PADA PENELITTIAN
PENELITI
DR. LA BANUDI, SST, M.Kes
DR. NURMIATY, SSiT, MPH
Puji Syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT atas segala Rahmad dan
HidayahNya sehingga buku ini bisa selesai dan dapat dicetak. Salam dan shalawat
penulis sampaikan kepada Nabiullah Muhammad SAW, Keluarganya, Sahabat-
sahabatnya, Serta pengikut-pengikutnya dimanapun mereka berada.
Modul ini dapat digunakan oleh pengajar dan mahasiswa Politeknik Kesehatan
Kementerian Kesehatan, Perguruan Tinggi yang memiliki prodi kesehatan serta
berbagai kalangan yang tertarik dan berminat untuk mempalajari dan menambah
wawasan tentang interprofesional education..
Penulis menyadari modul ini masih jauh dari harapan pembaca yang mana
didalamnya masih terdapat berbagai kesalahan baik dari sistim penulisan maupun isi
dan desain penyajian. Olehnya itu penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan
saran yang bersifat membangun, sehingga pada edisi berikutnya dapat diperbaiki serta
ditingkatkan kualitasnya.
Penulis
Kolaborasi antar profesi kesehatan adalah satu usaha untuk peningkatan mutu
pelayanan kesehatan. WHO telah membuat sebuah grand design tentang pembetukan
karakter kolaborasi dalam sebuah bentuk pendidikan formal yaitu berupa
interprofessional education. Interprofessional education (IPE) adalah suatu
pelaksanaan pembelajaran yang diikuti oleh dua atau lebih profesi yang berbeda untuk
meningkatkan kolaborasi dan kualitas pelayanan dan pelaksanaanya dapat dilakukan
dalam semua pembelajaran, baik itu tahap sarjana maupun tahap pendidikan klinik
untuk menciptakan tenaga kesehatan yang professional.
Dengan demikian area kompetensi yang diharapkan dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Komunikasi interprofesi
2. Kolaborasi interprofesi (kepemimpinan, manajemen konflik, team functioning)
3. Etika dan nilai (cultural diversity)
4. Peran profesi kesehatan
5. Pelayanan kesehatan yang berpusat pada individu
6. Pelayanan kesehatan yang berpusat keluarga dan komunitas
C. TUJUAN MODUL
Tujuan akhir pendidikan interprofesi adalah menghasilkan peserta didik yang
mampu mengembangkan kompetensi yang diperlukan untuk berkolaborasi. CAIPE
(2001) mengemukakan prinsip-prinsip pendidikan interprofesi yang efektif, yang
bertujuan untuk menghasilkan tenaga kesehatan dengan kemampuan sebagai berikut :
(7)
1) Bekerja untuk meningkatkan kualitas pelayanan
2) Berfokus pada kebutuhan pasien dan keluarga
3) Melibatkan pasien dan keluarga
4) Mempromosikan kolaborasi interprofesi
5) Mendorong profesi kesehatan untuk belajar dengan, dari dan tentang satu sama
lain
6) Meningkatkan praktek masing-masing profesi
Pendidikan interprofesi membantu setiap profesi untuk meningkatkan
kemampuan praktik profesinya masing-masing dan memahami bagaimana
praktik yang dilengkapi oleh profesi lain.
7) Menghormati integritas dan kontribusi masing-masing profesi
Pendidikan interprofesi tidak mengancam identitas dan wilayah profesi lain.
Dalam proses pendidikan interprofesi terjadi proses menghargai kontribusi khas
masing-masing profesi dalam proses belajar, praktek, dan memperlakukan
semua profesi secara setara.
8) Meningkatkan tingkat kepuasan profesional
Pendidikan interprofesi menumbuhkan sikap saling mendukung antara profesi,
mendorong fleksibilitas dan memenuhi praktik kerja, tetapi juga menetapkan
batas yang dibuat pada masing-masing profesi.
D. SASARAN PEMBELAJARAN
Sasaran Pembelajaran adalah Para siswa mampu:
1. Mendeskripsikan IPE termasuk 4 domain
a. Nilai etika utk praktik interprofessional
b. Peran dan tanggung jawab
c. .Komunikasi interprofesional
d. Tim dan kerja Tim
2. Mendeskripsikan peran anggota tim dan bagaimana peran ini berlaku untuk bekerja
tim
3. Menunjukkan prinsip etika dalam pembuatan keputusan.
4. Memanfaatkan strategi komunikasi terstruktur seperti yang disajikan dalam tim
untuk menganalisa studi kasus.
5. Menganalisis studi kasus dengan menggunakan empat domain IPE.
E. LINGKUP BAHASAN
POKOK BAHASAN DAN SUB POKOK BAHASAN
Peran Profesi
sendiri
Peran dan Komunikasi peran dan tanggung
tanggung jawab jawab profesi secara jelas kepada
dalam pasien, keluarga dan profesional
lainnya
intperofessional
Mengenali keterbatasan profesi dalam
keterampilan, pengetahuan dan
kemampuan
Melibatkan profesi kesehatan yang
beragam dalam melengkapi keahlian
profesional, serta sumber daya terkait,
untuk mengembangkan strategi agar
memenuhi kebutuhan pasien
Menjelaskan peran dan tanggung
jawab penyedia layanan lain dan
bagaimana tim bekerjasama untuk
memberikan pelayanan.
Menggunakan lingkup pengetahuan,
keterampilan dan kemampuan yang
tersedia dari profesi kesehatan untuk
memberikan pelayanan yang aman,
tepat waktu, efisien, efektif dan adil.
Berkomunikasi dengan anggota tim
untuk mengklarifikasi tanggung jawab
setiap anggota dalam melaksanakan
komponen dari rencana pelayanan atau
intervensi kesehatan.
Menjalin hubungan ketergantungan
dengan profesi lain untuk
meningkatkan pelayanan pasien
Terlibat dalam pengembangan
profesional dan interprofesi
berkelanjutan untuk meningkatkan
kinerja tim
Menggunakan kemampuan yang unik
dan saling melengkapi dari semua
anggota tim untuk mengoptimalkan
pelayanan pasien
KOMUNIKASI Komunikasi Memilih alat dan teknik komunikasi
Interprofessional yang efektif, termasuk sistem
informasi dan teknologi komunikasi,
untuk memfasilitasi diskusi dan
interaksi yang meningkatkan fungsi
tim
Mengatur dan mengkomunikasikan
informasi dengan pasien, keluarga, dan
anggota tim kesehatan dalam bentuk
yang dapat dimengerti serta
menghindari terminologi profesi yang
spesifik bila memungkinkan
Mengungkapkan pengetahuan dan
pendapat kepada para anggota tim
yang terlibat dalam perawatan pasien
dengan keyakinan, kejelasan dan rasa
hormat
Mendengarkan secara aktif dan
mendorong ide dan opini dari anggota
tim lain
Memberikan umpan balik konstruktif,
tepat waktu dan sensitif kepada orang
lain tentang kinerja tim mereka serta
menanggapi umpan balik dari orang
lain dengan rasa hormat
Menggunakan bahasa yang tepat untuk
situasi yang sulit, percakapan atau
konflik interprofesi
Memahami bahwa setiap orang
memiliki keunikan tersendiri, termasuk
tingkat pengalaman, keahlian, budaya,
kekuasaan, dan hierarki dalam tim
perawatan kesehatan, sehingga dapat
memberikan kontribusi untuk
komunikasi yang efektif, resolusi
konflik, dan hubungan kerja
interprofesi yang positif
Berkomunikasi secara konsisten
mengenai pentingnya kerjasama pada
perawatan pasien berbasis tim dan
komunitas
Kerjasama tim memahami proses pengembangan tim
dalam
interprofessional
mengembangkan berbagai prinsip
kerjasama yang menghargai nilai-nilai
etis yang dianut oleh anggota
kelompok
memfasilitasi diskusi secara efektif dan
berinteraksi serta berpartisipasi dengan
anggota tim dan menghargai seluruh
anggota tim
berpartisipasi dan menghargai seluruh
anggota yang berpartisipasi secara
kolaboratif dalam pengambilan
keputusan
melakukan refleksi secara berkala
terhadap posisi dan fungsi mereka
terhadap kelompok peserta didik,
praktisi dan pasien/ klien/keluarga
menciptakan dan menjaga secara
efektif lingkungan hubungan kerja
yang sehat dengan peserta didik,
praktisi, pasien/klien dan keluarga baik
di dalam atau di luar tim yang telah
ditentukan
menghargai kode etik dalam tim,
termasuk di dalamnya kerahasiaan,
alokasi sumber daya dan
profesionalisme
Penyelesaian 1. mengenal, berintegrasi, menilai,
pasien berbasis bertindak sebagai rekan, memberi
pasien dan masukan dan menjalin hubungan
dengan
komunitas
pasien/klien/keluarga/komunitas
dalam merencanakan dan
memberikan pelayanan.
2. dapat mendukung partisipasi dari
pasien/klien dan keluarga, atau
perwakilan komunitas sebagai rekan
integral penyedia pelayanan
kesehatan.
3. Kerjasama dengan
pasien/keluarga/komunitas dapat
diwujudkan mulai dari perencanaan
pelayanan, implementasi dan
evaluasi, melalui proses berbagi
informasi dengan pasien/klien
(keluarga dan komunitas) dengan
sikap saling menghargai dan cara
yang mudah dimengerti.
4. mempelajari cara untuk
meningkatkan partisipasi
pasien/klien/keluarga/komunitas
dalam pengambilan keputusan
melalui pemberian informasi yang
akurat dan dukungan yang diberikan
oleh peserta didik.
MODUL DASAR 1
1. Deskripsi Singkat
Pendidikan interprofesi atau Interprofissional Educatio ( IPE) merupakan upaya
strategis untuk mempersiapkan mahasiswa atau peserta didik yang sedang duduk dibangku
kuliah dalam menghadapi masalah kesehatan yang kompleks serta perkembangan teknologi
bidang kesehatan yang pesat. Pendidikan interprofesi merupakan aplikasi konsep pendidikan
kolaborasi yang mencakup banyak aspek didalamnya, antara lain kerjasama dalam tim,
komunikasi inter dan antarprofesi dan pemahaman peran dan tugas setiap profesi. Sebagai
bekal untuk melakukan pekerjaan yang berhubungan dengan kolaborasi di lapangan maupun
di klinik.
Pendidikan interprofesi sudah dilakukan dan diterapkan oleh beberapa institusi
kesehatan dengan kata lain bukan suatu hal yang baru. Konsep ini telah lama dicanangkan
oleh WHO seiring dengan penerapan kesepakatan Health for All 2000. Sepuluh tahun
kemudian, pendidikan tenaga kesehatan. Hal ini semakin dipertegas dalam laporan tahunan
WHO pada tahun 2000 yang merekomendasikan pembangunan sistem kesehatan nasional
dan menegaskan pentingnya penyediaan SDM kesehatan yang didukung dengan sistem
pendidikan yang melibatkan seluruh profesi terkait pada setiap Negara. Pendidikan
interprofesi telah muncul sebagai suatu respon kurikulum strategis yang bertujuan untuk
mempersiapkan praktisi yang mampu menghadapi lingkungan kesehatan yang dinamis,
kompleksitas masalah kesehatan dan tuntutan kinerja professional yang berkualitas. Selain
itu, dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, jumlah penduduk yang mengalami masalah
kesehatan yang kompleks terus meningkat. Kondisi ini menimbulkan tuntutan yang lebih
besar terhadap layanan kesehatan yang berkualitas dan tenaga kesehatan yang professional.
Kerja sama tim dan berkolaborasi telah direkomendasikan sebagai strategi untuk memenuhi
kebutuhan tersebut.
Untuk menguatkan penerapan IPE, pada tahun 2010, WHO memperkenalkan strategi
IPE dalam bentuk “Framework for Action on Interprofessional Education & Collaborative
Praktice”. Inisiatif strategi ini juga merupakan lanjutan dari komitmen WHO sebelumnya
yang bertujuan untuk memperbaiki pendidikan kesehatan dan kedokteran, serta profesi
lainnya melalui IPE. Munculnya strategi ini adalah sebagai upaya untuk memperkuat sistem
pelayanan kesehatan berdasarkan dasar-dasar kesehatan primer, yang bertujuan untuk
mencapai kesehatan bagi semua orang melalui pelayanan kesehatan primer. Canadian
Interprofessional Health Collaborative (CIHC) menyebutkan bahwa praktik kolaborasi yang
berpusat pada pasien juga memperbaiki kualitas pelayana pasien dan meningkatkan luaran
kesehatan pasien beberapa peneliti telah menunjukkan bahwa dengan layanan kesehatan
yang bersifat praktik kolaborasi telah berhasil menurunkan kejadian komplikasi penyakit,
lama rawat inap, jumlah kunjungan ke Rumah Sakit, kejadian malpraktik, dan angka
kematian. Hal tersebut diatas dapat mengurangi biaya kesehatan dan meningkatkan
kepuasan pasien. Selain itu, praktik kolaborasi juga mengurangi konflik yang terjadi diantara
tenaga kesehatan sehingga menanganan pasien baik secara individu maupun komunitas
menjadi lebih efektif dan efisien.
WHO menggambarkan praktik kolaborasi (collaborative practice) sebagai suatu
pelayanan komprehensif yang diberikan oleh dua atau lebih tenaga kesehatan dengan latar
belakang profesi yang berbeda, melalui kerja sama dengan pasien, keluarga, pengasuh, dan
komunitas untuk menyediakan kualitas pelayanan yang tertinggi diberbagai situasi.
University of Toronto menyebutkan bahwa pendidikan interprofesi bertujuan untuk
menghasilkan peserta didik profesi kesehatan dengan pengetahuan, keterampilan dan sikap
yang sesuai dengan praktek kolaborasi interprofesional. Sehingga WHO pun
merekomendasikan pendidikan interprofesi sebagai pendidikan yang terintegrasi untuk
meningkatkan kemampuan kolaborasi.
Pendidikan interprofesi merupakan “an occasion when two or more professions learn
with, from and about each other to improve collaboration and the quality of care” sebagai
sarana untuk mencapai tujuan tersebut. Konsep dasar dari definisi tersebut diatas adalah
suatu proses pembelajaran yang melibatkan dua tau lebih profesi yang berbeda dan adanya
proses saling interaksi di dalamnya. Proses ini haruslah dibedakan dengan istilah antar
disiplin (interdisipline) dan multi profesi (multiprofesional) yang mana kedua istilah tersebut
hanyalah suatu pembelajaran bersama tetapi tidak ada proses saling interaksi (terkadang
hanya bersifat satu arah).
Pendidikan interprofesi atau Interprofesional Education (IPE) didefinisikan oleh
Centre for the Advancement of Interprovesional Education (CAIPE) sebagai suatu bentuk
pendidikan yang terjadi ketika dua atau lebih profesi kesehatan bekerja sama, dari, dan
mengenai satu sama lain untuk mewujudkan kolaboasi yang efektif dan meningkatkan
luaran kesehatan yang lebih baik.
Pada sisi lain, pelaksanaan pembangunan kesehatan di Indonesia dengan seluruh
program dan pelayanan yang ada didalamnya menuntut keterpaduan intervensi baik antar
maupun intra profesi kesehatan yang diwujudkan dalam bentuk sistem kesehatan nasional.
Saat ini Indonesia telah memiliki kebijakan tentang sistem kesehatan dalam bentuk
Peraturan Presiden No. 72 tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Nasional (SKN). Dalam
SKN 2012 ini diatur tentang pengelolaan pembangunan kesehatan yang dikelompokkan
menjadi 2 (dua) upaya besar yaitu Upaya Kesehatan Program (UKP) dan Upaya Kesehatan
Masyarakat (UKM). Setiap upaya kesehatan, UKP dan UKM, dibuat secara bertahap yaitu
primer, sekunder dan tersier yang dijalankan oleh fasilitas pelayanan kesehatan secara
berjenjang. Setiap fasilitas pelayanan kesehatan yang ada membutuhkan dukungan unsur
SKN lain yaitu sumber daya manusia (SDM) kesehatan dan non kesehatan.
Mengingat penyelenggaraan SKN dalam bentuk pelayanan dan program kesehatan
membutuhkan dukungan antar dan intra profesi kesehatan secara terpadu, maka diperlukan
para professional yang memiliki kemampuan untuk bekerja sama dan bekerja dalam tim
sehingga menghasilkan pencapaian yang lebih optimal. Oleh karena itu, fakultas/Jurusan
dalam rumpun kesehatan serta organisasi profesi lainnya dituntut untuk menghasilkan
praktisi profesi yang mampu beradaptasi, fleksibel, bekerja dalam tim, bekerja sama secara
efektif, dan memiliki kemampuan interpersonal dan professional yang tinggi. Strategi untuk
mencapai tujuan tersebut adalah mengenalkan IPE baik dalam tahap akademik dan profesi.
IPE mampu menghasilkan seorang profesi dengan kemampuan, sikap dan keterampilan yang
baik dalam menhasilkan masalah kesehatan yang menantang dan dinamis.
Program IPE telah berkembang secara luas diberbagai institusi di Negara-negara
maju seperti Kanada, Inggris maupun di Asia seperti Jepang. Penelitian terkait IPE telah
dilakukan oleh berbagai profesi dan model pendidikan tersebut telah memberikan dampak
positif terkait praktek kolaborasi antar praktisi dan masyarakat. Perkembangan IPE di
Indonesia sudah berjalan dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir ini. Tetapi IPE masih
dalam tahapan yang belum sepenuhnya mempunyai bentuk nyata. Pendidikan interprofesi
seringkali masih tetap menjadi wacana ilmiah (debat ilmiah) antara pendidik kesehatan dan
professional di Indonesia, dan belum diimplementasikan sebagai kebijakan untuk
mengintegrasikan IPE kedalam kurikulum pendidikan profesionel kesehatan di Indonesia.
Oleh karena itu, perlu disusun suatu rekomendasi untuk mengembangkan IPE di Indonesia
untuk tujuh profesi (kedokteran umum, kedokteran gigi, keperawatan, kebidanan, kesehatan
masyarakat, gizi, dan farmasi).
2. Landasan Filosofi
Demi mewujudkan bangsa yang kuat dibutuhkan kondisi kesehatan rakyat yang
optimal yang merupakan tujuan dari pembangunan nasional. Pembangunan kesehatan
sebagai bagian integral dari pembangunan bertujuan untuk meningkatkan kesadaran,
kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar terwujud derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya
manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis (UU Kes 36/2009). Untuk melaksanakan
pembangunan kesehatan yang baik, pemerintah membangun sistem kesehatan nasional
(Perpes 72/2012) yang membagi upaya kesehatan menjadi Upaya Kesehatan Perorangan
(UKP) dan upaya kesehatan masyarakat (UKM). Penyelenggaraan kedua upaya kesehatan,
UKP dan UKM, mutlak membutuhkan ketersediaan sumber daya manusia yang memadai
yang memiliki kompetensi sesuai dengan Standar Nasional Pendidikan Tinggi (SNPT)
Indonesia.
Pada prinsipnya penyelesaian masalah kesehatan memerlukan kerjasama antar
anggota tim kesehatan yang ditujukan pada tiga faktor utama yaitu perbaikan faktor
lingkungan, peningkatan kemampuan dan daya tahan tubuh, serta pemberantasan bibit
penyakit. Kerjasama dalam tim ini perlu dikembangkan sejak awal yaitu sejak para calon
professional tersebut menempuh pendidikan (early exposure), sehingga masing-masing
dapat bekerja memahami perannya dalam menyelesaikan masalah kesehatan dan
peningkatan pelayanan kesehatan (individu, keluarga, maupun masyarakat) serta saling
memahami dan menghargai peran profesi masing-masing, sehingga kemitraan antar profesi
dapat terbentuk.
Mengacu pada definisi tentang tujuan pendidikan menurut UNESCO adalah untuk:
1) Learning to know: penguasaan yang dalam dan luas akan bidang ilmu tertentu,
termaksud didalamnya Learning to How
2) Learning to do: belajar untuk mengaplikasikan ilmu, bekerja sama dengan tim, bekrja
memecahkan masalah dalam berbagai situasi.
3) Learning to be: bekerja untuk dapat mandiri, menjadi orang yang bertanggung jawab
untuk mewujudkan tujuan bersama.
4) Lerning to live together: belajar memahami dan menghargai orang lain, termaksud
sejarah dan nilai-nilai agamanya.
Keempat pilar tersebut diatas adalah strategi pembelajaran yang dianggap tepat
dalam abad ke 21 ini. Selaras dengan tuntutan dalam menyelenggarakan SKN dan tujuan
akhir dari pendidikan menurut WHO dan UNESCO diatas, maka sudah selayaknya apabila
para professional kesehatan dalam bekerja menerapkan 4 pilar tersebut dalam bentuk praktik
kerjasama, saling mengisi dan membangun kesejahteraan bangsa. Oleh karena itu, untuk
mencapai hal tersebut diatas, diperlukan proses pendidikan yang semenjak dini dengan
mengenalkan dan membiasakan para calon profesioanl kesehatan untuk berinteraksi bersama
dan berkolaborasi dengan membangun kompetensi professional dan teknis dalam semangat
kerjasama antar profesi dalam suatu institusi.
3. Landasan Histori
Pendidikan dokter
Pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia tidak bisa dilepaskan dari perjalanan
sejarah perjuangan bangsa Indonesia sendiri. Sejarah mencatat bahwa pendidikan tenaga
kesehatan diawali dengan pendidikan kedokteran pada tahun 1851 dengan Sekolah Dokter
Jawa dengan lama pendidikan sekitar 2 tahun yang kemudian menjadi 7 tahun. Setelah
sekolah dokter Jawa selanjutnya pendidikan dokter pada era penjajahan Belanda mengalami
beberapa pergantian sistem seperti School tot Opleiding von Indische Artsen (STOVIA)
tahun 1901, Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS) 1913, dan GH tahun 1927. Pada
jaman menjajahan jepang, pendidikan dokter kembali mengalami pergantian sistem untuk
memenuhi kebutuhan pada saat itu. Pendidikan dokter pada masa itu (1942) disebut Ika Dai
Gaku dengan lama pendidikan yang diperpendek menjadi 5 tahun untuk memenuhi
kebutuhan dokter tentara jepang.
Setelah Penjajahan Jepang kalah dan Indonesia merdeka, nama sekolah IKA
DAIGAKU diubah menjadi nama Perguruan Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan
pada tahun 1946 berdirilah Universitas Gajah Mada yang didirikan didepan halaman keratin
Yogyakarta yang kemudian akan menjadi Balai Perguruan Tinggi Kedokteran UGM.
Setelah penyerahan kedaulatan kepada Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal
2 Februari 1950, kedua jenis Institusi pendidikan kedokteran tersebut, yaitu Perguruan
Tinggi Kedokteran Republik Indonesia dan Geneeskundige Faculteit, Nood-Universiteit van
Indonesie, digabung dan disatukan dengan memakai nama Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia. Pada tahun 2000 Indonesia memiliki 33 Fakultas Kedokteran dan pada tahun
2010 terjadi peningkatan jumlah FK yang cukup bermakna, tercatat telah ada 72 FK dengan
31 diantaranya FK negeri dan 41 FK swasta yang tersebar diseluruh Indonesia.
Pendidikan keperawatan
Perkembangan pendidikan keperawatan di Indonesia diawali sebelum kemerdekaan.
Sekolah perawat pertama kali didirikan di Rumah Sakit PGI Cikini pada tahun 1916.
Sekolah ini diselenggarakan dengan mengandalkan para perawat belanda sebagai pendidik
ditambah beberapa dokter. Para siswa diajarkan teori merawat yang kemudian diaplikasikan
langsung didalam paraktik pada saat yang sama. Pendidikan keperawatan pada jenjang
akademi mulai dikembangkan pada tahun 1962 yaitu pendidikan Akademi Perawat yang
berafiliasi dengan RS Cipto Mangunkusumo. Lulusan pendidikan ini menyandang gelar
Sarjana Muda Ilmu Perawatan atau BSc. Setahun berikutnya pendidikan tingkat Akademi
Perawat ini diikuti oleh RS St Carolus. Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta tuntutan masyarakat akan kebutuhan pelayanan keperawatan nasional, maka
pada tahun 1983 diadakan lokakarya Nasional di Jakarta. Lokakarya ini dihadiri oleh
berbagai elemen termaksud unsur Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Depertemen
kesehatan, Badan Administrasi Kepegawaian Nasional, Konsorsium Ilmu Kesehatan dan
berbagai Organisasi Profesi Kesehatan. Kegiatan ini menghasilkan kesepakatan nasional
yang menyatakan Keperawatan sebagai profesi dan dibutuhkan pada sistem pendidikan
tinggi.
Sebagai tindak lanjut lokakarya tersebut, maka pada tahun 1985 dimulai Pendidikan
Keperawatan pada jenjang strata satu (S-1) di Program Studi Ilmu Keperawatan (PSIK) yang
diselenggarakan di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI). Sementara ini
pendidikan Akademi Perawat (AKPER) dengan program pendidikan diploma tiga (D-III)
masih terus bertambah jumlahnya hingga saat ini. Pendidikan tinggi keperawatan di
Indonesia, yang mulai ditumbuhkembangkan di Universitas Indonesia, saat ini sudah sampai
jenjang magister, spesialis, dan dokter keperawatan.
Peendidikan apoteker
Perguruan tinggi farmasi di Indonesia diawali dengan berdirinya Perguruan Tinggi
Ahli Obat (PTAO) pada tanggal 27 september 1946 di Klaten Jawa Tengah, yang
selanjutnya bergabung dalam Universitas Gajah Mada menjadi fakultas kedokteran, fakultas
kedokteran gigi, dan fakultas farmasi. Setahun kemudian (1947) di Bandung diresmikan
Bagian Farmasi FIPIA UI yang kemudian berubah menjadi Jurusan Farmasi FMIPA ITB,
diikuti dengan berdirinya pendidikan farmasi di berbagai perguruan tinggi pada periode
1960-1970 yaitu di Universitas Pajajaran, Universitas Airlangga, Universitas Hasanudin,
Universitas Katolik Widya Mandala, Universitas Andalas, Universitas Indonesia,
Universitas pancasila, Universitas Surabaya dan Universitas Sumatera Utara.
Pada umumnya pendidikan apoteker di Indonesia berupa program studi/jurusan di
Fakultas MIPA atau berdiri sendiri sebagai fakultas farmasi, berapa pada perguruan tinggi
negeri (PTN) paupun perguruan tinggi swasta. Beragamnya kondisi pendidikan Apoteker
pada saat itu memunculkan gagasan untuk membentuk asosiasi yang akhirnya terwujud pada
tahun 2000 dengan terbentuknya Asosiasi Pendidikan Tinggi Farmasi Indonesia (APTFI).
APTFI telah membangun berbagai kesepakatan diantaranya tentang kurikulum nasional
program studi sarjana maupun kurikulum nasional pendidikan apoteker.
Pada periode awal orientasi pendidikan farmasi lebih berfokus pada produk (product
oriented). Maraknya era industry farmasi pada masa itu menjadi penyebab pendidikan dan
praktik farmasi Indonesia lebih berfokus pada keahlian membuat dan menyiapkan sediaan
farmasi yang berkualitas, aman dan efektif, namun nyaris belum menyentuh sisi lain terkait
tanggungjawab penjaminan penggunaan obat secara rasional. Titik balik mulai terjadi pada
era 1990 dengan munculnya kesadaran pada pentingnya kehadiran profesi farmasi pada
tahap pemilihan obat dan penggunaan obat oleh pasien. Arah perkembangan praktik
kefarmasian di Indonesia sudah mulai mengikuti perkembangan kefarmasian dunia, yaitu
berfokus pada manusia sebagai pengguna obat (patient oriented). Peran apoteker mulai
berkembang dari penyedia obat sebagai komoditi menuju pelayanan kefarmasian yang
komprehensif (patient care) untuk menjamin terapi obat yang diberikan rasional dan
optimal. Pendekatan yang dikenal sebagai pharmaceutical care ini mulai diterapkan pada
tahun 2004 dalam Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotik dan Standar Pelayanan
Kefarmasian di Rumah Sakit.
Pendidikan kebidanan
Perkembangan pendidikan kebidanan dimulai pada penjajahan belanda pada tahun
1851. Seorang dokter militer belanda membuka pendidikan bidan bagi wanita pribumi di
Batavia. Pendidikan ini tidak berlangsung lama karena kurangnya peserta didik. Tahun 1902
pendidikan bidan dibuka kembali di Batavia dan tahun 1904 dibuka di Makassar. Tahun
1935-1938 pemerintah belanda mendidik bidan lulusan MULO (setingkat SMP) dan hampir
bersamaan dibuka sekolah bidan dibeberapa kota besar di Jakarta RS Budi Kemuliaan, RSB
Palang Dua dan RSB Mardi Waluyo Semarang. Mengingat jenis tenaga kesehatan yang
sangat banyak, Depkes melakukan penyederhanaan pendidikan tenaga kesehatan non-
sarjana. Setelah sekolah bidan ditutup dibuka SPK dengan tujuan tenaga multipurpose
dilapangan dimana salah satu tugasnya adalah menolong persalinan normal. Namun karena
perbedaan falsafah dan kulikulum terutama yang berkaitan dengan kemampuan seorang
bidan, maka tujuan agar SPK dapat menolong persalinan tidak tercapai. Tahun 1975-1984
pendidikan bidan ditutup selama 10 tahun, nama IBI tetap ada.
Pada tahun 1981 untuk meningkatkan kemampuan perawat kesehatan dalam
pelayanan kesehatan ibu dan anak terksud kebidanan, dibuka pendidikan diploma 1
kebidanan tetapi berlangsung hanya 1 tahun. Tahun 1985 dibuka kembali program
pendidikan bidan (PPB) menerima lulusan dari SPK. Lulusannya memiliki kewenanggan
dalam meningkatkan pelayanan kesehatan ibu dan anak serta KB di masyarakat. Tahun 1993
dibuka PPB program B yang peserta didiknya dari lulusan Akper. Pada tahun 1996 dibuka
D3 kebidanan dengan peserta didik dari SMA hingga saat ini jumlah institusi sudah lebih
dari 600 institusi negeri maupun swasta. Tahun 2000 dibuka DIV bidan pendidik yang
diselenggarakan di FK UGM untuk memenuhi kebutuhan tenaga dosen pada D3 Kebidanan
yang selanjutnya diikuti oleh UNPAD 2001, USU 2004, STIKES NGADIPURO WALUYO
UNGGARAN Serta STIKIM Jakarta 2003. Selanjutnya dibuka pendidikan S1 profesi bidan
tahun 2006 di FK UNAIR, diikuti FK Universitas Brawijaya 2009 dan FK Universitas
Andalas 2012. Sampai saat ini pendidiikan kebidanan pada jenjang S2 yaitu di Universitas
Padjadjaran, Universitas Brawijaya, Universitas Hasanudin dan Universitas Andalas,
Pendidikan Dietetion
Pada tahun 1934 Pemerintah Hindia Belanda telah mendirikan institusi untuk
melakukan penelitian gizi yang bernama Instituut voor Onderzoek der volkvoeding (IOVV)
dan pada tahun 1939 berubah menjadi Institut Voor volkvoeding (IVV). Tugas pokok
institute ini meliputi: menelitian gizi, survey gizi dan diet, serta pendidikan gizi. Disamping
itu Institut juga berfungsi sebagai badan penasehat bagi pemerintah colonial mengenai
masalah pangan dan gzi masyarakat pribumi. Tahun 1950 IVV diubah menjadi Lembaga
makanan rakyat (LMR) yang dipimpin oleh dr. Poerwosoerdamo yang memperkenalkan
slogan “4 sehat 5 sempurna” dan menjadi focus penyuluhan gizi.
Program gizi masyarakat yang dikenal secara international sampai tahun 1990 an
adalah usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK) suatu modifikasi yang lebih efektif dari
program FAO/WHO Applied Nutrition Programme (ANP). UPGK adalah sutu program gizi
masyarakat yang lintas sector dengan satu tujuan bersama eningkatkan keadaan gizi
masyarakat terutama bayi, balita, dan ibu hamil. Kegiatan program UPGK adalah
pendidikan gizi masyarakat desa, pelayanan gizi ibu dan anak melalui POSYANDU, sistem
kewaspadaan pangan dan gizi (SKPG) dan pemanfaatan tanaman pekarangan. Pendidikan
gizi atau dikenal sebagai upaya penyuluhan gizi, dilaksanakan oleh sector kesehatan, agama,
keluarga berencana, dan dalam negeri (PKK). Pelayanan gizi dan anak di posyandu
dilaksanakan terpadu oleh PKK, kesehatan, dan keluarga berencana. Tanaman pekarangan
oleh sector pertanian, PKK dan pendidikan dan SKPG oleh sector kesehatan, pertanian dan
dalam negeri.
Perkembangan pendidian gizi di Indonesia dimulai dengan berdirinya sekolah ahli
makanan (SAM) yang pada tanggal 27 september 1950 di Jakarta dengan masa pendidikab
satu setengah tahun. Lulusan SMA bekerja di Rumah Sakit sebagai ahli makanan
(Kepmenkes No. 211351/UU tanggal 27 September 1950 tentang pengangkatan 9 dosen-
dosen kursus ahli makanan). Selanjutnya pada tahun 1952 sebagai lanjutan dari SMA maka
didirikan sekolah ahli diit (SAD) dengan masa pendidikan 3 tahun.
Sesuai dengan perkembangan ilmu gizi dan kebutuhan masyarakat, SAD dan SK
Menkes No. 1190/Um/Pend tanggal 14 Juni 1957 ditingkat menjadi Akademi Pendidikan
Nutrisionis dan Ahli Diit (APN-AD) yang kemudian menjadi pendidikan Nutritionis (Tanpa
Ahli Diit) dengan lama pendidikan 3 tahun dan lulusan berhak menyandang BSc sejak 1957.
SAD yang semula menempati suatu rumah dinas dan asrama di jalan Kramat VIII Jakarta,
pada tahun 1957 pindah kesuatu kampus APN yang lengkap dengan ruang perkuliahan,
laboratorium, perpustakaan, Aula, rumah dosan dan asrama mahasiswa, dijalan semboja,
Cilendek Bogor.
Padab tahun 1962, Poerwosoedarmo, sebagai direktur APN, mempresentasikan
konsep APN lengkap dengan kurikulumnya kesuatu konferensi International tentang
International and Interprofessional Conference In Food Habit and Malnutrition, di Meksiko
1960. Dalam konferensi ini konsep akademi gizi di Indonesia dengan kurikulumnya
dianggap unik, karena umumnya pendidikan profesi gizi berada di Universitas dan pada
tingkatan sarjana, sedangkan di Indonesia mulai dari lapangan dan terapan. Pada bulan
Oktober 1965 APN dipindahkan ke Jakarta dengan berganti nama mengadi Akademi Gizi
Depkes.
Tahun 1972, Departemen IKK, Faferta, IPB, memiliki 2 bidang keahlian, yaitu (1)
gizi dan makanan, (2) kesejahteraan keluarga. Lama pendidikan 4 tahun dan sebutan lulusan
yang mengambil keahlian gizi dan makanan adalah Ir (sarjana) pertanian dengan bidang
keahlian gizi. Pada tahun 1976 diputuskan untuk membina hanya 1 bidang keahlian yaitu
gizi. Lama pendidikan 4 tahun dan lulusannya bergelar Ir (sarjana) pertanian dengan bidang
keahlian gizi berkat diselenggarakannya pendidikan S-1 bidang keahlian gizi IPB, maka
untuk pertama kalinya di Indonesia muncul pendidikan tinggi yang meluluskan sarjana di
bidang gizi dengan wawasan ilmu di luar bidang ilmu kedokteran atau medic-klinik tahun
1982 IKKP berubah menjadi jurusan gizi masyarakat dan sumber daya keluarga (GMSK).
Selanjut pada tanggal 6 januari 2003, FK-PIG bersama-sama dengan organisasi
frofesi gizi yaitu: persatuan ahli gizi (PERSAGI), perhimpunan peminat gizi dan pangan
(PERGIZI-PANGAN) serta persatuan dokter gizi medic Indonesia (PDGMI) menyepakati
susunan kurikulum program studi ilmu gizi (sarjana gizi). Tahun 2004, pembentukan AITGI,
KIGI, dan syarat-syarat pendirian pendidikan S1 gizi diresmikan oleh dikti. Program
pendidikan S1 gizi dengan gelar sarjana gizi (S.Gz) telah diselenggarakan di UGM, UNDIP,
dan universitas Brawijaya (UB) pada tahun 2004, FEMA IPB dan UNHAS pada tahun 2005
serta di UI pada tahun 2008.
Program studi S1 gizi sebagai program akademik, diharapkan dapat memenuhi
kebutuhan tenaga ahli gizi berkualitas di Indonesia yang dapat memberikan alternative
strategi untuk menghadapi dan memecahkan masalah-masalah kesehatan masyarakat yang
makin kompleks berkaitan dengan masalag gizi untuk meningkatkan kemampuan dan
spesifikasi keahlian tenaga gizi perlu diupayakan dalam bentuk terprogram yaitu pendidikan
profesi gizi. Sesuai dengan undang-undang No 23 tahun 2003 tenaga sistem pendidikan
nasional (lembaran Negara, penjelasan pasal 15 UU sisdiknas No. 20/2003). Pasal tersebut
menyebutkan bahwa pendidikan profesi adalah pendidikan keahlian khusus setelah
penempuh pendidikan akademik sarjana.
Pendidikan profesi gizi (Dietetic Intrnship) merupakan salah satu amanat dari
Muktamar pertama Asosiasi Institusi pendidikan gizi Indonesia di bantu malang pada bulan
agustus 2004. Pertemuan awal pada bulan September 2004, kemudian dilanjutkan
pertemuan-pertemuan berikutnya yang melibatkan organisasi profesi Persatuan Ahli Gizi
Indonesia (Persagi), Asosiasi Dietisien Indonesia (AsDI), Kolegium Ilmu Gizi Indonesia
(KIGI) dan APGI, sehingga menghasilkan Kurikulum Pendidikan Profesi yang disyahkan
pada bulan agustus 2005 oleh ketua AIPGI dan diketahui oleh ketua KIGI.
Dalam upaya perijinan pendidikan gizi, diadakan pertemuan bersama antara KIGI,
Persagi, AIPGI dengan Dirjen Dikti pada 27 september 2005 mengenai penyelenggaraan
pendidikan profesi gizi. Tindak lanjut dari pertemuan adalah persagi menerbitkan MOU
kepada3 Universitas, yaitu Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta, Universitas
Brawijaya (UB) Malang, Universitas Hasanuddin (UNHAS) Makassar ke Dirijen Dikti
untuk izin penyelenggaraan pendidikan profesi gizi. Pada tanggal 2 agustus 2006 diterbitkan
MOU untuk Institut Pertanian Bogor (IPB) No 126/DPP-PERSAGI/SEK/II/2006 untuk
melaksanakan program pendidikan profesi. Pendidikan profesi di UGM telah
diselenggarakan tahun 2006 dengan gelar Dietisien. (Sumber: Naskah Akademik Sistem
pendidikan Tenaga Gizi. 2014. Persatuan Ahli Gizi Indonesia dan Asosiasi Institusi
Pendidikan Tinggi Gizi Indonesia).
Berdasarkan uraian perjalanan sejarah pendidikan pada beberapa profesi kesehatan di
atas dapat ditarik benang merah yaitu bahwa pada dasarnya pendidikan profesi kesehatan di
Indonesia bermula dari satu profesi yang kemudian berkembang menjadi sekian banyak
profesi seiring dengan tuntutan kebutuhan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang
semakin berkembang.
Pendidikan interprofesi sendiri telah berkembang dengan cukup pesat di luar negeri.
Penerapan pendidikan interprofesi di Kanada telah berlangsung selama 12 tahun, bermula
pada tahun 1992 di university of Alberta. Telah banyak penelitian yang dilaporkan mengenai
pendidikan interprofesi di Kanada. Salah satu laporan menyebutkan bahwa dalam
mengembangkan kolaborasi interprofesi antara profesi kesehatan dan sosial, pemerintah
Kanada telah menginisiasi banyak program sejak awal tahun 1990. Salah satu upayanya
adalah dengan melakukan praktik kolaborasi untuk pencegahan, seta meyakinkan organisasi
pelayanan kesehatan untuk mengimplementasikan beberapa kegiatan yang
mendemostrasikan bagaimana tim pelayanan kesehatan dapat bekerja bersama dan
melibatkan pasien dalam pengambilan keputusan. Pada tahun 2000 pemerintah Kanada
memberikan dana sebesar 800 juta dolar untuk daerah-daerah dalam rangka mendukung
percepatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan primer dengan pendekatan kolaboratif
untuk menjawab kebutuhan pasien.
Health Canada menyebutkan, “merubah cara kita mengedukasi para penyelenggara
kesehatan merupakan kunci untuk mencapai perubahan sistem dan metakinkan bahwa
penyelenggara pelayanan kesehatan memiliki pengetahuan yang dibutuhkan dan pelatihan
agar dapat belerja secara efektif dalam tim interprofesi dengan mengintegrasikan sistem
pelayanan kesehatan”. Pada tahun 2013 pemerintah Kanada membentuk interprofessional
Education for Collaborative Patient-centred Practice (IECPCP) untuk menjamin pendidikan
profesi kesehatan agar lulisannya memiliki pengetahuan, kemampuan dan sikap untuk
praktek dengan berfokus pada pasien. Dokumen yang dihasilkan oleh IECPCP memberikan
gambaran perkembangan nasional dan internasional terkait pendidikan dan praktek
interprofesi, baik contoh yang berhasil maupun yang kurang berhasil, berdasarkan hasil
survei nasional maupun studi literature. Dokumen tersebut juga merekomendasikan bahwa
penyelenggaraan pendidikan interprofesi yang berfokus pada pasien perlu dilaksanakan
dibawah lingkungan pendidikan yang tidak mengancam dan bersifat reflektif dalam grup
kecil. Penyelenggaraan pelayanan kesehatan berbasis interprofesi dan berfokus pada pasien
bertujuan untuk meningkatkan kepuasan pasien dan penyelenggara pelayanan serta
meninglatkan luaran pasien.
Jepang merupakan salah satu negara di benua Asia yang telah mengintegrasikan
pendidikan interprofesi dalam kurikulum pendidikan. Inisiasi pelayanan IPE telah
dilaksanakan sejak tahun 1999, dan pada tahun 2002 pemerintah jepang membentuk tim
riset untuk mengembangkan IPE. Pada tahun 2003 beberapa profesor dikirimkan ke United
Kingdom dan pemerintah jepang juga mendukumh penerapan IPE sehingga pada tahun
2005, kementerian pendidikan, Budaya, Olahraga, Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Jepang
memberikan bantuan kepada untiversitas untuk memfasilitasi pembentukan IPE. Sistem
pendidikan interprofesi di Jepang telah dimulai pada tahun 2009. Jepang sendiri telah
memiliki organisasi khusus kani JIPWEN (Jepang Interprofesional Working And Education
Network) yang menjadi wadah para institusi pendidikan dalam mengembangkan pendidikan
interprofesi di jepang.
Pada tahun 1968 dalam rapat kerja kesehatan nasional, dicetuskan bahwa puskesmas
adalah merupakan sistem pelayanan kesehatan terpadu yang kemudian dikembangkan
oleh pemerintah (Departemen Kesehatan) menjadi Pusat Pelayanan Kesehatan Masyarakat
(Puskesmas). Salah satu kegiatan pokok puskesmas mencakup antara lain adalah
laboratorium.
Adanya laboratorium kesehatan di Indonesia tidak bisa terlepas dari sumber daya
kesehatan yang menjalankan kegiatan pelayanan di laboratorium, maka pemerintah
kemudian mendirikan institusi pendidikan analis kesehatan. Cikal bakal keberadaan
institusi pendidikan analis kesehatan adalah dengan didirikannya pusat pelatihan tenaga
kesehatan oleh dr. Y. Sulianti bersamaan dengan didirikan Proyek Bekasi (tepatnya Lemah
Abang) sebagai proyek percontohan atau model pelayanan bagi pengembangan kesehatan
masyarakat pedesaan di Indonesia. Selanjutnya berdiri Sekolah Pengatur Analis (SPA) yang
didirikan pada tahun 1958 di Medan dan Yogyakarta. Masa pendidikan pada saat itu adalah
2 tahun yang berasal dari lulusan SD. Lulusannya dapat melanjutkan pendidikan
kekhususan selama 2 tahun lagi yaitu jurusan kimia dan jurusan bakteri. Termasuk juga
dengan berdirinya Sekolah Penjenang Kesehatan bagian F pada tahun 1970an. Tahun 1982
karena adanya kebijakan pemerintah berubah namanya menjadi Sekolah Menengah Analis
Kesehatan dan tahun 1998 dikonversi menjadi D-III Akademi Analis Kesehatan.
4. Landasan Sosiologis
Pendidikan tenaga kesehatan di Indonesia saat ini telah berkembang pesat dan telah
mengalami perubahan yang sangat signifikan dibandingkan konsidi sebelumnya. Berbagai
perubahan telah terjadi seiring dengan kebutuhan dan tantangan baik yang datang dari
tingkat lokal, nasional, dan global yang semuanya berujung pada peningkatan mutu
pelayanan kesehatan dan pemenuhan tuntutan perubahan, peningkatan kebutuhan dan
preferensi masyarakat terhadap jenis layanan yang diinginkan.
Dalam hal metode pembelajaran, telah terjadi perubahan mendasar dari yang semula
menggunakan metode yang lebih berfokus pada dosen/pengajar (teacher centered) menjadi
berfokus pada peserta didik (student centered). Melalui penerapan pendekaran student
centered ini maka proses pembelajaran menuntut peserta didik lebih aktif dalam proses
pembelajaran dan membiasakan diri untuk belajar dan bekerja dalam kelompok kecil bekerja
sama untuk mencapai tujuan pembelajaran serta memperoleh retensi pengetahuan yang lebih
lama.
Peningkatan jumlah penduduk dan perkembangan status sosial ekonomis masyarakat
yang semakin membaik juga memerlukan antisipasi dari pelayanan kesehatan yang ada. Saat
ini upaya pelayanan kesehatan perorangan (UKP) dituntut untuk dapat memberikan
pelayanan yang berkualitas, mengutamakan keselamatan pasien, dan pelayanan yang
berfokus pada pelanggan. Pelayanan kesehatan juga dituntut untuk dapat memberilan
layanan yang terpadu, menyelutuh dan juga diselenggarakan dalam satu tempat yang
terjangkau. Pelayanan UKP juga dituntut untuk memiliki jaringan pelayanan yang semakin
memudahkan masyarakat dalam mengaksesnya. Sehubungan dengan pemanfaatan teknologi,
terutama teknologi informasi, pelayanan UKP juga dituntut untuk menyediakan layanan
yang didukung dengan teknologi dan sistem informasi yang handal, seiring dengan
pemanfaatan berbagai media dan teknologi komunikasi dan informasi oleh masyarakat.
Perubahan dan perkembangan lain yang terjadi pada masyarakat Indonesia saat ini
adalah peningkatan jumlah dan proporsi penduduk yang tinggal dikawasan perkotaan seiring
dengan proses urbanisasi yang terus berkembang. Masyarakat perkotaan umumnya
bercirikan masyarakat yang ingin dengan cepat dan mudah mendapatkan pelayanan
(instant), lebih terdidik dan lebih sejahtera. Kondisi ini tentu saja akan melahirkan tuntutan
terhadap pelayanan kesehatan yang semakin berkualitas dan merata.
Dalam hal pembiayaan kesehatan khususnya pada era Jaminan Kesehatan Nasional,
pembiayaan kesehatan khususnya untuk pembiayaan UKP, saat ini sedang didorong untuk
menerapkan sistem asuransi (pra-bayar) dan pembayaran berdasarkan paket (INA-CBGs).
Pembiayaan dengan model paket berdasarkan kelompok diagnosis ini menuntut kerjasama,
keterbukaan dan senergi para pemberi pelayanan kesehatan.
Merujuk pada berbagai tuntutan di atas, maka suatu revolusi dalam praktek dan
pendidikan tenaga kesehatan perlu diterapkan, mengacu pada kerangka yang telah dibuat
oleh WHO. Tujuan utama pendidikan interprofesi ini adalah terbentuknya kompetisi praktik
kolaborasi yang berupakan inti dalam sistem kesehatan.
Framework WHO tersebut juga disokong oleh barr (2005) yang menggambarkan
bagaimana reaksi yang ditimbulkan akibat diselenggarakannya pendidikan interprofesi yang
efektif. Mulai dari timbulnya interaksi positif sampai dengan peningkatan kerjasama dalam
bidang kesehatan.
5. Landasan Yuridis
Untuk menerapkan Pendidikan Interprofesi kesehatan, saat ini Indonesia telah
memiliki beberapa landasan yuridis/hukum baik yang berkaitan dengan penyelenggaraan
pendidikan maupun amanat untuk menyelenggarakan pelayanan dan program kesehatan
dengan baik. Berbagai produk kebijakan dan hukum yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. DESKRIPSI SINGKAT
Kompleksitas masalah kesehatan sebagai akibat dari beberapa faktor diantaranya
terjadinya perubahan status demografi, perubahan pola hidup dan karakteristik masyarakat.
Adanya perubahan ini menuntut adanya perubahan dalam system pelayanan kesehatan
termasuk system pemberian pelayanan kesehatan yang lebih komprehensif mencakup aspek
promotif, preventif curative dan rehabilitative dengan pendekatan “people centered care”.
Pelayanan yang berpusat pada orang yang dalam hal ini tidak hanya berupa pelayanan yang
berfokus pada penerima layanan kesehatan seperti individu, keluarga dan masyarakat akan
tetapi juga berfokus pada tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan agar dapat
memberikan layanan yang berkualitas, aman, efektif dan efisien. Praktek kolaborasi
interprofesi merupakan pendekatan pelayanan yang dapat meningkatkan efektfitas dan
efisiensi pelayanan kesehatandan berfokus pada orang dan masyarakat. Untuk dapat
melakukan praktek kolaborasi interprofesi dalam tim kesehatan diperlukan kompetensi
kolaborasi interprofesi yang harus disiapkan dan diberikan dalam tahap pendidikan yang
disebut dengan Pendidikan interprofesi atau Interprofessional Education (IPE).
2. TUJUAN PEMBELAJARAN
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan konsep pendidikan interprofesi
(IPE)
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setelah mengikuti materi ini peserta mampu menjelaskan
1. Pengertian Pendidikan antar profesi
2. Manfaat pendidikan antar profesi
3. Prinsip-prinsip pendidikan antar profesi
4. Kompetensi inti pendidikan antar profesi
5. Faktor-faktor yang mempengaruhi pembelajaran antar profesi
6. Strategi pembelajaran antar profesi
Menurut WHO (2010), Pendidikan interprofesi atau IPE adalah proses pendidikan yang
melibatkan dua atau lebih jenis profesi. Pendidikan interprofesi bisa terjadi apabila beberapa
mahasiswa dari berbagai profesi belajar tentang profesi lain, belajar bersama satu sama lain
untuk menciptakan kolaborasi efektif dimana pada akhirnya meningkatkan outcome kesehatan
yang optimal.
Praktek kolaborasi terjadi apabila beberapa kategori professional atau tenaga kesehatan
bekerja bersama satu sama lain terutama dengan sasaran seperti pasien, keluarga dan masyarakat
untuk memberikan pelayanan kesehatan dengan kualitas yang tinggi, demi menghasilkan
kesehatan yang optimal
Adanya Sistem pelayanan kesehatan dan sistem pendidikan tidak bisa berdiri sendiri,
dimana sistem pendidikan akan memberikan input pada sistem kesehatan sebagai pengguna
lulusan, kualitas tenaga kesehatan yang dihasilkan akan mempengaruhi baik tidaknya pelayanan
kesehatan, sebaliknya sistem pendidikan akan dipengaruhi oleh sistem-sistem kesehatan
misalnya kurikulum akan sangat dipengaruhi oleh kebutuhan kesehatan masyarakat saat ini juga
kompetensi lulusan harus disesuaikan dengan kebutuhan kesehatan dan kebijakan dibidang
kesehatan yang sedang dijalani masa kini.
Agar dapat memahami konsep praktek kolaborasi antar profesi perlu dipahami dulu konsep
interprofessionalism. Interprofesionlity adalah sebuiah proses dimana beberapa professional
merencanakan, melaksanakan dan mengintegrasikan suatu jawaban atau respon yang kohesif
terhadap kebutuhan atau tuntutan klien, keluarga atau masyarakat. Proses ini melibatkan
interaksi yang berkelanjutan berupa tukar menukar informasi dan pengetahuan yang
diorganisasikan untuk memecahkan masalah bersama dengan melibatkan partisipasi pasien,
keluarga dan masyarakat. Interprofesionalitas memerlukan adanya perubahan paradigma karena
interprofesionalitas memiliki karakteristik khususnya seperti nilai, code of conduct dan cara
bekerja yang specific antar profesi (D‟Amour and Oandsan, 2005). Praktek kolaborasi dapat
meningkatkan akses pada pelayanan kesehatan yang terkoordinir, meningkatkan penggunaan
tenaga spesialis yang tepat, meningkatkan derajat kesehatan pasien dengan penyakit kronis, dan
meningkatkan keamanan pasien. Praktek kolaboratif dapat menurunkan komplikasi pada pasien,
lama rawat, konflik antar tim kesehatan, angka rawat di rumah sakit, kesalahan klinik atau
malpraktek dan menurunkan angka kematian.
Pendidikan antar profesi menyiapkan peserta didik dengan kompetensi untuk bekerja-sama
didalam tim sesuai dengan peran dan fungsi serta lingkup kerja masing-masing profesi. Lulusan
pendidikan tenaga kesehatan nantinya diharapkan dapat bekerja dalam tim yang memiliki tujuan
utama yaitu memberikan layanan yang aman bagi klien, keluarga dan masyarakat. Prinsip-
prinsip dalam mengintegrasikan pendidikan interprofesi dalam pendidikan tenaga kesehatan
adalah:
1. Pendidikan antar profesi harus merupakan bagian integral dari semua pendidikan tenaga
kesehatan.
2. Ada kemauan politik yang ditujukan dengan adanya kebijakan yang mendukung
pelaksanaan pendidikan interprofesi ini.
3. Ada komitmen yang kuat dari seluruh civitas akademi di institusi di institusi pendidikan
untuk terlibat dalam pendidikan interprofesi yang efektif.
4. Pendidikan interprofesi ini harus melibatkan lahan praktik, sehingga pelaksaan pendidikan
interprofesi bisa dilaksanakan pada tahap praktik klinik.
5. Pelibatan tim dalam interprofesi harus dimulai sedini mungkin pada tahap awal persiapan
dan dipertahankan sampai tahap evaluasi.
6. Kohesifitas tim pengembang pendidikan interprofi harus solid dan harus mengurangi ego
masing-masing profesi. Proses dan aktifitas tim ini juga harus merefleksasikan kolaborasi
yang efektif antar profesi.
7. Pendidikan antar profesi harus dimulai dengan metode yang mudah lebih dahulu, misalnya
dengan merencanakan projek ekstra kurikulum yang melibatkan kerja-sama interprofesi.
8. Kompetensi yang dirumuskan harus memperhatikan prinsip-prinsip:
Berfokus pada pasien/keluarga/masyarakat
Memperhatikan proses pada semua profesi
Dapat diaplikasikan pada semua profesi
Merupakan kompetensi belajar sepanjang hayat
Menstimulasi active learning
Berdasarkan prinsip pembelajaran orang dewasa
9. Dalam mengintegrasikan pendidikan antar profesi harus mempertimbangkan standar
pendidikan masing-masing profesi dan masuk dalam system akreditasi pendidikan tenaga
kesehatan yang ada.
DAFTAR PUSTAKA
1. Baker, P. (2010). Framework for action on interprofessional education and collaborative
practice. World Health Organization. Geneva. Retrieved from
http://espace.library.ug.edu.au/view/UQ:233239
2. Barr, H. (2013). Toward a theoretical framework for interprofessional education. Journal
of Interprofesional Care, 27(1), 4-9. http://doi.org/10.3109/13561820.2012.698328
3. College os Health Disciplines, & Interprofessional Network of BC. (2008). The British
Columbia Competency Framework for Interprofessional Collaboration, 12.\
4. D‟Amour, D., Ferrada-videla, M., San Martin Rodriguez, L., & Beaulieu, M.-D. (2005).
The Conceptual basis for interprofessional collaboration: core concepts and theoretical
frameworks. Journal of Interprofessional Care, 19(s1), 116-131.
http://doi.org/10.1080/13561820500082529
5. Payler, J., Meyer, E., & Humphris, D. (2008). Pedagogy for interprofessional education –
what do we know and how can we evaluate it? Learning in Health & Social Care, 7(2),
64-78. http://doi.org/10.1111/j.1473-6861.2008.00175.x
NILAI-NILAI ETIK ANTAR PROFESI
I. Deskripsi Singkat
Nilai-nilai etik profesi merupkan hal penting sebagai identitas suatu profesi maupun antar
profesi. Nilai-nilai/etik profesi merupakan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak,
berisi benar dan salah, hak dan kewajiban moral (akhlak) dalam suatu profesi, yang
menyempurnakan suatu profesi sesuai dengan hakikatnya. Nilai/etik antar profesi bersifat
universal dan perlu diketahui setiap profesi dalam tim kesehatan. Pendidikan antar profesi
perlu memberi pemahaman kepada mahasiswa calon tenaga kesehatan tentang nilai-nilai
dan etikan profesi kesehatah kesehatan lain, sehingga dapat mengakui bahwa setiap profesi
memiliki nilai-nilai/etik yang bernilai sama yang penting untuk kepentingan masyarakat
pengguna pelayanan kesehatan, Nilai-nilai/etik antar profesi tersebut diharapkan dapat
mengantarkan pasien pada peningkatan kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan,
pencegahan penyakit, perawatan yang komfrehensif, rehabilitasi pasien, dan menfasilitasi
perawatan yang efektif pada tahap terminal, dengan biaya terjangkau.
Modul ini membahas tentang pembelajaran nilai-nilai/etik antar profesi. Pokok bahasan
mencakup pengertian, manfaat, dan prinsip nilai-nilai/etik dalam praktik kolaborasi antar
profesi. Selain itu peserta akan dipandu untuk mengidentifikasi strategi dan sumber beajar
yangdapat digunakan untuk pembelajaran nilai-nilai/etik antar profesi. Materi akan
disampaikan dalam bentuk ceramah dan Tanya jawab, diskusi kelompok dan curah
pendapat.
a. Pengertian
Pengertian nilai-nilai/etik antar profesi dapat diartikan dari kata-kata dasar
pembentukannya. Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, nilai adalah sifat-sifat (hal-hal)
yang penting atau berguna bagi kemanusiaan, sesuatu yang menyempurnakan manusia
sesuai dengan hakikatnya. Sementara etik adalah kumpulan asas atau nilai yang berkenaan
dengan akhlak, nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat.
Etik berhubungan erat dengan erat dengan etiks. Etika adalah ilmu tentang apa yang baik
dan apa yang buruk dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak). Kata lain yang berkaitan
dengan kata-kata diatas adalah norma yaitu atauran atau ketentuan yang mengikat warga
kelompok di masyarakat, dipakai sebagai panduan, tantanan dan pengendali tingkah laku
yang sesuai dan diterima oleh masyarakat, dipakai sebagai panduan, tatanan dan pengendali
tingkah laku yang sesuai dan diterima dan masyarakat (Pusat Bahasa Depdiknas, 2008).
Etika sebagai filsafat yang ruang lingkupnya adalah masalah nilai, baik buruk, yang
terjalin dalam hubungan antar manusia, mempunyai sejumlah aliran. Di antara aliran-aliran
itu terdapat absolut dan relatif idealis, praktis, pragmatis dan konsekuensiatis serta non-
konsekuensiatis. Masing-masing mempunyai dasar pijakan sendiri. Meskipun masing-
masing dapat diurai dan dapat diperkirakan bagaimana konsekuensinya bila dikaitkan
dengan pendidikan
Etika akan menjadi jelas fungsinya bila dikaitkan dengan pendidikan. Pendidikan
yang dimaksud adalah holistik, karena pendekatan reduksianistik hendaknya berangsur
ditinggalkan. Lain dari itu agar pendidikan dapat mengembangkan authority from within
perlu dikembangkan, potensi yang ada pada peserta dicek secara utuh. Lingkungan yang
mendidik perlu dikembangkan pula, yang dewasa ini telah diwarnai oleh berbagai kegiatan
dan kelembagaan. Lingkungan dengan berbagai aspeknya perlu ditatap sebagai sasaran
dialog. Semoga semuanya mempunyai peranan demi pendidikan yang baik. Kesemuanya ini
perlu dihayati sebagai bernilai untuk pengembangan profesi kependidikan. Pendidikan yang
holistic diharapkan menjangkau masa depan secara realistik.
Dari pengertian kata-kata dasar pembentuknya tersebut, etik profesi dapat dikatakan
sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkaitan dengan akhlak (perilaku) yang penting dan
berguna bagi kemanusiaan, yang benar dan salah menurut suatu profesi, serta berkaitan
dengan hak dan kewajiban anggota profesi tersebut sesuai dengan hakikat profesi tersebut.
Sementara etik antar profesi dapat diartikan sebagai kumpulan asas atau nilai yang berkaitan
dengan akhlak yang benar dan salah, hak dan kewajiban setiap anggota dalam beriteraksi
dengan profesi lain.
Etik antar profesi merupakan salah satu kompetensi inti dalam pembelajaran antar
profesi, selain komunikasi, peran dan tanggungjawab profesi, dan kerjasama tim. Pendidikan
antar profesi perlu memberi pemahaman kepada mahasiswa calon tenaga kesehatan tentang
nilai-nilai dan etika profesi kesehatan lain, sehingga dapat mengakui bahwa setiap profesi
memiliki nilai-nilai/etik yang bernilai sama dan penting untuk kepentingan masyarakat
pengguna pelayanan kesehatan (WHO, 2010). Nilai-nilai/etik antar profesi harus
berorientasi pada pasien, baik individu, keluarga dan komunitas pada masyarakat. Nilai-
nilai/etik antar profesi tersebut diharapkan dapat mengantarkan pasien pada peningkatan
kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, pencegahan penyakit, perawatan yang
efektif yang komprehensif, rehabilitasi pasien, dan memfasilitasi perawatan yang efektif
pada tahap terminal, dengan biaya yang terjangkau. Pemahaman terhadap profesi lain
diperlukan bagi anggota profesi yang akan berkolaborasi dalam mengambil keputusan saat
menghadapi dan menyelesaikan masalah etik (Newman dan Britten, 2014).
Pendidikan antarprofesi perlu dirancang untuk mempersiapkan calon-calon
professional berkolaborasi dalam profesi dalam praktik terutama dibidang kesehatan.
Pendidikan antar profesi terjadi jika mahasiswa dari dua atau lebih profesi belajar bersama
tentang, dari dan dengan profesi lain untuk mempraktikkan kolaborasi yang efektif dan
meningkatkan status kesehatan. Pendidikan interprofesi menjadi langkah yang dibutuhkan
untuk menyiapkan tenaga kesehatan siap berkolaborasi dalam praktik yang lebih baik dalam
merespon terhadap kebutuhan kesehatan (Newman dan Britten, 2014).
I. DESKRIPSI SINGKAT
Pendidikan antar profesi mulai dikembangkan di pendidikan tenaga kesehatan. Kemampuan
berkolaborasi dimulai dari pendidikan. Salah satu kompetensi yang dibutuhkan dalam
pendidikan antar profesi adalah kompetensi, peran dan tanggungjawab antar profesi.
Kesadaran diri kejelasan terhadap peran profesi sendiri akan menunjang profesi pendididkan
kolaborasi antar profesi. Selain itu setiap profesi sebaiknya juga memahami peran profesi
lainnya, sehingga kemungkinan terjadinya konflik antar profesi dapat dikurangi. Bila sudah
memahami profesi sendiri maka dengan mudah memahami profesi yang lain.
a. Latar Belakang
Belajar menjadi antarprofesional membutuhkan pemahaman bagaimana peran dan
tanggungjawab masing-masing professional dalam patient centered dan komunitas yang
berorientasi perawatan oriented “front line” dalam pelayanan kesehatan (Suter et al, 2009
dalam Goodman & Clemow, 2010). Setiap professional telah mampu mengidentifikasi peran
dan tanggungjawab professional lainnya.
b. Pengertian Peran dan Tanggungjawab
Peran adalah individu menetapkan seperangkat perilaku dalam kelompok dan antara
kelompok professional. Ketika mulai terjadi overlepping peran secara formal, ini dapat
menjadi sumber dari kebingungan dan konflik (Goodman & Clemow, 2010). Tanyakan pada
diri sendiri apakah peran kamu sebagai mahasiswa. Bagaimana hubungannya dengan tenaga
kesehatan lainnya sebagai pembantu pelayanan, Contohnya tim yang berfunsi baik akan
saling memahami terhadap peran mereka dan menerima peran dari anggota tim lainnya
seperti: discnangi patient, review pengobatan, memilih terapi yang tepat.
Penjelasan tentang memahami peran profesi lain, sebagai pemicu awal dapat dilihat pada:
1. Undang-undang No 36 tahun 2009 tentang tenaga kesehatan
2. Kepmenkes No 938 tahun 2007 tentang standar asuhan kebidanan
3. Standard Asuhan Keperawatan : Perawat vokasi
Peran dan tanggungjawab tiga profesi kesehatan: Perawat, Bidan dan Ahli Gizi dan anlis kesehatan
Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatab dibidang upaya kesehatan
perorangan, perawat berwenang:
Dalam menjalankan tugas sebagai pemberi asuhan keperawatan di bidang upaya kesehatan
masyarakat, perawat berwenang:
Berdasarkan Peraturan Mentri Kesehatan (Permenkes) Nomor 1464/Menkes/Per/X/2020 tentang Izin dan
Penyelenggaraan praktik bidan, kewenangan yang dimiliki bidan meliputi:
I. Kewenangan normal :
a. Pelayanan kesehatan ibu
1) Ruang lingkup:
Pelayanan konseling pada masa pra hamil
Pelayanan antenatal pada kehamilan normal
Pelayanan persalinan normal
Pelayanan ibu nifas normal
Pelayanan ibu menyusui
Pelayanan konseling pada masa antara dua kehamilan
2) Kewenangan :
Episiotomy
Penjahitan luka jalan lahir tingkat 1 dan 2
Penanganan kegawat-daruratan, di lanjutkan dengan perujukan
Pemberian tablet Fe pada ibu hamil
Pemberian vitamin a dosis tinggi pada ibu nifas
Fasilitasi/bimbingan inisiasi menyusu dini (IMD) dan promosi air susu ibu (ASI)
eksklusif
b. Pelayanan kesehatan anak
1) Ruang lingkup:
Pelayanan bayi baru lahir
Pelayanan bayi
Pelayanan anak balita
Pelayanan anak pra sekolah
2) Kewenangan :
Melakukan asuhan bayi baru lahir normal termasuk resusitasi, pencegahan
hipotermi, inisiasi menyu dini (IMD), injeksi vitamin K 1, perawatan bayi baru
lahir pada masa neonatal (0-28 hari), dan perawatan tali pusat
Penanganan hipotermi pada bayi baru lahi dan segera merujuk
Penanganan kegawatdaruratan, di lanjutkan dengan perujukan
Pemberian imunisasi rutin sesuai program pemerintah
Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita dan anak pra sekolah
Pemberian konseling dan penyuluhan
Pemberian surat keterangan kelahiran
Pemberian surat keterangan kematian
c. Pelayanan kesehatan reproduksi perempuan dan keluarga berencana
1) Kewenangan
Memberikan penyuluhan dan konseling kesehatan reproduksi perempuan dan
keluarga berencana
Memberikan alat kontraksi oral dan kondom
II. Kewenangan dalam menjalankan program pemerintah
1. Pemberian alat kontrasepsi suntikan, alat kontrasepsi dalam rahim dan pemberian
pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit
2. Asuhan antenatal teritegrasi dengan intervensi khusus penyakit kronis tertentu
(dilakukan dibawah supervise dokter)
3. Penanggulangan bayi dan ank balita sakit sesuai pedoman yang ditetapkan
4. Melakukan pembinaan peran serta masyarakat dibidang kesehatan ibu dan anak, anak
usia sekolah dan remaja dan penyehatan lingkungan
5. Pemantauan tumbuh kembang bayi, anak balita, anak pra sekolah dan anak sekolah
6. Melaksanakan pelayanan kebidanan komunitas.
7. Melakukan deteksi dini, merujuk dan pemberian penyuluhan terhadap Infeksi Menular
Seksual (IMS) termasuk pemberian kondom dan penyakit lainnya.
8. Pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan Zat Aditif lainnya (NAPZA)
melalui informasi dan edukasi
9. Pelayanan kesehatan lain yang merupakan program pemerintah
10. Kewenangan bidan yang menjalankan praktik di daerah yang tidak memiliki dokter.
11. Khusus untuk pelayanan alat kontrasepsi bawah kulit, asuhan antenatal teritegrasi,
penanganan bayi dan anak balita sakit dan pelaksanaan deteksi dini, merujuk dan
memberi penyuluhan terhadap infeksi menular seksual (IMS) dan penyakit lainnya,
serta pencegahan penyalahgunaan Narkotika, Psikotropika dan zat additive lainnya
(NAPZA), hanya dapat dilakukan oleh bidan yang telah mendapat pelatihan untuk
pelayanan tersebut.
Standar kompetensi berdasarkan Permenkes 374 Menkes SK III 2007 tentang standar profesi gizi
menjelaskan tentang standar kompetensi dari DIII GIzi sebagai berikut
Hasil dari laporan panel para ahli (2011), maka ditentukan bahwa kompetensi utama peran dan
tanggungjawab kolaborasi antar profesi adalah sebagai berikut:
1. Mengkomunikasikan peran dan tanggungjawab profesi secara jelas kepada pasien, keluarga
dan professionallainnya.
2. Mengenali keterbatasan profesi dalam keterampilan , pengetahuan dan kemampuan.
3. Melibatkan profesi kesehatan yang beragam dalam melengkapi keahlian professional , serta
sumber daya terkait, untuk mengembangkan strategi agar memenuhi kebutuhan pasien.
4. Menjelaskan peran dan tanggungjawab penyedia layanan lain dan bagaimana tim
bekerjasama untuk memberikan pelayanan.
5. Menggunakan lingkup pengetahuan, keterampilan dan kemampuan yang tersedia dari
profesi kesehatan untuk memberikan pelayanan yang aman, tepat waktu, efisien, efektif dan
adil.
6. Berkomunikasi dengan anggota tim untuk mengklarifikasi tanggungjawab setiap anggota
dalam melaksankan komponen dari rencana pelayanan atau intervensi kesehatan.
7. Menjalin hubungan ketergantungan dengan profesi lain untuk meningkatkan pelayanan
pasien dan pembelajaran lanjut.
8. Terlibat dalam pengembangan professional dan interprofesi berkelanjutan untuk
meningkatkan kinerja tim.
9. Menggunakan kemampuan yang unik dan saling melengkapi dari semua anggota tim untuk
mengoptimalkan pelayanan pasien.
Menurut MacDonald et.al (2009) Indikator mahasiswa telah mencapai kompetensi “Mengetahui peran
Professional lainnya” adalah sebagai berikut:
1. Menjelaskan dimana skop profesinya sendiri berakhir dan profesi lainnya dimulai praktik
kolaborasi antar professional dalam system pelayanan kesehatan membuat optimalisasi.
2. Membuka diri untuk kontribusi anggota tim lain. Indikator ini dicerminkan melalui
komentar praktisi
3. Menghargai peran, nasehat dan kontribusi unik dari anggota tim lainnya: data menunjukkan
isu-isu dari menghargai sebagai indikasi terlihat dalam komentar dari praktisi.
4. Menghargai overleping keterampilan professional diantara anggota tim.
5. Nilai-nilai yang meningkatkan keuntungan dari usaha kolaborasi anggota tim
6. Menjelaskan perbedaan perspektif dan pengetahuan dari profesi lain.
KOMUNIKASI EFEKTIF INTERPROFESIONAL
I. DESKRIPSI SINGKAT
Komunikasi interprofesional dalam dunia kesehatan dapat melibatkan banyak pihak baik
kenaga kerja kesehatan, pasien, maupun keluarga pasien. Komunikasi interprofesional sangat
penting agar jalannya pelayanan kesehatan dapat berjalan dengan lancar. Dengan komunikasi
interprofessional yang baik maka akan memudahkan tenaga kerja kesehatan dalam meperoleh
informasi yang lengkap untuk selanjutnya dilakukan tindakan yang diperlukan. Olehnya itu
diperlukan penerapan komunikasi interprofessional yang baik. Komunikasi merupakan tantangan
paling utama dalam interprofessional education ini. Banyak kasus patient safety dan malpraktek
terjadi akibat miscommunication yang sepele tapi berujung pada kesalahan fatal.
Komunikasi adalah proses penyampaian dan penerimaan informasi antar individu yang
dapat didefinisikan dalam berbagai cara, tergantung pada apa konteks itu sedang diterapkan.
Komunikasi adalah dasar untuk berbagi pengetahuan dan pengalaman dalam berperilaku sosial.
Bahasa adalah bentuk komunikasi khusus untuk manusia. Bentuk komunikasi manusia yang
umum adalah bahasa isyarat, perkataan, tulisan, gerakan, dan siaran. Komunikasi bisa bersifat
interaktif, transaktif, verbal, atau nonverbal dan bervariasi dalam berbagai bentuk dan gaya.
Komunikasi internal dalam diri sendiri bersifat intrapersonal, sedangkan komunikasi antara 2
individu bersifat interpersonal (Gilbert, Yan, & Hoffman, 2010).
Komunikasi interpersonal terdiri dari 3 faktor utama yaitu pemberi pesan, penerima
pesan, dan pesan itu sendiri. Meskipun terlihat sederhana, komunikasi interpersonal bergantung
dari bagaimana penyampaian pesan dan bagaimana pesan itu ditangkap berdampak pada
komunikasi kedua pihak. Komunikasi norverbal seperti gestur badan, ekspresi muka,
penampilan, dan warna suara juga sangat berpengaruh pada komunikasi interpersonal (Knapp &
Daly, 2002).
Komunikasi interprofesional yang efektif terdiri dari: Kejelasan dan ketepatan pesan yang
dapat diverifikasi, kolaborasi dalam memecahkan masalah, Sikap tenang dan mendukung
dibawah tekanan, memelihara rasa saling menghormati, dan memahami tentang peran unik
masing-masing. Sedangkan komunikasi tidak efektif jika sesama tenaga kesehatan saling
merendahkan, bergantung pada sistem elektronik, dan hambatan budaya dan linguistik (bahasa)
Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang
lain ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa telah memiliki bekal
pengalaman sebelumnya Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul
“Developing Interprofessional Communication Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan
diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi
tersebut merupakan langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerjasama
tim interprofesional dalam perawatan kesehatan. Selain itu simulasi tersebut adalah cara untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi. Upaya
peningkatan kemampuan komunikasi interprofesi karena memberikan kesempatan setiap
kelompok untuk belajar berinteraksi dengan profesi yang lain.
Selain melalui simulai IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan metode tutorial
yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi tutorial tersebut
berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara dokter, tenaga
keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan. Mitchell (2010) menjelaskan
dalam penelitiannya yang berjudil “Innovation In Learning An Interprofessional Approach To
Improving Communication” bahwa tutorial sangat efektif untuk memberikan kesadaran akan
pentingnya kolaborasi tim interprofesi dalam perawatan pasien. Selain itu, diskusi yang terjadi
selama tutorial dengan profesi yang lain dapat melatih mahasiswa untuk mengembangkan
kemampuan komunikasi interprofesi.
2. Mendengarkan secara aktif dan mendorong ide dan opini dari anggota tim lain
Mendengarkan yang efektif (Effective Listening)
Mendengarkan secara aktif adalah bentuk mendengarkan dan merespon yang
terstruktur yang memfokuskan perhatian pada pembicara dan memotivasi kedua
pihak, baik pembicara, maupun pendengar.
IPE yang dapat diterapkan adalah simulasi IPE. Melalui simulasi IPE tersebut mahasiswa
dapat mengembangkan pengetahuan dan keterampilan dalam berkomunikasi dengan profesi yang
lain. Selain itu mahasiswa juga lebih percaya diri untuk berkomunikasi dengan profesi yang lain
ketika berkolaborasi dengan profesi yang lain karena mahasiswa sudah memiliki bekal
pengalaman sebelumnya. Wagner (2011) menjelaskan dalam penelitiannya yang berjudul
“Developing Interprofessional Communication Skills” bahwa simulasi IPE sangat efektif dan
diterima dengan baik sebagai inovasi dalam pembelajaran mahasiswa kesehatan. Simulasi
tersebut merupakan langkah awal menuju pengembangan budaya yang menumbuhkan kerja
sama tim interprofessional dalam perawatan kesehatan. Selain itu, simulasi tersebut adalah cara
untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan melalui pengembangan kolaborasi
interprofesi, karena memberikan kesempatan setiap kelompok untuk belajar berinteraksi dengan
profesi yang lain. Selain melalui simulasi IPE, pembelajaran IPE juga dapat menggunakan
metode tutorial yang mengintegrasikan berbagai profesi kesehatan. Metode IPE melalui diskusi
tutorial tersebut berpusat pada berbagai aspek peran profesi kesehatan dan komunikasi antara
dokter, tenaga keperawatan serta pasien dalam setting managemen perawatan.
1. Mampu menghormati (Respect) tugas, peran dan tanggung jawab profesi kesehatan lain,
yang dilandasi kesadaran/sikap masing-masing pihak bahwa setiap profesi kesehatan
dibutuhkan untuk saling bekerjasama demi keselamatan pasien (Patientsafety) dan
keselamatan petugas kesehatan (Provider-safety).
2. Membina hubungan komunikasi dengan prinsip kesetaraan antar profesi kesehatan.
3. Mampu untuk menjalin komunikasi dua arah yang efektif antar petugas kesehatan yang
berbeda profesi dalam
4. Berinisiatif membahas kepentingan pasien bersama profesi kesehatan lain.
5. Pembahasan mengenai masalah pasien dengan tujuan keselamatan pasien bias dilakukan
antar individu ataupun antar kelompok profesi kesehatan yang berbeda.
6. Mampu menjaga etika saat menjalin hubungan kerja dengan profesi kesehatan yang lain.
7. Mampu membicarakan dengan profesi kesehatan yang lain mengenai proses pengobatan
(termasuk alternatif/ tradisional)
8. Informasi yang bersifat komplimenter/ saling melengkapi: kemampuan untuk berbagi
informasi yang appropriate dengan petugas kesehatan dari profesi yang berbeda (baik
tertulis di medical record, verbal maupun non-verbal).
9. Paradigma saling membantu dan melengkapi tugas antar profesi kesehatan sesuai dengan
tugas, peran dan fungsi profesi masing-masing.
10. Negosiasi: Kemampuan untuk mencapai persetujuan bersama antar profesi kesehatan
mengenai masalah kesehatan pasien.
11. Kolaborasi: Kemampuan bekerja sama dengan petugas kesehatan dari profesi yang lain
dalam menyelesaikan masalah kesehatan pasien.
Pemutaran Video
Terdapat 2 (dua) video yang digunakan untuk keperluan pembelajaran. Kedua video tersebut
adalah:
Communication (Interprofessional Comfetency)
Durasi: 1 menit 37 detik
Sumber : https://www.youtube.com/watch?v=vTOPE8hL708
Video ini menunjukkan masalah yang muncul pada praktik sehari-hari akibat kurangnya
komunikasi antara tim kesehatan, dan bagaimana perbaikan komunikasi dapat menyelesaikan
masalah tersebut.
2) Interprofessional Communication
Durasi: 4 menit 45 detik
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=xE7mdTfJkZE&t=13s.
Video menampilkan kelalaian seorang perawat terhadap instruksi dokter karena menggunakan
hand phone saat berkomunikasi dengan dokter. Akibatnya obat yang diberikan kepada pasien
tertukar.
Diskusi Refleksi
Setelah pemutaran video, peserta diajak berdiskusi dengan beberapa pertanyaan pemicu, antara
lain:
1. Setelah melihat video-video tadi, apa pendapat Anda?
2. Apa yang Anda pelajari dari video-video tadi?
3. Apakah masalah-masalah yang ada di video pernah Anda temui dalam praktik atau
pendidikan sehari-hari, atau pernah dengar dari kerabat Anda?
4. Apakah kolaborasi yang ada di video pernah Anda temui dalam praktik atau pendidikan
sehari-hari, atau Anda pernah dengar dari kerabat Anda?
5. Apakah kolaborasi interprofesi mungkin dilakukan di Indonesia? Mengapa?
6. Apakah kolaborasi interprofesi menguntungkan bagi pasien? Mengapa?
7. Apakah kolaborasi interprofesi menguntungkan bagi tenaga kesehatan? Mengapa?
8. Apakah kolaborasi interprofesi terlalu merepotkan dan memakan waktu? Bagaimana
solusinya?
9. Apa syarat agar kolaborasi seperti yang ada pada video dapat terlaksana dengan baik?
10. Mengapa pendidikan interprofesi perlu?
MODUL INTI 6
PEMBELAJARAN KERJA SAMA TIM ANTAR PROFESI
I. Deskripsi singkat
Konsep tentang kerja sama tim ataupun kolaborasi antar profesi kesehatan cukup sering
didengungkan sebagai slogan-slogan dalam bidang kesehatan yang ditujukan untuk
meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan. Konsep kerja sama tim antar profesi semakin
menggaung seiring dengan diluncurkannya kerangka framework oleh WHO pada tahun 2010.
Pada kenyataannya, kerja sama tim antara dokter, perawat dan profesi kesehatan lainnya baik
dirumah sakit atau pelayanan kesehatan lainnya tidaklah mudah dilaksanakan. Banyak faktor
yang mempengaruhi dalam penerapan hal tersebut baik faktor sistem atau regulasi kesehatan
yang ada dalam suatu layanan kesehatan, individual maupun komunitas. Kesulitan dalam
penerapan konsep kerjasama tim ataupun kolaborasi antarprofesi oleh tenaga kesehatan dapat
disebabkan oleh berbagai faktor seperti kurikulum pendidikan selama jenjang profesi yang
belum memperkenalkan konsep pendidikan antarprofesi, pengalaman pembelajaran yang
hanya bersifat unipersonal, dan sistem layanan kesehatan yang masih terkotak-kotak.
Kemampuan berinteraksi dan bekerjasama antar sesama profesi yang berbeda merupakan
bagian dari soft-skill yang dalam kurikulum pendidikan profesi bukanlah sebagai suatu mata
ajar.
Pada kondisi saat ini kebutukan masyarakat akan kualitas pelayanan yang baik semakin
meningkat. Lebutuhan ini muncul ditunjang oleh makin tingginya atau meningkatnya angka
harapan hidup masyarakat, meningkatnya prevalensi penyakit kronis dan akut, kemajuan ilmu
kedokteran, dan biaya kesehatan yang makin tinggi. Selain itu, kekurangan jumlah tenaga
kesehatan dan pendistribusian tenaga kesehatan yang tidak merata juga menjadi faktor yang
mendukung makin rendahnya pelayanan kesehatan di Indonesia. Kondisi diatas menuntut
pelayanan yang bersifat terintegrasi dengan pendekatan kolaborasi antara semua stakeholder
yang terlibat dan bersifat patient center. Salah satu analisa tentang penyebab rendahnya
kualitas layanan kesehatan di Indonesia adalah lemahnya koordinasi dan kerja sama tim
dalam memberikan layanan kesehatan, yang mana hal ini terjadi dari lemahnya sistem
kesehatan di Indonesia baik sistem rujukan dan sistem pembiayaan. Menyadari kondisi yang
ada saat ini, kementerian kesehatan telah menetapkan salah satu strategi pencapaian Indonesia
sehat 2015 dengan menjadikan tim kesehatan sebagai salah satu strateginya. Sebagaimana
diketahui bahwa banyak penelitian telah menunjukkan bahwa kualitas pelayanan akan
semakin baik dengan penanganan masalah kesehatan individu dan masyarakat yang
dilaksanakan secara terpadu dan terintegrasi, dan hal ini pula yang menuntut professional
kesehatan untuk dapat menerapkan kolaborasi praktis dengan professional dan stakeholder
lainnya.
II. Tujuan Pembelajaran
A. Tujuan Pembelajaran Umum
Setelah mempelajari materi ini, peserta mampu melakukan pembelajaran kerja sama tim
antar profesi
B. Tujuan Pembelajaran Khusus
Setalah mempelajari materi ini peserta mampu:
1. Menjelaskan kerjasama antar profesi
2. Menjelaskan tentang peran tim (team roles) dalam lingkup pembelajaran antar profesi
3. Menjelaskan tentang proses tim (team process) dalam lungkup pembelajaran antar
profesi
4. Membuat strategi dalam pembelajaran kerjasama tim pada pembelajaran antar profesi
5. Melakukan metode evaluasi dalam pembelajaran kerjasama antar profesi
Pokok Bahasan 1: kerjasama antar profesi
1. Kerjasama antar profesi
1.1 Pengertian Kerjasama Antar Profesi
kata dari “group” atau “team” (Douglas (1983); Adair (1986)) dalam beberapa
literature dipergunakan secara bergantian. Para pakar mengatakan bahwa interaksi
yang terjadi dalam suatu kelompok atau tim adalah sama. Menurut Dauglas (1983)
mengatakan bahwa
“teams are co-operative groups in that they are called into being to perform a task,
a task that cannot be performed by an individual”.
Definisi tentang kerja sama antar profesi (interprofessional teamwork) mengacu
pada beberapa
1.2 Istilah-istilah dalam Kerja Sama Antar Profesi
konsep kerjasama antar profesi memiliki beberapa istilah yang sering digunakan
secara bergantian.
Istilah Definisi
collaboration an active and on going partnership, often between people from
diverse backgrounds, who work togerher to solve problems or
provide services.
collaborative a type of arrangement designed to promote the participation of
patient-centred patients and their families within a context of collaborative
practice practice.
interdisciplinary relates to the collaborative efforts undertaken by individuals
teamwork from different disciplines such as psychology, anthropology,
economics, geography, political science and computer science.
interprofessional a type of interprofessional work which involves different health
collaboration and social care professions who regularly come together to solve
problems or provide services.
interprofessional a type of work, similar to interprofessional collaboration (see
coordination above) as it involves different health and social care professions.
it differs as it is a „looser‟ from of working arrangement wheeby
interprofessional
communication and discussion may be less frequent
interprofessional occurs when members (or students) of two or more health and/or
education social care profession engage in interactive learning activities
toimprove collaboration and/or the delivery of care
interprofessional involve two or more health and social care professions who learn
interventions and/or work together to inprove their approach to collaboration
(see above)
interprofessional loosely organized groups of individuals fron different health and
networks social care profesions, who meet and work togerther an a
periodic basis
interprofessional a type of work which involved different health and/or social
teamwork profesion who share a team identity and work closely together in
as integrated and interdependent manner to silve problems and
deliver services
multidisciplinary a approach like interprofessional teamwork (see above), but
teamwork differs as the team members are composed from different
academic diasiplines (psychology, sociology, mathematics)
rather then from different proffessions such as medicine, nursing
and social work
Relational Processual
Professual power Time and space
Hierarchy Routine and rituals
Socialsation Information
Team composition technology
Team roles unpredictability
Team processos
INTERPROFESSIONAL
TEAMWORK
Organizational Contextual
Organizational Culture
support Diversity
Professional Gender
reprentation Political wil
Feat of migation economic
Pokok Bahasan 3: Proses Tim (team process) dalam Lingkup Pembelajaran Antar Profesi
dan Praktik Kolaboratif
3.1 strategi penerapan pengembangan tim (tim building) pada kerja sama antar profesi
3.2 Prinsip mempercayai dan menghormati (trust and respect) dalam kerja sama antar profesi
3.3 Berbagai jenis konflik yang timbul dalam kerja sama antar profesi
3.4 Strategi menerapkan manajemen konflik dalam kerja sama antar profesi
Pokok Bahasan 4: Strategi yang Memfasilitasi Kerja Sama Tim dalam Pembelajaran
Antar Profesi
4.1 Integrated care pathways untuk penanganan masalah kesehatan dalam kerja sama antar
profesi
4.2 model care management dalam penanganan masalah kesehatan dalam kerja sama antar
profesi
4.3 role shifting, role delegation, dan role creation dalam pembelajaran kerja sama antar profesi
pokok bahasan 5: Metode Evaluasi dalam Pembelajaran Kerja Sama Antar Profesi
1. strategi evaluasi pembelajaran kerja sama antar profesi secara formatif dan sumatif pada
bagian:
a. masukan / input: evaluasi peserta didik, pengajar, fasilitas
b. proses: proses pembelajaran
c. keluaran: metode Kirkpatrick
2. strategi penilaian impact/dampak pembelajaran kerja sama antar profesi pada
a. pasien (kepuasan layanan)
b. profesi (kepuasan bekerja, rendahnya work stress)