Anda di halaman 1dari 7

AGAMA CINHINA DAN JEPANG

“Asal Usul Lahirnya Agama Tao”

KELOMPOK 8

Dikerjakan untuk memenuhi tugas Kelompok Mata Kuliah Agama China dan
Jepang Semister 3 Kelas SAA 3A & 3B

Disusun Oleh

Isra Aulia (30500122024)

Kiki Dewi Reski (30500122028)

Muhammad Alfiansyah (30500122041)

JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA


FAKULTAS USHULUDDIN DAN FILSAFAT
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2023
1.1 Sejarah Agama Tao
Taoisme (juga dikenal sebagai Daoisme) adalah filosofi Tiongkok
yang diatributkan dengan Lao Tzu (500 SM) yang mengembangkannya
dari agama rakyat di pedalaman Tiongkok menjadi agama resmi negara
pada masa Dinasti Tang.
Filosofi ini menekankan pada melakukan segala sesuatu secara
alami dan “mengikuti arus” sesuai dengan Tao (atau Dao), kekuatan
kosmis yang mengalir dalam segala hal yang mengikat dan membebaskan
semuanya. Filosofi ini tumbuh dari pengamatan pada alam dan agamanya
berkembang dari kepercayaan akan keseimbangan kosmis yang dijaga dan
diatur oleh Tao. Pada awalnya, kepercayaan ini kemungkinan
memasukkan praktik-praktik seperti pemujaan roh dan leluhur, dan kedua
prinsip ini sudah dijalankan oleh banyak penganut Taoisme masa kini dan
sudah dilakukan selama berabad-abad.
Taoisme memberikan pengaruh yang sangat besar selama Dinasti
Tang (618-907 Masehi) dan kaisar Xuanzong (memerintah 712-756
Masehi) menetapkan Taoisme sebagai agama negara yang mewajibkan
semua orang menyimpan tulisan-tulisan Tao di rumah-rumah mereka.
Agama Tao kehilangan pamornya seiring menurunnya Dinasti Tang dan
digantikan oleh Konfusianisme dan Buddhisme, namun agama ini masih
dipratikkan di seluruh Tiongkok dan di negara lain hingga saat ini.
Secara konteks Sosial- Politik, Taoisme lahir atas keprihatinan atas
situasi masyarakat pada waktu itu. Sistem politik kekaisaran yang dipadati
dengan aturan-aturan legal membuat masyarakat kurang bebas dan banyak
kali merasa terkekang. Kekaisaran Cina ketika itu diwarnai oleh
ketidakadilan, kekejaman, kecongkakan, kemunafikan, kesengsaraan, dan
penderitaan lahir batin akibat peperangan yang tiada henti-hentinya.
Di samping itu, pula banyak anjuran dan kecerdasan dan
kolektivisme dalam dunia politik dan sosial yang banyak mendapat
inspirasi dari Konfusianisme.5 Melihat itu, kemungkinan para Taoist
menyadari bahwa semuanya itu – aturan, intelektualisme, dan peperangan
– bukanlah ciri kodrat alam semesta (manusia di dalamnya) yang bersifat
lugu, tenang dan harmonis. Karena itu, kerinduan akan kemurnian,
keluguan, kesederhanaan, kelemahlembutan, dan spontanitas (bukan
dibuat-buat) merupakan orientasi filsafat Taoisme.
Tawaran semacam, inilah yang kiranya menjadi penawar ampuh
bagi masyarakat zaman itu yang sedang teralienasi. Selain itu, ketepatan
pembacaan situasi masyarakat zaman oleh para Taoist inilah yang
kemudian membuat filsafat mereka laris di masyarakat bahkan menjadi
corak hidup baru sewaktu dinasti Han.6Setiap pemikiran pasti memiliki
para pionir atau tokoh-tokohnya sendiri. Demikian pun halnya dengan
Taoisme. Umumnya Yang Chu dikenal diakui sebagai peletak dasar
filsafat taoisme.7 Ajaran-ajaran Yang Chu ini kemudian diteruskan dan
mengalami penyempurnaan oleh Lao Tzu.
Lao Tzu sendiri kemudian menjadi tokoh yang paling utama dalam
Taoisme. Terutama berkat karyanya Tao Te Ching yang memuat pokok-
pokok filsafat Taoisme. Akan tetapi, beberapa ahli meragukan bahwa Tao
Te Ching merupakan karya tangan Lao Tzu. Menurut mereka adalah lebih
tepat mengatakan Tao Te Ching merupakan tulisan dari beberapa penulis
yang diperkirakan adalah Murid Lao Tzu. Konon legenda mengatakan
bahwa pada dinasti Han, Lao Tzu dimuliakan (divinize) sebagai “Tuan”
(Lao Tzu). Pemuliaan ini dilatarbelakangi oleh keyakinan publik pada
waktu itu bahwa Lao Tzu membawa perubahan dalam spiritualitas
kekaisaran.8 Selain Lao Tzu ada juga Chuang Tzu, Lieh Tzu, dan tokoh-
tokoh lainnya termasuk para penulis percikan-percikan ajaran Taoisme
yang anonim.
1.2 Asal Usul Agama Tao
Sejarawan Sima Qian (145-86 SM) mengisahkan cerita tentang
Lao Tzu, seorang kurator di Perpustakaan Istana di negara Chu, yang
aslinya adalah seorang filsuf alam. Lao Tzu percaya akan keseimbangan
dalam segala hal dan orang bisa hidup berdampingan dengan mudah hanya
jika mereka mau sesekali saja mempertimbangkan perasaan satu sama lain
dan menerima kepentingan pribadi mereka tidak selalu sama dengan
kepentingan orang lain.
Lao Tzu menjadi tidak sabar dengan orang-orang di sekitarnya dan
dengan korupsi yang ia saksikan terjadi di pemerintahan – yang
menyebabkan sakit dan penderitaan bagi banyak orang. Ia merasa sangat
frustasi karena ketidakmampuannya mengubah perilaku masyarakat
hingga ia memutuskan untuk mengasingkan diri.
Saat ia pergi meninggalkan Tiongkok melalui jalur barat, penjaga
gerbang Yin Hsi memberhentikannya sebab ia mengenali Lao Tzu sebagi
seorang filsuf. Yin Hsi meminta Lao Tzu untuk menulis sebuah buku
untuknya sebelum ia meninggalkan peradaban untuk selamanya dan
disetujui oleh Lao Tzu. Ia duduk di atas sebuah batu di sebelah si penjaga
gerbang dan menulis Tao-Te-Ching (Kitab Jalan). Ia berhenti menulis saat
ia merasa ia sudah selesai dan menyerahkan buku tersebut kepada Yin Hsi
dan berjalan melewati jalur barat lalu menghilang ke dalam kabut. Sima
Qian tidak melanjutkan ceritanya setelah ini, namun diduga (jika cerita ini
benar) Yin Hsi memperbanyak dan meyebarkan Tao-Te-Ching.
Tao-te-ching adalah usaha untuk meningatkan orang-orang bahwa
semua orang bisa hidup berdampingan dengan damai jika mereka mau
memikirkan bagaimana pikiran dan tindakan mereka bisa mempengaruhi
diri sendiri, orang lain dan bumi. Tao-Te-Ching bukanlah ‘kitab’. Tao-Te-
Ching adalah sebuah buku puisi yang menyajikan cara sederhana
mengikuti Tao dan hidup berdamai dengan diri sendiri, orang lain dan
dunia perubahan. Sebuah syair berisi nasihat, “Mengalah dan
mengatasi/Kosong dan menjadi penuh/Tekuk dan menjadi lurus” untuk
mengarahkan pembaca ke jalan hidup yang lebih sederhana.
Alih-alih beradu melawan hidup dan orang lain, seseorang bisa
berserah kepada keadaan dan melepaskan hal-hal yang tidak penting. Alih-
alih berkeras bahwa seseorang selalu benar, seseorang bisa mengosongkan
dirinya sendiri dari kesombongan dan terbuka untuk belajar dari orang
lain. Alih-alih berpegang pada pola keyakinan lama dan terikat pada masa
lalu, seseorang bisa tunduk pada ide-ide baru dan cara-cara hidup yang
baru.
1.3 Asal Usul Agama Tao
Kita mengenal dua istilah dalam Taoisme, yaitu Taoisme sebagai
filsafat dan Agama Taoisme. Meskipun berakar dari literatur dan doktrin-
doktrin yang sama, Keduanya memang cukup berbeda. Awalnya, Taoisme
merupakan sebuah corak atau jalan hidup yang berdasarkan ajaran
beberapa tokoh seperti Yang Chu, Lao Tzu dan pengikut-pengikutnya.
Falsafah hidup ini lahir sebagai tanggapan atas situasi masyarakat yang
teralienasi dari kodratnya sendiri sebagai makhluk natural. Pada masa
awal ini yang nampak adalah sebuah falsafah hidup, bukan sebuah institusi
agama yang sudah terstrukturisasi dengan aturan dan sistem yang rigor.
Padahal, Taoisme sendiri sebenarnya anti sistem, karena tentu saja ada
aturan-aturan yang mengikat dan menjamin keberlangsungan sistem
institusi tersebut.
Penyelewengan terhadap filsafat Taoisme yang kemudian
menghasilkan agama Taoisme bermula dari sebuah keyakinan akan
adanya penyatuan setelah manusia meninggal dan tentang keabadian
(imortalitas) kehidupan manusia saat ini. Kesalahan interpretasi ini
merupakan penjabaran lebih lanjut sekaligus melampaui batas atas etika
teleologis Taoisme yang mengatakan bahwa segala sesuatu akan kembali
kepada Tao. Penyatuan dengan Tao itu tidak terjadi setelah peralihan dari
dunia fenomena ini, melainkan sudah dapat terjadi saat ini melalui
harmonisasi diri dengan hukum kodrat (Tao). Salah satu tema pokoknya
misinterpretasi ini adalah Haisen atau kebakaan tubuh manusia.
Keyakinan semacam ini kemudian merembes masuk dalam praktek
praktek kekaisaran yang kemudian melahirkan keyakinan palsu dan mitos-
mitos yang berpandangan bahwa ada ilmu dan obat mujarab yang dapat
menjamin kebakaan hidup dan membawa masuk ke dalam kebahagiaan
abadi setelah beralih dari dunia ini. Akan tetapi, ironisnya keyakinan
seperti ini akhirnya melahirkan satu kultus yang berorientasi penuh pada
pencarian akan kebakaan tubuh manusia (perpetual physical body) yang
sebenarnya sudah melanggar kodrat alam, khususnya Wu Wei (tidak
berbuat).1

1
Russell Kirkland. "The history of Taoism: a new outline." Journal of Chinese Religions 30.1 (2002):
177-193. Hal. 177
1.4 Kesimpulan
Taoisme memiliki akar sejarah yang berkembang dari filosofi alam
menjadi agama resmi pada masa Dinasti Tang di Tiongkok. Filosofi
Taoisme menekankan keseimbangan alam dan mengikuti Tao,
mempengaruhi konteks sosial-politik saat itu. Lao Tzu dianggap tokoh
utama Taoisme, terutama melalui karyanya Tao Te Ching. Meskipun
awalnya sebagai filsafat hidup, Taoisme kemudian berkembang menjadi
Agama Taoisme dengan keyakinan akan penyatuan setelah kematian dan
imortalitas. Namun, interpretasi keliru terhadap ajaran Taoisme dapat
menghasilkan praktik-praktik yang melanggar prinsip-prinsip alam, seperti
pencarian kebakaan tubuh manusia.
DAFTAR PUSTAKA
Brazal, A., “Church as Sacrament of Yin-Yang Harmony: Toward a More
Incisive Participation of Laity and Women in the Church”, Theological
Studies, Vol. 80(2), 2019:414-435
Creel, H. G., “What is Taoism?”, Journal of the American Oriental Society,
Vol. 76, No. 3(Jul. - Sep. 1956), pp. 139- 152
Kirkland, R., “The History of Taoism: A New Outline”, Chinese Religions,
Vol. 30: (1), 2002:177-193
Magnis-Suseno, F., Pijar-Pijar Filsafat, Yogyakarta: Kanisius, 2005

Anda mungkin juga menyukai