Anda di halaman 1dari 71

EVALUASI PENGAJARAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

4.1 Hakikat Evaluasi


Evaluasi pada hakikatnya merupakan kegiatan yang dilakukan untuk
mengetahui keberhasilan suatu program dan suatu produk dengan cara menentukan
benar tidaknya, baik buruknya, atau tinggi rendahnya kualitas suatu produk atau
program tersebut. Evaluasi sangat diperlukan dalam bidang pendidikan terutama
pengajaran karena untuk mengetahui keberhasilan program dan produknya diperlukan
kegiatan evaluasi. Sehubungan dengan evaluasi dalam bidang pendidikan khususnya
bidang pengajaran, berikut ini dipaparkan (1) konsep dasar evaluasi, (2) komponen-
komponen evaluasi, dan (3) proses evaluasi.
4.1.1 Konsep Dasar Evaluasi
Pengertian evaluasi yang dipaparkan para ahli cukup bervariasi. Rafi’i
(1985:1) menjelaskan bahwa evaluasi dalam bahasa Inggris disebut dengan
evaluation. Evaluasi berarti menilai sesuatu produk dengan cara memperhatikan
pengembangan prosesnya. Selanjutnya, Arikunto (2005:3) menyatakan bahwa
evaluasi merupakan kegiatan mengukur dan menilai sesuatu produk. Edwin Wandt
dan Gerald W.Brown (dalam Sudijono, 2006:1) mengemukakan bahwa evaluation
refer to the act or process to determining the value of something. Evaluasi
mengandung pengertian suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai dari
sesuatu.
Sementara itu, menurut Armaini (2009) dewasa ini pengertian evaluasi lebih
disoroti sebagai sarana untuk mendapatkan informasi yang diperoleh dari proses
pengumpulan dan pengolahan data. Dalam hal ini, evaluasi merupakan proses
memperoleh, menggambarkan, dan menyajikan informasi yang berguna untuk
memberikan penilaian pada alternatif pengambilan keputusan. Berdasarkan pendapat
Kaufman dan Thomas (1980), Armaini (2009) menjelaskan bahwa evaluasi adalah
suatu proses yang dilakukan untuk membantu keberadaan seseorang atau alat tertentu
2

menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya karena adanya situasi perbaikan.
Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa evaluasi akan memberikan data
masukan yang dapat dijadikan dasar perbaikan dari kondisi yang sudah ada.
Selanjutnya, dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran, evaluasi
adalah suatu kegiatan terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan atas tujuan yang
jelas; untuk mengetahui keadaan dan hasil pembelajaran dengan menggunakan alat
ukur dan hasilnya dibandingkan dengan kriteria norma untuk memperoleh keputusan-
keputusan atau simpulan-simpulan (Wahyuni, 2004:10). Dengan demikian, evaluasi
sebagai suatu aktivitas mengandung beberapa konsep mendasar, antara lain:
a) kegiatan evaluasi merupakan suatu proses atau prosedur;
b) evaluasi bersifat sistematis dan integral dalam kegiatan belajar-mengajar;
c) evaluasi bertujuan mengumpulkan informasi tentang tingkat pencapaian siswa
terhadap tujuan pembelajaran;
d) evaluasi meliputi tiga unsur utama, yakni: pengukuran, tes, dan penilaian;
e) evaluasi dilaksanakan berdasarkan prinsip kontinuitas, multiteknis,
menyeluruh/berimbang, objektif, dan kooperatif;
f) evaluasi mempunyai beberapa persyaratan, yakni tepercaya, sahih, praktis,
representatif, dan seimbang;
g) evaluasi berfungsi secara instruksional, administratif, dan bimbingan.
Evaluasi dalam pembelajaran adalah bagian integral dari komponen
pembelajaran. Bagi program pembelajaran secara menyeluruh, hasil evaluasi dapat
digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas program pembelajaran.
Hubungan antar komponen evaluasi dengan komponen pembelajaran lain tampak
pada bagan yang disampaikan Hasan (1993:10) di bawah ini.

PERENCANAAN INTERAKSI EVALUASI


3

Gambar tersebut menunjukkan bahwa komponen perencanaan


mempengaruhi hal yang terjadi pada komponen interaksi. Seterusnya komponen
interaksi mempengaruhi komponen evaluasi. Komponen evaluasi ini kemudian
memberikan informasi mengenai hasil belajar yang telah dimiliki siswa. Dari
informasi tersebut, guru dapat menentukan bahwa tujuan yang telah ditetapkan telah
tercapai atau belum. Di samping itu, guru dapat pula menentukan hal-hal yang harus
diperbaiki, baik pada komponen interaksi maupun pada komponen perencanaan.
Berdasarkan definisi yang diungkapkan oleh beberapa pakar evaluasi
tersebut, dapat dikatakan bahwa evaluasi merupakan suatu proses untuk menilai dan
mengukur sesuatu program dan produk dengan menggunakan langkah yang
sistematis, sehingga dapat mengambil keputusan yang tepat dalam melakukan
perbaikan suatu program. Evaluasi adalah bagian integral dari komponen pengajaran
yang lain. Hasil evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
efektivitas program pengajaran.

4.1.2 Komponen-Komponen Evaluasi


Istilah evaluasi (evaluation) tidak dapat dilepaskan dengan istilah-istilah lain,
seperti pengukuran (measurement), penilaian (assessment), alat evaluasi berupa tes
dan nontes. Menurut Bachman (1990:23), evaluasi, pengukuran, dan tes sering
disamakan. Padahal ketiganya hanya mempunyai hubungan yang erat dengan
pengertian yang berbeda-beda. Komponen evaluasi yang lain adalah penilaian. Hal
itu tersirat dalam pandangan Arikunto (2005:3) yang menyatakan bahwa evaluasi
merupakan kegiatan mengukur dan menilai sesuatu produk.
Dari pandangan tersebut, dapat dikatakan bahwa komponen-komponen
evaluasi terhadap program pengajaran dapat dibedakan atas pengukuran, penilaian,
dan alat evaluasi berupa tes atau nontes. Hal itu dijelaskan satu per satu di bawah ini.

1) Pengukuran
4

Di dalam ilmu-lmu sosial, pengukuran adalah proses menentukan luas atau


kuantitas karakteristik orang menurut prosedur atau aturan yang tegas/eksplisit
(Bachman, 1990:2). Dengan kata lain, pengukuran adalah suatu usaha memberi angka
pada sesuatu, baik berupa benda atau gejala jiwa. Mengukur artinya membandingkan
sesuatu dengan ukuran. Hal ini sejalan dengan pendapat Steven dalam Net (1987:1),
yang menyatakan bahwa pengukuran adalah pemberian angka atas objek atau
kejadian sesuai dengan aturan.
Dalam pembelajaran, menurut Abied (2010), “Pengukuran (measurement)
adalah proses pemberian angka atau usaha memperoleh deskripsi numerik dari suatu
tingkatan di mana seorang peserta didik telah mencapai karakteristik tertentu”. Hal
serupa juga tampak pada pendapat Sudijono (2006:4) menyatakan bahwa pada
hakikatnya mengukur adalah membandingkan sesuatu dengan atau atas dasar ukuran
tertentu, seperti mengukur tinggi badan (150 cm, 160 cm, 170 cm). Contoh lain
misalnya, dari 50 orang siswa yang mengikuti ulangan harian, hanya 30 orang yang
mendapat skor 9. Dari contoh tersebut dapat dipahami bahwa pengukuran itu bersifat
kuantitatif.
Akhadiah (1998:5) menyatakan bahwa berkaitan dengan pembelajaran,
pengukuran adalah proses untuk mendapatkan pemerian kuantitatif mengenai tinggi
rendahnya pencapaian seseorang dalam suatu pembelajaran tertentu. Pengukuran
dalam suatu pembelajaran dimaksudkan sebagai suatu usaha untuk mengetahui
keadaan gejala jiwa tertentu pada diri pembelajar sebagaimana adanya. Pengukuran
akan memberikan jawaban terhadap pertanyaan how much. Hasil pengukuran bersifat
kuantitatif, yaitu berupa angka-angka atau skor.
Pengukuran memerlukan alat, dan pemilihan alat tersebut bergantung pada
tujuan. Tujuan pengukuran yang berbeda, memerlukan alat yang berbeda pula. Jika
tujuan pengukuran adalah untuk mengetahui hasil belajar, maka diperlukan alat ukur
antara lain berupa tes.
2) Alat evaluasi berupa tes
5

Carrol (dalam Bachman, 1990:20) mendefinisikan tes sebagai suatu prosedur


yang dirancang untuk menimbulkan perilaku tertentu dari seseorang sehingga
diperoleh kesimpulan tentang perilaku seseorang. Sejalan dengan pendapat tersebut,
Djiwandono (1996:1) mendefinisikan bahwa tes adalah alat, prosedur, atau rangkaian
kegiatan yang digunakan untuk memperoleh contoh tingkah laku seseorang yang
memberikan gambaran tentang kemampuannya dalam suatu bidang ajaran tertentu.
Akhadiah (1998:5) menyatakan bahwa tes dapat digunakan untuk melakukan
pengukuran guna mendapatkan pemerian kuantitatif (berupa angka atau skor) yang
mencerminkan tinggi rendahnya pencapaian seseorang dalam pembelajaran tertentu.
Dalam bahasa Indonesia (sebelum ada EYD ditulis dengan test), test adalah
alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam
suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2005:53)
Dari pengertian tersebut, tes dapat mengarah kepada dua hal. Pertama, tes dipandang
sebagai alat, yakni sejumlah tugas yang harus diselesaikan oleh testee. Kedua, tes
dipandang sebagai prosedur atau cara untuk mengukur, terutama untuk mengukur
prestasi atau kemampuan belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Rusli (1984) yang
mengartikan tes sebagai: (1) seperangkat butir pertanyaan yang dibuat atau diberikan
kepada siswa dengan syarat-syarat tertentu, dan (2) prosedur yang sistematik
digunakan untuk mengobservasi tingkah laku.
3) Alat evaluasi selain tes (nontes)
Dalam dunia pendidikan khususnya dalam pembelajaran, ada bermacam-
macam alat evaluasi yang digunakan selain tes, antara lain teknik observasi, angket,
skala penilaian, penilaian sejawat, laporan diri, dan berbagai teknik inventor
(Akhadiah (1988:6). Alat evaluasi selain tes seperti itu dapat digunakan untuk
mendapatkan data hasil belajar berupa pemerian kualitatif di samping mendapatkan
data berupa pemerian kuantitatif. Hasil evaluasi menggunakan pemerian kualitatif
dapat langsung digunakan untuk menentukan nilai atau menghakimi hasil belajar
siswa.
6

4) Penilaian
Penilaian berarti proses mengetahui, memperoleh, atau memberi nilai
sesuatu. Abied (2010) menyatakan bahwa penilaian (assessment) adalah penerapan
berbagai cara dan penggunaan beragam alat untuk memperoleh informasi tentang
sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian
kemampuan) peserta didik. Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas,
penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik,
mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik atau perbaikan proses
belajar-mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh
informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan
belajar peserta didik, kinerja guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan
informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik,
dan upaya bimbingan yang diperlukan, hambatan guru, serta keberadaan kurikulum
itu yang menjadi pedoman pelaksanaan pembelajaran.
Selanjutnya, Arikunto (2005:3) menyatakan bahwa menilai adalah mengambil
keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik atau buruk. Hal itu dipertegas oleh
Sudijono (2006) yang menyatakan bahwa menilai mengandung arti, yaitu mengambil
keputusan terhadap sesuatu berdasarkan pada ukuran baik atau buruk. Nurkancana
(1986:2) menyatakan bahwa penilaian akan memberikan jawaban terhadap
pertanyaan what value. Penilain bersifat kualitatif. Hasil penilaian berupa keputusan-
keputusan atau pernyataan-pernyataan seperti baik, cukup, kurang yang biasanya
dinyatakan dengan kategori A, B, C, dan seterusnya, atau naik-tidak naik, lulus-tidak
lulus.

4.1.2 Proses evaluasi


Sebagaimana telah disampaikan pada bagian terdahulu, evaluasi merupakan
suatu proses untuk mengukur dan menilai sesuatu program dan produk dengan
menggunakan langkah yang sistematis sehingga dapat mengambil keputusan yang
tepat dalam melakukan perbaikan suatu program. Evaluasi dalam pengajaran adalah
7

bagian integral dari komponen pengajaran. Bagi program pengajaran secara


menyeluruh, hasil evaluasi dapat digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan
efektivitas masing-masing komponen program pengajaran itu sendiri.
Evaluasi dalam pembelajaran, dapat mencakup dua kegiatan, yaitu
pengukuran dan penilaian. Sudijono (2006:5) menjelaskan bahwa evaluasi adalah
kegiatan atau proses untuk menilai sesuatu. Agar dapat menentukan nilai dari sesuatu
yang dinilai, dapat dilakukan pengukuran dengan alat ukur. Alat ukur yang
digunakan dapat berupa bukan tes. Akhadiah, dkk. (1988:7) menyatakan bahwa alat
evaluasi selain tes dapat berupa teknik observasi, angket, skala penilaian, penilaian
sejawat. Alat evaluasi jenis ini tidak harus menggunakan angka-angka, tetapi dapat
menggunakan uraian kualitatif dengan pemberian kategori, seperti sangat baik, baik,
cukup baik, dan kurang baik.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa Proses evaluasi dapat
diawali dengan pemaparan kuantitatif yang diperoleh melalui pengukuran
menggunakan alat ukur seperti tes yang diikuti dengan pemaparan kualitatif dan
diakhiri dengan pemberian nilai atau penghakiman. Proses evaluasi dapat juga
diawali dengan pemaparan kualitatif yang diperoleh melalui alat evaluasi nontes yang
diakhiri dengan pemberian nilai atau penghakiman.

Proses evaluasi tersebut dapat digambarkan sebagai berikut.

Evaluasi

Pemerian Kuantitatif dan atau Pemerian Kuanlitatif


Pengukuran dg alat ukur menggunakan alat
berupa tes evaluasi selain tes,
tanpa pengungukuran

Pemberian Nilai
Penghakiman
8

4.1.3 Pengembangan Alat Evaluasi dalam Pengajaran


Dalam teori penyelenggaraan pengajaran, dapat dikatakan bahwa pengajaran
merupakan suatu proses yang terdiri dari tiga komponen utama yang tidak
terpisahkan antara satu dengan lainnya. Ketiga komponen itu adalah tujuan,
pelaksanaan, dan penilaian pengajaran. Komponen-komponen itu mempunyai
hubungan yang erat, baik dalam hubungan sebab akibat maupun hubungan timbal
balik sebagai umpan balik (Diwandono, 1996:3). Tujuan pengajaran merupakan
kemampuan yang hendak dicapai dalam pembelajaran. Pelaksanaan pembelajaran
adalah kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pembelajaran. Penilaian adalah
proses menentukan keberhasilan pengajaran sesuai dengan tujuan yang telah
dirumuskan.
Evaluasi dalam pengajaran diselenggarakan pada akhirnya bertujuan untuk
meningkatkan mutu pendidikan atau pengajaran. Untuk mencapai tujuan itu, evaluasi
dapat dilakukan terhadap program pengajaran yang mencakup dimensi konteks,
proses belajar mengajar, dan hasil pembelajaran. Evaluasi dalam pengajaran pada
umumnya berawal dari evaluasi hasil belajar. Evaluasi hasil belajar dilakukan
berdasarkan tujuan pengajaran dan dilakukan setelah pengajaran berlangsung.
Wahyuni (2004:11) menyebutkan bahwa ada dua tujuan evaluasi hasil pembelajaran.
Tujuan yang dimaksud adalah sebagai berikut:
a. mengetahui kemajuan belajar peserta didik selama dan setelah pembelajaran
selama jangka waktu tertentu; dan
b. mengetahui tingkat efisiensi metode-metode pembelajaran dan komponen-
komponen lain yang dipergunakan selama jangka waktu tertentu tadi.
Secara lebih rinci, Nurgiyantoro (2001:15) mengemukakan beberapa tujuan
evaluasi pembelajaran. Tujuan yang dimaksud di antaranya adalah sebagai berikut.
1) Evaluasi bertujuan untuk mengetahui seberapa jauh tujuan-tujuan pendidikan
yang telah ditetapkan itu dapat dicapai dalam kegiatan belajar mengajar yang
dilakukan. Pendidikan dan pengajaran sebenarnya merupakan suatu proses untuk
mencapai sejumlah tujuan. Tujuan itu dalam kegiatan belajar mengajar
9

dirumuskan secara berjenjang, mulai dari jenjang yang operasional yang dikenal
dengan tujuan instruksional (pengajaran) khusus sampai tujuan yang dibebankan
kepada lembaga (sekolah) yang bersifat umum dan abstrak. Ketercapaian tujuan
tersebut dapat diketahui melalui kegiatan evaluasi.
2) Evaluasi bertujuan untuk memberikan objektivitas pengamatan kita terhadap
tingkah laku hasil belajar siswa. Dengan mendasarkan diri pada prinsip penilaian
proses, penilaian terhadap siswa akan dilakukan secara berkesinambungan selama
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, yang antara lain dilakukan dengan
pengamatan. Akan tetapi, pengamatan saja tidaklah cukup. Kegiatan pengamatan
tersebut perlu didukung oleh kegiatan pengukuran agar hasilnya lebih bersifat
objektif.
3) Evaluasi bertujuan mengetahui kemampuan siswa dalam bidang-bidang atau
topik-topik tertentu. Sama halnya dengan guru yang tidak mungkin mengukur
semua kemampuan siswa, siswa pun tidak mungkin mendemonstrasikan semua
kemampuan hasil belajarnya. Oleh karena itu, pengukuran hanya dilakukan pada
hal-hal tertentu yang dianggap dapat mencerminkan kemampuan siswa.
4) Evaluasi bertujuan untuk menentukan layak tidaknya seorang siswa dinaikkan ke
tingkat di atasnya atau dinyatakan lulus dari tingkat pendidikan yang
ditempuhnya. Pertimbangan dan pemberian keputusan naik atau tidak naik, lulus
atau tidak lulus akan selalu mendasarkan diri pada informasi hasil pengukuran
terhadap hasil belajar siswa.
5) Evaluasi bertujuan untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan. Penilaian yang dilakukan sewaktu kegiatan pengajaran
masih berlangsung dan penilaian yang dikenal sebagai tes formatif, hasilnya dapat
dipergunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu bahan pelajaran dapat
diteruskan atau perlu diulang.
Evaluasi dalam pengajaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang
dikemukakan oleh (Wahyuni, 2004:13-14) adalah (1) evaluasi dilakukan secara tidak
langsung, (2) evaluasi dilakukan dengan ukuran kuantitatif, (3) evaluasi dilakukan
10

dengan menggunakan unit satuan yang tetap, (4) evaluasi bersifat relatif, dan (5)
evaluasi tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Berikut pemaparan masing-masing
ciri tersebut secara singkat.
1) Evaluasi dilakukan secara tidak langsung
Artinya, objek evaluasi adalah peserta didik yang tidak dilihat dari sosok fisiknya
seperti berat badan dan tinggi badannya, melainkan dilihat dari aspek
psikologisnya seperti sikap, minat, bakat, dan hasil belajarnya.
2) Evaluasi dilakukan dengan ukuran kuantitatif
Artinya, evaluasi dimulai dari pengukuran dengan menggunakan satuan-satuan
secara kuantitatif yang dipergunakan untuk mendapatkan hasil pengukuran yang
objektif. Setelah itu dapat diolah dan ditafsirkan ke dalam satuan kualitatif.
3) Evaluasi dilakukan dengan menggunakan unit satuan yang tetap
Artinya, objek evaluasi hendaknya menggunakan satuan yang tetap untuk
memperoleh hasil evaluasi yang memiliki nilai ajeg dan prediksinya menjadi
lebih tinggi.
4) Evaluasi bersifat relatif
Artinya, meskipun hasil evaluasi sudah menggunakan satuan yang tetap, hasilnya
tidaklah selalu sama dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan hasil penilaian tidak
semata-mata ditentukan oleh alat ukur yang valid, tetapi juga dipengaruhi oleh
keadaan objek dan lingkungan yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan.
5) Evaluasi tidak mungkin terhindar dari kesalahan
Kesalahan tersebut dapat diakibatkan oleh alat ukur yang kurang valid, sikap
subjektif, kesalahan perhitungan, keadaan fisik dan psikis testee, dan situasi
tempat pelaksanaan evaluasi itu dilakukan.
Yang penting diperhatikan dalam evaluasi hasil pengajaran adalah keluaran
hasil belajar atau perubahan perilaku yang hendak dicapai. Menurut Gagne bahwa
kompetensi dan kapabilitas sebagai bukti nyata hasil belajar dapat dibedakan atas
lima kategori, yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal,
keterampilan motorik, dan sikap (Nugiayantoro,1988:22). Keterampilan intelektual
11

berkaitan dengan kemampuan bagaimana melalukan aktivitas. Misalnya menjelaskan


cara mengidentifikasi gaya bahasa. Strategi kognitif adalah kemampuan internal yang
berperan mengatur seseorang untuk memilih cara misalnya bagaimana belajar yang
paling cocok untuk dirinya sendiri. Informasi verbal adalah hasil belajar berupa
informasi atau pengetahuan verbal misalnya mampu menyatakan informasi dengan
ungkapan bermakna. Keterampilan motorik adalah hasil belajar yang berkaitan
dengan otot misalnya melafalkan, mengoperasikan alat. Sikap adalah hal-hal yang
berkaitan dengan nilai-nilai seperti toleransi, tanggung jawab, dan cinta terhadap
sesuatu. Hal itu bisa ditunjukkan dengan reaksi positif dan negatif terhadap sesuatu.
Sementara itu menurut Bloom dan kawan-kawan membedakan hasil belajar
atas tiga kategori yaitu ranah kognitif, afektif, dan psikomotor yang dikenal secara
luas dengan istilah Taksonomi Bloom (Nugiayantoro,1988:23).
Ranah kognitif (Cognitive domain) adalah aspek kognitif dan intelektual yang
dicapai pembelajar, yang dapat dibedakan atas enam tingkatan. Keenam tingkatan
dengan kata kerja operasional masing-masing secara berturut-turut sebagai berikut:
(1) ingatan: mendeskripsikan,mendefinisikan, mengidentifikasi, menyebutkan,
menjodohkan, memilih, dan menyatakan;
(2) pemahaman: mengubah, mempertahankan, membedakan, menafsirkan,
menjelaskan, menerangkan, memperluas, menggeneralisasikan, memberikan
contoh, menyimpulkan, membuat parafrase, meramalkan, menulis kembali, dan
meringkas;
(3) penerapan: mengubah, menghitung, mendemonstrasikan, menemukan,
memanipulasi, memodifikasi, mengoperasikan, meramalkan, menyiapkan,
menghasilkan, menemukan, menunjukkan, memecahkan, menggunakan;
(4) analisis: merinci, mendiagramkan, membedakan (diferentiate, diskriminate,
distinguish), mengidentifikasikan, mengilustrasikan, menyimpulkan,
menghubungkan, menunjukkan, memilih, memisahkan, membagi atas bagian-
bagiannya.
12

(5) senteis: mengategorisasikan, mengombinasikan, menyusun, mengarang,


menciptakan, mendesain, merencanakan, menulis kembali, meringkas; dan
(6) evaluasi: menilai, membandingkan, menyimpulkan, mempertentangkan,
mengkritik, mendeskripsikan, memutuskan, menafsirkan, meringkas,
menghubungkan, dan menyetujui atau tidak.
Ranah afektif (Affective domain) adalah perasaan, nada, emosi, dan variasi
tingkat penerimaan yang menunjukkan sikap terhadap sesuatu. Ranah afektif dapat
dibedakan atas bagian-bagian sebagai berikut:
(1) penerimaan (receiving): menanyakan, memilih, mendeskripsikan, mengikuti,
mengidentifikasi, menempatkan, menjawab, menggunakan.
(2) penanggapan (responding): menjawab, membantu, menyesuaikan diri,
mendiskusikan, menghormati, menulis, menampilkan, melakukan, membaca,
melaporkan, memilih, dan menceritakan.
(3) penilaian (valuing): melengkapi, mendemonstrasikan, mendeskripsikan,
membedakan, menjelaskan, memilih, mengikuti, membentuk, mengundang,
memutuskan, mengusulkan, membaca, melaporkan, mempelajari, dan mengambil
bagian.
(4) pengorganisasian (organizing): mengikuti, menggabungkan, membandingkan,
melengkapi, menyusun, menjelaskan, mengorganisasi, memodifikasi,
mempertahankan, mengidentifikasi, menggabungkan, menggeneralisasikan,
menghubungkan, menyintesiskan.
(5) karakterisasi nilai yang kompleks (charaterizing bu value of value complex):
melakukan, membedakan, memperlihatkan, mempengaruhi, mendengarkan,
memodifikasi, merevisi, mempertunjukkan, memecahkan, mengusulkan,
menanyakan, melayani, menggunakan, mengkualifikasikan, memverifikasi.
Ranah psikomotor (pychomotor domain) adalah hasil belajar berupa
keterampilan yang menyangkut gerak otot misalnya, misalnya siswa dapat melakukan
kegiatan tulis menulis, melafalkan, membacakan, mempersiapkan alat laboratorium,
dan sebagainya.
13

Pembagian tersebut bersifat teoretis dan dalam kenyataannya dalam diri


manusia yang sedang belajar, hal itu tidak bersifat terpisah atau dikotomis, tetapi
merupakan suatu kesatuan yang bersifat berkelanjutan atau kontinum. Karena itu,
dalam aplikasinya cenderung tumpang tindih dan kadang-kadang sulit dilaksanakan.
Dalam pengajaran di sekolah, ranah kognitif dan psikomotor kurang diperhatikan.
Berbagai ranah hasil belajar itu harus diperhitungkan pada saat perencanaan
dan penyusunan rencana pengajaran serta ditunjukkan secara operasional pada
rumusan tujuan khusus pembelajaran dengan kata kerja operasional agar dapat
diamati atau diukur sehingga diperoleh hasil evaluasi yang akurat. Pada rumusan
tujuan khusus tersebut termuat secara bersama-sama dengan berbagai komponen lain
sebagai syarat tujuan pembelajaran yang baik yang menurut Baker (1971) dalam
Nurgiantoro, 1988:27) adalah berupa kriteria yang dibedakan atas ABCD. A
(audience, sasaran) berupa siswa, B (behaviour, tinkah laku) berupa kemampuan atau
keterampilan siswa, C (condiotions, syarat) merupakan keadaan pada waktu
melakukan evaluasi, dan D (degree, ukuran) adalah ukuran yang menunjukkan bahwa
siswa telah mencapai tujuan. Tujuan khusus yang memuat keempat kriteria tersebut
tampak pada contoh beriku:
Setelah berakhir pembelajaran (C), siswa (A) dapat menyebutkan tema roman “Siti
Nurbaya” (B) secara tepat (D)
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa dalam pengajaran,
evaluasi mempunyai karakteristik tertentu dan pelaksanaannya bermuara pada
penilaian. Evaluasi dilakukan berdasarkan tujuan pengajaran setelah pengajaran
berlangsung. Hal itu dapat dilihat pada bagan di bawah ini.

Tujuan Pelaksanaan Evaluasi Hasil


Pengajaran Pengajaran Pengajaran
14

4.1.4 Fungsi Evaluasi dalam Pengajaran


Selain memiliki tujuan, evaluasi memiliki fungsi atau kegunaan bagi pihak-
pihak tertentu. Menurut Wahyuni (2004:11-13), evaluasi dapat berfungsi bagi
berbagai pihak.

a. Bagi guru
Evaluasi pembelajaran sangat berfungsi atau bermanfaat bagi guru. Manfaat
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
1) mengetahui kemajuan belajar peserta didik,
2) mengetahui kedudukan masing-masing individu peserta didik dalam
kelompoknya,
3) sebagai suatu cara untuk mengadakan seleksi terhadap siswanya,
4) mengetahui kelemahan-kelemahan cara mengajar dalam proses belajar
mengajar,
5) memperbaiki proses belajar mengajar,
6) mengetahui kesulitan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh siswa
dalam proses/kegiatan belajarnya (berfungsi diagnostik), dan
7) menentukan kelulusan peserta didik.
b. Bagi peserta didik (siswa)
Evaluasi pembelajaran juga bermanfaat bagi siswa. Manfaat tersebut di antaranya
adalah sebagai berikut:
1) mengetahui kemampuan dan hasil belajarnya,
2) memperbaiki cara belajar, dan
3) menumbuhkan motivasi belajar.
c. Bagi sekolah
Manfaat evaluasi pembelajaran bagi sekolah adalah sebagai berikut:
(1) mengukur mutu hasil pendidikan dan pembelajaran,
15

(2) mengetahui kemajuan dan kemunduran sekolah,


(3) membuat keputusan terhadap peserta didik, dan
(4) mengadakan perbaikan atau pengembangan kurikulum (disebut pula fungsi
kurikuler)

d. Bagi orang tua


Orang tua dapat memfungsikan evaluasi pembelajaran untuk:
1) mengetahui hasil belajar anaknya
2) meningkatkan pengawasan dan bimbingan serta bantuan kepada anaknya
dalam usaha belajar, dan
3) mengarahkan pemilihan jurusan atau jenis sekolah (pendidikan lanjutan) bagi
anaknya.
e. Bagi masyarakat
Evaluasi pembelajaran juga berfungsi bagi masyarakat, yakni untuk:
1) mengetahui kemajuan sekolah,
2) ikut mengadakan kritik dan saran perbaikan bagi kurikulum pendidikan pada
sekolah tersebut, dan
3) lebih meningkatkan partisipasi masyarakat dalam usahanya membantu
lembaga pendidikan.

B. TES SEBAGAI ALAT EVALUASI DALAM PENGAJARAN

4.1 Tes sebagai Alat Evaluasi


Seperti telah disebutkan pada bagian A, alat evaluasi berupa tes dalam
pengajaran diperlukan untuk mengukur dan mendapatkan data kuantitatif. Data
tersebut pada umumnya digunakan untuk menentukan prestasi belajar seseorang.
Carrol (dalam Bachman, 1990:20) mendefinisikan tes sebagai suatu prosedur yang
dirancang untuk menimbulkan perilaku tertentu dari seseorang sehingga diperoleh
16

kesimpulan tentang perilaku seseorang. Sejalan dengan pendapat tersebut,


Djiwandono (1996:1) mendefinisikan bahwa tes adalah alat, prosedur, atau rangkaian
kegiatan yang digunakan untuk memperoleh contoh tingkah laku seseorang yang
memberikan gambaran tentang kemampuannya dalam suatu bidang ajaran tertentu.
Akhadiah (1998:5) menyatakan bahwa tes dapat digunakan untuk melakukan
pengukuran untuk mendapatkan pemerian kuantitatif (berupa angka atau skor)
mengenai tinggi rendahnya pencapaian seseorang dalam suatu pembelajaran tertentu.
Dalam bahasa Indonesia (sebelum ada EYD ditulis dengan test), test adalah
alat atau prosedur yang digunakan untuk mengetahui atau mengukur sesuatu dalam
suasana, dengan cara dan aturan-aturan yang sudah ditentukan (Arikunto, 2005:53)
Dari pengertian tersebut, tes dapat mengarah kepada dua hal. Pertama, tes dipandang
sebagai alat, yakni sejumlah tugas yang harus diselesaikan oleh testee. Kedua, tes
dipandang sebagai prosedur atau cara untuk mengukur, terutama untuk mengukur
prestasi atau kemampuan belajar. Hal ini sejalan dengan pendapat Rusli (1984) yang
mengartikan tes sebagai: (1) seperangkat butir pertanyaan yang dibuat atau diberikan
kepada siswa dengan syarat-syarat tertentu, dan (2) prosedur yang sistematik
digunakan untuk mengobservasi tingkah laku. Terkait dengan pengertian pertama,
Arikunto (2004:59) menjelaskan bahwa ciri-ciri tes yang baik harus memiliki
validitas, reliabilitas, objektivitas, praktikabilitas, dan ekonomis.
Sebuah tes dikatakan valid apabila tes itu dapat tepat mengukur apa yang
hendak diukur. Sebuah tes dikatakan reliabel apabila hasil-hasil tes tersebut
menunjukkan ketetapan. Jika para siswa diberikan tes yang sama pada waktu yang
berlainan, setiap siswa akan tetap berada dalam urutan yang sama dalam
kelompoknya. Sementara itu, sebuah tes dikatakan memiliki objektivitas apabila
dalam melaksanakan tes itu tidak ada faktor-faktor subjektif yang memengaruhi.
Sebuah tes dikatakan memiliki praktikabilitas yang tinggi apabila tes tersebut
bersifat praktis dan mudah pengadministrasian. Tes yang baik adalah yang mudah
dilaksanakan, mudah pemeriksaannya, dan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk
yang jelas. Selanjutnya, sebuah tes dikatakan memiliki ciri ekonomis apabila
17

pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos atau biaya yang mahal, tenaga
yang banyak, dan waktu yang lama. Arikunto (2005:53) menjelaskan bahwa dalam
mengerjakan tes sangat tergantung dari petunjuk yang diberikan, misalnya: mencoret
jawaban yang salah, melakukan tugas atau suruhan, menjawab secara lisan,
memberikan tanda silang atau melingkari salah satu huruf di depan pilihan jawaban,
menerangkan, dan sebagainya.

4.2 Penafsiran Hasil Tes


Hasil evaluasi terutama hasil tes yang dilakukan terhadap pengajaran harus
dipertimbangkan dan ditetapkan, tidak serta merta digunakan sebagai hasil belajar.
Pertimbangan dan penetapan hasil evaluasi sebagai hasil belajar dapat dilakukan
dengan menggunakan penilaian acuan patokan dan acuan norma.

a. Penilaian Acuan Patokan (PAP)


Penilaian acuan patokan adalah suatu cara mendapatkan nilai akhir yang
dicapai seorang pebelajar dilakukan berdasarkan patokan tertentu. Penyebaran hasil
belajar siswa berdasarkan patokan yang telah ditentukan, dapat berupa skor seperti
50, 65, 70, dan seterusnya atau berupa nilai seperti A, B, C, D, dan seterusnya.
Pebelajar dianggap sudah berhasil mencapai tujuan pembelajaran, jika telah mampu
mencapai tingkat kemampuan terendah yang ditentukan pada kriteria yang ada.
Dalam pengajaran, pengajar dapat menggunakan patokan skala lima, sepuluh, atau
seratus. Seperti yang dilakukan di sekolah, patokan keberhasilan dapat menggunakan
skala 10 seperti di bawah ini.

Skor hasil Skor ubahan Nilai siswa


ulangan
96-100 10 Sempurna
86-95 9 Baik sekali
18

76-85 8 Baik
66-75 7 Cukup
56-65 6 Sedang
46-55 5 Hampir Sedang
36-45 4 Kurang
26-35 3 Kurang sekali
16-25 2 Buruk
0-15 1 Buruk sekali

Jika patokan terendah adalah skor 6 atau nilai sedang, maka pebelajar yang
belum mencapai hasil tersebut dipandang belum mencapai tujuan pembelajaran.
Pebelajar dalam kategori tersebut belum berhasil.

b. Penilaian Acuan Norma (PAN)


Penilaian Acuan Norma (Norm Refrenced Evaluation) atau PAN dikenal pula
dengan standar relatif atau kelompok. Melalui pendekatan penilaian ini hasil tes yang
diperoleh siswa ditafsirkan dengan membandingkannya dengan hasil tes yang
diperoleh siswa yang lain dalam kelompoknya. Dengan kata lain, nilai akhir siswa
ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh siswa dalam satu kelompok (Nugiantoro,
1988:367). Hal itu berarti pula bahwa standar yang dibuat untuk suatu kelompok
tidak berlaku untuk kelompok yang lain. Demikian juga, standar yang dibuat untuk
suatu tes yang dilaksanakan saat ini tidak dapat digunakan untuk tes yang
dilaksanakan di masa mendatang. Standar yang diberlakukan untuk kelompok bisa
bervariasi; ada yang tinggi, sedang, atau rendah. Karena itu, PAN disebut dengan
standar relatif.
Pendekatan PAN berdasarkan asumsi distribusi kemampuan siswa normal.
Oleh karena mean dan simpangan baku dihitung berdasarkan skor hasil tes,
distribusinya selalu cenderung menunjukkan kurva normal pada tiap kelompok.
19

Siswa yang tergolong pandai pada suatu kelompok bisa jadi mendapat nilai lebih
rendah daripada siswa yang tergolong tidak terlalu pandai pada kelompok lain karena
mereka berada pada kelompok dan standar yang berbeda.

5. Uji kompetensi
1) Jelaskan secara singkat hakikat tes sebagai alat evaluasi!
2) Jelaskan dengan contoh cara penafsiran hasil evaluasi berdasarkan Penilaian
Acuan Patokan (PAP)!
3) Jelaskan cara menafsirkan hasil evaluasi Penilaian Acuan Norma (PAN)!
4) Jelaskan kelebihan dan kelemahan penafsiran hasil evaluasi berdasarkan PAP
dan PAN!

C. EVALUASI PEMBELAJARAN BAHASA


4.1 Pengajaran Bahasa
Pembelajaran bahasa termasuk pembelajaran bahasa Indonesia, tidak terlepas
dari pengaruh pendekatan yang berkembang, terutama pendekatan, asumsi, teori, atau
pandangan terhadap bahasa atau linguistik. Dengan kata lain, perubahan cara pandang
terhadap bahasa atau pendekatan linguistik akan membawa perubahan pula pada
konsep penyelenggaraan pengajaran bahasa yang termuat dalam kurikulum mata
pelajaran bahasa. Jika pendekatan linguistik yang menjadi acuan kurikulum bahasa
berubah, penyelenggaraan pengajaran bahasa yang ada berubah pula.
Pendekatan linguistik yang menonjol dan membawa pengaruh besar terhadap
konsep-konsep dan pelaksanaan pengajaran bahasa pada dasarnya dapat dibedakan
atas pendekatan formal dan pendekatan fungsional. Sifat kajian bahasa yang ada
dalam kedua pendekatan tersebut dilandasi oleh asumsi para linguis dalam
memandang hakikat bahasa sebagai objek kajian mereka.
Pendekatan formal adalah pandangan yang mengasumsikan bahwa bahasa
sebagai sistem tanda yang terpisah dari faktor-faktor eksternal bahasa. Bahasa bersifat
sistemis dan sistematis, artinya bahasa terdiri dari beberapa subsistem, yaitu
20

subsistem fonologi, subsistem gramatika (morfologi dan sintaksis), dan subsistem


leksikon yang dikombinasikan oleh kaidah-kaidah yang dapat diramalkan. Bahasa
yang sebenarnya adalah bahasa lisan seperti yang digunakan masyarakat (Ibrahim,
1999) Berdasarkan asumsi tersebut, deskripsi bahasa yang dihasilkan berupa ciri-ciri
formal bahasa, yakni unsur-unsur bahasa dan kaidah-kaidah bahasa atau struktur
bahasa. Pendekatan formal dikenal secara luas sebagai pendekatan struktural. Hal ini
terungkap pada pendapat yang menyatakan prinsip yang dianut pandangan
struktural adalah bahasa terbentuk oleh seperangkat kaidah (Zuchdi dan Budiasih,
1997:33)
Berdasarkan pendekatan struktural, dikembangkan metode audiolingual
bertolak dari teori belajar behaviorisme, yaitu bahasa target diajarkan dengan
mencurahkan pada lafal kata dan pola-pola kalimat dengan cara latihan berkali-kali
(Nababan, 1993:29) Tujuan pengajaran bahasa diarahkan pada penguasaan kaidah-
kaidah gramatika yang pada gilirannya juga menimbulkan perbedaan realisasi pada
bahasa yang digunakan. Pembelajaran bahasa perlu dititikberatkan pada pengetahuan
tentang struktur bahasa yang mencakup fonologi, morfologi, dan sintaksis. Dalam hal
ini pengetahuan tentang pola-pola kalimat, pola-pola kata, dan suku kata menjadi
sangat penting (Corder dalam Basuki, 1995:380)
Metode audiolingual mencapai puncak ketenarannya tahun 1950-an dan
permulaan tahun 1960-an. Tetapi, para ahli linguistik mulai mengecamnya dari dua
segi, yakni (1) teori-teori yang mendasarinya (strukturalisme dan behaviorisme) yang
menekakan pada pemahaman dan latihan-latihan menggunakan struktur bahasa, dan
(2) hasil-hasil pelajaran yang kurang memuaskan karena para pelajar tetap belum
lancar menggunakan bahasa target dalam berkomunikasi (Nababan, 1993:35)
Pengajaran bahasa Indonesia berdasarkan pendekatan struktural pernah diterapkan di
sekolah-sekolah, yaitu pada saat berlakunya kurikulum 1975. Kurikulum ini akhirnya
dianggap tidak cocok untuk pengajaran bahasa Indonesia dengan alasan yang lebih
kurang sama dengan alasan yang baru saja disampaikan.
21

Selanjutnya, pendekatan fungsional memandang bahasa sebagai sistem


terbuka. Bahasa tidak bisa lepas dari keberadaan faktor eksternal bahasa, yaitu ciri
sosial, ciri biologis, ciri demografi, dan sebagainya. Konteks sosial penggunaan
bahasa merupakan sentral dalam analisisnya berdasarkan pandangan bahwa fungsi
bahasa tidak saja untuk berkomunikasi, tetapi juga menunjukkan identitas sosial,
bahkan budaya pemakainya (Ibrahim, 1999) Pendekatan fungsional pada prinsipnya
mendasarkan pemerian bahasa pada fungsi eksternal bahasa, yaitu pada pemakaian
bahasa yang sebenarnya dalam masyarakat pada kerangka dan latar interaksi berbeda
dan hasilnya memperlihatkan berbagai penggunaan bahasa dengan berbagai fungsi
dalam kerangka dan latar interaksi sosial masyarakat. Pendekatan fungsional
merupakan pendekatan yang digunakan antara lain dalam sosiolinguistik dan
pragmatik.
Prinsip-prinsip pandangan fungsional yang menyatakan bahwa bahasa sebagai
alat komunikasi dalam kerangka dan latar interaksi sosial masyarakat membawa
perubahan atau pengaruh terhadap pengajaran bahasa. Berdasarkan pandangan
tersebut muncul pendekatan komunikatif dan pragmatik. Pada pendekatan
komunikatif, kontribusi fungsi sosiolinguistik tampak pada orientasi kompetensi
komunikatif. Widharyanto (2000:161) menegaskan bahwa kompetensi komunikatif
ini merupakan perluasan kompetensi ala Chomsky sebagai pengetahuan aturan-aturan
pembentukan kalimat. Kompetensi komunikatif ini dimaknai sebagai kompetensi
untuk menggunakan kalimat dalam konteks-konteks yang berbeda-beda, yaitu siapa,
dengan siapa, di mana, dan kapan berbicara menurut norma sosial budaya tertentu.
Selanjutnya, Nababan (1993:37) menambahkan bahwa pendekatan pragmatik
dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa bahasa sebagai alat interaksi yang
menekankan keterlibatan konteks dalam berbahasa. Pragmatik dapat dianggap
perkembangan lebih lanjut dari pendekatan komunikatif. Dalam pendekatan
pragmatik, bahasa digunakan dalam interaksi sosial oleh penutur dan lawan tutur
sesuai dengan perkembangan situasi dalam interaksi yang terjadi.
22

Dalam kurikulum 1984, pragmatik dicantumkan sebagai pokok bahasan dan


sebagai pendekatannya adalah pendekatan komunikatif. Dalam kaitan ini Sumarsono
menyatakan bahwa sebenarnya, para pengajar bahasa tidak puas jika pragmatik
diajarkan sebagai pokok bahasan belaka. Karena hakikatnya pragmatik itu adalah
penggunaan bahasa, sehingga pragmatik berfungsi dan berperan sebagai pendekatan.
Sebagai pendekatan, pragmatik serupa dan sebangun dengan pendekatan komunikatif
(dalam Sumarsono, 1994:6) Kurikulum bahasa Indonesia 1984 belum sepenuhnya
menggunakan pendekatan komunikatif karena masih mencantumkan pokok bahasan
struktur. Pencantuman pokok bahasan struktur menunjukkan bahwa pendekatan
struktural masih dipakai dalam kurikulum bahasa Indonesia dan pembelajaran bahasa
masih ditekankan pada penguasaan struktur bahasa (Syafi’e, 1992) Hal ini merupakan
sumber kegagalan kurikulum mata pelajaran Bahasa Indonesia 1984 dan diganti
dengan kurikulum mata pelajaran bahasa Indonesia 1994 yang disempurnakan tahun
2004 yang menjadi masih berlaku hingga sekarang. Kurikulum tersebut sudah
menunjukkan pembelajaran yang menekankan pada keterampilan berbahasa sesuai
dengan pandangan atau pendekatan komunikatif yang memandang bahwa belajar
bahasa adalah belajar berkomunikasi menggunakan bahasa dalam interaksi sosial
sesuai dengan norma sosial budaya yang berlaku.

4.2 Tujuan Pengajaran Bahasa


Sesuai dengan pendekatan yang menjadi acuan pengajaran bahasa yaitu
pendekatan komunikatif, tujuan pengajaran bahasa Indonesia dalam kurikulum 2004
bahasa Indonesia di SD, SMP, dan SMA yang berlaku saat ini adalah siswa
mempunyai kemahiran menggunakan bahasa Indonesia dalam kegiatan
mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis secara terpadu yang dijiwai oleh
kemampuan bernalar secara sistematis. Pengajaran bahasa Indonesia yang
dikehendaki kurikulum tersebut adalah meningkatkan keterampilan siswa dalam
berkomunikasi, baik lisan maupun tertulis. Siswa bukan hanya sekadar belajar bahasa
melainkan berkomunikasi, dalam arti siswa mampu mengungkapkan makna dan
23

pesan, termasuk menafsirkan dan menilai, serta mampu mengekspresikan diri dengan
bahasa sehingga siswa mempertajam kepekaan dan perasaan, dan ditingkatkan
kemampuan berpikir bernalarnya.
Untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa Indonesia sebagaimana yang
dituntut kurikulum 2004, pengajaran bahasa Indonesia yang dikehendaki adalah
pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif. Johnson (1981:19)
mengatakan bahwa pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif adalah
pengajaran bahasa yang bertujuan memberikan kompetensi komunikatif kepada si
belajar. Yalden (1987:20) menjelaskan bahwa kompetensi komunikasi merupakan
kumpulan kemampuan penggunaan bahasa yang meliputi (1) kompetensi linguistik,
(2) kompetensi sosiolinguistik, (3) kompetensi kewacanaan, dan (4) kompetensi
strategi.
Seorang yang belajar bahasa telah dapat dikatakan memiliki kompetensi
komunikatif apabila ia memiliki kemampuan dasar gramatika yang memadai dan
kepekaan kontekstual yang tinggi sehingga mampu memilih variasi-variasi bahasa
sesuai dengan konteks sosiokulturalnya dan dapat mengungkapkan secara tepat dalam
bentuk tuturan yang konkret (Lanzom, 1986:1) Hal serupa disampaikan Hymes
(19720, River (1973), Paultson (1974) yang menyatakan bahwa kompetensi
komunikatif yang sangat penting diperhatikan dalam pengajaran bahasa senyatanya
penekanannya pada kegramatikalan dan ketepatan konteks (Suyono, 1998:4) Dalam
kaitan ini, ada benarnya yang disampaikan Nugiyantoro (1995) bahwa dalam
pembelajaran bahasa komunikatif kompetensi bahasa berupa struktur tata bahasa dan
kosakata masih sangat dibutuhkan dalam tindak berbahasa. Pentingnya kompetensi
gramatikal juga tersirat pada ungkapan Canale (1984:6) yang menyatakan bahwa
kompetensi berkaitan dengan kode bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Kode
bahasa yang dimaksud meliputi ciri-ciri dan kaidah-kaidah bahasa seperti kosakata,
formasi kata, formasi kalimat, pelafalan, ejaan, dan makna bahasa. Kompetensi ini
sangat diperlukan untuk memahami dan mengekspresikan secara akurat wacana
lateral.
24

4.3 Tes Bahasa


Mengapa Tes Bahasa Diberikan? Tes merupakan salah satu alat evaluasi hasil
belajar. Dengan demikian, pertanyaan itu menjadi “mengapa evaluasi hasil belajar
bahasa perlu diberikan?” Jawaban pertanyaan ini berkaitan dengan jenis-jenis
evaluasi dan jenis-jenis (dan atau bentuk-bentuk) tes bahasa dalam hubungannya
dengan “kapan guru memberikan tes?” Tepatnya, “kapan guru memberikan tes baha-
sa?”
Berdasarkan pertanyaan tersebut, diperoleh berbagai jenis tes, antara lain tes
seleksi, tes masuk, tes penempatan, tes bakat, tes prasyarat, tes, awal, tes akhir, tes
formastif, tes sumatif, tes diagnostik, tes motivatif, kuis harian, tes prestasi
keseluruhan, tes akhir program, tes tengan semester, dan tes akhir semester. Dari jenis
tes itu, dapatlah dirumuskan pertanyaan lebih lengkap dan operasional, sehingga
menjadi sebagai berikut.
1) Mengapa tes seleksi bahasa diberikan?
2) Mengapa tes masuk bahasa diberikan?
3) Mengapa tes bakat bahasa diberikan
4) Mengapa tes diagnostik bahasa diberikan?
5) dan seterusnya.

4.3.1 Hakikat dan Sasaran Tes Bahasa


Tes bahasa adalah tes yang diselenggarakan dalam kaitan dengan pengajaran
bahasa. Sasaran pokoknya adalah tingkat kemampuan berbahasa yang mengacu pada
kemampuan yang berhubungan dengan penggunaan bahasa dalam komunikasi nyata
sehari-hari. Kemampuan berbahasa memungkinkan orang untuk berkomunikasi
dengan orang lain, terlepas dari ada-tidaknya pengetahuan tentang teori dan seluk-
beluk bahasa yang digunakan. Kenyataannya, orang bisa berkomunikasi dengan
menggunakan bahasa bukan karena ia punya pengetahuan teoretis (fonem, morfem,
kalimat, dll.) Jadi, harus dibedakan antara pengetahuan bahasa dan kemampuan
25

berbahasa, termasuk dalam kaitannya dengan tes bahasa. Yang jelas, pengetahuan
bahasa atau kompetensi bahasa (bersifat abstrak, tidak terdengar, tidak terlihat,
disebut komponen bahasa) selalu ada di belakang atau memengaruhi penggunaan
bahasa. Dengan demikian, tes bahasa mencakup kelompok sasaran (1) tes komponen
bahasa (meliputi bunyi bahasa, struktur, kosakata, ejaan) dan (2) tes kemampuan
berbahasa (meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).

4.3.2 Tempat dan Peranan Tes Bahasa


Pengajaran merupakan proses yang terdiri atas tiga komponen utama yang
tidak terpisahkan: tujuan pengajaran, pelaksanaan pengajaran, dan evaluasi hasil
pengajaran. Ketiganya berhubungan yang erat satu sama lain, baik secara langsung
dalam hubungan sebab-akibat maupun secara tidak langsung dalam bentuk umpan
balik. Implikasinya dalam pengajaran bahasa dan tes bahasa adalah sebagai berikut.
1) Tujuan pengajaran bahasa memberi arah, pedoman mengenai cara kegiatan
belajar-mengajar (KBM) bahasa direncanakan dan dilaksanakan.
2) Tujuan pengajaran bahasa memberi arah, pedoman mengenai cara evaluasi
hasil pengajaran bahasa disusun dan dilaksanakan.
3) Pengalaman belajar-mengajar bahasa yang diperoleh dalam KBM bahasa
dijadikan sebagai pedoman dalam menyusun dan melaksanakan evaluasi hasil
pengajaran bahasa; atau, evaluasi hasil pengajaran bahasa akan menjadi lebih
baik dengan lebih sempurna bila didasarkan atas bagaimana pengalaman
belajar bahasa itu telah dilaksanakan.
4) Evaluasi hasil pengajaran bahasa disusun dan dilaksanakan dengan maksud
untuk mengukur kadar ketercapaian tujuan pengajaran bahasa.
5) Pengalaman belajar bahasa dalam KBM bahasa disusun dan dilaksanakan
untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa yang diinginkan.
6) Pengalaman belajar bahasa dalam KBM bahasa akan menjadi lebih sempurna
jika didasarkan atas bagaimana evaluasi hasil pengajaran bahasa itu akan
dilaksanakan.
26

4.3.3 Tujuan Tes Bahasa


Tes bahasa, secara langsung dan tidak langsung memberikan informasi
tentang berbagai segi penyelenggaraan pengajaran bahasa. Oleh karena itu, untuk
mendalami tujuan tes bahasa ini, simak kembali topik mengenai mengapa tes bahasa
diberikan dan hubungannya dengan jenis evaluasi dan jenis tes bahasa.

4.3.4 Pendekatan dalam Tes Bahasa


Sebagai suatu usaha yang titik berat kegiatannya adalah bahasa,
penyelenggaraan pengajaran bahasa senantiasa dipengaruhi oleh pendekatan tertentu
dalam ilmu bahasa. Cara bahasa dimengerti dan disikapi, menurut pendekatan
tertentu, dapat memengaruhi penentuan pengajarannya. Pengaruh itu berlanjut, terasa
dalam hal cara bahasa itu diajarkan. Karena eratnya hubungan antara tes bahasa,
tujuan pengajaran, dan penyelenggaraan pengajarannya, pengaruh pendekatan ilmu
bahasa terhadap penyelenggaraan pengajaran bahasa pada akhirnya tercermin pula
pada penyelenggaraan dan penggunaan tes bahasa. Kajian tentang pendekatan
terhadap tes bahasa dapat dilakukan dengan titik tolak dan kriteria yang berbeda dan
yang menghasilkan rincian pendekatan yang berbeda pula.
Dengan memperhatikan rincian yang berbeda-beda, pendekatan tes bahasa
secara keseluruhan dapat dibedakan ke dalam (1) pendekatan tradisional, (2)
pendekatan diskret, (3) pendekatan integratif, (4) pendekatan pragmatik, dan (5)
pendekatan komunikatif.

a. Pendekatan Tradisional
Dalam pendekatan ini, tes bahasa diselenggarakan tanpa acuan teori
kebahasaan tertentu sebagai dasar. Penerapannya tidak menuntut kemampuan khusus
dalam bidang tes bahasa, sehingga siapa yang mampu mengajarkan bahasa, dianggap
mampu pula menyelenggarakan tes bahasa (termasuk penilaian yang dilakukan
terhadap pekerjaan testi). Semuanya tergantung pada pendapat dan penilaian pengajar
27

dengan segala unsur kesubjektifannya. Bahan tes banyak merujuk kepada karya sastra
dan bentuk tes yang dipakai meliputi terjemahan dan menulis esai. Itulah sebabnya,
pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan esai dan terjemahan. Selain
terjemahan dan menulis esai, terdapat pula tes tata bahasa yang memuat pertanyaan-
pertanyaan tentang bahasa, bukan penggunaan bahasa.

b. Pendekatan Diskret
Pendekatan diskret dalam tes bahasa bersumber pada pendekatan struktural
dalam kajian kebahasaan. Dalam pendekatan struktural, bahasa dipandang sebagai
sesuatu yang memiliki struktur yang tertata rapi, terdiri atas komponen-komponen
bunyi bahasa, kata, dan tata bahasa yang tersusun rapi secara berjenjang, menurut
aturan tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian terkecil bersama-sama membentuk
bagian-bagian yang lebih besar, bagian-bagian yang lebih besar membentuk bagian-
bagian yang lebih besar lagi, dan begitu seterusnya, sampai terbentuk bahasa sebagai
struktur yang paling besar. Ditinjau dari arah sebaliknya, pendekatan struktural
menggambarkan bahasa sebagai sesuatu yang memiliki struktur, yang terdiri atas
komponen-komponen yang dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain.
Dalam tes bahasa pendekatan diskret, satu bentuk tes dianggap sebagai dan
dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap satu, dan hanya satu,
jenis komponen bahasa atau kemampuan berbahasa, seperti kata dan tata bahasa saja,
atau menyimak dan membaca saja. Secara lebih ketat, pendekatan diskret dalam tes
bahasa bahkan menjurus pada pengertian bahwa satu butir tes seharusnya hanya
mempermasalahkan satu, hanya satu, hal dari setiap aspek komponen bahasa atau
kemampuan berbahasa.

c. Pendekatan Integratif
Sama dengan pada pendekatan diskret, pendekatan integratif dalam tes bahasa
juga didasari atas pandangan struktural dalam kajian bahasa. Bedanya, pendekatan
diskret bertolak dari anggapan bahwa bahasa dapat dipisah-pisahkan ke dalam
28

komponen bahasa sampai dengan bagian-bagiannya yang terkecil, pendekatan


integratif justru menekankan yang sebaliknya, yaitu bahwa bahasa merupakan
penggabungan bagian-bagian atau komponen-komponen bahasa yang bersama-sama
membentuk bahasa. Bahasa merupakan integrasi dari bagian-bagian terkecil yang
membentuk bagian-bagian yang lebih besar, yang secara bertahap dan berjenjang
membentuk bagian-bagian yang lebih besar lagi, untuk pada akhirnya merupakan
bentukan terbesar berupa bahasa seutuhnya. Dalam penggunaan bahasa sehari-hari,
penggabungan itu terjadi pada komponen bahasa yang satu dengan yang lain, antara
kemampuan berbahasa yang satu dan kemampuan yang lain, bahkan antara
kemampuan berbahasa dan komponen bahasa.
Tes bahasa pendekatan integratif melakukan pengukuran penguasaan ke-
mampuan berbahasa atas dasar penguasaan terhadap gabungan antara beberapa
komponen bahasa dan kemampuan berbahasa. Berbeda dengan pendekatan diskret
yang memungkinkan penggunaan kata-kata lepas atau bunyi-bunyi bahasa lepas
sebagai butir tes, pendekatan integratif mengandalkan penggunaan bahasa dalam
konteks yang besarnya beragam (konteks yang kecil ditemui pada penggunaan bahasa
pada kata-kata, kata dalam kalimat, dan seterusnya).
Bahasa dalam konteks hanya dapat dipahami melalui pemahaman terhadap
gabungan berbagai komponen bahasa dan kemampuan berbahasa, seperti yang
ditemui dalam penggunaan bahasa senyatanya. Bentuk tes menggunakan kalimat,
melengkapi kalimat atau teks bacaan, dan lain-lain selalu mempersyaratkan penggu-
naan lebih daripada satu komponen bahasa atau kemampuuan berbahasa sekaligus
secara integratif.

d. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini mengutamakan peranan penggunaan bahasa senyatanya dalam
kajian terhadap bahasa, termasuk tes bahasa. Dalam pendekatan ini, bahasa tidak
ditinjau dari strukturnya yang berlapis dan bertingkat (seperti dalam diskret), juga
tidak dilihat sebagai penggabungan bagian-bagain secara berlapis dan bertingkat
29

(seperti integratif). Pendekatan pragmatik mengaitkan bahasa dengan penggunaan


senyatanya, yang melibatkan tidak saja unsur-unsur kebahasaan, tetapi juga unsur-
unsur di luarnya yang terkait dengan setiap bentuk penggunaan bahasa (menekankan
eratnya kaitan antara unsur kebahasaan dan unsur nonkebahasaan).
Pemahaman bahasa secara pragmatik tidak hanya didasari pemahaman
terhadap unsur-unsur kebahasaan, tetapi juga ditentukan oleh pemahaman terhadap
unsur-unsur di luar kebahasaan yang dalam kenyataan selalu hadir dalam setiap
bentuk penggunaan bahasa secara alamiah. Hal itu tidak bisa dihindarkan, justru
menghasilkan suatu bentuk penggunaan bahasa yang lengkap, mampu meng-
ungkapkan pesan sesuai dengan yang ingin disampaikan pebahasa. Hal-hal yang tidak
diungkapkan secara eksplisit melalui ungkapan kebahasaan dinyatakan secara implisit
melalui unsur-unsur nonkebahasaan. Pemahaman terhadap ungkapan kebahasaan
seutuhnya mempersyaratkan pemahaman terhadap seluruh unsur itu. Unsur
kebahasaan dan unsur nonkebahasaan saling melengkapi.
Sisi lain pendekatan pragmatik adalah tidak dapat dihindarkan adanya ber-
bagai kendala. Dalam bahsa sehari-hari, nyaris tidak ada penggunaan bahasa yang
utuh dan murni tanpa hadirnya unsur-unsur lain sebagai kendala, baik kebahasaan
(seperti penambahan dan pengurangan kata secara tidak disengaja) maupun nonke-
bahasaan (seperti suara-suara lain, peristiwa dan keadaan sekitar) yang terjadi pada
saat bersamaan dengan penggunaan bahasa. Semua itu menghasilkan penggunaan
bahasa yang tidak seutuh dan tidak semurni sebagaimana yang dimaksudkan
pemakainya, namun masih dapat dipahami. Itulah penggunaan bahasa senyatanya
secara pragmatik.
Tes bahasa yang dikembangkan atas dasar pendekatan pragmatik ditandai
dengan adanya tugas untuk memahami wacana, melalui pemahaman unsur-unsur
kebahasaan yang digunakan secara wajar, termasuk adanmya berbagai kendala yang
secara wajar terdapat pula di dalamnya. Pemahaman secara pragmatik menuntut pula
kemampuan memahami kaitan antara unsur-unsur kebahasaan dan unsur-unsur
nonkebahasaan yang terkandung dalam wacana.
30

d. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan ini mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan bahasa
dalam komunikasi sehari-hari senyatanya. Seperti pendekatan pragmatik, pendekatan
ini meninggalkan pendekatan diskret dan integratif yang struktural. Sebagai pen-
dekatan dengan orientasi psikolinguistik dan sosiolinguistik, pendekatan komunikatif
mementingkan peranan unsur-unsur nonkebahasaanm terutama unsur-unsur yang
terkait dengan terlaksananya komunikasi yang baik. Namun, berbeda halnya dengan
pendekatan pragmatik yang menekankan peranan konteks, pendekatan komunikatif
memperluas unsur konteks dengan memperhatikan unsur-unsur penentu komunikasi
yang mengambil bagian dalam terwujudnya komunikasi yang baik. Akibatnya,
pendekatan ini, secara rinci, mempersoalkan seluk-beluk komunikasi yang merupa-
kan tujuan pokok penggunaan bahasa, meliputi unsur siapa berkomunikasi, bagai-
mana hubungan antara mereka, apa maksud dan tujuannya, dalam keadaan bagai-
mana komunikai terjadi, kapan dan di mana komunikasi terjadi, dan lain-lain.
Tuntutan akan adanya telaah lengkap terhadap seluk-beluk penggunaan baha-
sa dapat berarti bahwa setiap bentuk penggunan bahasa perlu dibuatkan rincian seluk-
beluknya. Untuk satu bentuk penggunaan bahasa disusun satu rincian seluk-beluk
komunikasi tersendiri yang berbeda dengan rincian seluk-beluk yang lain. Secara
teoretis, akan sangat banyak diperlukan jumlah dan jenis rincian seluk-beluk
penggunaan bahasa yang perlu disusun. Secara lebih praktis, jumlah dan rincian itu
dapat disederhanakan dengan memilih bentuk komunikasi yang berlaku lebih umum
dan tidak terbatas pada penggunaan bahasa yang amat khusus.
Dalam tes bahasa, penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap
beberapa penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan,
kemampuan berbahasa yang disasar, dan bentuk soal (tugas) atau pertanyaannya.
Semua itu harus ditentukan atas dasar ciri komunikasinya, yaitu hubungan dan
kesesuaiannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikai senyatanya. Untuk itu,
perlu dikaji wacana yang digunakan, pertanyaan yang diajukan, dan jawaban yang
31

diharapkan benar-benar sesuai dengan ciri-ciri penggunaan bahasa yang komunikatif.


Apabila ciri-ciri penggunaan bahasa secara komunikatif tidak ditemukan, bahkan
tidak didekati, tes bahasa itu tidak dapat digolongkan sebagai tes bahasa berdasarkan
pendekatan komunikatif.
Dalam hubungannya dengan bentuk tes bahasa, penggunaan bentuk yang
beragam, yang tidak terpaku pada satu bentuk tertentu, lebih sesuai dengan hakikat
pendekatan komunikatif. Penggunaan bahasa dalam komunikasi sehari-hari pada
kenyataannya begitu beragam, sehingga secara umum tidak dapat dinyatakan bahwa
satu bentuk tes tertentu merupakan bentuk tes bahasa komunikatif yang sesuai.
Penggunaan bentuk tes bahasa tertentu hanya sesuai dengan bentuk penggunaan
bahasa tertentu pula, yang mungkin tidak sesuai dengan bentuk penggunaan bahasa
yang lain. Oleh karena itu, penggunaan bentuk tes bahasa yang beragam dan tidak
terpaku pada satu bentuk saja, lebih sesuai dengan hakikat penggunaan bahasa secara
komunikatif.

4.3.5 Jenis-jenis Tes Bahasa


Ada berbagai jenis tes bahasa, yang satu dibedakan dari yang lain. Pembeda-
annya didasarkan atas sepuluh kriteria. Kriteria yang dimaksud meliputi (1) tujuan
penyelenggaraan, (2) tahapan atau waktu penyelenggaraan, (3) cara pengerjaan, (4)
cara penyusunan, (5) jumlah peserta, (6) bentuk jawaban, (7) cara penilaian, (8) acuan
penilaian, (9) aspek bahasa yang diukur, dan (10) pandangan terhadap bahasa. Berikut
ini jenis-jenis tes bahasa yang dimaksud.

a. Kriteria Tujuan Penyelenggaraan

1) Tes Seleksi
Tes ini diselenggarakan untuk memilih (menyeleksi) peserta yang memenuhi
persyaratan guna diikutsertakan dalam suatu kegiatan yang menuntut kemampuan
32

bahasa tertentu. Berdasarkan hasilnya, seseorang dapat dinyatakan diterima atau


ditolak untuk mengikuti program kegiatan yang dimaksud, seperti program pendidik-
an, pemberian pekerjaan dan penempatan, dan pengiriman ke luar negeri. Penentuan
jenis kemampuan dan tingkat penguasaan bahasa yang dituntut sepenuhnya
tergantung pada kebutuhan untuk mengikuti program tersebut (dapat menitikberatkan
pada salah satu kemampuan berbahasa tertentu, seperti kemampuan menulis atau
berbicara).

2) Tes Masuk
Tes masuk diselenggarakan sebelum dan menjelang suatu program pengajaran
bahasa dimulai. Tujuannya untuk menentukan dapat-tidaknya seorang calon diterima
sebagai peserta program pengajaran bahasa karena adanya jenis dan tingkat
kemampuan berbahasa yang dipersyaratkan. Tidak jarang, tes masuk ini digunakan
sebagai tes seleksi.
Tes bahasa sebagai tes masuk pada penyelenggaraan pengajaran bahasa
semestinya tidak bersifat umum, tetapi khusus, disesuaikan sepenuhnya dengan
tujuan pokok program tersebut. Kriteria penerimaan harus didasarkan atas kemampu-
an minimal yang dipersyaratkan program tersebut.

3) Tes Penempatan
Tes ini biasanya diselenggarakan menjelang dimulainya suatu program peng-
ajaran bahasa untuk menempatkan seseorang pada kelompok yang sesuai dengan
tingkat kemampuan berbahasanya, seperti kelompok pemula, menengah, dan lanjut.
Tujuannya adalah agar yang bersangkutan dapat mengikuti program, tidak mengalami
banyak kesulitan, dan tidak tertinggal dari teman-teman sekelompoknnya. Tes ini
perlu dilakukan jika terdapat jumlah peserta yang terlalu besar untuk disatukan ke
dalam satu kelompok.

4) Tes Hasil Belajar


33

Tes ini diselenggarakan dengan maksud untuk mengetahui hasil yang dicapai
oleh suatu bentuk pengajaran bahasa. Sebagai tes yang menitikberatkan perhatian
pada hasil belajar, tes memiliki kaitan yang erat dengan segala sesuatu yang telah
diajarkan, terutama isinya. Dalam pengajaran bahasa, tes ini dimaksudkan untuk
memperoleh informasi tentang tingkat kemampuan berbahasa yang telah
dikembangkan melalui pengajaran bahasa.

5) Tes Diagnostik
Tes ini diselenggarakan untuk mengetahui kemungkinan adanya kesulitan
belajar bahasa subjek didik. Kesulitan itu tercermin melalui penggunaan bahasa yang
mengandung kesalahan atau penyimpangan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan.
Hasil tes digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pengajaran bahasa yang lebih
sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya (remedial).

6) Tes Uji Coba


Tes uji coba diselenggarakan untuk mengetahui keadaan suatu perangkat tes
bahasa, yang masih dalam tahap penyusunan, memiliki ciri-ciri tes yang baik (dari
segi validitas, reliabilitas, daya beda, dan kepraktisan). Berdasarkan hasil tes, perbaik-
an dapat dilakukan sehingga, akhirnya, diperoleh tes yang baik, yang memenuhi
syarat. Oleh karena itu, jumlah soal yang diujicobakan lebih banyak daripada jumlah
soal yang dibutuhkan pada tes itu. Uji coba dapat dilakukan beberapa kali.

7) Tes Formatif
Tes formatif diselenggarakan pada saat suatu program pengajaran bahasa
sedang berlangsung. Tujuannya untuk memperoleh informasi mengenai jalannya
pengajaran bahasa sampai pada tahap tertentu. Informasi tersebut diperlukan dalam
rangka pengembangan (termasuk perbaikan) program pengajaran bahasa pada tahap
selanjutnya. Sesuai dengan maksudnya, tes ini dapat diselenggarakan lebih daripada
34

satu kali. Karena titik beratnya adalah informasi untuk penyempurnaan bagian
tertentu yang telah terselenggara, cakupan bahan tes terbatas pada hal-hal yang telah
diajarkan.
8) Tes Sumatif
Tes ini diselenggarakan pada akhir atau menjelang akhir pengajaran bahasa,
pada saat segala sesuatu yang direncanakan telah usai dilaksanakan. Tujuannya
adalah untuk mengetahui hasil pengajaran bahasa secara keseluruhan, sebagai bukti
nyata pencapaian tujuan pengajaran, sebagai bahan informasi untuk menetapkan baik-
buruk, lulus-tidak lulus peserta program pengajaran. Karena menitikberatkan pada
hasil kemampuan secara keseluruhan, cakupan bahan tes ini meliputi seluruh bahan
yang telah diajarkan.

b. Kriteria Tahapan atau Waktu Penyelenggaraan

1) Tes Awal (Prates)


Sesuai dengan namanya, tes ini diselenggarakan pada awal pengajaran bahasa.
Tujuannya untuk mengetahui tingkat kemampuan yang dimiliki subjek didik pada
awal program yang akan diikuti. Hasil tes ini tidak memengaruhi penerimaan sese-
orang. Hasil tes ini dapat digunakan pada akhir program pengajaran, untuk mem-
peroleh gambaran tentang kemajuan belajar yang dicapai, dengan cara memban-
dingkan hasil tes awal dan tes akhir. Agar perbandingan hasil tersebut bisa diandal-
kan, bahan dan cakupan kedua tes tersebut sebaiknya sama atau setara.

2) Tes Tengah (Midle Test)


Tes ini diselenggarakan pada pertengahan program pengajaran bahasa. Fungsi
dan tujuannya dapat bersifat formatif dan dapat juga dimanfaatkan untuk keperluan
sumatif (sebagai pelengkap).

3) Tes Akhir (Postes)


35

Kebalikan tes awal, tes ini diselenggarakan pada akhir atau menjelang akhir
program pengajaran bahasa. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kemajuan ke-
mampuan berbahasa yang dicapai subjek didik (dibandingkan dengan hasil tes awal).
Tingkat kemampuan itu dicerminkan oleh skor yang (seharusnya) lebih tinggi dari-
pada tes awal. Oleh karena itu, perbandingan kedua tes pada tahap yang berbeda itu
mengisyaratkan penggunaan tes yang sama atau setara.

c. Kriteria Cara Mengerjakan

1) Tes Tertulis
Dalam tes ini, pada dasarnya, baik soal maupun jawabannya dilakukan secara
tertulis. Atau, mungkin hanya jawabannya yang tertulis sedangkan soalnya dilisankan
(jika kebalikannya, bukan tes tertulis namanya).
Dalam pengajaran bahasa, bentuk tes ini dapat ditemukan pada tes untuk
berbagai jenis kemampuan berbahasa (kecuali kemampuan berbicara, karena kebu-
tuhan validitas) dan tes komponen bahasa (seperti kosakata dan tata bahasa).

2) Tes Lisan
Dalam tes ini, baik pertanyaan maupun (lebih-lebih lagi) jawabannya
dilakukan secara lisan. Dalam kemampuan berbahasa, tes ini, terutama, digunakan
dakam bentuk tes berbicara (dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang
kemampuan berbahasa lisan). Adakalanya, beberapa jebis kemampuan berbahasa dan
komponen bahasa menggunakan bentuk tes ini (dilakukan sebagai pelengkap atau
alternatif bagi tes tertulis yang telah dilaksanakan untuk bidang yang sama).
Rambu-rambu penyelenggaraan tes tertulis lebih jelas dan lebih mudah
diterapkan. Penyelenggaraan tes lisan memerlukan lebih banyak kejelian pada pihak
pelaksana tes (untuk memperoleh hasil penilaian yang lebih ajeg dan andal, serta
memperkecil unsur subjektivitas.
36

3) Tes Tindakan
Tes bahasa jenis ini, terutama, dimaksudkan untuk memperoleh informasi
mengenai kemampuan testi dalam memahami kosakata dalam bentuk perilaku atau
tindakan yang menggambarkan makna yang terkandung dalam kosakata tersebut.

d. Kriteria Cara Penyusunan

1) Tes Buatan Guru


Disebut tes buatan guru karena penyusunannya lebih banyak mengandalkan
pertimbangan dan penilaian guru sendiri, mengenai sesuatu yang diteskan dan cara
penyelenggaraannya. Sebagai bagian tugas mengajar, guru melaksanakan tes untuk
pelbagai keperluan (terutama untuk memperoleh tingkat kemajuan belajar siswa). Tes
ini sering disusun dan disiapkan dengan cara dan prosedur seperlunya, tanpa melalui
kajian yang rinci dan saksama terhadap ciri-ciri utamanya, seperti reliabilitas dan
daya bedanya. Dalam pengajaran bahasa, tes jenis ini digunakan secara luas.

2) Tes Standar
Tes standar dikembangkan dengan upaya untuk sejauh mungkin mengikuti
prosedur dan memenuhi persyaratan secara ketat. Ciri-ciri pokok dan persyaratannya
dikaji secara sadar dan terencana, dan diusahakan pemenuhannya guna memperoleh
tes yang bermutu sesuai dengan tujuan penyusunannya.
Mutu atau standar tes diperoleh melalui serangkaian uji coba. Hasil uji coba
dianalisis, diubah, diperbaiki seperlunya sampai diperoleh bentuk tes yang bermutu,
dengan ciri terbaik, teruji, dan terstandar. Karena kerumitannya, tes standar dalam
pengajaran bahasa digunakan secara terbatas (baik jenis maupun frekuensinya).

e. Kriteria Jumlah Peserta


37

1) Tes Perseorangan (Individual)


Dalam tes ini, setiap testi menerima tugas atau soal tes sendiri, secara terpisah,
tidak bersamaan dengan yang lain, dan langsung mengerjakannya sendiri. Tes bahasa
perseorangan diselenggarakan, bukan karena hanya ada seorang peserta, melainkan
karena tingkat kemampuan berbahasa tertentu hanya dapat diukur secara efektif bila
dilakukan secara perseorangan. Contohnya, tes kemampuan berbicara. Tes ini
memerlukan pengamatan secara langsung dan saksama, sehingga pelaksana tes
mendapatkan informasi yang lebih lengkap dan tepat mengenai segi-segi penggunaan
kemampuan berbahasa, seperti lafal, tekanan suara, intonasi, kosakata, dan kalimat.

2) Tes Kelompok
Tes ini diselenggarakan untuk sekelompok testi sekaligus, terutama, dengan
pertimbangan kepraktisan karena tenaga dan waktu lebih efisien: untuk sejumlah testi
sekaligus. Namun, penyelenggaraan tes kelompok dalam pengajaran bahasa tidak
semata-mata dengan pertimbangan tenaga dan waktu. Pengukuran terhadap
kemampuan berbicara melalui tes kelompok, misalnya, memberi kesempatan kepada
guru untuk melakukan pengamatan dan penilaian terhadap tingkat kemampuan
berbahasa yang diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain, yakni dalam
penggunaan bahasa senyatanya.
f. Kriteria Bentuk Jawaban

1) Tes Esai
Tes ini mewajibkan testi memberikan jawaban dalam bentuk esai atau uraian.
Sebagai suatu esai, isi, susunan, dan panjang-pendeknya jawaban tidak dapat
ditentukan. Semua bergantung pada masalah yang ditanyakan serta keinginan dan
kemampuan setiap testi dalam menjawabnya. Dalam pengajaran bahasa, tes esai
terutama digunakan dalam bentuk tes mengarang (mengukur kemampuan menulis),
juga dalam tes bahasa yang lain, baik dalam hubungannya dengan penguasaan
38

komponen bahasa maupun penguasaan kemampuan berbahasa, kecuali kemampuan


berbicara.

2) Tes Jawaban Pendek


Tes jawaban pendek yang disebut juga tes isian atau melengkapi mewajibkan
para testi memberikan jawaban bukan dalam bentuk esai, melainkan dalam bentuk
jawaban-jawaban pendek berupa kata-kata lepas, huruf, angka, atau tanda tertentu.
Jawaban diberikan atas dasar pemahaman testi terhadap masalah yang ditanyakan,
yang perlu diungkapkan dengan sesingkat mungkin. Mengisi bagian kosong dalam
sebuah wacana atau menyelesaikan kalimat yang belum lengkap termasuk jenis tes
ini. Menjawab soal dalam tes ini memerlukan kepandaian untuk menemukan inti
masalah yang ditanyakan dan menemukan cara tersingkat untuk mengungkapkannya;
bisa diberikan, terutama dalam tes tertulis, bisa juga lisan. Perbedaannya dengan tes
esai terletak pada panjang-pendeknya jawaban.

3) Tes Pilihan
Dalam tes ini, testi tidak menuliskan jawaban secara produktif, tetapi dengan
jalan memilih salah satu alternatif jawaban yang telah disediakan. Cara menjawabnya
sangat sederhana, sekadar memberi tanda (silang, lingkaran, cawang) pada lembar
jawaban yang khusus disediakan untuk itu. Termasuk dalam tes ini adalah tes benar
salah, penjodohan, dan pilihan ganda. Dalam pengajaran bahasa, tes pilihan
(khususnya pilihan ganda) digunakan untuk mengukur berbagai kemampuan
berbahasa dan komponen bahasa. Hal itu terutama disebabkan oleh kepraktisan
pemakaiannya.

g. Kriteria Cara Penilaian


1) Tes Subjektif
Dalam tes subjektif ini, penilaian terhadap jawaban dipengaruhi oleh, bahkan
bergantung pada, kesan dan pendapat pribadi si penilai. Jawaban tes ini biasanya
39

berupa ungkapan-ungkapan bebas dalam bentuk kalimat, paragraf, atau uraian


lengkap, termasuk karangan atau esai. Itulah sebabnya, tes ini sering juga disebut
dengan tes esai.
Dalam pengajaran bahasa, tes ini sesuai untuk digunakan pada pengajaran
mengarang (dalam bentuk tes karangan), membaca pemahaman (dalam bentuk tes
kemampuan membaca). Karena tingginya unsur kesubjektifannya, dapat dimaklumi
bahwa unsur penting yang perlu diperhatikan dalam penggunaannya adalah cara
penilaian yang dapat mengurangi kadar kesubjektifan itu dan meningkatkan kerter-
andalannya.

2) Tes Objektif
Dalam tes ini, penilaian terhadap jawaban dilakukan secara objektif, dengan
meniadakan atau menekan sampai serendah-rendahnya unsur subjektivitas penilai.
Sifat objektif itu mengacu pada cara penilaian yang dapat dilakukan secara ajeg,
dengan hasil yang sama, tidak berubah, meskipun jika penilaian itu dilakukan
berulang-ulang, oleh penilai berbeda (karena ada kunci jawaban sebagai patokan yang
mengikat). Jawaban testi dianggap benar jika sesuai dengan kunci jawaban,
sedangkan yang tidak sesuai berarti salah.

h. Kriteria Acuan Penilaian


Penilaian merupakan pemberian makna terhadap skor atau proses menginter-
pretasikan skor menjadi nilai.

1) Tes Bahasa Acuan Norma


Dalam penilaian acuan norma (PAN), interpretasi dilakukan atas dasar pen-
capaian rata-rata (normal) suatu kelompok testi, sebagai norma bagi kelompok terse-
but. Dengan PAN, selalu ada yang lulus dan tidak lulus. Testi yang memiliki tingkat
pencapaian normal itu berhak atas nilai akhir normal, yaitu nilai minimal yang bisa
diterima (= C), di atasnya B dan A, sedangkan yang di bawahnya D dan E. Karena
40

nilai akhir terikat oleh kelompok testi tertentu, dapat dimengerti bahwa hasil tes
acuan norma ini tidak berlaku bagi kelompok yang lain. Konsekuensinya, seseorang
yang mendapat nilai A pada suatu kelompok, belum tentu lebih pandai daripada yang
mendapat nilai B atau (bahkan) C dari kelompok yang lain.

2) Tes Bahasa Acuan Patokan


Dalam penilaian acuan patokan (PAP), skor pencapaian testi dikonsultasikan
dengan kriteria atau patokan yang telah ditetapkan. Patokan itu bersifat mutlak atau
absolut. Nilai akhir dalam tes ini didasarkan atas pencapaian tingkat kemampuan
(kompetensi). Dengan PAP, bisa jadi ada yang lulus dan tidak lulus, bisa jadi lulus
semua atau tidak lulus semua dengan persebaran skor yang merata atau tidak merata.

3) Tes Bahasa Acuan Gabungan


Dalam prakteknya, penentuan nilai akhir tidak selalu dapat didasarkan atas
salah satu dari kedua acuan itu (8.1 dan 8.2) secara ketat. Adakalanya, penentuan nilai
itu dilakukan atas dasar penggabungan keduanya, terutama dalam tes buatan guru,
yang penyusunannya sering dilakukan dengan tidak cermat.

i. Kriteria Aspek Bahasa


1) Tes Bakat Bahasa
Tes ini diselenggarakan untuk mengetahui bakat dan kemampuan yang secara
potensial dimiliki seseorang untuk mempelajari bahasa. Biasanya tes ini diseleng-
garakan menjelang dimulainya suatu program pengajaran bahasa, untuk mengetahui
kemampuan dasar yang dimiliki seseorang untuk diikutsertakan di dalamnya.

2) Tes Kemampuan Bahasa


41

Tes kemampuan bahasa dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang


tingkat kemampuan menggunakan bahasa subjek didik pada suatu tahap tertentu, ada
atau tidak ada hubungannya dengan kepentingan tertentu. Tes ini dapat berupa tes
kemampuan menyimak, kemampuan berbicara, kemampuan membaca, ataupun
kemampuan menulis.

3) Tes Komponen Bahasa


Dalam kajian bahasa dengan pendekatan struktural, bahasa dipandang sebagai
sesuatu yang terdiri atas komponen-komponen yang dapat dipisah-pisahkan dan
dibeda-bedakan satu sama lain. Komponen-komponen itu meliputi bunyi bahasa,
kosakata, tata bahasa, dan ejaan (dalam bahasa Indonesia, sering ditambahkkan
komponen sastra).
Dalam pendekatan struktural, pengajaran bahasa berarti proses mengajarkan
penguasaan terhadap komponen-komponen; demikian juga dalam penyelenggaraan
tes bahasa. Oleh karena itu, dikenal adanya tes bunyi bahasa, tes kosakata, tes tata
bahasa (dan tes sastra).

j. Kriteria Pandangan terhadap Bahasa

1) Tes Bahasa Diskret


Tes bahasa diskret disusun berdasarkan asumsi bahwa bahasa terdiri atas
komponen-komponen yang dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain. Pada tes
bahasa, pendekatan diskret dapat ditemukan dalam bentuk tes yang dirancang khusus
untuk setiap komponen kebahasaan secara terpisah. Penerapannya secara ketat,
bahkan, dapat diartikan bahwa satu butir tes hanya digunakan untuk mengukur satu,
hanya satu, aspek bahasa atau kemampuan berbahasa. Satu butir tes menyimak pada
satu bunyi bahasa, misalnya, hanya menyangkut kemampuan membedakan bunyi
bahasa yang satu dari bunyi yang lainnya, atau kemampuan memahami arti satu kata
42

tanpa konteks kalimat. Dalam kenyataannya, tidak selalu mungkin (tepat) untuk me-
nerapkan pengertian itu secara ketat dan konsekuen.

2) Tes Bahasa Integratif


Tes bahasa integratif disusun atas dasar asumsi bahwa bahasa merupakan
penggabungan komponen-komponen kecil menjadi lebih besar dan atau dengan satu
atau lebih kemampuan berbahasa, sehingga terbentuk bahasa secara utuh.
Penggabungan itu dapat meliputi aspek-aspek kebahasaan, tergantung pada jenis dan
bentuk tesnya. Contoh, mengubah bentuk kalimat menjadi bentuk lain tidak saja
menuntut kemampuan tentang susunan kalimat sebagai bagian tata bahasa, tetapi juga
perlu penguasaan perubahan bentuk kata dan, bahkan, perubahan makna kata-
katanyya, berintegrasi satu sama lain. Tes memahami bacaan mempersyaratkan
pemahaman atas berbagai komponen kebahasaan, juga tentang organisasi bacaan,
struktur kalimat, dan kosakata. Semua itu berintegrasi dalam rangka memahami isi
bacaan.

3) Tes Bahasa Pragmatik


Dalam tes ini, titik berat pengukuran tidak terletak pada butir-butir atau peng-
gabungannya, tetapi menyadap kemampuan untuk memahami atau menggunakan
bahasa senyatanya serta kaitannya dengan seluruh konteks penggunaannya. Informasi
yang ingin diperoleh melalui tes pragmatik adalah tingkat kemampuan seseorang
dalam memahami dan menggunakan bahasa seperti yang ditemui pada penggunaan
bahasa senyatanya, yang selalu berupa suatu keseluruhan, termasuk adanya kendala.
Di situ tidak lagi ditemui bunyi bahasa, kata frasa, bahkan kalimat yang digunakan
secara terpisah, tanpa hubungan satu sama lain dalam suatu konteks.
Contohnya pada dikte dan tes cloze. Keberhasilan mengerjakan kedua jenis
tes itu mempersyaratkan penguasaan kemampuan berbahasa dan komponen bahasa
43

secara serentak, di samping pemahaman hubungan semua itu dengan konteks yang
melatarbelakanginya.

4) Tes Bahasa Komunikatif


Tes ini merupakan konsekuensi logis dari pengajaran bahasa dengan pende-
katan komunikatif. Penggunaan bahasa dalam konteks (ciri pragmatik) diberi tekanan
yang lebih kuat dan makna yang lebih jelas. Penambahan unsur atau penekanan pada
aspek komunikatif mempersyaratkan adanya kaitan yang jelas antara tes bahasa dan
aspek-aspek nyata dalam komunikasi sebenarnya.
Dalam komunikasi sebenarnya, terkait sejumlah aspek nyata yang perlu
diperhatikan, seperti bentuk komunikasi tertentu, yang terjadi di antara orang-orang
tertentu, yang memiliki bentuk hubungan tertentu, mengenai suatu hal tertentu, pada
suatu keadaan tertentu, dan dengan maksud dan tujuan tertentu.

4.3.6 Identifikasi Jenis Tes Bahasa


Satu bentuk tes bahasa mungkin saja memiliki ciri beberapa jenis tes bahasa
sekaligus, dan dengan demikian termasuk ke dalam beberapa jenis. Itu tidak meng-
herankan, karena uraian tentang ciri-ciri beberapa tes bahasa dan perbedaan yang satu
dengan yang lain dimaksudkan untuk menunjukkan adanya perbedaan tekanan dalam
tujuan penyusunan dan penggunaannya. Sepanjang ciri-ciri pokoknya terpenuhi, satu
jenis tes bahasa seperti tes seleksi, misalnya, mungkin sekaligus memiliki ciri-ciri tes
diagnostik, karena dari hasilnya dapat diperoleh informasi tentang hal-hal yang dapat
menunjukkan kesulitan belajar.
Satu jenis bahasa yang lain dapat saja merupakan tes membaca yang ditu-
angkan dalam bentuk tes objektif dan bersifat integratif; atau, tes menulis dituangkan
44

dalam bentuk tes esai dan bersifat komunikatif; atau, tes kemampuan membaca dibuat
oleh guru yang diberikan secara tertulis dalam bentuk esai (dengan demikian
termasuk tes subjektif) dan diberikan secara berkelompok. Disikapi dari butir-butir
soalnya, tes tersebut dapat saja merupakan tes bahasa integratif, bahkan mungkin
pragmatik atau komunikatif. Demikian seterusnya ….

4.3.7 Bentuk-bentuk Tes Bahasa


Terlepas dari adanya berbagai pendapat tentang hakikat bahasa dan pendekat-
an yang mendasari penyelenggaraannya, tes bahasa selalu diselenggarakan dengan
menggunakan bentuk-bentuk tertentu. Bentuk-bentuk itu dikaitkan dengan
komponen-komponen bahasa dan kemampuan berbahasa yang diutamakan dalam
penyelenggarannya. Bentuk itu dapat berupa salah satu dari bentuk-bentuk berikut:
(1) tes bunyi bahasa, (2) tes kosakata, (3) tes tata bahasa, (4) tes menyimak, (5) tes
membaca, (6) tes berbicara, dan (7) tes menulis. Di samping itu, ada (8) tes dikte, (9)
tes cloze, dan (10) tes C.

a. Tes Bunyi Bahasa


Tes bunyi bahasa lebih banyak berkaitan dengan B-2 daripada B-1 (penutur B-
1 dianggap sudah memiliki kemampuan berbahasa tingkat dasar yang cukup untuk
keperluan berkomunikasi sehari-hari, sehingga cukup mampu mengungkapkan diri
dalam B-1-nya, Jadi, subjek didik dianggap sudah menguasai bahasanya.
Tes bunyi bahasa meliputi bentuk-bentuk berikut ini:

(1) mengenal bunyi bahasa


(dilisankan beberapa kata, testi diminta menyebutkan kata yang mengandung
bunyi-bunyi tertentu))
(2) membedakan bunyi bahasa
45

(dilisankan beberapa pasangan kata, testi diminta menuliskan S pada pasangan


yang mengandung bunyi yang sama)
(3) melafalkan bunyi bahasa
(dituliskan berapa huruf, testi diminta melafalkan)
(4) melafalkan kata-kata
(dituliskan beberapa kata untuk dilafalkan testi)
(5) melafalkan pasangan kata
(dituliskan beberapa pasangan kata yang mirip untuk dilafalkan testi)
(6) melafalkan pasangan kata
(dituliskan pasangan kata berhomonim, testi diminta melafalkan)
(7) membaca teks
(testi diminta membaca teks)

b. Tes Kosakata
Tes kosakata dapat mengambil bentuk sebagai berikut:

(1) menunjukkan benda


(testi diminta benda-benda yang disebutkan oleh tester)
(2) meragakan
(testi diminta meragakan beberapa jenis tindakan atau perilaku)
(3) memberi padanan
(testi diminta memberikan padanan kata, dalam bahasa yang berbeda)
(4) memberi kata lain (sinonim)
(cukup jelas)
(5) memberi lawan kata (antonim)
(cukup jelas)
(6) menyebutkan kata
(testi diminta menyebutkan kata atau istilah yang deskripsinya diuraikan tester)
(7) melengkapi kalimat
46

(testi diminta melengkapi kalimat yang rumpang)

c. Tes Tata Bahasa


Tes tata bahasa meliputi tes pembentukan kata, pembentukan frasa, susunan
kata, dan pembentukan kalimat.

(1) tes pembentukan kata


a. menunjukkan kata asal (bentuk dasar)
(dihadapkan pada kata turunan, testi diminta menunjukkan bentuk dasarnya)
b. membentuk kata turunan (kata lepas)
(testi diminta menyebutkan derivasi kata asal tertentu)
c. menyesuaikan bentuk kata (dalam konteks kalimat)
(testi diminta memberi imbuhan pada bentuk kata asal agar sesuai dengan
kalimat)
(2) tes pembentukan frasa
a. menyusun kata kata menjadi frasa
(diberikan kata-kata yang diacak, testi diminta menyusunnya menjadi frasa)
b. melengkapi kata menjadi frasa
(dihadapkan pada kata, testi diminta melengkapinya menjadi frasa)
c. menyebutkan frasa
(testi diminta menyebutkan istilah dalam bentuk frasa yang deskripsinya
diuraikan tester)
d. menjelaskan makna frasa
(testi diminta mendeskripsikan istilah dalam bentuk frasa)
(3) tes susunan kata
(testi diminta membetulkan susunan kata sesuai dengan hukum DM dan MD)
(4) tes pembentukan kalimat
a. mengenal kalimat
(testi diminta menandai kalimat atau bukan pada beberapa rangkaian kata)
47

b. membuat kalimat
(diberikan beberapa kata bentuk dasar, testi diminta membuat kalimat)
c. menyusun kalimat
(testi diminta menyusun kalimat dari sejumlah kata yang diacak susunannya)
d. mengubah kalimat
(mengubah kalimat aktif – pasif, kalimat langsung – tidak langsung)

d. Tes Menyimak
Menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat pasif-reseptif, dalam
arti bahwa inisiatif komunikasi tidak datang dari diri penyimak, tetapi dari orang lain;
ia hanya menerima. Akan tetapi, dalam memahami secara utuh dan tepat, ia tidak
sepenuhnya pasif, tetapi aktif memproses secara linguistik sesuatu yang disimak.
Oleh karena itu, menyimak sesungguhnya bersifat aktif-reseptif. Pokok uji dalam
menyimak meliputi kegiatan menangkap bunyi-bunyi bahasa yang membentuk kata
dan kalimat, memahami makna kata dan kalimat, dan menyimpan ujaran tersebut
untuk direproduksi.
Tes menyimak meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:
(1) tes menyimak pertanyaan (frasa)
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menjawab pertanyaan dalam wujud
frasa)
(2) tes menjawab pertanyaan (kalimat)
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menjawab pertanyaan dalam wujud
kalimat)
(3) tes merumuskan inti wacana
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta merumuskan secara singkat intinya)
(4) tes menjawab pertanyaan (wacana)
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menjawab pertanyaan dalam wujud
wacana singkat)
(5) menceritakan kembali
48

(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menceritakan kembali isinya dengan


kata-kata sendiri)

f. Tes Membaca
Membaca bersifat pasif-reseptif karena pembaca hanya menerima, bukan
menyampaikan pesan tertulis. Akan tetapi, dalam memahami secara utuh dan tepat, ia
tidak sepenuhnya pasif, tetapi aktif secara linguistik memproses sesuatu yang dibaca.
Oleh sebab itu, membaca disebut juga bersifat aktif-reseptif. Pokok uji dalam
membaca meliputi kegiatan menangkap simbol-simbol grafonik yang membentuk
kata dan kalimat, memahami kata dalam konteks kalimat, dan memahami kalimat
dalam konteks wacana.
Tes membaca meliputi bentuk-bentuk seperti berikut:
(1) melengkapi wacana
(testi diminta melengkapi wacana rumpang)
(2) menjawab pertanyaan
(testi diminta menjawab pertanyaan bacaan)
(3) meringkas isi bacaan
(cukup jelas)
(4) menceritakan kembali isi bacaan
(testi diminta menceritakan kembali isi bacaan dengan menggunakan kata-kata
sendiri)

g. Tes Berbicara
Berbicara bersifat aktif-produktif, karena menuntut prakarsa nyata dalam
penggunaan bahasa untuk mengungkapkan diri secara lisan. Sebagai bagian kemam-
puan berbahasa aktif-produktif, kemampuan berbicara menuntut penguasaan terhadap
berbagai aspek dan kaidah penggunaan bahasa: lafal, kosakata, tata bahasa ditambah
isi dan makna pesan serta pemahaman terhadap lawan bicara.
49

Sesuai dengan bentuk pengajarannya, tes berbicara dapat bersifat terkendali


(isi dan jenis wacananya ditentukan atau dibatasi) dan bebas (tergantung pada ke-
inginan dan kreativitas pembicara).

(1) berbicara singkat


(testi diminta membuat wacana singkat yang mengungkapkan keadaan atau peris-
tiwa yang terjadi, seperti yang dilukiskan pada gambar yang ditunjukkan)

(2) menceritakan kembali


(dihadapkan pada suatu wacana, testi diminta menceritakan kembali isinya dalam
bahasa sendiri)
(3) berbicara bebas
(testi diminta memilih sebuah dari beberapa topik, menyusun pokok-pokok pikir-
an, kemudian menggunakannya untuk berbicara selama 7 – 10 menit)

h. Tes Menulis
Menulis bersifat aktif-produktif, karena merupakan usaha mengungkapkan
pikiran dan perasaan pemakai bahasa melalui bahasa tulis. Dibandingkan dengan
berbicara, menulis lebih banyak memiliki kesempatan untuk menyiapkan dan meng-
atur diri, baik dalam kaitannya dengan sesuatu yang akan diungkapkan maupun cara
pengungkapannya. Menulis mencakup pemahaman ejaan, tata bahasa, kosakata, dan
isi karangan ditambah dengan nada dan gaya penyampaian.
Tes menulis dapat diselenggarakan secara terbatas atau terkendali (dilakukan
dengan batasan tertentu, seperti masalah dan judul, waktu dan panjang tulisan, serta
gaya bahasa yang digunakan) dan secara bebas (menentukan sendiri sesuatu yang
akan ditulis, cara menyusun tulisan, dengan rambu-rambu yang ditetapkan secara
minimal).
Tes menulis dapat memilih bentuk seperti berikut:
50

(1) menceritakan gambar


(dihadapkan pada gambar sebagai patokan, testi diminta membuat karangan)
(2) membuat singkatan (ringkasan)
(setelah membaca dengan saksama, naskah dalam keadaan tertutup, testi diminta
membuat ringkasan isinya dengan bahasa sendiri sepanjang satu halaman atau 300
kata)

(3) menulis bebas


(testi diminta menulis sepanjang kira-kira dua halaman atau sekitar 600 kata me -
ngenai salah satu masalah yang disediakan untuk dipilih)

i. Tes Dikte

Dikte merupakan kegiatan melafalkan atau membacakan suatu wacana untuk


dituliskan oleh orang lain. Dalam pengajaran bahasa, dikte dapat diterapkan sebagai
salah satu bentuk pengajaran atau salah satu bentuk tes.
Secara tradisional, pada umumnya, dikte semata-mata dikaitkan dengan ke-
mampuan menyimak, yaitu memahami wacana lisan, bahkan kadang-kadang di-
anggap sebagai sekadar kemampuan dan ketajaman mendengarkan bunyi-bunyi
bahasa (ditambah ejaan) yang terdapat dalam suatu wacana yang dibacakan sebab
semua yang dibacakan itu harus dituliskan sama seperti teks yang dibaca, komplet
dengan tanda bacanya. Dalam pengajaran bahasa dewasa ini, dikte dipahami dan
disikapi secara lebih luas, tidak hanya menyimak dan mengeja. Kemampuan untuk
menuliskan sesuatu yang didiktekan meliputi jenis kemampuan berbahasa dan
komponen bahasa yang lebih luas dan beragam, yaitu menyimak dalam arti luas
(lengkap), dilanjutkan dengan menuliskan yang disimak dengan pemahaman.
Keberhasilan menuliskan secara tepat sesuatu yang didengar tergantung pada
kemampuan merangkai kata-kata menurut susunan tata bahasa yang benar. Demikian
51

juga dengan menuliskan kata-kata secara tepat memerlukan penguasaan ejaan


selengkapnya. Jadi, dikte mencakup kemampuan menyimak, menulis, kosakata, tata
bahasa, dan ejaan. Dengan demikian, dikte lebih mendekati sifat integratif, bahkan
pragmatik.
Tes dikte dapat diselenggarakan dalam bentuk seperti berikut:
(1) Dikte Standar
Dikte standar diselenggarakan secara konvensional, yaitu dengan teks lengkap
yang telah dipilih berdasarkan berbagai pertimbangan, seperti kesesuaiannya dengan
isi, panjang-pendeknya teks, jenis teks, dan kandungan kosakata serta istilahnya.
Prosedur pelaksanaannya adalah sebagai berikut: teks dibaca tiga kali: pertama,
pembacaan seluruh teks; kedua, pembacaan bagian demi bagian secara wajar
(masing-masing bagian diikuti jeda yang cukup); dan ketiga, kembali pembacaan
seluruh teks (untuk memberikan kesempatan mengoreksi bagi testi).
Contoh,
Dengarkan baik-baik teks bacaan berikut ini, yang mula-mula akan dibaca seluruh-
nya; kemudian, teks akan dibaca bagian demi bagian untuk Anda tuliskan. Pada
akhirnya, seluruh teks akan dibaca sekali lagi agar Anda dapat memeriksa pekerjaan
sebelum dikumpulkan.

(2) Dikte Sebagian


Pada hakikatnya, dikte sebagian ini merupakan gabungan antara dikte dan
cloze. Teks dibaca seluruhnya. Bedanya adalah bahwa sambil mendengarkan teks
yang dibacakan, testi memiliki teks tertulis yang sama dengan yang dibacakan, ke-
cuali untuk beberapa bagian yang telah dihilangkan (rumpang). Bagian-bagian yang
dihilangkan itulah yang harus didengarkan baik-baik dan dituliskan selengkapnya.
Bagian-bagian tersebut telah dipilih berdasarkan kriteria yang dianggap penting untuk
dijadikan bahan tes.
Contoh,
52

Simaklah teks yang dibacakan ini baik-baik. Teks yang dibacakan ini terdapat pada
lembaran yang telah dibagikan, kecuali beberapa bagian yang telah dihilangkan.
Tuliskanlah hanya bagian teks yang tidak terdapat pada lembaran itu!

j. Tes Cloze (Rumpang)

Seperti dikte, cloze terkait dengan berbagai aspek kemampuan berbahasa dan
komponen bahasa (memiliki ciri integratif dan pragmatik). Kemampuan mengerjakan
tes cloze mengandalkan kemampuan memahami wacana tulis yang meliputi dan
ditunjang oleh penguasaan tata bahasa, kosakata, dan tataran wacana secara umum.
Ciri pokoknya adalah proses memahami wacana yang disertai dengan melengkapi
kekurangan-kekurangan yang ada. Proses melengkapi kekurangan itu terjadi secara di
bawah sadar, sebagai bagian kemampuan berbahasa. Kekurangan yang harus
dilengkapi itu terdiri atas kata-kata yang merupakan bagian wacana, yang dengan
sengaja dihilangkan dari teks aslinya. Itulah sasaran tes cloze.
Penghilangban dilakukan secara sistematis, menggunakan rumus yang dikenal
sebagai penghilangan kata ke-n; maksudnya, penghilangan kata ke-sekian (seperti
ke-5, ke-6, atau ke-7) dari teks yang dipilih, sehingga meninggalkan tempat kosong.
Dengan demikian, pada teks yang digunakan tes terdapat sejumlah tempat kosong
secara ajeg, yaitu setiap kata ke-n.
Dalam pengerjaannya, testi harus berusaha menentukan kata yang hilang dan
memasukkannya kembali ke tempatnya yang sesuai sedemikian rupa sehingga teks
itu kembali utuh secara kebahasaan dan makna seperti teks aslinya. Untuk itu,
dibutuhkan kemampuan berbahasa yang bersifat menyeluruh, tidak semata-mata
penguasaan ejaan, penulisan, tata bahasa, kosakata, tetapi juga pemahaman terhadap
wacana secara keseluruhan dengan berbagai hubungan antarbagian yang ada di
dalamnya.
Semakin panjang teks yang digunakan, semakin banyak jumlah kata, semakin
banyak jumlah kata yang dapat dihilangkan, dan semakin jarang jarak penghilangan
53

katanya, semakin mudah soal itu. Semakin rapat jarak penghilangan, semakin banyak
kata yang hilang, semakin sulit tes itu. Jadi, tes cloze dengan jarak penghilangan kata
ke-5 lebih sulit daripada tes serupa dengan jarak penghilangan kata ke-9. Sementara
itu, jarak penghilangan yang lazim digunakan berkisar antara kata ke-7 dan ke-10,
dengan catatan, kalimat pertama dan terakhir teks tetap utuh untuk memberi
gambaran yang lebih utuh tentang latar belakang dan akhir isi teks.
Variasi terhadap format tes ini dapat dalam bentuk antara lain
(1) membiarkan huruf awal kata yang hilang dengan atau tanpa menunjukkan jumlah
hurufnya (seperti m…… untuk membina atau m…. untuk marah),
(2) memilih alternatif jawaban yang disediakan (cloze pilihan ganda), dan
(3) penghilangan kata secara selektif, tidak mengikuti rumus kata ke-n.
Pengeskoran atau penilaian yang paling baku dan konvensional dilakukan atas
dasar beberapa hal, yaitu
(1) kata yang tepat sama (hanya jawaban yang tepat sama dengan dalam teks asli
yang dinya-takan benar),
(2) kata yang hampir sama (sinonim), dan
(3) ketepatan kontekstual (sesuai dengan konteks secara keseluruhan).

k. Tes C
Tes C merupakan satu bentuk usaha pengembangan tes cloze, dimaksudkan
untuk menanggulangi kesulitan tes cloze. Seperti tes cloze, tes C ini menggunakan
wacana sebagai bahan tes. Bedanya adalah sebagai berikut: jika tes cloze mengguna-
kan wacana utuh yang panjang, tes C menggunakan beberapa teks wacana pendek. Di
samping itu, penghilangan kata ke-n pada tes cloze diganti dengan formula kaidah
serba dua pada tes C; maksudnya, bagian kedua dari setiap dua kata, dimulai dari
kata kedua pada kalimat kedua dihilangkan, dengan membiarkan kalimat pertama dan
terakhir tetap utuh. Yang dimaksud dengan bagian kata adalah huruf-huruf yang
membentuk kata, yang mungkin berjumlah genap atau ganjil. Bagian yang
dihilangkan adalah bagian yang lebih besar daripada bagian yang dipertahankan.
54

Contoh,
Kata kalimat, misalnya, akan menjadi ka….., paragraf menjadi pa…, dan wacana
menjadi wa….. Bagian yang dihilangkan diganti dengan ruang kosong atau dengan
tanda titik dalam jumlah yang sama dengan huruf yang dihilangkan.

DAFTAR BACAAN

Abied. 2010. Evaluasi, Pengukuran, Tes dan Penilaian. http://meetabied.wordpress.com.


Diunduh 9 Maret 2010.
Anas Sudijono, Prof. Drs.2009. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada.
Arikunto, Suharsimi. 2005. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan (Ed.Revisi). Jakarta:
Bumi Aksara.
Armaini. 2009. Hakikat Evaluasi Belajar. http://arm.blogspot.com/2009/10/hakikat-
evaluasi-belajar.html. Diunduh 9 Maret 2010.
Bahman, Lele F. 1990. Fundamental Consideration in Language Testing. Oxford:
Oxford University Press (Halaman 18-53)
Burhan Nurgiyantoro. Penilaian Pengajaran Bahasa dan Sastra. Yogyakarta.
Djiwandono, M Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB.
Djiwandono, M. Soenardi. 1996. Tes Bahasa dalam Pengajaran. Bandung: ITB.
Groundlund, Norman E.1995. Meassurement and Evaluation in Teaching. New York:
Macmilan Publishing Comp. (halaman 3-6)
Nurgiyantoro, Burhan. 2001. Penilaian dalam Pengajaran Bahasa dan Sastra.
Yogyakarta: BPFE
Nurkancana, Wayan dan PPN Sumartana. 1986. Evaluasi Pendidikan. Surabaya: PT
Usaha Nasional.
Parmini, Ni Putu. 2006. Analisis Tes Bahasa Indonesia Siswa Kelas I Sekolah

Menengah Atas Negeri Ubud Tahun 2004/2005 dari Segi Pendekatan

Komunikatif. Tesis (tidak diterbitkan). Program Pascasarjana.

Presiden RI. 2006. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003


tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bandung: Fermana Bandung.
Rafii, Suryatna. 1985. Teknik Evaluasi. Bandung: Angkasa Bandung.
Sudijono, Anas. 2006. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.
Sukardi, 2008. Evaluasi Pendidikan. Yogyakarta: Bumi Aksara.
55

Tayibnapis, Farida Yusuf. 2008. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk
Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahyuni, Sri. 2004. Modul Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Malang: Universitas Unisma.
Wakhinuddin, 2010. Evaluasi Hasil Belajar, Pengukuran (Measurement), Tes.
http://wakhinuddin.wordpress.com/category/evaluasi-hasil-belajar. Diakses,
21 April 2010.

Daftar Rujukan
Burns, P.C, Roe, B.D, dan Ross, E.P. 1996 Teaching Reading in Today’s Elementary
School. Boston Houghton Mifflin Company.

Cochran. 1993. Everything you Need to Know to Be A Successful Whole Language


Teacher. Nashville Incentive Publication, Inc.

Cox, C. 1999. Teaching Language Arts. Boston: Allyn dan Bacon.

Degeng, I. N. 2000. Paradigma baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan


Demokrasi. Makalah Seminar Regional di Universitas PGRI, Surabaya 19
April 2000.

Gruber, B. 1993. 100 % Practical : Strategies for Teacher. Torrance: Frank Schffer
Publication.

O’Malley. J. M. Pierce. L. V. 1996. Authentic Assessment for English Language


Leaner: Practical Approach for Teachers. Maddison-Wesley: Publishing
Company, Inc.

ASESMEN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA

Sistem evaluasi belajar dengan teknik tes baku konvensional yang selama ini
dilakukan guru-guru mengarahkan siswa pada penghafalan informasi faktual, seperti
tata bahasa dan bentuk kata dalam bahasa Indonesia. Teknik tes pilihan ganda, betul
salah, penjodohan dan jawaban pendek tidak bisa melihat kemajuan kemampuan
berbahasa Indonesia yang mencakup kemampuan membaca, menulis, menyimak dan
berbicara. Menurut Degeng (2000) praktik pembelajaran sekarang telah gagal, karena
tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana anak belajar.
56

Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan radikal revolusioner, yaitu dari cara
pandang pembelajaran secara behavioristik (tradisional) ke konstruktivistik.
Malley dan Pierce (1996) mengemukakan bahwa dalam praktik pembelajaran
dengan sudut pandang konstruktivistik, maka evaluasi belajar dengan teknik
konvensional yang berupa tes baku jelas tidak lagi mampu menggambarkan apa yang
seharusnya dievaluasi atau tingkat validitasnya rendah. Alternatif yang tepat untuk
mengevaluasi proses pembelajaran bahasa Indonesia yang menggunakan pendekatan
komunikatif adalah asesmen otentik.
Goodman (dalam Burns, 1996) menjelaskan karena asesmen terjadi selama
proses belajar mengajar, jenis asesmen ini merupakan suatu bahagian yang integral
dari kurikulum. Asesmen otentik tidak mengukur bahasa sebagai seperangkat
keterampilan yang terpenggal-penggal, asesmen otentik memperlakukan bahasa lisan
dan tertulis sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Asesmen tersebut terjadi
dalam konteks fungsional, belajar yang relevan. Evaluasi diri sendiri merupakan
aspek penting dalam asesmen. Siswa harus menyadari keberhasilan dan kemajuan
belajarnya sendiri.
Guru seharusnya memahami bahwa belajar merupakan proses holistik
konstruksi makna, siswa dengan aktif dibelajarkan dengan pengalaman menyimak,
berbicara, membaur dan menulis lintas kurikulum konteks kelas. Model belajar
seperti ini direfleksikan dalam asesmen otentik yang dilaksanakan secara terus
menerus dalam konsteks kelas serta mencakup informasi dari pengamatan guru,
catatan anekdot (anecdot record), check list, rating scale, pertemuan dengan siswa
dan hasil kerja siswa (seperti menulis, jurnal, laporan bacaan, portofolio dan proyek).
Asesmen otentik lebih mempercayai informasi yang dikumpulkan oleh siswa dan
guru selama kegiatan kelas yang reguler dari pada hanya hasil tes (paper and pencil
tests). Sedangkan menurut Wolf (1993:519) informasi yang paling berharga dan valid
tentang kemajuan belajar siswa tidak datang dari snapshot yang terpisah dan tidak
kontekstual tetapi berasal dari informasi yang berhasil dikumpulkan dari pekerjaan
siswa sehari-hari yang dilakukan dengan cermat.
57

TES STANDAR VERSUS ASESMEN OTENTIK


Tes standar didasarkan pada model kelompok behavioris yang
menggambarkan belajar sebagai suatu rangkaian keterampilan yang terpisah-pisah,
diajarkan, dikuasai kemudian diberikan tes. Tes pilihan ganda merefleksikan model
belajar ini. Tes pilihan ganda ini tidak dapat menunjukkan keterampilan apa yang
dirasakan sulit oleh siswa dan membuat perbandingan yang realibel pada kemampuan
seorang siswa dengan siswa yang lain. Tetapi jenis tes ini tidak bisa menjelaskan
kesalahan apa yang terjadi pada proses belajar.
Dalam asesmen otentik, evaluasi didasarkan pada kinerja siswa dari tugas
yang dipilih secara bebas dalam situasi kehidupan nyata. Tujuan asesmen otentik
ialah untuk menilai berbagai jenis kemampuan berbahasa yang berbeda-beda dalam
suati konteks. Penilaian kinerja berdasarkan asesmen mengukur kemampuan siswa
untuk menampilkan tingkah laku yang spesifik seperti tanggapan terhadap suatu
buku, ketika ditugaskan membuat tugas ini, yang sering dihubungkan dengan
asesmen kinerja. Asesmen kinerja merupakan pendidikan berdasarkan hasil belajar
yang mengarahkan hasil yang diharapkan dari siswa seperti menjadi pemikir
(thinker) yang komplek komunikator yang efektif serta pemroses informasi yang
terampil. Karena tes tradisional yang hanya mengukur ingatan atau pengenalan
informasi tidak cocok lagi untuk menilai hasil belajar siswa, asesmen kinerja lebih
cocok digunakan untuk menilai kemampuan siswa mengaplikasikan pengetahuan dan
keterampilan-keterampilan untuk kehidupan nyata (Marzano dalam Burns dkk, 1996).
Berikut ini dikemukakan perbandingan prinsip tes standar dengan asesmen
otentik.
Tabel 1. Perbedaan Tes Standar vs Asesmen Otentik
Tes Standar Asesmen otentik
 Informasi dikumpulkan dengan tes kertas  Informasi dikumpulkan oleh siswa dan
dan pensil. guru.
 Tes diberikan hanya secara periodik.  Observasi dilakukan setiap hari dan
 Tes diberikan pada suatu waktu tertentu berkelanjutan.
untuk menentukan evaluasi.  Digunakan berbagai sumber informasi.
58

 Masalah spesifik bisa diidentifikasi tetapi  Informasi dipertimbangkan dalam konteks


tidak dalam konteks. proses.
 Keterampilan merupakan fokus  Hasil kerja siswa (menulis, jurnal, tape)
dibandingkan proses yang digunakan. digunakan sebagai salah satu bentuk
 Bentuk tes yang digunakan mencakup asesmen.
pilihan ganda, betul/salah, penjodohan,  Kaya dengan deskripsi tentang kemajuan
pertanyaan dengan jawaban pendek. kemampuan siswa.
 Guru tidak membuat keputusan tentang tes  Guru dan siswa membuat keputusan
mana yang digunakan. tentang asesmen.
 Pelaksanaan tes mengganggu jadwal kelas.  Informasi dikumpulkan sebagai bahagian
dari jadwal kelas.
(Lihat Cox, 1999:39-40)
Asesmen otentik memberikan kesempatan kepada siswa mendemontrasikan
pemahamannya dan proses literacy dalam berbagai cara. Guru bisa menggunakan alat
ini untuk menunjang, memandu, dan memonitor belajar siswa.

ASESMEN OTENTIK DALAM PEMBELAJARAN BAHASA INDONESIA


Dengan memahami bagaimana seharusnya belajar bahasa Indonesia
mempunyai implikasi langsung terhadap penilaian. Jika siswa mengonstruk informasi
ketika mereka belajar dan mengaplikasikan belajar mereka dalam setting kelas,
penilaian yang dilakukan guru seharusnya memberikan kesempatan untuk
mengkonstruk tanggapan atau gagasan siswa dan untuk mengaplikasikan belajar
siswa yang mencerminkan kegiatan kelas mereka dengan cara yang otentik.
Terkait dengan asesmen otentik, Depdiknas (2003) mengemukakan bahwa
penilaian berbasis kelas (PBK) merupakan penilaian yang terintegrasi dalam kegiatan
belajar dan mengajar di kelas (berbasis kelas) melalui pengumpulan karya siswa
(portofolio), hasil karya (produk), penugasan (proyek), kinerja (performance) dan tes
tertulis (paper and pencil test).
Beberapa prinsip yang harus diperhatikan guru mencakup (1) valid, (2)
mendidik, (3) berorientasi pada kompetensi, (4) adil terbuka, (5) berkesinambungan,
(6) menyeluruh dan, (7) bermakna (Depdiknas, 2003).
Penilaian yang valid harus memberikan informasi yang akurat tentang hasil
belajar siswa. Di samping itu penilaian harus bersifat mendidik dengan memberikan
59

sumbangan yang positif terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian juga harus
berorientasi pada kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.
Penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar
belakang sosial-ekonomi, budaya dan jender. Yang juga perlu diperhatikan ialah
kriteria penampilan dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka untuk
semua pihak. PBK hendaknya juga dilakukan secara terus-menerus
(berkesinambungan) untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar
siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya.
Penilaian seharusnya juga dilaksanakan secara menyeluruh, dilakukan dengan
berbagai teknik dan prosedur termasuk pengumpulan berbagai bukti hasil belajar
siswa yang meliputi kognitif, keterampilan, dan afektif yang direfleksikan dengan
kebiasaan berpikir dan bertindak. Prinsip terakhir dari PBK ialah penilaian yang
bermakna. Yang dimaksud dengan bermakna ialah penilaian hendaknya mudah
dipahami, mempunyai arti berguna dan bisa ditindak lanjuti oleh semua pihak
(Depdiknas, 2003).
Pengajaran bahasa Indonesia yang utuh membutuhkan pengarahan yang lebih
luas, perlunya suatu penilaian yang menilai bagaimana kekompleksitasan belajar
siswa. Tujuan ini bisa dicapai dengan menggunakan kegiatan-kegiatan nyata yang
mencerminkan kegiatan tersebut dalam kelas.
Menjaga keseimbangan antara semua metode ini akan memberikan penilaian
(asesemen) lengkap tentang keberhasilan anak dalam program pembelajaran bahasa
yang utuh. Pada bagian berikut akan dibicarakan secara lebih rinci jenis penilaian
(asesmen).
Ada beberapa asesmen otentik yang bisa digunakan dalam Penilaian Berbasis
Kelas (PBK). Beberapa kemungkinan bisa digunakan sesuai dengan tujuan
khusus pembelajaran yang akan dinilai mengadaptasi pendekatan untuk
menemukan kebutuhan pembelajaran dan kebutuhan siswa. Tabel berikut
merupakan rincian jenis asesmen, pendeskripsian dan keuntungan dari masing-
masing jenis asesmen.
60

Tabel 2. Jenis Asesmen Otentik


Bentuk Deskripsi Keuntungan
Asesmen
 Wawancara  Guru bertanya tentang latar  Konteks informal dan santai
lisan belakang pribadi kegiatan-  Dilakukan pada hari yang
kegiatan, bacaan dan minat berurutan dengan setiap siswa.
siswa.
 Menceritaka  Siswa melaporkan secara lisan
n kembali  Siswa menceritakan kembali  Bisa diberi skor (angka) isi atau
teks atau gagasan pokok atau rincian teks komponen bahasa.
cerita yang dipilih dan yang dialami  Dinilai dengan rubrik atau skala
melalui menyimak dan rating.
membaca.  Bisa menentukan pemahaman
membaca, strategi dan
perkembangan bahasa.

 Siswa menghasilkan dokumen


 Contoh tertulis.
tulisan  Siswa mengimplementasikan  Bisa diberi skor (angka) isi atau
secara naratif, eksositori, komponen bahasa.
persuasif atau naskah referensi.  Dinilai (diberi angka) dengan
rubrik atau skala rating.

 Menyusun lingkungan kelas


 Menggunakan waktu yang
 Observasi  Guru mengobservasi perhatian singkat.
guru siswa, tanggapan terhadap bahan  Mencatat hasil pengamatan
61

pelajaran atau interaksi dengan dengan catatan kecil (anekdot).


siswa lain.
 Mengintegrasikan informasi dari
beberapa sumber.
 Difokuskan pada kolekasi
 Portofolio  Memberikan gambaran semua
pekerjaan siswa untuk
kinerja dan kemajuan belajar
menunjukkan kemajuan siswa
siswa.
dari hari ke hari.
 Komitmen dan keterlibatan
siswa tinggi.
 Membutuhkan penilaian dari
siswa itu sendiri.
(Diadopsi dari O’Malley & Pierce, 1996)

Wawancara
Wawancara lisan dimasudkan untuk mendapatkan informasi tentang sikap,
minat, dan kemajuan dalam membaca, (Burns dkk, 1996) mengemukakan beberapa
contoh pertanyaan wawancara seperti berikut.
- Sukakah kamu membaca. Mengapa ya dan mengapa tidak.
- Menurutmu apakah membaca penting. Mengapa ya dan mengapa tidak.
- Buku apa saja yang baru kamu baca. Apa yang kamu sukai dan tidak kamu
sukai dari buku tersebut.
- Apakah kamu seorang pembaca yang baik. Mengapa kamu berpikir
demikian.
- Apa yang kamu lakukan ketika menemukan masalah dalam memahami
bacaan.
Kegiatan mewawancara bisa dilakukan ketika mengadakan pertemuan
(konferensi) dengan siswa. Konferensi bisa dijadwalkan atau dilaksanakan dengan
spontan.

Menceritakan Kembali Cerita atau Teks


Menceritakan kembali, merupakan bentuk lain dari asesmen informal,
dilakukan ketika siswa ditugaskan menceritakan kembali cerita yang didengarnya.
Menceritakan kembali bisa juga dilakukan dengan menggunakan dalam bentuk teks
62

ekpositori dan bentuk karangan lain seperti biografi, dongeng, sehingga siswa bisa
memahami berbagai jenis teks (Johnson dalam Burns dkk, 1996). Mula-mula guru
mendorong siswa menceritakan kembali, tanpa menawarkan bantuan. Ketika melihat
siswa telah selesai, guru kemudian membantu siswa dengan memberikan pertanyaan
terbuka yang akan merangsang siswa bisa menceritakan kembali selanjutnya. Dengan
menyimak dengan hati-hati dan membuat catatan, guru akan lebih mengetahui
tentang pemahaman dan penghayatan siswa tentang suatu cerita.
Dalam kegiatan ini guru bisa memberi angka tentang yang dikemukakan
siswa dengan menggunakan format skala rating (rating scale). Dalam skala dituliskan
komponen penilaian menceritakan kembali cerita yang mencakup struktur cerita,
tanggapan tentang cerita, dan kemampuan berbahasa siswa.

Contoh-contoh Tulisan
Sebagai bagian dari pengajaran, siswa sering disuruh memberikan contoh
tulisan yang dibuatnya dengan tujuan yang berbeda-beda. Tugas menulis bisa berupa
tulisan ekspresif dan naratif (pengalaman pribadi, cerita atau puisi) ekspositori atau
tulisan informatif, menjelaskan atau mengklarifikasikan suatu konsep atau proses
(sering dari suatu mata pelajaran) laporan persuasif atau beberapa kombinasi dari
tujuan yang berbeda-beda (O’Malley & Pierce, 1996).

Observasi
Waktu bisa dapat dilakukan guru setiap hari untuk mengamati siswanya secara
informal, dan kemudian menulis catatan kecil tentang kegiatan yang dilakukan siswa.
Bentuk asesmen ini hendaknya merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan dan
diatur dalam program pembelajaran bahasa Indonesia.
Berdasarkan pada observasi informal yang dilakukan guru bisa memodifikasi
strategi pengajaran, mengklarifikasi penjelasan, memberikan bantuan secara individu,
menggunakan berbagai motivasi, menyesuaikan teknik pengelolaan kelas dan
menyediakan reinforcement bila diperlukan.
63

Asesmen dalam bentuk observasi tidak hanya menyimpan informasi tentang


siswa yang melakukan tugasnya dengan baik atau siswa yang mengalami kesulitan
saja, tetapi juga memberikan kesempatan kepada guru untuk mengamati program
pembelajaran bahasa Indonesia secara utuh. Catatan anekdot biasanya menyertai
kegiatan observasi. Catatan ini berisi catatan spesifik dalam kelas. Guru mencatat
informasi tentang peristiwa bahasa yang penting, waktu dan tempat, keterlibatan
siswa, apa penyebab insiden, apa yang terjadi dan implikasi yang memungkinkan.
Kemudian catatan-catatan disimpan siswa secara individu, kelompok atau untuk
seluruh kelas. Tujuan utama dari kegiatan observasi ialah terutama mengevaluasi
kemajuan, perencanaan pengajaran, dan menginformasikan kegiatan.
Agar proses asesmen bisa diatur, observasi secara individu bisa ditulis dalam
buku catatan guru. Observasi ini harus diberi tanggal dan diletakkan pada halaman
yang disediakan untuk setiap siswa.
Proses observasi informal jangan lebih lama dari 15 menit pada suatu waktu.
Observasi informal bisa disimpan pada waktu yang berbeda setiap hari sehingga
observasi dilakukan dari berbagai kegiatan. Kemudian dibuat catatan anekdot dalam
periode 5 sampai dengan 10 menit setiap beberapa hari. Pola-pola penting tentang
tanggapan siswa terhadap bahasa mulai muncul (Cochran, 1993).
Observasi juga bisa dilakukan dengan daftar ckeck list, seperti ceklis
pengamatan kemampuan membaca siswa seperti tabel berikut ini.

Tabel. 3 Daftar Cek (Check list) Kemahiraksaraan (literacy)


Nama Siswa : .......................................

Letakkan suatu cek (√) disamping setiap karateristik yang ditampilkan siswa.

Karakteristik Tanggal Tanggal


Tanggal
1. Menggunakan berbagai strategi membaca.
2. Mengekspresikan minat dalam membaca dan menulis.
3. Membaca dengan sukarela.
4. Menggunakan kata yang tepat dalam kalimat.
5. Menulis dengan koheren.
64

6. Membaca nyaring dengan lancar.


7. Mengekspresikan gagasan dengan baik secara lisan.
8. Menyimak dengan penuh perhatian.
9. Senang mendengarkan cerita
10. Menanyakan pertanyaan yang masuk akal.
11. Membuat prediksi yang masuk akal.
12. Menilai dan memonitor pekerjaannya sendiri.
13. Bekerja dengan baik secara mandiri.
14. Mengoreksi sendiri kesalahannya.
15. Menunjukkan keamanan menghadapi resiko.
Sumber : Burns, dkk, 1996

Tabel 4. Ceklis Membaca Nyaring


Nama Siswa : Tanggal

Letakkan cek (√) di samping setiap tingkah laku yang ditampilkan siswa.

1 Membaca dengan ekspresi dan intonasi yang sesuai.


. Membaca kelompok kata dan penggalan kalimat, bukan kata per kata.
2 Berhenti sejenak dengan koma.
. Tanggap pada titik, tanda tanya dan tanda seru.
3 Mengubah nada suara untuk mengidentifikasikan pembicara yang berbeda
. jika membaca dialog.
4 Melafalkan bunyi dengan tepat.
. Membaca kata dengan benar.
5 Tidak mengulang kata-kata.
. Terlihat senang membaca nyaring.
Membaca dengan kecepatan yang tepat.
6
.
7
.
8
.
9
.
1
0
.
Sumber : Burns, dkk, 1996

Portofolio
Portofolio berisi kumpulan tugas siswa yang mengilustrasikan dengan benar
hasil belajar siswa. Tujuan portofolio ialah untuk memperlihatkan kemajuan siswa
dari tahun ke tahun serta memberikan format penilaian untuk diperlihatkan kepada
65

orang tua dan guru, juga siswa. Portofolio merupakan folder yang berisi contoh
pekerjaan siswa. Umumnya contoh pekerjaan dipilih oleh siswa atau guru dengan
siswa yang menggambarkan hasil belajar siswa.
Portofolio sebaiknya dibagikan kepada orang tua pada waktu ada pertemuan
dengan orang tua. Portofolio tersebut direview oleh siswa dan guru sepanjang tahun.
Kemudian portofolio hendaknya dibawa ke kelas berikutnya (kelas yang lebih tinggi).
Menurut Gruber (1993) beberapa guru mengirim portofolio siswa ke rumah
setiap 8 atau 10 minggu disertai surat yang berisi informasi untuk orang tua tentang
kemajuan belajar anak mereka. Sesudah orang tua membaca dengan teliti, orang tua
diharapkan memberikan tanggapan, mungkin berupa informasi tambahan tentang
anak mereka atau berupa saran untuk anak atau guru itu sendiri. Portofolio kemudian
harus dikembalikan ke sekolah.
Lebih lanjut Cochran (1993) menjelaskan portofolio hendaknya diatur
sehingga kegiatan ini tidak membuat guru maupun siswa tertekan. Guru mengarahkan
siswa memilih tugas yang menurut mereka bagus untuk dimasukkan ke dalam folder.
Contoh-contoh mata pelajaran hendaknya diletakkan dalam portofolio sekali setiap 3
atau 4 minggu. Namun, siswa hendaknya diberi kebebasan menambahkan tugas
khususnya jika dia menginginkannya. Catatan guru tentang kemajuan belajar siswa
sebaiknya disimpan oleh guru dalam portofolio yang terpisah.
Portofolio bisa dikumpulkan dalam satu file atau folder dengan sistematis.
Portofolio mungkin lebih efektif disimpan dalam dua atau tiga folder yang berisi hasil
kerja yang berbeda. Menurut Cochran (1993) folder bisa berisi (1) contoh tugas
matematik, laporan observasi dan seterusnya, (2) kaset audio tentang membaca
nyaring siswa, (3) menulis jurnal, buku yang telah dibaca siswa (reading logs),
proyek tematik dan lain-lain, (4) catatan anekdot yang dikumpulkan guru dan (5)
asesmen informal. Gruber, selain yang dikemukan Cochran (1993) menambahkan isi
folder yaitu (1) nilai tes, (2) evaluasi dari siswa itu sendiri, yang bisa dilakukan setiap
akhir bulan atau setiap triwulan.
66

Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam menggunakan


portofolio. Menurut Farr dan Tone (dalam Burns, dkk, 1996) sebaiknya guru jangan
memberikan grade atau angka pada portofolio siswa. De fine (dalam Burns, dkk,
1996) menjelaskan portofolio hendaknya (1) memperlihatkan yang dipelajari siswa
dengan mengembangkan kriteria untuk menilai kerja siswa itu sendiri, (2)
menghubungkannya dengan kemungkinan mempelajarinya kembali yang sesuai
dengan kehidupan nyata yang merefleksikan berpikir siswa dari hari ke hari, (3)
menawarkan petunjuk untuk menyusun tujuan individu siswa, serta (4)
memungkinkan guru menilai praktik guru dan kurikulum.
Disamping jenis asesmen otentik yang dikemukakan oleh O’Malley dan
Pierce (1996), Gruber (1993), Cochran (1993) dan Cox (1999) menambahkan jenis
asesmen yang bisa digunakan yaitu konferensi, penilaian yang dilakukan oleh siswa
itu sendiri (self assesment) dan rubrik.
Konferensi (pertemuan) dengan siswa bisa dijadwalkan setiap hari. Guru bisa
mengadakan pertemuan dalam berbagai cara, misalnya (1) berbicara dengan siswa
ketika mengamati siswa menulis dan memberikan saran secara langsung tentang
ejaan atau struktur kalimatnya, sedangkan siswa yang lain tetap meneruskan
tulisannya, (2) pertemuan dengan beberapa orang siswa untuk membicarakan
kemajuan membacanya, pertemuan dengan kelompok-kelompok siswa, dan (3)
pertemuan yang dijadwalkan untuk keperluan tertentu, misalnya kegiatan remedial.
Pertemuan dengan siswa hendaknya jangan diadakan untuk mengintimidasi
siswa. Pertemuan hanyalah waktu bagi guru untuk berinteraksi dengan siswa untuk
memperoleh pandangan yang lebih baik tentang kemajuan berbahasa Indonesia siswa
secara individu. Catatan anekdot bisa digunakan selama pertemuan ini (Cochran,
1993). Pertemuan membantu guru menilai tanggapan individu siswa atau kolektif
dalam proses belajar bahasa secara utuh.
Asesmen hendaknya membawa siswa mengembangkan kemampuan untuk
menilai prestasi mereka sendiri, menyusun tujuan siswa itu sendiri, memutuskan
67

bagaimana mencapai tujuan tersebut dan menilai kemajuan dalam menemukan tujuan
dalam rangka rasa memiliki dalam proses asesmen.
Menurut Burns, dkk (1996) dengan berbagi tape recorder dari membaca
nyaring, kartu catatan guru dan check list, guru bisa membantu siswa menyadari
kelebihan mereka dan cara yang mungkin untuk meningkatkannya. Melalui
wawancara guru bisa membantu siswa memusatkan perhatiannya pada kemajuan
mereka sendiri dengan menanyakan “Bagaimana kamu meningkatkan kemampuan
membacamu bulan lalu ?”, dan “Apa tujuan yang kamu sukai untuk menyusun sendiri
dalam membaca dan menulis?”

Rubrik (Rubrics)
Rubrik menyediakan kriteria untuk menggambarkan kinerja siswa pada
tingkat kemampuan pada mata pelajaran yang berbeda. Siswa menerima nilai yang
berupa angka yang menggambarkan tentang mutu pekerjaan dari yang paling rendah
sampai yang tertinggi tergantung pada jenis respon yang diberikan siswa.
Suatu rubrik yang dikonstruksi dengan baik akan memudahkan untuk
mengetahui yang diharapkan dari mereka dan membantu guru memberikan nilai hasil
kerja siswa dengan mudah. Batzle (dalam Burns dkk, 1996) mengemukakan ketika
mengonstruksi rubrik, guru mungkin mengajak siswa mendiskusikan kriteria
sehubungan dengan seluruh cakupan bentuk asesmen. Kemudian siswa menerima
angka (grade) yang mungkin lebih dipahami siswa karena mereka bisa merujuk pada
kriteria sebagai pengganti dari hanya mendapat angka atau huruf atau angka tanpa
penjelasan. Berikut diberikan beberapa contoh rubrik.
68

Tabel 5. Penskoran Rubrik Tanggapan Terhadap Karya Satra.


Tingkat Penilaian Deskripsi Pencapaian
Istimewa  Menggambarkan sebagian besar unsur-unsur cerita (setting awal,
(5) tengah cerita dan akhir cerita) melalui bahasa lisan atau tertulis atau
gambar-gambar.
 Menanggapi cerita secara pribadi.
 Menyediakan deskripsi cerita dengan akurat dan rinci.
 Mengembangkan kriteria untuk menilai cerita.
Baik  Menggambarkan sebagian besar unsur-unsur cerita melalui bahasa
(4) lisan atau tertulis atau gambar-gambar.
 Menanggapi cerita secara pribadi.
 Menyediakan deskripsi cerita dengan akurat dan rinci.
 Menganalisis sesuatu tentang cerita (plot, setting pelaku dan
ilustrasi-ilustrasi).
Memuaskan  Menggambarkan beberapa unsur cerita melalui bahasa lisan atau
(3) tertulis atau gambar-gambar.
 Membuat tanggapan pribadi secara terbatas tentang cerita.
 Memberikan deskripsi yang akurat tentang cerita.
 Menjelaskan mengapa dia menyukai atau tidak menyukai cerita.
Butuh Perbaikan  Menggambarkan sedikit unsur cerita melalui lisan tertulis atau
(2) gambar-gambar.
 Tidak ada tanggapan atau tanggapan pribadi yang sangat terbatas
terhadap cerita.
 Kurang menyediakan deskripsi cerita yang akurat.
 Menentukan yang tidak disukai atau disukai dari cerita.
Sumber : Burns, dkk, 1996
Tabel 5 mendeskripsikan penilaian rubrik terhadap kemampuan siswa
menanggapi suatu cerita yang dikategorikan pada kemampuan membaca siswa.
Tabel 6 berikut ini mendeskripsikan penyekoran rubrik untuk menulis.
Tabel 6. Penyekoran Rubrik untuk Menulis
Sk Susunan Gaya Formasi Kalimat Penggunaan Penggunaan
or Bahasa EYD
4 Menfokusk Pemilihan Urutan kata baku, Penggunaan Penggunaan
an pada kosa kata, tidak ada kalimat imbuhan sudah huruf kapital
gagasan kalimat yang yang tak habis- betul, penggunaan dengan efektif,
pokok bervariasi, habisnya (run- sebjek dan tanda baca, serta
dengan informasi on), kelengkapan predikat dengan format paragraf
suatu teks dan bentuk kalimat tidak ada baik, makna kata yang efektif
yang yang kalimat fragmen yang baku
diorganisasi mempengaru dan transisi yang
kandan hi pembaca. efektif
dielaborasi
3 Tidak selalu Pemilihan Umumnya urutan Umumnya Umumnya
berfokus kosa kata tidak baku, penggunaan penggunaan
69

pada kurang tepat beberapa kalimat imbuhan, aturan huruf besar,


gagasan dan yang subjek dan tanda baca
pokok, informasi berketerusan prediket dan efektif tidak
tidak selalu yang dipilih (run-on) atau makna kata sudah mengurangi
dielaborasi kurang kalimat fragmen. baku. makna.
dan bermakna
beberapa
penyimpan
gan.
2 Gagasan Kosa kata Beberapa urutan Beberapa Beberapa
tidak dasar, kata tidak baku, kesalahan dengan kesalahan
terfokus memilih membuat kalimat imbuhan, aturan dengan ejaan
atau lebih tanpa tujuan panjang tanpa ada subjek dan dan tanda baca
dari satu mendasar ujung pangkalnya predikat dan yang
gagasan, dan tidak dan penghilangan makna kata. mengurangi
elaborarasi konsisten. kata (misalnya maksud.
kurang predikat).
lengkap dan
banyak
penyimpan
gan
1 Gagasan Tidak Sering urutan Tidak konsisten Kesalahan ejaan
tidak jelas, terkontrol kata tidak baku dalam bahkan kata
sedikit atau terputus- dan penghilangan menggunakan sederhananya,
tidak ada putus. kata kalimat kata. sedikit
elaborasi, panjang tanpa membentuk
banyak akhir. fakta.
penyimpan
gan.
Sumber : Burns, dkk, 1996

Dalam menentukan bagaimana menggunakan hasil asesmen untuk


meningkatkan pembelajaran, guru hendaknya membuat suatu perkiraan (hypothese)
apa kebutuhan siswa dan mengecek dari berbagai sumber informasi sampai guru
mengidentifikasi, kombinasi yang paling menguntungkan dari topik, setting serta
konteks untuk siswa. Sebagai pengamat, guru seharusnya mencatat apa yang
dikatakan siswa tentang membaca dan menulis serta bagaimana mereka
menggunakan kemahirwacanaan (literacy) dalam tugas yang jelas (othentic) atau
yang tidak sering membaca, membutuhkan pengamatan yang lebih cermat, guru perlu
mencoba memahami setiap siswa dengan merencanakan, mengajarkan, mengamati
dan merefleksikan serta berbicara dengan siswa bagaimana pandangan mereka
tentang membaca dan menulis.
70

Asesmen tentang menulis mencakup hakikat peranan penulis dan petunjuk


yang mutakhir tentang pembelajaran menulis mencakup proses menulis dan menulis
lintas kurikulum. Menulis disajikan sebagai suatu proses yang harus dipahami dan
diaplikasikan dari pada hanya sebagai satu produk untuk dievaluasi. Menurut
O’Malley (1996), guru mendeskripsikan tujuan dan jenis menulis yang berbeda,
pendekatan merancang tugas-tugas menulis dan berbagai jenis penyekoran rubrik.
Pendekatan dari penilaian hendaknya lebih difokuskan pada umpanbalik dari siswa,
melalui kebiasaan-kebiasaan dengan penyekoran rubrik, penilaian sendiri dan
penilaian dari teman sendiri.

Daftar Rujukan
Burns, P.C, Roe, B.D, dan Ross, E.P. 1996 Teaching Reading in Today’s Elementary
School. Boston Houghton Mifflin Company.

Cochran. 1993. Everything you Need to Know to Be A Successful Whole Language


Teacher. Nashville Incentive Publication, Inc.

Cox, C. 1999. Teaching Language Arts. Boston: Allyn dan Bacon.

Degeng, I. N. 2000. Paradigma baru Pendidikan Memasuki Era Desentralisasi dan


Demokrasi. Makalah Seminar Regional di Universitas PGRI, Surabaya 19
April 2000.

Gruber, B. 1993. 100 % Practical : Strategies for Teacher. Torrance: Frank Schffer
Publication.

O’Malley. J. M. Pierce. L. V. 1996. Authentic Assessment for English Language


Leaner: Practical Approach for Teachers. Maddison-Wesley: Publishing
Company, Inc.
71

Anda mungkin juga menyukai