Anda di halaman 1dari 12

MAKALAH

KONSELING KELUARGA

NAMA : AHMAD AZIZ SIDDIQ

NIM : 2021.85.32.0099

JURUSAN : BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM

FAKULTAS DAKWAH
JURUSAN BIMBINGAN DAN KONSELING ISLAM
UNIVERSITAS ISLAM INTERNASIONAL DARUL LUGHAH WAD
DA’WAH

1
DAFTAR ISI
BAB I....................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN.................................................................................................................................3
A.LATAR BELAKANG.......................................................................................................................3
B.RUMUSAN MASALAH...................................................................................................................3
A. Konsep Konseling dengan Pendekatan System Keluarga............................................................4
B. Tokoh konseling dengan pendekatan system keluarga................................................................5
1. Murray Bowen..........................................................................................................................5
2. Alfred Adler.............................................................................................................................5
3. Carl whitaker............................................................................................................................5
C. Tujuan dan Peran konselor pada pendekatan system keluarga.....................................................6
1. Tujuan konseling system keluarga...........................................................................................6
2. Peranan Konselor......................................................................................................................6
D. Teknik konseling dengan pendekatan system keluarga...............................................................6
1. Sculpting (mematung)..............................................................................................................6
2. Role playing (bermain peran)...................................................................................................7
3. Silence (diam)...........................................................................................................................7
4. Confrontation (konfrontasi)......................................................................................................8
5. Teaching via Questioning.........................................................................................................8
6. Listening (mendengarkan)........................................................................................................8
7. Recapitulating (mengikhtisarkan).............................................................................................8
8. Summary (menyimpulkan).......................................................................................................8
9. Clarification (menjernihkan).....................................................................................................9
a. Rasional...............................................................................................................................9
b. Tujuan latihan.......................................................................................................................9
10. Reflection (refleksi)....................................................................................................................9
1) Reflecting feelings (Merefleksi Perasaan)...........................................................................10
2) Reflecting meanings..............................................................................................................10
3) Summative reflections (refleksi sumatif)..............................................................................10
E. Studi kasus konseling dengan pendekatan system keluarga......................................................10
F. Kelebihan dan Kekurangan Konseling dengan Pendekatan System Keluarga..........................11
BAB III................................................................................................................................................11
KESIMPULAN...................................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................12

2
BAB I

PENDAHULUAN

A.LATAR BELAKANG

Keluarga adalah suatu kelompok atau kumpulan manusia yang hidup bersama sebagai
suatu kesatuan atau unit masyarakat yang terkecil, tetapi tidak selalu ada hubungan darah,
ikatan perkawinan atau ikatan-ikatan lain, mereka hidup bersama dalam satu rumah (tempat
tinggal) biasanya dibawah asuhan seorang kepala rumah tangga. Selain itu keluarga
merupakan lingkungan masyarakat terkecil yang untuk pertama kalinya kita dapat belajar
bersosialisasi dengan dunia luar, serta Keluarga sebagai pondasi awal yang berperan penting
terhadap diri kita. Kehidupan keluarga yang harmonis memberikan efekpositif bagi setiap
anggotanya. Baik dalam psikologisnya maupun biologisnya.

Kadang keluarga merupakan penyebab awal dari permasalahan-permasalahan yang


dihadapi oleh masing-mansing anggotanya. Karena itu harus ada usaha-usaha untuk
memperkuat kemampuan keluarga atau anggota keluarga dalam menghadapi berbagai
tantangan, baik dari dalam keluarga itu sendiri maupun dari luar, maka kiranya diperlukan
melakukan konseling keluarga. Konseling keluarga pada dasarnya merupakan penerapan
konseling pada situasi yang khusus, konseling tersebut diarahkan untuk membantu seluruh
anggota keluarga untuk diarahka nmenjadi lebih baik guna membentuk suatu keluarga yang
sakinah, mawadah dan warahmah.

Dalam melakukan konseling keluarga terdapat beberapa jenis dan pendekatan untuk
memahami setiap persoalan dan berusaha untuk mencoba memecahkannya. Diantaranya
adalah konseling dengan menggunakan pendekatan system keluarga dan psikodinamika
keluarga. Oleh karena itu, dalam makalah ini kami mencoba untuk membahas beberapa
pendekatan yang berkaitan dengan konseling keluarga itu sendiri.

B.RUMUSAN MASALAH

1. Bagaiamana konsep konseling dengan pendekatan system keluarga?

2. Siapa Tokoh konseling dengan pendekatan system keluarga?

3. Bagaimana Tujuan dan Peran konselor pada pendekatan system keluarga?

4. Bagaimana Teknik konseling dengan pendekatan system keluarga?

5. Bagaimana Studi kasus konseling dengan pendekatan system keluarga?

3
6. Apa saja kelebihan dan kekurangan konseling dengan pendekatan system keluarga?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Konsep Konseling dengan Pendekatan System Keluarga


Teori sistem adalah istilah umum mengkonsepkan sekelompok elemen yang saling
berhubungan, misalnya orang yang berinteraksi sebagai satu entitas yang utuh, misalnya
keluarga atau kelompok. Sebagai sebuah konsep, teori sistem “lebih mirip pada suatu cara
berfikir daripada teori yang koheren dan standar”. Menurut teori sistem seorang ahli biologi
Ludwig Von Bertalanffly bahwa semua organisme yang hidup tersusun atas komponen-
komponen yang berinteraksi secara mutual, dan saling mempengaruhi satu sama lain. Fokus
sistem teori secara umum adalah bagaimana interaksi dari bagian-bagian dapat
mempengaruhi operasi sistem tersebut secara keseluruhan.[1]
Untuk melaksanakan konseling dengan pendekatan sistem ini, maka konselor perlu
memahami konsep-konsep bawah ini :
1. Perbedaan setiap individu dalam keluarga. Dengan demikian, maka konselor akan dapat
modifikasi hubungan anggota keluarga.
2. Keseimbangan kemampuan, intelektual, dan emosi pada anggota keluarga. Hal ini akan
membantu konselor dalam memahami dan melihat sistem keluarga dlam menghadapi
masalah.[2]
Menurut Bowen percaya bahwa ada ansietas kronis di dalam semua kehidupan yang
bersifat fisik dan emosional. Beberapa individu lebih terpengaruh oleh ansietas ini dari pada
yang lain “karena cara generasi sebelumnya dalam keluarga mereka mentransmisikannya”
kepada mereka. (Friedman, 1991). Jika ansietas tetap rendah, masalah yang muncul pada diri
atau keluarga tersebut hanyalah sedikit. Namun, jika ansietas pada keluarga tinggi, maka
akan lebih rentan terhadap “penyakit”. Jadi, pada teori sistem Bowen ini terletak pada
perbedaan atau membedakan pikiran seseorang dariemosi seseorang, dan dari diri sendiri dari
orang lain.[3]

Konseling ini menekankan pada saling ketergantungan satu sama lain dalam keluarga.
Ketergantungan tidak hanya pada kebutuhan pokok saja seperti makan, pakaian,
perlindungan, namun yang terpenting adalah ketergantungan akan kasih sayang, perasaan,
persahabatan, sosialisasi dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak tampak namun sangat di
perlukan.[4]
Dalam pendekatan sistem family intervensi lebih ditujukan kepada apa yang dimiliki
oleh sistem ketimbang aspek pengalaman individu. Terapis juga bekerja sebagai sebuah tim,
dengan beberapa orang bekerja dalam ruangan bersama keluarga dan yang lain bertindak
sebagai pengamat, untuk menguatkan kenetralan dan orientasi sistem, dan untuk
mengaktifkan deteksi pola interaksi subtil yang terjadi dalam dinamika kompleks cara
keluarga untuk tetap bersama.[5]

4
B. Tokoh konseling dengan pendekatan system keluarga
1. Murray Bowen
Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem. Menurutnya, keluarga itu
bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfungsioning family). Keadaan ini terjadi
karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang
mengatur dalam hubungan mereka.
Pada teori pendekatan ini, Menurut Bowen, dalam keluarga terdapat kekuatan yang dapat
membuat anggota keluarga bersama-sama dan kekuatan itu dapat pula membuat anggota
keluarga melawan yang mengarah pada individualitas. Sebagian anggota keluarga tidak dapat
menghindari system keluarga yang emosional yaitu yang mengarahkan anggota keluarganya
mengalami kesulitan (gangguan). Jika hendak menghindar dari keadaan yang tidak
fungsional itu, dia harus memisahkan diri dari sistem keluarga. Dengan demikian, dia harus
membuat pilihan berdasarkan rasionalitasnya bukan emosionalnya.
Bowen sendiri percaya bahwa ada ansiestas kronois di dalam kehidupan yang bersifat fisik
dan emosional. Jika ansiestas rendah, maka masalah yang muncul pada diri orang tersebut
atau keluarganya sedikit. Namun, jika ansietasnya tinggi, orang ini rentan terhadap penyakit
dan menjadi disfungsional secara menahun. Jadi, focus terori Bowen ini terletak pada
perbedaan, atau membedakan pikiran seseorang dari emosi dalam diri sendiri dan orang lain.
[6]

2. Alfred Adler
Merupakan seorang psikolog pertama dari era modern yang menggunakan terapi keluarga
melalui pendekatan sistemis. Dia menetapkan lebih dari 30 klinik panduan anak di Vienna
setelah Perang Dunia I dan kemudian Rudolf Dreikurs yang membawa konsep ini ke
Amerika Serikat dalam bentuk pusat pendidikan keluarga. Adler melakukan sesi konseling
keluarga dalam forum publik terbuka untuk mendidik orangtua. Dia percaya bahwa masalah-
masalah yang terjadi pada salah seorang dalam keluarga, berlaku secara umum terhadap
anggota lainnya dalam komunitas.

3. Carl whitaker
Konseling pendekatan ini dikembangkan oleh Carl Whitaker, menurutnya bahwa manusia
secara individual tidak dapat melepaskan diri dari ikatan keluarganya. Pendapat ini, juga
senada dengan pendapat yang dikemukakan Olson dan DeFrain (2006) yang dikutip
kertamuda bahwa apapun yang dilakukan anggota keluarga sangat dipengaruhi oleh latar
belakang keluarganya, sehingga efektifitas perubahan dan pemahaman individu akan lebih
mudah berubah jika keluarganya juga berubah.[7]

5
C. Tujuan dan Peran konselor pada pendekatan system keluarga
1. Tujuan konseling system keluarga
Tujuan dari konsling ini adalah membantu klien memahami dan mengubah strategi
dan pola dalam menghadapi stress yang diwariskan dari generasi ke generasi. Klien tidak lagi
memperlihatkan ansietas di dalam kehidupan sehari-hari, dan akan dapat memisahkan pikiran
dari perasaan serta diri sendiri dari orang lain.

2. Peranan Konselor
Peranan konselor dalam teori ini adalah untuk melatih dan mengajar klien agar lebih
kognitif saat berhadapan dengan orang lain. Proses konseling, dalam kondisi terbaiknya,
ibaratnya dengan “dialog Socratic, dengan guru atau “pelatih” mengajukan pertanyaan-
pertanyaan, sampai siswa belajar untuk berpikir bagi dirinya sendiri.(Samuel: 276).[8]

D. Teknik konseling dengan pendekatan system keluarga


Teknik pada pendekatan ini terfokus pada cara untuk menciptakan seorang individu dengan
konsep diri yang sehat, yang mampu berinteraksi dengan orang lain dan tidak mengalami
ansietas berlebih, setiap kali hubungannya mengalami tekanan. Cara untuk mencapai tujuan
ini melibatkan penilaian atas diri sendiri dan keluarga dengan sejumlah cara. Salah satunya
melalui konstruksi genogram multigenerasi. Genogram melibatkan informasi yang
berhubungan dengan suatu kelurga beserta hubungan masing-masing anggotanya selama
setidaknya 3 generasi terakhir. Genogram dapat membantu orang dalam mengumpulkan
informasi, hipotesis dan melacak perubahan hubungan dalam konteks peristiwa masa lalu dan
kontemporer.
Teknik lainnya difokuskan pada proses kognitif seperti mengajukan pertanyaan berdasaarkan
kepuasan keluarga seseorang. Tujuannya adalah untuk memahami apa yang terjadi di dalam
keluarga seseorang tanpa di dominasi emosi. Klien dapat kembali pulang dan mengunjungi
keluarganya, agar dapat mengenal mereka lebih baik.
Pendekatan sistem yang dikemukakan oleh perez (1979) mengembangkan 10 teknik
konseling keluarga, yaitu :

1. Sculpting (mematung)
Sculpting (mematung) yaitu suatu teknik yang mengizinkan anggota-anggota keluarga yang
menyatakan kepada anggota lain, persepsinya tentang berbagai masalah hubungan diantara
anggota-anggota keluarga. Klien diberi izin menyatakan isi hati dan persepsinya tanpa rasa
cemas. Sculpting digunakan konselor untuk mengungkapkan konflik keluarga melalui verbal,
untuk mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui verbal, untuk
mengizinkan anggota keluarga mengungkapkan perasaannya melalui tindakan (perbuatan).
Hal ini bisa dilakukan dengan “the family relationshop tebelau” yaitu anggota keluarga yang
“mematung”, tidak memberikan respon apa-apa, selama seorang anggota menyatakan
perasaannya secara verbal (Sopyan S.Willis, 2008 : 139-140).

6
2. Role playing (bermain peran)
Role playing (bermain peran) yaitu suatu teknik yang memberikan peran tertentu kepada
anggota keluarga. Peran tersebut adalah peran orang lain dikeluarga itu, misalnya anak
memainkan peran sebagai ibu. Dengan cara itu anak akan terlepas atau terbebas dari
perasaan-perasaan penghukuman, perasaan tertekan dan lain-lain. Peran itu kemudian bisa
dikembalikan lagi kepada keadaan yang sebenarnya jika ia menghadapai suatu prilaku ibunya
yang mungkin kurang ia sukai. Role playing atau bermain peran, sejenis permainan gerak
yang didalamnya ada tujuan, aturan dan sekaligus melibatkan unsur senang (Jill Hadfield,
1986). Dalam role playing murid dikondisikan pada situasi tertentu di luar kelas, meskipun
saat itu pembelajaran terjadi di dalam kelas. Selain itu, role playing sering kali dimaksudkan
sebagai suatu bentuk aktivitas dimana pembelajar membayangkan dirinya seolah-olah berada
di luar kelas dan memainkan peran orang lain (Basri Syamsu, 2000).
Model Pebelajaran Role Playing adalah suatu cara penguasaan bahan-bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinasi dan penghayatan siswa. Pengembangan imajinasi dan penghayatan
dilakukan siswa dengan memerankannya sebagai tokoh hidup atau benda mati. Permainan ini
pada umumnya dilakukan lebih dari satu orang, hal itu bergantung kepada apa yang
diperankan.
Pada metode bermain peranan, titik tekanannya terletak pada keterlibatan emosional dan
pengamatan indera ke dalam suatu situasi masalah yang secara nyata dihadapi. Murid
diperlakukan sebagai subyek pembelajaran, secara aktif melakukan praktik-praktik berbahasa
(bertanya dan menjawab) bersama teman-temannya pada situasi tertentu. Belajar efektif
dimulai dari lingkungan yang berpusat pada diri murid (Departemen Pendidikan Nasional,
2002). Lebih lanjut prinsip pembelajaran memahami kebebasan berorganisasi, dan
menghargai keputusan bersama, murid akan lebih berhasil jika mereka diberi kesempatan
memainkan peran dalam bermusyawarah, melakukan pemungutan suara terbanyak dan
bersikap mau menerima kekalahan sehingga dengan melakukan berbagai kegiatan tersebut
dan secara aktif berpartisipasi, mereka akan lebih mudah menguasai apa yang mereka pelajari
(Boediono, 2001). Jadi, dalam pembelajaran murid harus aktif, karena tanpa adanya aktivitas,
maka proses pembelajaran tidak mungkin terjadi.
Model pembelajaran Role Playing juga dikenal dengan nama model pembelajaran Bermain
Peran. Pengorganisasian kelas secara berkelompok, masing-masing kelompok
memperagakan/menampilkan scenario yang telah disiapkan guru. Siswa diberi kebebasan
berimprofisasi namun masih dalam batas-batas scenario dari guru.

3. Silence (diam)
Dalam proses konseling, adakalanya seorang konselor pada untuk bersikap diam. Adapun
alasan konselor melakukan hal ini dapat dikarenakan konselor yang menunggu klien bepikir,
bentuk protes karena klien bicara dengan berbelit-belit atau menunjang perilaku attending
dan empati sehingga klien bbas berbicara. Diam disini bukan bararti tidak ada komunikasi
akan melainkan tetap ada yait melalui perilaku non verbal. Yang paling ideal, diam itu paling
tinggi 5-10 detik dan selebihnya dapat diganti dengan dorongan minimal. (Namora
Lumongga Lubis. 2011: 101).
Apabila anggota berada dalam konflik dan frustasi karena ada salah satu anggota lain yang
suka bertindak kejam, maka biasanya mereka datang kehadapan konselor dengan tutup mulut.

7
Kedaan ini harus dimanfaatkan konselor untuk menunggu suatu gejala prilaku yang akan
muncul menunggu munculnya pikiran baru. Disamping itu juga digunakan dalam
menghadapi klien yang cerewet, banyak omong dan lain-lain.

4. Confrontation (konfrontasi)
Confrontation (konfrontasi) ialah suatu teknik yang digunakan konselor untuk
mempertentangkan pendapat-pendapat anggota keluarga yang terungkap dalam wawancara
konseling keluarga. Atau konfrontasi adalah suatu teknik konseling yang memantang klien
untuk meliht adanya diskrepansi atau inkonsistensi secara perkataan dan bahasa badan
(perbuatan), ide awal dengan ide berikutnya, senyum, dengan kedihan dan sebagainya.
Tujuan agar anggota keluarga itu bisa bicara terus terang, dan jujur serta menyadari perasaan
masing-masing. Contoh respon konselor: “siapa biasabya yang banyak omong?”, konselor
bertanya dalam suasana yang mungkin saling tuding. (Namora Lumongga Lubis. 2011: 99)
5. Teaching via Questioning ialah suatu teknik mengajar anggota dengan cara
bertanya,.

6. Listening (mendengarkan)
Listening (mendengarkan) teknik ini digunakan agar pembicaraan seorang anggota keluarga
didengarkan dengan sabar oleh yang lain. Konselor menggunakan teknik ini untuk
mendengarkan dengan perhatian terhadap klien. Perhatian tersebut terlihat dari cara duduk
konselor yang menghadapkan muka kepada klien, penuh perhatian terhada setiap pernyataan
klien, tidak menyela ketika klien sedang serius.
Listening skill (keterampilan mendengarkan)
Keterampilan ini terdiri dari;
1) Attending, yaitu pernyataan dalam bentuk verbal dan non verbal ketika klien
memasuki ruang konselor,
2) Paraphrasing, yaitu respon konselor terhadap pesan utama dalam pernyataan klien.
Respon tersebu merupakan pernyataan ringkas dalam bahasa konselor sendiri tentang
pernyataan klien,
3) Clarfyng, yaitu pengungkapan diri dan memfokuskan diskusi. Konselor memperjelas
masalah klien,
4) Perception checking, yaitu menentukan ketepatan pendengaran konselor. (Sofyan S.
Willis. 2009:141-142).

7. Recapitulating (mengikhtisarkan)
Recapitulating (mengikhtisarkan) teknik ini dipakai konselor untuk mengikhtisarkan
pembicaraan yang bergalau pada setiap anggota keluarga, sehingga dengan cara itu
kemungkinan pembicaraan akan lebih terarah dan terfokus. Misalnya konselor mengatakan
“rupanya ibu merasa rendah diri dan tak mampu menjawab jika suami anda berkata kasar”.

8. Summary (menyimpulkan)
Summary (menyimpulkan) dalam suatu fase konseling, kemungkinan konselor akan
menyimpulkan sementara hasil pembicaraan dengan keluarga itu. Tujuannya agar konseling
bisa berlanjut secara progresif. Hasil percakapan konselor dank lien hendaknya disimpulakn
sementara oleh konselor untuk memberikan gambaran kilas balik (feedback) atas hal-hal

8
yang telah dibicarakan sehingga klien dapat menyimpulkan kemajuan hasil pembicaraan
secara bertahap, meningkatkan kualitas diskusi, dan mempertajam atau memperjelas fokus
pada wawacara konseling.

9. Clarification (menjernihkan)
Clarification (menjernihkan) yaitu usaha konselor untuk memperjelas atau menjernihkan
suatu pernyataan anggota keluarga karena terkesan samar-samar. Klarifikasi juga terjadi
untuk memperjelas perasaan yang diungkap secara samar-samar. Misalnya mislannya
konse,or mengatakan kepada jeni, bukan kepada saya”. Biasanya klarifikasi lebih
menekankan kepada aspek makna kognitif dari suatu pernyataan verbal klien.

a. Rasional
Dalam keadaan ragu-ragu, sering klien berbicara samar-samar alias tidak jelas. Mungkin dia
diliputi perasaan tertentu mungkin menyimpan rahasia, maka klien kurang jelas
pengungkapannya.
Mungkin pula ketidakjelasan bersumber dari lemahnya kemampuan mengkomunikasi sesuatu
secara jelas. Dalam hal-hal seperti ini konselor harus jeli pengamatannya. Dia berusaha
menggunakan teknik “menjernihkan” atau clarifying. (Sofyan S. Willis. 2013:197-198).

b. Tujuan latihan
Supaya klien dapat menyatakan pesannya (perasaan, pikiran, pengalaman) dengan jelas,
alasan yang logis, dan dapat mengilustrasikan perasaan dengan cermat, perlu konselor dilatih
supaya mampu :
1. Menangkap pesan klien yang samar-samar alias tidak jelas atau yang meragukan.
2. Menyusun kalimat yang menjernihkan/ meng-clear-kan (clarifying) pernyataan-
pernyataan (pesan-pesan) yang samar-samar, meragukan, dan tidak jelas.
c. Materi
1. Katihan menangkap pesan-pesan yang samar-samar dan yang jelas.
2. Latihan menyusun kalimat-kalimat menjernihkan terhadap pernyataan klien yang
samar-samar dan meragukan.

10. Reflection (refleksi)


Reflection (refleksi) yaitu cara konselor untuk merefleksikann perasaan yang dinyatakan
klien, baik yang berbentuk kata-kata atau ekspresi wajahnya. “tanpaknya anda jengkel
dengan prilaku seperti itu”.
Secara lebih sederhana, refleksi dapat didefenisikan sebagai upaya konselor memperoleh
informasi lebih mendalam tentang apa yang dirasakan oleh klien dengan cara memantulkan
kembali perasaan, pikiran, dan pengalaman klien. Dalam hal ini, seorang konselor dituntut
untuk menjadi pendengar yang aktif. Hal senada juga diungkapkan oleh Bolton (2003) yang
mengatakan bahwa bahwa mendengar adalah lebih dari hanya mendengarsaja. Lebih khusus
ia mengatakan dalam proses mendengarkan terdapat unsur menyimak, yang berarti konselor
harus memerhatikan sungguh-sungguh peran yang disampaikan oleh klien. (Namora
Lumongga Lubis. 2011: 93-94)
Ada tiga jenis refleksi yaitu:

9
1) Reflecting feelings (Merefleksi Perasaan)
Pada refleksi perasaan, konselor mencerinkan kembali perasaan yang disampaikna oleh klien.
Contoh:
Klien: saya begitu yakin akan menamatkan sekolah pada usia sekarang. Tetapi saya gagal
menyelesaikannya. Saya merasa bodoh.
Konselor: jadi, kegagalan itulah yang menyebabkan anda merasa bodoh?

2) Reflecting meanings
Apabila perasaan dan fakta dicmpurkan dalam suatu respons yang akurat, hal inilah disebut
sebagai refleksi makna.
Contoh :
Klien : Ibu guru supaya terus menerus bertanya tentang kehidupan saya. Saya tidak ingin dia
melakukan hal itu.
Konselor : anda merasa jengkel karena dia tidak merespek privasi anda.

3) Summative reflections (refleksi sumatif)


Terjadi suatu refleksi sumatif, bila diungkapkan kembali secara singkat tema dan perasaan
utama yang dieksresikan pembicara selama durasi percakapan yang lebih lama dari pada yang
terlip oleh bentuk refleksi lainnya.
Menurut Bolton (2002), kalimat-kalimat berikut dapat digunakan untuk memulai refleksi
sumatif: “tema yang selalu anda ulang seperti adalah …” “marilah kita melakukan
rekapitulasi dari dari apa yang sudah kita bicarakan sejauh ini …“saya memikirkan apa yang
anda katakana. Saya melihat suatu pola dan saya ingin mengeceknya. Anda …”
Ciri-ciri respons refleksi adalah:
a. Tidak menilai (nonjudgmental).
b. Refleksi akurat dari apa yang dialami oleh pihak yang lain.
c. Ringkas.
d. Kadang-kadang lebih banyak dalam dan pada kata-kata yang terucap.[9]

E. Studi kasus konseling dengan pendekatan system keluarga


Contoh kasus pada pendekatan konseling system keluarga yaitu, pasangan suami istri yang
menikah pada tingkat kematangan emosional yang sama dibandingan dengan pasangan yang
kurang matang, yang lebih rentan mengalami permasalahan dalam hubungan pernikahan
mereka, daripada yang lebih matang. Ketika muncul gesekan besar dalam pernikahan,
pasangan yang kurang matang cenderung memperlihatkan tingkat fusi yang tinggi (emosi
kebersamaan yang tidak terbedakan) atau pemutusan (penghindraan psikologis atau fisik)
karena mereka belum memisahkan diri dari keluarga asalnya dengan cara yang sehat, dan
belum membentuk konsep diri yang stabil. Ketika ditekan sebagai individu dalam
perkawinan, mereka cenderung melakukan triangulasi (memfokuskan diri dari pihak ketiga).
Pihak ketiga dapat berupa perkawinan itu sendiri, anak, institusi atau sekolah atau bahkan
keluhan somatic. Bagaimanapun juga, hal tersebut mengarah pada interaksi pasangan yang
tidak produktif.[10]

10
F. Kelebihan dan Kekurangan Konseling dengan Pendekatan System
Keluarga
Pendekatan Sistem Bowen memiliki kelebihan dan kekurangan, kelebihan dari system ini
adalah sebagai berikut :

1. Pendekatan ini berfokus pada riwayat keluarga multigenerasi dan pentingnya


memahami dan menghadapi pola-pola di masa lalu, agar dapat menghindari pengulangan
tingkahlaku tertentu dalam hubungan antar pribadi .

2. Pendekatan ini menggunakan genogram dalam memplot hubungan riwayat, yang


merupakan alat spesifik yang asalnya dari pendekatan Bowen.

Sedangkan kekurangan dari pendekatan sistem Bowen adalah sebagai berikut:

1. Pendekatan ini kompleks dan ekstensif. Teorinya tidak dapat dipisahkan dari terapi.
Dan jalinan tersebut membuat pendekatan ini lebih mempunyai keterlibatan dari pada
kebanyakan pendekatan terapi lainnya.

2. Klien yang dapat memetik keuntungan paling banyak dari teori Bowen adalah yang
mempunyai disfungsi berat atau pembedaan diri yang rendah.

3. Pendekatan ini membutuhkan investasi cukup besar pada berbagai tingkatan, yang
mungkin sebagian klien tidak mau atau tidak bias melakukannya.[11]

BAB III

KESIMPULAN

1. Konseling sistem keluarga menekankan pada saling ketergantungan satu sama lain
dalam keluarga. Ketergantungan tidak hanya pada kebutuhan pokok saja seperti makan,
pakaian, perlindungan, namun yang terpenting adalah ketergantungan akan kasih sayang,
perasaan, persahabatan, sosialisasi dan kebutuhan-kebutuhan yang tidak tampak namun
sangat di perlukan.

2. Murray Bowen merupakan peletak dasar pendekatan sistem. Menurutnya, keluarga itu
bermasalah jika keluarga itu tidak berfungsi (disfungsioning family). Keadaan ini terjadi
karena anggota keluarga tidak dapat membebaskan dirinya dari peran dan harapan yang
mengatur dalam hubungan mereka.

3. Tujuan dari konsling ini adalah membantu klien memahami dan mengubah strategi dan
pola dalam menghadapi stress yang diwariskan dari generasi ke generasi.

4. Teknik pada pendekatan ini terfokus pada cara untuk menciptakan seorang individu
dengan konsep diri yang sehat, yang mampu berinteraksi dengan orang lain dan tidak
mengalami ansietas berlebih, setiap kali hubungannya mengalami tekanan.

11
DAFTAR PUSTAKA
Gladding, Samuel T.,Konseling Profesi yang Menyeluruh Edisi ke 6. (Jakarta : PT
Indeks),2012.

Kertamuda, Fatchiah E. , Konseling Pernikahan untuk Keluarga Indonesia, (Jakarta : Salemba


Humanika), 2009.

Mahmudah, Bimbingan dan konseling keluarga, ( Semarang : cv. Krya Abadi), 2015.

McLeod, John, PengantarKonseling :TeoridanStudiKasus, (Jakarta : Kharisma Putra


Grafika), 2006.

http://iranovitabki.blogspot.co.id/2015/05/teknik-teknik-konseling-keluarga-dalam_41.html.
tgl 18-04-17 pukul. 14.50.

http://nihmakalah.blogspot.co.id/2013/12/teori-dan-pendekatan-bk-family-system.html.tgl
18-04-17,pkl.14.20

http://lailialawiya.blogspot.com/2017/05/makalah-bimbingan-konseling-keluarga.html

12

Anda mungkin juga menyukai