َو َعلَى آلِ ِه،ان َ َصاَل ةُ َوال َّساَل ُم َعلَى ُم َح َّم ٍد َسيِّ ِد َولَ ِد َع ْدن ِ ك ال َّدي
َّ َوال،َّان ِ ِالح ْم ُد هللِ ْال َمل
َ
ُك لَهُ ْال ُمنَـ َّزه َ َوَأ ْشهَ ُد َأ ْن اَّل ِإلهَ ِإاَّل هللاُ َوحْ َدهُ اَل َش ِر ْي،صحْ بِ ِه َوتَابِ ِع ْي ِه َعلَى َمرِّ ال َّز َما ِن َ َو
ْ َوَأ ْشهَ ُد َأ َّن َسيِّ َدنَا ُم َح َّمدًا َع ْب ُدهُ َو َرس ُْولُهُ الَّ ِذي،انِ ان َو ْال َم َك
ِ َع ِن ْال ِج ْس ِميَّ ِة َو ْال ِجهَ ِة َوال َّز َم
،ص ْي ُك ْم َونَ ْف ِسي بِتَ ْق َوى هللاِ ال َمنَّا ِن ِ فَإنِّي ُأ ْو، ِعبَا َد الرَّحْ مٰ ِن،آن َأ َّما بَ ْع ُد َ ْان ُخلُقُهُ ْالقُر َ َك
ان آ ِمنًا َوهَّلِل ِ َعلَى َ ات َمقَا ُم ِإب َْرا ِهي َم َو َم ْن َد َخلَهُ َكٌ َات بَيِّن ٌ َ فِي ِه آي:آن ِ ْْالقَاِئ ِل فِي ِكتَابِ ِه ْالقُر
ين (آل َ ت َم ِن ا ْستَطَا َع ِإلَ ْي ِه َسبِياًل َو َم ْن َكفَ َر فَِإ َّن هَّللا َ َغنِ ٌّي َع ِن ْال َعالَ ِم ِ اس ِحجُّ ْالبَ ْي ِ َّالن
)97 :عمران
Takwa adalah sebaik-baik bekal untuk meraih kebahagiaan abadi di akhirat. Oleh karena itu,
khatib mengawali khutbah yang singkat ini dengan wasiat takwa. Marilah kita semua selalu
meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melaksanakan semua
kewajiban dan meninggalkan segenap larangan.
Hadirin rahimakumullah,
Hari-hari ini, beberapa kloter jamaah calon haji telah diberangkatkan ke Tanah Suci.
Sebagaimana kita tahu bahwa ibadah haji memiliki hukum-hukum yang harus diindahkan dan
dilakukan sesuai tuntunan syariat agar sah dan diterima oleh Allah ta’ala. Pembahasan secara
terperinci tentang manasik haji tentunya panjang lebar dan tidak cukup disampaikan dalam
khutbah Jumat yang singkat. Namun dalam kesempatan yang mulia ini, khatib mengingatkan
kepada kita semua mengenai dua hal penting.
Pertama, seseorang yang akan berangkat haji, bekal paling utama dan paling penting yang harus
ia bawa adalah ilmu. Ilmu tentang tata cara haji ini sangat urgen karena berkaitan dengan sah
atau tidaknya ibadah haji, diterima atau tidaknya ibadah haji. Sangat disayangkan apabila harta,
tenaga, waktu, rasa lapar, rasa haus, rasa letih dan perjalanan jauh hilang sia-sia tanpa faedah dan
manfaat dikarenakan seseorang tidak membawa bekal yang memadai tentang ilmu mengenai tata
cara haji. Orang yang tidak memiliki ilmu tentang hukum-hukum haji, lalu ia berhaji tanpa ilmu
maka ia tidak bisa menjamin keabsahan ibadah yang ia kerjakan. Demikianlah keadaan orang
yang tidak berilmu. Ia ingin memperbaiki sesuatu namun justru sebaliknya ia merusaknya dan
membatalkannya.
Umumnya, karena tidak mau mengaji atau belajar, seseorang terjatuh pada perkara yang merusak
atau membatalkan amal yang dilakukan, sehingga amalnya tidak sah tanpa ia sadari. Orang yang
seperti ini tidaklah diterima alasan bahwa ia bodoh. Sebab kebodohan bukanlah alasan yang
diterima ketika seseorang mengerjakan ibadah dengan cara yang tidak benar. Oleh karena itu,
bagi orang yang ingin berhaji, berzakat, mengerjakan shalat atau ibadah dan mu’amalat apa pun,
maka wajib mempelajari ilmu tentang hal-hal tersebut. Al-Baihaqi meriwayatkan dari sahabat
Anas radliyallahu ’anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
َ الع ْل ِم فَ ِري
)ْضةٌ َعلَى ُكلِّ ُم ْسلِ ٍم (رواه البيهق ّي في المدخل ِ ُطَلَب
Maknanya: “Menuntut ilmu agama yang pokok adalah wajib bagi setiap Muslim (dan
Muslimah)” (HR al-Baihaqi dalam kitab al-Madkhal)
Hadirin rahimakumullah,
Syarat agar haji seseorang menghapus seluruh dosa dan menjadikannya bersih dari dosa seperti
saat dilahirkan oleh ibundanya adalah niatnya harus murni dan ikhlas hanya karena Allah semata.
Tidak dicampuri dengan tujuan meraih pujian dan kepentingan duniawi. Juga disyaratkan harta
yang menjadi bekal hajinya adalah harta yang halal. Demikian pula untuk meraih kemuliaan ini
disyaratkan seseorang menjaga dirinya saat beribadah haji dari kefasikan, yakni dosa-dosa besar
dan mencegah dirinya dari bersetubuh selama masih dalam kondisi ihram (dalam rangkaian
amalan ibadah haji).
ض ِه َأ ْو َش ْى ٍء فَ ْليَتَ َحلَّ ْلهُ ِم ْنهُ اليَ ْو َم قَب َْل َأ ْن اَل يَ ُك ْو َن ْ ت لَهُ َم
ِ ْظلِ َمةٌ َأل ِخ ْي ِه ِم ْن ِعر ْ ََم ْن َكان
ٌ َظلِ ْمتِ ِه َوِإ ْن لَ ْم تَ ُك ْن لَهُ َح َسن
ات ْ صالِ ٌح ُأ ِخ َذ ِم ْنهُ بِقَ ْد ِر َم َ ان لَهُ َع َم ٌلَ ِإ ْن َك،ِد ْينَا ٌر َواَل ِدرْ هَ ٌم
)ّاحبِ ِه فَ ُح ِم َل َعلَ ْي ِه (رواه البخاري ِ ص َ ت ِ ُأ ِخ َذ ِم ْن َسيَِّئا
Maknanya: “Barang siapa yang memiliki kezaliman terhadap saudaranya pada harga dirinya atau
sesuatu yang lain maka hendaklah ia halalkan darinya di hari ini (di dunia) sebelum tidak lagi
bermanfaat dinar dan dirham. Jika ia memiliki amal shaleh maka akan diambil darinya (amal
saleh tersebut) sesuai dengan kadar kezalimannya, jika ia tidak memiliki kebaikan-kebaikan
maka diambil dari keburukan-keburukan orang yang dizalimi lalu ditimpakan kepadanya” (HR
al-Bukhari).
Demikian pula, ibadah haji tidak menggugurkan tanggungan kewajiban yang ditinggalkannya
seperti shalat dan lainnya. Diriwayatkan dari Anas radliyallahu ’anhu bahwa Nabi shallallahu
‘alayhi wasallam bersabda:
)ّك (رواه البخاري َ صاَل ةً فَ ْلي
َ ُِصلِّ ِإ َذا َذ َك َرهَا اَل َكفَّا َرةَ لَهَا ِإاَّل ذل َ َم ْن نَ ِس َي
Maknanya: “Barang siapa lupa melaksanakan shalat maka hendaklah ia mengerjakannya saat ia
ingat hal itu, tidak ada denda berkaitan dengannya kecuali hal itu (mengerjakan shalat yang
ditinggalkan karena lupa)” (HR al-Bukhari).
Jika shalat lima waktu yang ditinggalkan karena lupa saja wajib diqadha’, lebih-lebih lagi shalat
lima waktu yang ditinggalkan karena sengaja atau karena malas.