Anda di halaman 1dari 80

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

HUBUNGAN PEMBENTUKAN MASSA BIOFILM Streptococcus


mutans DENGAN POROSITAS PERMUKAAN GIGI SETELAH
DIINTERAKSIKAN DENGAN EKSTRAK ETANOL DAUN
KELOR (Moringa oleifera) SECARA IN VITRO

SKRIPSI

NUR RIZKA ALFIRA HUSNA


1813101010044

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
DESEMBER 2021
2

UNIVERSITAS SYIAH KUALA

HUBUNGAN PEMBENTUKAN MASSA BIOFILM Streptococcus


mutans DENGAN POROSITAS PERMUKAAN GIGI SETELAH
DIINTERAKSIKAN DENGAN EKSTRAK ETANOL DAUN
KELOR (Moringa oleifera) SECARA IN VITRO

SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Kedokteran Gigi

NUR RIZKA ALFIRA HUSNA


1813101010044

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI


FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
DARUSSALAM – BANDA ACEH
DESEMBER 2021

2
3

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS

Skripsi ini adalah hasil karya saya sendiri,


dan semua sumber baik yang dikutip maupun yang dirujuk
telah saya nyatakan dengan benar

Nama : Nur Rizka Alfira Husna


NIM : 1813101010044
Tanda Tangan :
Tanggal :

3
HALAMAN PERSETUJUAN

SKRIPSI DENGAN JUDUL:

HUBUNGAN PEMBENTUKAN MASSA BIOFILM Streptococcus


mutans DENGAN POROSITAS PERMUKAAN GIGI SETELAH
DIINTERAKSIKAN DENGAN EKSTRAK ETANOL DAUN
KELOR (Moringa oleifera) SECARA IN VITRO

Telah disetujui tanggal :

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. drg. Cut Soraya, M.Pd, Sp.KG drg. Sunnati, Sp.Perio


NIP. 19661228 199312 2 001 NIP. 19790621 200604 2 001

Mengetahui :

Dekan Fakultas Kedokteran Gigi


Universitas Syiah Kuala

Dr. drg. Cut Soraya, M.Pd, Sp.KG

4
NIP. 19661228 199312 2 001

HALAMAN PENGESAHAN

Nama : Nur Rizka Alfira Husna


NIM : 1813101010044
Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi
Judul Skripsi : Hubungan Pembentukan Massa Biofilm Streptococcus Mutans
dengan Porositas Permukaan Gigi Setelah Diinteraksikan dengan
Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa Oleifera) secara in vitro

Telah berhasil dipertahankan di hadapan Dewan Penguji dan diterima sebagai


bagian persyaratan yang diperlukan untuk memperoleh gelar Sarjana pada
Program Studi Pendidikan Gigi Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah
Kuala.

DEWAN PENGUJI

Pembimbing I : Dr. drg. Cut Soraya, M.Pd, Sp.KG ( )

Pembimbing II : drg. Sunnati, Sp.Perio ( )

Penguji I : drg. Maida Fitri, Sp.KG ( )

Penguji II : drg. Maulidia Indah Sari, Sp. KG ( )

Ditetapkan di : Banda Aceh

Tanggal : Desember 2021

5
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi penelitian ini. Penulisan skripsi
penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat untuk mencapai
gelar Sarjana Kedokteran Gigi pada Program Studi Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala. Penulis menyadari bahwa
tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak selama proses penyusunan
skripsi ini, sangatlah sulit bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Oleh
karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1) Dr. drg. Cut Soraya, M.Pd, Sp.KG selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Syiah Kuala sekaligus Dosen Pembimbing I yang selalu
membimbing, memberi masukan, mengarahkan, dan mendukung penulis
dalam penyusunan skripsi ini;
2) drg. Sunnati, Sp.Perio selaku Ketua Prodi Pendidikan Dokter Gigi
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala sekaligus Dosen
Pembimbing II yang telah membimbing, memberi masukan, dan
mengarahkan penulis dalam penyusunan skripsi ini;
3) drg. Maida Fitri, Sp.KG selaku dosen penguji I yang telah banyak
memberikan kritik, saran, dan dukungan moril yang berarti, sehingga
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
4) drg. Maulidia Indah Sari, Sp.KG selaku dosen penguji II yang telah
banyak memberikan kritik dan saran yang membangun sehingga
membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini;
5) drh. Santi Chismirina, M.Si selaku dosen wali yang telah memberikan
dukungan, motivasi, dan arahan kepada penulis sehingga penulis bisa
sampai di titik ini;
6) Seluruh dosen Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala yang
telah mendidik penulis selama menempuh pendidikan dokter gigi di
Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala;

6
7) Seluruh staf Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala yang telah
membantu penulis selama menempuh pendidikan dokter gigi di Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala;
8) Orangtua beserta seluruh keluarga tercinta yang selalu mendoakan dan
support sehingga penulis dapat sampai di titik ini. Terima kasih untuk
seluruh ridha, kasih sayang dan dukungan yang diberikan selama ini Umi
(Dr. Ir. Dzarnisa, M.Si), Ayah (Ir. Kamaruzzaman, M.Si), adik-adik (M.
Rizky Alfi Husni, Rizna Anisa Marzatilla dan M. Chairul Rizqullah) yang
sangat penulis sayangi;
9) Sahabat tersayang, Dahra Cantika Andiani, Faris Izzatur Rahman, Nada
Ariqah, Alya Fakhira, dan Nurul Islamidini yang selalu membantu,
menghibur, menyemangati, dan mendoakan sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi penelitian dan sampai di titik ini;
10) Rekan-rekan yang membantu menyelesaikan skripsi ini, Dinda Puspa,
Raihan Andriani, Cut Bunga Dara Phonna, Salsabila Latansa Nazaruddin,
dan Nyak Atifa Zaqny;
11) Dini Sharfina, rekan satu bimbingan skripsi yang telah memberikan
dukungan dan semangat pada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
12) Teman-teman seperjuangan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Syiah
Kuala Angkatan 2018, yang telah membantu dan mendukung penulis
dalam menyelesaikan skripsi ini.

Banda Aceh, Desember 2021

Penulis

7
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI

Sebagai sivitas akademik Universitas Syiah Kuala, saya yang bertanda tangan di
bawah ini:
Nama : Nur Rizka Alfira Husna
NIM : 1813101010044
Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi
Departemen : Konservasi
Fakultas : Kedokteran Gigi
Jenis karya : Skripsi

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada


Universitas Syiah Kuala Hak Bebas Royalti Non-eksklusif (Non-exclusive
Royalty-Free Right) atas karya ilmiah saya yang berjudul : Hubungan
Pembentukan Massa Biofilm Streptococcus Mutans dengan Porositas
Permukaan Gigi Setelah Diinteraksikan dengan Ekstrak Etanol Daun Kelor
(Moringa Oleifera) secara in vitro beserta perangkat yang ada (jika diperlukan).
Dengan Hak Bebas Royalti Noneksklusif ini Universitas Syiah Kuala berhak
menyimpan, mengalihmedia/formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data
(database), merawat, dan mempublikasikan karya ilmiah/skripsi saya untuk
kepentingan akademis selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis/
pencipta dan sebagai pemilik Hak Cipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya secara sadar tanpa paksaan
dari pihak manapun.

Dibuat di : Banda Aceh


Pada tanggal : Desember 2021

Yang menyatakan,

(Nur Rizka Alfira Husna)

8
ABSTRAK

Nama : Nur Rizka Alfira Husna


Program Studi : Pendidikan Dokter Gigi
Judul Skripsi : Hubungan Pembentukan Massa Biofilm Streptococcus mutans
dengan Porositas Permukaan Gigi Setelah Diinteraksikan
dengan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa Oleifera) secara in vitro

Karies atau gigi berlubang adalah penyakit paling umum pada rongga mulut yang
disebabkan oleh aktivitas metabolisme bakteri kariogenik terutama bakteri
Streptococcus mutans pada biofilm di permukaan gigi. Daun kelor (Moringa
oleifera) diketahui mampu menghambat pembentukan biofilm Streptococcus
mutans. Tujuan penelitian ini untuk mengevaluasi hubungan ekstrak etanol daun
kelor terhadap pembentukan massa biofilm dan pembentukan porositas pada gigi
oleh bakteri Streptococcus mutans. Penelitian ini menggunakan 10 sampel
fragmen gigi bebas karies yang terbagi ke dalam 3 kelompok uji yakni ekstrak
6,25%, 12,5%, dan 25%, serta kelompok kontrol negatif menggunakan aquades
dan kelompok kontrol positif menggunakan chlorhexidine dengan masa inkubasi
24 jam dan 48 jam. Sampel diperiksa quorum sensing dan kemudian diperiksa
melalui Scanning Electron Microscopy (SEM) dan dianalisis menggunakan
ImageJ untuk melihat massa biofiilm Streptococcus mutans dan porositas pada
permukaan gigi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembentukan massa biofilm
Streptococcus mutans memiliki hubungan dengan porositas pada permukaan gigi
(p=0,001;p<0,05) (nilai koefisien=0,586) dan konsentrasi ekstrak daun kelor
dengan (p=0,038;p<0,05) (nilai koefisiensi=0,381) serta tidak memiliki hubungan
dengan waktu inkubasi (p=0,064;p>0,05), sedangkan porositas tidak memiliki
hubungan dengan konsentrasi ekstrak daun kelor (p=0,192;p>0,05) dan waktu
inkubasi (p=0,102;p>0,05). Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa
pembentukan massa biofilm Streptococcus mutans memiliki hubungan dengan
porositas pada permukaan gigi dengan tingkat hubungan kuat dan konsentrasi
ekstrak daun kelor dengan tingkat hubungan cukup serta tidak memiliki hubungan
dengan waktu inkubasi, sedangkan porositas tidak memiliki hubungan dengan
konsentrasi ekstrak daun kelor dan waktu inkubasi.

Kata kunci: Ekstrak Daun Kelor (Moringa oleifera), Massa Biofilm


Streptococcus mutans, Porositas Permukaan Gigi

9
ABSTRACT

Name : Nur Rizka Alfira Husna


Programme Study : Dentistry
Title : The Relationship between Biofilm Streptococcus mutans
Mass Formation and Tooth Surface Porosity subsequent to
Interacting with Moringa Leaf (Moringa Oleifera) Ethanol
Extract in vitro

Caries or cavities are the most common diseases in the oral cavity and are caused
by the metabolic activity of cariogenic bacteria, especially Streptococcus
mutans bacteria on biofilms on the surface of the teeth. Moringa has known for its
ability to inhibit the formation of biofilm Streptococcus mutans. The purpose of
this study was to evaluate the relationship between moringa leaf ethanol extract to
the mass formation of biofilms and the formation of porosity in teeth
by Streptococcus mutans bacteria. The study was conducted by examining ten
samples of caries-free tooth fragments divided into three test groups: extracts of
6.25%, 12.5%, and 25%, and two control groups: a negative control group using
equates and a positive control group using chlorhexidine. The incubation period is
24 hours and 48 hours. Then quorum sensing was checked, following by
examined through Scanning Electron Microscopy (SEM) and analized using
ImageJ to observe the biofilm mass of Streptococcus mutans and porosity on the
tooth surface. The results showed that the mass formation of
biofilm Streptococcus mutans has a relationship with porosity on the tooth surface
(p=0.001;p<0.05) (coefficient=0.586) and concentration of moringa leaf extract
with (p=0.038;p<0.05) (coefficient=0.381) and has no association with incubation
time (p=0.064;p>0.05), while the porosity has no correlation with moringa leaf
extract concentration (p=0.192;p>0.05) and incubation time (p=0.102;p>0.05).
From this study, it can be concluded that the mass formation of
biofilm Streptococcus mutans has a relationship with porosity on the surface of
the teeth with a strong relationship level and concentration of moringa leaf extract
with sufficient relationship level and has no relationship with incubation time,
while the porosity has no relationship with moringa leaf extract concentration and
incubation time.

Keyword: Moringa Leaves Extract (Moringa oleifera), biofilm Mass of


Streptococcus Mutans, Porocity of Teeth Surface
DAFTAR ISI

Hal
HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS................................................iii
HALAMAN PERSETUJUAN.............................................................................iv
HALAMAN PENGESAHAN................................................................................v
KATA PENGANTAR...........................................................................................vi
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI SKRIPSI......viii
ABSTRAK.............................................................................................................ix
ABSTRACT............................................................................................................x

10
DAFTAR ISI..........................................................................................................xi
DAFTAR GAMBAR..........................................................................................xiii
DAFTAR TABEL...............................................................................................xiv
DAFTAR LAMPIRAN........................................................................................xv
DAFTAR ISTILAH............................................................................................xvi

BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................................1
1.1. Latar Belakang Penelitian......................................................................1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian.................................................................2
1.3. Tujuan Penelitian.....................................................................................2
1.4. Manfaat Penelitian...................................................................................3

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA...........................................................................4


2.1. Streptococcus mutans..............................................................................4
2.1.1. Taksonomi Streptococcus mutans...........................................4
2.1.2. Morfologi Streptococcus mutans............................................5
2.1.3. Virulensi Streptococcus mutans..............................................5
2.1.4. Pembentukan Biofilm oleh Streptococcus mutans..................6
2.1.5. Patogenesis Karies...................................................................8
2.1.6. Tindakan Preventif Karies.....................................................10
2.2. Kelor (Moringa oleifera).......................................................................11
2.2.1. Taksonomi Kelor (Moringa oleifera)....................................11
2.2.2. Morfologi Kelor (Moringa oleifera).....................................12
2.2.3. Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera)..................12
2.2.4. Kandungan Antibakteri Daun Kelor (Moringa oleifera)......13
2.2.5. Efek Daya Hambat Biofilm pada Streptococcus mutans.......14
2.3. Pembuatan Ekstrak................................................................................15
2.3.1. Cara Dingin...........................................................................16
2.3.2. Cara Panas.............................................................................16
2.4. Scanning Electron Microscopy (SEM)...............................................17
2.5. Aplikasi ImageJ.....................................................................................17
2.6. Kerangka Teori......................................................................................17

BAB 3 HIPOTESIS DAN KERANGKA KONSEP........................................19


3.1. Kerangka Konsep..................................................................................19
3.2. Definisi Operasional.............................................................................19
3.3. Hipotesis.................................................................................................20
BAB 4 METODE PENELTIAN.......................................................................21
4.1. Jenis dan Desain Penelitian..................................................................21
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian...............................................................21
4.3. Spesimen Penelitian..............................................................................21
4.3.1. Spesimen Inklusi...................................................................21
4.4. Alat dan Bahan Penelitan.....................................................................21
4.4.1. Alat Penelitian.......................................................................21
4.4.2. Bahan.....................................................................................23
4.5. Prosedur Kerja.......................................................................................23
4.5.1. Sterilisasi Alat.......................................................................23

11
4.5.2. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa
oleifera) dengan Teknik Maserasi.........................................24
5.4.3. Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS)
Ekstrak Etanol Daun Moringa oleifera.................................25
4.5.4. Kultur Bakteri Streptococcus mutans....................................25
4.5.5. Suspensi dan Penyetaraan Bakteri Streptococcus mutans....25
4.5.6. Persiapan Spesimen Gigi.......................................................25
4.5.7. Penginteraksian Spesimen Gigi dengan Bakteri
Streptococcus mutans dan Ekstrak Etanol Daun Moringa
oleifera..................................................................................25
4.5.8. Pewarnaan dan Pemeriksaan Quorum Sensing......................26
4.5.9. Pemeriksaan Gambaran Biofilm Streptococcus mutans
Yang Diinteraksikan dengan Ekstrak Etanol Daun
Moringa oleifera Menggunakan SEM..................................26
4.5.10.Pemeriksaan Gambaran Area Porositas Permukaan Gigi
Oleh Bakteri Streptococcus mutans Yang Diinteraksikan
dengan Ekstrak Etanol Daun Moringa oleifera
Menggunakan SEM...............................................................26
4.6. Pengelolaan limbah...............................................................................27
4.7. Analisis Data..........................................................................................27
4.8. Alur Penelitian.......................................................................................28

BAB 5 HASIL PENELITIAN...........................................................................29


5.1. Hasil Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS)
Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera)................................29
5.2. Biofilm Streptococcus mutans pada Permukaan Enamel Gigi........29
5.3. Porositas pada Enamel Gigi.................................................................31
5.4. Analisis Hubungan Terbentuknya Massa Biofilm S. mutans
dengan Porositas pada Permukaan Gigi Setelah Diinteraksikan
dengan Ekstrak Etanol daun Kelor (Moringa oleifera)....................33

BAB 6 PEMBAHASAN.....................................................................................34

BAB 7 KESIMPULAN DAN SARAN..............................................................37


7.1. Kesimpulan.............................................................................................37
7.2. Saran.......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................38
DAFTAR GAMBAR

Hal
Gambar 2.1. Daun Kelor dan Batang Kelor..........................................................12
Gambar 2.2. Kerangka Teori.................................................................................18
Gambar 3.1. Skema Kerangka konsep..................................................................19
Gambar 4.1. Rumus Konsentrasi Pengenceran`....................................................24
Gambar 4.2. Rumus Konsentrasi...........................................................................24
Gambar 4.3. Alur Penelitian..................................................................................28
Gambar 5.1. Hasil Pemeriksaan pada SEM...........................................................30

12
Gambarl5.2. Grafik Area Massa Biofilm Streptococcus Mutans Setelah
Diinteraksikan dengan Eksrak Etanol Daun Kelor (Moringa
oleifera)............................................................................................31
Gambar 5.3. Hasil Pemeriksaan Porositas pada SEM...........................................32
Gambar 5.4. Grafik Persentase Area Porositas Pada Permukaan Enamel Gigi... .32

13
DAFTAR TABEL

Hal
Tabel 2.1. Kandungan Nutrisi Tabel Daun Kelor (Moringa oleifera)..................13
Tabel 3.1. Definisi Operasional.............................................................................19
Tabel 5.1. Hasil Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS) Ekstrak
Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera)................................................29
Tabel 5.2. Hasil pengukuran area Quorum Sensing Streptococcus mutans..........30
Tabel 5.3. Uji Korelasi Non-Parametrik Spearman..............................................33

14
DAFTAR LAMPIRAN

Hal
Lampiran 1. Surat Laik Etik..................................................................................44
Lampiran 2. Surat Izin Penelitian..........................................................................45
Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian.....................................................................48
Lampiran 4. Hasil Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS).........51
Lampiran 5. Hasil Pemeriksaan Quorum Sensing.................................................53
Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan SEM...................................................................55
Lampiran 7. Hasil Analisis SPSS..........................................................................57
Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian....................................................................61

15
DAFTAR ISTILAH

Adhesin Surface Protein Association P1 (SpaP)


Faktor Virulensi pada bakteri Streptococcus mutans untuk melakukan
adhesi sucrose independent pada pelikel gigi.

Asidogenik
Kemampuan virulensi bakteri dalam menghasilkan asam dari metabolisme
karbohidrat dalam kondisi aeorob.

Asidurik
Kemampuan virulensi bakteri dalam bertahan hidup pada kondisi
lingkungan yang asam.

Biofilm
Kumpulan bakteri yang melakukan kolonisasi pada area tubuh tertentu dan
saling berikatan di dalam matriks ekstraseluler dari eksopolimer (sakarida maupun
protein) dan DNA. Pada gigi, istilah dental biofilm dulunya dikenal dengan dental
plak.

Extracellular Polymeric Substances (EPS)


Tersusun atas eksopolisakarida, protein, lipid, fibrosa, dan asam nukleat
(eDNA) membentuk matriks yang terikat pada permukaan abiotik maupun biotik.
Berfungsi sebagai pengikat bakteri serta sumber nutrisi bagi bakteri.

Glucan Binding Protein


Faktor virulensi bakteri Streptococcus mutans dalam mengikat glukan
yang terdapat pada matriks esktraseluler. Berfungsi untuk adhesi sucrose
dependent pada bakteri Streptococcus mutans.

Karies
Infeksi bakteri yang menyebabkan demineralisasi pada jaringan gigi dan
dapat mengakibatkan destruksi pada enamel, dentin, dan sementum.

16
Glucosyltransferase
Salah satu faktor virulensi bakteri Streptococcus mutans dalam
memproduksi extracellular polymeric substances (EPS) yang menyusun matriks
ekstraseluler.

Matriks Ekstraseluler
Matriks yang terdiri atas susunan extracellular polymeric substances
(EPS) yang berpengaruh terhadap siklus biofilm dan virulensi.

Scanning Scanning Electron Microscopy (SEM)


SEM merupakan metode analisis yang menggunakan sinar elektron untuk
mengetahui mikrostuktur meliputi fitur topografis, morfologi, stuktur kristal,
hingga perbedaan komposisi suatu material.

Quorum Sensing
Sistem persepsi komunikasi pada sel mikroba yang bergantung pada
populasi bakteri

17
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Penelitian


Karies atau gigi berlubang adalah penyakit paling umum pada rongga
mulut anak maupun orang dewasa.1,2 Di Indonesia, Riskesdas mencatat terjadinya
kenaikan prevalensi karies dari 43,4% pada tahun 2007 menjadi 53,2% pada tahun
2013.3 Karies ini menimbulkan masalah bagi masyarakat modern karena karies
menyebabkan sakit gigi bahkan kehilangan gigi.2,4
Karies ini disebabkan oleh aktivitas bakteri kariogenik terutama bakteri
Streptococcus mutans (S. mutans).5,6 Aktivitas bakteri S. mutans dalam
memfermentasi karbohidrat akan menghasilkan asam organik dan memicu
larutnya mineral kalsium hidroksiapatit gigi sehingga terjadi demineralisasi gigi. 2
Pada tahap awal terjadinya karies, asam ini akan berdifusi ke dalam saluran
mikroskopis pada enamel rods di enamel dan membentuk lesi subsurface primer.7
Proses karies ini sendiri tidak terlepas dari kondisi permukaan gigi yang
dipenuhi pelikel saliva.8 Pada pelikel ini, bakteri akan melakukan perlekatan
karena permukaan bakteri, khususnya streptococcus, mengandung adhesin.9
Bakteri S. mutans yang melekat akan melepaskan enzim glukosyltransferase pada
matriks ekstraseluler pelikel yang memicu produksi glukan sehingga kolonisasi
dan pembentukan biofilm oleh bakteri S. mutans pun berlangsung.8 Melalui
virulensi glucan-binding protein A, bakteri S. mutans membantu proses
pembetukan biofilm dengan memproduksi polisakarida yang berpengaruh
terhadap matriks ekstraseluler.6,9 Lalu, bakteri ini akan memfermentasi
karbohidrat dan menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat yang
menyebakan perubahan ph menjadi 5,5. 6,9
Berbagai upaya untuk mencegah terjadinya karies ini telah dilakukan
mulai dari kontrol plak, pengaturan diet, hingga penggunaan agen kimia seperti
flouride, dan chlorhexidine.10,11 Namun, Cummin et al (2013) berpendapat bahwa
penggunaan agen kimia ini tidak begitu efektif. 12 Hal ini dikarenakan flouride
tidak mampu bekerja langsung terhadap biofilm kariogenik dan dapat

1 Universitas Syiah Kuala


2

menyebabkan flourosis jika dikonsumsi berlebihan, sedangkan chlorhexidine


meninggalkan stanning dan memicu formasi kalkulus.10,12,13
Saat ini, dalam era resistensi bakteri terhadap zat kimia antimikrobial,
penggunaan alternatif dari tumbuhan mulai diperhitungkan. 14 Hal ini dikarena
tanaman mengandung zat fitokimia.14 Indonesia merupakan salah satu negara
dengan dengan keanekaragaman flora di dunia, salah satu diantara tanaman herbal
tersebut adalah kelor.15 Daun kelor mengandung berbagai zat aktif sehingga dalam
dunia medis daun kelor dikenal dengan sebutan “miracle tree”.16
Kelor memiliki berbagai manfaat.16 Dalam kedokteran gigi, daun kelor
dapat menjaga kesehatan gigi dan mulut. 16 Hal ini dikarenakan daun kelor
memiliki kandungan antioksidan flavonoid, alkanoid, asam lemak, serta asam
fenolik yang tinggi.17 Berdasarkan penelitian Rao et al (2010) ekstrak daun kelor
konsentrasi 5 µg/ml menghambat pembentukan biofilm bakteri S. mutans.18
Penelitian Su-Kyung Jwa (2019) juga menyatakan bahwa bubuk daun kelor
(Moringa oleifera) yang direndam dalam etanol konsentrasi 70% dapat
menghambat pembentukan biofilm dengan menganggu fungsi glukan bakteri S.
mutans.17 Di samping itu, daun kelor juga mengandung kalsium sebanyak 1.000-
4.000 mg serta fosfor yang sangat esensial dalam remineralisasi gigi.19,20
Berdasarkan berbagai kandungan pada daun Moringa oleifera, penulis
tertarik untuk mengkaji efektivas hubungan pembentukan massa biofilm S. mutans
dan porositas permukaan gigi setelah diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun
Moringa oleifera secara in-vitro dengan berbagai konsentrasi, yakni 25%,12,5%,
dan 6,25%.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian


1.2.1. Bagaimana hubungan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera)
terhadap pembentukan massa biofilm oleh bakteri Streptococcus mutans?

1.2.2. Bagaimana hubungan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera)


terhadap penurunan porositas pada gigi?

1.3. Tujuan Penelitian


1.3.1. Mengevaluasi hubungan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera)
terhadap pembentukan massa biofilm oleh bakteri Streptococcus mutans.

Universitas Syiah Kuala


3

1.3.2. Mengevaluasi hubungan ekstrak etanol daun kelor (Moringa Oleifera)


terhadap pembentukan porositas pada gigi oleh bakteri Streptococcus
mutans.

1.4. Manfaat Penelitian


1.4.1. Bagi peneliti
Untuk menambah wawasan dan pengetahuan peneliti mengenai hubungan
ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) terhadap pembentukan massa
biofilm dan porositas gigi oleh bakteri Streptococcus mutans.
1.4.2. Bagi Instansi Pendidikan
Penelitian ini dapat memberikan informasi mengenai alternatif zat
antibakteri Streptococcus mutans dan sebagai sumber rujukan untuk
penelitian berikutnya.
1.4.3. Bagi Masyarakat
Penelitian ini dapat menjadi sumber informasi mengenai alternatif bahan
preventif karies.

Universitas Syiah Kuala


4

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Streptococcus mutans


Streptococcus merupakan genus bakteri yang dapat ditemui hampir pada
seluruh tubuh manusia dan umumnya terdapat pada rongga mulut dan saluran
pernapasan. Di rongga mulut, bakteri streptococcus berperan penting dalam
menyebabkan karies pada gigi, terutama spesies Streptococcus mutans (S.
mutans). Bakteri S. mutans ditemukan pertama kali pada tahun 1924 oleh J.
Clarke pada lesi karies. Pada awal penemuannya, J. Clarke mengira bahwa bakteri
berbentuk oval ini merupakan varian mutasi dari bakteri streptococcus. Baru pada
akhir 1950, bakteri ini mulai mendapat perhatian dari peneliti dan pada tahun
1960-an bakteri ini mulai diuji ke binatang laboratorium untuk melihat bagaimana
peranan bakteri S. mutans dalam terjadinya karies.21 Berdasarkan penelitian,
diketahui bahwa bakteri S. mutans ini dapat melakukan fermentasi terhadap
karbohidrat, menghasilkan produk sampingan berupa asam laktat yang dapat
menurunkan PH mulut sehingga menyebabkan demineralisasi gigi sehingga
terjadi karies.21,22

2.1.1. Taksonomi Streptococcus mutans


Pada mulanya, pembagian spesies pada streptococcus ini didasarkan pada
kemampuan hemolisis bakteri ini. Akan tetapi, semakin banyaknya jenis baru
yang ditemukan, pembagian berdasarkan hemolisis ini menjadi tidak cukup akurat
dan diperlukan klasifikasi baru. Klasifikasi bakteri streptococcus terbaru saat ini
dilakukan berdasarkan pendekatan pada hubungan filogenetik RNA bakteri. Grup
streptococcus yang awalnya hanya terdiri dari tujuh kelompok besar berdasarkan
kemampuan fermentasi, panjang rantai, serta pertumbuhan pada gelatin, kini
bertambah menjadi delapan kelompok, yakni mitis, sanguinis, anginosus,
salivarius, downei, mutans, pyogenic, dan bovis.21
Adapun taksonomi S. mutans sebagai berikut: 21
Kingdom : Monera
Divisi : Fitmicutes
Kelas : Bacilli

Universitas Syiah Kuala


5

Ordo : Lactobacillales
Famili : Streptococcaceae
Marga : Streptococcus
Sub Marga : Mutans
Spesies : Streptococcus mutans

2.1.2. Morfologi Streptococcus mutans


Bakteri Streptococcus mutans (S. mutans) ini merupakan bakteri gram
positif, fakultatif anaerobik, berbentuk oval dan memiliki permukaan
bergranular.21,23,24 Koloni bakteri ini transparan, menyerupai ground glass dengan
ada atau tidaknya tetesan matriks ekstraseluler polisakarida. Morfologi dapat ini
dilihat melalui kultur bakteri pada media kultur SB-20M.23

2.1.3. Virulensi Streptococcus mutans


Streptococcus mutans (S. mutans) merupakan anggota dari subdivisi
filogenetik mutans, satu dari delapan kelompok pembagian genus streptococcus
berdasarkan filogenetik.25,21 S. mutans ini merupakan patogen utama dalam proses
terjadinya karies pada gigi.26 Hal ini dikarenakan S. mutans memiliki virulensi
khusus dalam pembentukan biofilm dengan tiga virulensi utama yakni asidurik,
asidogenik, dan adhesin.25
Asidogenik merupakan kemampuan bakteri dalam menghasilkan asam
dari metabolisme karbohidrat dalam kondisi aeorob. S. mutans merupakan bakteri
asidogenik paling berpengaruh di dalam rongga mulut. Hal ini disebabkan oleh
kemampuan bakteri S. mutans dalam membawa dan memecah karbohidrat.
Pemecahan karbohidrat yang dilakukan selama proses fermentasi ini
memanfaatkan enzim lactate dehidrogenase sehingga S. mutans dapat
menghasilkan produk akhir metabolisme berapa asam laktat, terutama saat
konsentrasi karbohidrat sangat tinggi.25,27
S. mutans juga bersifat asidurik. Asidurik ini merupakan kemampuan
bakteri dalam bertahan hidup pada kondisi lingkungan yang asam. Kondisi asam
pada rongga mulut terjadi sesaat setelah mengonsumsi makanan berkarbohidrat.
Ketika manusia mengonsumsi makanan yang mengandung gula, PH dalam rongga
mulut akan turun hingga mencapai PH 4.25 Pada kondisi PH yang cenderung tidak

Universitas Syiah Kuala


6

menguntungkan bagi bakteri lain, bakteri S. mutans dapat bertahan hidup dengan
mengandalkan enzim F-Type ATPase yang berfungsi mempertahankan hemostatis
intreaseluler.28 F-Type ATPase ini mampu membawa proton keluar dari dalam sel
sehingga kondisi sel dalam PH sitoplasmik tetap alkali meskipun kondisi
ekstraseluler sel sangat asam.25
Sedangkan virulensi Adhesin Surface Protein Association P1(SpaP) atau
yang dikenal dengan protein antigen C, P1, dan antigen I/II dan B. Adhesin SpaP
merupakan protein permukaan utama pada bakteri S. mutans. Protein ini berperan
dalam kemampuan aderen bakteri ke permukaan pelikel gigi sehingga bakteri
dapat melekat pada permukaan gigi..6,29 Adhesin SpaP ini memegang peranan
dalam mekanisme adhesi sucrose independent. Sementara untuk proses
kolonisasi, kendali dipegang oleh enzim glukotransferinase (Gtf) dalam
mekanisme adhesi sucrose dependent.6,25 Selanjutnya, S. mutans juga
memproduksi glucan-binding protein untuk membantu S. mutans dalam
meningkatkan adhesi terhadap pelikel gigi.6
Bakteri S mutans memproduksi 3 macam glukotransferase (Gtf), yakni
GtfB, GtfC, dan GtfD yang berfunsgi untuk adhesi pada sel bakteri.
Glukotransferase ini berfungsi memproduksi glukan dan extracellular polymeric
substances (EPS) yang penting dalam matriks ekstraseluler. Untuk adhesi, bakteri
S. mutans memproduksi enzim glucan-binding protein (GBP) yang terdiri atas 4
jenis, yakni GBPA, GBPB, GBPC, dan GBPD. GBPA berfungsi dalam
memperkuat formasi ikatan pada S. mutans, membantu mengurangi stres pada
populasi S. mutans, dan berperan dalam pembentukan plak biofilm yang optimum.
GBPB berperan dalam kariogenisitas bakteri S. mutans. GBPC berperan sebagai
sel reseptor glukan serta berikatan dengan glukan yang diproduksi GtfD dalam
adhesi sucrose-dependent. Sementara GtfD berperan dalam proses kohesi selama
adhesi dan agregasi ke permukaan gigi yang diperantarai glukan.6

2.1.4. Pembentukan Biofilm oleh Streptococcus mutans


Pelikel pertama kali ditemukan oleh Alexander Nasmyth pada tahun 1839,
terbentuk dari absorpsi selektif biopolimer saliva ketika saliva berkontak dengan
permukaan gigi. 8 Meskipun pelikel terdiri atas protein biopolimer saliva, pelikel
juga tersusun atas unsur lain seperti karbohidrat, lipid, dan protein lainnya. 30

Universitas Syiah Kuala


7

Pelikel dewasa yang memiliki ketebalan berkisar antara 100-1000 nm ini,


berfungsi untuk menjaga keseimbangan lingkungan dalam oral. 8,30 Hal ini
dikarenakan pelikel berperan sebagai lubrikasi, menjaga hemostatis mineral pada
permukaan gigi, serta komposisi pelikel berperan besar dalam menentukan
mikroorganisme inisiatif pada pembentukan biofilm.30
Unsur utama pada pelikel adalah protein saliva, glikoprotein, serta
sebagian kecil asam amino. Unsur ini berperan sebagai respons imun, efek
antimikroba, dan berperan dalam proses remineralisasi. Sedangkan seperempat
komposisi pelikel lainnya terdiri unsur lipid. Unsur ini memiliki fungsi sebagai
pengatur permeabilitas pada pelikel di permukaan gigi. Umumnya lipid ini terdiri
atas glikolipid dan fosfolipid yang berasal dari kelenjar saliva. Lipid ini juga
berperan penting dalam tahap inisiasi perlekatan bakteri ke permukaan gigi. Lipid
yang bersifat hidropobik ini memungkinkan bakteri melakukan berbagai cara
untuk adhesi ke permukaan ini.8 Selain itu, pelikel juga terdiri atas karbohidrat
dalam bentuk kompleks. Karbohidrat ini berasal dari glikoprotein saliva maupun
glukan pada bateri. Melalui unsur-unsur inilah bakteri melakukan adhesi. Untuk
bakteri gram positif seperti S. mutans, perlekatan dilakukan melalui ikatan dengan
reseptor sakarida pada glikoprotein atau melalui karbohidrat pada permukaan gigi.
8,9,30

Koloni bakteri inisiator yang melekat pada permukaan pelikel seperti


S. mutans melakukan komunikasi melalui quorum sensing.31 Sistem ini diatur oleh
sinyal khusus, yakni Two Component Signaling System (TCSS). Two Component
Signaling System ini merupakan sinyal transduksi bagi makhluk prokariotik
seperti bakteri. Sistem gen ini terdiri atas gen yang mengatur ekspresi gen
sensorik dan gen regulator respons. Karena sinyal inilah bakteri mampu
beradaptasi dengan lingkungannya.26
Quorum sensing ini merupakan sistem persepsi komunikasi pada sel
mikroba yang bergantung pada populasi bakteri.32 Quorum sensing berfungsi
untuk mengatur serangkaian tingkah laku bakteri meluputi virulensi, produksi
antibiotik, motilitas, kolonisasi, agregasi, hingga kompetensi bakteri. Quorum
sensing ini bergantung pada sintasis autoinducer, autoinducer, reseptor partner
autoinducer, komponen sinyal transduksi, yang dimediasi melalui sintesis,

Universitas Syiah Kuala


8

pelepasan, pengumpulan, serta deteksi autoinducer.32 Melalui Quorum sensing


inilah, bakteri dapat berkomunikasi antarbakteri sejenis dengan autoinducer 1
maupun antar mikroorganisme dengan autoinducer 2. Pada ambang batas tertentu,
bakteri tidak hanya bertindak sebagai satu makluk hidup, melainkan bertindak
sebagai satu tim. Koloni-koloni kecil ini pun membentuk biofilm serta
meningkatkan produksi matriks ekstraseluler.33
Kemudian, bakteri-bakteri yang melekat dan berikatan melalui matriks
ekstraseluler pada permukaan pelikel akan membentuk biofilm. Matriks
ekstraseluler tersusun atas Extracellular Polymeric Substances (EPS) yang
diproduksi oleh enzim Glucosyltransferases (Gtf), salah satu faktor virulensi
bakteri S. mutans. Matriks ini terdiri atas eksopolisakarida yang di antaranya
adalah glukan, lipid, protein, asam nukleat dan berbagai molekul biomolekular
lainnya. Matriks ekstraseluler ini berperan penting dalam proses terbentuknya
biofilm. Hal ini dikarenakan matriks ekstraseluler dapat meningkatkan
kemampuan adhesi bakteri terhadap permukaan abiotik dan biotik. 17,31 Di samping
itu, matriks ekstraseluler ini juga membentuk ikatan antara satu bakteri ke bakteri
lainnya serta meningkatkan toleransi biofilm terhadap sel imun dan antimikroba.31
Koloni bakteri S. mutans yang secara kontinu memproduksi enzim
glucosyltransferase ke pelikel, akan meningkatkan produksi glukan pada
lingkungan oral. Peningkatan glukan pada matriks ekstraseluler ini memfasilitasi
spesies bakteri streptococcus lain untuk melakukan perlekatan sehingga terbentuk
biofilm.8 Proses pembentukan biofilm merupakan proses yang dinamis. Setelah
terbentuknya biofilm, proses ini akan berlanjut ke tahapan selanjutnya, yakni
agregasi, maturasi dan dipersi biofilm.32

2.1.5. Patogenesis Karies


Bakteri S. mutans pada biofilm kariogenik akan melakukan polimerisasi
terhadap sisa makanan yang mengandung karbohidrat di rongga mulut.
Polimerisasi ini dilakukan melalui faktor virulensi glucosyltransferase.
Glucosyltransferase ini membentuk extracellular polymeric substances yang
menyusun matriks ekstraseluler pada biofilm sekaligus menyediakan sumber
nutrisi bagi bakteri. Pengolahan karbohidrat menjadi sumber nutrisi ini dilakukan
melalui proses fermentasi. Proses ini turut menghasilkan asam organik bermolekul

Universitas Syiah Kuala


9

rendah yakni asam laktat. Asam laktat ini akan menimbulkan suasana asam
dengan menurunkan PH pada rongga mulut hingga mencapai PH kritis, yakni di
bawah 5,5. Akibatnya terjadi degradasi jaringan keras gigi, menciptakan
porositas-porositas mikro, dan seiiring berlalunya waktu akan menyebabkan
karies pada gigi.9,31
Proses terjadinya karies pada permukaan gigi sangat dinamis, tergantung
pada lokasi karies, serta kondisi rongga mulut. 11 Adapun tahapan terjadinya karies
adalah sebagai berikut:
1. Lesi Inisial atau White Spot
Lesi ini menandakan proses awal terjadinya karies. Pada tahap ini, tampak
noda putih atau kecoklatan terdapat pada permukaan enamel yang
disebabkan oleh hilangnya mineral pada permukaan gigi. 34 Hilangnya
mineral pada gigi ini akibat penuruan PH yang mencapai angka 4,5-4
selama setengah hingga satu jam oleh asam yang dihasilkan bakteri. 35 Pada
suasana asam tersebut, terjadi demineralisasi enamel. Celah interkristaline
pada enamel akan melebar dikarenakan larutnya kristal periperal. Lalu,
35
proses ini pun akan mencapai prisma enamel. Proses ini menyebabkan
terbentuknya porositas pada enamel.34,35
Mineral yang hilang dari permukaan gigi akan digantikan oleh
mineral dalam saliva yakni kalsium dan fosfor yang akan memicu proses
remineralisasi.11 Namun, makromolekul pada saliva dan saliva inhibitor
tidak dapat mencapai lapisan enamel lebih dalam sehingga proses
remineralisasi hanya pada permukaan gigi.35 Hal ini menyebabkan
timbulnya warna putih pada permukaan gigi. Awalnya, lesi putih ini hanya
terlihat saat permukaan gigi dikeringkan karena cairan pada porositas di
enamel menyebabkan translusensi enamel.35 Namun, lambat laun lesi ini
dapat terlihat tanpa perlu mengeringkan permukaan gigi.11,35
2. Lesi Awal
Pada tahap ini lesi sudah menyebar pada permukaan gigi, akan tetapi dapat
diremineralisasi.34 Lubang-lubang mikro pada struktur enamel ini akan
semakin luas.34 Mulanya, porositas pada enamel di pusat lesi subsurface,
lalu searah dengan enamel rods, dan berlanjut ke bagian yang lebih

Universitas Syiah Kuala


10

dalam.34 Proses remineralisasi pada tahap ini ditandai dengan mekanisme


buffer saliva yang akan mengembalikan PH pada rongga mulut dari asam
ke PH netral. Kemudian, pelikel pada permukaan gigi akan memicu
remineralisasi dengan cara menarik ion kalsium pada saliva dan mineral
pun akan mengisi porositas pada enamel.35
3. Lesi Enamel
Pada tahap ini telah terbentuk cavitas akibat rusaknya permukaan
enamel.11,34 Saat lesi mencapai dentino-enamel junction, mulai terjadi
perubahan pada dentin, yakni deposit mineral yang menyebabkan tubulus
menyempit sehingga menciptakan zona hiperpigmentasi.35 Saat mencapai
dentino-enamel junction, pulpa mulai terlibat dengan adanya proses
odontoblastik membentuk dentin sekunder.11,35
4. Lesi Dentin
Pada tahap ini terjadinya demineralisasi dan destruksi dentin dikarenakan
invasi bakteri ke dentin.34 Saat proses demineralisasi melewati dentino-
enamel junction, terjadinya proses demineralisasi pada lapisan-lapisan
dentin.35 Saat terpapar oleh asam, matriks organik pada dentin pun larut. 35
Hal ini ditandai dengan hilangnya kolagen pada dentin. 35 Dentin pun
melunak.11

2.1.6. Tindakan Preventif Karies


Untuk mencegah terjadinya karies, salah satu cara yang paling efektif
adalah menghilangkan plak pada permukaan gigi. Sayangnya, minimnya
pengetahuan menyebabkan kontrol plak tidak begitu rutin dilakukan di
masyarakat. Hal ini menjadi pertimbangan dalam pemelihan agen terapetik
sebagai tindakan preventif terhadap terjadinya karies.10
Zat terapeutik yang saat ini umum digunakan adalah flouride.35 Flouride
digunakan dalam bentuk pasta gigi atau obat kumur untuk menjaga oral hygiene.10
Flouride telah terbukti mencegah terjadinya karies dengan cara bekerja langsung
dalam mineral gigi dan mencegah terjadinya kehilangan mineral pada gigi. 35
Flouride dalam level tertentu juga dapat meningkatkan resistensi permukaan gigi
terhadap demineralisasi dengan cara mengurangi nilai PH kritis. 11 Flouride juga
dapat memicu proses remineralisasi pada gigi. 35 Meskipun demikian, flouride

Universitas Syiah Kuala


11

tidak dapat menghambat pembentukan biofilm serta tidak dapat mengurangi


produksi asam dari bakteri.10
Selain flouride, penggunaan agen antimiroba lain yang juga kerap
digunakan adalah chlorhexidine.35 Chlorhexidine dapat mengganggu perlekatan
bakteri, fungsi membran sel, dan kemampuan bakteri Streptococcus mutans dalam
memetabolisme gula dan memproduksi glukan sehingga populasi bakteri
Streptococcus mutans pun menurun.11 Meskipun efektif sebagai antimikroba,
chlorhexidine ini dapat menyebabkan perubahan warna pada gigi serta memicu
terbentuknya kalkulus pada gigi.12 Karena berbagai efek samping pada agen
kimiawi antibakteri ini, saat ini penggunaan agen antibakteri alami mulai
diperhitungkan.12

2.2. Kelor (Moringa oleifera)


2.2.1. Taksonomi Kelor (Moringa oleifera)
Moringa oleifera atau kelor merupakan tanaman yang berasal dari India,
Pakistan, dan Nepal. Di beberapa negara, pohon ini dikenal dengan sebutan
“dumbstick tree” atau “horseradish tree”. Sementara di negara Inggris, pohon ini
36
disebut dengan ben tree. Di Nigeria sendiri, tanaman ini memiliki beberapa
nama yakni “zogeli”, “okwe oyibo”, “ewe ile”, “igi iyaanu”, “ewe igbale”, dan
“dogalla”.37 Saat ini pohon ini tumbuh di berbagai belahan dunia, mulai dari Asia
tenggara, Amerika Tengah, Afrika Tropis, Amerika Selatan, dan Carribean,
termasuk di Indonesia.38,36 Pohon kelor ini berukuran sekitar 10-12 meter dan
umumnya digunakan sebagai obat tradisional.36

Adapun taksonomi Moringa oleifera adalah sebagai berikut16,39:

Kingdom : Plantae
Subkingdom : Tracheobionta
Divisi : Spermatophyta
Divisi : Magnoliophyta
Kelas : Magnoliopsida
Ordo : Brassicales
Familia : Moringaceae

Universitas Syiah Kuala


12

Genus : Moringa
Spesies : Moringa oleifera

2.2.2. Morfologi Kelor (Moringa oleifera)


Kelor merupakan tanaman pantropis, berukuran kecil menuju medium atau
sekitar 10-12 meter, dan merupakan tanaman bergenus Moringaceae yang paling
banyak ditanam di seluruh dunia. Tanaman kelor memiliki kayu gabus dengan
kulit tebal dan berwarna cokelat agak keputih-putihan. Sementara daun tanaman
kelor umunya daun majemuk bipinat atau tripinat dengan panjang mencapai 45
cm. Setiap helaian kecil anak daunnya beberbentuk bulat telur dan memiliki
panjang 1,2-2 cm dengan lebar 0,6-1 cm. Sementara batang ranting pohon kelor
berwarna hijau dan lama-kelamaan akan menjadi warna cokelat.36

Gambar 2.1 Daun kelor (kiri) dan batang kelor (kanan).36

2.2.3. Kandungan Gizi Daun Kelor (Moringa oleifera)


Daun kelor (Moringa oleifera) memiliki berbagai kandungan gizi seperti
protein, karbohidrat, mineral, phytochemicals seperti polyphenols, carotenoids,
alkaloids, terpenoids, dan sulfur.40 Kandungan protein pada daun kelor ini setara
dengan kandungan protein pada susu, daging, dan telur. Meskipun demikian, daun
kelor memiliki kandungan lemak yang rendah. Kandungan makronutrien dan
mikronutrien daun kelor per100 gram, yakni kalsium sebanyak 2000-3000 mg,
magnesium sebanyak 500-1500 mg, kalium 2600-4800 mg, klorin 188-322 mg,
natrium 14,7-17,7 mg, zat besi 14,11-16,5 mg, serta berbagai kandungan
lainnya.20

Universitas Syiah Kuala


13

Daun kelor (Moringa oleifera) segar memiliki kandungan protein 2 lebih


banyak dari susu, kalsium 4 kalis susu, zat besi 25 kali bayam, kalium 3 kali
pisang, magnesium 36 kali telur, vitamin A 4 kali wortel, vitamin C 7 kali jeruk,
vitamin B3 50 kali kacang tanah, vitamin E 6 kali minyak rapeseed, asam lemak,
dan asam amino 30 kali beras merah.20 Adapun amino esensial yang terkandung
dalam daun kelor yakni asam glumatik, asam aspartat, leusin, arginin, alanin,
fenilalanin, lisin, glisin, valin, prolin, treonin, isoleusin, serin, tirosin, histidin,
hidroksisin, metionin, triptofan, sistein, taurin, hidroksiprolin, dan ornitin. Di
samping itu, daun kelor juga mengandung antioksidan saponin, alkanoid dan
flavonoid seperti quercetin, rutin, isoquercetin astragalin, isorhamnetin, apigenin,
luteolin, genistein, daidzein, myricetin, epicatechin, kaempferol, dll.20 Daun kelor
juga mengandung asam fenolik seperti asam galat, asam salisilat, asam gentisat,
asam syringic, asam ellagik, asam ferulik, asam kaffeik, asam koumarik, asam p-
koumarik, asam sinapik, dan asam khlorogenik48.20

Tabel 2.1. Kandungan nutrisi daun kelor (Moringa oleifera).20

Kandungan Nutrisi Daun segar Daun Daun kering Bubuk Daun


kekuningan

Protein (g) 6.70 12.00 29.40 27.10


Lemak (g) 1.70 16.57 5.20 2.30
Karbohidrat(g) 12.50 26.93 41.20 38.20
Serat (g) 0.90 ‐ 12.50 19.20
Vitamin B1 (mg) 0.06 ‐ 2.02 2.64
Vitamin B2 (mg) 0.05 ‐ 21.30 20.50
Vitamin B3 (mg) 0.80 ‐ 7.60 8.20
Vitamin C (mg) 220.00 ‐ 15.80 17.30
Vitamin E (mg) 448.00 ‐ 10.80 113.00
Kalsium (mg) 440.00 1576.00 2185.00 2003.00
Magnesium (mg) 42.00 471.40 448.00 368.00
Fosfor (mg) 70.00 0.83 252.00 204.00
Kalium (mg) 259.00 131.20 1236.00 1324.00
Zat besi (mg) 0.85 96.68 25.60 28.20
Sulfur (mg) ‐ ‐ 870.00

2.2.4. Kandungan Antibakteri Daun Kelor (Moringa oleifera)


Daun kelor mengandung lebih dari 110 macam zat aktif. 16 Kandungan zat
aktif pada daun kelor ini berfungsi sebagai zat antiinflamasi, antibakteri,

Universitas Syiah Kuala


14

antikonvulsan, antikanker, antiviral, antifungal, antileishmanial, antitrypanosomal,


antihiperglikemik, antihiperlipidemia, hipokolesterolemik, antifertilitas,
antihipertensi, dan antispasmodik.16 Karena berbagai manfaat inilah, daun kelor
kerap kali digunakan dalam pengobatan tradisional dan tanpa memberikan efek
samping yang berarti pada manusia.20
Sebagai antibakteri, sejumlah penelitian memperlihatkan bahwa efek
antibakteri pada daun kelor yang tidak hanya bekerja terhadap bakteri gram
negatif, tetapi juga terhadap bakteri gram positif. 20 Efek antibakteri ini
dipengaruhi oleh kandungan antioksidan flavonoid, alkanoid, asam lemak, serta
16,17
asam fenolik yang tinggi pada daun kelor. Asam lemak dan asam fenolik ini
dikenal sebagai zat antibakteri yang sangat kuat. 17 Di samping itu, kandungan zat
aktif lainnya seperti niazaminin dan niazinin pada daun kelor juga berfungsi
sebagai antibakteri serta kandungan isothiocyanates yang dikenal memiliki
berbagai manfaat di antaranya sebagai zat antibakteri, antioksidan, dan anti
kanker.16

2.2.5. Efek Daya Hambat Biofilm pada Streptococcsu mutans


Ekstrak daun kelor berfungsi untuk menghambat pertumbuhan bakteri S.
41
mutans dan menghambat pembentukan biofilm atau dental plak. S. mutans
merupakan bakteri gram positif dan fakultatif anaerobik. Bakteri ini dapat
membentuk biofilm karena memiliki beberapa virulensi penting. Salah satu di
antaranya adalah virulensi enzim glukosyltransferase yang dapat membentukan
matriks ekstraseluler dengan glukan sebagai eksopolisakarida utama dan
kemudian terbentuk biofilm. Glukan ini berfungsi sebagai sekat yang menghambat
masuknya antibiotik serta berperan dalam perlekatan bakteri. Pemberian ekstrak
daun kelor dapat menganggu fungsi glukan sehingga menghambat pembentukan
biofilm.17
Peneltian yang dilakukan Rao et al tahun 2010 menunjukkan bahwa
ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) dapat menghamabat terbentuknya
biofilm bakteri Streptococcus mutans. Pada penelitin ini, peneliti menggunakan
ekstrak daun Moringa oleifera dengan konsentrasi 5 µg/ml. Menurut peneliti,
ekstrak daun kelor (Moringa oleifera) mengandung niazinin serta kaemferol yang
dapat menghambat pembentukan biofilm.18

Universitas Syiah Kuala


15

Berdasarkan penelitian Su-Kyung Jwa (2019), efek antibakteri pada daun


kelor dikarenakan kandungan zat aktif pada daun kelor, di antaranya adalah asam
lemak dan molekul fenolik. Asam lemak dan molekul fenolik memiliki ikatan
rantai karbon yang panjang dan pendek yang memberi efek antibakteria, baik
terhadap bakteri gram positif maupun gram negatif. Hal ini menjadikan ekstrak
daun kelor berpotensi untuk mencegah terjadinya karies.17
Penelitian yang dilakukan Philip et al (2018) menyebutkan bahwa
flavonoid yang terkandung pada buah beri yakni quercetin dapat menghambat
aktivitas glikolisis pada bakteri Streptocuccus mutans sehingga produksi asam
laktat pada bakteri berkurang. Quercetin ini juga terdapat pada ekstrak daun kelor
(Moringa oleifera).20 mampu menghambat translokasi pada aktivitas enzim F-
Type ATPase yang memegang kendali asidurik pada bakteri. 42 Di samping itu,
flavonoid juga bekerja sebagai antibakteri dengan cara menghambat sintesis asam
nukleat, menghambat fungsi membran sitoplasma pad sel bakteri, serta
mengganggu motilitas bakteri.43
Penelitian yang dilakukan oleh Shao et al (2015) menyebutkan bahwa
kandungan asam galat dapat menghambat pertumbuhan maupun pembentukan
biofilm bakteri Streptococcus mutans. Hal ini dikarenakan asam galat dapat
mengganggu proses metabolisme bakteri dengan menghambat enzim
glucosyltransferase pada bakteri. Akibatnya, produksi EPS ke matriks
ekstraseluler pun terhambat.44

2.3. Pembuatan Ekstrak


Ekstraksi merupakan proses pelarut menarik keluar zat aktif yang berada
sel di bagian tertentu pada tanaman. Pelarut yang dapat digunakan di antaranya
adalah metanol, etanol, kloroform, heksan, eter, aseton, benzen, dan etil asetat.
Proses ekstraksi ini dimulai dari masuknya cairan penyari ke dalam sel atau
dikenal dengan istilah osmosis. Kemudian, pelarut yang masuk akan membuat zat
aktif di dalam sel terlarut. Akibatnya, terjadi perbedaan konsentrasi antara larutan
zat aktif di dalam sel dengan pelarut yang berada di luar sel. Semakin tinggi
perbedaan konsentrasi maka makin besar daya dorong pelarut ke dalam sel untuk
memindahkan zat aktif yang berada di dalam sel agar terlarut dengan pelarut. 45

Universitas Syiah Kuala


16

2.3.1. Cara Dingin


A. Maserasi
Maserasi adalah proses ekstraksi simplisia dengan pengocokan berulang-
ulang pelarut atau pengadukan pada suhu kamar. Proses ini dilakukan dengan cara
merendam serbuk simplisia ke dalam pelarut, dan konsentrat dikeringkan. Pelarut
akan bergerak menembus dinding sel dan masuk ke dalam rongga sel yang
mengandung zat aktif, larut, lalu larutan yang terpekat akan didesak keluar. Ini
terjadi berulang kali sampai ada keseimbangan antara solusi di luar dan di dalam
sel.45
B. Perkolasi
Perkolasi adalah ekstraksi dengan menggunakan pelarut yang selalu baru
sampai penyaringan sempurna didapatkan. Umumnya proses ini dilakukan pada
suhu kamar. Proses ini terdiri dari beberapa tahapan yakni pengembangan bahan,
tahap maserasi antara, dan tahap perkolasi yang terus menerus sampai ekstrak
yang diinginkan habis tersaring. 45

2.3.2. Cara Panas


A. Refluks
Refluks adalah proses ekstraksi dengan pelarut pada suhu titik didih
selama waktu tertentu dan pelarutnya akan terdistilasi menuju pendingin dan
kembali ke labu. Ekstraksi dengan cara refluks pada dasarnya adalah ekstraksi
berkelanjutan. Bahan yang akan diekstraksi direndam dengan pelarut dalam labu
pada alas bulat yang dilengkapi dengan alat pendingin tegak, lalu dipanaskan
sampai mendidih. Melalui proses ini, pelarut akan menguap. Uap tersebut akan
diembunkan dengan pendingin tegak dan akan kembali menyari zat aktif dalam
simplisia tersebut.45
B. Sokletasi
Sokletasi adalah ekstraksi berkesinambungan yang menggunakan alat
soklet. Proses ini dimulai dengan pelarut terdestilasi dari labu menuju pendingin.
Kemudian perlarut jatuh membasahi dan merendam sampel yang mengisi bagian
tengah pada soklet. Lalu setelah pelarut mencapai tinggi tertentu, pelarut akan
turun ke dalam labu destilasi.45

Universitas Syiah Kuala


17

2.4. Scanning Electron Microscopy (SEM)


Scanning Electron Microscopy (SEM) merupakan instrumen yang cukup
sering digunakan dalam laboratorium. Hal ini dikarenakan SEM mampu
memberikan informasi mengenai fitur topografikal, morfologi, perbedaan
komposisi, struktur kristal, orientasi kristal, termasuk kolonisasi bakteri dengan
resolusi gambar yang sangat baik.46,47 Lensa pada SEM bukan merupakan satu
kesatuan sistem pengambilan gambar sehingga SEM seringkali digunakan untuk
demagnify dan memfokuskan beam ke permukaan sampel yang diinginkan. Hal
ini menyebabkan SEM memiliki 2 manfaat utama, yakni adalah skala pembesaran
dan kedalaman dari medan dari gambar sehingga memberikan hasil gambar yang
tiga dimensional. SEM mampu menampilkan gambar hingga 300 kali lebih dalam
daripada mikroskop cahaya dan hasil gambar yang diperoleh beresolusi tinggi.47
Dikarenakan resolusi nanometer pada SEM ini, SEM seringkali digunakan
untuk mengamati struktur kristal pada permukaan keras gigi seperti enamel dan
dentin.48,49 SEM juga menjadi gold standard dalam mengamati, mengidentifikasi
morfologi bakteri, dan mengamati adhesi bakteri pada permukaan gigi. 48 Selama
bertahun-tahun, SEM juga digunakan untuk mengamati biofilm pada permukaan
gigi.50 Hal ini dikarenakan SEM dapat mengamati morfologi dan karakterisasi
struktural biofilm.50,51 SEM juga dapat digunakan untuk mengamati ketebalan,
jenis bakteri yang terlibat, serta matriks ekstraseluler pada biofilm.52

2.5. Aplikasi ImageJ


Aplikasi ImageJ merupakan aplikasi yang digunakan untuk menganalisis
gambar scientifik.53 Aplikasi ini dikembangkan di National Instute for Health di
Amerika oleh Rasband pada tahun 1987.53 Sebelumnya, aplikasi ini dikenal
dengan NIH Image.53 Aplikasi ini dapat menskalakan gambar yang diambil
menggunakan teknik mikroskopis seperti Scanning Electron Microscope.54
Dengan aplikasi ini, gambar biofilm dan permukaan gigi yang diperoleh dari
metode Scanning Electron Microscope dapat dianalisis dan dihitung.51,54

2.6. Kerangka Teori


Ekstrak Etanol Daun Kelor
Streptococcus mutans
(Moringa oleifera)

Universitas Syiah Kuala


18

Memiliki faktor virulensi Adesin Surface Protein Association


P1(SpaP), Glukotransylferase (Gtf), dan Glucan-Binding
Protein (GBP).

Aktivitas Antibakteri
dan Antioksidan

Pembentukan Biofilm  asam lemak


 flavonoid
 fenolik.

Aktivitas virulensi asidurik dan asidogenik bakteri pada


biofilm menyebabkan terbentuknya porositas permukaan gigi.

karies

Gambar 2.2 Kerangka Teori

Universitas Syiah Kuala


19

BAB 3
HIPOTESIS DAN KERANGKA KONSEP

3.1. Kerangka Konsep

Variabel bebas Variabel terikat


Ekstrak Etanol Daun
Pembentukkan Massa
Kelor (Moringa oleifera)
Biofilm
Konsentrasi 25%, 12,5%,
dan 6,25%.

Streptococcus mutans Porositas Permukaan


Gigi

Gambar Skema Kerangka Konsep

Variabel Bebas :-Ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) konsentrasi 25%,
12,5%, dan 6,25%
-Streptococcus mutans
Variabel Terikat :-Pembetukan masa biofilm
-Porositas permukaan gigi

3.2. Definisi Operasional


Hasil
Variabel Definisi Skala
No Alat ukur Cara Ukur
Penelitian Operasional ukur
1. Ekstrak etanol Daun kelor Timbangan Evaporasi Mg Rasio
daun kelor (Moringa digital, gelas menggunakan /mL
(Moringa oleifera) diekstrak ukur, dan rotary
oleifera) menggunakan evaporator evaporator
konsentrasi 25%, teknik maserasi
12,5%, dan dengan etanol
6,25%. 96% dan
diencerkan
dengan Phosphate
Buffer Solution
(BPS).
2. Streptococcus Streptococcus Larutan MC Menggunakan CFU/ Rasio
mutans mutans ATCC Farland 0,5 larutan Mc ml
(American Type (1,5 x 108 Farland 0,5
Culture CFU/ml) yang setara
Collection) 25175 dengan

Universitas Syiah Kuala


20

Hasil
Variabel Definisi Skala
No Alat ukur Cara Ukur
Penelitian Operasional ukur
yang merupakan kekeruhan sel
bakteri fakultatif senilai 1,5 x
anaerobik gram 108 CFU/ml
positif
3. Biofilm Melihat gambaran Scanning Gambar yang pixels/ Rasio
Streptococcus pembentukkan Electron telah mm
mutans massa biofilm Microscopy didapatkan
Streptococcus akan
mutans, caranya menujukan
dengan area massa
meletakkan biofilm. Area
spesimen ke massa biofilm
dalam wadah ini akan
yang tersedia di diukur dan
Scanning Electron dianalisis
Microscopy. menggunakan
aplikasi
ImageJ..
4. Porositas gigi Melihat gambaran Scanning Gambaran Persen Rasio
terhadap biofilm porositas pada Electron permukaan area
Streptococcus gigi, caranya Microscopy enamel discan,
mutans dengan lalu jumlah
meletakkan porositas
spesimen ke ditandai dan
dalam wadah dihitung
yang tersedia di kemudian
Scanning Electron gambar akan
Microscopy dianalisis
kemudian menggunakan
porositas pada ImageJ,
permukaan gigi jumlah
dihitung dengan porositas
aplikasi ImageJ. tersebut akan
dikonversikan
ke bentuk
dalam
persentase.

3.3. Hipotesis
3.3.1 Terdapat hubungan pembentukan massa biofilm oleh bakteri Streptococcus
mutans setelah diinteraksikan dengan berbagai konsentrasi ekstrak etanol
daun kelor (Moringa oleifera).

3.3.2 Terdapat hubungan pembentukan porositas pada permukaan gigi oleh


bakteri Streptococcus mutans setelah diinteraksikan oleh ekstrak etanol
daun kelor (Moringa oleifera).

Universitas Syiah Kuala


21

BAB 4
METODE PENELTIAN

4.1. Jenis dan Desain Penelitian


Jenis penelitian ini adalah penelitian eksperimental laboratoris dengan
desain post test only control group untuk mengetahui hubungan ekstrak etanol
daun kelor (Moringa oleifera) terhadap pembentukan massa biofilm oleh bakteri
Streptococcus mutans.

4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilakukan pada bulan September-Oktober 2021 di
Laboratorium Kimia Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP)
Universitas Syiah Kuala untuk pembuatan ekstrak etanol daun kelor (Moringa
oleifera), Laboratorium Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Gigi (FKG)
Universitas Syiah Kuala untuk kultur bakteri dan persiapan spesimen, dan di
Laboratorium Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA)
Universitas Syiah Kuala untuk mengukur pembentukan massa biofilm dan dan
porositas pada permukaan gigi oleh bakteri Streptococcus mutans setelah
diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) secara in-
vitro.

4.3. Spesimen Penelitian


Spesimen Peneltian adalah daun Moringa oleifera yang diperoleh dari
lahan di sekitar Alue Naga dan Darussalam, bakteri Streptococcus mutans yang
diperoleh dari laboratorium Fakultas kedokteran Gigi Universitas Syiah Kuala,
serta spesimen gigi yang diperoleh dari klinik dokter gigi di Banda Aceh.

4.3.1. Spesimen Inklusi


1. Gigi yang dicabut mahkotanya utuh (tidak ada atrisi, tidak ada karies,
tidak abrasi, tidak ada fraktur, tidak ada erosi).
2. Gigi tidak ada tambalan.55

Universitas Syiah Kuala


22

4.4. Alat dan Bahan Penelitan

4.4.1. Alat Penelitian


 Blender
 Timbangan digital
 Corong Buncher
 Gelas ukur (Pyrex)
 Kertas saring no 1
 Erlmeyer (Phyrex)
 Gelas kimia (Breaker Glass) (Phyrex)
 Tabung reaksi (Phyrex)
 Mikropipet+tip (kirgen)
 Pipet tetes
 Rak tabung
 Well plate (costar)
 Perforator (Iwaki)
 Autoclaf (ALP Eyela)
 Cawan petri (Phyrex)
 Jarum ose
 Botol sampel
 Inkubator (Memmert)
 Lampu Spiritus
 Pinset
 Korek api
 Instrumen plastis (Caredent)
 Rotary evaporator
 Baki
 Medium plastik
 Alat tulis
 Kamera
 Alat Scanning Electron Microscopy (SEM)

Universitas Syiah Kuala


23

 Carborundum disk
 Mikromotor Low speed (Marathon)

4.4.2. Bahan
 Daun kelor (Moringa oleifera) muda
 Biakan murni Streptococcus mutans ATCC 25175
 Sarung tangan
 Masker
 Kertas label
 Akuades steril
 Spiritus
 Etanol 96%
 Alkohol 95%
 Kapas steril
 Pewarna kristal violet
 Blank disk
 Gigi premolar
 Mold akrilik
 Aluminium Foil
 Larutan saline (Nacl)
 Media Muller-Hinton Agar (MHA)
 Media Brain Heart Infusion Broth (BHI)-B
 Kaca Objek
 Akrilik selfcure (Miliodent)
 Glutaraldehyde

4.5. Prosedur Kerja


4.5.1. Sterilisasi Alat
Peralatan yang digunakan seperti jarum ose disterilkan terlebih dahulu
sebelum digunakan dengan membakar ujung jarum pada lampu spiritus sampai

Universitas Syiah Kuala


24

terlihat pijar. Sedangkan peralatan yang terbuat dari kaca disterilkan dengan
menggunakan autoklaf pada suhu 121°C selama 15 menit pada tekanan 2 ATM.
Sementara untuk peralatan lainnya disterilkan menggunakan alkohol.56

4.5.2. Pembuatan Ekstrak Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera) dengan


Teknik Maserasi
Sebanyak 2 kg daun kelor (Moringa oleifera) muda segar dicuci
menggunakan air bersih mengalir hingga bersih. Kemudian daun kelor (Moringa
oleifera) dikeringkan pada tempat teduh selama satu minggu. Kemudian daun
kelor (Moringa oleifera) direndam dalam pelarut etanol 96% sebanyak 2 kg liter
selama satu minggu. Pemisahan residu dan filtrat dilakukan sebanyak 1 x 24 jam
selama satu minggu. Kemudian, filtrat daun kelor (Moringa oleifera)
dievaporasikan dengan menggunakan rotary evaporator agar didapatkan ekstrak
kental daun kelor (Moringa oleifera).57,58
Ekstrak daun kelor dibagi dengan menggunakan pengenceran untuk
mendapatkan konsentrasi 6,25%, 12,5%, dan 25% Pembuatan konsentrasi ini
menggunakan rumus:

C1 x V1 = C2 x V2
Gambar 4.1. Rumus konsentrasi pengenceran
Keterangan:

C1 : Konsentrasi awal

V1 : Volume awal

C2 : Konsentrasi yang diinginkan

V2 : Volume yang diinginkan

Tahapan selanjutnya dilakukan pengenceran ekstrak daun kelor (Moringa


oleifera) untuk mendapatkan volume yang diinginkan dengan menggunakan
rumus:

V pengenceran = V2 – V1

Gambar 4.2 Rumus pengenceran

Universitas Syiah Kuala


25

5.4.3. Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS) Ekstrak Etanol


Daun Moringa oleifera
Analisis ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) dilakukan dengan
menggunakan Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS) untuk
menganalisis senyawa yang terkandung di dalam ekstrak etanol daun kelor
(Moringa oleifera). GC-MS dapat memisahkan kompenen senyawa dengan mass
spectometry sehingga senyawa yang sintesis dan diturunkan yang terdapat dalam
ekstrak dapat dianalisis.59

4.5.4. Kultur Bakteri Streptococcus mutans


Kultur bakteri Streptococcus mutans dilakukan pada media Nutrient Agar
(NA) menggunakan jarum ose bundar. Kemudian bakteri digoreskan pada media
NA. Selanjutnya bakteri diinkubasi pada suhu 37° C selama 48 jam.60,61,62

4.5.5. Suspensi dan Penyetaraan Bakteri Streptococcus mutans


Pembuatan suspensi dilakukan dengan cara mengambil 1 ml sampel koloni
Streptococcus mutans ditambahkan ke dalam tabung berisi NaCl kemudian
divortek. Lalu bakteri dihomogenkan dan disetarakan dengan larutan Mc. Farland
0,5 (1,5 x 108 CFU/ml). 60,63

4.5.6. Persiapan Spesimen Gigi


Spesimen gigi diperoleh oleh dari klinik gigi. Setelah itu, mahkota gigi
dibersihkan menggunakan bur brush dan pumice. Mahkota gigi dibagi menjadi 2
fragmen menggunakan carborundum disk pada handpiece low high speed,
selanjutnya mahkota gigi dipotong pada batas CEJ (Cemento-enamel junction).
Selanjutnya mold disiapkan sebanyak spesimen. Lalu spesimen difiksasi pada
akrilik selfcure. Selanjutnya sampel direndam dalam larutan saline selama 24 jam.
48,64,63

4.5.7. Penginteraksian Spesimen Gigi dengan Bakteri Streptococcus mutans


dan Ekstrak Etanol Daun Moringa oleifera
Lalu masing-masing spesimen gigi diinteraksikan dengan 5 ml ekstrak
etanol daun Moringa oleifera berbagai konsetrasi ke dalam medium sampai
permukaan gigi terendam. Kemudian suspensi Streptococcus mutans ditambahkan

Universitas Syiah Kuala


26

sebanyak 0,1 ml ke dalam medium. Kemudian, spesimen diinkubasi selama 24


jam dan 48 jam pada suhu 37° C. Pada penelitian ini kontrol positif yang
digunakan adalah chlorhexidine sedangkan kontrol negatif menggunakan aquades.

4.5.8. Pewarnaan dan Pemeriksaan Quorum Sensing


Setelah inkubasi, ekstrak daun kelor dan Streptococcus mutans dengan
spesimen gigi dipisahkan ke dalam medium yang berbeda. Selanjutnya, spesimen
gigi direndam menggunakan 5 ml aquades selama 15 menit. Kemudian spesimen
dibilas menggunakan alkohol 95%. Selanjutnya spesimen gigi diwarnai dengan
larutan kristal violet sebanyak 5 ml ke dalam medium gigi dan dibiarkan selama
15 menit. Kemudian spesimen gigi dibilas dengan menggunakan akuades.
Selanjutnya, sampel diperiksa quorum sensing dan dianalisis menggunakan
ImageJ.42,48,59,64

4.5.9. Pemeriksaan Gambaran Biofilm Streptococcus mutans Yang


Diinteraksikan dengan Ekstrak Etanol Daun Moringa oleifera
Menggunakan SEM
Spesimen yang telah diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun Moringa
oleifera, akan diamati ketebalannya menggunakan Scanning Elecron Microscopy
(SEM). Sebelum mengamati dengan SEM, spesimen harus difiksasi dan
didehidrasi. Pertama-tama, spesimen dicuci dengan menggunakan cairan buffer
saline fosfat. Kemudian kelembapan pada spesimen dihilangkan dengan
menggunakan etanol berkonsentrasi dari 50% ditingkatkan menjadi 60%, 70%,
80%, 90%, hingga 100% dengan masing-masing selama 5 menit. Lalu, permukaan
spesimen dikeringkan pada critical-point menggunakan cairan pengganti CO2.
Selanjutnya, struktur biofilm diamati menggunakan SEM dengan pembesaran
500x dengan jarak kerja 5-8 nm. Struktur biofilm yang terlihat pada gambar akan
dianalisis menggunakan aplikasi ImageJ. 48,51,19

4.5.10.Pemeriksaan Gambaran Area Porositas Permukaan Gigi Oleh Bakteri


Streptococcus mutans Yang Diinteraksikan dengan Ekstrak Etanol
Daun Moringa oleifera Menggunakan SEM
Spesimen gigi yang telah diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun
Moringa oleifera, dicuci dengan menggunakan cairan buffer saline fosfat.

Universitas Syiah Kuala


27

Kemudian kelembapan pada spesimen dihilangkan dengan menggunakan etanol


berkonsentrasi dari 50% ditingkatkan menjadi 60%, 70%, 80%, 90%, hingga
100% dengan masing-masing selama 5 menit. Kemudian, permukaan spesimen
dikeringkan pada critical-point menggunakan cairan pengganti CO2. Selanjutnya
spesimen diamati pada SEM dengan pembesaran 500x. Selanjutnya, porositas
yang terlihat pada gambar ditandai, dihitung dan dikonservasi dari jumlah menjadi
persen dengan menggunakan ImageJ.46,47,48

4.6. Pengelolaan limbah


Pengelolaan limbah pada laboratorium mikrobiologi setelah dilakukan
penelitian sebagai berikut: 1) Setelah pemakaian, segala alat yang dapat
disterilkan kembali, disterilkan dengan menggunakan autoklaf setelah
menyesuaikan temperatur dan waktu. 2) Pemakaian alat pelindung diri dan alat
sekali pakai seperti sarung tangan, masker, perlindungan mata, dan apron yang
digunakan untuk melindungi diri dari material, dikumpulkan kemudian dibuang
dalam satu wadah plastik khusus untuk kemudian dibakar 3) Agar dan media cair
yang digunakan untuk media kultur bakteri akan dibuang menggunakan metode
limbah cair, yakni direbus kemudian dibuang langsung pada tempat
pembuangan.65

4.7. Analisis Data


Analisis data dilakukan dengan menggunakan aplikasi Statistical Package
for The Sosial Science (SPSS). Data penelitian selanjutnya akan dianalisis dengan
uji Pearson dan uji non-parametrik Spearman dengan P<0,05 untuk melihat efek
ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) dalam menghambat pembentukan
massa biofilm dan pembentukan porositas pada permukaan gigi oleh bakteri
Streptococcus mutans.

Universitas Syiah Kuala


28

4.8. Alur Penelitian

Mendapatkan izin etik dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Syiah Kuala

Izin penelitian dari Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Syiah Kuala

Izin penelitian dari Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Syiah Kuala

Izin penelitian dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah
Kuala

Persiapan spesimen yang Bakteri Pembuatan ekstrak daun kelor


diperoleh dari klinik, Streptococcus (Moringa oleifera) dengan etanol
dipotong hingga terbetuk 2 mutans dikultur 96% menggunakan teknik maserasi
fragmen difiksasi pada pada media NA
akrilik, direndam pada saline.
Bakteri Bakteri Pengenceran ekstrak etanol daun
Streptococcus mutans kelor (Moringa oleifera) dari
disetarakan dan konsentrasi 100% menjadi
disuspensi dengan 25%,12,5%, dan 6,25%. Lalu
larutan Mc. Farland diperiksa dengan Gas
0,5 (1,5 x 108 CFU/ml) Chromatography-Mass Spectometry
(GC-MS)

Spesimen gigi diinteraksikan dengan 0,5 ml bakteri Streptococcus mutans dan


diadaptasikan selama 15 menit. Kemudian sebanyak 10 ml ekstrak etanol daun kelor
(Moringa oleifera) dengan konsentrasi 25%,12,5%, dan 6,25% diinterasikan ke
spesimen gigi dan diinkubasi pada suhu 37° C selama 24 jam dan 48 jam. Keudian
spesimen diwarnai dan diperiksa quorum sennsing. Lalu spesimen dicuci dengan 10
ml PBS sebanyak 3 kali. Spesimen lalu difiksasi menggunakan glutaraldehyde.

Pemeriksaan area massa biofilm dengan Pemeriksaan area porositas gigi


menggunakan SEM dengan menggunakan SEM

Universitas Syiah Kuala


BAB 5
HASIL PENELITIAN

5.1. Hasil Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS) Ekstrak


Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera)
Analisis ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) dilakukan dengan uji
GCMS untuk mengetahui kandungan dan jumlah senyawa aktif yang terdapat
pada ekstrak etanol daun kelor.

Tabel 5.1. Hasil uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS) Ekstrak


Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera)
No Senyawa Kandungan (%)
1. Alpha-Butyrolactone 2,06
2. 1,3-Cyclopentadine 4,90
3. Glyserol 8,48
4. Piperidine, 1,2,6-Trimetyl-CIS 1,33
5. Benzenacetataldehyde 2,34
6. Isobutylraldehyde 3,05
7. Isobutylraldehyde, Propyhydrazone 1,83
8. 2-Pyrrolidinone 2,02
9. 2-Butanamide, 2-Cyano 3-Hydroxy 3,20
10. 2,3-Dihidro-3,5-Dihydroxy-6-Metyl-4H-Pyran-4-
8,00
One
11. 2-Trideuteromethoxy-3-Methylpyrazine 1,39
12. Benzeneacetonitrile, 4-hydroxy 4,87
13. 1,2,3,4-tetrahydro-cyclopentan {b} indole 1,11
14. 1,3,4,5-tetrahydroxy-cyclohexanecarboxylic acid 9,66
15. Hexadecanoic acid 3,04
16. N-CBz-beta-alamine 2,05
17. 7-Oxabicyclo [4.1.0] Heptane, 1,3,3-Trimethy-2-(3-
Metyl-2-Cyclobuten-1-YL)-[1,Alpha,2,Beta. (R*) 2,84
6 Alpha.J
18. 3-(2,2,-Dimethyltetrahydrofuran-3YL) Phenol 1,24

5.2. Biofilm Streptococcus mutans pada Permukaan Enamel Gigi


Biofilm merupakan kumpulan bakteri yang melakukan kolonisasi pada
area tubuh tertentu dan saling berikatan di dalam matriks ekstraseluler dari
eksopolimer (sakarida maupun protein) dan DNA. Bakteri pada biofilm
melakukan komunikasi, virulensi, dan berikatan melalui interaksi quorum sensing.
Pemeriksaan area quorum sensing dan biofilm Streptococcus mutans (S.
mutans) dilakukan sebanyak 3 kali pengulangan. Area yang diamati, dianalisis
menggunakan aplikasi ImageJ yang bertujuan untuk mendapatkan area quorum

29 Universitas Syiah Kuala


30

sensing dan massa biofilm S. mutans. Hasil pemeriksaan massa biofilm S. mutans
pada spesimen menunjukkan bahwa setiap konsentrasi dan waktu inkubasi
memiliki area massa biofilm S. mutans berbeda-beda. Tabel berikut menunjukkan
luasnya area quorum sensing pada spesimen.

Tabel 5.2. Hasil pengukuran area Quorum Sensing Streptococcus mutans


No. Konsentrasi N Rata-Rata Quorum Sensing Biofilm Streptococcus
mutans (pixels/mm)
24 Jam 48 Jam
1 6,25% 3 0,014 0,050
2 12,5% 3 0,051 0,026
3 25% 3 0,079 0,047
4 Aquades 3 0,041 0,087
5 CHX 3 0,050 0,072

Pemeriksaan quorum sensing dilakukan setelah pewarnaan gram dan hasil


pemeriksaan dianalisis menggunakan ImageJ. Tabel 5.2. menunjukkan bahwa
area biofilm S. mutans paling sedikit adalah pada konsentrasi 6,25% dengan masa
inkubasi 24 jam, yakni sebesar 0,014 pixels/mm, sedangkan area biofilm S.
mutans paling luas adalah pada konsentrasi 25% dengan masa inkubasi 24 jam
yakni sebesar 0,079 pixels/mm. Nilai luas area biofilm Streptococcus mutans
paling sedikit pada konsentrasi 12,5% dengan masa inkubasi 48 jam adalah 0,026
pixels/mm sedangkan nilai area biofilm S. mutans paling luas pada masa inkubasi
48 jam adalah pada aquades degan nilai 0,087 pixels/mm.
Pemeriksaan area massa biofilm S. mutans pada spesimen dilakukan
menggunakan SEM dengan pembesaran 500x. Hasil gambar yang diperoleh
dianalisis menggunakan aplikasi ImageJ. Hasil pemeriksaan area massa biofilm S.
mutans disajikan dalam bentuk diagram untuk mempermudah memperlihat
perbandingan dari pembentukan massa biofilm S. mutans.

Gambar 5.1. Hasil Pemeriksaan Biofilm Menggunakan SEM

Universitas Syiah Kuala


31

175,000

125,000
Biofilm (pixels/nm)

75,000

25,000

6,25% 12,50% 25% Aquades CHX


24 Jam 113273 92487 122663.333333 151490 177577
333
48 Jam 148973.333333 151816.666666 161596 128943 143851
333 667
24Konsentrasi
Jam (mg/ml)
48 Jam

Gambar 5.2. Grafik area massa biofilm Streptococcus mutans setelah diinteraksikan dengan eksrak
etanol daun kelor (Moringa oleifera)

Setelah diperiksa melalui SEM dan dianalisis dengan menggunakan


aplikasi ImageJ, area massa biofilm S. mutans paling tinggi terdapat pada kontrol
positif CHX dengan masa inkubasi 24 jam yakni sebesar 177.577 pixels/µm,
sementara paling rendah terdapat pada konsentrasi 12,5% dengan masa inkubasi
24 jam yakni sebesar 12,5% 92.487 pixels/µm. Area massa biofilm Streptococcus
mutans paling sedikit terdapat pada aquades dengan masa inkubasi 48 jam, yakni
sebesar 128.943 pixels/µm, sedangkan paling tinggi terdapat konsentrasi 25%
dengan masa inkubasi 48 jam, yakni sebesar 161.596 pixels/µm.

5.3. Porositas pada Enamel Gigi


Spesimen diperiksa dengan menggunakan SEM pada pembesaran 500x
dan dianalisis dengan menggunakan aplikasi ImageJ. Area porositas pada hasil
pemeriksaan SEM dikonversi ke dalam bentuk persentase area. Hasil pengukuran
porositas disajikan dalam bentuk diagram untuk mempermudah melihat
perbandingan area persentase porositas.

Universitas Syiah Kuala


32

Gambar 5.3 Hasil Pemeriksaan Porositas Pada SEM

13.00
11.00
9.00
Porositas (% area)

7.00
5.00
3.00
1.00
6,25% 12,50% 25% Aquades CHX
24 Jam 8.802 6.75 5.019 6.042 11.595
48 Jam 11.273 11.366 10.007 8.962 5.16

Konsentrasi (mg/ml)

24 Jam 48 Jam

Gambar 5.4. Grafik persentase area porositas pada permukaan enamel gigi.
Berdasarkan hasil pengukuran tersebut, konsentrasi 25% dengan waktu
inkubasi 24 jam merupakan area paling sedikit porositas yakni sebesar 5,02%,
sementara area paling luas terdapat pada kontrol positif chlorhexidine, yakni
sebesar 11,60%. Kontrol positif chlorhexidine dengan masa inkubasi 48 jam
memperlihatkan persentase area porositas paling sedikit, yakni sebesar 5,16%,
sementara konsentrasi 12,5% dengan masa inkubasi 48 jam merupakan
persentase area porositas paling luas yakni sebesar 11,37%.

Universitas Syiah Kuala


33

5.4. Analisis Hubungan Terbentuknya Massa Biofilm S. mutans dengan


Porositas pada Permukaan Gigi Setelah Diinteraksikan dengan
Ekstrak Etanol daun Kelor (Moringa oleifera)
Untuk melihat hubungan terbentuknya massa biofilm S. mutans dengan
porositas permukaan gigi, dilakukan uji statistik korelasi. Uji statistik korelasi
pada penelitian ini dilakukan dengan uji parametrik Pearson. Uji parametrik
Pearson memiliki syarat berupa data berdistribusi normal, linear, dan
homoskedastisitas. Penelitian ini memiliki 5 kelompok uji dengan 3 kelompok
perlakuan dan 2 kelompok kontrol. Hasil uji normalitas dengan menggunakan
Shapiro-Wilk menunjukkan bahwa p<0,05 sehingga data tidak berdistribusi
normal. Hasil uji linear juga memperlihatkan bahwa p<0,05 sehingga data tidak
linear. Hasil uji heteroskedastisitas menujukkan bahwa p>0,05 sehingga data
heteroskedastisitas. Ketiga syarat untuk uji pearson ini tidak terpenuhi sehingga
dilakukan uji korelasi non-parametrik Spearman.

Tabel 5.3. Uji Korelasi Non-Parametrik Spearman


Korelasi Biofilm Porositas Konsentrasi Waktu
Inkubasi
Biofilm Signifikasi . 0,001 0,038 0,064
Nilai Koefesien 1,000 0,586 0,381 0,343
Porositas Signifikasi 0,001 . 0,192 0,102
Nilai Koefisien 0,586 1,000 -0,245 0,304

Berdasarkan Tabel 5.3., diketahui bahwa biofilm memiliki hubungan


dengan porositas dan konsentrasi dengan jenis hubungan positif (p<0,05), dan
tidak berhubungan dengan waktu inkubasi (p>0,05). Tingkat hubungan biofilm
dan porositas adalah kuat. Sedangkan tingkat hubungan biofilm dengan
konsentrasi adalah cukup. Hasil uji korelasi Spearman menunjukkan bahwa
porositas tidak memiliki hubungan dengan konsentrasi dan waktu inkubasi.

Universitas Syiah Kuala


BAB 6
PEMBAHASAN

Penelitian ini menguji hubungan pembentukan massa biofilm


Streptococcus mutans (S. mutans) dengan porositas pada permukaan gigi setelah
diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera). Berdasarkan
Tabel 5.3, terlihat adanya hubungan antara pembentukan massa biofilm S. mutans
dengan porositas pada permukaan gigi. Hubungan ini terkait dengan virulensi dan
proses metabolisme bakteri S. mutans serta perannya dalam pembentukan
biofilm.66,67
Biofilm pada gigi terbentuk melalui interaksi antarbakteri selama proses
quorum sensing.33 Pada gigi, pembukan biofilm diprakarsai oleh bakteri yang
mula-mula melakukan kolonisasi pada permukaan gigi, di antaranya adalah
bakteri S. mutans.9 Proses ini berlangsung selama 24-48 jam.32,67
Bakteri S. mutans pada biofilm akan mengolah karbohidrat untuk
mengubahnya sebagai energi. Selama proses fermentasi ini, bakteri S. mutans juga
menghasilkan asam laktat sebagai produk sampingan. 6 Asam laktat dapat
menurunkan PH dalam rongga mulut sehingga mengakibatkan mineral-mineral
pada gigi seperti kalsium dan fosfor, larut dari gigi dan menimbulkan munculnya
mikroporus pada permukaan email gigi.6,7 Porositas pada permukaan gigi ini
menandai proses demineralisasi pada gigi.9
Berdasarkan Tabel 5.2, terlihat bahwa ekstrak etanol daun kelor (Moringa
oleifera) pada konsentrasi 6,25% dengan masa inkubasi 24 jam dan pada
konsentrasi 12,5% dengan masa inkubasi 48 jam dapat menurunkan daya quorum
sensing pada S. mutans, dibandingkan dengan perlakuan kontrol negatif yakni
aquades dan kontrol positif yakni chlorhexidine. Abebe (2021) menyataan bahwa
penghambatan daya quorum sensing pada bakteri S. mutans dapat menghambat
pembentukan biofilm.66 Hal ini terlihat pada gambar 5.2, diketahui bahwa ekstrak
etanol daun kelor konsenrasi 12,5% dengan masa inkubasi 24 jam mampu
menghambat pembentukan biofilm lebih baik dibandingkan kelompok kontrol.
Perbedaan antara nilai hasil pemeriksaan quorum sensing dengan nilai
hasil pengukuran massa biofilm S. mutans disebabkan oleh proses persiapan

34 Universitas Syiah Kuala


35

spesimen sebelum diperiksa menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM).


Selama pemeriksaan menggunakan SEM, spesimen dikeringkan terlebih dahulu
menggunakan alkohol hingga mencapai critical point. Proses ini mengakibatkan
turunnya Extracelluler Polymeric Substance pada biofilm dan menyebabkan
distorsi.52
Kemampuan daun kelor dalam menghambat pembentukan massa biofilm
S. mutans ini dikarenakan berbagai kandungan senyawa pada daun kelor. Pada
Tabel 5.1, ekstrak etanol daun kelor mengandung asam lemak, yakni palmitic acid
atau dikenal juga dengan istilah hexadecanoic acid.17,68 Palmitic acid merupakan
asam lemak tidak jenuh dengan rantai panjang. Palmitic acid terbukti dapat
menghambat bakteri S. mutans. Hal ini dikarenakan bakteri S. mutans juga
memproduksi asam lemak rantai pendek, yakni asam laktat. Asam lemak palmitic
acid dapat berinteraksi secara langsung baik secara biologis maupun secara
ekosistem dan masuk ke dalam food web di biofilm. Akibatnya, terjadi gangguan
dan perubahan pada hubungan antarbakteri.68
Ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera) mengandung 2,3-Dihydro-
3,5-dihidroxy 6-methyl-4H-Pyran-4-one (DDMP). DDMP merupakan fraksi
senyawa flavonoid. Senyawa ini memiliki sifat antimikroba. 69 Ekstrak etanol daun
kelor juga mengandung senyawa tetronic acid yang merupakan fraksi elemen
tannin.69 Di samping itu, ekstrak etanol daun kelor juga mengandung senyawa
fenolik quinic acid. Quinic acid atau khinic acid mampu menghambat biofilm S.
mutans dengan mengganggu proses perlekatan dan virulensi bakteri S. mutans.70
Hal ini sesuai dengan pernyataan Papetti (2012) bahwa penghambatan biofilm S.
mutans dapat mencegah terjadinya karies yang ditandai dengan proses
demineralisasi pada gigi.9,70
Daya hambat ekstrak etanol daun kelor mampu mempengaruhi proses
terbentuknya porositas pada permukaan gigi. Pada gambar 5.4., terlihat pengaruh
pembentukan massa biofilm setelah diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun
kelor terhadap pembentukan porositas pada permukaan email gigi. Ekstrak etanol
daun kelor konsentrasi 25% dengan masa inkubasi 24 jam mampu menghambat
pembentukan massa biofilm S. mutans dan mencegah terbentuknya porositas pada
permukaan gigi dan lebih baik daripada kontrol positif, yakni chlorhexidine.

Universitas Syiah Kuala


36

Selain itu, ekstrak etaol daun kelor juga mengandung mineral seperti kalsium dan
fosfor yang mampu meremineralisasi permukaan gigi.71 Penelitian Khalaf et al
(2016) menunjukkan bahwa kandungan pada daun kelor dapat meningkatkan
deposit mineral pada defek porus permukaan email gigi. 72 Hal selaras juga
ditemukan oleh Nawal et al (2016) bahwasanya terjadinya proses remineralisasi
pada enamel yang mengalami demineralisasi setelah diinteraksikan dengan
ekstrak daun kelor.73
Berdasarkan penelitian ini, diketahui bahwa ekstrak etanol daun kelor
memiliki pengaruh terhadap massa biofilm S. mutans dan porositas pada
permukaan email. Mengacu pada Tabel 5.3., massa biofilm Streptococcus mutans
memiliki hubungan yang kuat dengan porositas pada permukaan gigi. Hal ini
dikarenakan nilai koefesiensi antara biofilm dan porositas adalah 0,586 yang
berada pada rentang nilai koefisiensi 0,51-0,75. Hasil penelitian juga
memperlihatkan bahwa biofilm memiliki hubungan terhadap konsentrasi dengan
tingkatan hubungan cukup. Hal ini disebabkan nilai koefisien antara biofilm S.
mutans dengan konsentrasi adalah sebesar 0,381 dan berada pada rentang nilai
koefisiensi 0,26-0,50.

Universitas Syiah Kuala


BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. Kesimpulan
7.1.1. Pembentukan massa biofilm Streptococcus mutans setelah
diinteraksikan dengan ekstrak etanol daun kelor (Moringa oleifera)
berhubungan dengan berbagai konsentrasi ekstrak etanol daun
kelor (Moringa oleifera).
7.1.2. Pembentukan porositas pada permukaan gigi berhubungan dengan
biofilm dan tidak berhubungan dengan berbagai konsentrasi ekstrak
etanol daun kelor (Moringa oleifera)

7.2. Saran
7.2.1. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati massa biofilm
S. mutans dengan menggunakan metode lainnya.
7.2.2. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati porositas pada
permukaan gigi dengan metode lainnya.
7.2.3. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengamati pengaruh
ekstrak etanol daun kelor berbagai konsentrasi dan waktu inkubasi
terhadap kekerasan mikro pada permukaan gigi.

37 Universitas Syiah Kuala


38

DAFTAR PUSTAKA

1. Li X, Liu D, Sun Y, Yang J, Yu Y. Association of genetic variants in


enamel-formation genes with dental caries: A meta- and gene-cluster
analysis. Saudi J Biol Sci 2020;28(3):1645-1653.
2. Karimi N, Jabbari V, Nazemi A, Ganbarov K, Karimi N, Tanomand A, et
al. Thymol, cardamom. Lactobacillus plantarum nanoparticles as a
functional candy with high protection against Streptococcus mutans and
tooth decay. Microb Pathog 2020;148(11):1-8.
3. Fathulhuda MM, Caroline C, Muthmainnah S, Faridah N. Application of
Casein Phosphopeptide Isolate in Cheese as Dental Caries Prevention.
Jurnal Kesehatan Masyarakat 2019;15(2):241–6.
4. Patel M. Dental caries vaccine : are we there yet ? Letters in Applied
Microbiolog 2020;70(1):1–11.
5. Shafiei Z, Rahim ZHA, Philip K, Thurairajah N, Yaacob H. Potential
effects of Psidium sp., Mangifera sp., Mentha sp. and its mixture (PEM) in
reducing bacterial populations in biofilms, adherence and acid production
of S. sanguinis and S. mutans. Arch Oral Biol 2020;109(4):1-15.
6. Matsumoto-Nakano M. Role of Streptococcus mutans surface proteins for
biofilm formation. Jpn Dent Sci Rev 2018;54(1):22–29.
7. Angelini Sfalcin R, da Silva JVP, Oliva Pessoa V, Santos J, Garcia Olivan
SR, Porta Santos Fernandes K, et al. Remineralization of early enamel
caries lesions induced by bioactive particles: An in vitro speckle analysis.
Photodiagnosis Photodyn Ther 2019;28(9):201–209.
8. Chawhuaveang DD, Yu OY, Yin IX, Lam WYH, Mei ML, Chu CH.
Acquired salivary pellicle and oral diseases: A literature review. J Dent Sci
2021;16(1):523–529.
9. Larsen T, Fiehn NE. Dental biofilm infections – an update. Apmis
2017;125(4):376–384.
10. Cummins D. The development and validation of a new technology, based
upon 1.5% arginine, an insoluble calcium compound and fluoride, for
everyday use in the prevention and treatment of dental caries. J Dent.
2013;41(SUPPL. 2):S1–S11.
11. Andréa G. Ferreira Zandoná, André V. Ritter Rse. Dental Caries: Etiology,
Clinical Characteristics, Risk Assessment, And Management. In: Ritter A
V., Walter R, Boushell Lw, Editors. Art And Science Of Operative
Dentistry. 7th Ed. Elshevier; 2019. p. 40–41.
12. Cummins D. The development and validation of a new technology, based

Universitas Syiah Kuala


39

upon 1.5% arginine, an insoluble calcium compound and fluoride, for


everyday use in the prevention and treatment of dental caries. J Dent
2013;41(2):S1–S11.
13. Mariati NW. Penanganan fluorosis gigi dengan menggunakan teknik
mikroabrasi. Jurnal e-Gigi 2015;31–6. 2015;3(1):149–154.
14. Barbieri R, Coppo E, Marchese A, Daglia M, Sobarzo-sánchez E, Fazel S,
et al. Phytochemicals for human disease : An update on plant-derived
compounds antibacterial activity. Microbiol Res 2017;196:44–68.
15. Kusmana C, Hikmat A, Konservasi D, Hutan S, Kehutanan F, Bogor IP, et
al. Keanekaragaman Hayati Flora Di Indonesia. Jurnal Pengelolaan
Sumberdaya Alam dan Lingkungan 2015;5(2):187–198.
16. Mohanty M, Mohanty S, Bhuyan SK, Bhuyan R. Phytoperspective of
Moringa oleifera for oral health care: An innovative ethnomedicinal
approach. Phyther Res. 2021;35(3):1–13.
17. Jwa SK. Efficacy of moringa oleifera leaf extracts against cariogenic
biofilm. Prev Nutr Food Sci 2019;24(3):308–312.
18. Rao PK, Rao DB, Ravi C, Nadh MR, Madhavi Y, Rao TR. In vitro
antibacterial activity of Moringa oleifera against dental plaque bacteria. J
Pharm Res 2011;4(3):695–697.
19. Younis SH, Obeid RF, Ammar MM. Subsurface enamel remineralization
by Lyophilized Moringa leaf extract loaded varnish. Heliyon 2020;6(9):1–
7.
20. Dhakad AK, Ikram M, Sharma S, Khan S, Pandey V V., Singh A.
Biological, nutritional, and therapeutic significance of Moringa oleifera
Lam. Phyther Res 2019;33(11):2870–2903.
21. J.A. Lemos, S.R. Palmer, L. Zeng, Z.T. Wen, J.K. Kajfasz, I.A. Freires
Jaaljb, 27. The Biology of Streptococcus mutans In: Fischetti Va, P Nr,
Ferretti Jj, Portnoy Da, Braunstein M, Rood Ji, Editors. Gram-Positive
Pathogens. 3rd Ed. Canada; 2019. P. 435–450.
22. Qiu W, Ren B, Dai H, Zhang L, Zhang Q, Zhou X, et al. Clotrimazole and
econazole inhibit Streptococcus mutans biofilm and virulence in vitro. Arch
Oral Biol 2017;73:113–120.
23. Estela M, Assed L, Assed R, Mercedes N, Tineo S, Elena N, et al.
Morphological identification of Streptococcus mutans and Streptococcus
sobrinus in SB-20M culture medium has efficiency comparable to
proteomic identification by the MALDI-TOF mass spectrometry technique.
Archives of Oral Biology 2020;110(9):3–6.
24. Ranganathan V, Akhila C. Streptococcus mutans: has it become prime
perpetrator for oral manifestations? J Microbiol Exp 2019;7(4):207–213.

Universitas Syiah Kuala


40

25. Bedoya-Correa CM, Rincón Rodríguez RJ, Parada-Sanchez MT. Genomic


and phenotypic diversity of Streptococcus mutans. J Oral Biosci
2019;61(1):22–31.
26. Kawada-Matsuo M, Shibata Y, Yamashita Y. Role of two component
signaling response regulators in acid tolerance of Streptococcus mutans.
Oral Microbiol Immunol 2009;24(2):173–176.
27. Ngabaza T, Moeno S, Patel M. Anti-acidogenic and anti-biofilm activity of
5,6,8-trihydroxy-7-methoxy-2-(4-methoxyphenyl)-4H-chromen-4-one.
Microb Pathog 2018;123(7):149–152.
28. Bojanich MA, Calderón RO. Streptococcus mutans membrane lipid
composition: Virulence factors and structural parameters. Arch Oral Biol
2017;81(4):74–80.
29. Esberg A, Sheng N, Mårell L, Claesson R, Persson K, Borén T, et al.
Streptococcus Mutans Adhesin Biotypes that Match and Predict Individual
Caries Development. EBioMedicine 2017;24:205–215.
30. Lynge Pedersen AM, Belstrøm D. The role of natural salivary defences in
maintaining a healthy oral microbiota. J Dent 2019;80(8):S3–S12.
31. Karygianni L, Ren Z, Koo H, Thurnheer T. Biofilm Matrixome:
Extracellular Components in Structured Microbial Communities. Trends
Microbiol 2020;28(8):668–681.
32. Li J, Zhao X. Effects of quorum sensing on the biofilm formation and
viable but non-culturable state. Food Res Int.
2020;137(September):109742.
33. Ćirić AD, Petrović JD, Glamočlija JM, Smiljković MS, Nikolić MM,
Stojković DS, et al. Natural products as biofilm formation antagonists and
regulators of quorum sensing functions: A comprehensive review update
and future trends. South African J Bot 2019;120:65–80.
34. Elmougy R. Caries. In: Moharamzadeh K, editor. Diseases and Conditions
in Dentistry: An Evidence-Based Reference. 1st ed. John Wiley & Sons
Ltd; 2018. p. 37–43.
35. Schuurs A. Caries. In Schuurs A. Pathology of the Hard Dental Tissues. 1st
ed. Pathology of the Hard Dental Tissues. Wiley-Blackwell; 2013. p. 123–
153
36. Meerrettichbaum M, Arabic P. Moringa oleifera. Enzyklopädie der
Holzgewächse: Handbuch und Atlas der Dendrologie 2014. :1–8.

37. Ademiluyi AO. Drying alters the phenolic constituents , antioxidant


properties , amylase , and α - glucosidase inhibitory properties of Moringa
( Moringa oleifera ) leaf. Food Sci Nutr 2018;(3):2123–2133. .
38. Adli M. Observasi Keberadaan dan Keragaman Tanaman Kelor (Moringa

Universitas Syiah Kuala


41

oleifera L .) di Kabupaten Malang. J Produksi Tanam 2019;7(6):1130–


1139.
39. Sultana S. Nutritional and functional properties of Moringa oleifera. Metab
Open 2020;8(10):1-6.
40. Kim DS, Choi MH, Shin HJ. Extracts of Moringa oleifera leaves from
different cultivation regions show both antioxidant and antiobesity
activities. J Food Biochem 2020;44(7):1–12.
41. Chinsembu KC. Plants and other natural products used in the management
of oral infections and improvement of oral health. Acta Trop
2016;154(10):6–18.
42. Leishman SJ, Walsh LJ, Philip N, Hmhn B, Sj L, Lj W. Inhibitory effects
of fruit berry extracts on Streptococcus mutans biofilms. Eur J Oral Sci
2018;127(2):122–129.
43. Auliya S, Elianora D. Uji aktifitas antibakteri ekstrak brokoli (Brassica
oleracea var. Italica) terhadap bakteri Streptococcus mutans. Padjadjaran
J Dent Res Student. 2019;3(2):92–97.
44. Shao D, Li J, Li J, Tang R, Liu L, Shi J, et al. Inhibition of Gallic Acid on
the Growth and Biofilm Formation of Escherichia coli and Streptococcus
mutans. J Food Sci 2015;80(6):M1299–305.
45. Leba MAU. Ekstraksi dan Real kromatografi. Yogyakarta: Deep Publish;
2017.
46. Huang Y, Xie S, Wang N, Ge J, Status of bacterial colonization in teeth
associated with different types of pulpal and periradicular disease : A
scanning electron microscopy analysis. J Dent Sci 2015;10(1):95–101.

47. Eraphin SUS. Scanning Electron Microscopy. In: Kaufmann EN, editor.
Characterization of Materials. 1st ed. 2012. p. 1721–1736.
48. Kammoun R, Zmantar T, Ghoul S. MethodsX Scanning electron
microscopy approach to observe bacterial adhesion to dental surfaces.
MethodsX 2020;7:101107.
49. Berg C, Unosson E, Riekehr L, Xia W, Engqvist H. Electron microscopy
evaluation of mineralization on peritubular dentin with amorphous calcium
magnesium phosphate microspheres. Ceram Int 2020;46(11):19469–19475.
50. Kishen A, Haapasalo M. Biofilm models and methods of biofilm
assessment 2012;22(1):58–78.
51. Vyas N, Sammons RL, Addison O, Dehghani H, Walmsley AD. A
quantitative method to measure biofilm removal efficiency from complex
biomaterial surfaces using SEM and image analysis. Sci Rep. 2016;6(1):2–
11.

Universitas Syiah Kuala


42

52. El S, Koraichi S, Latrache H, Hamadi F. Scanning Electron Microscopy


(SEM) and Environmental SEM: Suitable Tools for Study of Adhesion
Stage and Biofilm Formation. In: Scanning Electron Microscopy. 2012. p.
718–730.
53. Schneider CA, Rasband WS, Eliceiri KW. NIH Image to ImageJ: 25 years
of image analysis. Nat Methods 2012;9(7):671–675.
54. Rueden CT, Schindelin J, Hiner MC, DeZonia BE, Walter AE, Arena ET,
et al. ImageJ2: ImageJ for the next generation of scientific image data.
BMC Bioinformatics. 2017;18(1):1–26.
55. Anggraeni A, Yuliati A, Nirwana I. Perlekatan koloni Streptococcus
mutans pada permukaan resin komposit sinar tampak. Dent J (Majalah
Kedokt Gigi) 2005;38(1):8.
56. Tunas TH, Edy HJ, Siampa JP. Efek Antibakteri Ekstrak Etanol Daun
Kelor (Moringa oleifera Lam.) dan Sediaan Masker Gel ¬Peel-Off Ekstrak
Etanol Daun Kelor (Moringa oleifera Lam.). J MIPA. 2019;8(3):112.
57. Chairunas, Saputri D, Putri MK. Daya Fito-Respon Ekstrak Etanol Daun
Kelor (Moringa Oleifera) Terhadap Sel Osteosit Dan Matriks Tulang
Mandibula Tikus (Rattus Norvegicus). Cakradonya Dent J 2020;12(2):83–
88.
58. Sus S, Revilla G, Anggini F, Maizar. Po. Daya Hambat Ekstrak Daun Jarak
Pagar (Jatropha Curcas L) Terhadap Pertumbuhan Candida Albicans.
Cakradonya Dent J 2019;11(2):109–114.
59. Chester K, Zahiruddin S, Ahmad A, Khan W, Paliwal S, Ahmad S.
Bioautography-based Identification of Antioxidant Metabolites of Solanum
nigrum L. and Explorati. Pharmacogn Mag. 2017;13(62):179–188.
60. Gani BA, Soraya C, Sunnati, Nasution AI, Zikri N, Rahadianur R.
Perubahan Ph Saliva Buatan Setelah Diinteraksikan Dengan Candida
Albicans, Streptococcus Mutans, Dan Aggregatibacter
Actinomycetemcomitans. Cakradonya Dent J 2013;5(2):564–571.
61. Atun S. Uji Aktivitas Antibakteri Dari Ekstrak Etanol Temukunci
(Boesenbergia pandurata) Terhadap Bakteri Streptococcus mutans. J
Penelit Saintek 2017;22 (4):59-66.
62. Mebude O, Adeniyi B, Lawal T. In vitro Antimicrobial Activities of
Ethanol Extract of Distemonanthus benthamianus (Aayan) Baillon
(Fabaceae) on Streptococcus mutans. Br J Med Med Res. 2017;22(1):1–8.
63. Maharani RS, Siswomiharjdo W, Sunarintyas S. Pengaruh Variasi pH
Saliva terhadap Perlekatan Streptococcus mutans pada Resin Komposit
Nanofil. J Mater Kedokt Gigi. 2017;6(2):51.
64. Barnabé M, Saraceni Chc, Suffredini Md-Cib. The Influence Of Brazilian

Universitas Syiah Kuala


43

Plant Extracts On Streptococcus Mutans Biofilm. J Appl Oral Sci.


2014;22(5):366–72.
65. Lugito MDH. Kontrol infeksi dan keselamatan kerja dalam praktek
kedokteran gigi (Infection control and occupational safety in dental
practice). J PDGI 2013;62(1):24–30.
66. Gedif Meseret A. Oral Biofilm and Its Impact on Oral Health,
Psychological and Social Interaction. Int J Oral Dent Heal. 2021;7(1):1-11
67. Pitts NB, Zero DT, Marsh PD, Ekstrand K, Weintraub JA, Ramos-Gomez
F, et al. Dental caries. Nat Rev Dis Prim. 2017;3.
68. Huang CB, Altimova Y, Myers TM, Ebersole JL. Activity for Oral
Microorganisms. Arch Oral Biol. 2012;56(7):650–654.
69. Naibaho FG, Hartanto A, Bintang M, Jamilah I, Priyani N, Putra ED. GC-
MS analysis and antimicrobial activity of the aqueous extract from the
bulbs of Allium chinense G. Don. cultivated in North Sumatra, Indonesia.
Asian J Agric Biol. 2021;2021(2):1–10.
70. Papetti A, Mascherpa D, Carazzone C, Stauder M, Spratt DA, Wilson M, et
al. Identification of organic acids in Cichorium intybus inhibiting
virulence-related properties of oral pathogenic bacteria. Food Chem.
2013;138(2–3):1706–12.
71. Saa RW, Fombang EN, Ndjantou EB, Njintang NY. Treatments and uses of
Moringa oleifera seeds in human nutrition: A review. Food Sci Nutr.
2019;7(6):1911–9.
72. Khalaf ES, Nagib A, Amin LM, Ibrahim FM. Biological Effects of Topical
Application of Moringa Oleifera Extract Versus Fluoride on Uremic
Patients Extracted Teeth. Int J Adv Res. 2016;4(9):1513–20.
73. Aidaros N, Mosallam R, Farouk H. Effect of Green Tea , Black Tea and
Moringa Oleifera on Remineralization of Artificially Demineralized
Enamel and Dentin : An In-vitro Microhardness Analysis. Adv Dent J.
2021;3(1):24–34.

Universitas Syiah Kuala


44

Lampiran 1 Surat Laik Etik

Universitas Syiah Kuala


45

Lampiran 2. Surat Izin Penelitian

Universitas Syiah Kuala


46

Lampiran 2. Lanjutan

Universitas Syiah Kuala


47

Lampiran 2. Lanjutan

Universitas Syiah Kuala


48

Lampiran 3. Surat Selesai Penelitian

Universitas Syiah Kuala


49

Lampiran 3. Lanjutan

Universitas Syiah Kuala


50

Lampiran 3. Lanjuutan

Universitas Syiah Kuala


51

Lampiran 4. Hasil Uji Gas Chromatography-Mass Spectometry (GC-MS)

Universitas Syiah Kuala


52

Lampiran 4. Lanjutan

Universitas Syiah Kuala


53

Lampiran 5. Lampiran Hasil Pemeriksaan Quorum Sensing

Hasil quorum sensing pada spesimen Hasil quorum sensing pada spesimen
gigi yang direndam ekstrak daun kelor gigi yang direndam ekstrak daun kelor
konsentrasi 6,25% masa inkubasi 48 konsentrasi konsentrasi 12,5% masa
jam inkubasi 48 jam

Hasil quorum sensing pada spesimen Hasil quorum sensing pada spesimen
gigi yang direndam ekstrak daun kelor gigi yang direndam kontrol negatif
konsentrasi konsentrasi 25% masa masa inkubasi 48 jam
inkubasi 48 jam

Hasil quorum sensing pada spesimen Hasil quorum sensing pada spesimen
gigi yang direndam kontrol positif masa gigi yang direndam ekstrak daun kelor
inkubasi 48 jam konsentrasi konsentrasi 6,25% masa
inkubasi 24 jam

Universitas Syiah Kuala


54

Lampiran 5. Lanjutan

Hasil quorum sensing pada spesimen Hasil quorum sensing pada spesimen
gigi yang direndam ekstrak daun kelor gigi yang direndam ekstrak daun kelor
konsentrasi konsentrasi 12,5% masa konsentrasi konsentrasi 25% masa
inkubasi 24 jam inkubasi 24 jam

Hasil quorum sensing pada spesimen Hasil quorum sensing pada spesimen
gigi yang direndam kontrol negatif gigi yang direndam kontrol positif masa
masa inkubasi 24 jam inkubasi 24 jam

Universitas Syiah Kuala


55

Lampiran 6. Hasil Pemeriksaan SEM

Hasil pemeriksaan SEM pada spesimen Hasil pemeriksaan SEM pada


gigi yang direndam ekstrak daun kelor spesimen gigi yang direndam ekstrak
konsentrasi 6,25% selama 24 jam daun kelor konsentrasi 12,5% selama
24 jam

Hasil pemeriksaan SEM pada spesimen Hasil pemeriksaan SEM pada


gigi yang direndam ekstrak daun kelor spesimen gigi yang kontrol negatif
konsentrasi 12,5% selama 24 jam aquades selama 24 jam

Hasil pemeriksaan SEM pada spesimen Hasil pemeriksaan SEM pada


gigi yang direndam kontrol positif spesimen gigi yang direndam ekstrak
chlorhexidine selama 24 jam daun kelor konsentrasi 6,25% %
selama 48 jam

Universitas Syiah Kuala


56

Lampiran 6. Lanjutan

Hasil pemeriksaan SEM pada Hasil pemeriksaan SEM pada spesimen


spesimen gigi yang direndam ekstrak gigi yang direndam ekstrak daun kelor
daun kelor konsentrasi 12,5% selama konsentrasi 25% selama 48 jam
48 jam

Hasil pemeriksaan SEM pada Hasil pemeriksaan SEM pada spesimen


spesimen gigi yang direndam kontrol gigi yang direndam kontrol positif
negatif aquades selama 48 jam chlorhexidine selama 48 jam

Universitas Syiah Kuala


57

Lampiran 7. Hasil Analisis

Uji Normalitas Shapiro-Wilk

Uji Linearitas

Universitas Syiah Kuala


58

Lampiran 7. Lanjutan

Universitas Syiah Kuala


59

Lampiran 7. Lanjutan

Uji Heterodaksitas

Correlations
Unstandardized
Biofilm Porositas Residual
**
Spearman's rho Biofilm Correlation Coefficient 1,000 ,568 ,040
Sig. (2-tailed) . ,001 ,833
N 30 30 30
**
Porositas Correlation Coefficient ,568 1,000 -,079
Sig. (2-tailed) ,001 . ,677
N 30 30 30
Unstandardized Residual Correlation Coefficient ,040 -,079 1,000
Sig. (2-tailed) ,833 ,677 .
N 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Correlations
Unstandardized
Biofilm Porositas Residual
**
Spearman's rho Biofilm Correlation Coefficient 1,000 ,568 -,037
Sig. (2-tailed) . ,001 ,845
N 30 30 30
**
Porositas Correlation Coefficient ,568 1,000 -,147
Sig. (2-tailed) ,001 . ,439
N 30 30 30
Unstandardized Residual Correlation Coefficient -,037 -,147 1,000
Sig. (2-tailed) ,845 ,439 .
N 30 30 30
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Universitas Syiah Kuala


60

Lampiran 7. Lanjutan

Uji Korelasi Non-Paramterik Spearman

Universitas Syiah Kuala


61

Lampiran 8. Dokumentasi Penelitian

Proses pemotongan gigi premolar Hasil pemotongan mahkota gigi


menggunakan carborundum disk, menjadi 2 fragmen: bukal dan lingual
memisahkan mahkota dan akar gigi,
kemudian mahkota gigi menjadi 2
fragmen

Proses pengadukan akrilik self cure Fiksasi gigi ke dalam mold akrlik self-
cure

Akrilik self cure telah setting dan Ektrak etanol daun kelor
spesimen dikeluarkan dari dalam mold.

Universitas Syiah Kuala


62

Lampiran 8. Lanjutan

Proses Pengenceran ekstrak etanol Hasil pengenceran eksstrak daun kelor


daun kelor ke dalam 3 konsentrasi: 6,25%,
12,5%, dan 25%

Proses menginterkasikan spesimen Spesimen penelitian dengan 3


dengan ekstrak daun kelor kelompok uji dan 2 kelompok kontrol

Bakteri Streptococcus mutans ATCC Penginteraksian bakteri ke dalam


25175 spesimen gigi dan konsentrasi
perlakuan

Universitas Syiah Kuala


63

Lampiran 8. Lanjutan

Proses inkubasi spesimen dalam 24 Setelah diinkubasi, spesimen


jam dan 48 jam dikeluarkan dari dalam inkubator dan
dicuci dengan menggunakan alkohol

Spesimen diwarnai dengan Spesimen dibilas dengan menggunkan


menggunakan larutan kristal violet akuades

Universitas Syiah Kuala

Anda mungkin juga menyukai