TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis dalam
Ilmu Konservasi Gigi
Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas segala limpahan karunia dan kuasa-Nya yang
tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
ini. Penulisan yang tertuang dalam tesis ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan Pendidikan Spesialis Ilmu Konservasi Gigi Universitas Indonesia.
Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan,
bimbingan dan dukungan moril dari berbagai pihak, oleh karen itu ijinkan saya
menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Pj. Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met.
2. Dr. Yosi Kusuma Eriwati, drg., M.Si, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia, beserta jajarannya.
3. Dr. Corputty Johan E.M., drg., Sp.BM, selaku Wakil Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
4. Dr. Sri Lelyati, S. U., drg., Sp.Perio (K), selaku Manajer Pendidikan dan
Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
5. Dr. Endang Suprastiwi, drg., Sp.KG (K), selaku Ketua Departemen Ilmu
Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
6. Nilakesuma Djauhari, drg., MPH, Sp.KG (K), selaku Koordinator
Pendidikan Spesialis Departemen Ilmu Konservasi Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sekaligus dosen penguji yang
telah memberikan motivasi serta masukan yang sangat berharga.
7. Bambang Nursasongko, drg., Sp. KG (K), selaku pembimbing I yang sejak
awal pendidikan telah banyak meluangkan waktu, memberikan ide, arahan
serta semangat yang sangat berarti kepada penulis.
8. Dr. Ratna Meidyawati, drg., Sp.KG (K), selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dan dengan sangat teliti membimbing serta
memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.
iv
Kepada yang tersayang ayahanda H. Soekamto N.S Alm, dan Ibunda Hj.
Ida Atika, papa H. Maswir Djamaan dan mama Hj. Yemmi, terimakasih atas doa
dan dukungan selama penulis menjalani pendidikan.
Suami tercinta Ferry Ardiansyah STP., MM, terima kasih atas semua
dukungan baik materiil dan moril, serta memberikan kesempatan kepada penulis
dalam menyelesaikan pendidikan. Jagoan bunda Dhafin Ridho Ardiansyah dan
sicantik Dinda Fayyaza Ardiansyah, terimakasih untuk kesabarannya dalam
berbagi perhatian selama penulis menyelesaikan pendidikan.
Kepada kakakku tersayang dr. Mareti Pandan Ayu, Sp.OG dan Ageng
Hardani, ST terimakasih untuk selalu mendoakan dan memberikan dukungan
selama penulis menjalani pendidikan.
Teman-teman seperjuangan, PPDGS angkatan 2012, Arie, Asri, Bunga,
Dita, Feli, Iffi, Fifi, Kurniawan, Dika, Priska, Peggy, Tita dan Shelvy, terimakasih
vi
Kata Kunci: E.faecalis, fotodinamik dengan biru toluidin, NaOCl 2.5%, CHX
2%
viii
ix
xi
xii
xiii
xiv
xv
BAB 1
PENDAHULUAN
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
E.faecalis pada saluran akar gigi dan daya antibakterinya dibandingkan dengan
natrium hipoklorit 2,5% dan klorheksidin2%
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
6 Universitas Indonesia
Dinding sel bakteri Enterococcus faecalis ini terdiri dari peptidoglikan 40%,
sisanya merupakan teichoic acid dan polisakarida.20 Sintesis peptidoglikan dihasilkan
oleh keseimbangan antara enzim polimerisasi dan hidrolitik. Peptidoglikan
merupakan makromolekul utama yang terlibat dalam penentuan bentuk sel dan
pemeliharaannya. Zat ini juga berguna sebagai lapisan pelindung dari kerusakan oleh
tekanan osmotik sitoplasma yang tinggi. 21
Universitas Indonesia
Gambar 2.1. Model penyakit saluran akar yang berhubungan dengan faktor virulensi E.faecalis.
Faktor virulensi bakteri di dalam tubulus dentin dan saluran akar disebarkan ke daerah periapeks,
dimana akan terjadi stimulasi leukosit untuk menghasilkan mediator inflamasi atau enzim lisis. Faktor
virulensi dan produk leukosit ditunjukkan pada zona antara garis putus-putus. Pada kotak yang
diperbesar, ditunjukkan faktor virulensi bakteri yang menyebabkan ikatan dengan dentin. Produk
bakteri yang melawan bakteri lain juga terdapat pada gambar. Tulisan dalam kotak hitam merupakan
produk bakteri. Istilah: Adh, adesin permukaan; AS: substansi agregat; Bact, bakteriosin; BS, binding
substance; CP; peptida kolagen; Cyl, sitolisin; Ef, Enterococcus faecalis; Elas, elastase; Gel,
gelatinase; Hya, hialuronadase; H2O2, hidrogen peroksida; IFN-, interferon gamma; IL: interleukin;
LE, enzim lisosomal; PGE2, prostaglandin E2; SP; feromon seks; dan TNF, tumor necrosis factor. O2.-
: titik menandakan adanya elektron yang tidak berpasangan, sedangkan tanda minus menandakan
muatan negati.24
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
pada konsentrasi 10-1000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi yang dibutuhkan
bakteri dalam bentuk plankton. Bakteri dalam Biofilm sangat resiten terhadap
fagositosis, sehingga menyebabkan biofilm sangat sulit dieliminasi dari host.26
Universitas Indonesia
Natrium hipoklorit akan menetralisir asam amino membentuk garam dan air,
dengan keluarnya ion hidroksil terjadi penurunan pH.27
Asam hipoklorus, substansi yang ada dalam larutan natrium hipoklorit, ketika
berkontak dengan jaringan organik akan bertindak sebagai pelarut dan melepaskan
klorin, yang akan berikatan dengan protein grup amino membentuk kloramin.27 Pada
pH antara 4 dan 7, sebagian besar klorin akan berbentuk HClO, bagian yang aktif dan
bertanggung jawab dalam inaktivasi bakteri, dimana pada pH di atas 9, akan
didominasi oleh OCl- yang sifatnya lebih kurang aktif.28 Hypochlorous acid (HOCl-)
dan hypochlorite ions (OCl-) akan menyebabkan degradasi asam amino dan
hidrolisis. Reaksi chloramination antara klorin dan grup amino (NH) akan
membentuk chloramines yang menghambat metabolisme sel. Klorin adalah oksidan
Universitas Indonesia
yang kuat, yang mempunyai aksi antimikroba dengan menghambat enzim bakteri dan
memicu oksidari ireversibel dari grup SH (Sulphydryl Group) dari enzim bakteri yang
esensial.27 Dengan demikian, saponifikasi, neutralisasi asam amino, dan reaksi
kloraminasi yang terjadi pada mikroorganisme dan jaringan organik akan
memberikan efek antimikroba dan proses pelarutan jaringan. 27 Selain itu, preparasi
hipoklorit bersifat sporisidal dan virusidal yang akan menghasilkan efek melarutkan
lebih besar pada jaringan nekrosis dibandingkan pada jaringan vital. Hal ini
mendasari penggunaan larutan natrium hipoklorit sebagai bahan irigasi utama sejak
awal tahun 1920.28
Banyak kontroversi mengenai konsentrasi larutan natrium hipoklorit yang
seharusnya digunakan pada perawatan endodonsia. Efektivitas antibakteri dan
kapasitas pelarutan jaringan dari larutan hipoklorit merupakan fungsi dari
konsentrasinya dan juga toksisitasnya. Sebagian besar praktisi di Amerika
menggunakan natrium hipoklorit dengan konsentrasi 5,25%, yang biasa dijual
sebagai bahan pemutih kebutuhan rumah tangga, hal ini dapat menyebabkan beberapa
reaksi yang merugikan seperti iritasi dan penurunan kekuatan fleksibilitas dentin.
Berdasarkan beberapa penelitian, jumlah mikrobiota yang berkurang tidak terlalu
signifikan, yang perlu diingat adalah selama irigasi, natrium hipoklorit yang baru
akan secara konsisten masuk ke dalam saluran akar, oleh karena itu konsentrasi
larutan tidak memberikan peranan yang terlalu signifikan. Saluran akar yang tidak
bersih dapat disebabkan oleh karena ketidakmampuan larutan untuk mencapai bagian
dari saluran akar tersebut dan bukan karena konsentrasi kandungannya.28 Metode
yang dapat meningkatkan efektivitas dari natrium hipoklorit adalah dengan
mengganti pH larutan NaOCl. Larutan hipoklorit murni yang digunakan dalam
endodonsia mempunyai pH 12. Seperti dijelaskan di atas, bagian yang aktif dan
bertanggung jawab dalam disinfeksi jaringan dan pelarutan jaringan adalah HClO.
Pada pH tinggi, di atas 9, klorin yang tersedia akan berbentuk OCl- yang sifatnya
lebih tidak aktif. Oleh karena itu, dengan mengganti pH larutan menjadi 4,5, maka
klorin akan tersedia dalam bentuk HClO dan meningkatkan efek disinfeksi dari
NaOCl.27
Universitas Indonesia
Natrium hipoklorit digunakan dalam konsentrasi yang beragam, mulai dari 0,5
7%, merupakan agen antimikroba yang sangat kuat dan efektif dalam melarutkan
jaringan pulpa dan komponen dentin yang tersisa, dapat membunuh bakteri dengan
sangat cepat dalam konsentrasi rendah sekalipun. Gomes,dkk, melakukan penelitian
terhadap kemampuan natrium hipoklorit melawan bakteri Enterococcus faecalis,
hasilnya menunjukkan natrium hipoklorit 5,25% dapat membunuh bakteri ini dalam
waktu 30 detik, sedangkan natrium hipoklorit 2,5% dan 0,5% membutuhkan waktu
10-30 menit untuk membunuh semua bakteri. Tingginya resisten E. faecalis ini juga
didukung oleh hasil penelitian Radcliffe,dkk. Akan tetapi, hasil penelitian keduanya
bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haapasalo, dkk, dimana
natrium hipoklorit 0,3% dapat mematikan E. faecalis dengan cepat.7
Penelitian pada bakteri rod gram negatif, Porphyromonas gingivalis,
Porphyromonas endodontalis, dan Prevotella intermedia, yang biasanya didapatkan
pada kasus periodontitis apikalis, rentan terhadap NaOCl, dimana ketiga spesies ini
terbunuh dalam waktu 15 detik dengan natrium hipoklorit 0,5% - 5%. Akan tetapi,
berdasarkan hasil penelitian in vivo yang dilakukan oleh Bystrom dan Sundqvist,
saluran akar pada dasarnya telah terinfeksi, sebagian besar oleh berbagai macam
bakteri anaerob dan hasil penelitian mereka menyatakan bahwa walaupun natrium
hipoklorit 0,5%, dengan atau tanpa EDTA, dapat meningkatkan efisiensi antibakteri
dari preparasi, bila dibandingkan dengan irigasi air salin, seluruh saluran akar tidak
bebas bakteri, walaupun setelah beberapa kali kunjungan. Selain itu, tidak ada
perbedaan antibakteri yang signifikan antara natrium hipoklorit 0,5% dan 5% pada
penelitian ini.7
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Klorheksidin bukan merupakan bahan irigasi utama karena bahan ini tidak mampu
melarutkan sisa-sisa jaringan nekrotik dan kurang efektif terhadap bakteri gram
negatif. Klorheksidin merupakan anti bakteri dengan spektrum luas yang aktif
melawan bakteri vegetatif dan mycobacteria, mempunyai aktivitas moderat melawan
jamur dan virus, serta meghambat germinasi spora. Klorheksidin paling efektif
melawan bakteri gram-positif kokus, kurang efektif melawan bakteri Gram-positif
dan Gram-negatif batang. Kemampuan antibakteri CHX sebanding dengan natrium
hipoklorit dan efektif melawan kumpulan bakteri yang resisten terhadap kalsium
hidroksit, seperti gram-positif Enterococcus faecalis.28
Tujuan dari terapi endodonsia adalah mengurangi bakteri dalam saluran akar
yang terinfeksi, sampai tidak terdeteksi melalui prosedur kultur. Karena sifat
kationiknya, Klorheksidin dapat berikatan dengan permukaan yang dilapisi oleh
protein asam, seperti hidroksiapatit sebagai bagian dari dentin, dan dilepaskan dalam
tingkatan terapetik, yang disebut substantivity. Hal ini dapat terjadi dalam 48 jam
sampai 72 jam sesudah instrumentasi.30
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tanamaru Filho,dkk, gambaran
radiograf dari seekor anjing dengan inflamasi pada jaringan periapikal yang langsung
diobturasi setelah irigasi klorheksidin 2% menunjukan penyembuhan yang lebih baik
dibandingkan setelah irigasi dengan natrium hipoklorit 5,25%. Hal ini diduga karena
kemampuan absorpsi klorheksidin ke jaringan dentin, dengan demikan, menjaga aksi
antimikroba lebih alam dan menciptakan suasana jaringan yang lebih baik untuk
penyembuhan jaringan.30
Universitas Indonesia
positif. Mycobacteria dan spora bakteri resisten terhadap CHX, oleh karena itu, CHX
tidak sebaik natrium hipoklorit untuk sterilisasi kon gutta perca.29
2.3.2.2.Toksisitas Klorheksidin(CHX)
Klorheksidin mempunyai toksisitasnya yang minimal dan tidak menyebabkan
kerusakan jangka panjang pada jaringan. Apabila klorheksidin ini keluar dari saluran
akar tetap akan memberikan reaksi inflamasi. Berdasarkan penelitian Yesilsoy,dkk,
0,12% CHX yang diinjeksikan ke jaringan subkutan dari babi, menunjukan respon
inflamasi ringan setelah dua jam, inflamasi moderat setelah dua hari, dan
pembentukan jaringan granuloma setelah dua minggu, yang akan hilang dengan
berjalannya waktu. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Tanamaru Filho,dkk,
injeksi 2% klorheksidin pada jaringan peritoneal dari tikus menyebabkan inflamasi
yang sama dengan injeksi salin buffer fosfat, sementara injeksi dengan 0,5% natrium
hipoklorit menghasilkan sel radang yang jauh lebih banyak. Tanamaru menyimpulkan
bahwa CHX 2% bersifat biokompatibel. Berbeda dengan hasil penelitian yang
Universitas Indonesia
dilakukan oleh Faria, dkk, yang menemukan adanya reaksi inflamasi jaringan
terhadap injeksi klorheksidin pada telapak kaki tikus dan adanya korelasi positif
antara kematian jaringan dengan konsentrasi CHX yang digunakan. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa konsentrasi 0,5% dan 1% dari CHX menyebabkan
nekrosis jaringan, 0,25% menyebabkan sedikit jaringan nekrosis, sementara
konsentrasi 0,125% tidak menyebabkan nekrosis jaringan. Selain itu, penelitian ini
juga meneliti efek dari klorheksidin terhadap penyembuhan jaringan, dimana dalam
konsentrasi rendah klorheksidin akan menginduksi apoptosis dari fibroblas dan pada
konsentrasi tinggi akan menyebabkan kematian jaringan. 30
Efek toksisitas dari CHX adalah pembentukan para-chloranaline (PCA), yang
merupakan aromatic amine. Ketika dilakukan penelitian pada tikus, kelinci, dan
kucing, paparan yang berulang terhadap PCA dapat menyebabkan cyanosis dan
terutama pembentuk methemeglobinemia. Sedangkan pada manusia, paparan PCA
yang tidak disengaja menyebabkan gejala seperti meningkatnya methaemoglobin dan
sulfhaemoglobin, cyanosis, anemia, dan perubahan sistimik dari anoxia. Klorheksidin
dapat terhidrolisis secara spontan menjadi PCA dengan berjalannya waktu,
Klorheksidin juga dapat bereaksi dengan Natrium hipoklorit dan membentuk
presipitasi yang mengandung PCA. Air ataupun alkohol dapat digunakan sebagai
bahan irigan untuk membuang Natrium hipoklorit dari saluran akar sebelum CHX
digunakan, dengan demikian dapat meminimalisir pembentukan PCA. Selain itu,
EDTA (Exhylenediaminetetraacetic acid) juga merupakan bahan yang tepat untuk
membuang Natrium hipoklorit dari saluran akar, dimana kombinasi antara
klorheksidin dan EDTA tidak menghasilkan reaksi kimia. 30
Klorheksidin mempunyai kemampuan berikatan dengan molekul anionik
seperti fosfat yang terdapat pada struktur hidroksiapatit. Fosfat hadir dalam kompleks
kalsium karbonat dentin. Klorheksidin dapat berikatan dengan fosfat, yang akhirnya
melepaskan sebagian kecil kalsium dari dentin saluran akar. Nascimento Santos, dkk,
menyatakan bahwa CHX dapat menghasilkan kekuatan ikat mikro karena
Klorheksidin adalah agen yang tidak teroksidasi yang tidak mengganggu sistim
adhesi resin.28
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
2.3.3. Fotodinamik
Fotodinamik adalah teknik yang mengkombinasikan sinar kekuatan rendah
dengan senyawa photosensitizer untuk memproduksi molekul singlet oksigen dan
radikal bebas dalam menghancurkan sel bakteri.8 Ketika fotoaktivasi, radikal bebas
berbentuk toksik terhadap sel bakteri.31 Efek energi sinar kekuatan rendah pada sel
hidup dari terapi sinar kekuatan rendah, yang dikenal sebagai biostimulasi, ditentukan
oleh panjang gelombang dan total energi pengiriman yang diukur dengan
Joules/cm2.31
Fotodinamik melibatkan interaksi sinar dengan agen yang menghasilkan
oksigen. Setelah agen photosensitizer diaplikasikan pada jaringan, sinar laser
dipancarkan dengan panjang gelombang tertentu berkisar antara 630 nm dan 700 nm.
Hal ini menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel target (sel bakteri, fungi, ataupun
tumor) dengan menginduksi produksi reactive oxygen spesies (ROS). Reactive
oxygen spesies (ROS) adalah oksigen radikal bebas yang dapat merusak membran
mikroorganisme dan mempercepat matinya mikroorganisme. 11
Universitas Indonesia
Bis(1,1-dimethyl-3-[4-sulfobutyl]-1H-benz[e]indol-2-yl) heptamethinium-betain-Na.
Agen sensitizer berwarna hijau, dapat mengabsorbsi laser dengan panjang gelombang
810 nm. Sering digunakan untuk menguji fungsi hati, onkologi, dalam kedokteran
gigi lebih sering digunakan dalam bidang periodontologi. (4) Methylene blue
derivates yang merupakan turunan dari methylene blue. Dapat mengabsorbsi sinar
dengan panjang gelombang 810 nm.32
Photosensitizer yang paling umum digunakan adalah phentothiazine dyes
(biru toluidin dan biru metilen). Keduanya mempunyai unsur kimia dan karakteristik
psikokemikal yang hampir sama. Biru metilen dan biru toluidin sangat efektif dalam
membasmi bakteri gram-positif dan gram negatif. Aisa dkk (2009) dalam
penelitiannya mengatakan biru toluidin mempunyai kemampuan untuk membunuh
bakteri lebih baik dibandingkan dengan biru metilen, biru toluidin lebih efektif
berinteraksi dengan lipopolisakarida dan mempunyai efek fotobakterisidal lebih besar
dibandingkan dengan biru metilen.31
2.3.3.2.Sumber Sinar
Fotodinamik membutuhkan sinar yang dapat mengaktivasi photosensitizer
dengan megekspos sinar level rendah dengan panjang gelombang yang spesifik. Pada
jaman dahulu, aktivasi fotosensitizer dicapai dengan berbagai variasi sumber sinar,
seperti argon-pumped dye laser, potassium titany phosphate (PTP)- atau neodymium,
yttrium aluminum garnet(Nd-YAG)- pimped dye laser, dan gold-vapor. Sekarang
sumber sinar lebih banyak diaplikasikan pada fotodinamik mempunyai panjang
gelombang yang spesifik antara lain helium-neon (633 nm), gallium-alumina arsenide
diode laser (630-690) dan laser argon (488-514 nm).31
Universitas Indonesia
dengan dengan produk ini dapat berhasil dilakukan. Fotodinamik terutama digunakan
untuk disinfeksi saluran akar, periodontitis, gingivitis dan inflamasi akut lainnya,
periimplantitis dan karies profunda. 33
Universitas Indonesia
Gambar 2.7 Agen Photosensitizer biru toluidin yang diaplikasikan kedalam saluran akar33
2.3.4.2.Mekanisme Fotodinamik
Mekanisme reaksi fotokimia pada molekul fotosensitizer umumnya terjadi
melalui molekul fotosensitif yang tereksitasi secara optis bereaksi secara langsung
dengan substrat seperti membran sel atau molekul dan mentransfer sebuah proton
atau elektron membentuk anion atau kation radikal. Radikal ini akan bereaksi dengan
oksigen menghasilkan oksigen reaktif (ROS). Superoksida anion yang terbentuk akan
bereaksi dengan substrat menghasilkan hidrogen peroksida (H 2O2). Pada konsentrasi
tinggi hidrogen peroksida bereaksi dengan superoksida anion membentuk hidroksil
radikal (reaksi Haber Weiss) yang dengan mudah berdifusi melalui membran dan
merusak sel.34
Fotodinamik merupakan kombinasi sinar visible dengan sinar panjang
gelombang rendah dan phototosensitizer. Photosensitizer mampu menyerap sinar
dengan panjang gelombang spesifik, yang kemudian akan diubah dari awalnya singlet
state menjadi triple state. Periode lebih lama dari triplet state ini memberikan
kemampuan untuk interaksi antara Photosensitizer dengan molekul jaringan
sekitarnya. Produk toksisitasnya hanya akan diproduksi selama fotodinamik dengan
biru toluidin berada dalam triplet state. Produk sitotoksiknya, umumnya oksigen,
tidak dapat bermigrasi > 0,02 m setelah pembentukannya, sehingga lebih ideal untuk
aplikasi lokal fotodinamik dengan biru toluidin tanpa membahayakan biomolekul, sel
atau organ yang jauh.35 Mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
menunjukkan bahwa efek sitotoksisitas fotodinamik dengan biru toluidin baik yang
disinar maupun yang tidak disinar secara statistik lebih rendah p<0,05 dibandingkan
dengan CHX, sementara tidak ada perbedaan signifikan dengan EDTA 17%.38
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
26ydrogen tersebuat akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila
dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 720C40
Pemanjangan Primer (Extension) selama tahap ini, Taq polymerase memulai
aktifitasnya akan memperpanjang DNA primer dari ujung 3 dengan penambahan
dNTP yang komplemen dengan templat. Kecepatan dari penyusunan nukleotida oleh
enzim tersebut pada suhu 720C diperkirakan antara 35 sampai 100 nukleotida per
detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul DNA target.
Dengan demikian, untuk produk PCR sepanjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit
sudah lebih dari cukup untuk melakukan tahap pemanjangan primer ini. Biasanya, di
akhir siklus PCR, waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai lima
menit, sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA untai ganda. 40
Ketiga tahapan proses PCR yang telah dijelaskan diatas, dapat dilihat pada Gambar
2.10.
Universitas Indonesia
terdapat pada sample. Maka teknik ini disebut Quantitative PCR (qPCR). Proses
amplifikasi menggunakan real-time PCR memiliki prinsip yang sama dengan proses
amplifikasi PCR secara konvensional. Namun pada real-time PCR terdapat tambahan
komponen PCR yaitu probe. Probe merupakan primer yang diberi label pewarna dye
terdiri dari reporter dan peredam pewarna (quencher). Fluoresensi dari reporter hanya
dilepaskan ketika dua pewarna secara fisik terpisah melalui hibridisasi atau aktivitas
nuclease. Standar posisi label dye, yaitu quencher berada pada 3' dan reporter pada 5'
probe.40
Instrumen real-time PCR mendeteksi amplikon dengan mengukur
peningkatan pewarna (dye) fluorescent yang berpendar ketika terikat dengan double-
stranded DNA, berdasarkan sifat inilah maka pertumbuhan fragment DNA hasil
amplifikasi dapat diikuti secara seketika, semakin banyak DNA yang terbentuk
semakin tinggi pula intensitas fluorescent yang dihasilkan. Kuantitatif PCR
dimungkinkan dapat mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga hitungan
picogram atau setara dengan sel tunggal karena sensitifitas dye yang sangat tinggi.
Hasil peningkatan fluorescent digambarkan melalui kurva amplifikasi yang
menunjukkan tiga fasa yaitu fasa awal, fasa eksponensial atau puncak dan fasa
plateau atau stabil.40
Real-time PCR menggunakan seperangkat software bekerja secara akurat,
cepat, sensitif dan fleksibel. Dengan real-time PCR dapat menganalisa hingga 96
sample menggunakan multiwell plates, memiliki tiga komponen utama yaitu thermal
block cycler sebagai akurasi data, optical system sebagai deteksi data, dan software
sebagai analisis data, dilengkapi dengan analisa kurva melting, untuk dapat
melakukan kuantifikasi secara absolute dan kuantifikasi secara relatif.
Terdapat banyak bahan kimia berfluoresens yang digunakan sebagai sistim
deteksi pada Real time PCR, tetapi yang paling sering digunakan adalah SYBR Green
(DNA-binding dyes) dan TaqMan. SYBR Green tidak mengikat secara spesifik untai
ganda DNA. Pada saat SYBR Green berikatan maka akan menghasilnya sinyal
fluoresensi yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan SYBR Green yang tidak
berikatan. Metode kuantifikasi yang digunakan dalam Real time PCR dipilih
Universitas Indonesia
berdasarkan tujuan penelitian yang akan kita buat. Metode kuantifikasi yang
digunakan dalam Real time PCR adalah kuantifikasi absolut. Kuantifikasi absolut
menentukan jumlah DNA yang sebenarnya dari DNA target, tetapi merupakan bentuk
yang sulit dalam kuantifikasi. Metode ini membutuhkan perencanaan dan kurva
standar yang akurat. Kuantifikasi absolut sering digunakan untuk menentukan viral
titer. Untuk melakukan kuantifikasi absolut harus dibuat pengenceran dari target yang
telah diketahui konsentrasinya sebelumnya. Pengenceran tersebut akan diamplifikasi
dengan Real Time PCR, dan data yang dihasilkan akan digunakan untuk membuat
kurva standar dimana setiap konsentrasi dari target saling berpotongan dengan
threshold dan menghasilkan nilai CT. Threshold Cycle (CT) dari sampel yang tidak
diketahui konsentrasinya akan dibandingkan terhadap kurva standar untuk
menentukan jumlah salinan yang dihasilkan. Amplifikasi pengenceran dari target
untuk menghasilkan kurva standar dapat dilihat pada gambar. Kuantifikasi relatif
adalah menjelaskan realtime PCR pada ekspresi gen pada salah satu sampel yang
diberi perlakuan dibandingkan dengan ekspresi pada gen yang sama pada sampel
lainnya yang tidak diberi perlakuan. Perhitungan ekspresi gen dilakukan melalui
penentuan rasio sebuah gen target dengan sebuah gen referensi yang terdapat pada
semua sampel. Gen referensi adalah sebuah gen yang tingkat ekspresinya tidak
berbeda antar sampel.40
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS
3.2. Hipotesis
1. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm
2. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri yang
sebanding dengan natrium hipoklorit 2,5% terhadap Enterococcus
faecalis dalam biofilm
3. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri yang
sebanding dengan klorheksidin 2% terhadap Enterococcus faecalis
dalam biofilm
30 Universitas Indonesia
BAB 4
METODE PENELITIAN
31 Universitas Indonesia
B. Variabel Bebas
1. Fotodinamik Agen fotosensitizer - ml Nominal
dengan biru (toluidin blue 1%)
toluidin (CMS kemudian diaktivasi
Dental) dengan sinar merah
dengan panjang
gelombang 630nm
2. Natrium hipoklorit Bahan antiseptik dan - ml Nominal
2,5% disinfektan dengan
konsentrasi 12%, yang
diencerkan dengan
akuabides hingga
konsentrasinya
mencapai 2,5% dengan
menggunakan rumus
C1.V1=C2.V2
3. Klorheksidin 2% Klorheksidin 2% 2ml - ml Nominal
(Consepsis, Ultradent)
C. Variabel Terkendali
Jumlah E.faecalis Bakteri Gram-positif Dilakukan standarisasi dengan CFU/mL. Rasio
anaerob fakultatif dari McFarland 0,5,sehingga
ATCC 29212 didapatkan jumlah bakteri 108
Universitas Indonesia
4.5.2.2.Prosedur pelaksanaan :
E. faecalis hasil kultur selama 24 jam diambil dengan menggunakan jarum
ose, sampai ujung jarum ose penuh dengan bakteri. E. faecalis dari jarum ose
dimasukan ke dalam 10mL salin steril. Densitas dari suspensi distandarisasi dengan
McFarland standar 0,5 sehingga didapatkan 108 CFU/mL. Membran filter selulosa
nitrat yang terletak pada BHIA ini kemudian ditetesi dengan 25L suspense bakteri
dan diinkubasi pada suhu 370C selama keadaan aerob.
Universitas Indonesia
5. Biofilm E. faecalis
6. Fotodinamik dengan biru toluidin (CMS Dental)
7. Larutan klorheksidin 2%
8. Larutan natrium hipoklorit 2,5%
9. Larutan PBS steril
4.5.3.2.Prosedur pelaksanaan :
Setelah inkubasi selama 72 jam, membran steril diangkat secara asepsis dari
BHIA dan dimasukan ke dalam eppendorf 1 mL larutan phosphate-buffered saline
(PBS) untuk melepaskan bakteri yang tidak melekat dengan erat pada membran.
Kemudian, membran dimasukan ke dalam 3 eppendorf dengan larutan 1 mL PBS, 3
tabung dengan Fotodinamik + biru toluidin, 3 tabung dengan natrium hipoklorit 2,5%
, dan 3 tabung dengan larutan klorheksidin 2% selama 1 jam pada suhu 370C dalam
inkubator aerob.
4.5.4. Pembuatan Pelet E.faecalis ATCC 29212 yang Telah Dipaparkan Bahan
Uji
4.5.4.1.Alat dan bahan :
1. Eppendorf dengan 1 mL larutan PBS
2. Vortexer (BioRad)
4.5.4.2.Prosedur pelaksanaan :
Seluruh membran yang telah dipaparkan pada bahan uji dan juga kelompok
kontrol dicuci dengan 1 mL PBS sebanyak tiga kali, untuk menetralisir dan
menghentikan aktivitas bahan antibakteri. Kemudian, eppendorf terakhir dengan
membran diletakkan pada mesin vorteks selama 2 menit, sehingga didapatkan
suspensi bakteri. Membran kemudian dikeluarkan secara asepsis dari dalam
eppendorf.
Universitas Indonesia
4.5.5.2.Prosedur pelaksanaan :
PMA ditambahkan ke dalam eppendorf yang berisikan suspensi bakteri
sebanyak 100L, sampai didapatkan konsentrasi akhir sebanyak 100M. Eppendorf
diinkubasi selama 10 menit pada suhu 40C dalam ruang gelap. Setelah itu, eppendorf
diletakkan di atas dry ice secara horisontal dan dipaparkan dengan sinar halogen 600
watt selama 20 menit, dengan jarak 20cm.
Universitas Indonesia
4.5.6.2.Prosedur pelaksanaan :
Waterbath incubator disiapkan pada suhu 560C dan thermal block unit pada
suhu 1000C. Kemudian dilakukan homogenisasi sampel selama 10 detik dengan
mesin vortex, dan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000rpm selama 3 menit
sampai larut. Setelah sentrifugasi, bagian supernatan diambil dengan pipet mikro
sampai hanya menyisakan natan di dalam tabung mikrosentrifus, kemudian
supernatan dibuang. Selanjutnya, seluruh natan diberikan 200L InstaGeneTM Matrix
sambil dihomogenisasi di atas hot plate sterrir menggunakan magnetic stirrer.
Sampel kemudian diinkubasi dalam waterbath pada suhu 560C selama 30
menit dan dihomogenisasi dengan mesin vortex selama 10 detik. Tabung tersebut
kemudian dimasukan ke dalam thermoblock pada suhu 1000C selama 8 menit.
Prosedur ini dilakukan sebanyak 3x. Selanjutnya sampel kemudian dihomogenisasi
dengan mesin vortex selama 10 detik dan dilakukan sentrifugasi pada kecepatan
12000rpm selama 3 menit sampai larutan sampel terpisah menjadi natan dan
supernatan. Bagian supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus yang
baru. Sampel yang berisi supernatan disimpan pada suhu 4 0C selama 24 jam. Bila
dalam tabung mikrosentrfus masih terlihat endapan natan, supernatan dipindahkan
lagi ke dalam tabung mikrosentrifus yang baru dan disimpan pada suhu -200C.
Universitas Indonesia
6. Tabung sentrifus 15 mL
7. Aluminium foil
8. Sampel hasil ekstraksi DNA
9. Quant-iTTM buffer DNA-BR
10. Quant-iTTM reagent DNA-BR
4.5.7.2.Prosedur pelaksanaan :
Pembuatan larutan kerja dimulai dengan memasukan QuantiTTM buffer DNA-
BR sebanyak 199 L x n (n = jumlah sampel, 27) ke dalam tabung sentrifus 15 mL
yang sudah dilapisi aluminum foil. Kemudian, Quant-iTTM reagent DNA-BR
sebanyak 1 L x 27 dimasukan ke dalam tabung sentrifus 15 mL yang sudah dilapisi
aluminum foil. Kedua larutan tersebut dihomogenisasi dengan menggunakan mesin
vortex. 199 L larutan kerja dan 1 L DNA sampel yang akan dihitung
konsentrasinya dimasukan ke dalam tabung mikrosentrifus 0,5 mL yang sudah
dilapisi aluminum foil. Kemudian tabung tersebut dihomogenisasi dengan mesin
vortex selama 2 detik.
Universitas Indonesia
12. TE buffer
13. Power SBYR Green PCR Master Mix
14. Nuclease-Free Water
15. DNA sampel
4.5.8.2.Prosedur pelaksanaan :
Primer EF Gro ES-F dan EF Gro ES-R diencerkan dengan menggunakan TE
buffer dengan perbandingan TE buffer : EF Gro ES-F dan EF Gro ES-R adalah 9:1.
Hasil pengenceran tersebut kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan mesin
vortex, dilanjutkan dengan menggunakan mesin spin down. Kemudian dilakukan
pembuatan PCR mix: (1) Tabung mikrosentrifus 1,5mL dilapisi dengan alumunium
foil. (2) PCR mix dibuat dengan mengalikan setiap campuran dengan jumlah sampel
yang akan diproses menggunakan Real-time PCR. Campuran yang dibutuhkan adalah
Power SYBR Green PCR Master Mix 10 L, universal primers EFGro ES-F
sebanyak 2 L, universal primers EF Gro ES-R sebanyak 2 L dan nuclease-free
water 2 L. Seluruh bahan PCR mix dicampurkan ke dalam tabung mikrosentrifus
1,5mL yang sudah dilapisi aluminum foil. Setelah selesai pembuatan PCR mix,
dimasukkan ke dalam MicroAMPTM Fast Reaction Tubes (8 tubes/strip) dimasukkan
sebanyak 16 L dan ditambahkan dengan 4 L sampel DNA. Kemudian dilakukan
homogenisasi pada campuran dengan menggunakan pipet mikro.
MicroAmpTM Fast reaction tubes (8 tubes/strip) ditutup dengan MicroAmpTM
Optical 8-Cap Strip secara asepsis. 15 PCR well plate kemudian dimasukkan ke
dalam mesin Step-One Real-Time PCR System Applied Biosystem yang telah
dinyalakan, kemudian diatur sesuai dengan kebutuhan. Siklus kuantitatif Real-time
PCR untuk total bakteri dan aktivasi pemanasan awal dilakukan pada suhu 950C
selama 3 menit, dilanjutkan dengan 40 siklus denaturasi pada suhu 95 0C selama 15
detik, tahap annealing primer pada suhu 550C selama 30 detik, dan tahap elongasi
pada suhu 720C selama 30 detik.
Universitas Indonesia
Pemaparan
E.faecalis kedalam
Penyesuaian bahan uji 1.
Kultur E.faecalis E.faecalis dgn NaOCl 2,5%
dalam media BHIA lar,mc Farland 2. Fotodinamik
standar 0,5 dengan biru
toluidin (CMS
dental)
3. CHX 2%
Kuantifikasi
Deteksi dan Analisis Perbedaan
Konsentrasi DNA
Kuantifikasi DNA E. Daya Anti Bakteri
Sampel dengan uji statistik
faecalis ATCC 29212
Universitas Indonesia
untuk mengetahui data memiliki varians yang sama; 3) Tahapan berikutnya adalah
mengetahui apakah terdapat perbedaan antara masing-masing bahan uji maka
dilakukan pengujian One Way ANOVA; 4) Jika nilai pada uji One Way ANOVA
menghasilkan nilai p<0,05, maka untuk mengetahui bahan uji mana yang
mempengaruhi yang memiliki perbedaan yang signifikan atau bermakna maka
dilakukan dengan analisis uji perbandingan multiple dengan prosedur Post-Hoc
Bonferoni; 5) Jika syarat normalitas atau varians data tetap tidak sama atau homogen,
maka uji yang dilakukan menggunakan Kruskal-Wallis; 6) Apabila pada uji Kruskal-
Wallis menghasilkan nilai p<0,05 maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post-
Hoc dengan menggunakan uji Mann-Whitney.
Universitas Indonesia
BAB 5
HASIL PENELITIAN
Pada penelitian ini, bahan uji fotodinamik dengan biru toluidin (CMS dental),
klorheksidin 2% (Consepsis) dan natrium hipoklorit 2,5% dipaparkan pada biofilm
bakteri Enterococcus faecalis. Penilaian efektivitas bahan antibakteri didapatkan
melalui mesin real-time PCR, berupa kuantifikasi absolut. Kuantifikasi absolut
dilakukan pada sampel untuk menghitung jumlah Enterococcus faecalis dalam
biofilm yang hidup pasca pemaparan bahan uji.
Data yang diperoleh dari mesin real- time PCR selanjutnya dilakukan analisis
untuk mengetahui kemaknaan dari masing-masing bahan uji dengan menggunakan
program SPSS 17.0. Sebelum dilakukan uji kemaknaan dari masing-masing bahan
uji, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi untuk mengetahui teknik analisis
statistik yang akan dipergunakan. Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data masing-
masing bahan uji berdistribusi normal, hal ini dapat dilihat pada bagian test of
normality, dengan uji uji Shapiro-Wilk, p>0,05.
Setelah uji normalitas, maka selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians
dengan menggunakan Levenes Test. Hasilnya didapatkan bahwa data tidak homogen,
sehingga tidak memenuhi syarat uji parametric. Uji yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji non parametrik, yaitu Kruskal-Wallis. Dari hasil uji Kruskal-Wallis
didapatkan p < 0,05 (p =0,024) maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan daya antibakteri yang bermakna antara empat kelompok. Untuk
mengetahui kelompok bahan uji mana yang memiliki perbedaan bermakna
dilanjutkan dengan analisis Post Hoc menggunakan uji Mann-Whitney. Adapun nilai
rerata daya antibakteri dari keempat kelompok tersebut ditampilkan dalam tabel
berikut ini :
41
Universitas Indonesia
Tabel 5.1. Nilai rerata daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin, Natrium hipoklorit 2,5%,
Klorheksidin 2% dan kontrol terhadap E.faecalis dalam biofilm
Pada Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa jumlah bakteri E.faecalis yang hidup
pada kelompok klorheksidin 2% adalah yang paling rendah (8.36x103 CFU/mL),
Kemudian kelompok natrium hipoklorit 2,5% (1,34x106 CFU/mL), kelompok
fotodinamik dengan biru toluidin(2,01x106 CFU/mL) dan yang tertinggi terlihat pada
kelompok kontrol (1,66x108 CFU/mL). Data ini menunjukkan bahwa semakin rendah
jumlah bakteri yang hidup, semakin tinggi daya antibakteri suatu bahan.
Tabel 5.2. Nilai kemaknaan daya antibakteri kelompok Fotodinamik dengan biru toluidin, Natrium
hipoklorit 2,5%, Klorheksidin 2% dan kontrol terhadap E.faecalis dalam biofilm
Pada tabel 5.2 terdapat perbedaan bermakna antara kelompok bahan uji dengan
kontrol. Secara statistik berdasarkan jumlah bakteri bahan uji fotodinamik dengan
biru toluidin dan natrium hipoklorit 2,5% tidak terdapat perbedaan bermakna, hasil
ini menunjukkan bahan uji fotodinamik dengan biru toluidin dan natrium hipoklorit
Universitas Indonesia
2,5% mempunyai daya antibakteri yang sama terhadap Enterococcus faecalis dalam
biofilm.
Jumlah bakteri E.faecalis dalam biofilm yang hidup pasca paparan dari ketiga
bahan uji tersebut apabila dibanding secara persentase terhadap kontrol menunjukkan
nilai yang signifikan berbeda. Jumlah bakteri E.faecalis yang hidup pada kelompok
fotodinamik dengan biru toluidin sebesar 1,21%, natrium hipoklorit 2,5% sebesar
0,81% dan yang terkecil adalah klorheksidin 2% sebesar 0,01%.
Universitas Indonesia
BAB 6
PEMBAHASAN
44
Universitas Indonesia
Bahan uji yang digunakan terdiri dari tiga, yang pertama adalah klorheksidin
2% sesuai dengan penelitian Stuart dkk, yang menyatakan bahwa klorheksidin
dengan konsentrasi 2% sangat efektif dalam membunuh E. faecalis.19 Bahan uji yang
kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan natrium hipoklorit 2,5%.
Hal ini sesuai dengan peneltian oleh Walton dkk (2002) yang menyatakan bahwa
natrium hipoklorit 2,5% dan 5,25% mempunyai daya antibakteri yang sama terhadap
E.faecalis. Selain itu, pada konsentrasi yang lebih rendah natrium hipoklorit
mempunyai toksisitas yang lebih rendah terhadap jaringan. 1
Adapun bahan uji yang ketiga adalah fotodinamik yaitu biru toluidin yang
diaktifkan dengan sinar dengan panjang gelombang 630nm. Terdapat beberapa agen
fotosensitizer yang dapat digunakan, namun pada penelitian ini digunakan biru
toluidin, hal ini sesuai dengan penelitian Aisa dkk yang menyatakan biru toluidin
mempunyai kemampuan untuk membunuh bakteri, lebih efektif berinteraksi dengan
lipopolisakarida dan mempunyai efek fotobakterisidal.47 Pada penelitian ini
digunakan sinar dengan panjang gelombang 630 nm. Sesuai dengan penelitin Hopp
dkk (2013) yang menyatakan bahwa sinar dengan panjang gelombang 630 dapat
mengaktivasi biru toluidin untuk dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel
bakteri.32
Waktu pemaparan bakteri yang dilakukan terhadap bahan uji, natrium
hipoklorit 2,5%, klorheksidin 2% dan fotodinamik dengan biru toluidin adalah
selama 10 menit dalam inkubator aerob pada suhu 370C. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Du dkk (2014), efektivitas bahan antibakteri, yaitu natrium hipoklorit
2% dan klorheksidin 2%, terhadap biofilm bakteri dalam dentin yang terinfeksi
bergantung pada waktu. Diperlukan waktu minimal 10 menit untuk membunuh
biofilm bakteri dalam dentin yang terinfeksi. 48
Penelitian ini menggunakan real-time PCR yang merupakan teknologi terbaru
untuk amplifikasi DNA. Penggunaan metode ini akan mendapatkan hasil analisis
yang sensitif dan spesifik sehingga dapat meningkatkan akurasi. Pada real-time PCR
jumlah DNA yang diamplifikasi bisa langsung diamati secara seketika.49
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
ini ditolak yaitu tidak terdapat perbedaan daya antibakteri antara fotodinamik dengan
biru toluidin dan klorheksidin 2%.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Garcez dkk, yang
menyatakan bahwa fotodinamik dengan biru toluidin lebih banyak membunuh bakteri
jika dibandingkan dengan natrium hipoklorit. Pada penelitiannya Garcez
menggunakan 30 gigi secara in vitro, Garcez membagi kelompok gigi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok natrium hipoklorit 0,5% yang dipaparkan selama 30 menit
dan kelompok fotodinamik dengan biru toluidin, hasilnya pada kelompok natrium
hipoklorit mampu mengurangi E.faecalis sebesar 93,25% sedangkan pada kelompok
fotodinamik dengan biru toluidin mampu mengurangi hingga 99,2% bakteri
E.faecalis. Hasil penelitian Garcez dkk juga menyatakan bahwa fotosensitizer saja
atau sinar saja tidak mempunyai efek terhadap bakteri. 52 Perbedaan hasil pada
penelitian ini disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dan waktu
pemaparan. Pada penelitian ini menggunakan metode penghitungan berbasis DNA,
RT-PCR, yang mampu mendeteksi bakteri dalam keadaan VNBC, dimana kultur agar
tidak mampu untuk mendeteksinya. Waktu pemaparan yang digunakan pada
penelitian ini juga 10 menit, berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu 30 menit.
Ng dkk pada penelitiannya mengatakan bahwa kombinasi natrium hipoklorit
6% dan fotodinamik dengan biru toluidin lebih baik jika dibandingkan dengan
natrium hipoklorit 6% saja. Pada penelitiannya Ng menggunakan 52 gigi yang
mengalami nekrosis dan secara radiografis menunjukkan adanya periodontitis
apikalis. Penelitian ini dibedakan atas dua kelompok. Masing-masing kelompok
mendapat perlakuan yang sama yaitu dengan kemomekanis (profile + natrium
hipoklorit 6% + EDTA 17%) dan kelompok kemomekanis yang dikombinasi dengan
fotodinamik dengan biru toluidin. Hasilnya menunjukkan bahwa 86,5% saluran akar
bebas bakteri setelah metode kemomekanis dengan kombinasi fotodinamik dengan
biru toluidin, sedangkan pada kelompok kemomekanis saja hanya mencapai 49%
bebas bakteri.53 Penelitian Ng diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rios
dkk, yaitu membandingkan fotodinamik dengan biru toluidin dan natrium hipoklorit
6%, Studi ini dilakukan terhadap gigi yang diinkubasi selama 2 minggu dengan
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
faecalis dalam biofilm. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan secara invitro
menggunakan fotodinamik dengan biru toluidin pada saluran akar gigi agar dapat
menginterpretasikan kondisi aslinya
Universitas Indonesia
BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. KESIMPULAN
1. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri
terhadap Enterococcus faecalis dalam biofilm
2. Daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm memiliki kemampuan yang sama
dengan natrium hipoklorit 2,5%.
3. Daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm memiliki kemampuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan klorheksidin 2%.
7.2. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan penggunaan fotodinamik dengan
biru toluidin pada saluran akar gigi yang dilakukan secara in vitro.
50 Universitas Indonesia
DAFTAR PUSTAKA
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
LAMPIRAN
Ket: Bahan uji (a) CHX 2%, (b) Biru toluidin , (c) Phospahte Buffer Saline (PBS)
Universitas Indonesia
Ket: (a) Bakteri E. faecalis, (b) kultur E. faecalis pada media agar (c) Kultur E. faecalis
setelah inkubasi selama 24 jam
Universitas Indonesia
Ket: (a) & (b) pengambilan E. faecalis dengan jarum ose, (c) pembuatan suspensi bakteri
(a) (b)
Ket: (a) Standarisasi suspensi bakteri dengan McFarland (108 CFU/ mL), (b) Biofilm usia 3
hari pada membran sellulosa nitrat
Universitas Indonesia
(a) (b)
Ket: (a) Pemaparan Biofilm ke Bahan Uji, (b) Biru toluidin dengan aktivasi sinar dengan
panjang gelombang 630 nm selama 30 dtk
(c)
Universitas Indonesia
Ket: (a) PMA (b) Penambahan PMA ke dalam Bahan Uji (c), (d) & (e) Pemajanan sinar
halogen 600 W ke bahan uji yang sudah ditambahkan PMA
Universitas Indonesia
Cases
Descriptives
Universitas Indonesia
Range 2012100.00
Interquartile Range .
Skewness -1.604 1.225
Kurtosis . .
CHX Mean 8355.3333 7429.29663
95% Confidence Lower Bound -23610.3501
Interval for Mean
Upper Bound 40321.0168
5% Trimmed Mean .
Median 1490.0000
Variance 1.656E8
Std. Deviation 12867.91923
Minimum 376.00
Maximum 23200.00
Range 22824.00
Interquartile Range .
Skewness 1.717 1.225
Kurtosis . .
Kontrol Mean 1.6600E8 2.33024E7
95% Confidence Lower Bound 6.5738E7
Interval for Mean
Upper Bound 2.6626E8
5% Trimmed Mean .
Median 1.5400E8
Variance 1.629E15
Std. Deviation 4.03609E7
Minimum 1.33E8
Maximum 2.11E8
Range 78000000.00
Interquartile Range .
Skewness 1.220 1.225
Kurtosis . .
Universitas Indonesia
Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk
Universitas Indonesia
Kruskal-Wallis Test
Ranks
Test Statisticsa,b
JumlahBakteri
Chi-Square 9.462
df 3
Asymp. Sig. .024
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: BahanUji
Mann-Whitney Test
Ranks
b
Test Statistics
JumlahBakteri
Mann-Whitney U 3.000
Wilcoxon W 9.000
Z -.655
Asymp. Sig. (2-tailed) .513
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji
Universitas Indonesia
Mann-Whitney Test
Ranks
b
Test Statistics
JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji
Mann-Whitney Test
Ranks
b
Test Statistics
JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji
Universitas Indonesia
Mann-Whitney Test
Ranks
b
Test Statistics
JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji
Mann-Whitney Test
Ranks
b
Test Statistics
JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji
Universitas Indonesia
Mann-Whitney Test
Ranks
b
Test Statistics
JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji
Universitas Indonesia