Anda di halaman 1dari 83

UNIVERSITAS INDONESIA

DAYA ANTIBAKTERI FOTODINAMIK DENGAN BIRU TOLUIDIN


TERHADAP ENTEROCOCCUS FAECALIS DALAM BIOFILM

TESIS
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Spesialis dalam
Ilmu Konservasi Gigi

Vika Hapsari Pratiwi


1206309245

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


PROGRAM SPESIALIS ILMU KONSERVASI GIGI
JAKARTA
DESEMBER 2014

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014
Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang atas segala limpahan karunia dan kuasa-Nya yang
tak terhingga sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan tesis
ini. Penulisan yang tertuang dalam tesis ini merupakan salah satu syarat dalam
menyelesaikan Pendidikan Spesialis Ilmu Konservasi Gigi Universitas Indonesia.
Penelitian dan penulisan tesis ini dapat diselesaikan berkat bantuan,
bimbingan dan dukungan moril dari berbagai pihak, oleh karen itu ijinkan saya
menyampaikan rasa terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1. Pj. Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Muhammad Anis, M.Met.
2. Dr. Yosi Kusuma Eriwati, drg., M.Si, selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Gigi Universitas Indonesia, beserta jajarannya.
3. Dr. Corputty Johan E.M., drg., Sp.BM, selaku Wakil Dekan Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
4. Dr. Sri Lelyati, S. U., drg., Sp.Perio (K), selaku Manajer Pendidikan dan
Kemahasiswaan Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
5. Dr. Endang Suprastiwi, drg., Sp.KG (K), selaku Ketua Departemen Ilmu
Konservasi Gigi, Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia.
6. Nilakesuma Djauhari, drg., MPH, Sp.KG (K), selaku Koordinator
Pendidikan Spesialis Departemen Ilmu Konservasi Gigi, Fakultas
Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, sekaligus dosen penguji yang
telah memberikan motivasi serta masukan yang sangat berharga.
7. Bambang Nursasongko, drg., Sp. KG (K), selaku pembimbing I yang sejak
awal pendidikan telah banyak meluangkan waktu, memberikan ide, arahan
serta semangat yang sangat berarti kepada penulis.
8. Dr. Ratna Meidyawati, drg., Sp.KG (K), selaku pembimbing II yang telah
meluangkan waktu dan dengan sangat teliti membimbing serta
memberikan arahan kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan ini.

iv

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


9. Prof.Dr. Siti Mardewi Surono Akbar, drg., Sp.KG (K) selaku dosen
penguji yang telah memberikan bimbingan dan masukan yang sangat
berharga dalam penulisan ini.
10. Dr. Anggraini Margono, drg., Sp.KG (K), selaku dosen penguji yang telah
memberikan bimbingan serta masukan yang sangat berharga dalam
penulisan ini.
11. Muniyati Usman, drg., Sp.KG (K), selaku dosen penguji yang telah
memberikan masukan yang sangat berharga dalam penulisan ini.
12. Seluruh staf pengajar Ilmu Konservasi Gigi yang telah memberikan ilmu
dan motivasi yang sangat berharga bagi penulis, kepada Prof. Dr. Narlan
Sumawinata, drg., Sp.KG (K), Daru Indrawati, drg., Sp.KG (K), Gatot
Sutrisno, drg., Sp.KG (K), Dini Asriani, drg., Sp.KG (K), Ike Dwi
Maharti, drg., Sp.KG, Aditya Wisnu Putranto, drg., Sp.KG, Shalina
Ricardo, drg., Sp.KG.
13. Karyawan Departemen Ilmu Konservasi Gigi (Mas Erwin, Pak Yani, Sdri.
Devi, Sdri. Yuli, Sdri Minah), karyawan perpustakaan FKG UI (Pak
Yanto, Pak Asep, dan Pak Nuh), atas semua bantuan dan semangat yang
diberikan kepada penulis.

Kepada yang tersayang ayahanda H. Soekamto N.S Alm, dan Ibunda Hj.
Ida Atika, papa H. Maswir Djamaan dan mama Hj. Yemmi, terimakasih atas doa
dan dukungan selama penulis menjalani pendidikan.
Suami tercinta Ferry Ardiansyah STP., MM, terima kasih atas semua
dukungan baik materiil dan moril, serta memberikan kesempatan kepada penulis
dalam menyelesaikan pendidikan. Jagoan bunda Dhafin Ridho Ardiansyah dan
sicantik Dinda Fayyaza Ardiansyah, terimakasih untuk kesabarannya dalam
berbagi perhatian selama penulis menyelesaikan pendidikan.
Kepada kakakku tersayang dr. Mareti Pandan Ayu, Sp.OG dan Ageng
Hardani, ST terimakasih untuk selalu mendoakan dan memberikan dukungan
selama penulis menjalani pendidikan.
Teman-teman seperjuangan, PPDGS angkatan 2012, Arie, Asri, Bunga,
Dita, Feli, Iffi, Fifi, Kurniawan, Dika, Priska, Peggy, Tita dan Shelvy, terimakasih

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


untuk kebersamaannya dalam suka dan duka, Semoga kita akan selalu berteman
selamanya, Amiiin.. Serta teman-teman PPDGS angkatan 2011 dan 2013.
Ucapan terimakasih kepada semua pihak yang tidak dapat penulis
sebutkan satu-persatu, semoga semua bantuannya mendapatkan balasan kebaikan
dari Allah SWT. Akhirnya saya berharap agar penulisan tesis yang masih jauh
dari sempurna ini dapat bermanfaat bagi ilmu kedokteran gigi umumnya dan ilmu
konservasi gigi khususnya.

Jakarta, Desember 2014


Penulis

vi

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014
ABSTRAK

Nama : Vika Hapsari Pratiwi


Program Studi : Konservasi Gigi
Judul : Daya Antibakteri Fotodinamik dengan Biru Toluidin
Terhadap Enterococcus faecalis Dalam Biofilm

Latar Belakang: Enterococcus faecalis merupakan penyebab infeksi persisten


pasca perawatan saluran akar. Terdapat bahan disinfeksi baru yang efektif
terhadap biofilm E.faecalis.
Tujuan: Menganalisis daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin terhadap
biofilm Enterococcus faecalis
Metode: Fotodinamik dengan biru toluidin, NaOCl 2,5%, CHX dan kontrol
dipaparkan pada biofilm E.faecalis. Jumlah E.faecalis yang hidup dilihat dengan
menggunakan Real-time PCR Hasil: Terdapat perbedaan bermakna diantara
bahan uji dibandingkan dengan kontrol. Tidak terdapat perbedaan bermakna
antara biru toluidin dengan sinar dan NaOCl 2,5% Kesimpulan: Fotodinamik
dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri terhadap E.faecalis.

Kata Kunci: E.faecalis, fotodinamik dengan biru toluidin, NaOCl 2.5%, CHX
2%

viii

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


ABSTRACT

Name : Vika Hapsari Pratiwi


Study Program : Conservative Dentistry
Title : Antibacterial Activity of Photodynamic Using Toluidin Blue
Against Enterococcus faecalis Biofilms

Background: E.faecalis is known as a persistent bacteria in root canal after


endodontic treatment. A new antibacterial agent was introduced to be effective
againts E.faecalis biofilm. Aim. To analyze antibacterial efficacy of photodynamic
using toluidine blue againts E. faecalis biofilm. Methods. Photodynamic using
toluidine blue, naocl 2.5%, chx and control groups were exposed to e faecalis
biofilm. The number of viable E. faecalis was determined by using real-time PCR.
Result. There were significant differences statistically between all antibacterial
groups tested and control groups. But there was no significant differences
statistically between photodynamic group and NaOCl 2,5%, CHX 2% group.
Conclusion. Photodynamic using toluidine blue was effective againts E. faecalis
biofilm.

Keywords: E.faecalis , Photodynamic using toluidine blue, NaOCl 2,5%, CHX 2%

ix

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................. i


HALAMAN ORISINALITAS .................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN........................................................................ iii
KATA PENGANTAR ............................................................................... v
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ............................................ viii
ABSTRAK ................................................................................................ ix
ABSTRACT .............................................................................................. x
DAFTAR ISI ............................................................................................. xi
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. xiv
DAFTAR TABEL ..................................................................................... xv
DAFTAR SINGKATAN ........................................................................... xvi
BAB 1 PENDAHULUAN ..................................................................... 1
1.1. Latar Belakang ................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah Penelitian............................................ 3
1.3. Pertanyaan Penelitian 4
1.4. Tujuan Penelitian ............................................................. 4
1.5. Manfaat Penelitian ........................................................... 4
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ............................................................ 6
2.1. Enterococcus faecalis dalam Saluran Akar...................... 6
2.1.1. Karakteristik dan strain Enterococcus faecalis 6
2.1.2. Faktor Pertahanan dan virulensi... 7
2.2. Biofilm Enterococcus faecalis...... 9
2.3. Larutan irigasi Saluran Akar. 10
2.3.1. Natrium hipoklorit (NaOCl). 10
2.3.1.1. Mekanisme Natrium Hipoklorit.... 10
2.3.1.2. Toksisitas Natrium Hipoklorit.. 13
2.3.2. Klorheksidin (CHX). 14
2.3.2.1. Mekanisme Klorheksidin (CHX).. 15
2.3.2.2. Toksisitas Klorheksidin(CHX). 16
2.3.3. Fotodinamik.. 19
2.3.3.1. Agen Photosensitizer Dalam
Kedokteran gigi 19
2.3.3.2. Sumber Sinar 20
2.3.4. Fotodinamik (CMS Dental).. 20
2.3.4.1. Agen Photosensitizer CMS Dental 21
2.3.4.2. Mekanisme Fotodinamik 22
2.3.4.3. Toksisitas Fotodinamik dengan biru
toluidin 23
2.4. PCR (Polymerase Chain Reaction)... 24
2.4.1. Tahapan PCR.... 25
2.4.2. Real-Time PCR. 26
2.5. Kerangka teori... 29

BAB 3 Kerangka Konsep dan Hipotesis ................................................ 30


3.1. Kerangka Konsep ............................................................. 30

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


3.2. Hipotesis ........................................................................... 30
BAB 4 Metode Penelitian ....................................................................... 31
4.1. Jenis Penelitian ................................................................. 31
4.2. Tempat dan Waktu Penelitian........................................... 31
4.3. Variabel Penelitian............................................................ 31
4.4. Definisi Operasional..... 32
4.5. Alat, Bahan, dan Cara Kerja ............................................ 32
4.5.1 Kultur E. faecalis 32
4.5.1.1. Alat dan bahan yang digunakan............ 32
4.5.1.2. Prosedur pelaksanaan 33
4.5.2. Penyesuaian Jumlah E. faecalis ATCC 29212
dengan larutan McFarland 0,5 dan pembuatan
biofilm bakteri...... 33
4.5.2.1. Alat dan bahan yang digunakan 33
4.5.2.2. Prosedur pelaksanaan 33
4.5.3. Pemaparan Enterococcus faecalis ATCC 29212
terhadap Bahan Uji ...................................... 33
4.5.3.1. Alat dan bahan yang digunakan 33
4.5.3.2. Prosedur pelaksanaan 34
4.5.4. Pembuatan Pelet E.faecalis ATCC 29212 yang
Telah Dipaparkan Bahan Uji............ 34
4.5.4.1. Alat dan bahan yang digunakan 34
4.5.4.2. Prosedur pelaksanaan 34
4.5.5. Pemaparan Propodium Monoazide (PMATM
dye 20mM in water, Biotium).............................. 35
4.5.5.1. Alat dan bahan yang digunakan 35
4.5.5.2. Prosedur pelaksanaan 35
4.5.6. Ekstraksi DNA Sampel 35
4.5.6.1. Alat dan bahan yang digunakan 35
4.5.6.2. Prosedur pelaksanaan 36
4.5.7. Kuantifikasi Konsentrasi DNA Sampel... 36
4.5.7.1. Alat dan bahan yang digunakan 36
4.5.7.2. Prosedur pelaksanaan 37
4.5.8. Deteksi dan Kuantifikasi DNA E. faecalis
ATCC 29212 37
4.5.8.1. Alat dan bahan yang digunakan 37
4.5.8.2. Prosedur pelaksanaan 38
4.6. Alur Penelitian.. 39
4.7. Analisis Data 39
BAB 5 Hasil Penelitian .......................................................................... 41
BAB 6 Pembahasan ................................................................................ 44
BAB 7 Kesimpulan Dan Saran ............................................................... 50
7.1 Kesimpulan ...................................................................... 50
7.2 Saran ................................................................................. 50
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 51
LAMPIRAN .............................................................................................. 57

xi

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


DAFTAR GAMBAR

Nomor Gambar Judul Gambar Halaman

Gambar 2.1 Model penyakit saluran akar 8


Gambar 2.2 Reaksi Saponifikasi.. 10
Gambar 2.3 Reaksi Netralisasi Asam Amino.. 11
Gambar 2.4 Reaksi Kloraminasi.. 11
Gambar 2.5 Mekanisme kerja klorheksidin. 16
Gambar 2.6 Instrumen fotodinamik 21
Gambar 2.7 Agen Photosensitizer biru toluidin . 22
Gambar 2.8 Mekanisme fotodinamik dengan biru
toluidin 23
Gambar 2.9 Pelipatgandaan Molekul DNA. 25
Gambar 2.10 Tahapan Proses PCR 26
Gambar 2.11 Skema Kerangka Teori 29
Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep. 30
Gambar 4.1 Skema Alur Penelitian. 39

xii

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


DAFTAR TABEL

Nomor Tabel Judul Tabel Halaman

Tabel 4.1 Definisi Operasional................................................ 32


Tabel 5.1 Nilai rerata daya antibakteri fotodinamik dengan
biru toluidin, Natrium hipoklorit 2,5%,
Klorheksidin 2% dan kontrol terhadap E.faecalis
dalam biofilm.......................................................... 42
Tabel 5.2 Nilai kemaknaan daya antibakteri kelompok
Fotodinamik dengan biru toluidin, Natrium
hipoklorit 2,5%, Klorheksidin 2% dan kontrol
terhadap E.faecalis dalam biofilm........................... 42

xiii

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Lampiran Judul Lampiran Halaman

Lampiran 1 Bahan Uji 57


Lampiran 2 Kultur Enterococcus Faecalis 58
Lampiran 3 Pembuatan Biofilm E. faecalis 59
Lampiran 4 Pemaparan Biofilm. 60
Lampiran 5 Pemaparan PMA ke Bahan Uji dan Ektraksi
DNA....................... 61
Lampiran 6 Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Varians.. 62
Lampiran 7 Hasil Uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney.. 65

xiv

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


DAFTAR SINGKATAN

E. faecalis : Enterococcus faecalis


NaOCl : Natrium hipoklorit
CHX : Klorheksidin
EDTA : Ethylenediaminetetraacetic Acid
LPS : Lipopolisakarida
LTA : Lipoteichoic Acid
ATCC : American Tissue Culture Collection
PCR : Polymerase Chain Reaction
PCA : Para-chloroaniline
CFU : Colony Forming Unit
TSA : Trypton Soy Agar
DNA : Deoxyribonucleic acid

xv

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


1

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keberhasilan perawatan saluran akar dapat dicapai melalui triad endodonsia
yaitu preparasi akses, pembersihan dan pembentukan (cleaning dan shaping), serta
obturasi saluran akar, yang fluid tight seal. Ketidak mampuan dalam melakukan salah
satu tahap tersebut dapat menyebabkan kegagalan perawatan saluran akar yang
mengakibatkan tidak tercapainya tujuan dari perawatan saluran akar yaitu
penyembuhan.1
Sistim saluran akar terdiri dari anatomi yang kompleks yaitu saluran akar
utama, percabangan, fins, isthmus juga saluran akar lateral yang terdapat pada daerah
sepertiga apeks yang sulit terjangkau oleh instrumentasi, sehingga dapat menjadi
pelabuhan bagi sisa-sisa jaringan serta bakteri dan byproduct-nya. Oleh karena itu
untuk mencapai tujuan perawatan saluran akar yaitu penyembuhan jaringan
diperlukan tindakan yang dapat membasmi, menghambat dan membunuh bakteri dari
seluruh sistim saluran akar.2 Menurut Desai dkk (2009), sebagian besar daerah
dinding saluran akar tidak dapat dipreparasi dengan instrumentasi mekanis, terutama
pada daerah sepertiga apeks.3 Hal ini menunjukkan bahwa, irigasi merupakan bagian
penting dari perawatan saluran akar. Irigasi saluran akar merupakan kunci untuk
pembersihan dan disinfeksi daerah yang tidak dapat terjangkau oleh instrumentasi.4
Secara umum penyebab utama kegagalan perawatan saluran akar adalah
masih tersisanya mikroorganisme pada gigi pasca perawatan saluran akar.
Enterococcus faecalis adalah organisme persisten Gram-positif yang berperan
penting dalam etiologi lesi periapeks pasca perawatan saluran akar. Hancock
menemukan bahwa 63% dari perawatan saluran akar yang gagal disebabkan karena
saluran akar terinfeksi oleh Enterococcus faecalis.5 Hal ini disebabkan karena faktor
virulensi E.faecalis yaitu dapat bertahan pada suhu rendah, pada lingkungan kurang
nutrisi, resisten terhadap antibakteri dan dapat membentuk biofilm. 6

1 Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


2

Terdapat beberapa bahan irigasi antibakteri yang digunakan dalam bidang


endodonsia, diantaranya adalah natrium hipoklorit dan klorheksidin.7 Penelitian
Gomes (2002) mengatakan bahwa natrium hipoklorit 2,5% dan klorheksidin 2%
sebagai bahan irigasi saluran akar, menunjukkan efektivitas antibakteri yang baik
terhadap Enterococcus faecalis. Natrium hipoklorit merupakan larutan irigasi yang
paling sering digunakan, karena mempunyai sifat antibakteri yang baik dan mampu
melarutkan jaringan. Namun disisi lain natrium hipoklorit mempunyai toksisitas yang
tinggi terhadap jaringan sehingga dapat mengganggu penyembuhan. Menurut
Hulsman dkk (2003) konsentrasi natrium hipoklorit yang dapat digunakan sebagai
bahan irigasi saluran akar berkisar 0.5% - 5.25%.8 Menurut penelitian Longo dkk
(2010) larutan natrium hipoklorit 2% menunjukkan genotoksisitas pada sel fibroblast
manusia. Klorheksidin merupakan agen antibakteri yang mampu mempunyai
spectrum antibakteri yang luas terhadap berbagai organism seperti E.faecalis.9 Mistry
dkk (2012) menyatakan bahwa klorheksidin bersifat sitotoksik bila berkontak
langsung dengan sel manusia.10
Berdasarkan hal tersebut diperlukan suatu bahan baru yang efektif untuk
membasmi biofilm namun tidak toksik terhadap jaringan periapeks sehingga tidak
mengganggu penyembuhan jaringan. Seiring dengan perkembangan teknologi,
terdapat suatu sistim fototerapi yang membawa terobosan baru untuk melakukan
disinfeksi saluran akar melalui fototerapi yaitu fotodinamik. Fotodinamik merupakan
kombinasi disinfeksi secara kemomekanis yang sangat efektif dalam membunuh
bakteri patogen pada saluran akar. Pada terapi ini digunakan agen fotosensitizer yaitu
biru toluidin yang diaktivasi sinar merah dengan panjang gelombang spesifik yaitu
630 nm didalam saluran akar. Keunggulan sistim ini adalah dapat membasmi bakteri
melalui aktivasi agen sensitisasi dengan sinar, khususnya E.faecalis yang sulit untuk
dibasmi, sehingga dapat menghasilkan oksigen radikal bebas yang dapat merusak
membran bakteri dan memberi dampak yang mematikan, namun tidak memberikan
efek toksik pada jaringan host.11 Hal ini merupakan hal yang sangat penting
mengingat bahwa tujuan perawatan saluran akar adalah penyembuhan jaringan.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


3

Aguinaldo dkk (2010) melakukan penelitian pada 30 gigi anterior yang


diindikasikan untuk perawatan saluran akar ulang karena terdapat lesi periodontitis
apikalis yang persisten. Seluruh sampel dilakukan perawatan saluran akar ulang dan
dilakukan dua tahap irigasi. Tahap pertama irigasi menggunakan natrium hipoklorit
2,5%. Berdasarkan uji kultur, 10 gigi pasca irigasi dengan NaOCl 2,5% bebas bakteri,
sedangkan 20 lainnya menunjukkan pertumbuhan bakteri. Kemudian tahap kedua, 30
gigi tersebut diirigasi kembali menggunakan fotodinamik dengan biru toluidin. Hasil
uji kultur tersebut menunjukkan 30 gigi tersebut tidak terdapat pertumbuhan
bakteri.12
Beberapa penelitian telah membandingkan efektivitas antara kemomekanis
saja dan kemomekanis yang dikombinasikan dengan fotodinamik (biru toluidin dan
sinar merah) terhadap Enterococcus faecalis. Hasilnya kombinasi kemomekanis dan
fotodinamik lebih efektif membunuh E.faecalis. Belum ada penelitian yang
membandingkan efektivitas daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin
terhadap berbagai bahan antibakteri yang sering digunakan dalam perawatan saluran
akar (CHX 2% dan NaOCl 2,5%) dalam membunuh E. faecalis. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk mengetahui daya antibakteri fotodinamik dengan biru
toluidin terhadap Enterococcus faecalis dalam biofilm.

1.2. Rumusan Masalah Penelitian


Dari uraian diatas secara ringkas dapat disimpulkan bahwa Enterococcus
faecalis merupakan penyebab infeksi persisten pasca perawatan saluran akar.
Instrumentasi mekanis saja tidak mampu membasmi Enterococcus faecalis, sehingga
dibutuhkan suatu larutan irigasi yang dapat membantu membersihkan dan
mempreparasi seluruh dinding saluran akar. Bahan irigasi yang umum digunakan
untuk membasmi E. faecalis yaitu natrium hipoklorit dan klorheksidin, namun kedua
bahan ini toksik terhadap jaringan. Fotodinamik dengan biru toluidin dilaporkan
mampu membasmi Enterococcus faecalis serta tidak memberikan efek toksik. Belum
ada data mengenai efektivitas fotodinamik dengan biru toluidin terhadap biofilm

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


4

E.faecalis pada saluran akar gigi dan daya antibakterinya dibandingkan dengan
natrium hipoklorit 2,5% dan klorheksidin2%

1.3. Pertanyaan Penelitian


1. Apakah fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri
terhadap Enterococcus faecalis dalam biofilm
2. Apakah daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin memiliki
kemampuan yang sama dengan natrium hipoklorit 2,5% terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm.
3. Apakah daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin memiliki
kemampuan yang sama dengan klorheksidin 2% terhadap Enterococcus
faecalis dalam biofilm.

1.4. Tujuan Penelitian


1. Menganalisis daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin sebagai
disinfeksi saluran akar terhadap Enterococcus faecalis dalam biofilm
2. Menganalisis dan membandingkan daya antibakteri antara fotodinamik
dengan biru toluidin dan natrium hipoklorit 2,5% terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm
3. Menganalisis dan membandingkan daya antibakteri antara fotodinamik
dengan biru toluidin dan klorheksidin 2% terhadap Enterococcus
faecalis dalam biofilm

1.5. Manfaat Penelitian


1.5.1. Manfaat dalam Bidang Ilmu Pengetahuan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan wawasan di bidang
kedokteran gigi, serta mengembangkan ide baru untuk membuat terobosan dalam
penggunaan bahan yang tidak toksik namun tetap mempunyai daya antibakteri yang
baik.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


5

1.5.1.1. Manfaat dalam Bidang Kedokteran Gigi


Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada dokter
gigi mengenai daya antibakteri fotodinamik sebagai bahan disinfeksi saluran akar
terhadap biofilm Enterococcus faecalis

1.5.2. Manfaat bagi Masyarakat Umum


Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan alternatif disinfeksi
saluran akar yang aman digunakan bagi pasien.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


6

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Enterococcus faecalis dalam Saluran Akar


Enterococcus faecalis merupakan bakteri yang sering ditemukan dalam
saluran akar dan tetap bertahan di dalam saluran akar meskipun telah dilakukan
perawatan.5, 13, 14
Portenier dan fisher mengatakan sebanyak 63% dari kegagalan
perawatan saluran akar mengalami infeksi ulang disebabkan oleh Enterococcus
faecalis .14, 15
Bakteri ini juga sering ditemukan dalam saluran akar yang telah
dilakukan diobturasi yang ditandai dengan adanya periodontitits apikalis kronis. 16, 17
Bakteri ini sangat kecil sehingga dapat berpenetrasi dan hidup dalam tubulus dentin
dengan lingkungan pH yang tinggi. Kemampuan bakteri ini berpenetrasi dan
membentuk biofilm menyebabkan sulitnya instrumentasi dan irigasi endodonsia
membasmi E.faecalis.18

2.1.1. Karakteristik dan strain Enterococcus faecalis


Enterococcus faecalis merupakan bakteri kokus gram positif berbentuk ovoid
berdiameter antara 0,5 -1 um yang dapat berkoloni secara rantai, berpasangan ataupun
soliter. Bakteri ini bersifat fakultatif anaerob, mempunyai kemampuan untuk hidup
dan berkembang biak dengan oksigen maupun tanpa oksigen. Enterococcus faecalis
hidup dalam jumlah yang besar [105-108 CFU per gram feces] pada lumen intestinal
manusia. Bakteri ini juga terdapat pada traktus genital wanita dan rongga mulut
dalam jumlah yang lebih sedikit. Bakteri ini mengkatabolisme berbagai sumber
energi antara lain karbohidrat, gliserol, laktat, malate, sitrat, arginin, agmatin dan
banyak asam keto. Enterococcus faecalis dapat bertahan dalam lingkungan yang
sangat ekstrim, termasuk pH yang sangat alkalin (9,6) dan konsentrasi garam yang
tinggi(6,9). Bakteri ini dapat bertahan terhadap garam, deterjen, logam berat, etanol,
dan desiccation (pengawetan melalui proses pengeringan). Bakteri ini juga dapat
tumbuh pada suhu 10 hingga 450C dan bertahan pada suhu 600C selama 30 menit.19

6 Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


7

Dinding sel bakteri Enterococcus faecalis ini terdiri dari peptidoglikan 40%,
sisanya merupakan teichoic acid dan polisakarida.20 Sintesis peptidoglikan dihasilkan
oleh keseimbangan antara enzim polimerisasi dan hidrolitik. Peptidoglikan
merupakan makromolekul utama yang terlibat dalam penentuan bentuk sel dan
pemeliharaannya. Zat ini juga berguna sebagai lapisan pelindung dari kerusakan oleh
tekanan osmotik sitoplasma yang tinggi. 21

2.1.2. Faktor Pertahanan dan virulensi


Enterococcus faecalis memiliki faktor virulensi tertentu, termasuk enzim lytic,
cytolysin, aggregation substance, pheromones dan lipoteichoic acid. Faktor-faktor
virulen yang dimiliki Enterococcus faecalis menyebabkan bakteri ini memiliki
kemampuan untuk membentuk kolonisasi pada host, dapat bersaing dengan bakteri
lain, resisten terhadap mekanisme pertahanan host, menghasilkan perubahan patogen
baik secara langsung melalui produksi toksin atau secara tidak langsung melalui
rangsangan terhadap mediator inflamasi. Faktor- faktor virulensi ini berperan penting
dalam pathogenesis, sehingga Enterococcus faecalis dapat melekat pada sel hospes
dan matrik ekstraselular, memudahkan invasi ke jaringan, mempunyai efek
immunomodulasi dan menimbulkan kerusakan melalui media toksinnya. 14, 22, 23
Enterococcus faecalis dapat berkolonisasi dalam saluran akar dan bertahan
tanpa bantuan dari bakteri lain. Bakteri ini mengkontaminasi saluran akar dan
membentuk koloni di permukaan dentin dengan bantuan LTA, sedangkan AS dan
surface adhesin lainnya berperan pada perlekatan di kolagen. Cytolysin, AS-48 dan
bacteriosin menghambat pertumbuhan bakteri lain, hal ini menyebabkan
Enterococcus faecalis menjadi mikroorganisme dominan pada infeksi saluran akar.24
Bakteri Enterococcus .faecalis menghasilkan perubahan patogen baik secara
langsung melalui produksi toksin atau secara tidak langsung dengan cara
menginduksi proses inflamasi. Sex pheromones, LTA dan peptide corresponding
inhibitor memodulasi proses inflamasi lokal dengan cara menstimulasi leukosit untuk
melepas beberapa mediator yang ikut berperan dalam kerusakan periradikular.
Lipoteichoic Acid (LTA) menstimulasi leukosit untuk melepas beberapa mediator

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


8

inflamasi berupa TNF-, interleukin 1 beta (IL-1), interleukin 6 (IL-6), interleukin 8


(IL-8) dan superoxide anion yang dikultur dari monosit dan leukosit manusia. 24, 25

Gambar 2.1. Model penyakit saluran akar yang berhubungan dengan faktor virulensi E.faecalis.
Faktor virulensi bakteri di dalam tubulus dentin dan saluran akar disebarkan ke daerah periapeks,
dimana akan terjadi stimulasi leukosit untuk menghasilkan mediator inflamasi atau enzim lisis. Faktor
virulensi dan produk leukosit ditunjukkan pada zona antara garis putus-putus. Pada kotak yang
diperbesar, ditunjukkan faktor virulensi bakteri yang menyebabkan ikatan dengan dentin. Produk
bakteri yang melawan bakteri lain juga terdapat pada gambar. Tulisan dalam kotak hitam merupakan
produk bakteri. Istilah: Adh, adesin permukaan; AS: substansi agregat; Bact, bakteriosin; BS, binding
substance; CP; peptida kolagen; Cyl, sitolisin; Ef, Enterococcus faecalis; Elas, elastase; Gel,
gelatinase; Hya, hialuronadase; H2O2, hidrogen peroksida; IFN-, interferon gamma; IL: interleukin;
LE, enzim lisosomal; PGE2, prostaglandin E2; SP; feromon seks; dan TNF, tumor necrosis factor. O2.-
: titik menandakan adanya elektron yang tidak berpasangan, sedangkan tanda minus menandakan
muatan negati.24

Faktor virulensi yang menyebabkan perubahan patogen secara langsung


adalah gelatinase, hyalurodinase, cytolysin dan extracelullar superoxide anion.
Gelatinase berperan terhadap terjadinya resorpsi tulang dan degradasi dentin matrik
organik sehingga berkontribusi terhadap timbulnya inflamasi periapeks.
Hyaluronidase membantu degradasi hyaluronan yang terdapat pada dentin untuk
menghasikan energi organisme, sedangkan extracellular superoxide anion dan
cytolysin berperan aktif terhadap kerusakan jaringan. 24 Selain berperan dalam

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


9

perlekatan di kolagen, AS juga berfungsi sebagai pertahanan dalam melawan


mekanisme pertahanan host melalui mekanisme media reseptor dengan cara
pengikatan neutrofil sehingga membuat Enterococcus faecalis tetap hidup walaupun
mekanisme fagositosis aktif berlangsung.24
Enterococcus faecalis dapat membentuk mekanisme pertahanan apabila
berada dalam lingkungan yang tidak mendukung. Saluran akar yang terinfeksi
merupakan salah satu kondisi di mana nutrisi kurang memadai, adanya toksin dari
bakteri lain dan penetrasi dari bahan medikamen saluran akar. Kondisi ini dapat
menyebabkan perubahan fisiologi spesifik dari Enterococcus faecalis. Pada kondisi
ini bakteri kehilangan kemampuan untuk tumbuh dan berkembang tetapi tetap hidup
dan bersifat patogen, namun apabila lingkungan telah berubah menjadi kondisi yang
optimal untuk pertumbuhan, E.faecalis dapat kembali berkembang. Pada saat nutrisi
telah tersedia sel bakteri memperbaiki diri dengan menggunakan serum sebagai suplai
nutrisi. Serum yang diperoleh melalui tulang alveolar dan ligamen periodonsium juga
membantu E.faecalis berikatan dengan kolagen tipe I. Kondisi inilah yang disebut
dengan fase VBNC ( viable but non-cultivable).19

2.2. Biofilm Enterococcus faecalis


Biofilm adalah populasi sel yang melekat secara ireversibel pada berbagai
permukaan biotik dan abiotik, dibungkus dalam matriks yang terhidrasi dari zat
eksopolimerik, protein, polisakarida dan asam nukleat. Pembentukan biofilm
merupakan proses kompleks yang melibatkan perlekatan dan imobilisasai pada suatu
permukaan, interaksi antar sel, pembentukan mikrokoloni, pembentukan biofilm dan
pembentukan struktur biofilm 3 dimensi. Sifat bakteri yang terikat dalam biofilm
berbeda dengan sifat bakteri dalam bentuk planktonik. 26
Regulasi ekspresi gen bakteri dalam merespons densitas populasi sel, yang
disebut quorum sensing, bergantung pada produksi sinyal molekul ekstraseluler yang
disebut autoinducers. Pembentukan biofilm diatur oleh sistim quorum sensing pada
sebagian besar bakteri patogen. Biofilm sulit untuk dieliminasi dan merupakan
sumber dari berbagai infeksi kronis. Biofilm yang mature dapat mentolerir antibiotik

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


10

pada konsentrasi 10-1000 kali lebih tinggi daripada konsentrasi yang dibutuhkan
bakteri dalam bentuk plankton. Bakteri dalam Biofilm sangat resiten terhadap
fagositosis, sehingga menyebabkan biofilm sangat sulit dieliminasi dari host.26

2.3. Larutan irigasi Saluran Akar


2.3.1. Natrium hipoklorit (NaOCl)
Natrium hipoklorit digunakan dalam perawatan saluran akar adalah untuk
melarutkan jaringan pulpa atau debris organik dan untuk membunuh bakteri. Natrium
hipoklorit mempunyai sifat sangat reaktif dan toksik serta tidak mempunyai
kemampuan untuk menghilangkan lapisan smear yang dihasilkan dari instrumentasi
saluran akar.27

2.3.1.1.Mekanisme Natrium Hipoklorit

Gambar 2.2 Reaksi Saponifikasi 27

Natrium hipoklorit sebagai pelarut organik dan lemak, mendegradasi asam


lemak dan mengubahnya menjadi garam asam lemak (sabun) dan glycerol (alkohol),
yang akan mengurangi tegangan permukaan dari larutan. (Skema 1). 27

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


11

Gambar 2.3 Reaksi Netralisasi Asam Amino27

Natrium hipoklorit akan menetralisir asam amino membentuk garam dan air,
dengan keluarnya ion hidroksil terjadi penurunan pH.27

Gambar 2.4 Reaksi Kloraminasi27

Asam hipoklorus, substansi yang ada dalam larutan natrium hipoklorit, ketika
berkontak dengan jaringan organik akan bertindak sebagai pelarut dan melepaskan
klorin, yang akan berikatan dengan protein grup amino membentuk kloramin.27 Pada
pH antara 4 dan 7, sebagian besar klorin akan berbentuk HClO, bagian yang aktif dan
bertanggung jawab dalam inaktivasi bakteri, dimana pada pH di atas 9, akan
didominasi oleh OCl- yang sifatnya lebih kurang aktif.28 Hypochlorous acid (HOCl-)
dan hypochlorite ions (OCl-) akan menyebabkan degradasi asam amino dan
hidrolisis. Reaksi chloramination antara klorin dan grup amino (NH) akan
membentuk chloramines yang menghambat metabolisme sel. Klorin adalah oksidan

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


12

yang kuat, yang mempunyai aksi antimikroba dengan menghambat enzim bakteri dan
memicu oksidari ireversibel dari grup SH (Sulphydryl Group) dari enzim bakteri yang
esensial.27 Dengan demikian, saponifikasi, neutralisasi asam amino, dan reaksi
kloraminasi yang terjadi pada mikroorganisme dan jaringan organik akan
memberikan efek antimikroba dan proses pelarutan jaringan. 27 Selain itu, preparasi
hipoklorit bersifat sporisidal dan virusidal yang akan menghasilkan efek melarutkan
lebih besar pada jaringan nekrosis dibandingkan pada jaringan vital. Hal ini
mendasari penggunaan larutan natrium hipoklorit sebagai bahan irigasi utama sejak
awal tahun 1920.28
Banyak kontroversi mengenai konsentrasi larutan natrium hipoklorit yang
seharusnya digunakan pada perawatan endodonsia. Efektivitas antibakteri dan
kapasitas pelarutan jaringan dari larutan hipoklorit merupakan fungsi dari
konsentrasinya dan juga toksisitasnya. Sebagian besar praktisi di Amerika
menggunakan natrium hipoklorit dengan konsentrasi 5,25%, yang biasa dijual
sebagai bahan pemutih kebutuhan rumah tangga, hal ini dapat menyebabkan beberapa
reaksi yang merugikan seperti iritasi dan penurunan kekuatan fleksibilitas dentin.
Berdasarkan beberapa penelitian, jumlah mikrobiota yang berkurang tidak terlalu
signifikan, yang perlu diingat adalah selama irigasi, natrium hipoklorit yang baru
akan secara konsisten masuk ke dalam saluran akar, oleh karena itu konsentrasi
larutan tidak memberikan peranan yang terlalu signifikan. Saluran akar yang tidak
bersih dapat disebabkan oleh karena ketidakmampuan larutan untuk mencapai bagian
dari saluran akar tersebut dan bukan karena konsentrasi kandungannya.28 Metode
yang dapat meningkatkan efektivitas dari natrium hipoklorit adalah dengan
mengganti pH larutan NaOCl. Larutan hipoklorit murni yang digunakan dalam
endodonsia mempunyai pH 12. Seperti dijelaskan di atas, bagian yang aktif dan
bertanggung jawab dalam disinfeksi jaringan dan pelarutan jaringan adalah HClO.
Pada pH tinggi, di atas 9, klorin yang tersedia akan berbentuk OCl- yang sifatnya
lebih tidak aktif. Oleh karena itu, dengan mengganti pH larutan menjadi 4,5, maka
klorin akan tersedia dalam bentuk HClO dan meningkatkan efek disinfeksi dari
NaOCl.27

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


13

Natrium hipoklorit digunakan dalam konsentrasi yang beragam, mulai dari 0,5
7%, merupakan agen antimikroba yang sangat kuat dan efektif dalam melarutkan
jaringan pulpa dan komponen dentin yang tersisa, dapat membunuh bakteri dengan
sangat cepat dalam konsentrasi rendah sekalipun. Gomes,dkk, melakukan penelitian
terhadap kemampuan natrium hipoklorit melawan bakteri Enterococcus faecalis,
hasilnya menunjukkan natrium hipoklorit 5,25% dapat membunuh bakteri ini dalam
waktu 30 detik, sedangkan natrium hipoklorit 2,5% dan 0,5% membutuhkan waktu
10-30 menit untuk membunuh semua bakteri. Tingginya resisten E. faecalis ini juga
didukung oleh hasil penelitian Radcliffe,dkk. Akan tetapi, hasil penelitian keduanya
bertentangan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Haapasalo, dkk, dimana
natrium hipoklorit 0,3% dapat mematikan E. faecalis dengan cepat.7
Penelitian pada bakteri rod gram negatif, Porphyromonas gingivalis,
Porphyromonas endodontalis, dan Prevotella intermedia, yang biasanya didapatkan
pada kasus periodontitis apikalis, rentan terhadap NaOCl, dimana ketiga spesies ini
terbunuh dalam waktu 15 detik dengan natrium hipoklorit 0,5% - 5%. Akan tetapi,
berdasarkan hasil penelitian in vivo yang dilakukan oleh Bystrom dan Sundqvist,
saluran akar pada dasarnya telah terinfeksi, sebagian besar oleh berbagai macam
bakteri anaerob dan hasil penelitian mereka menyatakan bahwa walaupun natrium
hipoklorit 0,5%, dengan atau tanpa EDTA, dapat meningkatkan efisiensi antibakteri
dari preparasi, bila dibandingkan dengan irigasi air salin, seluruh saluran akar tidak
bebas bakteri, walaupun setelah beberapa kali kunjungan. Selain itu, tidak ada
perbedaan antibakteri yang signifikan antara natrium hipoklorit 0,5% dan 5% pada
penelitian ini.7

2.3.1.2.Toksisitas Natrium Hipoklorit


Kelemahan dari natrium hipoklorit antara lain, rasa yang tidak enak,
tokisisitas, dan ketidakmampuannya menghilangkan smear layer karena rendahnya
efek dari natrium hipoklorit terhadap material inorganik. Selain itu, rendahnya
efektivitas antimikroba natrium hipoklorit pada penelitian in vivo dibandingkan in
vitro juga tidak memberikan hasil yang memuaskan. Rendahnya efektivitas pada

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


14

penelitian in vivo mungkin disebabkan kesulitan dalam melakukan irigasi sampai ke


daerah paling apeks dari saluran akar, hal ini disebabkan karena perbedaan anatomi
saluran akar. Selain itu lingkungan kimia dari saluran akar pada penelitian in vivo
yang berbeda, juga dapat mempengaruhi.29
Hasil penelitian sitotoksisitas natrium hipoklorit menunjukan efek
sitotoksisitas yang lebih tinggi pada jaringan sehat, sebagian besar terjadi pada
natrium hipoklorit 5,25% dibandingkan natrium hipoklorit 1% dan 0,5%. Oleh karena
itu, penggunaan natrium hipoklorit dengan konsentrasi lebih rendah lebih disenangi,
karena untuk menghindari efeksi sitotoksisitasnya yang tinggi.

2.3.2. Klorheksidin (CHX)


Klorheksidin dikembangkan pada akhir tahun 1940. Bahan ini merupakan
pengembangan seri polybisguanides yang semula digunakan sebagai antivirus.
Klorheksidin merupakan bahan yang paling kuat diantara polybisguanides yang lain,
dan akhirnya dikembangkan sebagai bahan antibakteri. Daya antibakteri klorheksidin
didapatkan dengan merusak integritas sel membran dan menyebabkan pengendapan
cairan sitoplasma. Daya antibakterinya mempunyai spektrum yang luas,
sitotoksitasnya rendah dan dapat larut dalam air. Merupakan basa kuat dan paling
stabil dalam bentuk garam yaitu klorheksidin digluconate atau klorheksidin
gluconate. Klorheksidin merupakan cationic bisguanide yang aktif pada pH 5,5
sampai 7,0 dan bekerja dengan cara berikatan pada dinding sel bakteri yang
bermuatan negatif dan kompleks ekstramikrobial. Pada konsentrasi rendah,
klorheksidin mempunyai efek bakteriostatik, yang dapat menyebabkan perubahan
keseimbangan osmosis sel bakteri dan kebocoran dari potassium dan fosfor. Pada
konsentrasi tinggi, klorheksidin bersifat bakterisid menyebabkan presipitasi
sitoplasmik dari sel bakteri, yang menyebabkan kematian bakteri. 30
Klorheksidin merupakan antiseptik kuat bentuk larutan yang secara luas
digunakan sebagai plaque kontrol secara kimiawi didalam rongga mulut, dengan
konsentrasi yang dianjurkan antara 0,1% sampai dengan 0,2%. Sebagai bahan irigasi
saluran akar konsentrasi yang digunakan 0,12% dan untuk sterilisasi saluran akar 2%.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


15

Klorheksidin bukan merupakan bahan irigasi utama karena bahan ini tidak mampu
melarutkan sisa-sisa jaringan nekrotik dan kurang efektif terhadap bakteri gram
negatif. Klorheksidin merupakan anti bakteri dengan spektrum luas yang aktif
melawan bakteri vegetatif dan mycobacteria, mempunyai aktivitas moderat melawan
jamur dan virus, serta meghambat germinasi spora. Klorheksidin paling efektif
melawan bakteri gram-positif kokus, kurang efektif melawan bakteri Gram-positif
dan Gram-negatif batang. Kemampuan antibakteri CHX sebanding dengan natrium
hipoklorit dan efektif melawan kumpulan bakteri yang resisten terhadap kalsium
hidroksit, seperti gram-positif Enterococcus faecalis.28
Tujuan dari terapi endodonsia adalah mengurangi bakteri dalam saluran akar
yang terinfeksi, sampai tidak terdeteksi melalui prosedur kultur. Karena sifat
kationiknya, Klorheksidin dapat berikatan dengan permukaan yang dilapisi oleh
protein asam, seperti hidroksiapatit sebagai bagian dari dentin, dan dilepaskan dalam
tingkatan terapetik, yang disebut substantivity. Hal ini dapat terjadi dalam 48 jam
sampai 72 jam sesudah instrumentasi.30
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Tanamaru Filho,dkk, gambaran
radiograf dari seekor anjing dengan inflamasi pada jaringan periapikal yang langsung
diobturasi setelah irigasi klorheksidin 2% menunjukan penyembuhan yang lebih baik
dibandingkan setelah irigasi dengan natrium hipoklorit 5,25%. Hal ini diduga karena
kemampuan absorpsi klorheksidin ke jaringan dentin, dengan demikan, menjaga aksi
antimikroba lebih alam dan menciptakan suasana jaringan yang lebih baik untuk
penyembuhan jaringan.30

2.3.2.1.Mekanisme Klorheksidin (CHX)


Klorheksidin meresapi dinding sel atau membran luar dari sel bakteri gram-
negatif dan menyerang sitoplasma bakteri atau membran dalam dari membran plasma
jamur sebagaimana terdapat pada Gambar 2.5. Dalam konsentrasi tinggi,
Klorheksidin menyebabkan koagulasi dari komponen intraseluler. Klorheksidin
efektif melawan bakteri Gram-positif dan Gram-negatif, serta jamur, walaupun
kemampuannya melawan bakteri Gram-negatif tidak sebaik melawan bakteri Gram-

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


16

positif. Mycobacteria dan spora bakteri resisten terhadap CHX, oleh karena itu, CHX
tidak sebaik natrium hipoklorit untuk sterilisasi kon gutta perca.29

Gambar 2.5 Mekanisme Kerja CHX.27


Molekul CHX yang bermuatan positif akan berikatan pada dinding sel bakteri bermuatan
negatif, CHX mengikat dinding sel dan menyebabkan dinding sel pecah, pecahnya dinding sel
menyebabkan sel menjadi lisis dan terjadi kematian sel.

2.3.2.2.Toksisitas Klorheksidin(CHX)
Klorheksidin mempunyai toksisitasnya yang minimal dan tidak menyebabkan
kerusakan jangka panjang pada jaringan. Apabila klorheksidin ini keluar dari saluran
akar tetap akan memberikan reaksi inflamasi. Berdasarkan penelitian Yesilsoy,dkk,
0,12% CHX yang diinjeksikan ke jaringan subkutan dari babi, menunjukan respon
inflamasi ringan setelah dua jam, inflamasi moderat setelah dua hari, dan
pembentukan jaringan granuloma setelah dua minggu, yang akan hilang dengan
berjalannya waktu. Sedangkan berdasarkan hasil penelitian Tanamaru Filho,dkk,
injeksi 2% klorheksidin pada jaringan peritoneal dari tikus menyebabkan inflamasi
yang sama dengan injeksi salin buffer fosfat, sementara injeksi dengan 0,5% natrium
hipoklorit menghasilkan sel radang yang jauh lebih banyak. Tanamaru menyimpulkan
bahwa CHX 2% bersifat biokompatibel. Berbeda dengan hasil penelitian yang

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


17

dilakukan oleh Faria, dkk, yang menemukan adanya reaksi inflamasi jaringan
terhadap injeksi klorheksidin pada telapak kaki tikus dan adanya korelasi positif
antara kematian jaringan dengan konsentrasi CHX yang digunakan. Hasil
penelitiannya menunjukan bahwa konsentrasi 0,5% dan 1% dari CHX menyebabkan
nekrosis jaringan, 0,25% menyebabkan sedikit jaringan nekrosis, sementara
konsentrasi 0,125% tidak menyebabkan nekrosis jaringan. Selain itu, penelitian ini
juga meneliti efek dari klorheksidin terhadap penyembuhan jaringan, dimana dalam
konsentrasi rendah klorheksidin akan menginduksi apoptosis dari fibroblas dan pada
konsentrasi tinggi akan menyebabkan kematian jaringan. 30
Efek toksisitas dari CHX adalah pembentukan para-chloranaline (PCA), yang
merupakan aromatic amine. Ketika dilakukan penelitian pada tikus, kelinci, dan
kucing, paparan yang berulang terhadap PCA dapat menyebabkan cyanosis dan
terutama pembentuk methemeglobinemia. Sedangkan pada manusia, paparan PCA
yang tidak disengaja menyebabkan gejala seperti meningkatnya methaemoglobin dan
sulfhaemoglobin, cyanosis, anemia, dan perubahan sistimik dari anoxia. Klorheksidin
dapat terhidrolisis secara spontan menjadi PCA dengan berjalannya waktu,
Klorheksidin juga dapat bereaksi dengan Natrium hipoklorit dan membentuk
presipitasi yang mengandung PCA. Air ataupun alkohol dapat digunakan sebagai
bahan irigan untuk membuang Natrium hipoklorit dari saluran akar sebelum CHX
digunakan, dengan demikian dapat meminimalisir pembentukan PCA. Selain itu,
EDTA (Exhylenediaminetetraacetic acid) juga merupakan bahan yang tepat untuk
membuang Natrium hipoklorit dari saluran akar, dimana kombinasi antara
klorheksidin dan EDTA tidak menghasilkan reaksi kimia. 30
Klorheksidin mempunyai kemampuan berikatan dengan molekul anionik
seperti fosfat yang terdapat pada struktur hidroksiapatit. Fosfat hadir dalam kompleks
kalsium karbonat dentin. Klorheksidin dapat berikatan dengan fosfat, yang akhirnya
melepaskan sebagian kecil kalsium dari dentin saluran akar. Nascimento Santos, dkk,
menyatakan bahwa CHX dapat menghasilkan kekuatan ikat mikro karena
Klorheksidin adalah agen yang tidak teroksidasi yang tidak mengganggu sistim
adhesi resin.28

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


18

Erdemir,dkk, menyatakan bahwa ikatan yang lebih kuat dihasilkan ketika


menggunakan CHX sebagai bahan irigasi bila dibandingkan dengan kelompok
kontrol, karena CHX diabsorpsi ke dalam dentin dan membantu memfasilitasi
absorpsi agen bonding dentin ke dalam tubuli dentin. Kemampuan disolusi jaringan
lunak merupakan salah satu sifat penting yang harus dipertimbangkan dalam suatu
bahan irigasi. Hal ini disebabkan kompleksnya anatomi sistem saluran akar, dimana
tidak semua permukaan saluran akar akan dapat berkontak dan dibersihkan dengan
instrumentasi mekanis. Jaringan yang tertinggal pada anatomi yang kompleks, seperti
dinding lateral, tubuli dentin, dan isthmus dapat menjadi sumber nutrisi bagi bakteri,
seperti Enterococcus faecalis (terkubur atau terbenam sampai 12 bulan masih dapat
menjaga viabilitas dari E. faecalis). Selain itu, bakteri yang tidak dapat bertahan dan
tertinggal di tubuli dentin ataupun iregularitas saluran akar yang tertutup oleh biofilm
juga dapat menyebabkan inflamasi yang memicu destruksi jaringan.30
Clegg, dkk, menyatakan bahwa CHX 2% tidak dapat melepaskan biofilm
yang berasal dari sampel bakteri yang diambil dari gigi dengan periodontitis apikalis
kronik. Salah satu cara untuk mengatasi kekurangan CHX ini adalah mengunakan
CHX berbahan gel, dibandingkan cairan. Ferraz, dkk, menunjukan bahwa
penggunaan natrosol gel CHX menunjukan hasil yang sangat baik dalam
pembersihan dinding saluran akar dan menyebabkan terbukanya tubuli dentin,
dibandingkan CHX 2% cair dan natrium hipoklorit 5,25% pada saat dilakukan
preparasi biomekanis dari saluran akar. Hal ini disebabkan oleh viskositas dari gel
tersebut, yang menyebabkan pembersihan secara mekanis dan mengkompensasi
ketidakmampuan CHX untuk melarutkan jaringan pulpa. Karena natrosol gel larut di
dalam air, gel dapat dibuang dengan bilasan akhir menggunakan air bersih. Akan
tetapi hal ini memerlukan penelitian yang lebih lanjut, karena penelitian ini hanya
dilakukan pada bagian 1/3 tengah dari saluran akar. Oleh karena itu perlu dilakukan
penelitian lagi pada bagian 1/3 apikal yang mempunyai anatomi lebih kompleks. 30

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


19

2.3.3. Fotodinamik
Fotodinamik adalah teknik yang mengkombinasikan sinar kekuatan rendah
dengan senyawa photosensitizer untuk memproduksi molekul singlet oksigen dan
radikal bebas dalam menghancurkan sel bakteri.8 Ketika fotoaktivasi, radikal bebas
berbentuk toksik terhadap sel bakteri.31 Efek energi sinar kekuatan rendah pada sel
hidup dari terapi sinar kekuatan rendah, yang dikenal sebagai biostimulasi, ditentukan
oleh panjang gelombang dan total energi pengiriman yang diukur dengan
Joules/cm2.31
Fotodinamik melibatkan interaksi sinar dengan agen yang menghasilkan
oksigen. Setelah agen photosensitizer diaplikasikan pada jaringan, sinar laser
dipancarkan dengan panjang gelombang tertentu berkisar antara 630 nm dan 700 nm.
Hal ini menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel target (sel bakteri, fungi, ataupun
tumor) dengan menginduksi produksi reactive oxygen spesies (ROS). Reactive
oxygen spesies (ROS) adalah oksigen radikal bebas yang dapat merusak membran
mikroorganisme dan mempercepat matinya mikroorganisme. 11

2.3.3.1. Agen Photosensitizer Dalam Kedokteran gigi


Ada beberapa photosensitizer dalam bidang kedokteran gigi, yaitu antara lain :
(1) Methylene blue (MB), terdiri dari 3,7-bis(Dimethylamino)-phenotiazin-5-ium
chloride. Merupakan agen pewarnaan jaringan vital, penawar racun terhadap
nitrit/anilin, antiseptik, anti rematik, mempunyai toksisitas rendah, dapat
mengabsorbsi laser dengan panjang gelombang maksimal 661 nm dan merupakan
sensitizer ideal bila diaplikasikan dengan laser merah. (2) Toluidine blue O (TBO)
yang biasanya dikenal sebagai tolonium chloride. Merupakan agen berwarna biru,
terdiri dari (3-amino-7-[dimethylamino]-2-methylphenothiazine). Digunakan untuk
histologi dan pewarnaan jaringan vital , sebagai penawar racun pada kasus keracunan
(methemoglobin), dalam kedokteran gigi dan sebagai pengobatan maxillofacial yang
digunakan untuk membedakan lesi prekanker yang jinak atau ganas, dapat
mengabsorbsi sinar dengan panjang gelombang maksimal 635 nm dan sangat ideal
bila diaplikasikan dengan laser merah. (3) Indocyanine green , terdiri dari : 1,7-

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


20

Bis(1,1-dimethyl-3-[4-sulfobutyl]-1H-benz[e]indol-2-yl) heptamethinium-betain-Na.
Agen sensitizer berwarna hijau, dapat mengabsorbsi laser dengan panjang gelombang
810 nm. Sering digunakan untuk menguji fungsi hati, onkologi, dalam kedokteran
gigi lebih sering digunakan dalam bidang periodontologi. (4) Methylene blue
derivates yang merupakan turunan dari methylene blue. Dapat mengabsorbsi sinar
dengan panjang gelombang 810 nm.32
Photosensitizer yang paling umum digunakan adalah phentothiazine dyes
(biru toluidin dan biru metilen). Keduanya mempunyai unsur kimia dan karakteristik
psikokemikal yang hampir sama. Biru metilen dan biru toluidin sangat efektif dalam
membasmi bakteri gram-positif dan gram negatif. Aisa dkk (2009) dalam
penelitiannya mengatakan biru toluidin mempunyai kemampuan untuk membunuh
bakteri lebih baik dibandingkan dengan biru metilen, biru toluidin lebih efektif
berinteraksi dengan lipopolisakarida dan mempunyai efek fotobakterisidal lebih besar
dibandingkan dengan biru metilen.31

2.3.3.2.Sumber Sinar
Fotodinamik membutuhkan sinar yang dapat mengaktivasi photosensitizer
dengan megekspos sinar level rendah dengan panjang gelombang yang spesifik. Pada
jaman dahulu, aktivasi fotosensitizer dicapai dengan berbagai variasi sumber sinar,
seperti argon-pumped dye laser, potassium titany phosphate (PTP)- atau neodymium,
yttrium aluminum garnet(Nd-YAG)- pimped dye laser, dan gold-vapor. Sekarang
sumber sinar lebih banyak diaplikasikan pada fotodinamik mempunyai panjang
gelombang yang spesifik antara lain helium-neon (633 nm), gallium-alumina arsenide
diode laser (630-690) dan laser argon (488-514 nm).31

2.3.4. Fotodinamik (CMS Dental)


Seiiring dengan perkembangan teknologi CMS dental mengembangkan
fotodinamik yang mengkombinasikan sinar merah dan agen photosensitizer (Gambar
2.6). Metode ini merupakan alternatif pilihan perawatan terbaru yang dapat
digunakan pada berbagai kondisi yang mungkin sulit untuk disembuhkan, akan tetapi

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


21

dengan dengan produk ini dapat berhasil dilakukan. Fotodinamik terutama digunakan
untuk disinfeksi saluran akar, periodontitis, gingivitis dan inflamasi akut lainnya,
periimplantitis dan karies profunda. 33

Gambar 2.6 Instrument fotodinamik.33

2.3.4.1. Agen photosensitizer (CMS Dental)


Agen photosensitizer yang digunakan dalam produk ini adalah biru
toluidin (Gambar 2.7). Tersedia dalam tiga viskositas yang berbeda, low,
medium dan high , dengan konsentrasi 0,1mg/ml. Mempunyai dua ukuran
yang berbeda 1,2ml dan 6ml, tetapi yang digunakan dalam disinfeksi saluran
akar adalah biru toluidin dengan viskositas yang rendah.33

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


22

Gambar 2.7 Agen Photosensitizer biru toluidin yang diaplikasikan kedalam saluran akar33

2.3.4.2.Mekanisme Fotodinamik
Mekanisme reaksi fotokimia pada molekul fotosensitizer umumnya terjadi
melalui molekul fotosensitif yang tereksitasi secara optis bereaksi secara langsung
dengan substrat seperti membran sel atau molekul dan mentransfer sebuah proton
atau elektron membentuk anion atau kation radikal. Radikal ini akan bereaksi dengan
oksigen menghasilkan oksigen reaktif (ROS). Superoksida anion yang terbentuk akan
bereaksi dengan substrat menghasilkan hidrogen peroksida (H 2O2). Pada konsentrasi
tinggi hidrogen peroksida bereaksi dengan superoksida anion membentuk hidroksil
radikal (reaksi Haber Weiss) yang dengan mudah berdifusi melalui membran dan
merusak sel.34
Fotodinamik merupakan kombinasi sinar visible dengan sinar panjang
gelombang rendah dan phototosensitizer. Photosensitizer mampu menyerap sinar
dengan panjang gelombang spesifik, yang kemudian akan diubah dari awalnya singlet
state menjadi triple state. Periode lebih lama dari triplet state ini memberikan
kemampuan untuk interaksi antara Photosensitizer dengan molekul jaringan
sekitarnya. Produk toksisitasnya hanya akan diproduksi selama fotodinamik dengan
biru toluidin berada dalam triplet state. Produk sitotoksiknya, umumnya oksigen,
tidak dapat bermigrasi > 0,02 m setelah pembentukannya, sehingga lebih ideal untuk
aplikasi lokal fotodinamik dengan biru toluidin tanpa membahayakan biomolekul, sel
atau organ yang jauh.35 Mekanisme tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.8.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


23

Gambar 2.8 Mekanisme fotodinamik dengan biru toluidin


1. Molekul dye beradaptasi pada membran bakteri, 2. Sinar mengaktivasi molekul dye, 3. Dengan
oksigen membentuk singlet oksigen, 4. Singlet oksigen yang agresif mengoksidasi bakteri. 36

Siddiqui dan Awan (2013) dalam penelitiannya mengatakan bahwa


fotodinamik dengan biru toluidin membunuh lebih banyak Enterococcus faecalis
secara signifikan dibandingkan dengan metode konvensional dalam disinfeksi saluran
akar, kriteria inklusi dalam sampel penelitian mereka adalah menggunakan 16
sampel secara ex vivo dan 1 sampel secara in vivo dan menggunakan sinar laser
dengan panjang gelombang (masing-masing 635 nm, 805 nm, dan 628 nm). 37

2.3.4.3.Toksisitas Fotodinamik dengan biru toluidin


Gambarini dkk membandingkan toksisitas fotodinamik dengan biru toluidin
dengan sinar dan tanpa sinar, EDTA 17% dan CHX 2%, material metode yang
digunakan adalah fibroblas dari ligament periodontal yang dikultur terhadap viabilitas
sel. Vitalitas seluler dievaluasi dengan uji MTT. Produksi spesies oksigen (ROS)
diukur dengan menggunakan oxidation-sensitive fluorescent probe. Hasil tes MTT

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


24

menunjukkan bahwa efek sitotoksisitas fotodinamik dengan biru toluidin baik yang
disinar maupun yang tidak disinar secara statistik lebih rendah p<0,05 dibandingkan
dengan CHX, sementara tidak ada perbedaan signifikan dengan EDTA 17%.38

2.4. PCR (Polymerase Chain Reaction)


PCR merupakan teknik amplifikasi potongan DNA yang diinginkan secara
invitro pada daerah spesifik yang dibatasi oleh dua buah primer oligonukleatida
dengan bantuan enzim polymerase. Primer yang digunakan sebagai pembatas daerah
yang diamplifikasi adalah DNA untai tunggal yang urutannya komplemen dengan
DNA templatnya. Primer yang berada sebelum daerah target disebut forward dan
yang berada setelah daerah target disebut primer reverse. Untuk dapat menghasilkan
rangkaian tersebut dalam teknik PCR dibutuhkan adanya dNTPs yang mencakup
dATP, dCTP, dGTP dan dTTP. Amplifikasi sekuens DNA target dapat memperoleh
106-109 kali jumlah target awal. Amplifikasi ini dapat menghasilkan sejuta kali atau
lebih DNA asli.39
PCR melewati banyak siklus yang masing-terdiri dari tiga tahap berurutan,
yaitu pemisahan (denaturasi) rantai DNA templat, penempelan (annealing) pasangan
primer pada DNA target dan pemanjangan (extension) primer atau reaksi polimerisasi
yang dikatalisis oleh DNA polymerase. Pada akhir siklus pertama, suatu molekul
DNA untai ganda dilipatgandakan jumlahnya menjadi dua molekul DNA untai ganda.
Dua molekul DNA untai ganda hasil amplifikasi pada siklus pertama menjadi DNA
target dan dilipatgandakan menjadi empat molekul DNA, dan selanjutnya empat
molekul baru ini dilipatgandakan lagi jumlahnya menjadi delapan dan seterusnya. 39
Proses pelipatgandaan molekul DNA tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.9.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


25

Gambar 2.9 Pelipatgandaan molekul DNA39

2.4.1. Tahapan PCR


Tahap denaturasi, selama proses ini DNA untai ganda akan membuka
menjadi dua untai tunggal yang disebabkan karena suhu denaturasi yang tinggi.
Denaturasi awal biasanya berlangsung selama 3 menit, untuk denaturasi berikutnya,
waktu yang diperlukan hanya 30 detik pada suhu 950C atau 15 detik pada suhu 970C.
Denaturasi yang tidak lengkap mengakibatkan DNA mengalami renaturasi secara
cepat.40
Penempelan Primer (annealing) pada tahap ini, primer akan menuju daerah
yang spesifik yang komplemen dengan urutan primer. Ikatan 25ydrogen akan
terbentuk antara primer dengan urutan komplemen pada templat. Kriteria yang umum
digunakan untuk merancang primer yang baik adalah bahwa primer sebaiknya
berukuran 18-25 basa, mengandung 50-60% G+C dan Tm (0C) terhitung untuk kedua
primer sebaiknya sama. Temperatur penempelan yang digunakan biasanya 50C di
bawah Tm, dimana formula untuk menghitung Tm = 4(G+C) + 2(A+T). Semakin
panjang ukuran primer, semakin tinggi temperaturnya. Kisaran 25ydrogen25re
penempelan yang digunakan antara 360C sampai dengan 720C, namun suhu yang
digunakan antara 50-600C. DNA polymerase akan berikatan, sehingga ikatan

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


26

26ydrogen tersebuat akan menjadi sangat kuat dan tidak akan putus kembali apabila
dilakukan reaksi polimerisasi selanjutnya, misalnya pada 720C40
Pemanjangan Primer (Extension) selama tahap ini, Taq polymerase memulai
aktifitasnya akan memperpanjang DNA primer dari ujung 3 dengan penambahan
dNTP yang komplemen dengan templat. Kecepatan dari penyusunan nukleotida oleh
enzim tersebut pada suhu 720C diperkirakan antara 35 sampai 100 nukleotida per
detik, bergantung pada buffer, pH, konsentrasi garam dan molekul DNA target.
Dengan demikian, untuk produk PCR sepanjang 2000 pasang basa, waktu 1 menit
sudah lebih dari cukup untuk melakukan tahap pemanjangan primer ini. Biasanya, di
akhir siklus PCR, waktu yang digunakan untuk tahap ini diperpanjang sampai lima
menit, sehingga seluruh produk PCR diharapkan berbentuk DNA untai ganda. 40
Ketiga tahapan proses PCR yang telah dijelaskan diatas, dapat dilihat pada Gambar
2.10.

Gambar 2.10 Tahapan proses PCR40

2.4.2. Real-Time PCR


Real-time polymerase chain reaction (PCR) adalah salah satu teknik yang
paling banyak digunakan dalam studi biomolekular. Real-time PCR memiliki
berbagai keunggulan diantaranya adalah amplifikasi atau perbanyakan DNA fragmen
yang dapat diamati secara cepat dan dapat menentukan konsentrasi DNA yang

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


27

terdapat pada sample. Maka teknik ini disebut Quantitative PCR (qPCR). Proses
amplifikasi menggunakan real-time PCR memiliki prinsip yang sama dengan proses
amplifikasi PCR secara konvensional. Namun pada real-time PCR terdapat tambahan
komponen PCR yaitu probe. Probe merupakan primer yang diberi label pewarna dye
terdiri dari reporter dan peredam pewarna (quencher). Fluoresensi dari reporter hanya
dilepaskan ketika dua pewarna secara fisik terpisah melalui hibridisasi atau aktivitas
nuclease. Standar posisi label dye, yaitu quencher berada pada 3' dan reporter pada 5'
probe.40
Instrumen real-time PCR mendeteksi amplikon dengan mengukur
peningkatan pewarna (dye) fluorescent yang berpendar ketika terikat dengan double-
stranded DNA, berdasarkan sifat inilah maka pertumbuhan fragment DNA hasil
amplifikasi dapat diikuti secara seketika, semakin banyak DNA yang terbentuk
semakin tinggi pula intensitas fluorescent yang dihasilkan. Kuantitatif PCR
dimungkinkan dapat mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga hitungan
picogram atau setara dengan sel tunggal karena sensitifitas dye yang sangat tinggi.
Hasil peningkatan fluorescent digambarkan melalui kurva amplifikasi yang
menunjukkan tiga fasa yaitu fasa awal, fasa eksponensial atau puncak dan fasa
plateau atau stabil.40
Real-time PCR menggunakan seperangkat software bekerja secara akurat,
cepat, sensitif dan fleksibel. Dengan real-time PCR dapat menganalisa hingga 96
sample menggunakan multiwell plates, memiliki tiga komponen utama yaitu thermal
block cycler sebagai akurasi data, optical system sebagai deteksi data, dan software
sebagai analisis data, dilengkapi dengan analisa kurva melting, untuk dapat
melakukan kuantifikasi secara absolute dan kuantifikasi secara relatif.
Terdapat banyak bahan kimia berfluoresens yang digunakan sebagai sistim
deteksi pada Real time PCR, tetapi yang paling sering digunakan adalah SYBR Green
(DNA-binding dyes) dan TaqMan. SYBR Green tidak mengikat secara spesifik untai
ganda DNA. Pada saat SYBR Green berikatan maka akan menghasilnya sinyal
fluoresensi yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan SYBR Green yang tidak
berikatan. Metode kuantifikasi yang digunakan dalam Real time PCR dipilih

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


28

berdasarkan tujuan penelitian yang akan kita buat. Metode kuantifikasi yang
digunakan dalam Real time PCR adalah kuantifikasi absolut. Kuantifikasi absolut
menentukan jumlah DNA yang sebenarnya dari DNA target, tetapi merupakan bentuk
yang sulit dalam kuantifikasi. Metode ini membutuhkan perencanaan dan kurva
standar yang akurat. Kuantifikasi absolut sering digunakan untuk menentukan viral
titer. Untuk melakukan kuantifikasi absolut harus dibuat pengenceran dari target yang
telah diketahui konsentrasinya sebelumnya. Pengenceran tersebut akan diamplifikasi
dengan Real Time PCR, dan data yang dihasilkan akan digunakan untuk membuat
kurva standar dimana setiap konsentrasi dari target saling berpotongan dengan
threshold dan menghasilkan nilai CT. Threshold Cycle (CT) dari sampel yang tidak
diketahui konsentrasinya akan dibandingkan terhadap kurva standar untuk
menentukan jumlah salinan yang dihasilkan. Amplifikasi pengenceran dari target
untuk menghasilkan kurva standar dapat dilihat pada gambar. Kuantifikasi relatif
adalah menjelaskan realtime PCR pada ekspresi gen pada salah satu sampel yang
diberi perlakuan dibandingkan dengan ekspresi pada gen yang sama pada sampel
lainnya yang tidak diberi perlakuan. Perhitungan ekspresi gen dilakukan melalui
penentuan rasio sebuah gen target dengan sebuah gen referensi yang terdapat pada
semua sampel. Gen referensi adalah sebuah gen yang tingkat ekspresinya tidak
berbeda antar sampel.40

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


29

2.5 Kerangka teori

Gambar 2.11 Skema Kerangka Teori

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


30

BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN HIPOTESIS

3.1. Kerangka Konsep

Fotodinamik dengan biru toluidin


(CMS Dental)
Natrium Hipoklorit 2,5%
Klorheksidin 2%

Daya antibakteri terhadap


Enterococcus faecalis dalam
Enterococcus faecalis dalam biofilm biofilm

Gambar 3.1 Skema Kerangka Konsep

Fotodinamik dengan biru toluidin, natrium hipoklorit 2,5% dan klorheksidin


2% akan dipaparkan pada biakan Enterococcus faecalis dalam biofilm, kemudian
dilihat daya antibakteri E. faecalis dalam biofilm pasca paparan ketiga agen tersebut.

3.2. Hipotesis
1. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm
2. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri yang
sebanding dengan natrium hipoklorit 2,5% terhadap Enterococcus
faecalis dalam biofilm
3. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri yang
sebanding dengan klorheksidin 2% terhadap Enterococcus faecalis
dalam biofilm

30 Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


31

BAB 4
METODE PENELITIAN

4.1. Jenis Penelitian


Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental laboratorik.

4.2. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan di laboratorium Institut Pertanian Bogor (IPB) pada
bulan Juni 2014 sampai Oktober 2014.

4.3. Variabel Penelitian


1. Variabel terikat : Daya antibakteri terhadap biofilm Enterococcus
faecalis
2. Variabel bebas : Fotodinamik dengan biru toluidin (CMS Dental),
Natrium hipoklorit 2,5% dan CHX 2%.
3. Variabel terkendali : Jumlah bakteri E.faecalis dalam biofilm

31 Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


32

4.4. Definisi Operasional


Tabel 4.1. Definisi Operasional
Variabel Penelitian Deskripsi Penelitian Cara Pengukuran Hasil Ukur Skala
Pengukuran
A. Variabel Terikat
Daya antibakteri Jumlah bakteri pada Jumlah DNA bakteri E. CFU/mL Rasio.
terhadap biofilm biofilm yang hidup faecalis yang hidup dalam
E.faecalis setelah pemaparan biofilm dan dipaparkan pada
dengan bahan uji masing-masing bahan
fotodinamik dengan biru antibakteri, dihitung
toluidin, natrium menggunakan real-time PCR.
hipoklorit 2% dan
klorheksidin 2%, selama
10 menit. Makin kecil
jumlah bakteri yang
hidup maka daya
antibakterinya makin
meningkat.

B. Variabel Bebas
1. Fotodinamik Agen fotosensitizer - ml Nominal
dengan biru (toluidin blue 1%)
toluidin (CMS kemudian diaktivasi
Dental) dengan sinar merah
dengan panjang
gelombang 630nm
2. Natrium hipoklorit Bahan antiseptik dan - ml Nominal
2,5% disinfektan dengan
konsentrasi 12%, yang
diencerkan dengan
akuabides hingga
konsentrasinya
mencapai 2,5% dengan
menggunakan rumus
C1.V1=C2.V2
3. Klorheksidin 2% Klorheksidin 2% 2ml - ml Nominal
(Consepsis, Ultradent)
C. Variabel Terkendali
Jumlah E.faecalis Bakteri Gram-positif Dilakukan standarisasi dengan CFU/mL. Rasio
anaerob fakultatif dari McFarland 0,5,sehingga
ATCC 29212 didapatkan jumlah bakteri 108

4.5. Alat, Bahan, dan Cara Kerja


4.5.1. Kultur E. faecalis
4.5.1.1.Alat dan bahan yang digunakan :
1. Lampu spiritus
2. Media BHIA

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


33

3. Enterococcus faecalis ATCC 29212


4.5.1.2.Prosedur pelaksanaan :
Enterococcus faecalis ATCC 29212 di swab keatas BHIA secara merata dan
diinkubasi selama 24 jam pada suhu 370C.

4.5.2. Penyesuaian Jumlah E. faecalis ATCC 29212 dengan larutan McFarland


0,5 dan pembuatan biofilm bakteri
4.5.2.1.Alat dan bahan yang digunakan:
1. Hasil kultur Enterococcus faecalis ATCC 29212 pada media BHIA
2. Satu jarum ose
3. Tabung dengan 10mL salin steril
4. Larutan McFarland standar 0,5
5. Membran filter selulosa nitrat steril (ukuran prous 0,2m dan diameter
13mm)
6. BHIA

4.5.2.2.Prosedur pelaksanaan :
E. faecalis hasil kultur selama 24 jam diambil dengan menggunakan jarum
ose, sampai ujung jarum ose penuh dengan bakteri. E. faecalis dari jarum ose
dimasukan ke dalam 10mL salin steril. Densitas dari suspensi distandarisasi dengan
McFarland standar 0,5 sehingga didapatkan 108 CFU/mL. Membran filter selulosa
nitrat yang terletak pada BHIA ini kemudian ditetesi dengan 25L suspense bakteri
dan diinkubasi pada suhu 370C selama keadaan aerob.

4.5.3. Pemaparan Enterococcus faecalis ATCC 29212 terhadap Bahan Uji


4.5.3.1.Alat dan bahan yang digunakan :
1. Pipet mikro
2. Tip pipet mikro
3. Timer
4. Eppendorf 1,5 mL

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


34

5. Biofilm E. faecalis
6. Fotodinamik dengan biru toluidin (CMS Dental)
7. Larutan klorheksidin 2%
8. Larutan natrium hipoklorit 2,5%
9. Larutan PBS steril

4.5.3.2.Prosedur pelaksanaan :
Setelah inkubasi selama 72 jam, membran steril diangkat secara asepsis dari
BHIA dan dimasukan ke dalam eppendorf 1 mL larutan phosphate-buffered saline
(PBS) untuk melepaskan bakteri yang tidak melekat dengan erat pada membran.
Kemudian, membran dimasukan ke dalam 3 eppendorf dengan larutan 1 mL PBS, 3
tabung dengan Fotodinamik + biru toluidin, 3 tabung dengan natrium hipoklorit 2,5%
, dan 3 tabung dengan larutan klorheksidin 2% selama 1 jam pada suhu 370C dalam
inkubator aerob.

4.5.4. Pembuatan Pelet E.faecalis ATCC 29212 yang Telah Dipaparkan Bahan
Uji
4.5.4.1.Alat dan bahan :
1. Eppendorf dengan 1 mL larutan PBS
2. Vortexer (BioRad)

4.5.4.2.Prosedur pelaksanaan :
Seluruh membran yang telah dipaparkan pada bahan uji dan juga kelompok
kontrol dicuci dengan 1 mL PBS sebanyak tiga kali, untuk menetralisir dan
menghentikan aktivitas bahan antibakteri. Kemudian, eppendorf terakhir dengan
membran diletakkan pada mesin vorteks selama 2 menit, sehingga didapatkan
suspensi bakteri. Membran kemudian dikeluarkan secara asepsis dari dalam
eppendorf.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


35

4.5.5. Pemaparan Propodium Monoazide (PMATM dye 20mM in water,


Biotium)
4.5.5.1.Alat dan bahan yang digunakan :
1. Sinar halogen 600 Watt
2. Dry ice
3. PMA TM dye 20mM in water, Biotium
4. Eppendorf yang berisikan suspensi bakteri

4.5.5.2.Prosedur pelaksanaan :
PMA ditambahkan ke dalam eppendorf yang berisikan suspensi bakteri
sebanyak 100L, sampai didapatkan konsentrasi akhir sebanyak 100M. Eppendorf
diinkubasi selama 10 menit pada suhu 40C dalam ruang gelap. Setelah itu, eppendorf
diletakkan di atas dry ice secara horisontal dan dipaparkan dengan sinar halogen 600
watt selama 20 menit, dengan jarak 20cm.

4.5.6. Ekstraksi DNA Sampel


4.5.6.1.Alat dan bahan yang digunakan :
1. Hot plate stirrer
2. Magnetic stirrer
3. Waterbath incubator
4. Thermal block unit
5. Centrifuge (Legend RT, Sorvall)
6. Vortexer (BioRad)
7. Pipet mikro
8. Tip pipet mikro
9. Floating boat
10. Stopwatch
11. Lemari pendingin bersuhu 40C
12. Lemari pendingin bersuhu -200C
13. Pelet sampel bakteri

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


36

14. InstaGeneTM Matrix


15. Larutan natrium klorida 0,9%
16. MilliQ

4.5.6.2.Prosedur pelaksanaan :
Waterbath incubator disiapkan pada suhu 560C dan thermal block unit pada
suhu 1000C. Kemudian dilakukan homogenisasi sampel selama 10 detik dengan
mesin vortex, dan dilakukan sentrifugasi dengan kecepatan 10.000rpm selama 3 menit
sampai larut. Setelah sentrifugasi, bagian supernatan diambil dengan pipet mikro
sampai hanya menyisakan natan di dalam tabung mikrosentrifus, kemudian
supernatan dibuang. Selanjutnya, seluruh natan diberikan 200L InstaGeneTM Matrix
sambil dihomogenisasi di atas hot plate sterrir menggunakan magnetic stirrer.
Sampel kemudian diinkubasi dalam waterbath pada suhu 560C selama 30
menit dan dihomogenisasi dengan mesin vortex selama 10 detik. Tabung tersebut
kemudian dimasukan ke dalam thermoblock pada suhu 1000C selama 8 menit.
Prosedur ini dilakukan sebanyak 3x. Selanjutnya sampel kemudian dihomogenisasi
dengan mesin vortex selama 10 detik dan dilakukan sentrifugasi pada kecepatan
12000rpm selama 3 menit sampai larutan sampel terpisah menjadi natan dan
supernatan. Bagian supernatan dipindahkan ke dalam tabung mikrosentrifus yang
baru. Sampel yang berisi supernatan disimpan pada suhu 4 0C selama 24 jam. Bila
dalam tabung mikrosentrfus masih terlihat endapan natan, supernatan dipindahkan
lagi ke dalam tabung mikrosentrifus yang baru dan disimpan pada suhu -200C.

4.5.7. Kuantifikasi Konsentrasi DNA Sampel


4.5.7.1.Alat dan bahan yang digunakan :
1. Eppendorf 0,5mL
2. Mikro pipet
3. Tip mikro pipet
4. Mesin vortex
5. Mesin spin down

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


37

6. Tabung sentrifus 15 mL
7. Aluminium foil
8. Sampel hasil ekstraksi DNA
9. Quant-iTTM buffer DNA-BR
10. Quant-iTTM reagent DNA-BR

4.5.7.2.Prosedur pelaksanaan :
Pembuatan larutan kerja dimulai dengan memasukan QuantiTTM buffer DNA-
BR sebanyak 199 L x n (n = jumlah sampel, 27) ke dalam tabung sentrifus 15 mL
yang sudah dilapisi aluminum foil. Kemudian, Quant-iTTM reagent DNA-BR
sebanyak 1 L x 27 dimasukan ke dalam tabung sentrifus 15 mL yang sudah dilapisi
aluminum foil. Kedua larutan tersebut dihomogenisasi dengan menggunakan mesin
vortex. 199 L larutan kerja dan 1 L DNA sampel yang akan dihitung
konsentrasinya dimasukan ke dalam tabung mikrosentrifus 0,5 mL yang sudah
dilapisi aluminum foil. Kemudian tabung tersebut dihomogenisasi dengan mesin
vortex selama 2 detik.

4.5.8. Deteksi dan Kuantifikasi DNA E. faecalis ATCC 29212


4.5.8.1.Alat dan bahan yang digunakan:
1. Tabung mikrosentrifus 1,5mL
2. Pipet mikro
3. Tip pipet mikro
4. Mesin vortexer
5. Mesin Spin down
6. 15 PCR well plate
7. MicroAmpTM Fast Reaction Tubes (8 tubes/strip)
8. MicroAmpTM Optical 8-Cap Strip
9. Aluminum foil
10. Mesin Step-one Real-time PCR System Applied Biosystem
11. Primer EF Gro ES-F dan EF Gro ES-R

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


38

12. TE buffer
13. Power SBYR Green PCR Master Mix
14. Nuclease-Free Water
15. DNA sampel

4.5.8.2.Prosedur pelaksanaan :
Primer EF Gro ES-F dan EF Gro ES-R diencerkan dengan menggunakan TE
buffer dengan perbandingan TE buffer : EF Gro ES-F dan EF Gro ES-R adalah 9:1.
Hasil pengenceran tersebut kemudian dihomogenisasi dengan menggunakan mesin
vortex, dilanjutkan dengan menggunakan mesin spin down. Kemudian dilakukan
pembuatan PCR mix: (1) Tabung mikrosentrifus 1,5mL dilapisi dengan alumunium
foil. (2) PCR mix dibuat dengan mengalikan setiap campuran dengan jumlah sampel
yang akan diproses menggunakan Real-time PCR. Campuran yang dibutuhkan adalah
Power SYBR Green PCR Master Mix 10 L, universal primers EFGro ES-F
sebanyak 2 L, universal primers EF Gro ES-R sebanyak 2 L dan nuclease-free
water 2 L. Seluruh bahan PCR mix dicampurkan ke dalam tabung mikrosentrifus
1,5mL yang sudah dilapisi aluminum foil. Setelah selesai pembuatan PCR mix,
dimasukkan ke dalam MicroAMPTM Fast Reaction Tubes (8 tubes/strip) dimasukkan
sebanyak 16 L dan ditambahkan dengan 4 L sampel DNA. Kemudian dilakukan
homogenisasi pada campuran dengan menggunakan pipet mikro.
MicroAmpTM Fast reaction tubes (8 tubes/strip) ditutup dengan MicroAmpTM
Optical 8-Cap Strip secara asepsis. 15 PCR well plate kemudian dimasukkan ke
dalam mesin Step-One Real-Time PCR System Applied Biosystem yang telah
dinyalakan, kemudian diatur sesuai dengan kebutuhan. Siklus kuantitatif Real-time
PCR untuk total bakteri dan aktivasi pemanasan awal dilakukan pada suhu 950C
selama 3 menit, dilanjutkan dengan 40 siklus denaturasi pada suhu 95 0C selama 15
detik, tahap annealing primer pada suhu 550C selama 30 detik, dan tahap elongasi
pada suhu 720C selama 30 detik.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


39

4.6. Alur Penelitian

Pemaparan
E.faecalis kedalam
Penyesuaian bahan uji 1.
Kultur E.faecalis E.faecalis dgn NaOCl 2,5%
dalam media BHIA lar,mc Farland 2. Fotodinamik
standar 0,5 dengan biru
toluidin (CMS
dental)
3. CHX 2%

Pemaparan Pembuatan Pelet


Propodium E.faecalis ATCC
Ekstraksi DNA Monoazide
Sampel 29212 yang Telah
(PMATM dye Dipaparkan Bahan
20mM in water, Uji
Biotium)

Kuantifikasi
Deteksi dan Analisis Perbedaan
Konsentrasi DNA
Kuantifikasi DNA E. Daya Anti Bakteri
Sampel dengan uji statistik
faecalis ATCC 29212

Gambar 4.1 Skema Alur Penelitian


PenePEnelitiPenelitian

4.7. Analisis Data


Data yang diperoleh dianalisis secara statisik dengan tahapan sebagai berikut
1) Pertumbuhan Enterococcus faecalis dari kelompok kontrol dan kelompok bahan
dilakukan pengujian normalitas data menggunakan Uji Shapiro-Wilk dikarenakan
jumlah sampel kurang dari 50; 2) Selanjutnya dilakukan pengujian homogenitas

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


40

untuk mengetahui data memiliki varians yang sama; 3) Tahapan berikutnya adalah
mengetahui apakah terdapat perbedaan antara masing-masing bahan uji maka
dilakukan pengujian One Way ANOVA; 4) Jika nilai pada uji One Way ANOVA
menghasilkan nilai p<0,05, maka untuk mengetahui bahan uji mana yang
mempengaruhi yang memiliki perbedaan yang signifikan atau bermakna maka
dilakukan dengan analisis uji perbandingan multiple dengan prosedur Post-Hoc
Bonferoni; 5) Jika syarat normalitas atau varians data tetap tidak sama atau homogen,
maka uji yang dilakukan menggunakan Kruskal-Wallis; 6) Apabila pada uji Kruskal-
Wallis menghasilkan nilai p<0,05 maka dilanjutkan dengan melakukan analisis Post-
Hoc dengan menggunakan uji Mann-Whitney.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


41

BAB 5
HASIL PENELITIAN

Pada penelitian ini, bahan uji fotodinamik dengan biru toluidin (CMS dental),
klorheksidin 2% (Consepsis) dan natrium hipoklorit 2,5% dipaparkan pada biofilm
bakteri Enterococcus faecalis. Penilaian efektivitas bahan antibakteri didapatkan
melalui mesin real-time PCR, berupa kuantifikasi absolut. Kuantifikasi absolut
dilakukan pada sampel untuk menghitung jumlah Enterococcus faecalis dalam
biofilm yang hidup pasca pemaparan bahan uji.
Data yang diperoleh dari mesin real- time PCR selanjutnya dilakukan analisis
untuk mengetahui kemaknaan dari masing-masing bahan uji dengan menggunakan
program SPSS 17.0. Sebelum dilakukan uji kemaknaan dari masing-masing bahan
uji, maka terlebih dahulu dilakukan uji asumsi untuk mengetahui teknik analisis
statistik yang akan dipergunakan. Hasil uji asumsi menunjukkan bahwa data masing-
masing bahan uji berdistribusi normal, hal ini dapat dilihat pada bagian test of
normality, dengan uji uji Shapiro-Wilk, p>0,05.
Setelah uji normalitas, maka selanjutnya dilakukan uji homogenitas varians
dengan menggunakan Levenes Test. Hasilnya didapatkan bahwa data tidak homogen,
sehingga tidak memenuhi syarat uji parametric. Uji yang digunakan dalam penelitian
ini adalah uji non parametrik, yaitu Kruskal-Wallis. Dari hasil uji Kruskal-Wallis
didapatkan p < 0,05 (p =0,024) maka dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat
perbedaan daya antibakteri yang bermakna antara empat kelompok. Untuk
mengetahui kelompok bahan uji mana yang memiliki perbedaan bermakna
dilanjutkan dengan analisis Post Hoc menggunakan uji Mann-Whitney. Adapun nilai
rerata daya antibakteri dari keempat kelompok tersebut ditampilkan dalam tabel
berikut ini :

41
Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


42

Tabel 5.1. Nilai rerata daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin, Natrium hipoklorit 2,5%,
Klorheksidin 2% dan kontrol terhadap E.faecalis dalam biofilm

Bahan Uji N Jumlah biofilm E.faecalis 95% IK


Rerata sb Batas bawah Batas atas
5 5 5
Fotodinamik dengan 3 20,1x10 3,79x10 10,8x10 29,6x105
biru toluidin
NaOCl 2,5% 3 1,34x1061,08x10
6
- 1.37x106 4.04x106
CHX 2% 3 8.36x10312.8x103 - 23.6x103 40.32x103
Kontrol 3 166,0x10640,3x106 65.74x106 266.26x106
Keterangan : NaOCl : Natrium hipoklorit; CHX : Klorheksidin

Pada Tabel 5.1 di atas terlihat bahwa jumlah bakteri E.faecalis yang hidup
pada kelompok klorheksidin 2% adalah yang paling rendah (8.36x103 CFU/mL),
Kemudian kelompok natrium hipoklorit 2,5% (1,34x106 CFU/mL), kelompok
fotodinamik dengan biru toluidin(2,01x106 CFU/mL) dan yang tertinggi terlihat pada
kelompok kontrol (1,66x108 CFU/mL). Data ini menunjukkan bahwa semakin rendah
jumlah bakteri yang hidup, semakin tinggi daya antibakteri suatu bahan.

Tabel 5.2. Nilai kemaknaan daya antibakteri kelompok Fotodinamik dengan biru toluidin, Natrium
hipoklorit 2,5%, Klorheksidin 2% dan kontrol terhadap E.faecalis dalam biofilm

Bahan Uji Biru toluidin + Natrium hipoklorit Klorheksidin Kontrold


sinara 2,5%b 2%c
Fotodinamik dengan biru -- 0,51 0,05* 0,05*
toluidin
Natrium hipoklorit 2,5% 0,51 -- 0,05* 0,05*
Klorheksidin 2% 0,05* 0,05* -- 0,05*
Kontrol 0,05* 0,05* 0,05* --
Keterangan :
Uji kemaknaan Mann-Whitney antar kelompok dengan nilai p 0.05

Pada tabel 5.2 terdapat perbedaan bermakna antara kelompok bahan uji dengan
kontrol. Secara statistik berdasarkan jumlah bakteri bahan uji fotodinamik dengan
biru toluidin dan natrium hipoklorit 2,5% tidak terdapat perbedaan bermakna, hasil
ini menunjukkan bahan uji fotodinamik dengan biru toluidin dan natrium hipoklorit

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


43

2,5% mempunyai daya antibakteri yang sama terhadap Enterococcus faecalis dalam
biofilm.
Jumlah bakteri E.faecalis dalam biofilm yang hidup pasca paparan dari ketiga
bahan uji tersebut apabila dibanding secara persentase terhadap kontrol menunjukkan
nilai yang signifikan berbeda. Jumlah bakteri E.faecalis yang hidup pada kelompok
fotodinamik dengan biru toluidin sebesar 1,21%, natrium hipoklorit 2,5% sebesar
0,81% dan yang terkecil adalah klorheksidin 2% sebesar 0,01%.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


44

BAB 6
PEMBAHASAN

Penelitian dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui daya antibakteri


fotodinamik dengan biru toluidin terhadap biofilm Enterococcus faecalis. Bakteri
Enterococcus faecalis sangat resisten terhadap perawatan saluran akar dan dapat
menyebabkan kegagalan perawatan saluran akar. Enterococcus faecalis mempunyai
kemampuan penetrasi kedalam tubuli dentin sehingga memungkinkan bakteri tersebut
terhindar dari instrumentasi alat-alat preparasi dan bahan irigasi yang digunakan
selama preparasi biomekanik.41, 42
Bakteri ini sembilan kali lebih banyak terdapat
pada infeksi pasca perawatan saluran akar dibandingkan pada infeksi primer.19
Bakteri Enterococcus faecalis yang digunakan adalah ATCC 29212
(American Type Culture Collection) dengan passage 0. Menurut Tong dkk (2014),
E.faecalis ATCC 29212 merupakan kontrol strain representatif dalam penelitian
klinis dan laboratoris.43 Passage 0 yang digunakan pada penelitian ini dilakukan
untuk menghindari adanya risiko kontaminasi pada subkultur, kesalahan pada
pemindahan, penamaan serta perubahan atau mutasi fenotip pada subkultur yang
terlalu banyak.44
Pada penelitian ini, digunakan biofilm E.faecalis sesuai dengan penelitian
Pinheiro dkk (2003) dan Stuart dkk (2006), yang menyatakan bahwa bioflm
Enterococcus faecalis tahan terhadap destruksi seribu kali lipat terhadap fagositosis,
antibodi, antibakteri dibandingkan dalam bentuk planktonik. 19, 45 Pembiakan biofilm
dengan menggunakan membran filter selulosa nitrat ukuran porositas 0,2 dan
diameter 13mm, yang diinkubasi selama 72 jam. Hal ini sesuai dengan penelitian
Santos dkk, yang membandingkan berbagai usia biofilm E.faecalis dan mendapatkan
hasil bahwa biofilm E.faecalis yang berusia 72 jam merupakan biofilm yang matur
dibandingkan dengan biofilm 24 dan 36 jam. Selain itu, penelitian oleh Shen dkk juga
menyatakan bahwa biofilm matur, lebih resisten terhadap paparan klorheksidin
dibandingkan dengan biofilm muda.46

44
Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


45

Bahan uji yang digunakan terdiri dari tiga, yang pertama adalah klorheksidin
2% sesuai dengan penelitian Stuart dkk, yang menyatakan bahwa klorheksidin
dengan konsentrasi 2% sangat efektif dalam membunuh E. faecalis.19 Bahan uji yang
kedua yang digunakan dalam penelitian ini adalah larutan natrium hipoklorit 2,5%.
Hal ini sesuai dengan peneltian oleh Walton dkk (2002) yang menyatakan bahwa
natrium hipoklorit 2,5% dan 5,25% mempunyai daya antibakteri yang sama terhadap
E.faecalis. Selain itu, pada konsentrasi yang lebih rendah natrium hipoklorit
mempunyai toksisitas yang lebih rendah terhadap jaringan. 1
Adapun bahan uji yang ketiga adalah fotodinamik yaitu biru toluidin yang
diaktifkan dengan sinar dengan panjang gelombang 630nm. Terdapat beberapa agen
fotosensitizer yang dapat digunakan, namun pada penelitian ini digunakan biru
toluidin, hal ini sesuai dengan penelitian Aisa dkk yang menyatakan biru toluidin
mempunyai kemampuan untuk membunuh bakteri, lebih efektif berinteraksi dengan
lipopolisakarida dan mempunyai efek fotobakterisidal.47 Pada penelitian ini
digunakan sinar dengan panjang gelombang 630 nm. Sesuai dengan penelitin Hopp
dkk (2013) yang menyatakan bahwa sinar dengan panjang gelombang 630 dapat
mengaktivasi biru toluidin untuk dapat menyebabkan kerusakan oksidatif pada sel
bakteri.32
Waktu pemaparan bakteri yang dilakukan terhadap bahan uji, natrium
hipoklorit 2,5%, klorheksidin 2% dan fotodinamik dengan biru toluidin adalah
selama 10 menit dalam inkubator aerob pada suhu 370C. Menurut penelitian yang
dilakukan oleh Du dkk (2014), efektivitas bahan antibakteri, yaitu natrium hipoklorit
2% dan klorheksidin 2%, terhadap biofilm bakteri dalam dentin yang terinfeksi
bergantung pada waktu. Diperlukan waktu minimal 10 menit untuk membunuh
biofilm bakteri dalam dentin yang terinfeksi. 48
Penelitian ini menggunakan real-time PCR yang merupakan teknologi terbaru
untuk amplifikasi DNA. Penggunaan metode ini akan mendapatkan hasil analisis
yang sensitif dan spesifik sehingga dapat meningkatkan akurasi. Pada real-time PCR
jumlah DNA yang diamplifikasi bisa langsung diamati secara seketika.49

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


46

Instrumen real-time PCR mendeteksi amplikon dengan mengukur


peningkatan pewarna (dye) fluorescent yang berpendar ketika terikat dengan double-
stranded DNA. Karena sifat inilah maka pertumbuhan fragment DNA hasil
amplifikasi dapat diikuti secara seketika, semakin banyak DNA yang terbentuk
semakin tinggi pula intensitas fluorescent yang dihasilkan. Quantitative PCR
dimungkinkan dapat mendeteksi secara akurat konsentrasi DNA hingga hitungan
pikogram atau setara dengan sel tunggal karena sensitifitas dye yang sangat tinggi.50
Dengan real- time PCR dapat melihat semua jumlah DNA bakteri yang diuji, tetapi
tidak dapat membedakan DNA bakteri yang hidup dan mati, oleh karena itu dalam
penelitian ini digunakan propidium monoazide (PMA), yang merupakan metode
terbaru turunan dari propidium iodide (PI) yang biasa digunakan dalam mikroskop
dan flow cytometry untuk memberikan pewarnaan pada sel yang mati. PMA akan
menembus membran sel yang telah kehilangan integritasnya. Sehingga secara
kuantitatif metode qPCR dapat membedakan DNA sel yang mati.51
Pada tabel 5.1 dapat dilihat bahwa fotodinamik dengan biru toluidin memiliki
daya antibakteri yang hampir sama dengan natrium hipoklorit 2,5% terhadap biofilm
E.faecalis. Penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa klorheksidin 2%
lebih mampu membunuh bakteri E.faecalis lebih banyak. Hal tersebut dapat diketahui
dari perbandingan jumlah bakteri E.faecalis dalam biofilm yang hidup pasca paparan
dari ketiga bahan uji tersebut apabila dibanding secara persentase terhadap kontrol.
Jumlah bakteri E.faecalis yang hidup pada kelompok fotodinamik dengan biru
toluidin sebesar 1,21%, natrium hipoklorit 2,5% sebesar 0,81% dan yang terkecil
adalah klorheksidin 2% sebesar 0,01%.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, maka hipotesis pertama
dan kedua penelitian ini dapat diterima. Adapun hipotesis pertama yaitu fotodinamik
dengan biru toluidin memiliki daya antibakteri terhadap E.faecalis dalam biofilm, dan
hipotesis kedua dalam penelitian ini yaitu tidak terdapat perbedaan daya antibakteri
antara fotodinamik dengan biru toluidin dan natrium hipoklorit klorheksidin 2,5% 2%
terhadap E.faecalis dalam biofilm. Akan tetapi untuk hipotesis ketiga dari penelitian

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


47

ini ditolak yaitu tidak terdapat perbedaan daya antibakteri antara fotodinamik dengan
biru toluidin dan klorheksidin 2%.
Hal ini tidak sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Garcez dkk, yang
menyatakan bahwa fotodinamik dengan biru toluidin lebih banyak membunuh bakteri
jika dibandingkan dengan natrium hipoklorit. Pada penelitiannya Garcez
menggunakan 30 gigi secara in vitro, Garcez membagi kelompok gigi menjadi dua
kelompok yaitu kelompok natrium hipoklorit 0,5% yang dipaparkan selama 30 menit
dan kelompok fotodinamik dengan biru toluidin, hasilnya pada kelompok natrium
hipoklorit mampu mengurangi E.faecalis sebesar 93,25% sedangkan pada kelompok
fotodinamik dengan biru toluidin mampu mengurangi hingga 99,2% bakteri
E.faecalis. Hasil penelitian Garcez dkk juga menyatakan bahwa fotosensitizer saja
atau sinar saja tidak mempunyai efek terhadap bakteri. 52 Perbedaan hasil pada
penelitian ini disebabkan karena perbedaan metode yang digunakan dan waktu
pemaparan. Pada penelitian ini menggunakan metode penghitungan berbasis DNA,
RT-PCR, yang mampu mendeteksi bakteri dalam keadaan VNBC, dimana kultur agar
tidak mampu untuk mendeteksinya. Waktu pemaparan yang digunakan pada
penelitian ini juga 10 menit, berbeda dengan penelitian sebelumnya, yaitu 30 menit.
Ng dkk pada penelitiannya mengatakan bahwa kombinasi natrium hipoklorit
6% dan fotodinamik dengan biru toluidin lebih baik jika dibandingkan dengan
natrium hipoklorit 6% saja. Pada penelitiannya Ng menggunakan 52 gigi yang
mengalami nekrosis dan secara radiografis menunjukkan adanya periodontitis
apikalis. Penelitian ini dibedakan atas dua kelompok. Masing-masing kelompok
mendapat perlakuan yang sama yaitu dengan kemomekanis (profile + natrium
hipoklorit 6% + EDTA 17%) dan kelompok kemomekanis yang dikombinasi dengan
fotodinamik dengan biru toluidin. Hasilnya menunjukkan bahwa 86,5% saluran akar
bebas bakteri setelah metode kemomekanis dengan kombinasi fotodinamik dengan
biru toluidin, sedangkan pada kelompok kemomekanis saja hanya mencapai 49%
bebas bakteri.53 Penelitian Ng diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Rios
dkk, yaitu membandingkan fotodinamik dengan biru toluidin dan natrium hipoklorit
6%, Studi ini dilakukan terhadap gigi yang diinkubasi selama 2 minggu dengan

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


48

E.faecalis. Scanning Electron Microscopy (SEM) dari kelompok kontrol positif


adalah bakteri dalam bentuk biofilm. Irigasi dengan larutan natrium hipoklorit 6%
menunjukkan jumlah bakteri sebesar 0.66% sedangkan natrium hipoklorit ditambah
dengan fotodinamik dengan biru toluidin selama 30 detik menunjukkan penurunan
jumlah bakteri menjadi hanya 0.1%, hampir 7 kali lebih kecil. Perbedaannya
bermakna secara statistik (p<.005).54
Mekanisme Fotodinamik dengan biru toluidin melibatkan interaksi sinar
dengan agen yang menghasilkan oksigen. Setelah agen photosensitizer diaplikasikan,
sinar merah dipancarkan dengan panjang gelombang 630 nm. Hal ini menyebabkan
kerusakan oksidatif pada sel bakteri dengan menginduksi produksi reactive oxygen
spesies (ROS). Reactive oxygen spesies (ROS adalah oksigen radikal bebas yang
dapat merusak membran mikroorganisme dan mempercepat matinya
mikroorganisme.11 Mekanisme natrium hipokorit adalah NaOCl merupakan pelarut
organik dan lemak, yang mendegradasi asam lemak dan melakukan transformasi
menjadi garam asam lemak (sabun) dan gliserol (alkohol) yang mengurangi tegangan
permukaan sisa larutan. Natrium hipoklorit akan menetralisir asam amino membentuk
garam dan air. Dengan keluarnya ion hidroksil maka akan terjadi penurunan pH.
Asam hipoklorus, ketika berkontak dengan jaringan organik akan bertindak sebagai
pelarut dan melepaskan klorin, yang akan berikatan dengan protein grup amino
membentuk kloramin.27 Reaksi kloraminasi antara klorin dan grup amino (NH) akan
membentuk kloramin yang menghambat metabolisme sel. Klorin adalah oksidan yang
kuat, yang mempunyai aksi antimikroba. saponifikasi, neutralisasi asam amino, dan
reaksi kloraminasi yang terjadi pada mikroorganisme dan jaringan organik akan
memberikan efek antimikroba dan proses pelarutan jaringan. 27 Mekanisme
klorheksidin adalah molekul CHX yang bermuatan positif akan berikatan pada
dinding sel bakteri bermuatan negatif, CHX mengikat dinding sel dan menyebabkan
dinding sel pecah, pecahnya dinding sel menyebabkan sel menjadi lisis dan terjadi
kematian sel.27
Pada penelitian yang telah dilakukan ini, merupakan uji laboratorik
menggunakan fotodinamik dengan biru toluidin terhadap bakteri Enterococcus

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


49

faecalis dalam biofilm. Untuk itu perlu dilakukan penelitian lanjutan secara invitro
menggunakan fotodinamik dengan biru toluidin pada saluran akar gigi agar dapat
menginterpretasikan kondisi aslinya

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


50

BAB 7
KESIMPULAN DAN SARAN

7.1. KESIMPULAN
1. Fotodinamik dengan biru toluidin mempunyai daya antibakteri
terhadap Enterococcus faecalis dalam biofilm
2. Daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm memiliki kemampuan yang sama
dengan natrium hipoklorit 2,5%.
3. Daya antibakteri fotodinamik dengan biru toluidin terhadap
Enterococcus faecalis dalam biofilm memiliki kemampuan yang lebih
rendah dibandingkan dengan klorheksidin 2%.

7.2. SARAN
Perlu dilakukan penelitian lanjutan penggunaan fotodinamik dengan
biru toluidin pada saluran akar gigi yang dilakukan secara in vitro.

50 Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


51

DAFTAR PUSTAKA

1. Baumgartner. JC. Endodontic microbiology. In: Walton RE, Torabinejad M,


editors. Principles and practice of endodontic. 3 ed. Philadelphia: W. B.
saunders company; 2002. p. 282-94.
2. Friedman S, Mor C. The Success of Endodontic Therapy Healing and
Functionality. Journal California Dental Assocoation 2004;32(6):493-503.
3. Desai P, Himel V. Intracanal Safety of Various Intracanal System. Journal of
Endodontic 2009;35(4).
4. Sluis LWM, Versluis M, Wu MK, Wesselink PR. Passive ultrasonic irrigation
of the root canal: a review of the literature. Journal of Endodontic
2007;40:415-26.
5. Hancock HH, Sigurdson A, Trope M, Moiseiwitsch J. Bacteria Isolated after
unsesccessful endodontic treatment in a north american population. Journal of
oral surgery oral medicine oral pathology 2001;91:579-86.
6. Gomes BPFA, Ferraz CCR, Garrido FD, Rosalen PL, Zaiza AA, Teixeira FB,
et al. Microbial Susceptibility to Calcium Hdroxide Pastes and Their Vehicle.
Journal of Endodontic 2002:758-61.
7. Haapasalo M, Shen Y, Qian W, Gao Y. Irrigation in endodontics. Dent clin
north am 2010;54:291-312.
8. Karale R, Thakore A, Shetty VK. An evaluation of antibacterial efficacy of
3% sodium hypochlorite, high-frequency alternating current and 2%
chlorhexidine on Entereococcus faecalis : an vitro study. Journal of
conservative dentistry 2011;14(1):2-5.
9. Longo JPF, Valois CA, Tapajos ECC, Santoss MdFMA, Azevedo RBd.
Cytotoxicity and Genotoxicity of Endodontic Irrigants on Human Cells. Rev
Clin Pesq Odontol Maio/Ago 2010;6(2):135-40.
10. Mistry KS, Shah S. Review on Common Root Canal Irrigants. Journal of
Dental Sciences 2012;2(2):27-31.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


52

11. Xhevdet A, Stubljar D, Kriznar I, Jukic T, Skvarc M, Veranic P, et al. The


Disinfecting Efficacy of Root Canals with Laser Photodynamic Therapy.
Journal of Lasers in Medical Sciences 2014;5(1):19-26.
12. Aguinaldo S, Garcez, Silvia C, Nun E, Michael, Hamblim R, et al.
Photodynamic therapy associated with conventional endodontic treatment in
patients with antibiotic-resistant microflora: a preliminary report. Journal of
endodontic 2010;36:1463-66.
13. Peciuliene V, Balciuniene I, Eriksen HM, Haapasalo M. Isolation of
Enterococcus Faecalis in Previously Root Filled Canals in a Lithuanian
Population. Journal of Endodontic 2000;26:593-95.
14. Portenier I, Waltimo TM, Haapsalo M. Enterococcus faecalis- the root canal
survival and star in post treatment disease. Journal of Endodontic 2003;6:135-
59.
15. Fisher K, Phillips C. The ecology, epidemiology and virulence of
Enterococcus. Microbiology. Journal of Oral Pathology 2009;155:1749-57.
16. Evan M, Davies JK, Sundqvist G, Fidgor D. Mechanism involved in the
Resistence of The Enterococcus faecalis to calcium hydroxide. Journal
international of endodontic 2002;35:221-28.
17. Kundabala M, Suchitra U. Enterococcus Faecalis: An Endodontic Pathogen.
Journal of Endodontic 2002;4:11-13.
18. Siqueira J, Rocas I. Microbiology and Treatment of Endodontic Infection. In:
Cohen S, editor. Pathways of the Pulp. St. Louis: Mosby Elsevier; 2011. p.
559-68.
19. Stuart CH, Schwartz SA, Beeson TJ, Owatz CB. Enterococcus faecalis: its
Role in The Root Canal Treatment Failure and Current Concepts in Treatment
Journal of Endodontic 2006;32:93-98.
20. Luis M, Marie T, Pezzlo. Color Atlas of Medical Bacteriology. 2004.
21. Signoretto C, Tafi MC, Canepari P. Cell Wall Chemical Composition of
Enterococcus Faecalis in The Viable but Nonculturable State. journal of
Applied and Enviromental Microbiology 2000;66(5):1953-59.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


53

22. Sundqvist G, Fidgor D. Life as an endodontic pathogen: ecological difference


between untreated and filled root canal. Journal of endodontic 2003;6:3-28.
23. Distel JW, Hatton JF, Gillerspie MJ. Biofilm Formation in Medicated Root
Canals. Jounal of Endodontic 2002;28:689-93.
24. Kayaoglu G, Orstavik D. Virulence Factors of Enterococcus Faecalis
:Relationship of Endodontic Disease. Journal of Oral Biology Medicine
2004;15(5):308-20.
25. Love RM. Enterococci Faecalis a Mechanism for its Role in Endodontic
Failure. Journal International of Endodontic 2001;34(5):399-405.
26. mohamed JA, HUang DB. Biofilm Formation by Enterococci. Journal of
Medical Microbiology 2007;56(12):1581-88.
27. Kandaswamy D, Venketeshbabu N. Root canal irrigants Journal of
conservative dentistry 2007;35:2005-07.
28. Jaju S, Jaju PP. Newer Root Canal Irrigants A Review International Journal
of Dentistry 2011;2:15-19.
29. Ingle JI, Bakland LK, Baumgartner J. Irrigants and intracanal medicament. In:
Haapasalo M, Qian W, editors. Endodontic. 5 ed. USA: PMPH; 2008. p. 992-
1008.
30. Ryan DDDS. Chlorhexidine as a Canal Irrigant A Review Compendium.
2010;31(5):51-58.
31. Aisa T, Aoki AI, Mizutani KJI, Schwarz F, Sculean A, Wang CY. Aplication
of Antimicrobial Photodynamic Therapy in Periodontal and Peri-implant
diseases. Journal of Periodontology 2009;51:109-40.
32. Hopp M, Biffar R. Photodynamic therapies blue versus green. Germany:
Greifswald university; 2013. p. 10-25.
33. CMS Dental. 2012. FotoSan.
http://www.cmsdental.com/?id=151&c=FotoSan%C2%AE, diakses pada
tanggal 30 Maret 2014.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


54

34. Plaetzer K, Krammer B, Berlanda J, Berr F. Photophysics and Photochemistry


of Photodynamic Therapy: Fundamental Aspects. Journal of Laser Medical
Sciences 2009;24:259-68.
35. Raghavendra M, Koregol A, Bhola S. Pyhotodynamic Therapy: a Targeted
Therapy in Periodontics. Journal of Periodontology 2009;54:102-09.
36. Al-Waeli, Jordan R. Review of Photodynamic Therapy of Periodontal
Diseases. Journal of Periodontology 2010;6:35-39.
37. Siddiqui SH, Awan KH, Javed F. Review Bactericidal Efficacy of
Photodynamic Therapy Against Enterococcus Faecalis in Infected Root
Canals: A systematic Literature Review. Journal of Photodiagnosis and
Photodynamic Therapy 2013;7(6):1-12.
38. Gambarini G, Plotino G, Grande NM, Nocca G, Lupi A, Giardina B, et al. In
vitro evaluation of the cytotoxicity of FotoSan light-activated disinfection on
human fibroblasts. Medical science monitor 2011;17(3):21-25.
39. Life Technologies. 2012. Real-time PCR handbook. 2 ed.
http://find.lifetechnologies.com/Global/FileLib/qPCR/RealTimePCR_Handbo
ok_Update_FLR.pdf, diakses pada tanggal 30 April 2014.
40. Hunt M. 2010. Real time PCR. http://pathmicro.med.sc.edu/pcr/realtime-
home.htm, diakses pada tanggal 28 April 2014.
41. Siqueira JF, Rocas IN, Favieri A, Lima KC. Chemomechanical Reduction of
The Bacterial Population in The Root Canal AfterIinstrumentation and
Irrigation with 1%,2,5% and 5,25% sodium hypochlorite. Journal of
endodontic 2000;26:331-34.
42. Siqueira JF, Rocas IN, Sauto R, Uzeda M, Colombo AP. Actinomyces
Spesies, Streptococci and Enterococcus faecalis in Primary Root Canal
Infection Journal of Endodontic 2002;31:312-17.
43. Tong Z, Zhang Y, Ling J, Ma J, Huang L, Zhang L. An In Vitro Study on the
Effects of Nisin on the Antibacterial Activities of 18 Antibiotics against
Enterococcus faecalis. PLoS ONE 2014;9(2):e89209.
doi:10.1371/journal.pone.0089209.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


55

44. Tong Z, Zhang Y, Ling J, Ma J, Huang L, Zhang L. An In Vitro Study on the


Effects of Nisin on the Antibacterial Activities of 18 Antibiotics against
Enterococcus faecalis. PLoS ONE 2014;9(2):e89209.
doi:10.1371/journal.pone.0089209.
45. Pinheiro ET, Gomes BP, Ferraz FC, Teixeira FB, Zaia AA, Souza F.
Evaluation of Root Canal Miroorganisms Isolated from teeth With Endodontic
Failure and Their Antimicrobial Susceptibility. Journal of Oral Microbiology
Immun 2003;18:100-03.
46. Murad CF, Sassone LM, Souza MC, Fidel RAS, Fidel SR, Junior RH.
Antimicrobial Activity of Sodium hypochlorite, Chlorhexidine and MTAD
Against Enterococcus faecalis biofilm on Human Dentin Matrix in Vitro.
RSBO 2012;9(2):143-50.
47. Aisa T, Aoki AI, Mizutani KJI, Schwarz F, Sculean A, Wang CY. Aplication
of antimicrobial photodynamic therapy in periodontal and peri-implant
diseases. Journal of periodontology 2009;51:109-40.
48. Du T, Wang Z, Shen Y. Effect of Long-term Exposure to Endodontic
Disinfecting Solutions on Young and Old Enterococcus faecalis Biofilms in
Dentin Canals. . . Journal Of Endodontic 2014;40(4):509-14.
49. Burns, Malcolm J, Nixon GJ, Foy CA, Harris N. Standardization of Data
From Real-time Quantitative PCR method Evaluation of Outliers and
Comparison of Calibration Curve. BMC Biotechnology 2005:5-31.
50. Vaerman JL, Sausoy P, Ingargiola I. Evaluation of Real-time PCR Data.
Cliniques Saint Luc 2004:1-5.
51. Alvarez G, Gonzales M, Isabel S, Blanc V, Leon R. Method to Quantify Live
and Dead Cells in Multi-Species Oral Biofilm by Real-time PCR With
Propidium Monoazide. A Springer Open Journal 2013;3(1):1-8.
52. Garcez AS, Nunez SC, Lage-Marques JL, Jorge AOC, Ribeiro MS. Efficiency
of NaOCl and Laser-assisted Photosensitization on the reduction of
Enterococcus faecalis in Vitro. Oral Surgery, Oral medicine, Oral pathology,
Oral Radiology and Endodontology 2006;102(4):93-98.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


56

53. Ng R, Singh F, Papamanou DA, Lagu X, Patel C. Endodontic Photodynamic


Therapy Ex Vivo. Journal of Endodontic 2011;37(2):217-22.
54. Rios A, He J, Glickman GN, Spears R, Scheneiderman ED, Honeyman Al.
Evaluation of Photodynamic Therapy Using a Light-emitting Diode Lamp
Against Enterococcus Faecalis in Extracted Human Teeth. Jounal of
endodontic 2011;37:856-59.

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


57

LAMPIRAN

Lampiran 1. Bahan Uji

(a) (b) (c)

Ket: Bahan uji (a) CHX 2%, (b) Biru toluidin , (c) Phospahte Buffer Saline (PBS)

(d) Sinar merah 630 nm

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


58

Lampiran 2. Kultur Enterococcus Faecalis

(a) (b) (c)

Ket: (a) Bakteri E. faecalis, (b) kultur E. faecalis pada media agar (c) Kultur E. faecalis
setelah inkubasi selama 24 jam

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


59

Lampiran 3. Pembuatan Biofilm E. faecalis

(a) (b) (c)

Ket: (a) & (b) pengambilan E. faecalis dengan jarum ose, (c) pembuatan suspensi bakteri

(a) (b)

Ket: (a) Standarisasi suspensi bakteri dengan McFarland (108 CFU/ mL), (b) Biofilm usia 3
hari pada membran sellulosa nitrat

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


60

Lampiran 4. Pemaparan Biofilm

(a) (b)

Ket: (a) Pemaparan Biofilm ke Bahan Uji, (b) Biru toluidin dengan aktivasi sinar dengan
panjang gelombang 630 nm selama 30 dtk

(c)

Ket: (c) Inkubasi 15 menit Suhu 37 C

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


61

Lampiran 5. Pemaparan PMA ke Bahan Uji dan Ektraksi DNA

(a) (b) (c)

Ket: (a) PMA (b) Penambahan PMA ke dalam Bahan Uji (c), (d) & (e) Pemajanan sinar
halogen 600 W ke bahan uji yang sudah ditambahkan PMA

(d) (e) (f)

Ket: (f) Primer E. faecalis dan SYBR Green

(g) (h) (i)

Ket: (g) Ekstraksi DNA, (h) well plates

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


62

Lampiran 6. Hasil Uji Normalitas dan Homogenitas Varians

Case Processing Summary

Cases

Valid Missing Total

BahanUji N Percent N Percent N Percent


JumlahBakteri Fotosan 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
NaOCl 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
CHX 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%
Kontrol 3 100.0% 0 .0% 3 100.0%

Descriptives

BahanUji Statistic Std. Error


JumlahBakteri Fotosan Mean 2.0167E6 2.18581E5
95% Confidence Lower Bound 1.0762E6
Interval for Mean
Upper Bound 2.9571E6
5% Trimmed Mean .
Median 1.8500E6
Variance 1.433E11
Std. Deviation 3.78594E5
Minimum 1750000.00
Maximum 2450000.00
Range 700000.00
Interquartile Range .
Skewness 1.597 1.225
Kurtosis . .
NaOCl Mean 1.3360E6 6.29246E5
95% Confidence Lower Bound -1.3715E6
Interval for Mean
Upper Bound 4.0434E6
5% Trimmed Mean .
Median 1.8200E6
Variance 1.188E12
Std. Deviation 1.08989E6
Minimum 87900.00
Maximum 2100000.00

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


63

Range 2012100.00
Interquartile Range .
Skewness -1.604 1.225
Kurtosis . .
CHX Mean 8355.3333 7429.29663
95% Confidence Lower Bound -23610.3501
Interval for Mean
Upper Bound 40321.0168
5% Trimmed Mean .
Median 1490.0000
Variance 1.656E8
Std. Deviation 12867.91923
Minimum 376.00
Maximum 23200.00
Range 22824.00
Interquartile Range .
Skewness 1.717 1.225
Kurtosis . .
Kontrol Mean 1.6600E8 2.33024E7
95% Confidence Lower Bound 6.5738E7
Interval for Mean
Upper Bound 2.6626E8
5% Trimmed Mean .
Median 1.5400E8
Variance 1.629E15
Std. Deviation 4.03609E7
Minimum 1.33E8
Maximum 2.11E8
Range 78000000.00
Interquartile Range .
Skewness 1.220 1.225
Kurtosis . .

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


64

Tests of Normality
a
Kolmogorov-Smirnov Shapiro-Wilk

BahanUji Statistic df Sig. Statistic df Sig.


JumlahBakteri Fotosan .337 3 . .855 3 .253
NaOCl .338 3 . .852 3 .246
CHX .370 3 . .787 3 .083
Kontrol .284 3 . .934 3 .503
a. Lilliefors Significance Correction

Test of Homogeneity of Variances

Levene Statistic df1 df2 Sig.


JumlahBakteri 9.435 3 8 .005

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


65

Lampiran 7. Hasil Uji Kruskal-Wallis dan Mann-Whitney

Kruskal-Wallis Test
Ranks

BahanUji N Mean Rank


JumlahBakteri Fotosan 3 7.00
NaOCl 3 6.00
CHX 3 2.00
Kontrol 3 11.00
Total 12

Test Statisticsa,b

JumlahBakteri
Chi-Square 9.462
df 3
Asymp. Sig. .024
a. Kruskal Wallis Test
b. Grouping Variable: BahanUji

Mann-Whitney Test

Ranks

BahanUji N Mean Rank Sum of Ranks


JumlahBakteri Fotosan 3 4.00 12.00
NaOCl 3 3.00 9.00
Total 6

b
Test Statistics

JumlahBakteri
Mann-Whitney U 3.000
Wilcoxon W 9.000
Z -.655
Asymp. Sig. (2-tailed) .513
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .700a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


66

Mann-Whitney Test

Ranks

BahanUji N Mean Rank Sum of Ranks


JumlahBakteri Fotosan 3 5.00 15.00
CHX 3 2.00 6.00
Total 6

b
Test Statistics

JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji

Mann-Whitney Test

Ranks

BahanUji N Mean Rank Sum of Ranks


JumlahBakteri Fotosan 3 2.00 6.00
Kontrol 3 5.00 15.00
Total 6

b
Test Statistics

JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
a
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


67

Mann-Whitney Test

Ranks

BahanUji N Mean Rank Sum of Ranks


JumlahBakteri NaOCl 3 5.00 15.00
CHX 3 2.00 6.00
Total 6

b
Test Statistics

JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji

Mann-Whitney Test

Ranks

BahanUji N Mean Rank Sum of Ranks


JumlahBakteri NaOCl 3 2.00 6.00
Kontrol 3 5.00 15.00
Total 6

b
Test Statistics

JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014


68

Mann-Whitney Test

Ranks

BahanUji N Mean Rank Sum of Ranks


JumlahBakteri CHX 3 2.00 6.00
Kontrol 3 5.00 15.00
Total 6

b
Test Statistics

JumlahBakteri
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: BahanUji

Universitas Indonesia

Daya antibakteri..., Vika Hapsari Pratiwi, FKG UI, 2014

Anda mungkin juga menyukai