Anda di halaman 1dari 60

MODUL INTERPROFFESIONAL EDUCATON (IPE)

PADA PENELITTIAN

PENGARUH INTERVENSI PMT LOKAL YANG DIPERKAYA GONAD LANDAK


LAUT (DIADEMA SETOSUM) MELALUI PENERAPAN MODEL
IPE-CP PADA IBU HAMIL SUKU BAJO TM2 TERHADAP
STATUS GIZI DAN OUTCOME KELAHIRAN

PENELITI
DR. LA BANUDI, SST, M.Kes
DR. NURMIATY, SSiT, MPH

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES KENDARI


2020
KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmad dan
HidayahNya sehingga buku ini bisa selesai dan dapat dicetak. Salam dan shalawat
penulis sampaikan kepada Nabiullah Muhammad SAW, Keluarganya, Sahabat-
sahabatnya, Serta pengikut-pengikutnya dimanapun mereka berada.

Penyusunan Modul Interprofesional Education merupakan upaya penulis agar


dijadikan acuan dalam mempelajari mata kuliah Interprofesional Education. Modul ini
memuat berbagai aspek dasar tentang gizi kesehatan reproduksi diantaranya :
Kebijakan pemerintah terkait dengan pendidikan antar profesi, Konsep dasar
pendidikan kolaborasi antarprofesi, Nilai-nilai etik antar profesi, Peran dan
tanggungjawab interprofesi, komunikasi efektif interprofesional dan pembelajaran
kerjasama tim antar profesi.

Modul ini dapat digunakan oleh pengajar dan mahasiswa Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi yang memiliki prodi kesehatan serta
berbagai kalangan yang tertarik dan berminat untuk mempalajari dan menambah
wawasan tentang interprofesional education..

Penulis menyadari modul ini masih jauh dari harapan pembaca yang mana
didalamnya masih terdapat berbagai kesalahan baik dari sistim penulisan maupun isi
dan desain penyajian. Olehnya itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan
saran yang bersifat membangun, sehingga pada edisi berikutnya dapat diperbaiki serta
ditingkatkan kualitasnya.

Penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada


semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan dan penyelesaian buku ini,
akhirnya semoga buku ini bermanfaat bagi kita semua, Amin.

Kendari, Desember 2020

Penulis

Dr. La Banudi, SST., M.Kes


A. GAMBARAN UMUM MODUL
Pada modul ini mengkaji dan membahas tentang pendidikan interprofessional
(Interprofessional Education) dengan pendekatan dari berbagai bidang ilmu dan profesi.
Bidang ilmu yang disesuaikan dengan kompetensi lulusan yang akan bekerja pada
pusat- layanan kesehatan primer atau sekunder pada bidang pemerintahan atau
swasta. Interprofesisional Education memberikan arti bahwa mahasiswa dari dua atau
lebih profesi belajar satu sama lain, untuk memungkinkan kolaborasi yang efektif dan
meningkatkan hasil (kesehatan yang optimal).

Harapan dari kegiatan interprofessional education adalah penyatuan atau


pengintegrasian pengetahuan, ketrampilan dan nilai/sikap dalam bekerjasama pada
seluruh profesi, dengan pekerja kesehatan lain, pasien, keluarga dan masyarakat untuk
meningkatkan hasil kesehatan dalam konteks pelayanan kesehatan kepada masyarakat
yang spesifik. Hasil dari kolaborasi yang dibentuk adalah kegiatan positif dan kepuasan
yang maksimal pada pelayan kesehatan maupun masyarakat.

Kolaborasi antar profesi kesehatan adalah satu usaha untuk peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. WHO telah membuat sebuah grand design tentang pembetukan
karakter kolaborasi dalam sebuah bentuk pendidikan formal yaitu berupa
interprofessional education. Interprofessional education (IPE) adalah suatu
pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda untuk
meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelaksanaanya dapat dilakukan
dalam semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik
untuk menciptakan tenaga kesehatan yang professional.

Beberapa ahli mengungkapkan IPE dapat menjadi dasar dalam pembentukan


kolaborasi. Seperti halnya pendapat Mendez et. al.,(2008) IPE merupakan hal yang
potensial sebagai media kolaborasi antar profesional kesehatan dengan menanamkan
pengetahuan dan skill dasar antar profesional dalam masa pendidikan. IPE merupakan
hal yang penting dalam membantu pengembangan konsep kerja sama antar profesional
yang ada dengan mempromosikan sikap dan perilaku yang positif antar profesi yang
terlibat di dalamnya.
Interprofessional education (IPE) merupakan suatu proses dimana
sekelompok mahasiswa atau profesi kesehatan yang memiliki perbedaan latar belakang
profesi melakukan pembelajaran bersama dalam periode tertentu, berinteraksi sebagai
tujuan yang utama, serta untuk berkolaborasi dalam upaya promotif, preventif, kuratif,
rehabilitatif, dan jenis pelayanan kesehatan yang lain (WHO, 1988).

Saat ini Poltekkes Kemenkes Kendari menyelenggarakan 4 Program Studi


Diploma III, yaitu D-III Keperawatan , D-III Kebidanan, D-III Gizi dan D-III Analis
Kesehatan serta 2 Program Studi Diploma IV, yaitu D-IV Kebidanan, dan D-IV Gizi
berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor :
355/E/O/2012 tanggal 10 Oktober 2012 tentang Alih Bina Penyelenggaraan Prodi pada
Poltekkes Kemenkes RI dari Kementerian Kesehatan kepada Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan. Dengan demikian bisa melakukan kegiatan Interprofessional
Education di Poltekkes Kemenkes Kendari.

Pada penelitian yang diakukan oleh dosen Poltekkes mengangkat tentang


pemberian makanan local pada ibu hamil. Kehamilan merupakan masa kehidupan yang
penting, pada masa ini ibu harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menyambut
kelahiran bayinya. Pada ibu hamil akan mengalami perubahan pada tubuhnya
diantaranya pada pencernaan, dimana akan terjadinya emesis. Pada kondisi ini harus
dilakukan perbaikan makanan, dengan syarat makanan adalah makanan yang kering.
Dampak yang terjadi bila ibu hamil mengalami anemia diantaranya abortus, bayi lahir
dengan prematur, gangguan pertumbuhan janin, BBLR dan bayi lahir dengan anemia.
Sedangkan pada ibu dapat menyebabkan terjadinya persalinan lama, perdarahan post
partum sampai kematian. Untuk mencegah terjadinya hal tersebut perlu dilakukan
interprofessionalk Colaboration berdasarkan hasil dari interprofessional education.

Interprofessional Collaboration (IPC) adalah kerja sama dengan satu atau


lebih anggota tim kesehatan untuk mencapai tujuan umum dimana masing-masing
anggota memberikan kontribusi yang unik sesuai dengan batasannya masing-
masing. Program IPC diberlakukan dalam kegiatan pengabdian dengan konsep 4
profesi kesehatan yang ada di Poltekkes Kemenkes Kendari untuk melihat apa saja
professional kesehatan yang ada di Poltekkes Kemenkes Kendari.
Kegiatan dalam modul ini meliputi kuliah interaktif, diskusi kelompok, diskusi
pleno, dan kerja laboratorium yang didasarkan pada penggunaan metode pembelajaran
berdasarkan masalah. Penguasaan materi keilmuan pada modul-modul sebelumnya
akan banyak membantu tingkat pemahaman mahasiswa pada modul ini.

B. KOMPETENSI YANG DIHARAPKAN


Berdasarkan kurikulum nasional yang berbasis kompetensi, pendidikan Poltekkes
Kemenkes Kendari diarahkan untuk menguasai tujuh area kompetensi lulusan .
Pembelajaran Mata Ajar IPE bertujuan untuk menguasai area kompetensi yang
berkaitan dengan pengembangan kolaborasi yang meliputi:

1. Mempersiapkan semua siswa profesi kesehatan Poltekkes Kemenkes Kendari utk


dengan sengaja bekerja bersama dengan tujuan bersama untuk membangun
kesehatan yang lebih aman dan lebih baik.
2. Meningkatkan pelatihan berbasis tim (pengetahuan, ketrampilan, sikap) yang
mengarah pada peningkatan kualitas dan keamanan dalam perawatan pasien
berbasis tim (perilaku, kompetensi).
3. Bagaimana tenaga kesehatan mendapatkan materi yang sama

Dengan demikian area kompetensi yang diharapkan dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Komunikasi interprofesi
2. Kolaborasi interprofesi (kepemimpinan, manajemen konflik, team functioning)
3. Etika dan nilai (cultural diversity)
4. Peran profesi kesehatan
5. Pelayanan kesehatan yang berpusat pada individu
6. Pelayanan kesehatan yang berpusat keluarga dan komunitas

C. TUJUAN MODUL
Tujuan akhir pendidikan interprofesi adalah menghasilkan peserta didik yang
mampu mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. CAIPE
(2001) mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan interprofesi yang efektif, yang
bertujuan untuk menghasilkan tenaga kesehatan dengan kemampuan sebagai berikut :
(7)
1) Bekerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan
2) Berfokus pada kebutuhan pasien dan keluarga
3) Melibatkan pasien dan keluarga
4) Mempromosikan kolaborasi interprofesi
5) Mendorong profesi kesehatan untuk belajar dengan, dari dan tentang satu sama
lain
6) Meningkatkan praktek masing-masing profesi
Pendidikan interprofesi membantu setiap profesi untuk meningkatkan
kemampuan praktik profesinya masing-masing dan memahami bagaimana
praktik yang dilengkapi oleh profesi lain.
7) Menghormati integritas dan kontribusi masing-masing profesi
Pendidikan interprofesi tidak mengancam identitas dan wilayah profesi lain.
Dalam proses pendidikan interprofesi terjadi proses menghargai kontribusi khas
masing-masing profesi dalam proses belajar, praktek, dan memperlakukan
semua profesi secara setara.
8) Meningkatkan tingkat kepuasan profesional
Pendidikan interprofesi menumbuhkan sikap saling mendukung antara profesi,
mendorong fleksibilitas dan memenuhi praktik kerja, tetapi juga menetapkan
batas yang dibuat pada masing-masing profesi.

D. SASARAN PEMBELAJARAN
Sasaran Pembelajaran adalah Para siswa mampu:
1. Mendeskripsikan IPE termasuk 4 domain
a. Nilai etika utk praktik interprofessional
b. Peran dan tanggung jawab
c. .Komunikasi interprofesional
d. Tim dan kerja Tim
2. Mendeskripsikan peran anggota tim dan bagaimana peran ini berlaku untuk bekerja
tim
3. Menunjukkan prinsip etika dalam pembuatan keputusan.
4. Memanfaatkan strategi komunikasi terstruktur seperti yang disajikan dalam tim
untuk menganalisa studi kasus.
5. Menganalisis studi kasus dengan menggunakan empat domain IPE.

E. LINGKUP BAHASAN
POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN

Lingkup Pokok Bahasan Sub Pokok Bahasan Metode Pengajaran


Bahasan

ETIKA DAN Etika dan norma


NORMA profesi

Etika dan norma Menempatkan kepentingan pasien, Ceramah, diskusi dan


profesi dalam keluarga dan masyarakat di tengah tanya jawab
interprofessional pemberian pelayanan kesehatan
interprofesi
Menghormati martabat dan privasi Ceramah, diskusi dan
pasien, tetap menjaga kerahasiaan tanya jawab
dalam pelayanan berbasis tim
Merangkul keragaman budaya dan Ceramah, diskusi dan
perbedaan individu yang dimiliki oleh tanya jawab
pasien, keluarga dan tim kesehatan
Menghormati budaya yang unik, nilai, Ceramah, diskusi dan
peran/tanggung jawab dan keahlian tanya jawab
profesi kesehatan lainnya
Bekerjasama dengan mereka yang Ceramah, diskusi dan
menerima pelayanan, mereka yang tanya jawab
memberikan pelayanan dan lain-lain,
yang berkontribusi atau mendukung
penyediaan pelayanan dan upaya
pencegahan kesehatan
Mengembangkan hubungan saling Ceramah, diskusi dan
percaya dengan pasien, keluarga, dan tanya jawab
anggota tim lainnya (CIHC, 2010)
Menunjukkan standar perilaku, etika Ceramah, diskusi dan
dan kualitas dalam memberikan tanya jawab
pelayanan berbasis tim
Mengelola dilema etik tertentu pada Ceramah, diskusi dan
pasien/klien yang menerima pelayanan tanya jawab
berbasis kolaborasi interprofesi
Bertindak dengan kejujuran dan Ceramah, diskusi,
integritas dalam hubungannya dengan tanya jawab dan
pasien, keluarga, dan anggota tim demonstrasi
lainnya
Mempertahankan kompetensi spesifik Ceramah, diskusi,
profesinya dalam lingkup praktik yang tanya jawab dan
relevan demonstrasi

Peran Profesi
sendiri
Peran dan Komunikasi peran dan tanggung
tanggung jawab jawab profesi secara jelas kepada
dalam pasien, keluarga dan profesional
lainnya
intperofessional
Mengenali keterbatasan profesi dalam
keterampilan, pengetahuan dan
kemampuan
Melibatkan profesi kesehatan yang
beragam dalam melengkapi keahlian
profesional, serta sumber daya terkait,
untuk mengembangkan strategi agar
memenuhi kebutuhan pasien
Menjelaskan peran dan tanggung
jawab penyedia layanan lain dan
bagaimana tim bekerjasama untuk
memberikan pelayanan.
Menggunakan lingkup pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang
tersedia dari profesi kesehatan untuk
memberikan pelayanan yang aman,
tepat waktu, efisien, efektif dan adil.
Berkomunikasi dengan anggota tim
untuk mengklarifikasi tanggung jawab
setiap anggota dalam melaksanakan
komponen dari rencana pelayanan atau
intervensi kesehatan.
Menjalin hubungan ketergantungan
dengan profesi lain untuk
meningkatkan pelayanan pasien
Terlibat dalam pengembangan
profesional dan interprofesi
berkelanjutan untuk meningkatkan
kinerja tim
Menggunakan kemampuan yang unik
dan saling melengkapi dari semua
anggota tim untuk mengoptimalkan
pelayanan pasien
KOMUNIKASI Komunikasi Memilih alat dan teknik komunikasi
Interprofessional yang efektif, termasuk sistem
informasi dan teknologi komunikasi,
untuk memfasilitasi diskusi dan
interaksi yang meningkatkan fungsi
tim
Mengatur dan mengkomunikasikan
informasi dengan pasien, keluarga, dan
anggota tim kesehatan dalam bentuk
yang dapat dimengerti serta
menghindari terminologi profesi yang
spesifik bila memungkinkan
Mengungkapkan pengetahuan dan
pendapat kepada para anggota tim
yang terlibat dalam perawatan pasien
dengan keyakinan, kejelasan dan rasa
hormat
Mendengarkan secara aktif dan
mendorong ide dan opini dari anggota
tim lain
Memberikan umpan balik konstruktif,
tepat waktu dan sensitif kepada orang
lain tentang kinerja tim mereka serta
menanggapi umpan balik dari orang
lain dengan rasa hormat
Menggunakan bahasa yang tepat untuk
situasi yang sulit, percakapan atau
konflik interprofesi
Memahami bahwa setiap orang
memiliki keunikan tersendiri, termasuk
tingkat pengalaman, keahlian, budaya,
kekuasaan, dan hierarki dalam tim
perawatan kesehatan, sehingga dapat
memberikan kontribusi untuk
komunikasi yang efektif, resolusi
konflik, dan hubungan kerja
interprofesi yang positif
Berkomunikasi secara konsisten
mengenai pentingnya kerjasama pada
perawatan pasien berbasis tim dan
komunitas
Kerjasama tim memahami proses pengembangan tim
dalam
interprofessional
mengembangkan berbagai prinsip
kerjasama yang menghargai nilai-nilai
etis yang dianut oleh anggota
kelompok
memfasilitasi diskusi secara efektif dan
berinteraksi serta berpartisipasi dengan
anggota tim dan menghargai seluruh
anggota tim
berpartisipasi dan menghargai seluruh
anggota yang berpartisipasi secara
kolaboratif dalam pengambilan
keputusan
melakukan refleksi secara berkala
terhadap posisi dan fungsi mereka
terhadap kelompok peserta didik,
praktisi dan pasien/ klien/keluarga
menciptakan dan menjaga secara
efektif lingkungan hubungan kerja
yang sehat dengan peserta didik,
praktisi, pasien/klien dan keluarga baik
di dalam atau di luar tim yang telah
ditentukan
menghargai kode etik dalam tim,
termasuk di dalamnya kerahasiaan,
alokasi sumber daya dan
profesionalisme
Penyelesaian 1. mengenal, berintegrasi, menilai,
pasien berbasis bertindak sebagai rekan, memberi
pasien dan masukan dan menjalin hubungan
dengan
komunitas
pasien/klien/keluarga/komunitas
dalam merencanakan dan
memberikan pelayanan.
2. dapat mendukung partisipasi dari
pasien/klien dan keluarga, atau
perwakilan komunitas sebagai rekan
integral penyedia pelayanan
kesehatan.
3. Kerjasama dengan
pasien/keluarga/komunitas dapat
diwujudkan mulai dari perencanaan
pelayanan, implementasi dan
evaluasi, melalui proses berbagi
informasi dengan pasien/klien
(keluarga dan komunitas) dengan
sikap saling menghargai dan cara
yang mudah dimengerti.
4. mempelajari cara untuk
meningkatkan partisipasi
pasien/klien/keluarga/komunitas
dalam pengambilan keputusan
melalui pemberian informasi yang
akurat dan dukungan yang diberikan
oleh peserta didik.
MODUL DASAR 1

KEBIJAKAN PEMERINTAH TERKAIT DENGAN PENDIDIKAN ANTAR PROFESI

1. Deskripsi Singkat
Pendidikan interprofesi atau Interprofissional Educatio ( IPE) merupakan upaya
strategis untuk mempersiapkan mahasiswa atau peserta didik yang sedang duduk dibangku
kuliah dalam menghadapi masalah kesehatan yang kompleks serta perkembangan teknologi
bidang kesehatan yang pesat. Pendidikan interprofesi merupakan aplikasi konsep pendidikan
kolaborasi yang mencakup banyak aspek didalamnya, antara lain kerjasama dalam tim,
komunikasi inter dan antarprofesi dan pemahaman peran dan tugas setiap profesi. Sebagai
bekal untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kolaborasi di lapangan maupun
di klinik.
Pendidikan interprofesi sudah dilakukan dan diterapkan oleh beberapa institusi
kesehatan dengan kata lain bukan suatu hal yang baru. Konsep ini telah lama dicanangkan
oleh WHO seiring dengan penerapan kesepakatan Health for All 2000. Sepuluh tahun
kemudian, pendidikan tenaga kesehatan. Hal ini semakin dipertegas dalam laporan tahunan
WHO pada tahun 2000 yang merekomendasikan pembangunan sistem kesehatan nasional
dan menegaskan pentingnya penyediaan SDM kesehatan yang didukung dengan sistem
pendidikan yang melibatkan seluruh profesi terkait pada setiap Negara. Pendidikan
interprofesi telah muncul sebagai suatu respon kurikulum strategis yang bertujuan untuk
mempersiapkan praktisi yang mampu menghadapi lingkungan kesehatan yang dinamis,
kompleksitas masalah kesehatan dan tuntutan kinerja professional yang berkualitas. Selain
itu, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk yang mengalami masalah
kesehatan yang kompleks terus meningkat. Kondisi ini menimbulkan tuntutan yang lebih
besar terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan tenaga kesehatan yang professional.
Kerja sama tim dan berkolaborasi telah direkomendasikan sebagai strategi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Untuk menguatkan penerapan IPE, pada tahun 2010, WHO memperkenalkan strategi
IPE dalam bentuk “Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative
Praktice”. Inisiatif strategi ini juga merupakan lanjutan dari komitmen WHO sebelumnya
yang bertujuan untuk memperbaiki pendidikan kesehatan dan kedokteran, serta profesi
lainnya melalui IPE. Munculnya strategi ini adalah sebagai upaya untuk memperkuat sistem
pelayanan kesehatan berdasarkan dasar-dasar kesehatan primer, yang bertujuan untuk
mencapai kesehatan bagi semua orang melalui pelayanan kesehatan primer. Canadian
Interprofessional Health Collaborative (CIHC) menyebutkan bahwa praktik kolaborasi yang
berpusat pada pasien juga memperbaiki kualitas pelayana pasien dan meningkatkan luaran
kesehatan pasien beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa dengan layanan kesehatan
yang bersifat praktik kolaborasi telah berhasil menurunkan kejadian komplikasi penyakit,
lama rawat inap, jumlah kunjungan ke Rumah Sakit, kejadian malpraktik, dan angka
kematian. Hal tersebut diatas dapat mengurangi biaya kesehatan dan meningkatkan
kepuasan pasien. Selain itu, praktik kolaborasi juga mengurangi konflik yang terjadi diantara
tenaga kesehatan sehingga menanganan pasien baik secara individu maupun komunitas
menjadi lebih efektif dan efisien.
WHO menggambarkan praktik kolaborasi (collaborative practice) sebagai suatu
pelayanan komprehensif yang diberikan oleh dua atau lebih tenaga kesehatan dengan latar
belakang profesi yang berbeda, melalui kerja sama dengan pasien, keluarga, pengasuh, dan
komunitas untuk menyediakan kualitas pelayanan yang tertinggi diberbagai situasi.
University of Toronto menyebutkan bahwa pendidikan interprofesi bertujuan untuk
menghasilkan peserta didik profesi kesehatan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang sesuai dengan praktek kolaborasi interprofesional. Sehingga WHO pun
merekomendasikan pendidikan interprofesi sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk
meningkatkan kemampuan kolaborasi.
Pendidikan interprofesi merupakan “an occasion when two or more professions learn
with, from and about each other to improve collaboration and the quality of care” sebagai
sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Konsep dasar dari definisi tersebut diatas adalah
suatu proses pembelajaran yang melibatkan dua tau lebih profesi yang berbeda dan adanya
proses saling interaksi di dalamnya. Proses ini haruslah dibedakan dengan istilah antar
disiplin (interdisipline) dan multi profesi (multiprofesional) yang mana kedua istilah tersebut
hanyalah suatu pembelajaran bersama tetapi tidak ada proses saling interaksi (terkadang
hanya bersifat satu arah).
Pendidikan interprofesi atau Interprofesional Education (IPE) didefinisikan oleh
Centre for the Advancement of Interprovesional Education (CAIPE) sebagai suatu bentuk
pendidikan yang terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan bekerja sama, dari, dan
mengenai satu sama lain untuk mewujudkan kolaboasi yang efektif dan meningkatkan
luaran kesehatan yang lebih baik.
Pada sisi lain, pelaksanaan pembangunan kesehatan di Indonesia dengan seluruh
program dan pelayanan yang ada didalamnya menuntut keterpaduan intervensi baik antar
maupun intra profesi kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk sistem kesehatan nasional.
Saat ini Indonesia telah memiliki kebijakan tentang sistem kesehatan dalam bentuk
Peraturan Presiden No. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dalam
SKN 2012 ini diatur tentang pengelolaan pembangunan kesehatan yang dikelompokkan
menjadi 2 (dua) upaya besar yaitu Upaya Kesehatan Program (UKP) dan Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM). Setiap upaya kesehatan, UKP dan UKM, dibuat secara bertahap yaitu
primer, sekunder dan tersier yang dijalankan oleh fasilitas pelayanan kesehatan secara
berjenjang. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada membutuhkan dukungan unsur
SKN lain yaitu sumber daya manusia (SDM) kesehatan dan non kesehatan.
Mengingat penyelenggaraan SKN dalam bentuk pelayanan dan program kesehatan
membutuhkan dukungan antar dan intra profesi kesehatan secara terpadu, maka diperlukan
para professional yang memiliki kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim
sehingga menghasilkan pencapaian yang lebih optimal. Oleh karena itu, fakultas/Jurusan
dalam rumpun kesehatan serta organisasi profesi lainnya dituntut untuk menghasilkan
praktisi profesi yang mampu beradaptasi, fleksibel, bekerja dalam tim, bekerja sama secara
efektif, dan memiliki kemampuan interpersonal dan professional yang tinggi. Strategi untuk
mencapai tujuan tersebut adalah mengenalkan IPE baik dalam tahap akademik dan profesi.
IPE mampu menghasilkan seorang profesi dengan kemampuan, sikap dan keterampilan yang
baik dalam menhasilkan masalah kesehatan yang menantang dan dinamis.
Program IPE telah berkembang secara luas diberbagai institusi di Negara-negara
maju seperti Kanada, Inggris maupun di Asia seperti Jepang. Penelitian terkait IPE telah
dilakukan oleh berbagai profesi dan model pendidikan tersebut telah memberikan dampak
positif terkait praktek kolaborasi antar praktisi dan masyarakat. Perkembangan IPE di
Indonesia sudah berjalan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Tetapi IPE masih
dalam tahapan yang belum sepenuhnya mempunyai bentuk nyata. Pendidikan interprofesi
seringkali masih tetap menjadi wacana ilmiah (debat ilmiah) antara pendidik kesehatan dan
professional di Indonesia, dan belum diimplementasikan sebagai kebijakan untuk
mengintegrasikan IPE kedalam kurikulum pendidikan profesionel kesehatan di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu disusun suatu rekomendasi untuk mengembangkan IPE di Indonesia
untuk tujuh profesi (kedokteran umum, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, kesehatan
masyarakat, gizi, dan farmasi).

2. Landasan Filosofi
Demi mewujudkan bangsa yang kuat dibutuhkan kondisi kesehatan rakyat yang
optimal yang merupakan tujuan dari pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan
sebagai bagian integral dari pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (UU Kes 36/2009). Untuk melaksanakan
pembangunan kesehatan yang baik, pemerintah membangun sistem kesehatan nasional
(Perpes 72/2012) yang membagi upaya kesehatan menjadi Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM). Penyelenggaraan kedua upaya kesehatan,
UKP dan UKM, mutlak membutuhkan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai
yang memiliki kompetensi sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)
Indonesia.
Pada prinsipnya penyelesaian masalah kesehatan memerlukan kerjasama antar
anggota tim kesehatan yang ditujukan pada tiga faktor utama yaitu perbaikan faktor
lingkungan, peningkatan kemampuan dan daya tahan tubuh, serta pemberantasan bibit
penyakit. Kerjasama dalam tim ini perlu dikembangkan sejak awal yaitu sejak para calon
professional tersebut menempuh pendidikan (early exposure), sehingga masing-masing
dapat bekerja memahami perannya dalam menyelesaikan masalah kesehatan dan
peningkatan pelayanan kesehatan (individu, keluarga, maupun masyarakat) serta saling
memahami dan menghargai peran profesi masing-masing, sehingga kemitraan antar profesi
dapat terbentuk.
Mengacu pada definisi tentang tujuan pendidikan menurut UNESCO adalah untuk:
1) Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu,
termaksud didalamnya Learning to How
2) Learning to do: belajar untuk mengaplikasikan ilmu, bekerja sama dengan tim, bekrja
memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
3) Learning to be: bekerja untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab
untuk mewujudkan tujuan bersama.
4) Lerning to live together: belajar memahami dan menghargai orang lain, termaksud
sejarah dan nilai-nilai agamanya.
Keempat pilar tersebut diatas adalah strategi pembelajaran yang dianggap tepat
dalam abad ke 21 ini. Selaras dengan tuntutan dalam menyelenggarakan SKN dan tujuan
akhir dari pendidikan menurut WHO dan UNESCO diatas, maka sudah selayaknya apabila
para professional kesehatan dalam bekerja menerapkan 4 pilar tersebut dalam bentuk praktik
kerjasama, saling mengisi dan membangun kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, untuk
mencapai hal tersebut diatas, diperlukan proses pendidikan yang semenjak dini dengan
mengenalkan dan membiasakan para calon profesioanl kesehatan untuk berinteraksi bersama
dan berkolaborasi dengan membangun kompetensi professional dan teknis dalam semangat
kerjasama antar profesi dalam suatu institusi.

3. Landasan Histori

Pendidikan dokter
Pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjalanan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Sejarah mencatat bahwa pendidikan tenaga
kesehatan diawali dengan pendidikan kedokteran pada tahun 1851 dengan Sekolah Dokter
Jawa dengan lama pendidikan sekitar 2 tahun yang kemudian menjadi 7 tahun. Setelah
sekolah dokter Jawa selanjutnya pendidikan dokter pada era penjajahan Belanda mengalami
beberapa pergantian sistem seperti School tot Opleiding von Indische Artsen (STOVIA)
tahun 1901, Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS) 1913, dan GH tahun 1927. Pada
jaman menjajahan jepang, pendidikan dokter kembali mengalami pergantian sistem untuk
memenuhi kebutuhan pada saat itu. Pendidikan dokter pada masa itu (1942) disebut Ika Dai
Gaku dengan lama pendidikan yang diperpendek menjadi 5 tahun untuk memenuhi
kebutuhan dokter tentara jepang.
Setelah Penjajahan Jepang kalah dan Indonesia merdeka, nama sekolah IKA
DAIGAKU diubah menjadi nama Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan
pada tahun 1946 berdirilah Universitas Gajah Mada yang didirikan didepan halaman keratin
Yogyakarta yang kemudian akan menjadi Balai Perguruan Tinggi Kedokteran UGM.
Setelah penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal
2 Februari 1950, kedua jenis Institusi pendidikan kedokteran tersebut, yaitu Perguruan
Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit, Nood-Universiteit van
Indonesie, digabung dan disatukan dengan memakai nama Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pada tahun 2000 Indonesia memiliki 33 Fakultas Kedokteran dan pada tahun
2010 terjadi peningkatan jumlah FK yang cukup bermakna, tercatat telah ada 72 FK dengan
31 diantaranya FK negeri dan 41 FK swasta yang tersebar diseluruh Indonesia.

Pendidikan dokter gigi

Sejarah pendidikan kedokteran gigi di Indonesia sebenarnya sudah dimulai sejak


zaman pemerintahan Hindia Belanda. Sebenarnya kota Surabaya adalah tempat dimulainya
pendidikan kedokteran gigi di Indonesia. Pendidikan kedokteran gigi ini berkaitan dengan
dimulainya pendidikan dokter di Hindia Belanda.
Pada tahun 1928 program Pendidikan Kedokteran Gigi di Indonesia pertama kali
dibuka, yaitu School tot Opleiding voor Indische Tandarts (STOVIT) di Surabaya. Pada
masa ini, pemerintah Belanda telah mendirikan beberapa pusat pendidikan tinggi di
Indonesia yang merupakan Universiteit van Indonesia antara lain Pendidikan Bidang
Kedokteran (STOVIA) di Jakarta, Pendidikan Bidang Pertanian di Bogor, dan pendidikan
Bidang Teknik di Bandung. Selanjutnya, bidang kedokteran gigi (STOVIT) di Surabaya
tersebut kemudian menjadi bagian dari Universitas Airlangga.
Pada tahun 1957 salah seorang staf pengajar yaitu Ratiza Zainal dikirim ke Amerika
Serikat untuk memperdalam pengetahuan tentang teknik pengobatan dan perawatan gigi. Ia
dikirim bersama dengan empat dokter gigi lain dari berbagai kota di Indonesia untuk belajar
di berbagai sekolah kedokteran gigi di Amerika serikat atas kerjasama antara kementrian
Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan (PP dan K) dengan Administrasi Kerjasama
Internasional Amerika Serikat di Indonesia (ICA)
Pada tahun 1959 ketika Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga bekerjasama
dengan University of California, Fakultas Kedokteran Gigi juga diberi kesempatan untuk
ikut memanfaatkan kerjasama tersebut dengan mengirim duabelas staf pengajarnya untuk
memperoleh pendidikan tambahan dan pendidikan bergelar dengan beasiswa dari USAID

Pendidikan kesehatan masyarakat


Pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia lahir beberapa dekade setelah upaya
kesehatan masyarakat mulai diperkenalkan. Pendidikan kesehatan masyarakat diawali
dengan pendirian Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia pada tanggal 1 juli tahun 1965. Upaya awal ini kemudian dilanjutkan dengan
pemisahan Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dari Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia menjadi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia pada tahun 1965.
Pada tahap awal penyelenggaraan pendidikan kesehatan masyarakat, program pendidikan
yang disediakan adalah sarjana kesehatan masyarakat bagi para dokter (setara spesialis).
Proses ini kemudian dilanjutkan dengan pendidik para lulusan akademi kesehatan (diploma
III) untuk menjadi sarjana kesehatan masyarakat. Mengingat kebutuhan tenaga kesehatan
masyarakat yang semakin meningkat, maka pada tahun 1980-an dikembangkan Proyek
Pengembangan Fakultas Kesehatan Masyarakat di 4 Universitas yaitu di Universitas
Sumatera Utara, Universitas Diponegoro, Universitas Airlanggar, dan Universitas
Hasanuddin. Pada awal dekade 1990-an pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia
telah dijalankan oleh 5 FKM di atas untuk program pendidikan sarjana dan pasca sarjana (S2
dan S3) di FKM UI.
Pendidikan kesehatan masyarakat di Indonesia memasuki era baru pada tahun 1996
dengan dibukanya Program Studi Sarjana Kesehatan Masyarakat di perguruan tinggi swasta.
Berawal dengan dibukannya program studi S1 Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) di
Universitas Muhammadiyah Aceh, kemudian pendirian program studi IKM berkembang di
berbagai perguruan tinggi dan sekolah tinggi kesehatan di seluruh Indonesia. Pada tahun
2005 didirikanlah Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Kesehatan Masyarakat (AIPTKMI)
dan pada saat itu jumlah program studi IKM baru sekitar 75 program di seluruh Indonesia.
Pada tahun 2014 ini berdasarkan Pangkalan Data Perguruan Tinggi (PDPT) Kemendikbud,
jumlah program studi S1 IKM sudah mencapai 195 prodi dan baru 118 yang menjadi
anggota AIPTKMI.

Pendidikan keperawatan
Perkembangan pendidikan keperawatan di Indonesia diawali sebelum kemerdekaan.
Sekolah perawat pertama kali didirikan di Rumah Sakit PGI Cikini pada tahun 1916.
Sekolah ini diselenggarakan dengan mengandalkan para perawat belanda sebagai pendidik
ditambah beberapa dokter. Para siswa diajarkan teori merawat yang kemudian diaplikasikan
langsung didalam paraktik pada saat yang sama. Pendidikan keperawatan pada jenjang
akademi mulai dikembangkan pada tahun 1962 yaitu pendidikan Akademi Perawat yang
berafiliasi dengan RS Cipto Mangunkusumo. Lulusan pendidikan ini menyandang gelar
Sarjana Muda Ilmu Perawatan atau BSc. Setahun berikutnya pendidikan tingkat Akademi
Perawat ini diikuti oleh RS St Carolus. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta tuntutan masyarakat akan kebutuhan pelayanan keperawatan nasional, maka
pada tahun 1983 diadakan lokakarya Nasional di Jakarta. Lokakarya ini dihadiri oleh
berbagai elemen termaksud unsur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Depertemen
kesehatan, Badan Administrasi Kepegawaian Nasional, Konsorsium Ilmu Kesehatan dan
berbagai Organisasi Profesi Kesehatan. Kegiatan ini menghasilkan kesepakatan nasional
yang menyatakan Keperawatan sebagai profesi dan dibutuhkan pada sistem pendidikan
tinggi.
Sebagai tindak lanjut lokakarya tersebut, maka pada tahun 1985 dimulai Pendidikan
Keperawatan pada jenjang strata satu (S-1) di Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) yang
diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Sementara ini
pendidikan Akademi Perawat (AKPER) dengan program pendidikan diploma tiga (D-III)
masih terus bertambah jumlahnya hingga saat ini. Pendidikan tinggi keperawatan di
Indonesia, yang mulai ditumbuhkembangkan di Universitas Indonesia, saat ini sudah sampai
jenjang magister, spesialis, dan dokter keperawatan.

Peendidikan apoteker
Perguruan tinggi farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya Perguruan Tinggi
Ahli Obat (PTAO) pada tanggal 27 september 1946 di Klaten Jawa Tengah, yang
selanjutnya bergabung dalam Universitas Gajah Mada menjadi fakultas kedokteran, fakultas
kedokteran gigi, dan fakultas farmasi. Setahun kemudian (1947) di Bandung diresmikan
Bagian Farmasi FIPIA UI yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi FMIPA ITB,
diikuti dengan berdirinya pendidikan farmasi di berbagai perguruan tinggi pada periode
1960-1970 yaitu di Universitas Pajajaran, Universitas Airlangga, Universitas Hasanudin,
Universitas Katolik Widya Mandala, Universitas Andalas, Universitas Indonesia,
Universitas pancasila, Universitas Surabaya dan Universitas Sumatera Utara.
Pada umumnya pendidikan apoteker di Indonesia berupa program studi/jurusan di
Fakultas MIPA atau berdiri sendiri sebagai fakultas farmasi, berapa pada perguruan tinggi
negeri (PTN) paupun perguruan tinggi swasta. Beragamnya kondisi pendidikan Apoteker
pada saat itu memunculkan gagasan untuk membentuk asosiasi yang akhirnya terwujud pada
tahun 2000 dengan terbentuknya Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI).
APTFI telah membangun berbagai kesepakatan diantaranya tentang kurikulum nasional
program studi sarjana maupun kurikulum nasional pendidikan apoteker.
Pada periode awal orientasi pendidikan farmasi lebih berfokus pada produk (product
oriented). Maraknya era industry farmasi pada masa itu menjadi penyebab pendidikan dan
praktik farmasi Indonesia lebih berfokus pada keahlian membuat dan menyiapkan sediaan
farmasi yang berkualitas, aman dan efektif, namun nyaris belum menyentuh sisi lain terkait
tanggungjawab penjaminan penggunaan obat secara rasional. Titik balik mulai terjadi pada
era 1990 dengan munculnya kesadaran pada pentingnya kehadiran profesi farmasi pada
tahap pemilihan obat dan penggunaan obat oleh pasien. Arah perkembangan praktik
kefarmasian di Indonesia sudah mulai mengikuti perkembangan kefarmasian dunia, yaitu
berfokus pada manusia sebagai pengguna obat (patient oriented). Peran apoteker mulai
berkembang dari penyedia obat sebagai komoditi menuju pelayanan kefarmasian yang
komprehensif (patient care) untuk menjamin terapi obat yang diberikan rasional dan
optimal. Pendekatan yang dikenal sebagai pharmaceutical care ini mulai diterapkan pada
tahun 2004 dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik dan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.

Pendidikan kebidanan
Perkembangan pendidikan kebidanan dimulai pada penjajahan belanda pada tahun
1851. Seorang dokter militer belanda membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di
Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik. Tahun 1902
pendidikan bidan dibuka kembali di Batavia dan tahun 1904 dibuka di Makassar. Tahun
1935-1938 pemerintah belanda mendidik bidan lulusan MULO (setingkat SMP) dan hampir
bersamaan dibuka sekolah bidan dibeberapa kota besar di Jakarta RS Budi Kemuliaan, RSB
Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo Semarang. Mengingat jenis tenaga kesehatan yang
sangat banyak, Depkes melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non-
sarjana. Setelah sekolah bidan ditutup dibuka SPK dengan tujuan tenaga multipurpose
dilapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena
perbedaan falsafah dan kulikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang
bidan, maka tujuan agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai. Tahun 1975-1984
pendidikan bidan ditutup selama 10 tahun, nama IBI tetap ada.
Pada tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan dalam
pelayanan kesehatan ibu dan anak terksud kebidanan, dibuka pendidikan diploma 1
kebidanan tetapi berlangsung hanya 1 tahun. Tahun 1985 dibuka kembali program
pendidikan bidan (PPB) menerima lulusan dari SPK. Lulusannya memiliki kewenanggan
dalam meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta KB di masyarakat. Tahun 1993
dibuka PPB program B yang peserta didiknya dari lulusan Akper. Pada tahun 1996 dibuka
D3 kebidanan dengan peserta didik dari SMA hingga saat ini jumlah institusi sudah lebih
dari 600 institusi negeri maupun swasta. Tahun 2000 dibuka DIV bidan pendidik yang
diselenggarakan di FK UGM untuk memenuhi kebutuhan tenaga dosen pada D3 Kebidanan
yang selanjutnya diikuti oleh UNPAD 2001, USU 2004, STIKES NGADIPURO WALUYO
UNGGARAN Serta STIKIM Jakarta 2003. Selanjutnya dibuka pendidikan S1 profesi bidan
tahun 2006 di FK UNAIR, diikuti FK Universitas Brawijaya 2009 dan FK Universitas
Andalas 2012. Sampai saat ini pendidiikan kebidanan pada jenjang S2 yaitu di Universitas
Padjadjaran, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanudin dan Universitas Andalas,

Pendidikan Dietetion
Pada tahun 1934 Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan institusi untuk
melakukan penelitian gizi yang bernama Instituut voor Onderzoek der volkvoeding (IOVV)
dan pada tahun 1939 berubah menjadi Institut Voor volkvoeding (IVV). Tugas pokok
institute ini meliputi: menelitian gizi, survey gizi dan diet, serta pendidikan gizi. Disamping
itu Institut juga berfungsi sebagai badan penasehat bagi pemerintah colonial mengenai
masalah pangan dan gzi masyarakat pribumi. Tahun 1950 IVV diubah menjadi Lembaga
makanan rakyat (LMR) yang dipimpin oleh dr. Poerwosoerdamo yang memperkenalkan
slogan “4 sehat 5 sempurna” dan menjadi focus penyuluhan gizi.
Program gizi masyarakat yang dikenal secara international sampai tahun 1990 an
adalah usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) suatu modifikasi yang lebih efektif dari
program FAO/WHO Applied Nutrition Programme (ANP). UPGK adalah sutu program gizi
masyarakat yang lintas sector dengan satu tujuan bersama eningkatkan keadaan gizi
masyarakat terutama bayi, balita, dan ibu hamil. Kegiatan program UPGK adalah
pendidikan gizi masyarakat desa, pelayanan gizi ibu dan anak melalui POSYANDU, sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dan pemanfaatan tanaman pekarangan. Pendidikan
gizi atau dikenal sebagai upaya penyuluhan gizi, dilaksanakan oleh sector kesehatan, agama,
keluarga berencana, dan dalam negeri (PKK). Pelayanan gizi dan anak di posyandu
dilaksanakan terpadu oleh PKK, kesehatan, dan keluarga berencana. Tanaman pekarangan
oleh sector pertanian, PKK dan pendidikan dan SKPG oleh sector kesehatan, pertanian dan
dalam negeri.
Perkembangan pendidian gizi di Indonesia dimulai dengan berdirinya sekolah ahli
makanan (SAM) yang pada tanggal 27 september 1950 di Jakarta dengan masa pendidikab
satu setengah tahun. Lulusan SMA bekerja di Rumah Sakit sebagai ahli makanan
(Kepmenkes No. 211351/UU tanggal 27 September 1950 tentang pengangkatan 9 dosen-
dosen kursus ahli makanan). Selanjutnya pada tahun 1952 sebagai lanjutan dari SMA maka
didirikan sekolah ahli diit (SAD) dengan masa pendidikan 3 tahun.
Sesuai dengan perkembangan ilmu gizi dan kebutuhan masyarakat, SAD dan SK
Menkes No. 1190/Um/Pend tanggal 14 Juni 1957 ditingkat menjadi Akademi Pendidikan
Nutrisionis dan Ahli Diit (APN-AD) yang kemudian menjadi pendidikan Nutritionis (Tanpa
Ahli Diit) dengan lama pendidikan 3 tahun dan lulusan berhak menyandang BSc sejak 1957.
SAD yang semula menempati suatu rumah dinas dan asrama di jalan Kramat VIII Jakarta,
pada tahun 1957 pindah kesuatu kampus APN yang lengkap dengan ruang perkuliahan,
laboratorium, perpustakaan, Aula, rumah dosan dan asrama mahasiswa, dijalan semboja,
Cilendek Bogor.
Padab tahun 1962, Poerwosoedarmo, sebagai direktur APN, mempresentasikan
konsep APN lengkap dengan kurikulumnya kesuatu konferensi International tentang
International and Interprofessional Conference In Food Habit and Malnutrition, di Meksiko
1960. Dalam konferensi ini konsep akademi gizi di Indonesia dengan kurikulumnya
dianggap unik, karena umumnya pendidikan profesi gizi berada di Universitas dan pada
tingkatan sarjana, sedangkan di Indonesia mulai dari lapangan dan terapan. Pada bulan
Oktober 1965 APN dipindahkan ke Jakarta dengan berganti nama mengadi Akademi Gizi
Depkes.
Tahun 1972, Departemen IKK, Faferta, IPB, memiliki 2 bidang keahlian, yaitu (1)
gizi dan makanan, (2) kesejahteraan keluarga. Lama pendidikan 4 tahun dan sebutan lulusan
yang mengambil keahlian gizi dan makanan adalah Ir (sarjana) pertanian dengan bidang
keahlian gizi. Pada tahun 1976 diputuskan untuk membina hanya 1 bidang keahlian yaitu
gizi. Lama pendidikan 4 tahun dan lulusannya bergelar Ir (sarjana) pertanian dengan bidang
keahlian gizi berkat diselenggarakannya pendidikan S-1 bidang keahlian gizi IPB, maka
untuk pertama kalinya di Indonesia muncul pendidikan tinggi yang meluluskan sarjana di
bidang gizi dengan wawasan ilmu di luar bidang ilmu kedokteran atau medic-klinik tahun
1982 IKKP berubah menjadi jurusan gizi masyarakat dan sumber daya keluarga (GMSK).
Selanjut pada tanggal 6 januari 2003, FK-PIG bersama-sama dengan organisasi
frofesi gizi yaitu: persatuan ahli gizi (PERSAGI), perhimpunan peminat gizi dan pangan
(PERGIZI-PANGAN) serta persatuan dokter gizi medic Indonesia (PDGMI) menyepakati
susunan kurikulum program studi ilmu gizi (sarjana gizi). Tahun 2004, pembentukan AITGI,
KIGI, dan syarat-syarat pendirian pendidikan S1 gizi diresmikan oleh dikti. Program
pendidikan S1 gizi dengan gelar sarjana gizi (S.Gz) telah diselenggarakan di UGM, UNDIP,
dan universitas Brawijaya (UB) pada tahun 2004, FEMA IPB dan UNHAS pada tahun 2005
serta di UI pada tahun 2008.
Program studi S1 gizi sebagai program akademik, diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan tenaga ahli gizi berkualitas di Indonesia yang dapat memberikan alternative
strategi untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat yang
makin kompleks berkaitan dengan masalag gizi untuk meningkatkan kemampuan dan
spesifikasi keahlian tenaga gizi perlu diupayakan dalam bentuk terprogram yaitu pendidikan
profesi gizi. Sesuai dengan undang-undang No 23 tahun 2003 tenaga sistem pendidikan
nasional (lembaran Negara, penjelasan pasal 15 UU sisdiknas No. 20/2003). Pasal tersebut
menyebutkan bahwa pendidikan profesi adalah pendidikan keahlian khusus setelah
penempuh pendidikan akademik sarjana.
Pendidikan profesi gizi (Dietetic Intrnship) merupakan salah satu amanat dari
Muktamar pertama Asosiasi Institusi pendidikan gizi Indonesia di bantu malang pada bulan
agustus 2004. Pertemuan awal pada bulan September 2004, kemudian dilanjutkan
pertemuan-pertemuan berikutnya yang melibatkan organisasi profesi Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (Persagi), Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI), Kolegium Ilmu Gizi Indonesia
(KIGI) dan APGI, sehingga menghasilkan Kurikulum Pendidikan Profesi yang disyahkan
pada bulan agustus 2005 oleh ketua AIPGI dan diketahui oleh ketua KIGI.
Dalam upaya perijinan pendidikan gizi, diadakan pertemuan bersama antara KIGI,
Persagi, AIPGI dengan Dirjen Dikti pada 27 september 2005 mengenai penyelenggaraan
pendidikan profesi gizi. Tindak lanjut dari pertemuan adalah persagi menerbitkan MOU
kepada3 Universitas, yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas
Brawijaya (UB) Malang, Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar ke Dirijen Dikti
untuk izin penyelenggaraan pendidikan profesi gizi. Pada tanggal 2 agustus 2006 diterbitkan
MOU untuk Institut Pertanian Bogor (IPB) No 126/DPP-PERSAGI/SEK/II/2006 untuk
melaksanakan program pendidikan profesi. Pendidikan profesi di UGM telah
diselenggarakan tahun 2006 dengan gelar Dietisien. (Sumber: Naskah Akademik Sistem
pendidikan Tenaga Gizi. 2014. Persatuan Ahli Gizi Indonesia dan Asosiasi Institusi
Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia).
Berdasarkan uraian perjalanan sejarah pendidikan pada beberapa profesi kesehatan di
atas dapat ditarik benang merah yaitu bahwa pada dasarnya pendidikan profesi kesehatan di
Indonesia bermula dari satu profesi yang kemudian berkembang menjadi sekian banyak
profesi seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
semakin berkembang.
Pendidikan interprofesi sendiri telah berkembang dengan cukup pesat di luar negeri.
Penerapan pendidikan interprofesi di Kanada telah berlangsung selama 12 tahun, bermula
pada tahun 1992 di university of Alberta. Telah banyak penelitian yang dilaporkan mengenai
pendidikan interprofesi di Kanada. Salah satu laporan menyebutkan bahwa dalam
mengembangkan kolaborasi interprofesi antara profesi kesehatan dan sosial, pemerintah
Kanada telah menginisiasi banyak program sejak awal tahun 1990. Salah satu upayanya
adalah dengan melakukan praktik kolaborasi untuk pencegahan, seta meyakinkan organisasi
pelayanan kesehatan untuk mengimplementasikan beberapa kegiatan yang
mendemostrasikan bagaimana tim pelayanan kesehatan dapat bekerja bersama dan
melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan. Pada tahun 2000 pemerintah Kanada
memberikan dana sebesar 800 juta dolar untuk daerah-daerah dalam rangka mendukung
percepatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan kolaboratif
untuk menjawab kebutuhan pasien.
Health Canada menyebutkan, “merubah cara kita mengedukasi para penyelenggara
kesehatan merupakan kunci untuk mencapai perubahan sistem dan metakinkan bahwa
penyelenggara pelayanan kesehatan memiliki pengetahuan yang dibutuhkan dan pelatihan
agar dapat belerja secara efektif dalam tim interprofesi dengan mengintegrasikan sistem
pelayanan kesehatan”. Pada tahun 2013 pemerintah Kanada membentuk interprofessional
Education for Collaborative Patient-centred Practice (IECPCP) untuk menjamin pendidikan
profesi kesehatan agar lulisannya memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap untuk
praktek dengan berfokus pada pasien. Dokumen yang dihasilkan oleh IECPCP memberikan
gambaran perkembangan nasional dan internasional terkait pendidikan dan praktek
interprofesi, baik contoh yang berhasil maupun yang kurang berhasil, berdasarkan hasil
survei nasional maupun studi literature. Dokumen tersebut juga merekomendasikan bahwa
penyelenggaraan pendidikan interprofesi yang berfokus pada pasien perlu dilaksanakan
dibawah lingkungan pendidikan yang tidak mengancam dan bersifat reflektif dalam grup
kecil. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan berbasis interprofesi dan berfokus pada pasien
bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pasien dan penyelenggara pelayanan serta
meninglatkan luaran pasien.
Jepang merupakan salah satu negara di benua Asia yang telah mengintegrasikan
pendidikan interprofesi dalam kurikulum pendidikan. Inisiasi pelayanan IPE telah
dilaksanakan sejak tahun 1999, dan pada tahun 2002 pemerintah jepang membentuk tim
riset untuk mengembangkan IPE. Pada tahun 2003 beberapa profesor dikirimkan ke United
Kingdom dan pemerintah jepang juga mendukumh penerapan IPE sehingga pada tahun
2005, kementerian pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang
memberikan bantuan kepada untiversitas untuk memfasilitasi pembentukan IPE. Sistem
pendidikan interprofesi di Jepang telah dimulai pada tahun 2009. Jepang sendiri telah
memiliki organisasi khusus kani JIPWEN (Jepang Interprofesional Working And Education
Network) yang menjadi wadah para institusi pendidikan dalam mengembangkan pendidikan
interprofesi di jepang.

Pendidikan Analis Kesehatan


Sejarah perkembangan laboratorium kesehatan di dunia dimulai sejak awal
diketemukannya mikroba oleh Antony van Leeuwenhoek (1632 – 1723) yang kemudian
menjadikannya menjadi salah seorang penemu mikrobiologi. Kemudian dilanjutkan dengan
beberapa penemuan di dunia mikrobiologi lainnya seperti Louis Pasteur (1822 – 1895)
penemu teori biogenesis dan penemu protozoa penyebab penyakit serta penemu vaksin,
Robert Koch (1843 – 1910) penemu penyakit Anthrax dan terkenal dengan Postulat Koch.
Tidak ada buku sejarah yang otentik tentang perkembangan laboratorium di Indonesia,
namun menelusuri berbagai catatan dan masukan dari beberapa orang yang terlibat dalam
proses terbentuknya laboratorium kesehatan di Indonesia. Perkembangan tersebut adalah
sejak dimulainya pemerintah penjajahan Belanda pada abad ke -16, pada tahun 1851
sekolah dokter Jawa didirikan oleh dr. Bosch, kepala pelayanan kesehatan sipil dan militer
dan dr. Bleeker di Indonesia. Kemudian sekolah ini terkenal dengan nama STOVIA (School
Tot Oplelding Van Indiche Arsten) atau sekolah untuk pendidikan dokter pribumi. Dalam
rangka mengembangkan kesehatan masyarakat di Indonesia pada saat itu kemudian
didirikan Pusat Laboratorium Kedokteran di Bandung pada tahun 1888. Kemudian pada
tahun 1938, pusat laboratorium ini berubah menjadi Lembaga Eykman dan selanjutnya
disusul didirikan laboratorium lain di Medan, Semarang, Makassar, Surabaya dan
Yogyakarta. Laboratorium-laboratorium ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam
rangka menunjang pemberantasan penyakit seperti malaria, lepra, cacar dan sebagainya
bahkan untuk bidang kesehatan masyarakat yang lain seperti gizi dan sanitasi.

Pada tahun 1968 dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa puskesmas
adalah merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan
oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Salah satu kegiatan pokok puskesmas mencakup antara lain adalah
laboratorium.

Kemudian terjadi perkembangan pelayanan laboratorium kesehatan selain yang


diselenggarakan oleh pemerintah khususnya swasta dengan berdirinya Laboratorium Klinik
“CITO ” pada tanggal 10 April 1967 oleh Bapak. H. Achmad Djoeahir. Berlokasi di salah satu
jalan utama kota Semarang, yaitu Jalan Imam Bonjol No. 206. Kemudian disusul dengan
Prodia yang didirikan di Solo pada tahun 1973 sebagai yayasan yang juga melayani
pemeriksaan laboratorium. Sampai sekarang perkembangan laboratorium sudah
sedemikian pesatnya dan seiring dengan perkembangan teknologi laboratorium kesehatan
yang semakin modern maka semakin banyak berdiri laboratorium klinik swasta di
Indonesia.

Adanya laboratorium kesehatan di Indonesia tidak bisa terlepas dari sumber daya
kesehatan yang menjalankan kegiatan pelayanan di laboratorium, maka pemerintah
kemudian mendirikan institusi pendidikan analis kesehatan. Cikal bakal keberadaan
institusi pendidikan analis kesehatan adalah dengan didirikannya pusat pelatihan tenaga
kesehatan oleh dr. Y. Sulianti bersamaan dengan didirikan Proyek Bekasi (tepatnya Lemah
Abang) sebagai proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan
masyarakat pedesaan di Indonesia. Selanjutnya berdiri Sekolah Pengatur Analis (SPA) yang
didirikan pada tahun 1958 di Medan dan Yogyakarta. Masa pendidikan pada saat itu adalah
2 tahun yang berasal dari lulusan SD. Lulusannya dapat melanjutkan pendidikan
kekhususan selama 2 tahun lagi yaitu jurusan kimia dan jurusan bakteri. Termasuk juga
dengan berdirinya Sekolah Penjenang Kesehatan bagian F pada tahun 1970an. Tahun 1982
karena adanya kebijakan pemerintah berubah namanya menjadi Sekolah Menengah Analis
Kesehatan dan tahun 1998 dikonversi menjadi D-III Akademi Analis Kesehatan.

Perkembangan institusi pendidikan analis kesehatan mengalami perkembangan yang pesat.


Seperti halnya kebijakan pemerintah untuk menggabungkan akademi-akademi kesehatan
di institusi negeri menjadi Politeknik Kesehatan dan mengilhami pendirian sekolah-sekolah
tinggi kesehatan yang juga menyelenggarakan pendidikan Diploma III dan Diploma IV Analis
Kesehatan.

4. Landasan Sosiologis
Pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia saat ini telah berkembang pesat dan telah
mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan konsidi sebelumnya. Berbagai
perubahan telah terjadi seiring dengan kebutuhan dan tantangan baik yang datang dari
tingkat lokal, nasional, dan global yang semuanya berujung pada peningkatan mutu
pelayanan kesehatan dan pemenuhan tuntutan perubahan, peningkatan kebutuhan dan
preferensi masyarakat terhadap jenis layanan yang diinginkan.
Dalam hal metode pembelajaran, telah terjadi perubahan mendasar dari yang semula
menggunakan metode yang lebih berfokus pada dosen/pengajar (teacher centered) menjadi
berfokus pada peserta didik (student centered). Melalui penerapan pendekaran student
centered ini maka proses pembelajaran menuntut peserta didik lebih aktif dalam proses
pembelajaran dan membiasakan diri untuk belajar dan bekerja dalam kelompok kecil bekerja
sama untuk mencapai tujuan pembelajaran serta memperoleh retensi pengetahuan yang lebih
lama.
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan status sosial ekonomis masyarakat
yang semakin membaik juga memerlukan antisipasi dari pelayanan kesehatan yang ada. Saat
ini upaya pelayanan kesehatan perorangan (UKP) dituntut untuk dapat memberikan
pelayanan yang berkualitas, mengutamakan keselamatan pasien, dan pelayanan yang
berfokus pada pelanggan. Pelayanan kesehatan juga dituntut untuk dapat memberilan
layanan yang terpadu, menyelutuh dan juga diselenggarakan dalam satu tempat yang
terjangkau. Pelayanan UKP juga dituntut untuk memiliki jaringan pelayanan yang semakin
memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya. Sehubungan dengan pemanfaatan teknologi,
terutama teknologi informasi, pelayanan UKP juga dituntut untuk menyediakan layanan
yang didukung dengan teknologi dan sistem informasi yang handal, seiring dengan
pemanfaatan berbagai media dan teknologi komunikasi dan informasi oleh masyarakat.
Perubahan dan perkembangan lain yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini
adalah peningkatan jumlah dan proporsi penduduk yang tinggal dikawasan perkotaan seiring
dengan proses urbanisasi yang terus berkembang. Masyarakat perkotaan umumnya
bercirikan masyarakat yang ingin dengan cepat dan mudah mendapatkan pelayanan
(instant), lebih terdidik dan lebih sejahtera. Kondisi ini tentu saja akan melahirkan tuntutan
terhadap pelayanan kesehatan yang semakin berkualitas dan merata.
Dalam hal pembiayaan kesehatan khususnya pada era Jaminan Kesehatan Nasional,
pembiayaan kesehatan khususnya untuk pembiayaan UKP, saat ini sedang didorong untuk
menerapkan sistem asuransi (pra-bayar) dan pembayaran berdasarkan paket (INA-CBGs).
Pembiayaan dengan model paket berdasarkan kelompok diagnosis ini menuntut kerjasama,
keterbukaan dan senergi para pemberi pelayanan kesehatan.
Merujuk pada berbagai tuntutan di atas, maka suatu revolusi dalam praktek dan
pendidikan tenaga kesehatan perlu diterapkan, mengacu pada kerangka yang telah dibuat
oleh WHO. Tujuan utama pendidikan interprofesi ini adalah terbentuknya kompetisi praktik
kolaborasi yang berupakan inti dalam sistem kesehatan.
Framework WHO tersebut juga disokong oleh barr (2005) yang menggambarkan
bagaimana reaksi yang ditimbulkan akibat diselenggarakannya pendidikan interprofesi yang
efektif. Mulai dari timbulnya interaksi positif sampai dengan peningkatan kerjasama dalam
bidang kesehatan.

5. Landasan Yuridis
Untuk menerapkan Pendidikan Interprofesi kesehatan, saat ini Indonesia telah
memiliki beberapa landasan yuridis/hukum baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pendidikan maupun amanat untuk menyelenggarakan pelayanan dan program kesehatan
dengan baik. Berbagai produk kebijakan dan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:

1) Undang Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945


2) Undang Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional (Lembaga
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 78, Tambahan Lembaga Negara
Republik Indoensia Nomor 4 301);
3) Undang Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran (Lembaga Negara
Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 116, Tambahan Lembaga Negara Republik
Indonesia Nomor 4431); Undang Undang Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (Lembaga Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 157, Tambahan
Lembaga Negara Republik Indonesia Nomor 4586);
4) Undang Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaga Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaga Negara Republik Indonesia
Nomor5063 Undang Undang Nomor 44 Tahut 2009 tentang Rumah Sakit ( Lembaga
Negara republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan Lembaga Negara
Republik Indonesia Nomor5072);
5) Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1996 tentang tenaga kesehatan (Lembaga
Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Bomor 49, Tambahan Lembaga Negara
Republik Indonesia Nomor 3637);
6) Perauran Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar nasional Pendidikan
(Lembaga Negara Republik Indonesia tTahun 2005 Nmor 41, Tambahan Lembaga
Negara Republik Indonesia Nomor 4496);
7) UU No.36/2014 tentang Tenaga Kesehatan
8) Undang Undang No 38 tahun 2014 tentang Keperawatan
9) Perpus No. 72 tentang sistem Kesehatan Nasional
KONSEP DASAR PENDIDIKAN KOLABORSI ANTARPROFESI

1. DESKRIPSI SINGKAT
Kompleksitas masalah kesehatan sebagai akibat dari beberapa faktor diantaranya
terjadinya perubahan status demografi, perubahan pola hidup dan karakteristik masyarakat.
Adanya perubahan ini menuntut adanya perubahan dalam system pelayanan kesehatan
termasuk system pemberian pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif mencakup aspek
promotif, preventif curative dan rehabilitative dengan pendekatan “people centered care”.
Pelayanan yang berpusat pada orang yang dalam hal ini tidak hanya berupa pelayanan yang
berfokus pada penerima layanan kesehatan seperti individu, keluarga dan masyarakat akan
tetapi juga berfokus pada tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan agar dapat
memberikan layanan yang berkualitas, aman, efektif dan efisien. Praktek kolaborasi
interprofesi merupakan pendekatan pelayanan yang dapat meningkatkan efektfitas dan
efisiensi pelayanan kesehatandan berfokus pada orang dan masyarakat. Untuk dapat
melakukan praktek kolaborasi interprofesi dalam tim kesehatan diperlukan kompetensi
kolaborasi interprofesi yang harus disiapkan dan diberikan dalam tahap pendidikan yang
disebut dengan Pendidikan interprofesi atau Interprofessional Education (IPE).

2. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan konsep pendidikan interprofesi
(IPE)
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan
1. Pengertian Pendidikan antar profesi
2. Manfaat pendidikan antar profesi
3. Prinsip-prinsip pendidikan antar profesi
4. Kompetensi inti pendidikan antar profesi
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran antar profesi
6. Strategi pembelajaran antar profesi

Pengertian Pendidikan Interprofesi

Menurut WHO (2010), Pendidikan interprofesi atau IPE adalah proses pendidikan yang
melibatkan dua atau lebih jenis profesi. Pendidikan interprofesi bisa terjadi apabila beberapa
mahasiswa dari berbagai profesi belajar tentang profesi lain, belajar bersama satu sama lain
untuk menciptakan kolaborasi efektif dimana pada akhirnya meningkatkan outcome kesehatan
yang optimal.

Pendidikan interprofesi merupakan tahap yang penting dalam upaya mempersiapkan


mahasiswa agar menghasilkan lulusan atau professional kesehatan yang siap untuk bekerja
didalam tim dan melakukan praktek kolaborasi dengan efektif untuk merespon dalam
memecahkan masalah kesehatan yang ada di masyarakat.
Pengertian Praktek Kolaborasi Interprofesi

Praktek kolaborasi terjadi apabila beberapa kategori professional atau tenaga kesehatan
bekerja bersama satu sama lain terutama dengan sasaran seperti pasien, keluarga dan masyarakat
untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang tinggi, demi menghasilkan
kesehatan yang optimal

Adanya Sistem pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan tidak bisa berdiri sendiri,
dimana sistem pendidikan akan memberikan input pada sistem kesehatan sebagai pengguna
lulusan, kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkan akan mempengaruhi baik tidaknya pelayanan
kesehatan, sebaliknya sistem pendidikan akan dipengaruhi oleh sistem-sistem kesehatan
misalnya kurikulum akan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan kesehatan masyarakat saat ini juga
kompetensi lulusan harus disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dan kebijakan dibidang
kesehatan yang sedang dijalani masa kini.

Agar dapat memahami konsep praktek kolaborasi antar profesi perlu dipahami dulu konsep
interprofessionalism. Interprofesionlity adalah sebuiah proses dimana beberapa professional
merencanakan, melaksanakan dan mengintegrasikan suatu jawaban atau respon yang kohesif
terhadap kebutuhan atau tuntutan klien, keluarga atau masyarakat. Proses ini melibatkan
interaksi yang berkelanjutan berupa tukar menukar informasi dan pengetahuan yang
diorganisasikan untuk memecahkan masalah bersama dengan melibatkan partisipasi pasien,
keluarga dan masyarakat. Interprofesionalitas memerlukan adanya perubahan paradigma karena
interprofesionalitas memiliki karakteristik khususnya seperti nilai, code of conduct dan cara
bekerja yang specific antar profesi (D‟Amour and Oandsan, 2005). Praktek kolaborasi dapat
meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan yang terkoordinir, meningkatkan penggunaan
tenaga spesialis yang tepat, meningkatkan derajat kesehatan pasien dengan penyakit kronis, dan
meningkatkan keamanan pasien. Praktek kolaboratif dapat menurunkan komplikasi pada pasien,
lama rawat, konflik antar tim kesehatan, angka rawat di rumah sakit, kesalahan klinik atau
malpraktek dan menurunkan angka kematian.

Manfaat Pendidikan Interprofesi

Beberapa sumber menjelaskan manfaat pendidikan interprofesi untuk peserta didik,


institusi pendidikan, pelayanan kesehatan dan manfaat bagi profesi kesehatan itu sendiri. Di
dalam modul ini akan dirangkum beberapa manfaat tersebut.

1) Manfaat bagi mahasiswa


 Mahasiswa dapat berkomunikasi interprofesi
 Mahasiswa dapat memahami dan menghargai peran profesi kesehatan lain
 Mahasiswa dapat pengalaman untuk bekerjasama di dalam tim dan memecahkan
masalah klien.
 Mahasiswa mendapatkan pengalaman untuk memberi pelayanan kesehatan yang
berfokus pada klien dengan melibatkan multidisiplin.
Mahasiswa dapat belajar tentang peran dan fungsi overlapping antara satu profesi
dengan profesi lainya dan bagaimana menangani overlapping itu dengan baik untuk
mencapai pelayanan kesehatan yang aman, efektif dan efesien.
2) Manfaat bagi institusi pendidikan
 Memberi kesempatan untuk staff akademi untuk bekerja bersama antar profesi.
 Pendidikan interprofesi dapat meningkatkan efisiensi penggunaan resources yang
ada di institusi pendidikan.
 Meningkatkan kerja sama antar prodi, jurusan atau fakultas.
3) Manfaat bagi pelayanan kesehatan
 Meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan
 Meningkatkan efisiensi pelayanan dengan menurunkan duplikasi tindakan yang
tidak diperlukan dari berbagai profesi dan duplikasi pencatatan dan pelaporan.
 Meningkatkan kesehatan klien
 Meningkatkan outcome kesehatan pasien
4) Manfaat bagi profesi atau tenaga kesehatan
 Meningkatkan moral profesi
 Menurunkan hambatan dalam berkomunikasi dengan profesi lain
 Meningkatkan kecintaan akan profesi
 Meningkatkan kemampuan untuk menyelesaikan masalah bersama profesi lain
 Meningkatkan kepuasan kerja

Prinsip-Prinsip Mengintegrasikan Pendidikan Interprofesi Dalam Pendidikan Tenaga


Kesehatan

Pendidikan antar profesi menyiapkan peserta didik dengan kompetensi untuk bekerja-sama
didalam tim sesuai dengan peran dan fungsi serta lingkup kerja masing-masing profesi. Lulusan
pendidikan tenaga kesehatan nantinya diharapkan dapat bekerja dalam tim yang memiliki tujuan
utama yaitu memberikan layanan yang aman bagi klien, keluarga dan masyarakat. Prinsip-
prinsip dalam mengintegrasikan pendidikan interprofesi dalam pendidikan tenaga kesehatan
adalah:

1. Pendidikan antar profesi harus merupakan bagian integral dari semua pendidikan tenaga
kesehatan.
2. Ada kemauan politik yang ditujukan dengan adanya kebijakan yang mendukung
pelaksanaan pendidikan interprofesi ini.
3. Ada komitmen yang kuat dari seluruh civitas akademi di institusi di institusi pendidikan
untuk terlibat dalam pendidikan interprofesi yang efektif.
4. Pendidikan interprofesi ini harus melibatkan lahan praktik, sehingga pelaksaan pendidikan
interprofesi bisa dilaksanakan pada tahap praktik klinik.
5. Pelibatan tim dalam interprofesi harus dimulai sedini mungkin pada tahap awal persiapan
dan dipertahankan sampai tahap evaluasi.
6. Kohesifitas tim pengembang pendidikan interprofi harus solid dan harus mengurangi ego
masing-masing profesi. Proses dan aktifitas tim ini juga harus merefleksasikan kolaborasi
yang efektif antar profesi.
7. Pendidikan antar profesi harus dimulai dengan metode yang mudah lebih dahulu, misalnya
dengan merencanakan projek ekstra kurikulum yang melibatkan kerja-sama interprofesi.
8. Kompetensi yang dirumuskan harus memperhatikan prinsip-prinsip:
 Berfokus pada pasien/keluarga/masyarakat
 Memperhatikan proses pada semua profesi
 Dapat diaplikasikan pada semua profesi
 Merupakan kompetensi belajar sepanjang hayat
 Menstimulasi active learning
 Berdasarkan prinsip pembelajaran orang dewasa
9. Dalam mengintegrasikan pendidikan antar profesi harus mempertimbangkan standar
pendidikan masing-masing profesi dan masuk dalam system akreditasi pendidikan tenaga
kesehatan yang ada.

Kompetensi Inti Pendidikan Antar Profesi


Pendapat Barr (1998) membedakan kompetensi profesi menjadi 3 bagian besar:
Kompetensi dasar, kompetensi masing-masing profesi dan kompetensi antar profesi.
Kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh sumua tenaga kesehatan meliputi
menggunakan teknologi informasi, memberikan pelayanan yang fokus pada klien, melakukan
praktek profesi berdasarkan bukti ilmiah dan hasil penelitian dan mempertahankan kualitas
pelayanan (Internasional occupational medicine, 2011).
Kompetensi masing-masing profesi yang dideskripsikan dan ditentukan oleh masing-
masing profesi misalnya dokter memiliki kompetensi spesifik yang membedakan profesi dokter
dengan profesi lainnya seperti perawat, bidan, ahli gizi, ahli kesehatan lingkungan dan
sebaliknya. Kompetensi ini akan merujuk pada peran, kewenangan dan lingkup masing-masing
profesi dan diatur oleh undang-undang dan berlaku.
Kompetensi antar profesi atau kompetensi kolaboratif merupakan kompetensi yang juga
penting dimiliki oleh semua tenaga kesehatan. Kompetensi inti kolaborasi antar profesi
diperlukan sebagai landasan dalam membuat kulikulum pada berbagai pendidikan profesi yang
terlibat, menentukan strategi pembelajaran dan evaluasi yang akan dilakukan. Ada 4 domain
dalam kompetensi antar profesi, yaitu nilai/etika interprofesi, peran/tanggung jawab, komunikasi
interprofesi dan kerjasama tim. Berikut akan di jelaskan domain-domain tersebut secara detail.

Domain 1: Nilai/Etik Kolaborasi Antar Profesi


Nilai antar profesi dan etik yang terkait dengannya merupakan hal penting baik untuk
profesi secara mandiri maupun dalam hubungannya dengan kolaborasi antar profesi. Nilai dan
etik antar profesi meliputi: pelayanan harus berfokus pada klien dengan orientasi komunitas,
masing-masing profesi berbagai peran dan tanggung jawab untuk meningkatkan derajat
kesehatan, semua profesi bersama-sama memiliki komitmen untuk dapat menciptakan pelayanan
yang aman, efesien dan efektif. Pelayanan diberikan secara komperhensif dengan melibatkan
klien dengan keluarganya.
Pernyataan umum kompetensi value dan entik antar profesi adalah bekerja bersama
dengan profesi lain untuk mempertahankan iklim saling menghargai dan berbagai nilai serta etik
bersama. Pernyataan umum kompetensi tersebut terdiri dari kompetensi khusus berupa:
1. Menempatkan kebutuhan klien dan populasi sebagai pusat dari kolaborasi antar profesi
untuk memberikan pelayanan kesehatan.
2. Menghargai martabat dan privasi klien dengan tetap mempertahankan kerahasiaan dalam
memberikan pelayanan kesehatan berbasis tim.
3. Tetap memperhatikan perbedaan budaya dan perbedaan individu yang dimiliki klien,
populasi dan tim antar profesi.
4. Menghargai keunikan budaya, nilai, peran dan tanggung jawab serta keahlian anggota tim
antar profesi.
5. Bekerja bersama-sama dengan klien, anggota tim dan semua yang berkontribusi dalam
pelayanan kesehatan.
6. Menciptakan hubungan saling percaya dengan klien, keluarga klien dan tim antar profesi.
7. Mendemonstrasikan sikap etik dan kualitas pelayanan yang tinggi.
8. Mengelola dilema etik yang terjadi pada saat memberikan pelayanan kepada klien dalam
tim antar profesi
9. Berperilaku jujur dan menjaga integritas dalam berinteraksi dengan klien, keluarga klien,
dan anggota tim antar profesi.
10. Menjadi kompetensi profesinya masing-masing sesuai dengan lingkup prakteknya

Domain2: Peran dan Tanggung Jawab


Untuk dapat melakukan kolaborasi antar profesi, setiap profesi terlebih dahulu harus
memahami peran dan tanggungjawabnya masing-masing peran dan tanggungjawab masing-
masing tersebut saling melengkapi peran dan tanggung jawab profesi lain dalam rangka
memberikan pelayanan kepada klien, keluarga dan masyarakat. Setiap profesi harus mengetahui
dan menghargai peran dan tanggung jawab masing-masing merupakan hal penting dalam
kolaborasi antar profesi karena banyak terjadi konflik antar profesi diakibatkan kurang
penghargaan terhadap peran dan tanggung jawab profesi lain yang dapat diakibatkan kurang
pemahaman peran dan tanggung jawab profesi lain di dalam tim.
Pernyataan umum kompetensi peran dan tanggung jawab adalah: menggunakan
pengetahuan tentang peran profesi sendiri dan peran profesi lain di dalam tim untuk mengkaji
dan memberikan pelayanan yang tepat kepada klien dan populasi. Pertanyaan umum tersebut
terdiri dari kompetensi spesifik berupa:
1. Mengkomunikasikan peran profesi sendiri dan peran profesi lain secara jelas kepada klien,
keluarga dan tim profesi lain secara jelas kepada klien, keluarga dan tim profesi lain.
2. Mengenali keterbatasan kemampuan, pengetahuan dan keterampilan profesi lain dalam tim.
3. melibatkan semua profesi yang terkait dalam pelayanan atau pemenuhan kebutuhan klien
4. menjelaskan peran dan tanggung jawab profesi lain dan bagaimana antar profesi dapat
bekerja sama untuk memberikan pelayanan kepada klien.
5. Menggunakan semua pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang tersedia di dalam
tim antar profesi untuk dapat memberikan pelayanan yang aman, tepat waktu, efektif, efisien
dan adil.
6. Berkomunikasi dengan anggota tim untuk mengklarifikasikan peran masing-masing anggota
dalam pelayanan kesehatan kepada klien, keluarga dan masyarakat.
7. Menciptakan hubungan saling bergantung dengan profesi lain untuk meningkatkan
pelayanan dan saling belajar.
8. Terlibat dalam pengembangan profesi dan pengembangan antar profesi untuk meningkatkan
performa tim.
9. Menggunakan kemampuan yang unik dan tambahan dari masing-masing profesi untuk
mengoptimalkan pelayanan yang diberikan oleh tim
Domian 3: Komunikasi Antar Profesi
Komunikasi merupakan kompetensi inti pada semua profesi kesehatan, karena semua
profesi kesehatan memberikan pelayanan kesehatan kepada klien, keluarga dan masyarakat yang
tentu saja memerlukan komunikasi yang efektif, akan tetapi kompetensi komunikasi antar profesi
belum menjadi perhatian semua profesi. Komunikasi antar profesi dapat disebutkan sebagai
kompetensi utama dalam melakukan kolaborasi tim antar profesi, sehingga semua profesi yang
terlibat didalam memberikan pelayanan kesehatan kepada klien harus mampu berkomunikasi
untuk menyampaikan pesan secara efektif kepada anggota tim. Banyak situasi konflik terjadi
akibat adanya hambatan dalam berkomunikasi, yang pada akhirnya dapat menyebabkan tim tidak
berfungsi secara optimal.
Pernyataan umum kompetensi antar profesi adalah: berkomunikasi dengan klien,
keluarga klien, komunitas dan profesi kesehatan lain dengan cara yang tepat dan bertanggung
jawab untu mendukung pendekatan tim. Pernyataan umum kompetensi tersebut terdiri dari
kompetensi spesifik:
1. Memiliki alat dan teknik komunikasi yang efektif, termaksud teknologi dan sistem
informasi untuk memfasilitasi diskusi dan interaksi antar profesi yang dapat
meningkatkan fungsi tim
2. Mengorganisasikan dan mengkomunikasikan informasi kepada klien, keluarga dan
anggota tim antar profesi dengan cara yang dapat dimengerti dan menghindari
terminologi yang hanya dimengerti oleh profesi sendiri .
3. Kemukakan pengetahuan yang dimiliki tentang klien dan perawatan klien dengan jelas,
percaya diri, dan sikap menghargai.
4. Mendengarkan secara aktif dan mendorong anggota lain untuk mengemukakan ide dan
pendapatnya klien dan perawatannya.
5. Memberikan umpan balik yang tepat waktu, sensitif dan konstruktif kepada anggota tim
antar profesi lain dan menerima umpan balik dengan menghargai pendapat dan penilaian
profesi lain terhadap hasil kerja
6. Menggunakan bahasa yang sesuai dan sopan ketika menghadapi situasi yang sulit,
percakapan yang sensitif dan konflik antar profesi.
7. Mengenal keunikan profesi masing-masing termaksud spesialisasi, budaya, pengaruh,
dan hirarki agar tercipta komunikasi yang efektif.
8. Berkomunikasi secara konsisten tentang pentingnya kerja tim dalam pelayanan berpusat
pada klien.

Domain 4: Bekerja di Dalam Tim


Bekerja untuk berkolaborasi antar tim berarti juga belajar menjadi pemain yang baik di
dalam tim tersebut. Perilaku kerja tim dapat diaplikasikan setiap saat dimana ada interaksi antar
anggota tim antar profesi dengan tujuan yang sama yaitu untuk memberikan pelayanan kesehatan
kepada klien, keluarga dan masyarakat. Sering kali terjadi konflik didalam tim antar profesi
diakibatkan oleh ketidak mampuan anggota tim berperan sesuai dengan perannya di dalam. Oleh
sebab itu kepemimpinan di dalam tim antar profesi sangat diperlukan untuk dapat memfasilitasi
komunikasi dan kerja sama antar anggota untuk mencapai tujuan yang disepakati. Peran
pemimpin juga sangat diperlukan untuk memfasilitasi keahlian masing-masing anggota tim
sehingga dengan demikian pelayanan kepada klien dapat dikoordinasikan dengan tepat dan
efektif.
Pernyataan umum kompetensi untuk bekerja di dalam adalah: mengaplikasikan nilai-nilai
membangun kelompok dan membangun prinsip dinamika kelompok untuk melaksanakan fungsi
tim secara efektif. Pernyataan umum kompetensi tersebut terdiri dari kompetensi spesifik:
1. Mendeskripsikan proses pengembangan tim dan berlatih tentang tim yang efektif.
2. Membangun konsesus tentang prinsip-prinsip etik untuk memandu semua aspek pelayanan
kepada klien dan kerja tim.
3. Melibatkan profesi kesehatan lain yang sesuai apabila diperlukan untuk situasi tertentu.
4. Mengintegrasikan pengetahuan dan keterampilan profesi lain yang sesuai untuk situasi
tertentu.
5. Mengaplikasikan prinsip-prinsip kepemimpinan yang mendukung praktek kolaborasi dan
efektifitas tim.
6. Motivasi diri sendiri dan anggota tim lainnya untuk dapat mengelola ketidak setujuan secara
konstruktif. Ketidak setujuan biasanya berkaitan dengan nilai, peran, tujuan, dan tindakan.
7. Berbagi akuntabilitas dengan profesi lain, dengan pasien dan komunitas untuk mencapai
tujuan promosi kesehatan.
8. Memperlihatkan pencapaian performance yang tinggi secara individu untuk meningkatkan
performa kelompok.
9. Menggunakan teknik atau strategi perbaikan kelompok untuk meningkatkan efektifitas kerja
antar profesi.
10. Menggunakan bukti-bukti yang tersedia untuk melakukan praktek kerja tim.
11. Melakukan kerja tim sesuai peran dan fungsinya dalam tim di dalam situasi yang berbeda.

Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pelaksanaan Pendidikan Antar Profesi


Terdapat beberapa faktor penghambat dan faktor pendukung terlaksananya pendidikan
antar profesi bagi tenaga kesehatan. Identifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat
diperlukan untuk dapat mengantisipasi hambatan pelaksanaan pendidikan interprofesi dan
merumuskan upaya untuk mengurangi atau menghilangkan faktor penghambat tersebut.
Sedangkan faktor pendukung perlu diidentifikasi untuk dapat diaplikasikan. Faktor-faktor
tersebut adalah:
1. Faktor pendukung
 Komitmen yang jelas dari seluruh anggota profesi atau seluruh program studi yang
akan terlibat didalam pendidikan antar profesi.
 Kesiapan mahasiswa siap dan aktif dalam mengikuti pendidikan antar profesi.
 Adanya role model untuk kolaborasi antar profesi baik ditatanan akademik maupun
lahan praktek baik di rumah sakit maupun masyarakat.
 Tuntutan yang besar dari masyatakat untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang
komprehensif dan terintegrasi.
 Dukungan dari manajemen (prodi atau jurusab) termaksud dukungan logistic,
keuangan dan administrasi.
2. Faktor penghambat
 Adanya ego masing-masing profesi
 Kultur kerjasama yang kurang
 Resisten terhadap perubahan
 Perbedaan tujuan dan visi masing-masing profesi
 Kurikulum yang kaku dan terpusat
 Beban kerja dosen dan mahasiswa yang terlalu tinggi
Metode Pembelajaran Pendidikan Antar Profesi

1. FGD: merupakan metode pembelajaran dimana peserta mendiskusikan secara kritis


dalam suatu kelompok kecil (beranggotakan 5-10 mahasiswa), untuk kemudian
mempresentasikan dan mendiskusikannya di kelas/forum yang lebih besar.
2. PBL: adalah metode belajar dimana peserta melakukan penggalian/pencarian informasi
(inquiry) serta memanfaatkan informasi tersebut untuk memecahkan masalah
factual/yang dirancang oleh fasilitator.
3. Projek based rearning (PjBL): suatu metode dimana peserta mengerjakan tugas (berupa
proyek) yang telah dirancang secara sistematis oleh fasilitator, dan menunjukkan
kinerjanya seta mempertanggung jawabkan hasil kerjanya di dalam suatu forum.
4. Role play (simulation): merupakan metode belajar dimana peserta mempelajari dan
menjalankan suatu peran yang ditugaskan kepadanya atau mempraktekkan/mencoba
berbagai model/tata cara yang telah disiapkan.
5. Case study: suatu metode belajar dimana pelajar mempelajari kasus nyata atau kasus
tertentu, untuk memilih alternatef secara kolaborasi dalam pemecahan yang dianggap
paling tepat berdasarkan pemahaman terhadap masalah, analisis, dan perbandingan
alternative pemecahan yang tersedia.

DAFTAR PUSTAKA
1. Baker, P. (2010). Framework for action on interprofessional education and collaborative
practice. World Health Organization. Geneva. Retrieved from
http://espace.library.ug.edu.au/view/UQ:233239
2. Barr, H. (2013). Toward a theoretical framework for interprofessional education. Journal
of Interprofesional Care, 27(1), 4-9. http://doi.org/10.3109/13561820.2012.698328
3. College os Health Disciplines, & Interprofessional Network of BC. (2008). The British
Columbia Competency Framework for Interprofessional Collaboration, 12.\
4. D‟Amour, D., Ferrada-videla, M., San Martin Rodriguez, L., & Beaulieu, M.-D. (2005).
The Conceptual basis for interprofessional collaboration: core concepts and theoretical
frameworks. Journal of Interprofessional Care, 19(s1), 116-131.
http://doi.org/10.1080/13561820500082529
5. Payler, J., Meyer, E., & Humphris, D. (2008). Pedagogy for interprofessional education –
what do we know and how can we evaluate it? Learning in Health & Social Care, 7(2),
64-78. http://doi.org/10.1111/j.1473-6861.2008.00175.x
NILAI-NILAI ETIK ANTAR PROFESI

I. Deskripsi Singkat
Nilai-nilai etik profesi merupkan hal penting sebagai identitas suatu profesi maupun antar
profesi. Nilai-nilai/etik profesi merupakan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak,
berisi benar dan salah, hak dan kewajiban moral (akhlak) dalam suatu profesi, yang
menyempurnakan suatu profesi sesuai dengan hakikatnya. Nilai/etik antar profesi bersifat
universal dan perlu diketahui setiap profesi dalam tim kesehatan. Pendidikan antar profesi
perlu memberi pemahaman kepada mahasiswa calon tenaga kesehatan tentang nilai-nilai
dan etikan profesi kesehatah kesehatan lain, sehingga dapat mengakui bahwa setiap profesi
memiliki nilai-nilai/etik yang bernilai sama yang penting untuk kepentingan masyarakat
pengguna pelayanan kesehatan, Nilai-nilai/etik antar profesi tersebut diharapkan dapat
mengantarkan pasien pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan,
pencegahan penyakit, perawatan yang komfrehensif, rehabilitasi pasien, dan menfasilitasi
perawatan yang efektif pada tahap terminal, dengan biaya terjangkau.
Modul ini membahas tentang pembelajaran nilai-nilai/etik antar profesi. Pokok bahasan
mencakup pengertian, manfaat, dan prinsip nilai-nilai/etik dalam praktik kolaborasi antar
profesi. Selain itu peserta akan dipandu untuk mengidentifikasi strategi dan sumber beajar
yangdapat digunakan untuk pembelajaran nilai-nilai/etik antar profesi. Materi akan
disampaikan dalam bentuk ceramah dan Tanya jawab, diskusi kelompok dan curah
pendapat.

II. Tujuan Pembelajaran


a. Tujuan Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu melakukan pembelajaran nilai-nilai/etik
antar profesi
b. Tujuan Khusus
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan konsep nilai-nilai/etik antar profesi
2. Menjelaskan manfaat nilai-nilai/etik antar profesi untuk kolaboratif yang efektif
3. Menguraikan prinsip nilai-nilai/etik antar profesi dalam praktik kolaborasi antar
profesi
4. Mengidentifikasi strategi belajar yang menfasilitasi pembelajaran nilai-nilai/etik
antar profesi
5. Mengidentifikasi sumber belajar yang memfasilitasi pembelajaran nilai-nilai/etik
antar profesi

Nilai-Nilai/Etik Antar Profesi

a. Pengertian
Pengertian nilai-nilai/etik antar profesi dapat diartikan dari kata-kata dasar
pembentukannya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-sifat (hal-hal)
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya. Sementara etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etik berhubungan erat dengan erat dengan etiks. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kata lain yang berkaitan
dengan kata-kata diatas adalah norma yaitu atauran atau ketentuan yang mengikat warga
kelompok di masyarakat, dipakai sebagai panduan, tantanan dan pengendali tingkah laku
yang sesuai dan diterima oleh masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali
tingkah laku yang sesuai dan diterima dan masyarakat (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008).
Etika sebagai filsafat yang ruang lingkupnya adalah masalah nilai, baik buruk, yang
terjalin dalam hubungan antar manusia, mempunyai sejumlah aliran. Di antara aliran-aliran
itu terdapat absolut dan relatif idealis, praktis, pragmatis dan konsekuensiatis serta non-
konsekuensiatis. Masing-masing mempunyai dasar pijakan sendiri. Meskipun masing-
masing dapat diurai dan dapat diperkirakan bagaimana konsekuensinya bila dikaitkan
dengan pendidikan
Etika akan menjadi jelas fungsinya bila dikaitkan dengan pendidikan. Pendidikan
yang dimaksud adalah holistik, karena pendekatan reduksianistik hendaknya berangsur
ditinggalkan. Lain dari itu agar pendidikan dapat mengembangkan authority from within
perlu dikembangkan, potensi yang ada pada peserta dicek secara utuh. Lingkungan yang
mendidik perlu dikembangkan pula, yang dewasa ini telah diwarnai oleh berbagai kegiatan
dan kelembagaan. Lingkungan dengan berbagai aspeknya perlu ditatap sebagai sasaran
dialog. Semoga semuanya mempunyai peranan demi pendidikan yang baik. Kesemuanya ini
perlu dihayati sebagai bernilai untuk pengembangan profesi kependidikan. Pendidikan yang
holistic diharapkan menjangkau masa depan secara realistik.
Dari pengertian kata-kata dasar pembentuknya tersebut, etik profesi dapat dikatakan
sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak (perilaku) yang penting dan
berguna bagi kemanusiaan, yang benar dan salah menurut suatu profesi, serta berkaitan
dengan hak dan kewajiban anggota profesi tersebut sesuai dengan hakikat profesi tersebut.
Sementara etik antar profesi dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkaitan
dengan akhlak yang benar dan salah, hak dan kewajiban setiap anggota dalam beriteraksi
dengan profesi lain.
Etik antar profesi merupakan salah satu kompetensi inti dalam pembelajaran antar
profesi, selain komunikasi, peran dan tanggungjawab profesi, dan kerjasama tim. Pendidikan
antar profesi perlu memberi pemahaman kepada mahasiswa calon tenaga kesehatan tentang
nilai-nilai dan etika profesi kesehatan lain, sehingga dapat mengakui bahwa setiap profesi
memiliki nilai-nilai/etik yang bernilai sama dan penting untuk kepentingan masyarakat
pengguna pelayanan kesehatan (WHO, 2010). Nilai-nilai/etik antar profesi harus
berorientasi pada pasien, baik individu, keluarga dan komunitas pada masyarakat. Nilai-
nilai/etik antar profesi tersebut diharapkan dapat mengantarkan pasien pada peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, pencegahan penyakit, perawatan yang
efektif yang komprehensif, rehabilitasi pasien, dan memfasilitasi perawatan yang efektif
pada tahap terminal, dengan biaya yang terjangkau. Pemahaman terhadap profesi lain
diperlukan bagi anggota profesi yang akan berkolaborasi dalam mengambil keputusan saat
menghadapi dan menyelesaikan masalah etik (Newman dan Britten, 2014).
Pendidikan antarprofesi perlu dirancang untuk mempersiapkan calon-calon
professional berkolaborasi dalam profesi dalam praktik terutama dibidang kesehatan.
Pendidikan antar profesi terjadi jika mahasiswa dari dua atau lebih profesi belajar bersama
tentang, dari dan dengan profesi lain untuk mempraktikkan kolaborasi yang efektif dan
meningkatkan status kesehatan. Pendidikan interprofesi menjadi langkah yang dibutuhkan
untuk menyiapkan tenaga kesehatan siap berkolaborasi dalam praktik yang lebih baik dalam
merespon terhadap kebutuhan kesehatan (Newman dan Britten, 2014).

b. Nilai-nilai/Etik dalam Profesi Kesehatan


Ada beberapa istilah dasar yang berkaitan dengan etik profesi kesehatan, Potter, Perry.
Stockert, and Hall (2016) menyebutkan ada 5 (lima) nilai dalam etik kesehatan yaitu:
1. Autonomy
Otonomi mengacu pada hak seseorang untuk membuat keputusan sendiri. Menghargai
prinsip otonomi berarti bahwa setiap tenaga kesehatan harus memperhatikan dan
menghargai hak klien untuk memilih dan memutuskan pilihan. Akan tetapi dalam
pemilihan keputusan tersebut klien juga berhak untuk mendapatkan informasi yang
tepat dan lengkap terkait kondisi dan perencanaan kesehatan (informed), sehingga klien
menyetujui untuk melakukan atau memilih keputusannya tersebut (consent). Contohnya
prosedur pembedahan atau partisipasi dalam penelitian.
2. Beneficiency
Berarti melakukan yang baik atau bermanfaat. Setiap tenaga kesehatan harus melakukan
tindakan yang baik atau bermanfaat bagi klien, keluarga dan masyarakat..
3. Nonmaleficence
Berarti tidak membahayakan. Setiap tindakan oleh tenaga kesehatan yang diberikan
kepada klien tidak membahayakan dan tidak menempatkan seseorang pada keadaan
bahaya. Untuk memenuhi prinsip ini, setiap tenaga kesehatan perlu memahami dan telah
teruji memenuhi prinsip-prinsip keamanan pasien (patient safety) dalam melakukan
setiap tindakan kepada klien
4. Justice
Setiap tenaga kesehatan harus memperhatikan dan menerapkan prinsip keadilan dalam
memberi pelayanan kesehatan. Tidak membeda-bedakan klien berdasarkan suku,
agama, ras, hubungan keluarga dan status sosial ekonomi di masyarakat.
5. Fidelity
Berarti berupaya untuk memenuhi perjanjian dan janji. Janji atau kontrak dengan klien
harus dipenuhi dan tenaga kesehatan tidak boleh mengingkari janji yang telah
diucapkan atau membohongi klien.
6. Vercity
Berman, Snyder, Frandsen (22016) menambahkan prinsip ini selain lima prinsip diatas.
Veracity berarti menyampaikan kebenaran. Setiap tenaga kesehatan harus menyapaikan
dengan sebenarnya tentang kondisi klien, risiko atau akibat dari suatu tindakan atau
pengobatan yang diberikan kepada klien.

c. Nilai-nilai/Etik masing-masing Profesi


Setiap profesi memiliki nilai-nilai khas yang menandai identitas suatu profesi yang sering
disebut dengan kode etik. Nilai-nilai dalam etik kesehatan bisa menjadi bagian dari nilai-
nilai dalam etik profesinya, tetapi mungkin ada yang tidak menjadi etik profesi tersebut. Hal
ini yang perlu dipelajari dan dipahami oleh semua calon mahasiswa untuk dapat menghargai
dan berkolaborasi dengan profesi lain
Pada pendidikan interprofessional education masing-masing profesi akan diberi penugasan
dalam menyampaikan nilai-nilai/etik dalam kode etik profesinya dan mengidentifikasi
potensi konflik dan dilema etik yang mungkin muncul terkait nilai-nilai/etik profesinya

d. Nilai-nilai/Etik dalam Kolaborasi Tim Antar Profesi


Dalam pembelajaran antar profesi, mahasiswa perlu memahami bahwa dalam bekerja
dengan individu dan profesi lain, setiap anggota perlu menjaga iklim saling menghormati
dan memiliki nilai-nilai bersama
Kompetensi inti terkait dengan nilai-nilai/etik antar profesi adalah sebagai berikut:
1. Mendahulukan kepentingan pasien dan populasi di pusat pelayanan kesehatan
interprofessional
2. Menghormati martabat dan privasi pasien dengan tetap menjaga kerahasiaan dalam
menyampaikan perawatan berbasis tim
3. Merangkul keragaman budaya dan perbedaan individu yang memilik ciri pasien,
populasi dan tim kesehatan
4. Menghormati budaya yang unik, nilai-nilai, peran/tanggungjawab, dan keahlian profesi
kesehatan lainnya.
5. Bekerjasama dengan mereka yang menerima perawatan, mereka yang memberikan
perawatan, dan lain-lain yang memberikan kontribusi atau mendukung pemberian
pelayanan pencegahan dan kesehatan.
6. Mengembangkan hubungan saling percaya dengan pasien, keluarga, dan anggota tim
lainnya.
7. Menunjukkan kode etik dan kualitas pelayanan yang berstandar tinggi untuk
berkontribusi dalam perawatan berbasis tim.
8. Mengelola dilema etika khusus untuk pasien interprofesional/populasi berpusat situasi
perawatan.
9. Bertindak dengan kejujuran dan integritas dalam hubungan dengan pasien,keluarga dan
anggota tim lainnya
10. Memperhatahankan kompetensi dalam profesi sendiri yang tepat untuk lingkup praktek
yang dimaksud

e. Manfaat Nilai-Nilai/Etik Antar Profesi


Nilai-nilai/etik antar profesi diharapkan bermanfaat dalam:
a. Mendukung pemberian perawatan kesehatan yang terbaik bagi pasien.
b. Merefleksikan komitmen bersama untuk membentuk sistem perawatan kesehatan yang
lebih aman, efisien dan efektif.
c. Menunjukkan kepribadian professional

f. PrinsipNilai-nilai/Etik Antar Profesi


Beberapa prinsip yang perlu diperhatikan dan ditanamkan kepada mahasiswa dalam
pembelajaran nilai-nilai/etik antar profesi adalam dalam bekerja sama dengan individu dari
profesi lain, perlu memperhatikan:
a. Mempertahankan iklim saling menghormati dan nilai-nilai bersama
b. Berfokus pada pasien (patient centered)
c. Menghormati pasien, martabat dan kerahasiaan pasien
d. Merangkul/menghargai keragaman budaya
e. Menghormati budaya yang unik dan nilai-nilai, peran/tanggungjawab, serta keahlian
profesi lain dalam hubungan antar profesi.
(Burhanudin Salam , Simorangkir, Sidi Gajalba, Wicaksono)
1. Budi-pekerti
2. Tiga tingkat nilai perbuatan
3. Realisasi perbuatan
g. Strategi Belajar yang Memfasilitasi Pembelajaran Nilai-nilai/Etik
1. Model-model Edukasi antar profesi
Newman dan Britten (2014) membagi model edukasi antar profesi menjadi tiga
tingkatan yaitu
a. Exposue (Coursework)
Model ini merupakan tahap awal dalam pembelajaran antar profesi pada mahasiswa.
Pada tahap ini mahasiswa dari berbagai profesi belajar bersama, tetapi interaksi
diantara mereka masih lebih sedikit dibanding tahap berikutnya.
b. Immersion (clinical experience)
Pada model ini aktivitas diarahkan untuk mahasiswa tingkat akhir untuk bekerja
secara kolaboratif . Pada tahap ini mahasiswa telah memiliki pemahaman yang kuat
tentang peran professional mereka sendiri dan dapat lebih terbuka terhadap peran
dan pandangan dari rekan-reka mereka.
c. Mastery (practice)
Model ini merupakan tahap yang paling kompleks dan lebih terintegrasi dan
melibatkan mahasiswa profesi yang telah memiliki pengalaman klinis sebelumnya.
Pembelajaran model ini menekankan pada penguasaan yang kuat terkait identitas
profesi (Charles, Bainbridge & Gilbert dalam Newman dan Britten, 2014)
2. Jenis-Jenis Pembelajaran Berpusat Pada Mahasiswa
Proses pembelajaran yang digunakan dalam pembelajaran ditingkat diploma keatas
perlu memperhatikan standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT). Dalam
Permenristekdikti Nomor 44 tahun 2015 pasal 10 disebutkan bahwa standard proses
pembelajaran yang merupakan kriteria minimal tentang pelaksanaan pembelajaran pada
program studi untuk mencapai capaian pembelajaran tertentu meliputi karakeristik,
perencanaan, pelaksanaan proses pembelajaran, dan bahan belajar mahasiswa.
Pembelajaran antar profesi akan lebih efektif menggunakan pembelajaran berpusat pada
mahasiswa. Karakteristik proses pembelajaran kooperatif, pembelajaran harus bersifat
holistic, integrative, saintific, kontekstual, tematik, efektif, kolaboratif dan berpusat
pada mahasiswa. Metode pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa menggunakan
strategi belajar yang didalamnya terdapat interaksi antara dosen, mahasiswa, dan
sumber belajar sesuai dengan karakteristik mata kuliah untuk mencapai kemampuan
tertentu yang telah dirancang dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS)
Metode Pembelajaran yang berpusat pada mahasiswa ada banyak jenisnya. Diantara
metode tersebut antara lain diskusi kelompok, simulasi, studi kasus, pembelajaran
kolaboratif, pembelajaran kooperatif, pembelajaran berbasis proyek, pembelajaran
berbasis masalah, dan lain-lain. Setiap matakuliah dapat menggunakan lebih dari satu
metode pembelajaran dalam RPS. Demikian juga dalam pembelajaran etik antar profesi,
dosen pengampu mata kuliah ini menggunakan beberapa metode pembelajaran sesuai
dengan model pembelajaran.
3. Level kompetensi dan Capaian Pembelajaran Sesuai KKNI
Telah dijelaskan sebelumnya bahwa metode atau strategi pembelajaran yang dipilih
dalam proses pembelajaran harus diarahkanuntukmencapai kemampuan tertentu atau
capaian pembelajaran. Setiap mata kuliahnmemiliki beban untuk mencapai capaian
pembelajaran lulusan tertentu yang sesuai dengan RPS dan kurikulum program studi.
Capaian Pembelajaran lulusan yang dirumuskan tersebut harus memberi gambaran
tentang isi materi pembelajaran lulusan harus mengacu pada deskripsi capaian
pembelajaran dari Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) sesuai dengan level
kompetensi

h. Sumber Pembelajaran Nilai-nilai/Etik Antar Profesi


Sumber-sumber pembelajaran yang dapat digunakan dapat bermacam-macam, bergantung
pada kompetensi yang ingin dicapai. Penguasaan tentang konsep dan prinsip-prinsip terkait
nilai-nilai/etik antar profesi dapat menggunakan literature buku ajar atau literature review
dari jurnal ilmiah dan kuliah interaktif dengan pakar terkait etik profesi yang akan
berkolaborasi. Kasus-kasus dilematis yang membutuhkan analisis dan pembahasan dari
aspek nilai-nilai/etik diperlukan untuk melatih mahasiswa berpikir kritis dan memecahkan
masalah dalam kasus tersebut. Praktik lapangan menggunakan metode pembelajaran
berdasarkan proyek (project-based learning) untuk menemukan kasus-kasus yang
membutuhkan analisis dan pembahasan secara etik, juga akan membuat mahasiswa terpapar
dengan kasus nyata yang ada di lapangan dan dapat mencoba merumuskan pemecahan
masalahnya dengan berkolaborasi dengan mahasiswa dari profesi lain.
PERAN DAN TANGGUNGJAWAB INTERPROFESI

I. DESKRIPSI SINGKAT
Pendidikan antar profesi mulai dikembangkan di pendidikan tenaga kesehatan. Kemampuan
berkolaborasi dimulai dari pendidikan. Salah satu kompetensi yang dibutuhkan dalam
pendidikan antar profesi adalah kompetensi, peran dan tanggungjawab antar profesi.
Kesadaran diri kejelasan terhadap peran profesi sendiri akan menunjang profesi pendididkan
kolaborasi antar profesi. Selain itu setiap profesi sebaiknya juga memahami peran profesi
lainnya, sehingga kemungkinan terjadinya konflik antar profesi dapat dikurangi. Bila sudah
memahami profesi sendiri maka dengan mudah memahami profesi yang lain.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

A. Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melaksanakan pembelajaran peran dan
tanggungjawab interprofesi
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan peran dan tanggungjawab interprofesi
2. Mengidentifikasi cara pembelajaran peran dan tanggungjawab interprofesi

Peran dan Tanggungjawab Antar Profesi

a. Latar Belakang
Belajar menjadi antarprofesional membutuhkan pemahaman bagaimana peran dan
tanggungjawab masing-masing professional dalam patient centered dan komunitas yang
berorientasi perawatan oriented “front line” dalam pelayanan kesehatan (Suter et al, 2009
dalam Goodman & Clemow, 2010). Setiap professional telah mampu mengidentifikasi peran
dan tanggungjawab professional lainnya.
b. Pengertian Peran dan Tanggungjawab
Peran adalah individu menetapkan seperangkat perilaku dalam kelompok dan antara
kelompok professional. Ketika mulai terjadi overlepping peran secara formal, ini dapat
menjadi sumber dari kebingungan dan konflik (Goodman & Clemow, 2010). Tanyakan pada
diri sendiri apakah peran kamu sebagai mahasiswa. Bagaimana hubungannya dengan tenaga
kesehatan lainnya sebagai pembantu pelayanan, Contohnya tim yang berfunsi baik akan
saling memahami terhadap peran mereka dan menerima peran dari anggota tim lainnya
seperti: discnangi patient, review pengobatan, memilih terapi yang tepat.
Penjelasan tentang memahami peran profesi lain, sebagai pemicu awal dapat dilihat pada:
1. Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang tenaga kesehatan
2. Kepmenkes No 938 tahun 2007 tentang standar asuhan kebidanan
3. Standard Asuhan Keperawatan : Perawat vokasi
Peran dan tanggungjawab tiga profesi kesehatan: Perawat, Bidan dan Ahli Gizi dan anlis kesehatan

Tugas dan Kewenangan Perawat


Menurut UU Keperawatan No. 38 tahun 2015, diuraikan tugas dan kewenangan praktik perawat
yaitu:

Dalam menyelenggarakan praktik keperawatan, perawat bertugas sebagai:

1. Memberi asuhan keperawatan


2. Penyuluh dan konselor bagi klien
3. Pengelola pelayanan keperawatan
4. Peneliti keperawatan
5. Pelaksana tugas berdasarkan pelimpahan wewenang dan/atau
6. Pelaksana tugas dalam keadaan keterbatasan tertentu.

Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatab dibidang upaya kesehatan
perorangan, perawat berwenang:

a. Melakukan pengkajian keperawatan secara holistic;


b. Menetapkan diagnosis keperawatan;
c. Merencanakan tindakan keperawatan;
d. Melaksanakan tindakan keperawatan;
e. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan;
f. Melakukan rujukan;
g. Memberikan tindakan pada keadaan gawat darurat sesuai dengan kompetensi;
h. Memberikan konsultasi keperawatan dan berkolaborasi dengan dokter;
i. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling; dan
j. Melakukan penatalaksanaan pemberian obat kepada klien sesuai dengan resep tenaga
medis atau obat bebas terbatas

Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan
masyarakat, perawat berwenang:

a. Melakukan pengkajian keperawatan kesehatan masyarakat di tingkat keluarga dan


kelompok masyarakat;
b. Menetapkan permasalahan keperawatan kesehatan masyarakat;
c. Membantu penemuan kasus penyakit;
d. Merencanakan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;
e. Melakukan tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;
f. Melakukan rujukan kasus;
g. Mengevaluasi hasil tindakan keperawatan kesehatan masyarakat;
h. Melakukan pemberdayaan masyarakat;
i. Melaksanakan advokasi dalam perawatan kesehatan masyarakat;
j. Menjalin kemitraan dalam perawatan kesehatan masyarakat;
k. Melakukan penyuluhan kesehatan dan konseling;
l. Mengelolah kasus; dan
m. Melakukan penatalaksanaan keperawatan komlementer dan alternative
TUGAS & KEWENANGAN BIDAN

Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2020 tentang Izin dan
Penyelenggaraan praktik bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:

I. Kewenangan normal :
a. Pelayanan kesehatan ibu
1) Ruang lingkup:
 Pelayanan konseling pada masa pra hamil
 Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
 Pelayanan persalinan normal
 Pelayanan ibu nifas normal
 Pelayanan ibu menyusui
 Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
2) Kewenangan :
 Episiotomy
 Penjahitan luka jalan lahir tingkat 1 dan 2
 Penanganan kegawat-daruratan, di lanjutkan dengan perujukan
 Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
 Pemberian vitamin a dosis tinggi pada ibu nifas
 Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI)
eksklusif
b. Pelayanan kesehatan anak
1) Ruang lingkup:
 Pelayanan bayi baru lahir
 Pelayanan bayi
 Pelayanan anak balita
 Pelayanan anak pra sekolah
2) Kewenangan :
 Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan
hipotermi, inisiasi menyu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru
lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat
 Penanganan hipotermi pada bayi baru lahi dan segera merujuk
 Penanganan kegawatdaruratan, di lanjutkan dengan perujukan
 Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
 Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
 Pemberian konseling dan penyuluhan
 Pemberian surat keterangan kelahiran
 Pemberian surat keterangan kematian
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
1) Kewenangan
 Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana
 Memberikan alat kontraksi oral dan kondom
II. Kewenangan dalam menjalankan program pemerintah
1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim dan pemberian
pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2. Asuhan antenatal teritegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu
(dilakukan dibawah supervise dokter)
3. Penanggulangan bayi dan ank balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan anak, anak
usia sekolah dan remaja dan penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas.
7. Melakukan deteksi dini, merujuk dan pemberian penyuluhan terhadap Infeksi Menular
Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya.
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lainnya (NAPZA)
melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program pemerintah
10. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.
11. Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal teritegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk dan
memberi penyuluhan terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan penyakit lainnya,
serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat additive lainnya
(NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk
pelayanan tersebut.

III. Kewenangan Jika Tidak Ada Dokter


Selain itu, khusus di daerah (kecamatan atau kelurahan/desa) yang belum ada dokter, bidan juga
diberikan kewenangan sementara untuk memberikan pelayanan kesehatan di luar kewenangan
normal, dengan syarat telah ditetapkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota. Kewenangan
bidan untuk memberikan pelayanan kesehatan diluar kewenangan normal tersebut dan tidak berlaku
lagi jika didaerah tersebut terdapat tenaga dokter

KOMPETENSI GIZI DIPLOMA III

Standar kompetensi berdasarkan Permenkes 374 Menkes SK III 2007 tentang standar profesi gizi
menjelaskan tentang standar kompetensi dari DIII GIzi sebagai berikut

 Melakukan pendidikan gizi dalam kegiatan praktek tersupervisi


 Mendidik pasien/klien dalam rangka promosi kesehatan, pencegahan penyakit dan terapi
gizi untuk kondisi tanpa komplikasi
 Melakukan pendidikan dan pelatihan gizi untuk kelompok sasaran
 Ikut serta dalam pengkajian dan pengembangan bahan pendidikan untuk kelompok sasaran
 Menerapkan pengetahuan dan keterampilan baru dalam kegiatan pelayanan gizi
 Ikut serta dalam peningkatan kualitas pelayanan atau praktek dietetik untuk kepuasan
konsumen.
 Berpartisipasi dalam pengembangan dan pengukuran kinerja dan pelayanan gizi
 Berpartisipasi dalam penetapan biaya pelayanan gizi
 Ikut serta dalam pemasaran produk pelayanan gizi
 Ikut serta dalam manajemen saranan dan prasarana pelayanan gizi
 Menyelia produksi makanan yang memenuhi kecukupan gizi dan daya terima.
 Mengembangkan dan atau memodifikasi resep/formula (mengembangkan dan meningkatkan
mutu resep dan makanan formula,
 Menyusun standar makanan (menerjemahkan kebutuhan gizi ke bahan makanan/menu)
untuk kelompok sasaran.
 Menyusun menu untuk kelompok sasaran.
 Melakukan uji citarasa / uji organoleptic makanan.
 Menyelia pengadaan dan distribusi bahan makanan serta transportasi makanan
 Mengawasi/menyelia masalah keamanan dan sanitasi dalam penyelenggaraan makanan
(industri pangan)
 Melakukan penapisan gizi (nutrition screening) pada klien/pasien secara individu.
 Melakukan pengkajian gizi (nutrition assessment) pasien tanpa komplikasi (dengan kondisi
kesehatan umum, misalnya hipertensi, jantung, obesitas)
 Membantu merencanakan dab mengimplementasikan rencana asuhan gizi pasien
 Melakukan monitoring dan evaluasi asupan gizi/makan pasien
 Berpartisipasi dalam pemilihan formula enteral serta monitoring dan evaluasi
penyediaannya.
 Melakukan rencana perubahan diit
 Merujuk pasien/klien ke pusat pelayanan lain
 Melaksanakan penapisan gizi/secreening status gizi populasi dan atau kelompok masyarakat.
 Melaksanakan asuhan gizi untuk klien sesuai kebudayaan dan kepercayaan dari berbagai
golongan umur
 Berpartisipasi dalam program promosi kesehatan/pencegahan penyakit di masyarakat.
 Berpartisipasi dalam pengembangan dan evaluasi promosi pangan dan gizi dalam
masyarakat.
 Melaksanakan dan mempertahankan kelangsungan program pangan dan gizi masyarakat
 Berpartisipasi dalam penetapan biaya pelayanan gizi.

Kompotensi Peraan dan Tanggungjawab Kolaborasi Antar Profesi (IPC)

Hasil dari laporan panel para ahli (2011), maka ditentukan bahwa kompetensi utama peran dan
tanggungjawab kolaborasi antar profesi adalah sebagai berikut:

1. Mengkomunikasikan peran dan tanggungjawab profesi secara jelas kepada pasien, keluarga
dan professionallainnya.
2. Mengenali keterbatasan profesi dalam keterampilan , pengetahuan dan kemampuan.
3. Melibatkan profesi kesehatan yang beragam dalam melengkapi keahlian professional , serta
sumber daya terkait, untuk mengembangkan strategi agar memenuhi kebutuhan pasien.
4. Menjelaskan peran dan tanggungjawab penyedia layanan lain dan bagaimana tim
bekerjasama untuk memberikan pelayanan.
5. Menggunakan lingkup pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang tersedia dari
profesi kesehatan untuk memberikan pelayanan yang aman, tepat waktu, efisien, efektif dan
adil.
6. Berkomunikasi dengan anggota tim untuk mengklarifikasi tanggungjawab setiap anggota
dalam melaksankan komponen dari rencana pelayanan atau intervensi kesehatan.
7. Menjalin hubungan ketergantungan dengan profesi lain untuk meningkatkan pelayanan
pasien dan pembelajaran lanjut.
8. Terlibat dalam pengembangan professional dan interprofesi berkelanjutan untuk
meningkatkan kinerja tim.
9. Menggunakan kemampuan yang unik dan saling melengkapi dari semua anggota tim untuk
mengoptimalkan pelayanan pasien.

Indikator Perilaku dari Memahami Peran Professional Lainnya

Menurut MacDonald et.al (2009) Indikator mahasiswa telah mencapai kompetensi “Mengetahui peran
Professional lainnya” adalah sebagai berikut:

1. Menjelaskan dimana skop profesinya sendiri berakhir dan profesi lainnya dimulai praktik
kolaborasi antar professional dalam system pelayanan kesehatan membuat optimalisasi.
2. Membuka diri untuk kontribusi anggota tim lain. Indikator ini dicerminkan melalui
komentar praktisi
3. Menghargai peran, nasehat dan kontribusi unik dari anggota tim lainnya: data menunjukkan
isu-isu dari menghargai sebagai indikasi terlihat dalam komentar dari praktisi.
4. Menghargai overleping keterampilan professional diantara anggota tim.
5. Nilai-nilai yang meningkatkan keuntungan dari usaha kolaborasi anggota tim
6. Menjelaskan perbedaan perspektif dan pengetahuan dari profesi lain.
KOMUNIKASI EFEKTIF INTERPROFESIONAL

I. DESKRIPSI SINGKAT
Komunikasi interprofesional dalam dunia kesehatan dapat melibatkan banyak pihak baik
kenaga kerja kesehatan, pasien, maupun keluarga pasien. Komunikasi interprofesional sangat
penting agar jalannya pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan lancar. Dengan komunikasi
interprofessional yang baik maka akan memudahkan tenaga kerja kesehatan dalam meperoleh
informasi yang lengkap untuk selanjutnya dilakukan tindakan yang diperlukan. Olehnya itu
diperlukan penerapan komunikasi interprofessional yang baik. Komunikasi merupakan tantangan
paling utama dalam interprofessional education ini. Banyak kasus patient safety dan malpraktek
terjadi akibat miscommunication yang sepele tapi berujung pada kesalahan fatal.

II. TUJUAN PEMBELAJARAN

a. Tujuan Pembelajaran Umum


Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu melakukan pembelajaran komunikasi efektif
interprofesi
b. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini, peserta mampu:
1. Menjelaskan konsep dan ciri-ciri komunikasi interprofesi
2. Menjelaskan manfaat komunikasi untuk kolaborasi interprofesi
3. Membuat trategi komunikasi untuk yang efektif pada interprofesi
4. Mengidentifikasi cara pembelajaran komunikasi interprofesi
5. Menjelaskan upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi

CIRI-CIRI KOMUNIKASI ANTARPROFESI

Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan informasi antar individu yang
dapat didefinisikan dalam berbagai cara, tergantung pada apa konteks itu sedang diterapkan.
Komunikasi adalah dasar untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam berperilaku sosial.
Bahasa adalah bentuk komunikasi khusus untuk manusia. Bentuk komunikasi manusia yang
umum adalah bahasa isyarat, perkataan, tulisan, gerakan, dan siaran. Komunikasi bisa bersifat
interaktif, transaktif, verbal, atau nonverbal dan bervariasi dalam berbagai bentuk dan gaya.
Komunikasi internal dalam diri sendiri bersifat intrapersonal, sedangkan komunikasi antara 2
individu bersifat interpersonal (Gilbert, Yan, & Hoffman, 2010).

Komunikasi interpersonal terdiri dari 3 faktor utama yaitu pemberi pesan, penerima
pesan, dan pesan itu sendiri. Meskipun terlihat sederhana, komunikasi interpersonal bergantung
dari bagaimana penyampaian pesan dan bagaimana pesan itu ditangkap berdampak pada
komunikasi kedua pihak. Komunikasi norverbal seperti gestur badan, ekspresi muka,
penampilan, dan warna suara juga sangat berpengaruh pada komunikasi interpersonal (Knapp &
Daly, 2002).
Komunikasi interprofesional yang efektif terdiri dari: Kejelasan dan ketepatan pesan yang
dapat diverifikasi, kolaborasi dalam memecahkan masalah, Sikap tenang dan mendukung
dibawah tekanan, memelihara rasa saling menghormati, dan memahami tentang peran unik
masing-masing. Sedangkan komunikasi tidak efektif jika sesama tenaga kesehatan saling
merendahkan, bergantung pada sistem elektronik, dan hambatan budaya dan linguistik (bahasa)

Menurut Berridge (2010), komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat


berpengaruh dalam meningkatkan keselamatan pasien, karena melalui komunikasi interprofesi
yang berjalan efektif, akan menghindarkan tim tenaga kesehatan dari kesalahpahaman yang
dapat mengakibatkan error, sehingga perlu adanya kurikulum pembelajaran IPE yang mampu
melatih kemampuan mahasiswa dalam sebuah kolaborasi interprofesi.

Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang
lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa telah memiliki bekal
pengalaman sebelumnya Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul
“Developing Interprofessional Communication Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan
diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi
tersebut merupakan langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerjasama
tim interprofesional dalam perawatan kesehatan. Selain itu simulasi tersebut adalah cara untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi. Upaya
peningkatan kemampuan komunikasi interprofesi karena memberikan kesempatan setiap
kelompok untuk belajar berinteraksi dengan profesi yang lain.

Selain melalui simulai IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan metode tutorial
yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi tutorial tersebut
berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara dokter, tenaga
keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan. Mitchell (2010) menjelaskan
dalam penelitiannya yang berjudil “Innovation In Learning An Interprofessional Approach To
Improving Communication” bahwa tutorial sangat efektif untuk memberikan kesadaran akan
pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam perawatan pasien. Selain itu, diskusi yang terjadi
selama tutorial dengan profesi yang lain dapat melatih mahasiswa untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi interprofesi.

1. Defenisi Komunikasi Antarprofesi


Komunikasi atau communication menurut bahasa Inggris adalah bertukar pikiran, opini,
informasi melalui perkataan, tulisan ataupun tanda-tanda (Hombay et al, 2007). Komunikasi
interprofesi adalah bentuk interaksi untuk bertukar pikiran, opini dan informasi yang
melibatkan dua profesi atau lebih dalam upaya untuk menjalain kolaborasi interprofesi
2. Tujuan Komunikasi
a. Menciptakan pengertian yang sama atas setiap pesan dan lambang yang disampaikan,
dengan maksud apa yang kita sampaikan itu dapat dimengerti oleh komunikan dengan
sebaik-baiknya sehingga mereka mengerti dan mengikuti apa yang kita maksudkan.
b. Merangsang pemikiran pihak penerima untuk memikirkan pesan dan rangsang yang ia
terima, supaya gagasan tersebut dapat diterima orang lain dengan pendekatan persuasive,
bukan memaksakan kehendak.
c. Melakukan suatu tindakan yang selaras sebagaimana diharapkan dengan adanya
penyampaian pesan tersebut yaitu untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
3. Elemen Penting dari Komunikasi yang Efektif
Konsep Dasar dan Peranan Komunikasi
Komunikasi pada umumnya diartikan sebagai hubungan atau kegiatan-kegiatan yang
kaitannya dengan masalah hubungan atau diartikan pula sebagai saling tukar menukar
pendapat. Komunikasi dapat juga diartikan hubungan kontak antara manusia baik individu
maupun kelompok
Dalam garis besarnya dapat disimpulkan bahwa komunikasi adalah penyampaian informasi
dan pengertian dari seseorang kepada orang lain. Apabila dirumuskan, pada dasarnya
komunikasi adalah pemberian dan penerimaan informasi berupa pengetahuan dan pengertian
dengan maksud untuk mengubah partisipasi agar hal-hal yang diberitahukan itu menjadi
milik bersama. Jadi dengan singkat dapat dikatakan bahwa arti penting dari komunikasi
adalah sebagai sarana atau alat untuk menciptakan jalinan pengertian yang sama dan serasi
serta menimbulkan dasar tindakan serta dasar terbentuknya kerja sama.
Peranan komunikasi dapat diformulasikan sebagai berikut:
1. Sebagai alat untuk menciptakan kesamaan pengertian
2. Sebagai alat untuk menggerakkan perbuatan atau reaksi pesan (komunikator)
Pada dasarnya konsep dasar komunikasi meliputi:
a. Elemen-elemen komunikasi
- Sender-write, speker, endoder (pengirim, penulis, pembicara, pembuat pesan)
- Masage (pesan)
- Medium-letter, memo, report, speech, chart etc (media surat, memo, laporan,materi
pembicaraan, peta dan sebagainya)
- Receiver-reader, listener, perceiver, decoder (penerima, pembicara, pendengar,
pengamat)
b. Motivasi untuk komunikasi
- Mengurangi ketidak pastian
- Memecahkan masalah
- Meningkatkan keyakinan
- Kontrolsituasi
- Balikan (Feedback)
c. Komponen-komponen komunikasi
- Komunikator/communication yaitu subyek yang menerima pesan/informasi atau
berita.
- Komunikan/Communicate yaitu suyek yang menerima/dituju berita yang dikirimkan
- Pesan/berita/warta (massage)
- Respon /response yaitu tanggapan
- Media/tool/technology yaitu alat yang dipergunakan untuk menyampaikan
warta/pesan
Manfaat Komunikasi untuk Kolaborasi yang Efektif pada Interprofesi

1. Faktor yang mempengaruhi komunikasi Interprofesi menurut Potter dan Parry


(2005) keaktifan komunikasi Interprofesi di pengaruhi oleh:
a. Persepsi yaitu suatu pandangan pribadi atas hal-hal yang telah terjadi. Persepsi
terbentuk apa yang diharapkan dan pengalaman. Perbedaan persepsi antar profesi
yang berinteraksi akan menimbulkan kendala dalam komunikasi
b. Lingkungan yang nyaman membuat seseorang cenderung dapat berkomunikasi
dengan baik. Kebisingan dan kurangnya kebebasan seseorang dapat membuat
kebingungan, ketegangan atau ketidaknyamanan
c. Pengetahuan yaitu suatu wawasan akan suatu hal. Komunikasi interprofesi dapat
menjadi sulit ketika lawan bicara kita memiliki tingkat pengetahuan yang berbeda.
Keadaan seperti ini akan menimbulkan feedback negative, yaitu pesan menjadi akan
tidak jelas jika kata-kata yang digunakan tidak dikenal oleh pendengar.
d. Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi.
Menurut Wegner (2011), IPE merupakan langkah yang penting untuk dilakukan karena
melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi yang
tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan situasi yang mendekati situasi nyata.
Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi
berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan metode dan
strategi pembelajaran yang menggabungkan kemampuan komunikasi dan budaya pasien
serta keterampilan teknis sejak tahap akademik (Mitchell, 2010). Salah satu model IPE yang
dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulsi IPE tersebut mahasiswa dapat
mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang
lain.

2. Mendengarkan secara aktif dan mendorong ide dan opini dari anggota tim lain
 Mendengarkan yang efektif (Effective Listening)
Mendengarkan secara aktif adalah bentuk mendengarkan dan merespon yang
terstruktur yang memfokuskan perhatian pada pembicara dan memotivasi kedua
pihak, baik pembicara, maupun pendengar.

 Mengapa perlu mendengarkan secara aktif


Seringkali ketika orang berbicara satu dengan yang lain, mereka tidak mendengarkan
dengan penuh perhatian, atau mereka tidak menunjukkan kepada pembicara dengan
penuh perhatian, atau mereka tidak menunjukkan kepada pembicara bahwa mereka
sedang mendengarkan. Perhatian mereka sering teralihkan, dan berpikir tentang apa
yang mereka katakan, atau berpikir tentang sesuatu yang lain. Sikap-sikap ini sering
menimbulkan kesalah pahaman, konflik, dan meretakkan hubungan. Mendengarkan
secara aktif akan membantu anda menghindari masalah seperti ini, meningkatkan
komunikasi anda, dan membangun hubungan yang lebih kuat.

 Benefit mendengarkan secara aktif


a. Cenderung membuat orang berbicara lebih banyak
b. Mendong anda untuk mendengarkan orang lain dengan penuh perhatian
c. Menghindari kesalahpahaman dimana anda harus mengkonfirmasikan apa yang
benar-benar anda pahami tentang apa yang dikatakan oleh pembicara.

 Hambatan mendengarkan yang efektif


a. Kita berpikir kita “tahu” apa yang ingin kita dengarkan
b. Kita menghakimi bagaimana cara mereka menyampaikannnya bukan isinya (apa
yang dikatakan)
c. Kita mencari konfirmasi, bukan informasi
d. Apa yang dikatakan, adalah apa yang seharusnya dikatakan

 Tehnik mendengarkan yang efektif


a. Encouraging (memotivasi)
b. Pretending Ignorance (menerima)
c. Memberi perhatian dan memnjukkan keterlibatan emosional (Reflecting emotion)
d. Parafrase (mengatakan kembali dengan bahasa yang berbeda)
e. Summarizing (menyimpulkan)

Aturan Listening/Mendengarkan Yang Efektif


 Stop Bicara
Anda tidak sekaligus bicara dan mendengarkan. Bila anda bicara, maka anda tidak
mendengarkan. Hal ini juga terjadi ketika anda bicara didalam kepala anda. Jika anda
sedang berpikir tentang apa yang akan anda katakan, maka anda sedang tidak
mendengarkan apa yang sedang dikatkan lawan bicara anda.
 Beri Ruang Dalam Pikiran Untuk Mendengar
Berfokuslah untuk bereaksi dan memberi respon pada pembicara. Luangkan juga ruangan
dalam pikiran anda terhadap apa yang pembicara harus katakan. Diamkan pikiran anda
dan fokuskan perhatian anda untuk mendengarkan.
 Tahan Untuk Menghakimi
Berikan ruang waktu berpikir dan bereaksi, “apakah saya sudah mendengarkan secara
utuh”.
 Hindari Men’cap’ atau Memberi Label Pada Orang terlebih dahulu
Manusia itu unik. Kita cenderung menciptakan label seperti orang ini liberal, kepada
batu, orang bijak, dan berpikir kita tau apa yang ada didalamnya. Kita percaya kita tau
segalanya tentang seseorang, tetapi mereka sama sekali tidak sama.
 Buka Pikiran Anda
Ketika sesorang mengatakan sesuatu yang tidak mungkin dilakukan atau tidak realistis,
bukalah pikiran anda, bahwa hal tersebut bukanlah sesutau yang tidak baik.
 Fokus
Bila sesorang sedang bicara, fokuslah. Jika anda sedang perhatian, tunjukkan beberapa
tanda bahwa anda sedang focus seperti kontak mata-tanpa berpikir sama sekali.
Dibawah ini adalah beberapa cara yang menunjukkan anda sedang mendengarkan:
a. Pertahankan kontak mata
b. Beri tanda non verbal, seperti mengangguk, menunjukkan sikap ketertarikan anda.
c. Mendorng pembicara untuk melanjutkkan pembicaraan
d. Jangan memotong pembicaraan
e. Menanyakan pertanyaan terbuka
f. Menyimpulkan, hal ini bergunan untuk menghindari kesal katidakyakinan akan apa
yang diharapkan atau kesepakatan.
 Visualisai
Sebuah gambar kadang lebih bermanfaat daripada kata-kata. Beberapa orang lebih mudah
memahami sesuatu secara visual dibanding dengan orang lain.
 Ingatlah Nama
Langkah pertama untuk mengingat nama adalah memutuskan bahwa mereka penting
untuk diingat
 Menggunakan Pertanyaan
 Waspada/Aware
Kita harus sadar akan sipembicara, baik verbal maupun non verbal, dan sadar akan
kekuatan dan tantangan kita dalam mendengar
3. Umpan Balik\fanback dalam berkomunikasi
Dalam ilmu komunikasi dikenal berbagai jenis fanback. Tidak semua persis merupakan
variasi dari prinsip diatas. Ada diantara yang merupakan anologi pada konteks
komunikasi yang lain atau merupakan yang sifatnya. Jenis-jenis fanback tersebut adalah:
1.) Feedback positif-feedback negative
Feedback positif adalah isyarat/gejala yang ditunjukkan oleh komunikan yang
menandakan bahwa ia/mereka memahami, membantu dan mau bekerja sama dengan
komunikator untuk mencapai sasaran komunikasi tertentu, dan tidak menunjukkan
perlawanan/pertentangan.
Contohnya : komunikan mengangguk-angguk, memperhatikan dengan serius,
mencatat,responsive ketika ditanya.
Feedback negative adalah isyarat/gejala yang ditunjukkan oleh komunikan yang
menandakan bahwa ia/mereka memiliki sikap serta perilaku yang dapat berkisar dari
mulai tidak setuju hingga menyukai pesan, cara penyampaian, atau bahkan diri sang
komunikator. Segalanya sesuatu yang merupakan lawan dari feedback positif adalah
feedback negative.
Contohnya: sikap acuh tak acuh, melakukan hal lain yang tidak ada hubunganya
dengan yang sedang dibahas, mengobrol, mengganggu orang lain, nyeletuk,
memotong pembicaraan/interupsi secara tidak sopan, atau keluar ruangan/ walk-out
tanpa izin dari komunikator, dan sebagainya.
2.) Feedback Netral- feedback zero
Feedback Netral adalah jenis feedback yang sulit untuk dinilai sebagai syarat/ gejala
yang menunjukan respon positif atau negative. Dengan kata lain feedback netral
adalah feedback yang tidak jelas wujudnya ; apakahitu positif atau negative .
Contohnya : perilaku diam ketika ditanya mengerti atau tidak
Feedback zero adalah feedback yang sulit dimengerti oleh komunikator. Komunikator
tidak tahu harus menafsirkan isyarat/gejala yang muncul dari komunikan.
Contohnya: ada yang tertawa ketika komunikator tidak sedang menyampaikan hal
yang lucu, tiba-tiba ada yang menangis, dan sebagainya.
3.) Feedback Internal-feenback Eksternal
Feedback internal adalah yang menunjukkan sumber dari isyarat/gejala yang menjadi
feedback. Bila itu muncul dari dalam diri komunikator, maka itu disebut feedback
internal. Maksudnya, misalnya ketika komunikator telah mengatakan sesuatu, tapi
kemudian dia ingat sesuatu dan meralat apa yang telah ia katakan, maka yang kita lihat
itu dapat dikatakan sebagai hal yang terjadi karena ada feedback internal pada diri
komunikator.
Feedback Eksternal adalah feedback yang munculnya berasal dari komunikan. Dalam
hal ini komunikan dapat menunjukkannya dengan memberikan ekspresi wajah
tertentu, gerak-gerik, perilaku atau bahkan suara-suara yang muncul ketika komunikasi
tengah berlangsung.
4.) Feedback Internal – feedback Non-Verbal
feedback Verbal menunjukan pada bentuk atau wujud dari apa yang disampaikan
komunikan sebagai reaksinya pada suatau perilaku komunikasi tertentu yang sedang
berlangsung. Contoh dari feedback verbal misalnya adalah interupsi (memotong
pembicaraan), nyeletuk (menyampaikan komentar secara spontan ketika komunikator
sedang menyampaikan pesannya), atau dapat pula berupa secarik kertas yang ditulisi
yang mengatakan sesuatu kepada yang sedang berbicara agar ia segera berhenti karena
waktu untuknya sudah habis. Harus diingat pengertian verbal disini. Pesan komunikasi
yang verbal adalah yang bentuknya merupakan wujud dari pengguna bahasa. Artinya,
bisa berupa lisan atau tulisan.
Feedback Non-verbal adalah yang wujudnya bukan merupakan lisan atau tulisan,
seperti ekspresi wajah, gerak-gerik, cara duduk, cara berdiri, cara menatap, bentuk
senyumnya, isyarat tangan, dan sebagainya.
5.) Feedback Langsung – Feedback Tidak Langsung
Beberapa ahli komunikasi tidak sepakat dengan adanya dua jenis feedback ini.
Alasannya adalah, feedback seharusnya adalah sesuatu yang tampak / dapat
diidentifikasi keberadaanya ketika sebuah proses komunikasi tengah berlangsung,
bukan sesudahnya. Bila sesudahnya, maka itu berarti merupakan respon atau
tanggapan. Mereka menyatakan ini karena pengertian feedback langsung (immediate
feedback) adalah feedback yang ditunjukkan ketika komunikasi sedang berlangsung,
dan feedback tidak langsung (delayed feedback) adalah feedback yang disampaikan
ketika komunikasi telah selesai. Konteks dua jenis feedback ini adalah pada
perbandingan antara komunikasi interpersonal dan komunikasi massa. Pada
komunikasi interpersonal, jelas untuk sebagian besar feedbacknya akan bersifat
langsung atau segera. Artinya, orang yang berbicara / komunikator akan segera padat
mengetahui bagaimana reaksi komunikan ketika ia sedang menyampaikan pesan
tertentu (karena situasinya tatap muka). Ini berbeda dengan komunikasi massa. Surat
kabar, misalnya. Para pembaca tidak dapat memberikan feedback yang segera.
Feedback mereka dapat disampaikan melalui surat pembaca yang biasanya waktunya
adalah cukup lama sejak apa yang ditanggapi terbit atau dibaca oleh komunikan,
sehingga surat pembaca dapat dijadikan contoh sebagai feedback tidak langsung.
Bila kita berpegang pada pengertian yang sebenarnya dari feedback, kedua jenis
feedback terakhir ini dapat dikatakan sebagai sekedar kiasan. Feedback sifatnya harus
segera dan disampaikan pada saat komunikasi sedang berlangsung. Oleh karena itu
feedback dapat pula kita katakan sebagai sebuah reaksi komunikan. Akan tetapi bila
penyampaiaanya adalah pada saat sebuah proses komunikasi telah berlangsung, maka
itu dapat kita katakan sebagai sebuah respon atau tanggapan.
Feedback saat penting saat komunikasi sehari-hari. Nilai pentingya bukan saja pada
kemampuan komunikator bagaimana ia bisa menafsirkan syarat/gejala yang
ditunjukkan kemudian mengambil tindakan yang memperbaiki keadaan, namun juga
dari sisi komunikan, dimana sering kali muncul kebutuhan untuk menyampaikan
feedback secara sengaja. Bila X berbicara dengan begitu percaya diri namun pada saat
yang sama ia tidak menyadari bahwa ia sebenarnya sedang menyinggung perasaan
seseorang yang ada disekitarnya, bagaimana kita sebagai salah satu komunikannya
memberitahu X secara tidak langsung agar ia dapat merubah perilaku komunikasinya.
Di disinilah pengertian menyampaikan feedback (secara sengaja). Untuk sebagian
besar kemampuan menyampaikan feddback secara sengaja kita perlukan pada saat kita
menghadapi situasi di mana yang seharusnya dikatakan tidak bisa dikatakan begitu
saja.

Upaya meningkatkan kemampuan komunikasi interprofesi


Menurut Wagner (2011), IPE merupakan langkah yang penting untuk dilakukan karena
melalui IPE, mahasiswa dapat melatih kemampuan komunikasi interprofesi pada situasi yang
tidak membahayakan pasien tetapi tetap mencerminkan situasi yang mendekati situasi nyata.
Kebutuhan akan strategi pembelajaran untuk meningkatkan komunikasi interprofesi
berkembang. Oleh karena itu, pendidik diharapkan mampu mengembangkan metode dan strategi
pembelajaran yang menggabungkan kemampuan komunikasi dan budaya pasien serta
keterampilan teknis sejak tahap akademik (Mitchell, 2010). Salah satu model

IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE tersebut mahasiswa
dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang
lain. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang lain
ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal
pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul
“Developing Interprofessional Communication Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan
diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi
tersebut merupakan langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerja
sama tim interprofessional dalam perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi
interprofesi, karena memberikan kesempatan setiap kelompok untuk belajar berinteraksi dengan
profesi yang lain. Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan
metode tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi
tutorial tersebut berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara
dokter, tenaga keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan.

Mitchell (2010) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul “Innovation In Learning


– An Interprofessional Approach To Improving Communication”bahwa tutorial sangat efektif
untuk memberikan kesadaran akan pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam perawatan
pasien. Selain itu, diskusi yang terjadi selama tutorial dengan profesi yang lain dapat melatih
mahasiswa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi interprofesi. Menurut Berridge
(2010), komunikasi interprofesi merupakan faktor yang sangat berpengaruh dalam meningkatkan
keselamatan pasien, karena melalui komunikasi interprofesi yang berjalan efektif, akan
menghindarkan tim tenaga kesehatan dari kesalahpahaman yang dapat menyebabkan medical
error, sehingga perlu adanya kurikulum pembelajaran IPE yang mampu melatih kemampuan
mahasiswa dalam sebuah kolaborasi interprofesi. Berikut ini adalah karakter dalam komunikasi
interprofesi kesehatan yang kami temukan melalui serangkaian penelitian ilmiah bersama dengan
profesi dokter, perawat, apoteker dan gizi kesehatan dan telah mendapatkan validasi oleh pakar
komunikasi dari Indonesia maupun Eropa (Claramita, et.al, 2012):

1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi kesehatan lain,
yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak bahwa setiap profesi kesehatan
dibutuhkan untuk saling bekerjasama demi keselamatan pasien (Patientsafety) dan
keselamatan petugas kesehatan (Provider-safety).
2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi kesehatan.
3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas kesehatan yang
berbeda profesi dalam
4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan lain.
5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien bias dilakukan
antar individu ataupun antar kelompok profesi kesehatan yang berbeda.
6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi kesehatan yang lain.
7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai proses pengobatan
(termasuk alternatif/ tradisional)
8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan untuk berbagi
informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari profesi yang berbeda (baik
tertulis di medical record, verbal maupun non-verbal).
9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi kesehatan sesuai dengan
tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.
10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar profesi kesehatan
mengenai masalah kesehatan pasien.
11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari profesi yang lain
dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.

Pemutaran Video
Terdapat 2 (dua) video yang digunakan untuk keperluan pembelajaran. Kedua video tersebut
adalah:
Communication (Interprofessional Comfetency)
Durasi: 1 menit 37 detik
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=vTOPE8hL708
Video ini menunjukkan masalah yang muncul pada praktik sehari-hari akibat kurangnya
komunikasi antara tim kesehatan, dan bagaimana perbaikan komunikasi dapat menyelesaikan
masalah tersebut.

2) Interprofessional Communication
Durasi: 4 menit 45 detik
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=xE7mdTfJkZE&t=13s.
Video menampilkan kelalaian seorang perawat terhadap instruksi dokter karena menggunakan
hand phone saat berkomunikasi dengan dokter. Akibatnya obat yang diberikan kepada pasien
tertukar.
Diskusi Refleksi
Setelah pemutaran video, peserta diajak berdiskusi dengan beberapa pertanyaan pemicu, antara
lain:
1. Setelah melihat video-video tadi, apa pendapat Anda?
2. Apa yang Anda pelajari dari video-video tadi?
3. Apakah masalah-masalah yang ada di video pernah Anda temui dalam praktik atau
pendidikan sehari-hari, atau pernah dengar dari kerabat Anda?
4. Apakah kolaborasi yang ada di video pernah Anda temui dalam praktik atau pendidikan
sehari-hari, atau Anda pernah dengar dari kerabat Anda?
5. Apakah kolaborasi interprofesi mungkin dilakukan di Indonesia? Mengapa?
6. Apakah kolaborasi interprofesi menguntungkan bagi pasien? Mengapa?
7. Apakah kolaborasi interprofesi menguntungkan bagi tenaga kesehatan? Mengapa?
8. Apakah kolaborasi interprofesi terlalu merepotkan dan memakan waktu? Bagaimana
solusinya?
9. Apa syarat agar kolaborasi seperti yang ada pada video dapat terlaksana dengan baik?
10. Mengapa pendidikan interprofesi perlu?
MODUL INTI 6
PEMBELAJARAN KERJA SAMA TIM ANTAR PROFESI

I. Deskripsi singkat
Konsep tentang kerja sama tim ataupun kolaborasi antar profesi kesehatan cukup sering
didengungkan sebagai slogan-slogan dalam bidang kesehatan yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Konsep kerja sama tim antar profesi semakin
menggaung seiring dengan diluncurkannya kerangka framework oleh WHO pada tahun 2010.
Pada kenyataannya, kerja sama tim antara dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya baik
dirumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya tidaklah mudah dilaksanakan. Banyak faktor
yang mempengaruhi dalam penerapan hal tersebut baik faktor sistem atau regulasi kesehatan
yang ada dalam suatu layanan kesehatan, individual maupun komunitas. Kesulitan dalam
penerapan konsep kerjasama tim ataupun kolaborasi antarprofesi oleh tenaga kesehatan dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurikulum pendidikan selama jenjang profesi yang
belum memperkenalkan konsep pendidikan antarprofesi, pengalaman pembelajaran yang
hanya bersifat unipersonal, dan sistem layanan kesehatan yang masih terkotak-kotak.
Kemampuan berinteraksi dan bekerjasama antar sesama profesi yang berbeda merupakan
bagian dari soft-skill yang dalam kurikulum pendidikan profesi bukanlah sebagai suatu mata
ajar.
Pada kondisi saat ini kebutukan masyarakat akan kualitas pelayanan yang baik semakin
meningkat. Lebutuhan ini muncul ditunjang oleh makin tingginya atau meningkatnya angka
harapan hidup masyarakat, meningkatnya prevalensi penyakit kronis dan akut, kemajuan ilmu
kedokteran, dan biaya kesehatan yang makin tinggi. Selain itu, kekurangan jumlah tenaga
kesehatan dan pendistribusian tenaga kesehatan yang tidak merata juga menjadi faktor yang
mendukung makin rendahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Kondisi diatas menuntut
pelayanan yang bersifat terintegrasi dengan pendekatan kolaborasi antara semua stakeholder
yang terlibat dan bersifat patient center. Salah satu analisa tentang penyebab rendahnya
kualitas layanan kesehatan di Indonesia adalah lemahnya koordinasi dan kerja sama tim
dalam memberikan layanan kesehatan, yang mana hal ini terjadi dari lemahnya sistem
kesehatan di Indonesia baik sistem rujukan dan sistem pembiayaan. Menyadari kondisi yang
ada saat ini, kementerian kesehatan telah menetapkan salah satu strategi pencapaian Indonesia
sehat 2015 dengan menjadikan tim kesehatan sebagai salah satu strateginya. Sebagaimana
diketahui bahwa banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas pelayanan akan
semakin baik dengan penanganan masalah kesehatan individu dan masyarakat yang
dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi, dan hal ini pula yang menuntut professional
kesehatan untuk dapat menerapkan kolaborasi praktis dengan professional dan stakeholder
lainnya.
II. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melakukan pembelajaran kerja sama tim
antar profesi
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setalah mempelajari materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan kerjasama antar profesi
2. Menjelaskan tentang peran tim (team roles) dalam lingkup pembelajaran antar profesi
3. Menjelaskan tentang proses tim (team process) dalam lungkup pembelajaran antar
profesi
4. Membuat strategi dalam pembelajaran kerjasama tim pada pembelajaran antar profesi
5. Melakukan metode evaluasi dalam pembelajaran kerjasama antar profesi
Pokok Bahasan 1: kerjasama antar profesi
1. Kerjasama antar profesi
1.1 Pengertian Kerjasama Antar Profesi
kata dari “group” atau “team” (Douglas (1983); Adair (1986)) dalam beberapa
literature dipergunakan secara bergantian. Para pakar mengatakan bahwa interaksi
yang terjadi dalam suatu kelompok atau tim adalah sama. Menurut Dauglas (1983)
mengatakan bahwa
“teams are co-operative groups in that they are called into being to perform a task,
a task that cannot be performed by an individual”.
Definisi tentang kerja sama antar profesi (interprofessional teamwork) mengacu
pada beberapa
1.2 Istilah-istilah dalam Kerja Sama Antar Profesi
konsep kerjasama antar profesi memiliki beberapa istilah yang sering digunakan
secara bergantian.
Istilah Definisi
collaboration an active and on going partnership, often between people from
diverse backgrounds, who work togerher to solve problems or
provide services.
collaborative a type of arrangement designed to promote the participation of
patient-centred patients and their families within a context of collaborative
practice practice.
interdisciplinary relates to the collaborative efforts undertaken by individuals
teamwork from different disciplines such as psychology, anthropology,
economics, geography, political science and computer science.
interprofessional a type of interprofessional work which involves different health
collaboration and social care professions who regularly come together to solve
problems or provide services.
interprofessional a type of work, similar to interprofessional collaboration (see
coordination above) as it involves different health and social care professions.
it differs as it is a „looser‟ from of working arrangement wheeby
interprofessional
communication and discussion may be less frequent
interprofessional occurs when members (or students) of two or more health and/or
education social care profession engage in interactive learning activities
toimprove collaboration and/or the delivery of care
interprofessional involve two or more health and social care professions who learn
interventions and/or work together to inprove their approach to collaboration
(see above)
interprofessional loosely organized groups of individuals fron different health and
networks social care profesions, who meet and work togerther an a
periodic basis
interprofessional a type of work which involved different health and/or social
teamwork profesion who share a team identity and work closely together in
as integrated and interdependent manner to silve problems and
deliver services
multidisciplinary a approach like interprofessional teamwork (see above), but
teamwork differs as the team members are composed from different
academic diasiplines (psychology, sociology, mathematics)
rather then from different proffessions such as medicine, nursing
and social work

1.3 Manfaat Kerjasama Antar Profesi


1.4 Prinsip-Prinsip Dasar Kerjasama Antar Profesi
Pada dasarnya, kerjasama antar profesi sebagai suatu kegiatan yang didasarkan pada
sejumlah dimensi pokok agar dapat berjalan dengan baik. Kerjasama (teamwork)
yang melibatkan dua atau lebih profesi memiliki kompleksitas yang besar dalam
penerapannya. Menurut Reeves (2010) dimensi kunci dalam kerjasama atar profesi
meliputi beberapa hal:
a. Menetapkan tujuan tim yang jelas. Hal ini sangat diharapkan karena bertujuan
untuk mencegah terjadinya multi-tindih pemahaman, dan tujuan pencapaian.
b. Memiliki suatu ciri atau identitas tim bersama. Konteks ini merupakan salah satu
kunci dimensi yang menunjukkan bahwa tim tersebut menunjukkan identitas
dari peleburan berbagai profesi. Kegiatan tim dan performan tim yang
ditunjukkan merupakan suatu ciri dari tim tersebut dan bukan merupakan ciri
suatu profesi.
c. Memiliki komitmen tim bersama. Komitmen merupaka suatu realisasi dari
rencana tim untuk mencapai tujuan kelompok dalam kerja sama antar profesi,
komitmen yang dibangun adalah merupakan hasil kesepakatan kelompok yang
ditujukkan untuk mencapai tujuan kelompok dengan mempertimbangkan juga
peran dan tanggung jawab profesi
d. Peran yang jelas pada setiap profesi tidak dapat dipungkiri atau dihindari bahwa
menyatukan berbagai profesi yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung
jawab yang berbeda akan menghasilkan tumpah tindih dan tugas dari masing-
masing profesi. Dengan melalui kesepakatan dalam kelompok, perlu ditetapkan
peran masing-masing profesi yang jelas dalam kerja sama antar profesi ini
e. Adanya konsep saling ketergantungan (inter dependence). Inter dependence
dalam konteks kerja sama antar profesi merupakan suatu strategi utnuk
mengurangi atau menghilangkan dominan antar profesi. Konsep ini
dikembangkan utntuk menunjukkan bahwa dalam penyelesaian suatu masalah
kesehatan atau penanganan pasien diperlukan sikap saling ketergantungan antar
satu sama lain sehingga keputusan medis yang diambil merupakan suatu
kesepakatan yang ditujukkan untuk menghasilkan aoutcome atau kesembuha
pasien yang maksimal.
f. Adanya integrasi antara anggota tim. Dimensi utama yang lainnya yaitu integrasi
merupakan suatu penerapan dari seluruh dimensi. Integrasi antar profesi
merupakan lebih ditujukkan pada bagaimana pelayanan pada pasien ataupun
penanganan masalah dilaksanakan secara terintegrasi dengan integrasi, bentuk
dari suatu kegiatan merupakan hasil dari kesepakatan dan peleburan dari peran,
tugas, dan tanggung –jawab dari setiap profesi dari setiap keputusan medis yang
diambil dan penatalaksanaan yang dilakukan.
Berdasarkan riview yang dilakukan oleh reeves (2005) menyebutkan
adanya sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan pengembanggan
interprofesional dan berkolaborasi. Menurut Oandasan and reeves (2005), ada 3
faktor yang mempengaruhi dalam penerapan pendidikan interprofesional
diantaranya adalah

1. Micro level (social zation processes).


2. Messo level (andministrativ chelenss for learmers and facultiy that affect the
teaching and vironment and the role of local leaders)
3. Macro level (the nid for senior menejemen and geoviemment political
support) yang dapat mempengaruhi perkembangan dan keberhasilan
penerapan pendidikan antar profesi.
Selain itu pada pembentukan collaborate peracite skill, Bronstein
menyebutkan ada 4 faktor yang akakn memperngaruhi dalam menerapkan
interdischiplinary collaboracion yaitu (1) personal charateristik;(2)
professional role; (3) structural charasteristik ; dan (4) history of
collaborasion

Dalam bukunya yang berjudul “interprofessional tim world yang


diluncurkan oleh Reevea (2010) digambarkan tentang faktor-faktor utama
yang mempengaruhi kerja sama tim dalam antar profesi seperti gambar di
bawah ini:

Relational Processual
 Professual power  Time and space
 Hierarchy  Routine and rituals
 Socialsation  Information
 Team composition technology
 Team roles  unpredictability
 Team processos

INTERPROFESSIONAL
TEAMWORK

Organizational Contextual
 Organizational  Culture
support  Diversity
 Professional  Gender
reprentation  Political wil
 Feat of migation  economic

Gambar 1. Interprofessional Teamwork (Reeves Scott, Lewin S, Espin S (2010))


pokok Bahasan 2: Peran Tim (team roles) dalam Lingkup Pembelajaran antar Profesi dan
Praktik Kolaboratif.
Kerja sama tim merupakan faktor penting yang menawarkan adaptability, produktivitas dan
kreativitas daripada satu individu. Untuk dapat melakukan kerja sama tim, ada empat kompetensi
inti dalam melakukan kerja sama tim yaitu (1) pengetahuan tentang peran-peran pelayanan
kesehatan; (2) kemampuan untuk berkomunikasi secara efektif dengan profesi kesehatan lainnya;
(3) kemampuan untuk merefleksikan pengaruh peran atau sikap profesi lain yang berhubungan
dengan mutual truts; dan keinginan untuk bekerja secara bersama-sama.
2.1. Pengertian tentang tugas (task) dan tanggung jawab (responsibility) individu profesi dan tim
antar profesi
2.2.Strategi kepemimpinan dalam kerja sama antar profesi

Pokok Bahasan 3: Proses Tim (team process) dalam Lingkup Pembelajaran Antar Profesi
dan Praktik Kolaboratif
3.1 strategi penerapan pengembangan tim (tim building) pada kerja sama antar profesi
3.2 Prinsip mempercayai dan menghormati (trust and respect) dalam kerja sama antar profesi
3.3 Berbagai jenis konflik yang timbul dalam kerja sama antar profesi
3.4 Strategi menerapkan manajemen konflik dalam kerja sama antar profesi

Pokok Bahasan 4: Strategi yang Memfasilitasi Kerja Sama Tim dalam Pembelajaran
Antar Profesi
4.1 Integrated care pathways untuk penanganan masalah kesehatan dalam kerja sama antar
profesi
4.2 model care management dalam penanganan masalah kesehatan dalam kerja sama antar
profesi
4.3 role shifting, role delegation, dan role creation dalam pembelajaran kerja sama antar profesi

pokok bahasan 5: Metode Evaluasi dalam Pembelajaran Kerja Sama Antar Profesi
1. strategi evaluasi pembelajaran kerja sama antar profesi secara formatif dan sumatif pada
bagian:
a. masukan / input: evaluasi peserta didik, pengajar, fasilitas
b. proses: proses pembelajaran
c. keluaran: metode Kirkpatrick
2. strategi penilaian impact/dampak pembelajaran kerja sama antar profesi pada
a. pasien (kepuasan layanan)
b. profesi (kepuasan bekerja, rendahnya work stress)

VI. Daftar Pustaka


1. Abarca, J., Brdard, A., & Carlson, D. (2000). Chapter 6: Teamwork and Working in
Team. In J. Abarca, A. Bedard, & D. Carlson, Introductory Engineering Design: A
Project-Based Approach (pp. 39-54). Colorado: The University of Colorado.
2. Barr, H., (2002). Interprofessional education: Today, Yesterday and tomorrow. Learning
and Teaching and Teaching support Network: Centre for Health Sciences and practice.
3. Barr. H,. Helme, M., & D‟Avray, L. (2011). Developing Internassional Education in
health and social care courses in the United Kingdom: A Progress Report. London:
Higher Education Academy, Health Sciences and Practice Subject Centre.
4. Barr, H., Koppel, I., Reeves, S., & Ham, M. (2005) Effective Interprofessional
Education: Argument, assumption and Evidence (Promoting Partnership for Health)
Hugh Barr, Ivan Koppel, Scott Reeves, Marilyn Hammick, Della S. Freeth August 2005,
Wiley-Blackwell. Oxford: Blackwell Publishing.

Anda mungkin juga menyukai