Anda di halaman 1dari 5

MANAJEMEN STRATEGI ( EKMO5309 )

Diskusi 12 : Evaluasi Strategi


Pendekar Bodoh
Hari Jumat (15/2) lalu saya ketemu Pak David Marsudi, presiden direktur jaringan
restoran D’Cost. Orang satu ini luar biasa nyentrik-nya. Dia misalnya, menyebut
dirinya sebagai pendekar bodoh (nama perseroan D’Cost adalah PT. Pendekar
Bodoh). Kenapa? Karena, menurut dia, menjadi pengusaha itu harus terus-terusan
merasa bodoh. “Karena merasa bodoh, maka kemudian Kita harus terus belajar.
Kalau Kita sudah pintar, Kita berhenti belajar,” ujarnya.
Pada saat mau ketemu Pak David, kebetulan saya melewati meja resepsionis
dengan latar belakang logo D’Cost Academy, training center jaringan resto
bersemboyan: “Mutu Bintang Lima, Harga Kaki Lima” ini. Yang mengusik saya
adalah tagline D’Cost Academy yang bunyinya menggelitik, “Stupid Guys Keep
Learning“; orang bodoh selalu belajar. Intinya, tagline itu ingin mengatakan, semua
karyawan D’Cost adalah orang bodoh, Dan karena itu akan selalu belajar. “Kami
adalah orang-orang bodoh berjiwa pendekar,” tukasnya.
Ruarrr biasa!!! Terus terang, setelah hampir dua jam saya ngobrol dengan Pak
David, saya jadi malu abis karena selama ini saya merasa pinter Dan sok keminter.
Padahal sesungguhnya nggak Ada apa-apanya dibanding Pak David hehehe.
Giving
Yang membuat saya salut luar biasa ke Pak David adalah prinsip bisnisnya yang
meneduhkan. Begini bunyi falsafah bisnisnya: “Hanya konsentrasi pada apa yang
dapat Anda berikan, jangan kawatir atas apa yang akan Anda dapatkan“. Intinya,
D’Cost harus memberi, memberi, dan memberi. Semakin banyak memberi, maka
ujung-ujungya akan semakin banyak mendapatkan. The more you give, the more
you get!!!
Pak David memberi perumpamaan pendulum: “Ketika dilempar, maka pada akhirnya
pendulum pasti akan kembali.” Saya kemudian iseng menimpali, “Tapi masalahnya,
kapan pendulum itu akan balik Pak?” Dengan tangkas IA menjawab, “mungkin saat
itu juga, mungkin sebulan kemudian, mungkin setahun kemudian, bisa juga
bertahun-tahun kemudian. Nggak masalah, itu semua Tuhan yang atur, Kita
manusia tak usah repot-repot mikirin,” jawabnya enteng.
Prinsip memberi inilah yang melandasi kenapa Pak David memilih restoran sebagai
bidang usahanya. “Karena restoran itu menampung banyak pegawai,” ujarnya.
Kalau bisnis D’Cost sukses, maka makin banyak karyawan yang ditampung,
semakin banyak berkah diberikan kepada karyawan. Karena itu Pak David punya
spirit bahwa D’Cost harus menjadi “distributor rezeki” bagi bagi para karyawan Dan
siapapun yang berbisnis dengan D’Cost. Wow betapa indahnya.
Memerdekakan
Berkah yang diberikan D’Cost, kata Pak David, tak hanya kepada karyawan Dan
partner bisnis. Yang terutama justru kepada konsumen. Apa itu? Pak David bercerita
bahwa model bisnis D’Cost sesungguhnya simpel, yaitu: menjadikan makanan-
makanan yang dulunya nggak terjangkau oleh kantong rakyat kecil, kini menjadi
terjangkau. “Mimpi saya adalah menjadikan rakyat kecil bisa makan masakan hotel
berbintang tapi dengan harga yang terjangkau oleh kantong mereka,” papar Pak
David mengenai falsafah di balik tagline “Mutu Bintang Lima, Harga Kaki Lima.”
Contohnya seafood. Selama ini Kita mengenal seafood sebagai masakan Mahal,
tapi oleh D’Cost kini dibikin murah sehingga terjangkau rakyat jelata. Pak David kini
juga sedang merintis restoran susi Jepang yang bakal buka sebentar lagi. Prinsipnya
sama, kalau selama ini masakan susi Mahal Dan hanya Ada di hotel berbintang,
maka kini harus menjadi murah Dan terjangkau rakyat kecil. “Nanti Kita akan bikin
restoran Italia, restoran Amerika, restoran Eropa dengan harga rakyat jelata,”
tambahnya.
Jadi prinsip giving di sini diterjemahkan sebagai memerdekakan rakyat kecil yang
ingin merasakan Dan menikmati masakan Mahal, masakan hotel, atau masakan luar
negeri, yang selama ini tak terjangkau oleh isi kocek mereka.
Pengusaha Bodoh
Ada lagi konsep bisnis nyleneh Pak David yang membuat saya berpikir tujuh keliling.
Yaitu argumentasi Pak David yang menyebut dirinya sebagai “pengusaha bodoh“.
Dia bilang bahwa, kini pasar dipenuhi oleh “konsumen pintar” Dan “pengusaha
pintar“. Ciri konsumen pintar adalah IA minta mutu tinggi tapi dengan harga
semurah mungkin. Sementara ciri pengusaha pintar adalah IA memberikan mutu
tinggi tapi dengan harga berlipat-lipat lebih tinggi. “Kalau konsumen Dan pengusaha
sama-sama pintar, maka ini nggak akan ketemu-ketemu,” jelas Pak David.
Karena itu, Pak David memosisikan diri sebagai “pengusaha bodoh“. Apa cirinya
pengusaha bodoh? Yaitu ketika dia memberikan mutu setinggi mungkin, tapi
memasang harga semurah mungkin (yup, ini namanya “ngajak bangkrut” hehehe).
“Saya bisa pastikan, konsumen pintar lebih suka pada pengusaha bodoh dibanding
pengusaha pintar. Itu sebabnya saya memilih menjadi pengusaha bodoh,” seloroh
Pak David berargumen.
Secara logika model bisnis yang diambil Pak David selintas nggak masuk akal.
Bagaimana bisa memberikan mutu tinggi, tapi harga murah? Tapi justru inilah
indahnya prinsip bisnis Pak David. Intinya kalau niatnya ikhlas untuk memberikan
yang terbaik untuk konsumen, maka Tuhan akan memberikan yang terbaik untuk
Kita. Pendulum yang dilempar pasti pada waktunya akan kembali. Inilah indahnya
prinsip memberi. Its the power of giving.
Nyentrik
Untuk memberikan gambaran bagaimana prinsip giving ini dijalankan Pak David,
coba Kita simak program-program promosi nyleneh Dan melawan arus
(yup, paradoks) yang dijalankan D’Cost. Ambil contoh program “Diskon Umur“.
Program ini memberikan diskon ke konsumen sesuai umur yang tertera di KTP.
Kalau umur Anda 30 tahun maka Anda dapat diskon 30%. Kalau umur Anda 80
tahun Anda dapat diskon 80%. Lalu bagaimana kalau umur Anda 104 tahun? “Anda
malah dapat cash back, habis makan malah dapat duit,” ujar pak David.
Kwkwkwwkkw!!!
Contoh program nyleneh lain adalah program “Hamil Baru Bayar“. Program ini
memberikan kesempatan para pasangan untuk merayakan pernikahan di D’Cost
gratis untuk 300 kursi plus dekorasi pelaminan. Bayarnya kapan? Bayarnya setelah
si istri hamil. Begini bunyi iklannya: “Pesta Pernikahan Sekarang Hamil Baru
Bayar.. (Tidak Hamil, Gratis)“. Ada juga program “Uang dan Doa” dimana
konsumen membayar makanan di D’Cost dengan “Separo Uang, Separo Doa“.
Syaratnya, si konsumen wajib mendoakan orang lain dalam secarik kertas, doa
inilah yang dipakai untuk membayar separo harga makanan yang dipesan.
Kwkwwkwkw!!!
Seperti halnya saya, Anda para pembaca pasti bertanya-tanya: “Konsumen usia 104
tahun makan di D’Cost nggak bayar malah dapat duit, apa itu nggak bikin bangkrut?”
Atau, “Pasangan menggelar resepsi gratis di D’Cost tapi setelah hamil menghilang
nggak bayar, apa itu nggak bikin bangkrut?” Inilah sekali lagi keindahan dari spirit of
giving. Barangkali memang banyak pasangan yang tidak balik ke D’Cost saat
istrinya hamil, tapi bagi pak David itu tidak jadi masalah. “Dari program-progran yang
unik itu kita mendapatkan simpati dari konsumen dan ini bisa memicu promosi dari
mulut ke mulut yang nilai rupiahnya bisa miliaran,” ujar pak David tangkas,
“pokoknya nggak usah kawatir,” itu semua Tuhan yang atur.
Kini bahkan pak David sedang mempersiapkan gerai bakery-nya dengan merek D
Stupid Baker. Yang menarik adalah tagline-nya yang berbunyi: “5 Star Quality,
Stupid Price“. Yang lebih menarik adalah nama perusahaan yang menaungi
D’Stupid Baker, yaitu PT Bocuan Gapapa. Mau tahu apa maksudnya? Bocuan
Gapapa maksudnya “nggak profit nggak papa” yang penting memberi..
kwkwkkwkwkwkk.
Mengikuti pengalaman saya ngobrol dengan pak David, mungkin Anda kini mulai
terbuka lebar hatinya. Barangkali Anda mulai sepakat dengan saya bahwa, setelah
membaca kolom ini kita harus menjadi orang bodoh. Orang bodoh yang berjiwa
pendekar. Orang bodoh yang bersenjatakan spirit memberi. Sekali lagi: Its the
power of giving.
Dari kasus di atas, mahasiswa diminta untuk mendiskusikan materi tersebut. Untuk
memulai diskusi saya berikan beberapa pertanyaan sebagai berikut:
1. Dari kasus di atas, apakah Restoran D’Cost sudah melakukan evaluasi strategi?
Berikan critical review anda berdasarkan sumber referensi baik yang mendukung
(PRO) maupun yang tidak mendukung komentar anda (KONTRA).
Analisis strategi pemasaran yang sesuai dengan evaluasi strategi Restoran D’cost
yakni sebagai berikut:
a. Strategi Biaya Rendah (The Cost of Leadership)
Strategi biaya rendah (the cost of leadership) yaitu serangkaian tindakan integratif
untuk memproduksi dan menawarkan barang atau jasa pada biaya paling rendah
terhadap para pesaing dengan ciri-ciri yang dapat diterima oleh para pelanggan.
Apabila perusahaan menawarkan sebuah produk atau jasa dengan kualitas standar,
tetapi biaya jauh lebih rendah dibandingkan dengan biaya-biaya industri. Strategi biaya
rendah berdasarkan kualitas tertentu melalui peningkatan efisiensi dan pemanfaatan
situasi eksternal. Ada 3 nilai manfaat yang dihasilkan (Porter, 2004), yaitu :
 Benefit parity, dimana perusahaan menghasilkan produk yang menghasilkan
manfaat atau kualitas yang sama, tetapi dengan biaya rendah, karena
perusahaan mencapai skala ekonomis.
 Benefit proximity, dimana perusahaan menghasilkan manfaat/kualitas yang sedikit
lebih rendah, tetapi dengan biaya yang lebih murah, karena mempergunakan
otomatisasi atau tenaga kerja yang lebih murah, dan bahan baku lebih murah.
 Menghasilkan produk yang kualitasnya berbeda atau lebih rendah dibandingkan
dengan produk pesaingnya tetapi dengan biaya yang lebih murah.
Restoran D’Cost dapat menyasar segmentasi pasar yang spesifik . Mereka menyajikan
menu makanan yang berkualitas rumah makan mahal namun dengan harga murah dan
terjangkau rakyat kecil
b. Evaluasi Return on Investment (ROI)
Salah satu hal yang perlu diperhatikan saat mengevaluasi strategi marketing adalah
Retur on Investment (ROI). Tujuannya untuk melihat apakah uang yang sudah
diinvestasikan atau dikeluarkan untuk melaksanakan strategi marketing tersebut
benar benar menghaslikan keuntungan bagi bisnis atau tidak. Apabila dianalisis dari
Restoran D’Cost (maka perusahaan yang memiliki falsafah bisnis yakni "Hanya
konsentrasi pada apa yang dapat Anda berikan, jangan kawatir atas apa yang akan
Anda dapatkan" Intinya, D’Cost harus memberi, memberi, dan memberi. Semakin
banyak memberi, maka ujung-ujungya akan semakin banyak mendapatkan. The
more you give, the more you get!!! Dengan falsafah bisnis yang seperti ini maka
timbul bahwa bisnis kepercayaan bahwa keuntungan bisnis sejatinnya pasti didapat
entah pada waktu kapanpun itu.
c. Differensiasi produk
Diferensiasi juga lebih mengarah kepada pelayanan yang sesuai dengan karateristik
yaitu kemampuan (memiliki keahlian dan pengetahuan yang diperlukan). (Kotler,
2007;386).
 Diferensiasi produk yaitu serangkaian tindakan integratif yang dirancang untuk
memproduksi dan menawarkan barang yang dianggap oleh para pelanggan
dengan berbeda dalam hal-hal penting dan dianggap unik bagi para konsumen.
 Diferensiasi produk menciptakan nilai atau memberikan manfaat bagi konsumen,
sehingga bersedia membeli dengan harga premium (di atas biaya produk).
Beberapa contoh Differensiasi Produk yang dikembangkan oleh Restoran D’Cost,
yaitu :
 Program “Diskon Umur“. Program ini memberikan diskon ke konsumen sesuai
umur yang tertera di KTP.
 Gerai bakery dengan merek D Stupid Baker. Yang menarik adalah tagline-nya
yang berbunyi: “5 Star Quality, Stupid Price“.
 Program “Hamil Baru Bayar“. Program ini memberikan kesempatan para
pasangan untuk merayakan pernikahan di D’Cost gratis untuk 300 kursi plus
dekorasi pelaminan.

2. Apakah Restoran D’Cost bisa dikatakan telah menerapkan konsep “Misfit” (Hamel and
Prahalad)?
Perusahaan dalam memenangkan persaingan harus melakukan breaking
managerial frame dan mengubah paradigma fit menjadi stretchdan leverage yaitu
dengan menggunakan konsep RBV/Resource-Based View (Hamel and Prahalad:
2004). Perusahaan tidak sekedar fokus pada kegiatan-kegiatan manajerial dan
pemasaransaja namun hal terpenting yang harus dilakukan adalah memaksimalkan
kapasitasinternal melalui peningkatan kompetensi inti dari internal perusahaan itu
sendiribaikfinancialmaupunnon financial. Sebaliknya menurut Porter bahwa untuk
memenangkan persaingan perusahaan harus fokus pada lingkungan eksternal
perusahaan. D'Cost harus banyak yang tahu, yang sudah tahu mau datang, yang
datang mau beli, yang beli mau kembali lagi dan punya cukup cash untuk tumbuh.
Beberapa implementasinya adalah melalui promo-promo kreatif, seperti up to you
price yaitu makan bayarnya terserah, diskon umur, uang dan doa yaitu promo setiap
hari raya keagamaan, dan hamil baru bayar yang adalah promo resepsi pernikahan
di gerai D'Cost. Promo-promo kreatif yang diselenggarakan secara konsisten ini
sukses membuat banyak orang mengenal D'Cost dan banyak dari mereka datang ke
Restoran D'Cost. Sementara untuk agar mereka mau membeli, mutu bahan baku
harus di atas rata-rata dan harga tetap juara satu murahnya. Sementara agar
pelanggan yang datang tertarik makan di D'Cost mutu bahan baku yang kebanyakan
terdiri atas bahan makanan laut, harus dijaga. Tidak lupa harga murah tetap menjadi
andalan. Tidak berhenti sampai di situ, agar pelanggan loyal tentu konsistensi mutu
hidangan, harga dan pelayanan harus tetap dijaga. Tapi problemnya bagaimana
cara mempertahankan itu semua tanpa mengorbankan kondisi finansialperusahaan.

3. Apakah Restoran D’Cost bisa dikategorikan sebagai perusahaan yang


mengedepankan prinsip spiritualitas? Berikan alasan berdasarkan sumber referensi.
Kale dan Shrivastava (2003) menyampaikan bahwa merealisasikan tempat kerja
yang melaksanakan nilai-nilai spiritualitas tidak hanya mampu menciptakan
harmonisasi di lingkungan kerja namun juga akan menjadikan tempat kerja yang
mampu menghasilkan keuntungan yang baik. Oleh karena itu perusahaan perlu
senantiasa mencari alat dan metode untuk memenuhi kebutuhan spiritual di tempat
kerja dan enneagram merupakan salah satu alat yang mampu meningkatkan
spiritualitas di tempat kerja. Keberlangsungan perusahaan dalam jangka panjang
dapat diprediksikan dari nilai-nilai yang dianut dan dijadikan share value. Proses
pemilihan nilai nilai luhur yang akan dijadikan landasan visi dan misi perusahaan
telah berkembang sangat dinamis dengan model yang sangat bervariasi. Model-
model tersebut bisa jadi hanya sebagai bagian dari strategi perusahaan atau model
yang menerapkan nilai-nilai luhur tersebut dengan kesadaran murni. Nilai-nilai
spiritualitas nampaknya semakin menjadi kecenderungan sebagai nilai-nilai luhur
yang dianut perusahaan untuk menjamin kinerja jangka panjangnya. Beberapa
prinsip spiritual yang diimplementasikan D’Cost dalam melaksanakan proses
bisnisnya, yaitu :
- Pak David selaku leader dan owner dari restoran D’cost yang memiliki falsafah
bisnis yaitu the more you give, the more you get dan dari usaha bisnis
restorannya.
- Kalau bisnis D’Cost sukses, maka makin banyak karyawan yang ditampung,
semakin banyak berkah diberikan kepada karyawan.
- Pak David mempunyai semangat bahwa D’Cost harus menjadi distributor rezeki
bagi bagi para karyawan dan siapapun yang berbisnis dengan D’Cost.

Referensi / Sumber :
- Porter, M.E. (2004) Competitive Advantage: Creating and Sustaining Superior
Performance. Competitive Advantage Creating & Sustaining Superior
Performance, 1, 94.
- Kotler .2007. Penjualan dan profitabilitas.Jakarta : PT Index.
- Prahalad, C.K. and Hamel, G. (1993) Stretch and Leverage. Harvard Business
Review, 71, 75-84.
- Kale, S. H., & Shrivastava, S. (2003). The enneagram system for enhancing
workplace spirituality. Journal of Management Development.
- Agus Maulana, 2015, Manajemen Strategik. Edisi II. Buku Materi Pokok
EKMA5309/3SKS/MODUL 1-9. Universitas Terbuka. Tangerang Selatan.

Anda mungkin juga menyukai