Anda di halaman 1dari 23

Penyesuaian Diri dalam Pernikahan dan

Pengasuhan Anak

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah:


Psikologi Keluarga

DOSEN PEMBIMBING / PENGAMPU:


Dra. Dwi Redjeki Endang Haniwati, M.Si., Psikolog

DISUSUN OLEH:

Muhammad Romdhonul K 190701008


Farah Maulidiyah 180701023
Fatimatus Shamikha 180701025
Lazuardi Imani M 180701074

FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH GRESIK
2021

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah hirobbil ‘alamin, segala puji bagi Allah SWT Tuhan semesta
alam atas segala rahmat, taufik serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun
laporan ini dengan sebaik-baiknya,

Sholawat serta salam semoga selalu tercurahkan kepada junjungan nabi kita
Muhammad SAW yang telah membawa kita dari zaman jahiliyah menuju zaman
islamiyah, dari jalan yg gelap gulita menuju jalan yang terang benerang yakni agama
islam sehingga kita dapat merasakan manis iman dan indahnya islam.

Penyusun ingin menyampaikan terima kasih kepada teman - teman satu tim
yang telah mendukung penyelesaian makalah sebagai tugas kuliah, kepada Dosen
yang memberi pengarahan dan Perpustakaan yan menyediakan Sumber Informasi
untuk kami. Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa pengajian ini jauh dari kata
sempurna, maka dari itu kritik dan saran sangat kami harapkan demi perbaikan
makalah ini.

Mudah - mudahan bantuan dan dukungan yg diberikan semua pihak dapat


menjadi amal jariyah yang bermanfaat. Dan dengan segala keterbatasan dan
kelemahan yang ada pada penyusun semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
pembaca.

Gresik, 1 Oktober 2021

PENYUSUN

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................ii
DAFTAR ISI...............................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN.............................................................................................1
1.1. Latar Belakang...............................................................................................1
1.2. Rumusan Masalah..........................................................................................1
1.3. Tujuan Penulisan............................................................................................2
BAB II..........................................................................................................................3
LANDASAN TEORI....................................................................................................3
2.1. Penyesuaian Diri dalam Pernikahan...............................................................3
2.1.1. Aspek Penyesuaian Diri dalam Pernikahan................................................5
2.1.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Dalam Pernikahan............8
2.1.3. Kepuasan dalam Pernikahan.......................................................................9
2.2. Parenting atau Pengasuhan Anak.................................................................11
2.2.1. Parenting Education bagi Orang Tua........................................................12
2.2.2. Dampak Parenting atau Pengasuhan Anak Menurut Para Tokoh.............15
BAB III.......................................................................................................................19
PENUTUP..................................................................................................................19
3.1. Kesimpulan...................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................20

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Dalam membentuk suatu keluarga harus dipersiapkan dengan matang di
antaranya pasangan yang akan membentuk keluarga harus sudah dewasa, baik
secara biologis maupun psikis. Bagi pria harus sudah siap untuk memikul
tanggung jawab sebagai kepala keluarga, sehingga berkewajiban memberi
nafkah kepada anggota keluarga. Bagi seorang wanita ia harus sudah siap
menjadi ibu rumah tangga yang bertugas mengendalikan rumah tangga,
melahirkan, mendidik, dan mengasuh anak-anak.

Pengetahuan pengasuhan anak sebaiknya dimiliki oleh orang tua agar


dapat mengasuh anak lebih baik dan menunjang pertumbuhan dan
perkembangan anak. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang tua
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mengenai pengasuhan
anak. Minimnya pengetahuan dan keterampilan orang tua mengenai
pengasuhan dapat menimbulkan perlakuan salah pada anak. Pengasuhan oleh
orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan sosial dan fisik
tempat dimana keluarga itu tinggal, status ekonomi orang tua, dan model
pengasuhan yang didapatkan orang tua sebelumnya

1.2. Rumusan Masalah


Rumusan masalah ini disusun dengan maksud memberikan batasan dalam
pembahasan untuk mencegah adanya pelebaran pembahasan
1. Bagaimana penjelasan tentang penyesuaian diri dalam pernikahan?
2. Bagaimana penjelasan tentang parenting atau pola pengasuhan anak?

1
1.3. Tujuan Penulisan
Penulis menyusun masalah ini dengan harapan akan bermanfaat bagi
penulis dan pembaca:

1. Memahami dan mengetahui penjelasan tentang penyesuaian diri dalam


pernikahan
2. Memahami dan mengetahui penjelasan tentang parenting atau pola
pengasuhan anak

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1. Penyesuaian Diri dalam Pernikahan


Lazarus (dalam Zakiyah dkk, 2010) mengatakan bahwa menyesuaikan
berasal dari kata “to adjust” yang berarti untuk membuat sesuai atau cocok,
beradaptasi, atau mengakomodasi. Sobur (2010) mengungkapkan bahwa
penyesuaian diri adalah kemampuan seseorang untuk beradaptasi dengan
lingkungannya baik yang dilakukan diri terhadap lingkungannya maupun
sebaliknya. Chalhoun & Acocella (dalam Sobur, 2010) menyatakan
penyesuaian dapat didefinisikan sebagai interaksi individu yang kontinu
dengan individu itu sendiri, dengan orang lain dan dengan dunia individu
tersebut.

Schneiders (1999) menyatakan penyesuaian diri adalah usaha yang


mencakup respon mental dan tingkah laku individu, yaitu individu berusaha
keras agar mampu mengatasi konflik dan frustrasi karena terhambatnya
kebutuhan dalam dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan
dengan diri atau lingkungannya. Konflik dan frustrasi muncul karena individu
tidak dapat menyesuaikan diri terhadap masalah yang timbul pada dirinya.
Chaplin (2002) berpendapat penyesuaian diri adalah variasi dalam kegiatan
organisme untuk mengatasi suatu hambatan dan memuaskan kebutuhan-
kebutuhan serta menegakkan hubungan yang harmonis dengan lingkungan fisik
dan sosial.

Menurut Scneiders (1999) aspek penyesuaian diri terdiri atas: kontrol


terhadap emosi yang berlebihan, mekanisme pertahanan diri yang minimal,
frustrasi personal yang minimal, pertimbangan rasional dan kemampuan
mengarahkan diri, kemampuan untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa
lalu, sikap realistis dan objektif. Pemilihan aspek yang di kemukakan oleh
Scneiders (1999) ini dikarenakan aspek-aspek tersebut merupakan salah satu
rangkaian yang saling berhubungan dan saling mendukung satu sama lain, serta
sesuai dengan variabel penyesuaian diri yang akan di teliti. Misalnya kontrol
terhadap emosi yang berlebihan (suami maupun istri yang mampu untuk

3
mengendalikan emosi tidak sembarangan untuk bertindak dan melakukan hal-
hal yang tidak diinginkan), mekanisme pertahanan diri yang minimal (suami
maupun istri yang mampu menghadapi setiap persoalan tidak memunculkan
konflik baru dengan melibatkan pasangannya terhadap masalah yang dihadapi),
frustrasi personal yang minimal (suami maupun istri yang mampu menerima
setiap kejadian yang terjadi dengan baik tidak akan stres tanpa sebab dan
meluapkan amarah pada orang di sekitarnya), pertimbangan rasional dan
kemampuan mengarahkan diri (suami maupun istri yang mampu mengarahkan
tindakan-tindakannya pada hal yang positif akan menjauhi dari konflik maupun
frustrasi yang akan terjadi), kemampuan untuk belajar (suami maupun istri
yang memiliki motivasi untuk belajar dari kesalahan-kesalahan akan membuat
suami maupun istri bersikap lebih baik), memanfaatkan pengalaman masa lalu
(suami maupun istri yang mampu mengeksplor pengalaman masa lalunya akan
memudahkan suami maupun istri untuk menghadapi setiap tantangan yang
terjadi pada dirinya), sikap realistis dan objektif (suami maupun istri yang
menyadari setiap keterbatasan dalam dirinya tidak akan memaksakan pasangan
atau lingkungan sekitarnya seperti yang ia kehendaki).

Penyesuaian ini merupakan faktor yang paling penting dalam kehidupan


manusia, begitu pentingnya hal ini sampai-sampai dalam berbagai literatur,
kerap dijumpai ungkapan seperti: hidup manusia dari lahir sampai mati tidak
lain adalah penyesuaian diri. Menurut Schneiders (1999) penyesuaian diri yang
baik akan terdapat, cara pandang, respon mental dan tingkah laku individu
dalam mengatasi setiap konflik dan frustrasi karena terhambatnya kebutuhan
dirinya, sehingga tercapai keselarasan dan keharmonisan dalam dirinya atau
lingkungannya yang meliputi penyesuaian diri berupa kontrol terhadap emosi
yang berlebihan, mekanisme pertahanan diri yang minimal, frustrasi personal
yang minimal, pertimbangan rasional dan kemampuan mengarahkan diri,
kemampuan untuk belajar, memanfaatkan pengalaman masa lalu dan sikap
realistis dan obyektif. Penyesuaian diri bersumber dari dalam diri individu dan
orang yang ada di sekitarnya misalnya pasangannya suami atau istri.
Penyesuaian yang dari dalam diri individu akan membantu individu untuk

4
memersepsikan setiap perubahan dalam dirinya maupun dengan pasangan
sebagai sesuatu yang baik dan patut diterima (Mappiare, 1983).

2.1.1. Aspek Penyesuaian Diri dalam Pernikahan


Aspek penyesuaian diri dalam pernikahan sangat penting untuk
diketahui oleh pasangan yang akan melanjutkan ke jenjang pernikahan,
maka dari itu aspek tersebut diuraikan sebagai berikut:

1. Penyesuaian Pasangan

Dalam pernikahan, hubungan Interpersonal memainkan peran yang


penting. Semakin banyak pengalaman dalam hubungan interpersonal
suami istri pada masa lalu maka suami istri akan semakin mampu
mengembangkan wawasan sosial, maupun bekerja sama dengan orang lain
dan mampu menyesuaikan diri dengan baik dalam pernikahan.

Penyesuaian dengan pasangan dapat diukur dari komitmen pada


kelanjutan hubungan, frekuensi bertukar pendapat/cerita, memahami dan
berbagi minat ,memberi dan menerima cinta ,bekerja sama dalam
mengerjakan pekerjaan rumah.

Terdapat beberapa unsur yang mendukung penyesuaian diri pasangan


dalam melakukan penyesuaian perkawinan (Hurlock dalam Puspitasari,
2015) yaitu :

a. Konsep Pasangan Ideal. Saat memilih pasangan, baik pria maupun


wanita akan memiliki kriteria tertentu sesuai dengan konsep pasangan
ideal yang dibentuk selama masa dewasa. Semakin seseorang tidak
terlatih dalam menyesuaikan diri terhadap realitas maka akan semakin
sulit untuk melakukan penyesuaian dengan pasangan.
b. Pemenuhan Kebutuhan. Pria atau wanita yang sudah menikah dan
dapat melakukan penyesuaian diri dengan baik, ia akan mampu
memenuhi kebutuhan pasangannya. Pria atau wanita yang tidak dapat
menyesuaikan diri dengan baik ia akan mengalami kesulitan untuk
memenuhi kebutuhan pasangannya.

5
c. Kesamaan Latar Belakang. Semakin sama latar belakang suami istri,
akan semakin mudah bagi suami dan istri untuk saling menyesuaikan
diri. Sebaliknya semakin berbeda pandangan hidup antara suami dan
istri maka akan semakin sulit bagi mereka untuk melakukan
penyesuaian diri.
d. Minat dan Kepentingan bersama. Minat dan kepentingan yang sama
tentang suatu hal yang dilakukan oleh suami istri cenderung
membawa penyesuaian yang baik bagi mereka, dibandingkan dengan
pasangan yang memiliki minat dan kepentingan yang berbeda akan
mengalami kesulitan dalam melakukan penyesuaian dengan pasangan.
e. Kesamaan Nilai. Pasangan yang dapat menyesuaikan diri dengan baik
mereka mempunyai nilai yang kurang lebih sama dibandingkan
dengan suami atau istri yang memiliki penyesuaian diri yang buruk
dengan pasangannya, karena latar belakang yang sama akan
menghasilkan nilai yang sama pula.
f. Konsep Peran. Setiap pasangan mempunyai konsep yang pasti
mengenai bagaimana seharusnya peran seorang suami dan istri, atau
setiap orang mengharapkan pasangannya memainkan peran. Jika
harapan terhadap peran tidak terpenuhi, akan mengakibatkan konflik
dan penyesuaian diri yang buruk.
g. Perubahan dalam Pola hidup. Penyesuaian terhadap pasangan berarti
mengorganisasikan pola kehidupan, mengubah persahabatan dan
kegiatan-kegiatan sosial, serta mengubah persyaratan pekerjaan,
terutama bagi seorang istri. Penyesuaian- penyesuaian ini sering kali
diikuti oleh konflik emosional

2. Penyesuaian seksual

Penyesuaian ini merupakan salah satu penyesuaian yang paling sulit


dalam pernikahan dan salah satu sebab yang mengakibatkan pertengkaran
dan pernikahan yang tidak bahagia apabila kesepakatan mengenai hal ini
tidak dapat tercapai dengan memuaskan. Biasanya pasangan tersebut
belum mempunyai cukup pengalaman awal yang berhubungan dengan

6
penyesuaian ini dan cenderung kurang mampu untuk mengendalikan
emosi.

Penyesuaian seksual dapat dinilai dari pengungkapan perasaan cinta


serta tercapainya kepuasan dalam berhubungan seks. Istri mampu
menyalurkan hasrat seksualnya secara fisik dan emosi, ada komunikasi
yang baik antara suami istri dalam melakukan hubungan seks dan tidak
adanya paksaan dalam melakukan hubungan seks.

Unsur-unsur yang mendukung dalam penyesuaian seksual antara lain


perilaku terhadap seks, pengalaman seks masa lalu, dorongan seksual,
pengalaman seks marital awal, sikap terhadap penggunaan alat
kontrasepsi, dan efek vasektomi.

3. Penyesuaian keuangan

Adanya uang dan kurangnya uang memiliki pengaruh yang besar


terhadap penyesuaian pasangan suami istri dalam pernikahan. Banyak istri
yang tersinggung karena dianggap tidak mampu mengendalikan uang yang
digunakan untuk melangsungkan hidup keluarga.

Sedangkan suami juga merasa sulit untuk menyesuaikan diri dengan


keuangan, terutama jika istrinya bekerja setelah mereka menikah dan
terpaksa berhenti bekerja ketika anak mereka lahir, bukan hanya
pendapatan mereka berkurang, tetapi suami harus mampu menutupi semua
pengeluaran dengan pendapatannya.

Penyesuaian keuangan diukur dari bagaimana pengelolaan keuangan


keluarga dan kemampuan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Unsur-
unsur yang terkait dengan penyesuaian keuangan yaitu situasi keuangan
pada awal perkawinan dan penggabungan pendapatan suami istri.

4. Penyesuaian pihak keluarga

Dengan pernikahan, orang dewasa secara otomatis akan memperoleh


anggota keluarga baru, mereka adalah anggota keluarga pasangan dengan
usia, pendidikan, budaya dan latar belakang yang berbeda-beda. Suami

7
istri harus mempelajari dan menyesuaikan diri bila tidak ingin memiliki
hubungan yang tegang dengan sanak saudara mereka.

Masalah hubungan dengan pihak keluarga pasangan akan menjadi


serius selama tahun-tahun awal pernikahan dan merupakan salah satu
penyebab utama perceraian.

Penyesuaian ini dapat dinilai dari hubungan dengan mertua, ipar dan
keluarga besar pasangan yang meliputi penerimaan, menghormati dan
menghargai keberadaan keluarga pasangan.

2.1.2. Faktor Yang Mempengaruhi Penyesuaian Diri Dalam


Pernikahan
Menurut Hurlock (1980) beberapa faktor yang dapat mempengaruhi
penyesuaian diri dalam perkawinan, yaitu:

1. Menjadi Orang tua

Pada masa ini, suami istri akan mengalami stres atau ketegangan
apabila anak pertama lahir pada tahun pertama perkawinan, sebelum
pasangan suami istri memiliki waktu cukup untuk melakukan penyesuaian
satu sama lain atau untuk mengatur keuangannya dalam kondisi
memuaskan.

2. Kondisi Keuangan

Harapan yang tidak realistis mengenai biaya hidup membuat pasangan


suami istri mengalami kesulitan dalam penyesuaian perkawinan karena
harapan mereka untuk memiliki barang-barang yang diinginkan dan
dianggap penting juga menjadi tidak realistis.

3. Harapan Perkawinan

Harapan perkawinan yang tidak realistis juga mempengaruhi


penyesuaian dalam perkawinan karena sering kali pasangan muda kurang
menyadari berbagai masalah dan tanggung jawab yang harus diembannya.

8
4. Jumlah Anak

Apabila suami istri setuju mengenai jumlah anak yang ideal dan
mereka memiliki anak sebanyak yang mereka harapkan maka proses
penyesuaian perkawinan akan jauh lebih baik.

5. Posisi dalam Keluarga

Faktor ini termasuk penting karena hal ini akan menjadikan individu
untuk belajar memainkan peran tertentu yang dapat dimanfaatkan dalam
situasi perkawinan. Semakin mirip situasi baru dengan situasi lama, maka
akan semakin baik pula penyesuaian perkawinan mereka.

6. Hubungan dengan Keluarga Pasangan

Hubungan yang baik dengan keluarga pasangan sangat penting dan


besar pengaruhnya pada proses penyesuaian perkawinan.

Dari faktor-faktor yang dikemukakan diatas dapat ditarik kesimpulan


bahwa harapan terhadap perkawinan, kondisi keuangan, jumlah anak dan
masa menjadi orang tua dapat mempengaruhi penyesuaian diri individu
dalam perkawinannya disamping faktor lainnya seperti posisi dalam
keluarga dan hubungan dengan keluarga pasangan

2.1.3. Kepuasan dalam Pernikahan


Kepuasan perkawinan dapat tercapai apabila hasrat atau keinginan
yang sesuai dengan yang diharapkan dapat tercapai. Berikut adalah faktor-
faktor yang dapat mempengaruhi kepuasan dalam perkawinan

1. Komunikasi

Untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan, kemampuan dalam


berkomunikasi yang bersifat dua arah dan seimbang sangat diperlukan
dalam perkawinan, oleh karena itu komunikasi tersebut harus selalu dibina
sehingga apapun yang dialami oleh suami atau istri dapat diketahui
pasangannya (Stimet & Defrain dalam Lailatushifah, 2003).

2. Perilaku Asertif

9
Perilaku asertif mencakup kemampuan individu untuk
mengungkapkan pendapat, pikiran dan keinginan serta aspirasi. Individu
yang mampu berperilaku secara asertif dalam perkawinannya dapat lebih
mudah mencapai kepuasan dalam perkawinan dibandingkan dengan
individu yang kurang mampu berperilaku asertif (Leibo, 2004).

3. Penyesuaian Perkawinan

Penyesuaian perkawinan banyak dikaitkan dengan kepuasan dalam


perkawinan. Individu yang merasa puas dengan perkawinannya dikatakan
memiliki penyesuaian perkawinan yang baik, sedangkan individu yang
merasa tidak puas dengan perkawinannya dikatakan memiliki penyesuaian
perkawinan yang buruk (Dyer dalam Wahyuningsih, 2005).

4. Kecerdasan Emosional

Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa kecerdasan emosional


berkaitan dengan kepuasan dalam perkawinan. Individu dengan
kecerdasan emosional yang baik akan lebih mampu mencapai kepuasan
dalam perkawinan (Wahyuningsih, 2005).

5. Kesadaran Akan Peran Gender

Untuk mencapai kepuasan dalam perkawinan diperlukan kesadaran


akan peran gender agar relasi antara suami istri dapat seimbang dan dapat
menjalin hubungan sebagai mitra sejajar. Masing-masing pihak akan
memberikan kontribusi sesuai yang dibutuhkan sehingga permasalahan
dalam keluarga dapat diselesaikan dan hubungan suami istri terasa lebih
menyenangkan dan memuaskan (Stefani, 2000)

6. Kesehatan

Walgito (1984) menjelaskan bahwa dengan kesehatan yang baik,


maka individu juga akan dapat menjalankan perannya dengan baik, dan
bila individu dapat menjalankan perannya dengan baik maka penyesuaian

10
dirinya akan semakin baik sehingga kepuasan dalam perkawinan dapat
tercapai.

Dari faktor-faktor yang dikemukakan diatas dapat diambil kesimpulan


bahwa kepuasan dalam perkawinan dapat dipengaruhi oleh komunikasi,
perilaku asertif, penyesuaian perkawinan, kecerdasan emosional,
kesadaran akan peran gender dan kesehatan.

2.2. Parenting atau Pengasuhan Anak


Secara Etimologi Pengasuhan berasal dari kata “asuh” artinya memimpin,
mengelola, membimbing. Pengasuh berarti orang yang melaksanakan tugas
memimpin, mengelola atau membimbing. Sedangkan dalam bahasan kali ini,
Pengasuhan yang dimaksud ialah mengasuh anak. Mengasuh anak maknanya
ialah mendidik dan memelihara anak, mengurus sandang, papan, pangan dan
keberhasilannya sejak awal dilahirkan sampai dewasa.

Pengasuhan/Parenting adalah segala tindakan yang menjadi bagian dalam


proses interaksi yang berlangsung terus-menerus dan mempengaruhi bukan
hanya bagi anak tapi juga bagi orang tua, yang dilakukan oleh orang dewasa
kepada anak-anak yang dilakukan sejak awal anak dilahirkan hingga dewasa
dalam rangka melindungi, merawat, mengajari, mendisiplinkan dan memberi
panduan.

Tujuannya adalah untuk memfasilitasi agar anak mampu bertanggung


jawab (mandiri) dan berkontribusi sebagai bagian dari masyarakat yang tidak
pernah lepas dalam melaksanakan nilai-nilainya sebagai hamba Allah (sesuai
dengan jaman dimana mereka akan hidup) dengan melibatkan tiga kunci
pengasuhan yaitu:

1. Upaya memenuhi kebutuhan anak untuk kesejahteraan jasmani, rohani,


sosial dan emosionalnya. Dan melindungi anak, melalui menghindarkan
dari potensi kecelakaan, bahaya atau pelecehan.
2. Memberikan aturan dan memastikan bahwa aturan terkontrol serta mampu
ditegakkan.

11
3. Mendukung anak, mampu mengembangkan potensi dalam dirinya.
Dimana, jika hal ini dilakukan dengan benar, maka anak-anak dalam
pengasuhan mampu menjadi generasi terbaik dan juga menjadi penyejuk
mata serta hati orang tua.

Jane B Brooks (penulis buku “The Process of Parenting”) juga


mendefinisikan pengasuhan sebagai sebuah proses yang merujuk pada
serangkaian aksi dan interaksi yang dilakukan orang tua untuk mendukung
perkembangan anak. Proses pengasuhan bukanlah sebuah hubungan satu arah
yang mana orang tua mempengaruhi anak saja, namun lebih dari itu,
pengasuhan merupakan proses interaksi antara orang tua dan anak yang
dipengaruhi oleh budaya dan kelembagaan sosial dimana anak dibesarkan.

Menurut Manurung (1995:53 dalam Agustiawati:2014), beberapa faktor


yang mempengaruhi dalam pola pengasuhan orang tua adalah :

1. Latar belakang pola pengasuhan orang tua, yang mana para orang tua
belajar dari metode pola pengasuhan yang pernah didapat dari orang tua
mereka sendiri.
2. Tingkat pendidikan orang tua, orang tua yang memiliki tingkat pendidikan
tinggi berbeda pola pengasuhannya dengan orang tua yang hanya memiliki
tingkat pendidikan yang rendah.
3. Status ekonomi serta pekerjaan orang tua Orang tua yang cenderung sibuk
dalam urusan pekerjaannya terkadang menjadi kurang memperhatikan
keadaan anak- anaknya. Keadaan ini mengakibatkan fungsi atau peran
menjadi “orang tua” diserahkan kepada pembantu, yang pada akhirnya
pola pengasuhan yang diterapkan pun sesuai dengan pengasuhan yang
diterapkan oleh pembantu.

2.2.1. Parenting Education bagi Orang Tua


Parenting adalah cara orang tua bertindak sebagai orang tua terhadap
anak-anaknya dimana mereka melakukan serangkaian usaha aktif, karena
keluarga merupakan lingkungan kehidupan yang dikenal anak untuk

12
pertama kalinya dan untuk seterusnya anak belajar didalam kehidupan
keluarga (Gunarsa, 1995:141). Ada berbagai istilah yang digunakan untuk
menyebut pendidikan orang tua, seperti school parenting, parenting club
dan parenting school. Minimnya sekolah yang menerapkan parenting
education karena dalam penerapannya kegiatan ini membutuhkan waktu,
sarana dan prasarana yang memadai.

Parenting Education (Pendidikan Parenting) adalah pendidikan yang


berupaya untuk meningkatkan atau memfasilitasi perilaku orang tua yang
akan mempengaruhi hasil positif perkembangan pada anak-anak mereka
(Bornstein Vol IV:2002:434). Parenting education menjelaskan berbagai
program pengajaran dan dukungan yang fokus pada keterampilan,
perasaan, dan tugas menjadi orang tua (Einzig, 1996, hal. 222 dalam
Bornstein Vol IV:2002:391). Parenting Education memiliki beberapa jenis
berdasarkan populasi targetnya, yaitu: Parenting education untuk semua
orang tua, orang tua baru yang memiliki risiko, orang tua dengan
pendapatan rendah, orang tua dengan pendidikan rendah, orang tua
melakukan perlakuan salah dan penelantaran anak, pencegahan kekerasan
pada anak-anak dengan Remaja disabilitas (Bornstein Vol.5:2002:392).

Selanjutnya, jenis parenting education berfokus pada orang tua yaitu:


pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan parenting. Akademik,
Ekonomi, defisiensi diri, Parenting education ini biasanya diberikan oleh
sebuah lembaga pendidikan formal dan non formal dengan fokus target,
jenis-jenis, metode-metode penyampaian parenting education yang
berbeda-beda. Metode penyampaian parenting education termasuk buku
pegangan dan manual; televisi, video, dan seri audio; kelas pengasuhan
dan perkembangan anak berbasis kelompok, program kunjungan rumah;
dan kombinasi di atas. Pendidikan Parenting dapat dirancang sebagai
program akses universal untuk semua orang tua atau ditargetkan untuk
orang tua yang diidentifikasi memiliki faktor risiko (Bornstein Vol
IV:2002:392).

13
Penerapan Teknik Parenting dalam Pengasuhan dalam Pengasuhan
dapat didefinisikan sebagai kegiatan yang memiliki tujuan agar dapat
membuat anak bertahan menghadapi tantangan dari lingkungan serta dapat
berkembang. Potensi anak dapat dikembangkan melalui serangkaian
stimulus psikososial dari orang tua dan lingkungan (Hoghoughi, 2004).

Selanjutnya Brooks (2001) menjabarkan beberapa tujuan dari


pengasuhan yaitu:

1. Menjamin kesehatan fisik (gizi dan kesehatan) dan kelangsungan


hidup anak
2. Menyiapkan agar anak menjadi orang dewasa yang mandiri dan
bertanggung jawab baik secara ekonomi, sosial dan moral.
3. Mendorong perilaku individu yang positif, termasuk cara penyesuaian
diri, kemampuan intelektual, dan kemampuan berinteraksi sosial
dengan orang lain agar dapat bertanggung jawab dan bermanfaat bagi
lingkungan sekitar.

Teknik Parenting mencakup orang-orang yang bekerja dalam


menanggapi tindakan anak dan orang-orang yang terjadi independen dari
tindakan anak dalam upaya untuk memfasilitasi perilaku yang dapat
diterima secara sosial.

Teknik Parenting yang dikemukakan Grusec ( dalam


Bornstein:2002:154) yaitu :

Disiplin

Setiap orang tua mengajarkan perilaku disiplin kepada anak-anaknya.


Namun, karakter anak-anak dan orang tua berbeda-beda sehingga setiap
orang tua mungkin menerapkan teknik disiplin yang berbeda-beda dan
dianggap paling efektif untuk menumbuhkan perilaku disiplin anak.

Monitoring atau pemantauan

Teknik ini dipakai orang tua untuk mengetahui kegiatan apa yang
dilakukan anak, bagaimana kondisi anak, dan dampaknya kepada anak.

14
Pada dasarnya monitoring memungkinkan orang tua untuk menerapkan
penguatan nilai dan memberikan hukuman yang tepat untuk melindungi
anak-anak mereka dari pengaruh-pengaruh negatif dari kelompok sebaya
yang menyimpang.

Reward atau penghargaan

Rewarding artinya memberikan sesuatu yang menyenangkan atau


ingin anak ketika ia berperilaku dalam cara yang diinginkan, sehingga
perilaku diulang dan menjadi kebiasaan.

Rutinitas Sehari-hari

pentingnya rutinitas sehari-hari sebagai sumber informasi tentang


nilai-nilai dan norma sosial. Orang tua yang ingin menanam prinsip
tentang kepedulian maka orang tua mencontohkan untuk membantu orang
lain,

Prearming

Yaitu teknik yang diterapkan oleh orang tua dalam hal berkomunikasi.
Orang tua mengkomunikasikan kepada anak apa yang baik untuk mereka
lakukan dan apa yang tidak baik atau dilarang untuk dilakukan serta
menjelaskan apa alasannya.

2.2.2. Dampak Parenting atau Pengasuhan Anak Menurut Para


Tokoh
1. Baumrind (1998)

Orang tua bertanggung jawab untuk berkontribusi secara substansial


untuk pengembangan karakter etika dan kompetensi pada anak-anak
mereka melalui upaya sosialisasi mereka (Baumrind, 1998 dalam
Bornstein:2002:12). Perspektif anak-anak membentuk pemahaman mereka
tentang upaya sosialisasi orang tua, tetapi perspektif mereka sangat
dipengaruhi oleh perspektif orang tua mereka, yang didasarkan pada
konteks budaya tertentu dan dipakai dalam perilaku orang dewasa.

15
• Karakter

Bagaimana mungkin orang tua memberikan kontribusi pada


pengembangan karakter berbudi luhur pada anak-anak mereka? Wilson
(1993 dalam Bornstein:2002:12) berpendapat bahwa anak-anak lahir
dengan sentimen moral keadilan, tugas, simpati, dan pengendalian diri.
Namun, mereka juga lahir egosentris, membutuhkan budidaya sentimen
moral mereka dengan mensosialisasikan agen. Sentimen moral anak
dibudidayakan paling efektif oleh pengasuh yang memiliki tujuan yang
jelas, menegakkan arahan mereka, dan menyampaikan pesan mereka
sederhana, tegas, dan konsisten.

• Kompetensi

Kompetensi adalah fungsi manusia yang efektif dalam pencapaian


keinginan dan tujuan dihargai. Tujuan yang dinilai dalam budaya adalah
mereka yang memungkinkan individu untuk mengejar tujuan pribadi
mereka dalam batasan yang dikenakan oleh umum dan dengan jaringan
sosial mereka (Bornstein:2002:14). Perkembangan kompetensi anak
adalah produk dari interaksi yang semakin kompleks dari anak
berkembang dengan sosialisasi orang dewasa-terutama orang tua yang,
selama tahun-tahun awal anak, memiliki kekuatan untuk mengendalikan
interaksi ini (Bornstein:2002:15).

2. Bell (1968)

Pengasuhan yang dilakukan orang tua pun dapat berdampak negatif bagi
anak. Bell (1968 dalam Bornestein:147) berpendapat bahwa banyak
hubungan didirikan antara orang tua dan anak hasil perilaku dapat dengan
mudah dijelaskan dalam hal efek anak-anak pada perilaku orang tua
mereka sebagai sebaliknya. Dengan demikian korelasi antara hukuman
koersif dan agresi dapat menunjukkan bahwa kekuatan orang tua
pernyataan menghasilkan agresi pada anak-anak, atau anak-anak yang
agresif menimbulkan disiplin yang kuat dari orang tua mereka, karena
itulah satu-satunya intervensi yang mereka akan merespons.

16
3. O’Connor&Scott (2007)

mengemukakan dampak pengasuhan terhadap perkembangan anak:

• Agresivitas

Kualitas hubungan orang tua-anak dikaitkan dengan perilaku agresif


dan kenakalan merupakan salah satu temuan yang paling banyak
dilaporkan dalam literatur. Agresi dan kenakalan telah didefinisikan dalam
berbagai cara, termasuk tindakan anti sosial selama periode pengamatan;
laporan guru yang agresif, perilaku mengganggu dalam laporan sekolah
dan orang tua dari perilaku yang sama di rumah; catatan kriminalitas
polisi; dan rekan melaporkan bahwa anak terlibat perkelahian atau menjadi
(bully) pengganggu. Masing-masing definisi yang agresi atau istilah yang
lebih umum 'eksternalisasi' perilaku berbeda, tapi ada sedikit keraguan
bahwa setiap berhubungan dengan kualitas hubungan orang tua dan anak
(O’Connor&Scott:2007) .

• Depresi, kecemasan dan masalah 'internalisasi'

Bukti yang mendukung hubungan antara kualitas hubungan orang tua-


anak dan depresi, kecemasan dan 'internalisasi' masalah lain (seperti
keluhan somatik dan penarikan sosial) hampir sama kuat dan sama kuat
seperti yang ditemukan untuk hasil eksternalisasi (O’Connor&Scott:2007).
Sama seperti dengan gejala eksternalisasi, ada bukti bahwa variasi individu
dalam internalisasi gejala tidak secara khusus terkait dengan dimensi
tunggal dari hubungan orang tua-anak. Kehangatan dan konflik keduanya
terkait dengan depresi dan kecemasan; Namun, pengaruh dari strategi
pengendalian umumnya ditemukan jauh lebih lemah.
(O’Connor&Scott:2007).

• Hasil kognitif dan pendidikan

Beberapa teori kognitif (Rogoff dan Lave, 1984) telah mengusulkan


bahwa hubungan orang tua-anak adalah konteks lingkungan penting yang
penataan atau 'scaffolding' kemampuan kognitif muncul anak berlangsung.
Orang tua mereka yang sensitif disetel untuk kemampuan kognitif anak

17
dapat diharapkan untuk menyediakan lingkungan yang optimal bagi anak
untuk belajar, yang dapat lebih didorong oleh motivasi anak sendiri. Pada
anak yang lebih tua dan remaja, orang tua juga berpikir untuk membentuk
aspirasi dan motivasi dengan bertindak sebagai model peran, memberikan
dan memilih peluang bagi anak-anak, dan menetapkan harapan dan
definisi yang sukses (Mortimer dan Kumka, 1982;. Bell et al, 1996 ;
Gutman dan Eccles, 1999;. Jodl et al, 2001 dalam O’Connor&Scott:2007).

• Hubungan kompetensi sosial dan teman sebaya

Hubungan antara hubungan orang tua dan rekan diyakini dimediasi


oleh kognisi sosial dan strategi perilaku belajar dari berinteraksi dengan
orang tua. Pendekatan terkait mengusulkan bahwa kapasitas sosial-
kognitif, seperti pemahaman emosional, perspektif taking dan regulasi
emosional, yang dikembangkan dalam konteks hubungan awal orang tua-
anak dan dilakukan ke depan untuk hubungan sosial kemudian, termasuk
mereka dengan teman sebaya (Parke et al. 1989; Dekovic dan Janssens,
1992; Dunn, 1992; Carson dan Parke, 1996 dalam (O’Connor&Scott:2007)
).

• Harga diri dan identitas

Salah satu bidang lebih lanjut dari pembangunan sosial-psikologis


yang telah mendapat perhatian dalam literatur orang tua dapat
digambarkan sebagai harga diri dan identitas. Hubungan orang tua-anak
akan memengaruhi apa yang beberapa peneliti sebut sebagai 'self-system'
(misalnya Cicchetti, 1988) telah menjadi fokus khusus dari teori
attachment. Internalisasi anak-anak dari pengalaman lampiran dipandang
sebagai membentuk cara mereka melihat orang lain dan mengharapkan
orang lain untuk bersikap terhadap mereka (O’Connor&Scott:2007).

18
BAB III
PENUTUP.

3.1. Kesimpulan
Pengetahuan pengasuhan anak sebaiknya dimiliki oleh orang tua agar
dapat mengasuh anak lebih baik dan menunjang pertumbuhan dan
perkembangan anak. Namun, pada kenyataannya tidak semua orang tua
memiliki pengetahuan dan keterampilan yang memadai mengenai pengasuhan
anak. Minimnya pengetahuan dan keterampilan orang tua mengenai
pengasuhan dapat menimbulkan perlakuan salah pada anak. Pengasuhan oleh
orang tua dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti lingkungan sosial dan fisik
tempat dimana keluarga itu tinggal, status ekonomi orang tua, dan model
pengasuhan yang didapatkan orang tua sebelumnya.

19
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Lintang Hapsari, (2009). Hubungan Antara Penyesuaian Diri Dalam
Perkawinan Dengan Kepuasan Dalam Perkawinan pada Wanita yang Bekerja.
Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma Fakultas Psikologi
Erlanti, M. S., Mulyana, N., & Wibowo, H. (2016). Teknik parenting dan
pengasuhan anak studi deskriptif penerapan teknik parenting di rumah
parenting yayasan cahaya insan pratama bandung. Prosiding Penelitian Dan
Pengabdian Kepada Masyarakat, 3(2).
Nasution, E. S. (2019). Penyesuaian Diri Dalam Perkawinan Pada Remaja Putri
Yang Menikah Di Usia Muda. Jurnal Psikologi Pendidikan Dan
Pengembangan SDM, 8(2), 68-80.

20

Anda mungkin juga menyukai