Anda di halaman 1dari 10

LARANGAN KORUPSI DAN KOLUSI

“Disusun Guna Memenuhi Tugas Kuliah Makul Hadits Semester I 2023/2024”

Dosen Pengampu : H. Ahmad Munadirin, M.Pd.

Disusun Oleh :

Nama : Muhammad Rizki Afandi


Progam Studi : Pendidikan Agama
Islam
Semester : I (Satu)
Jenjang : S1

PROGAM STUDI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI ISLAM KENDAL

TAHUN AKADEMIK 2023/2024


KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan maklah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan Semoga kita
termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada


semua pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga
selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun
ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para
pembaca, menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya
dapat memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya
kekurangan, baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian
yang dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki
kami. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap
pembaca yang bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di
kemudian hari.

Subah, 10 November 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Korupsi telah lama menjadi masalah serius di banyak negara,


merugikan sektor publik, swasta, dan masyarakat umum. Dalam konteks ini,
larangan korupsi bukan hanya sekadar norma hukum, tetapi juga sebuah
langkah strategis untuk meningkatkan efisiensi dan keadilan dalam
penyelenggaraan pemerintahan.

Praktik memberikan hadiah kepada pejabat seringkali melibatkan


kepentingan yang tidak sehat dan dapat merongrong netralitas pengambilan
keputusan. Hadiah tersebut bisa berupa uang, barang mewah, atau fasilitas
lainnya, yang berpotensi mempengaruhi kebijakan dan keputusan pejabat.

B. Rumusan Masalah

1. Larangan Menyuap

2. Larangan Pejabat Menerima enerima Hadiah

C. Tujuan penulisan

1. Menjelaskan Larangan Menyuap

2. Menjelaskan Larangan Pejabat Menerima Hadiah


BAB II

PEMBAHASAN

1. Larangan Menyuap

Pengertian konsumsi menurut islam ialah memenuhi kebutuhan


jasmani maupun rohani sehingga mampu memaksimalkan fungsi
kemanusiaannya sebagai hamba Allah SWT untuk mendapatkan
kesejahteraan atau kebahagiaan di dunia dan akhirat (falah). Disini saya akan
menjelaskan hadist yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad. Hadistnya ialah
sebagai berikut:
ِ ‫لﷲ‬ ُ ‫ﺳﻮ‬
ُ ‫ل َر‬
َ ‫ﻫَﺮْﻳَﺮَة ﻗَﺎ‬
ُ ‫ﻦ َاِﺑﻰ‬
ْ ‫ﻋ‬
َ – ‫ﻢ‬
ِ ‫ﺤْﻜ‬
ُ ‫ﻰ ﻓﻰ اْﻟ‬
َ ‫ﺴ‬
ِ ‫ﻰ َواْﻟُﻤْﺮ َﺗ‬
َ ‫ﺷ‬
ِ ‫ُ اﻟّﺮا‬ ‫ﻦﷲ‬
ْ ‫ﻢ َﻟَﻌ‬
َ ‫ﻋَﻠْﻴِﻪ َؤﺳَّﻠ‬
َ ُ ‫ﺻَﻠﻰ ﷲ‬
َ ( ‫َرَواُه‬
ُ‫ﺣَﻤﺪ‬
ْ ‫)َا‬
Artinya: Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasul SAW bersabda: Allah SWT
melaknat penyuap dan yang di suap (HR. Imam Ahmad). Hadist ini dinyatakan
shohih oleh syaikh Al-banani di dalam shohih At-targhib wa At-Tarhibll/261
no.2212.
Setelah membaca hadist diatas kita akan tahu bagaiman hukum
memakan harta yang haq atau yang bathl, kata bathl menurut syara’ diartikan
sesuatu yang haram atau tidak baik kita gunakan, hadist ini menerangkan
tentang bagaimana hukum seseorang yang menyuap seseorang yang di
landasi oleh keinginan untuk memuaskan diri sendiri dan disitu di terangkan
juga bahwa orang yang menerima suap akan di laknat sebagaimana yang
menyuap. Hadist ini diperkuat oleh firman Allah SWT. Yaitu dalam surah Al-
baqarah ayat 188:

ْ‫ﻢ َوَاْﻧُﺘﻢ‬
ِ ‫س ِﺑاْﻟﺎْﺛ‬
ِ ‫ل اﻟَّﻨﺎ‬
ِ ‫ﻦ َاْﻣَﻮا‬
ْ ‫ﺤَّﻜَﺎِم ِﻟَﺘﺎْءُﻛُﻠﻮا َﻓِﺮﻳًﻘﺎِﻣ‬
ُ ‫ﻞ َوُﺗْﺪُﻟﻮا ِﺑﻬَﺎ ِاَﻟﻰ اْﻟ‬
ِ ‫ﻃ‬
ِ ‫ﻢ ِﺑاﻟَﺒﺎ‬
ْ ‫ﻢ َﺑْﻴَﻨُﻜ‬
ْ ‫ََﺗﺎْء ُﻛُﻠْﻮا َاﻣَﻮاَﻟُﻜ‬ ‫َوﻻ‬
َ‫(َﺗْﻌَﻠُﻤْﻮن‬188)
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian
yang lain di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan
sebahagian daripada orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal
kamu mengetahuinya.”(QS. Al-baqarah: 188).
Imam Al-Qurthubi mengatakan, “Makna dari ayat ini adalah janganlah
sebagian kalian memakan harta sebagian yang lainnya dengan cara yang
tidak benar.” Disini beliau juga menambahkan bahwa barang siapa yang
mengambil harta orang lain bukan dengan cara yang benar menurut syariat
maka sesungguhnya ia telah memakannya dengan cara yang bathil. Diantara
bentuk memakan dengan cara yang bathil ialah putusan seorang hakim yang
memenangkan kamu, sementara kamu tahu bahwa kamu sebenarnya salah.
Sesuatu yang haram tidak akan berubah menjadi halal dengan keputusan
hakim.”
Mencari rizki dengan menjadi seorang pegawai negeri maupun swasta
adalah suatu yang halal. Akan tetapi, tidak jarang seorang pegawai
menghadapi hal-hal yang haram atau makruh dalam pekerjaannya tersebut.
Diantaranya, di sebabkan munculnya suap, menyogok atau pemberian uang di
luar gaji yang tidak halal mereka terima.
Hukum suap menyuap ialah dosa besar, karna sudah dijelaskan dalam
firman allah yang isinya” Allah SWT melaknat penyuap dan yang di suap”. Arti
laknat ialah terjauhkan dari rahmat Allah SWT. Sedangkan menurut ijma’, telah
terjadi kesepakatan umat tentang haramnya suap secara global sebagaimana
di sebutkan oleh ibnu Qodamah.Apakah masih belum jelas bagaimana hukum
suap menyuap dan penafsiran tentang hadist tersebut

2. Larangan Pejabat Menerima Hadiah

Memberikan hadiah dalam Islam sangat dianjurkan dan hukumnya


halal, karena bisa merupakan perekat bagi persaudaraan, namun hadiah
ternyata bisa menjadi haram jika diberikan dengan maksud tertentu, atau ada
udang di balik batu. Itulah hadiah yang diserahkan pada pejabat atau para
hakim. Hadiah yang diberikan kepada pegawai pemerintahan tentunya dan
pastinya ada kaitannya dengan jabatannya. Seandainya mereka adalah
masyarakat biasa atau pensiunan yang sudah tidak menjabat, apakah para
pemangku kepentingan masih tetap akan memberikan hadiah (baik amplop,
parcel ataupun hadiah lainnya). Peristiwa pemberian hadiah sebetulnya
pernah terjadi pada seorang yang dipekerjakan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam untuk mengurus zakat. Lantas ia mendapati hadiah karena
pekerjaannya tersebut. Namun di akhir cerita, Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam malah mencela dirinya. Berikut kisahnya:
Telah menceritakan kepada kami Ali bin Abdullah telah menceritakan
kepada kami Sufyan dari Az Zuhri, ia mendengar 'Urwah telah mengabarkan
kepada kami, Abu Humaid As Sa'idi mengatakan, Pernah Nabi shallallahu
'alaihi wa sallam mempekerjakan seseorang dari bani Asad yang namanya
Ibnul Lutbiyyah untuk mengurus zakat. Orang itu datang sambil mengatakan,
"Ini bagimu, dan ini hadiah bagiku." Secara spontan Nabi shallallahu 'alaihi wa
sallam berdiri di atas mimbar -sedang Sufyan mengatakan dengan redaksi
'naik minbar-, beliau memuja dan memuji Allah kemudian bersabda, "Ada apa
dengan seorang pengurus zakat yang kami utus, lalu ia datang dengan
mengatakan, Ini untukmu dan ini hadiah untukku! Cobalah ia duduk saja di
rumah ayahnya atau rumah ibunya, dan cermatilah, apakah ia menerima
hadiah ataukah tidak? Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidaklah
seseorang datang dengan mengambil hadiah seperti pekerja tadi melainkan ia
akan datang dengannya pada hari kiamat, lalu dia akan memikul hadiah tadi di
lehernya. Jika hadiah yang ia ambil adalah unta, maka akan keluar suara unta.
Jika hadiah yang ia ambil adalah sapi betina, maka akan keluar suara sapi.
Jika yang dipikulnya adalah kambing, maka akan keluar suara kambing.
Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya sehingga kami melihat putih
kedua ketiaknya seraya mengatakan, " Ketahuilah, bukankah telah
kusampaikan?" (beliau mengulang-ulanginya tiga kali). (HR. Bukhari no. 7174
dan Muslim no. 1832)
Kita juga dapat melihat dalam hadits lainnya juga dari Abu Humaid As
Sa'idi, Rasul shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda.
“Hadiah bagi pejabat (pekerja) adalah ghulul (khianat)."
Imam Nawawi rahimahullah mengatakan, “Dalam hadits Abu Humaid
terdapat penjelasan bahwa hadayal ‘ummal (hadiah untuk pekerja) adalah
haram dan ghulul (khianat). Karena uang seperti ini termasuk pengkhianatan
dalam pekerjaan dan amanah. Oleh karena itu, dalam hadits di atas
disebutkan mengenai hukuman yaitu pekerja seperti ini akan memikul hadiah
yang dia peroleh pada hari kiamat nanti, sebagaimana hal ini juga disebutkan
pada masalah khianat. Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah
menjelaskan dalam hadits tadi mengenai sebab diharamkannya hadiah
seperti ini, yaitu karena hadiah semacam ini sebenarnya masih karena sebab
pekerjaan, berbeda halnya dengan hadiah yang bukan sebab pekerjaan. Jika
seorang pekerja menerima hadiah semacam ini dengan disebut hadiah, maka
Pekerja tersebut harus mengembalikan hadiah tadi kepada orang yang
memberi. Jika tidak mungkin, maka diserahkan ke Baitul Mal (kas negara).”
(Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 12/219, sumber www.rumaysho.com)
Syaikh Muhammad bin Sholeh Al Utsaimin rahimahullah juga
menjelaskan hal ini dalam fatwanya. Beliau mengatakan,
“Hadiah bagi pekerja termasuk ghulul (pengkhianatan) yaitu jika
seseorang sebagai pegawai pemerintahan, dia diberi hadiah oleh seseorang
yang berkaitan dengan pekerjaannya. Hadiah semacam ini termasuk
pengkhianatan (ghulul). Hadiah seperti ini tidak boleh diambil sedikit pun oleh
pekerja tadi walaupun dia menganggapnya baik.”
Lalu Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah mengatakan lagi,
“Tidak boleh bagi seorang pegawai di wilayah pemerintahan menerima
hadiah berkaitan dengan pekerjaannya. Seandainya kita membolehkan hal ini,
maka akan terbukalah pintu riswah (suap/sogok). Uang sogok amatlah
berbahaya dan termasuk dosa besar (karena ada hukuman yang disebutkan
dalam hadits tadi, pen). Oleh karena itu, wajib bagi setiap pegawai jika dia
diberi hadiah yang berkaitan dengan pekerjaannya, maka hendaklah dia
mengembalikan hadiah tersebut. Hadiah semacam ini tidak boleh dia terima.
Baik dinamakan hadiah, shodaqoh, dan zakat, tetap tidak boleh diterima.
Lebih-lebih lagi jika dia adalah orang yang mampu, zakat tidak boleh bagi
dirinya sebagaimana yang sudah kita ketahui bersama.” (Majmu’ Fatawa wa
Rosa’il Ibni Utsaimin, Asy Syamilah, 18/232)
Dalam Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah disebutkan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menerima hadiah
(sebagaimana layaknya hadiah untuk penguasa/pejabat). Perlu diketahui
bahwa hadiah ini karena menjadi kekhususan pada beliau. Karena Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ma’shum, beliau bisa menghindarkan diri
dari hal terlarang berbeda dengan orang lain (termasuk dalam hadiah tadi,
tidak mungkin dengan hadiah tersebut beliau berbuat curang atau khianat,
pen). Lantas ketika ‘ Umar bin ‘Abdul ‘Aziz mengembalikan hadiah
(sebagaimana hadiah untuk pejabat), beliau tidak mau menerimanya. Lantas
ada yang mengatakan pada ‘Umar bin ‘Abdul ‘Aziz, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam sendiri pernah menerima hadiah semacam itu!” ‘Umar pun
memberikan jawaban yang sangat mantap, “Bagi Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bisa jadi itu hadiah. Namun bagi kita itu adalah suap. Beliau shallallahu
‘alaihi wa sallam mendapatkan hadiah semacam itu lebih tepat karena
kedudukan beliau sebagai nabi, bukan karena jabatan beliau sebagai
penguasa. Sedangkan kita mendapatkan hadiah semacam itu karena jabatan
kita.”
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Larangan korupsi merupakan pondasi utama dalam membangun


pemerintahan yang bersih dan efisien. Dengan mengakui kompleksitas
permasalahan korupsi, penerapan larangan ini menjadi kunci untuk
menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan
berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

2. Larangan penerimaan hadiah oleh pejabat bukan hanya upaya untuk


menghindari praktik korupsi, tetapi juga langkah penting untuk
membangun fondasi pemerintahan yang bersih, adil, dan akuntabel.
Dengan mengakui pentingnya larangan ini, kita dapat memperkuat
lembaga-lembaga pemerintahan dan memastikan bahwa kebijakan
yang dihasilkan benar-benar melayani kepentingan publik.

B. Saran

Sebagai kontrol sosial, mahasiswa dapat melakukan peran preventif


terhadap korupsi dengan membantu masyarakat dalam mewujudkan
ketentuan dan peraturan yang adil dan berpihak pada rakyat banyak,
sekaligus mengkritisi peraturan yang tidak adil dan tidak berpihak pada
masyarakat.
DAFTAF PUSTAKA

Imam Al-Qurtubi, Al-jami’ Li Ahkam Al-Qur’an, pustaka azzam.

Al-Imam Muhammad bin isma’il al-kahlani as-shan’ani, Subulussalam, Darus


Sunnah.

Ibnu katsir, An-nihayah, pustaka As-sunnah.

Ibnu taimiyyah, Majmu’ fatawa, pustaka azzam

https://www.kompasiana.com/mkhusni19/58cdff0bb37e61d20f032d07/hadi
st-tentang-larangan-suap-
menyuap?page=2&_gl=1*10x9rb7*_ga*UURocUlCdmxBZU96TWVXanZXQ2Zp
YUxWMVhzNWg4TTJ4TjJGWThJaWFjOTBGM0Y3Rm9VS2U4MDhJZnJMX2J
1RA..*_ga_6DPN6FP6GB*MTY5OTkyNDY5Mi4xLjAuMTY5OTkyNDY5NC4wLjA
uMA..*_ga_Z1ETC4ZG45*MTY5OTkyNDY5Mi4xLjAuMTY5OTkyNDY5NC4wLjA
uMA..

https://www.djkn.kemenkeu.go.id/artikel/baca/2289/Hukum-Pemberian-
Hadiah-

Bagi-Pegawai-Pemerintah-Dalam-Pandangan-Islam.html

Anda mungkin juga menyukai