Tahun 2010 junto Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang grasi.
14
abolisi,dan amnesti guna mengoreksi ketidakadilan yang muncul dari putusan
pengadilan terhadap tindak pidana yang sudah terbukti dalam proses peradilan
sebelumnya. Namun, dalam sistem presidensil, tidak ada perbedaan antara kedua
jabatan tersebut, sehingga kewenangan ini dianggap ada pada Presiden yang bertindak
sebagai Kepala Negara dan kepala pemerintahan sekaligus. Hanya saja untuk
membatasi penggunaan kewenangan tersebut, presiden sebelum menentukan
pemberian grasi, amnesti dan abolisi diharuskan mendapatkan pertimbangan dari
Mahkamah Agung dan Dewan Pertimbangan Rakyat.
Kewenangan Presiden memberikan grasi merupakan hak kepala negara yang
memungkinkannya memberikan pengampunan kepada terpidana dengan pertimbangan
dari Mahkamah Agung. Pemberian grasi adalah intervensi Presiden dalam sistem
yudisial, berupa hak negara untuk memberikan pengampunan, mengubah, meredakan,
mengurangi, atau menghapuskan hukuman yang diberikan kepada seseorang, tanpa
mengubah kesalahan yang dilakukan. Ini bukan masalah teknis hukum peradilan dan
tidak terkait dengan penilaian atas keputusan hakim. Pemberian grasi adalah hak
prerogatif Presiden yang diwujudkan dalam Keputusan Presiden.
Pengaturan terkait pemberian grasi oleh Presiden terdapat pada pasal 14 ayat 1
UUD 1945, dan UU Nomor 22 Tahun 2002 jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang
perubahan atas UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi, bahwa mengatur mengenai
prinsip umum grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Salah
satunya mengatur pembatasan permohonan grasi hanya dapat diajukan I (satu) kali.
Grasi diberikan dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU No 5 Tahun
2010 tentang Grasi bahwa ditujukan kepada terpidana yang memperoleh kekuatan
hukum tetap terhadap yang kenakan sanksi pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Selain itu permohonan grasi diajukan
oleh kuasa hukum, terpidana, atau keluarga terpidana kepada Presiden. Permohonan
grasi dapat diajukan Cuma 1 (satu) kali saja sesuai pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah diterima pengadilan
yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.'” Kemudian dikirimkan kepada
Mahkamah Agung agar dilakukan pertimbangan hakim Mahkamah Agung. Setelah
mendapat pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden dapat memberikan keputusan
bahwa permohonan grasi dapat menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka waktu
pemberian atau penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
15
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.”
Ketentuan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa, Presiden berhak
mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hak
Presiden untuk mengabulkan atau menolak permohonan grasi disebut dengan hak
prerogatif Presiden, yang mana hak Prerogatif tersebut merupakan hak khusus yang
diberikan oleh konstitusi kepada Presiden. Kemudian Presiden berhak untuk
mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang di sebut hak prerogratif Presiden
yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden.4
Pertimbangan pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi,
mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Faktor Keadilan.
2. Faktor Kemanusiaan.
Pada dasarnya grasi merupakan pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelakasanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
oleh Presiden. Menurut Jimly Asshiddige, grasi merupakan kewenangan presiden yang
bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan
pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan ataupun
menghapuskan hukuman yang terkait dengan kewenangan peradilan.5 Menurut Rudy T
Erwin, JCT Simorangkir, dan JT Prasetyo, dalam kamus hukum bahwa grasi adalah
wewenang dari kepala negara untuk memberikan pengampunan terhadap hukuman
yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan seluruhnya, sebagian atau
merubah bentuk dan sifat hukuman itu. 6
Grasi diberikan dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU
No.5 Tahun 2010 tentang Grasi bahwa ditujukan keapda terpidana yang memperoleh
kekuatan hukum tetap terhadap yang kenakan sanksi pidana mati, pidana penjara
seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Selain itu permohonan
grasi diajukan oleh kuasa hukum, terpidana, atau keluarga terpidana kepada Presiden.
4
Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia Berdasarkan UUD 1945 h.
9
5
Jimly Ashiddieqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraa Mahkamah
Konstitusi R.I., 2006), h. 175-176
6
JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara. 1995), h. 58
16
Permohonan grasi dapat diajukan Cuma 1 (satu) kali saja sesuai pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah diterima pengadilan
yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.7 Kemudian dikirimkan kepada
Mahkamah Agung agar dilakukan pertimbangan hakim Mahkamah Agung. Setelah
mendapat pertimbangan Mahkamah Agung, Presiden dapat mernberikan keputusan
bahwa permohonan grasi dapat menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka waktu
pemberian atau penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.” 8
Setelah permohonan kasasi ditolak sesuai putusan Mahkamah agung Nomor
1429/k/Pid/2010. Antasari Azhar mengajukan peninjauan kembali (PK) dan
permohonan peninjauan kembali tersebut ditolak sesuai dengan Putusan No. 117
PK/PID/2011 pada rapat permusyawaratan Mahkamah Agung hari Senin, 13 Februari
2012 diketuai oleh hakim DR. harifin A. Tumpa, SH.MH.
Kemudian Antasari Azhar mengajukan permohonan grasi pada tanggal 1 Mei
2015 kepada Presiden dan langsung ditolak permohonan grasi tersebut melalui
Keputusan Presiden Nomor 27/G Tahun 2015 tanggal 27 Juli 2015. Penolakan grasi
tersebut karena pemohon grasi tidak memenuhi syarat formil yang diatur dalam pasal
7 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 2010 tentang grasi yang berbunyi : Permohonan grasi
sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sedangkan permohonan grasi
tersebut diajukan setelah empat tahun sejak putusasn berkekuatan hukum tetap.
Kemudian keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUUXII1/2015
pada 15 Juni 2015 yang menyatakan tidak berlaku dan tidak mempunyai kekuatan
hukum mengikat pada pasal 7 ayat 2 UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi, sehingga
pemohon dapat mengajukan permohonan grasi dengan berbagai pertimbangan.
Kemudian Antasari Azhar mengajukan grasi kembali 8 Agustus 2016 dan permohonan
grasi tersebut disetujui oleh Presiden Jokowi Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017
dengan pertimbangan Mahkamah Agung yang menyetujui grasi tersebut.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk
7
Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
8
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
17
mengabulkan permohonan terpidana dengan pertimbangan diantaranya bahwa
pemohon pernah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden dan ditolak. Hasil
keputusan Presiden bahwa hasil pengurangan jumlah pidana selama 6 tahun sehingga
hukuman pidana penjara yang diajtuhkan kepada terpidana dari pidana penjara 18 tahun
menjadi pidana penjara selama 12 tahun.
Berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 2010 perubahan atas UU
nomor 22 tahun 2002 tentang grasi yaitu permohonan grasi sebagaimana dimaksud
pada ayat 1 hanya dapat diajukan 1 (satu) kali sesuai dengan asas (lex scripta, lex certa,
lex stricta) grasi hanya dapat diajukan 1 kali saja.9 Sedangkan Antasari Azhar sudah
dua kali mengajukan permohonan grasi, yang pertama ditolak dan yang kedua
dikabulkan. Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori bermakna Undang-Undang yang
lebih tinggi meniadakan keberiakuan Undang-Undang yang lebih rendah. Keputusan
tersebut sangat bertentangan dengan aturan positif pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun
2010 perubahan UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi. Sehingga terdapat cacat
yuridis dan tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam Keputusan Presiden Nomor
1/G/2017.
Berdasarkan putusan diatas grasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada
Antasari Azhar berdasarkan keputusan Presiden Nomor 1/G//2017 sangat bertentangan
dengan pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2010 perubahan UU Nomor 22 tahun 2002
Tentang Grasi. Sehingga secara hukum cacat yuridis dan tidak memenuhi asas
kepastian hukum dalam Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017. Karena grasi merupakan
hak prerogatif Presiden sebagaimana diatur dalam pasal 14 UUD 1945, yang berbunyi,
Presiden memberi grasi, rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Grasi bersifat pengampunan
berupa pengurangan pidana atau pengahapusan pelaksanaan pidana yang telah
diputuskan dan berkekuatan hukum tetap. Namun, meskipun grasi merupakan hak
prerogatif Presiden, ada mahkamah agung yang juga perlu memberikan nasihat hukum
kepada Presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian atau penolakan grasi.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 sebagaimana yang telah
berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi, bahwa grasi
adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau pengahapusan
9
Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol. 1 No. 1 Juni
2017 h.3.
18
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Kemudian jenis
yang berikan grasi kepada terpidana mati, tepidana penjara seumur hidup, dan pidana
penjara minimal 2 tahun. Sebagaimana yang dikatakan Jimly Asshiddige, bahwa grasi
merupakan kewenangan Presiden yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan
keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan yaitu mengurangi hukuman,
memberikan pengampunan, ataupun mengahapuskan tuntutan yang terkait erat dengan
kewenangan peradilan.
Adapun keputusan Presiden Nomor 1/G//2017 yang mempunyai hak prerogatif
ketika mengabulkan permohonan grasi terhadap Antasari Azhar. Keputusan tersebut
sangat bertentangan dengan aturan positif pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2010
perubahan UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi yang secara formil tidak sah karena
melebihi permohonan grasi, yang permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.
Sehingga terdapat cacat yuridis dan tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam
Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017.
19
KESIMPULAN
Terdakwa Antasari Azhar telah sah dan resmi menerima pengurangan waktu
hukumannya. Awalnya, terpidana tersebut dijatuhi hukuman selama 18 tahun, namun melalui
proses grasi yang dilakukan, hukuman tersebut berkurang menjadi 12 tahun. Perubahan
signifikan ini menggambarkan bahwa terdakwa telah memperoleh keringanan yang dapat
memberikan dampak besar terhadap masa hukumannya.
Pengurangan waktu hukuman ini tidak hanya sekadar angka statistik, tetapi juga
mencerminkan perubahan dalam pandangan hukum terhadap kasus yang melibatkan Terdakwa
Antasari Azhar. Keputusan tersebut menciptakan momen penting dalam perjalanan hukumnya,
sekaligus memberikan harapan baru dan peluang bagi Terdakwa untuk merefleksikan
perbuatannya serta memperbaiki diri selama masa penahanan.
Hal yang patut dicatat dari keputusan ini adalah bahwa pengurangan waktu hukuman
bukan hanya merupakan keringanan semata, tetapi juga dapat diartikan sebagai penghapusan
kewenangan menjalankan tindak pidana yang terdakwa telah lakukan. Pemahaman ini
memunculkan pertanyaan filosofis mengenai tujuan hukuman, rehabilitasi, dan peran sistem
peradilan dalam memberikan kesempatan kedua kepada mereka yang telah melanggar hukum.
Keputusan tersebut turut merangsang diskusi lebih lanjut tentang efektivitas dan
keadilan sistem peradilan pidana, serta membangkitkan pertanyaan etis tentang bagaimana
hukuman dapat berfungsi sebagai sarana pembinaan dan penyempurnaan karakter individu
yang bersangkutan. Dalam konteks ini, keputusan grasi untuk Terdakwa Antasari Azhar tidak
hanya mengubah masa hukumannya, tetapi juga menciptakan landasan untuk eksplorasi dan
penelitian lebih lanjut mengenai reformasi hukum dan pemahaman kolektif terhadap prinsip-
prinsip keadilan di dalam masyarakat.
20
DAFTAR PUSTAKA
Ismail Suny, Pergeseran Kekuasaan Eksekutif, Cetakan ke-6, Aksara Baru, Jakarta, 1986, h.31
Sekretariat Jendral MPR RI, Risalah Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (1999-2002) Tahun Sidang 1999 (Jakarta, Sekretaris Jendral
MPR RI, 2008), hlm.64.
Undang-Undang No. 5 Tahun 2010 junto Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi.
Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 9
Jimly Ashiddieqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraa
Mahkamah Konstitusi R.I., 2006), h. 175-176
JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi Aksara.
1995), h. 58
Undang-Undang No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol. 1 No. 1
Juni 2017 h.3.
21