menjadi lebih baik dari keadaan sebelumnya karena adanya situasi perbaikan.
Pendapat tersebut mengandung pengertian bahwa evaluasi akan memberikan data
masukan yang dapat dijadikan dasar perbaikan dari kondisi yang sudah ada.
Selanjutnya, dalam dunia pendidikan khususnya pembelajaran, evaluasi
adalah suatu kegiatan terencana, sistematik, dan terarah berdasarkan atas tujuan yang
jelas; untuk mengetahui keadaan dan hasil pembelajaran dengan menggunakan alat
ukur dan hasilnya dibandingkan dengan kriteria norma untuk memperoleh keputusan-
keputusan atau simpulan-simpulan (Wahyuni, 2004:10). Dengan demikian, evaluasi
sebagai suatu aktivitas mengandung beberapa konsep mendasar, antara lain:
a) kegiatan evaluasi merupakan suatu proses atau prosedur;
b) evaluasi bersifat sistematis dan integral dalam kegiatan belajar-mengajar;
c) evaluasi bertujuan mengumpulkan informasi tentang tingkat pencapaian siswa
terhadap tujuan pembelajaran;
d) evaluasi meliputi tiga unsur utama, yakni: pengukuran, tes, dan penilaian;
e) evaluasi dilaksanakan berdasarkan prinsip kontinuitas, multiteknis,
menyeluruh/berimbang, objektif, dan kooperatif;
f) evaluasi mempunyai beberapa persyaratan, yakni tepercaya, sahih, praktis,
representatif, dan seimbang;
g) evaluasi berfungsi secara instruksional, administratif, dan bimbingan.
Evaluasi dalam pembelajaran adalah bagian integral dari komponen
pembelajaran. Bagi program pembelajaran secara menyeluruh, hasil evaluasi dapat
digunakan untuk memperbaiki dan meningkatkan efektivitas program pembelajaran.
Hubungan antar komponen evaluasi dengan komponen pembelajaran lain tampak
pada bagan yang disampaikan Hasan (1993:10) di bawah ini.
1) Pengukuran
4
4) Penilaian
Penilaian berarti proses mengetahui, memperoleh, atau memberi nilai
sesuatu. Abied (2010) menyatakan bahwa penilaian (assessment) adalah penerapan
berbagai cara dan penggunaan beragam alat untuk memperoleh informasi tentang
sejauh mana hasil belajar peserta didik atau ketercapaian kompetensi (rangkaian
kemampuan) peserta didik. Secara khusus, dalam konteks pembelajaran di kelas,
penilaian dilakukan untuk mengetahui kemajuan dan hasil belajar peserta didik,
mendiagnosa kesulitan belajar, memberikan umpan balik atau perbaikan proses
belajar-mengajar, dan penentuan kenaikan kelas. Melalui penilaian dapat diperoleh
informasi yang akurat tentang penyelenggaraan pembelajaran dan keberhasilan
belajar peserta didik, kinerja guru, serta proses pembelajaran itu sendiri. Berdasarkan
informasi itu, dapat dibuat keputusan tentang pembelajaran, kesulitan peserta didik,
dan upaya bimbingan yang diperlukan, hambatan guru, serta keberadaan kurikulum
itu yang menjadi pedoman pelaksanaan pembelajaran.
Selanjutnya, Arikunto (2005:3) menyatakan bahwa menilai adalah mengambil
keputusan terhadap sesuatu dengan ukuran baik atau buruk. Hal itu dipertegas oleh
Sudijono (2006) yang menyatakan bahwa menilai mengandung arti, yaitu mengambil
keputusan terhadap sesuatu berdasarkan pada ukuran baik atau buruk. Nurkancana
(1986:2) menyatakan bahwa penilaian akan memberikan jawaban terhadap
pertanyaan what value. Penilain bersifat kualitatif. Hasil penilaian berupa keputusan-
keputusan atau pernyataan-pernyataan seperti baik, cukup, kurang yang biasanya
dinyatakan dengan kategori A, B, C, dan seterusnya, atau naik-tidak naik, lulus-tidak
lulus.
Evaluasi
Pemberian Nilai
Penghakiman
8
dirumuskan secara berjenjang, mulai dari jenjang yang operasional yang dikenal
dengan tujuan instruksional (pengajaran) khusus sampai tujuan yang dibebankan
kepada lembaga (sekolah) yang bersifat umum dan abstrak. Ketercapaian tujuan
tersebut dapat diketahui melalui kegiatan evaluasi.
2) Evaluasi bertujuan untuk memberikan objektivitas pengamatan kita terhadap
tingkah laku hasil belajar siswa. Dengan mendasarkan diri pada prinsip penilaian
proses, penilaian terhadap siswa akan dilakukan secara berkesinambungan selama
berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, yang antara lain dilakukan dengan
pengamatan. Akan tetapi, pengamatan saja tidaklah cukup. Kegiatan pengamatan
tersebut perlu didukung oleh kegiatan pengukuran agar hasilnya lebih bersifat
objektif.
3) Evaluasi bertujuan mengetahui kemampuan siswa dalam bidang-bidang atau
topik-topik tertentu. Sama halnya dengan guru yang tidak mungkin mengukur
semua kemampuan siswa, siswa pun tidak mungkin mendemonstrasikan semua
kemampuan hasil belajarnya. Oleh karena itu, pengukuran hanya dilakukan pada
hal-hal tertentu yang dianggap dapat mencerminkan kemampuan siswa.
4) Evaluasi bertujuan untuk menentukan layak tidaknya seorang siswa dinaikkan ke
tingkat di atasnya atau dinyatakan lulus dari tingkat pendidikan yang
ditempuhnya. Pertimbangan dan pemberian keputusan naik atau tidak naik, lulus
atau tidak lulus akan selalu mendasarkan diri pada informasi hasil pengukuran
terhadap hasil belajar siswa.
5) Evaluasi bertujuan untuk memberikan umpan balik bagi kegiatan belajar
mengajar yang dilakukan. Penilaian yang dilakukan sewaktu kegiatan pengajaran
masih berlangsung dan penilaian yang dikenal sebagai tes formatif, hasilnya dapat
dipergunakan untuk mempertimbangkan apakah suatu bahan pelajaran dapat
diteruskan atau perlu diulang.
Evaluasi dalam pengajaran memiliki ciri-ciri tertentu. Ciri-ciri yang
dikemukakan oleh (Wahyuni, 2004:13-14) adalah (1) evaluasi dilakukan secara tidak
langsung, (2) evaluasi dilakukan dengan ukuran kuantitatif, (3) evaluasi dilakukan
10
dengan menggunakan unit satuan yang tetap, (4) evaluasi bersifat relatif, dan (5)
evaluasi tidak mungkin terhindar dari kesalahan. Berikut pemaparan masing-masing
ciri tersebut secara singkat.
1) Evaluasi dilakukan secara tidak langsung
Artinya, objek evaluasi adalah peserta didik yang tidak dilihat dari sosok fisiknya
seperti berat badan dan tinggi badannya, melainkan dilihat dari aspek
psikologisnya seperti sikap, minat, bakat, dan hasil belajarnya.
2) Evaluasi dilakukan dengan ukuran kuantitatif
Artinya, evaluasi dimulai dari pengukuran dengan menggunakan satuan-satuan
secara kuantitatif yang dipergunakan untuk mendapatkan hasil pengukuran yang
objektif. Setelah itu dapat diolah dan ditafsirkan ke dalam satuan kualitatif.
3) Evaluasi dilakukan dengan menggunakan unit satuan yang tetap
Artinya, objek evaluasi hendaknya menggunakan satuan yang tetap untuk
memperoleh hasil evaluasi yang memiliki nilai ajeg dan prediksinya menjadi
lebih tinggi.
4) Evaluasi bersifat relatif
Artinya, meskipun hasil evaluasi sudah menggunakan satuan yang tetap, hasilnya
tidaklah selalu sama dari waktu ke waktu. Hal ini disebabkan hasil penilaian tidak
semata-mata ditentukan oleh alat ukur yang valid, tetapi juga dipengaruhi oleh
keadaan objek dan lingkungan yang mempengaruhi pelaksanaan pendidikan.
5) Evaluasi tidak mungkin terhindar dari kesalahan
Kesalahan tersebut dapat diakibatkan oleh alat ukur yang kurang valid, sikap
subjektif, kesalahan perhitungan, keadaan fisik dan psikis testee, dan situasi
tempat pelaksanaan evaluasi itu dilakukan.
Yang penting diperhatikan dalam evaluasi hasil pengajaran adalah keluaran
hasil belajar atau perubahan perilaku yang hendak dicapai. Menurut Gagne bahwa
kompetensi dan kapabilitas sebagai bukti nyata hasil belajar dapat dibedakan atas
lima kategori, yaitu keterampilan intelektual, strategi kognitif, informasi verbal,
keterampilan motorik, dan sikap (Nugiayantoro,1988:22). Keterampilan intelektual
11
a. Bagi guru
Evaluasi pembelajaran sangat berfungsi atau bermanfaat bagi guru. Manfaat
tersebut di antaranya adalah sebagai berikut:
1) mengetahui kemajuan belajar peserta didik,
2) mengetahui kedudukan masing-masing individu peserta didik dalam
kelompoknya,
3) sebagai suatu cara untuk mengadakan seleksi terhadap siswanya,
4) mengetahui kelemahan-kelemahan cara mengajar dalam proses belajar
mengajar,
5) memperbaiki proses belajar mengajar,
6) mengetahui kesulitan masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh siswa
dalam proses/kegiatan belajarnya (berfungsi diagnostik), dan
7) menentukan kelulusan peserta didik.
b. Bagi peserta didik (siswa)
Evaluasi pembelajaran juga bermanfaat bagi siswa. Manfaat tersebut di antaranya
adalah sebagai berikut:
1) mengetahui kemampuan dan hasil belajarnya,
2) memperbaiki cara belajar, dan
3) menumbuhkan motivasi belajar.
c. Bagi sekolah
Manfaat evaluasi pembelajaran bagi sekolah adalah sebagai berikut:
(1) mengukur mutu hasil pendidikan dan pembelajaran,
15
pelaksanaan tes tersebut tidak membutuhkan ongkos atau biaya yang mahal, tenaga
yang banyak, dan waktu yang lama. Arikunto (2005:53) menjelaskan bahwa dalam
mengerjakan tes sangat tergantung dari petunjuk yang diberikan, misalnya: mencoret
jawaban yang salah, melakukan tugas atau suruhan, menjawab secara lisan,
memberikan tanda silang atau melingkari salah satu huruf di depan pilihan jawaban,
menerangkan, dan sebagainya.
76-85 8 Baik
66-75 7 Cukup
56-65 6 Sedang
46-55 5 Hampir Sedang
36-45 4 Kurang
26-35 3 Kurang sekali
16-25 2 Buruk
0-15 1 Buruk sekali
Jika patokan terendah adalah skor 6 atau nilai sedang, maka pebelajar yang
belum mencapai hasil tersebut dipandang belum mencapai tujuan pembelajaran.
Pebelajar dalam kategori tersebut belum berhasil.
Siswa yang tergolong pandai pada suatu kelompok bisa jadi mendapat nilai lebih
rendah daripada siswa yang tergolong tidak terlalu pandai pada kelompok lain karena
mereka berada pada kelompok dan standar yang berbeda.
5. Uji kompetensi
1) Jelaskan secara singkat hakikat tes sebagai alat evaluasi!
2) Jelaskan dengan contoh cara penafsiran hasil evaluasi berdasarkan Penilaian
Acuan Patokan (PAP)!
3) Jelaskan cara menafsirkan hasil evaluasi Penilaian Acuan Norma (PAN)!
4) Jelaskan kelebihan dan kelemahan penafsiran hasil evaluasi berdasarkan PAP
dan PAN!
pesan, termasuk menafsirkan dan menilai, serta mampu mengekspresikan diri dengan
bahasa sehingga siswa mempertajam kepekaan dan perasaan, dan ditingkatkan
kemampuan berpikir bernalarnya.
Untuk mencapai tujuan pengajaran bahasa Indonesia sebagaimana yang
dituntut kurikulum 2004, pengajaran bahasa Indonesia yang dikehendaki adalah
pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif. Johnson (1981:19)
mengatakan bahwa pengajaran bahasa berdasarkan pendekatan komunikatif adalah
pengajaran bahasa yang bertujuan memberikan kompetensi komunikatif kepada si
belajar. Yalden (1987:20) menjelaskan bahwa kompetensi komunikasi merupakan
kumpulan kemampuan penggunaan bahasa yang meliputi (1) kompetensi linguistik,
(2) kompetensi sosiolinguistik, (3) kompetensi kewacanaan, dan (4) kompetensi
strategi.
Seorang yang belajar bahasa telah dapat dikatakan memiliki kompetensi
komunikatif apabila ia memiliki kemampuan dasar gramatika yang memadai dan
kepekaan kontekstual yang tinggi sehingga mampu memilih variasi-variasi bahasa
sesuai dengan konteks sosiokulturalnya dan dapat mengungkapkan secara tepat dalam
bentuk tuturan yang konkret (Lanzom, 1986:1) Hal serupa disampaikan Hymes
(19720, River (1973), Paultson (1974) yang menyatakan bahwa kompetensi
komunikatif yang sangat penting diperhatikan dalam pengajaran bahasa senyatanya
penekanannya pada kegramatikalan dan ketepatan konteks (Suyono, 1998:4) Dalam
kaitan ini, ada benarnya yang disampaikan Nugiyantoro (1995) bahwa dalam
pembelajaran bahasa komunikatif kompetensi bahasa berupa struktur tata bahasa dan
kosakata masih sangat dibutuhkan dalam tindak berbahasa. Pentingnya kompetensi
gramatikal juga tersirat pada ungkapan Canale (1984:6) yang menyatakan bahwa
kompetensi berkaitan dengan kode bahasa, baik verbal maupun nonverbal. Kode
bahasa yang dimaksud meliputi ciri-ciri dan kaidah-kaidah bahasa seperti kosakata,
formasi kata, formasi kalimat, pelafalan, ejaan, dan makna bahasa. Kompetensi ini
sangat diperlukan untuk memahami dan mengekspresikan secara akurat wacana
lateral.
24
berbahasa, termasuk dalam kaitannya dengan tes bahasa. Yang jelas, pengetahuan
bahasa atau kompetensi bahasa (bersifat abstrak, tidak terdengar, tidak terlihat,
disebut komponen bahasa) selalu ada di belakang atau memengaruhi penggunaan
bahasa. Dengan demikian, tes bahasa mencakup kelompok sasaran (1) tes komponen
bahasa (meliputi bunyi bahasa, struktur, kosakata, ejaan) dan (2) tes kemampuan
berbahasa (meliputi menyimak, berbicara, membaca, dan menulis).
a. Pendekatan Tradisional
Dalam pendekatan ini, tes bahasa diselenggarakan tanpa acuan teori
kebahasaan tertentu sebagai dasar. Penerapannya tidak menuntut kemampuan khusus
dalam bidang tes bahasa, sehingga siapa yang mampu mengajarkan bahasa, dianggap
mampu pula menyelenggarakan tes bahasa (termasuk penilaian yang dilakukan
terhadap pekerjaan testi). Semuanya tergantung pada pendapat dan penilaian pengajar
27
dengan segala unsur kesubjektifannya. Bahan tes banyak merujuk kepada karya sastra
dan bentuk tes yang dipakai meliputi terjemahan dan menulis esai. Itulah sebabnya,
pendekatan ini sering disebut dengan pendekatan esai dan terjemahan. Selain
terjemahan dan menulis esai, terdapat pula tes tata bahasa yang memuat pertanyaan-
pertanyaan tentang bahasa, bukan penggunaan bahasa.
b. Pendekatan Diskret
Pendekatan diskret dalam tes bahasa bersumber pada pendekatan struktural
dalam kajian kebahasaan. Dalam pendekatan struktural, bahasa dipandang sebagai
sesuatu yang memiliki struktur yang tertata rapi, terdiri atas komponen-komponen
bunyi bahasa, kata, dan tata bahasa yang tersusun rapi secara berjenjang, menurut
aturan tertentu. Dalam struktur itu, bagian-bagian terkecil bersama-sama membentuk
bagian-bagian yang lebih besar, bagian-bagian yang lebih besar membentuk bagian-
bagian yang lebih besar lagi, dan begitu seterusnya, sampai terbentuk bahasa sebagai
struktur yang paling besar. Ditinjau dari arah sebaliknya, pendekatan struktural
menggambarkan bahasa sebagai sesuatu yang memiliki struktur, yang terdiri atas
komponen-komponen yang dapat dibedakan dan dipisahkan satu sama lain.
Dalam tes bahasa pendekatan diskret, satu bentuk tes dianggap sebagai dan
dimaksudkan untuk mengukur tingkat penguasaan terhadap satu, dan hanya satu,
jenis komponen bahasa atau kemampuan berbahasa, seperti kata dan tata bahasa saja,
atau menyimak dan membaca saja. Secara lebih ketat, pendekatan diskret dalam tes
bahasa bahkan menjurus pada pengertian bahwa satu butir tes seharusnya hanya
mempermasalahkan satu, hanya satu, hal dari setiap aspek komponen bahasa atau
kemampuan berbahasa.
c. Pendekatan Integratif
Sama dengan pada pendekatan diskret, pendekatan integratif dalam tes bahasa
juga didasari atas pandangan struktural dalam kajian bahasa. Bedanya, pendekatan
diskret bertolak dari anggapan bahwa bahasa dapat dipisah-pisahkan ke dalam
28
d. Pendekatan Pragmatik
Pendekatan ini mengutamakan peranan penggunaan bahasa senyatanya dalam
kajian terhadap bahasa, termasuk tes bahasa. Dalam pendekatan ini, bahasa tidak
ditinjau dari strukturnya yang berlapis dan bertingkat (seperti dalam diskret), juga
tidak dilihat sebagai penggabungan bagian-bagain secara berlapis dan bertingkat
29
d. Pendekatan Komunikatif
Pendekatan ini mendasarkan pandangannya terhadap penggunaan bahasa
dalam komunikasi sehari-hari senyatanya. Seperti pendekatan pragmatik, pendekatan
ini meninggalkan pendekatan diskret dan integratif yang struktural. Sebagai pen-
dekatan dengan orientasi psikolinguistik dan sosiolinguistik, pendekatan komunikatif
mementingkan peranan unsur-unsur nonkebahasaanm terutama unsur-unsur yang
terkait dengan terlaksananya komunikasi yang baik. Namun, berbeda halnya dengan
pendekatan pragmatik yang menekankan peranan konteks, pendekatan komunikatif
memperluas unsur konteks dengan memperhatikan unsur-unsur penentu komunikasi
yang mengambil bagian dalam terwujudnya komunikasi yang baik. Akibatnya,
pendekatan ini, secara rinci, mempersoalkan seluk-beluk komunikasi yang merupa-
kan tujuan pokok penggunaan bahasa, meliputi unsur siapa berkomunikasi, bagai-
mana hubungan antara mereka, apa maksud dan tujuannya, dalam keadaan bagai-
mana komunikai terjadi, kapan dan di mana komunikasi terjadi, dan lain-lain.
Tuntutan akan adanya telaah lengkap terhadap seluk-beluk penggunaan baha-
sa dapat berarti bahwa setiap bentuk penggunan bahasa perlu dibuatkan rincian seluk-
beluknya. Untuk satu bentuk penggunaan bahasa disusun satu rincian seluk-beluk
komunikasi tersendiri yang berbeda dengan rincian seluk-beluk yang lain. Secara
teoretis, akan sangat banyak diperlukan jumlah dan jenis rincian seluk-beluk
penggunaan bahasa yang perlu disusun. Secara lebih praktis, jumlah dan rincian itu
dapat disederhanakan dengan memilih bentuk komunikasi yang berlaku lebih umum
dan tidak terbatas pada penggunaan bahasa yang amat khusus.
Dalam tes bahasa, penerapan pendekatan komunikatif berdampak terhadap
beberapa penyelenggaraannya, terutama jenis dan isi wacana yang digunakan,
kemampuan berbahasa yang disasar, dan bentuk soal (tugas) atau pertanyaannya.
Semua itu harus ditentukan atas dasar ciri komunikasinya, yaitu hubungan dan
kesesuaiannya dengan penggunaan bahasa dalam komunikai senyatanya. Untuk itu,
perlu dikaji wacana yang digunakan, pertanyaan yang diajukan, dan jawaban yang
31
1) Tes Seleksi
Tes ini diselenggarakan untuk memilih (menyeleksi) peserta yang memenuhi
persyaratan guna diikutsertakan dalam suatu kegiatan yang menuntut kemampuan
32
2) Tes Masuk
Tes masuk diselenggarakan sebelum dan menjelang suatu program pengajaran
bahasa dimulai. Tujuannya untuk menentukan dapat-tidaknya seorang calon diterima
sebagai peserta program pengajaran bahasa karena adanya jenis dan tingkat
kemampuan berbahasa yang dipersyaratkan. Tidak jarang, tes masuk ini digunakan
sebagai tes seleksi.
Tes bahasa sebagai tes masuk pada penyelenggaraan pengajaran bahasa
semestinya tidak bersifat umum, tetapi khusus, disesuaikan sepenuhnya dengan
tujuan pokok program tersebut. Kriteria penerimaan harus didasarkan atas kemampu-
an minimal yang dipersyaratkan program tersebut.
3) Tes Penempatan
Tes ini biasanya diselenggarakan menjelang dimulainya suatu program peng-
ajaran bahasa untuk menempatkan seseorang pada kelompok yang sesuai dengan
tingkat kemampuan berbahasanya, seperti kelompok pemula, menengah, dan lanjut.
Tujuannya adalah agar yang bersangkutan dapat mengikuti program, tidak mengalami
banyak kesulitan, dan tidak tertinggal dari teman-teman sekelompoknnya. Tes ini
perlu dilakukan jika terdapat jumlah peserta yang terlalu besar untuk disatukan ke
dalam satu kelompok.
Tes ini diselenggarakan dengan maksud untuk mengetahui hasil yang dicapai
oleh suatu bentuk pengajaran bahasa. Sebagai tes yang menitikberatkan perhatian
pada hasil belajar, tes memiliki kaitan yang erat dengan segala sesuatu yang telah
diajarkan, terutama isinya. Dalam pengajaran bahasa, tes ini dimaksudkan untuk
memperoleh informasi tentang tingkat kemampuan berbahasa yang telah
dikembangkan melalui pengajaran bahasa.
5) Tes Diagnostik
Tes ini diselenggarakan untuk mengetahui kemungkinan adanya kesulitan
belajar bahasa subjek didik. Kesulitan itu tercermin melalui penggunaan bahasa yang
mengandung kesalahan atau penyimpangan terhadap kaidah-kaidah kebahasaan.
Hasil tes digunakan sebagai dasar penyelenggaraan pengajaran bahasa yang lebih
sesuai dengan kemampuan yang sebenarnya (remedial).
7) Tes Formatif
Tes formatif diselenggarakan pada saat suatu program pengajaran bahasa
sedang berlangsung. Tujuannya untuk memperoleh informasi mengenai jalannya
pengajaran bahasa sampai pada tahap tertentu. Informasi tersebut diperlukan dalam
rangka pengembangan (termasuk perbaikan) program pengajaran bahasa pada tahap
selanjutnya. Sesuai dengan maksudnya, tes ini dapat diselenggarakan lebih daripada
34
satu kali. Karena titik beratnya adalah informasi untuk penyempurnaan bagian
tertentu yang telah terselenggara, cakupan bahan tes terbatas pada hal-hal yang telah
diajarkan.
8) Tes Sumatif
Tes ini diselenggarakan pada akhir atau menjelang akhir pengajaran bahasa,
pada saat segala sesuatu yang direncanakan telah usai dilaksanakan. Tujuannya
adalah untuk mengetahui hasil pengajaran bahasa secara keseluruhan, sebagai bukti
nyata pencapaian tujuan pengajaran, sebagai bahan informasi untuk menetapkan baik-
buruk, lulus-tidak lulus peserta program pengajaran. Karena menitikberatkan pada
hasil kemampuan secara keseluruhan, cakupan bahan tes ini meliputi seluruh bahan
yang telah diajarkan.
Kebalikan tes awal, tes ini diselenggarakan pada akhir atau menjelang akhir
program pengajaran bahasa. Tujuannya untuk mengetahui tingkat kemajuan ke-
mampuan berbahasa yang dicapai subjek didik (dibandingkan dengan hasil tes awal).
Tingkat kemampuan itu dicerminkan oleh skor yang (seharusnya) lebih tinggi dari-
pada tes awal. Oleh karena itu, perbandingan kedua tes pada tahap yang berbeda itu
mengisyaratkan penggunaan tes yang sama atau setara.
1) Tes Tertulis
Dalam tes ini, pada dasarnya, baik soal maupun jawabannya dilakukan secara
tertulis. Atau, mungkin hanya jawabannya yang tertulis sedangkan soalnya dilisankan
(jika kebalikannya, bukan tes tertulis namanya).
Dalam pengajaran bahasa, bentuk tes ini dapat ditemukan pada tes untuk
berbagai jenis kemampuan berbahasa (kecuali kemampuan berbicara, karena kebu-
tuhan validitas) dan tes komponen bahasa (seperti kosakata dan tata bahasa).
2) Tes Lisan
Dalam tes ini, baik pertanyaan maupun (lebih-lebih lagi) jawabannya
dilakukan secara lisan. Dalam kemampuan berbahasa, tes ini, terutama, digunakan
dakam bentuk tes berbicara (dimaksudkan untuk memperoleh informasi tentang
kemampuan berbahasa lisan). Adakalanya, beberapa jebis kemampuan berbahasa dan
komponen bahasa menggunakan bentuk tes ini (dilakukan sebagai pelengkap atau
alternatif bagi tes tertulis yang telah dilaksanakan untuk bidang yang sama).
Rambu-rambu penyelenggaraan tes tertulis lebih jelas dan lebih mudah
diterapkan. Penyelenggaraan tes lisan memerlukan lebih banyak kejelian pada pihak
pelaksana tes (untuk memperoleh hasil penilaian yang lebih ajeg dan andal, serta
memperkecil unsur subjektivitas.
36
3) Tes Tindakan
Tes bahasa jenis ini, terutama, dimaksudkan untuk memperoleh informasi
mengenai kemampuan testi dalam memahami kosakata dalam bentuk perilaku atau
tindakan yang menggambarkan makna yang terkandung dalam kosakata tersebut.
2) Tes Standar
Tes standar dikembangkan dengan upaya untuk sejauh mungkin mengikuti
prosedur dan memenuhi persyaratan secara ketat. Ciri-ciri pokok dan persyaratannya
dikaji secara sadar dan terencana, dan diusahakan pemenuhannya guna memperoleh
tes yang bermutu sesuai dengan tujuan penyusunannya.
Mutu atau standar tes diperoleh melalui serangkaian uji coba. Hasil uji coba
dianalisis, diubah, diperbaiki seperlunya sampai diperoleh bentuk tes yang bermutu,
dengan ciri terbaik, teruji, dan terstandar. Karena kerumitannya, tes standar dalam
pengajaran bahasa digunakan secara terbatas (baik jenis maupun frekuensinya).
2) Tes Kelompok
Tes ini diselenggarakan untuk sekelompok testi sekaligus, terutama, dengan
pertimbangan kepraktisan karena tenaga dan waktu lebih efisien: untuk sejumlah testi
sekaligus. Namun, penyelenggaraan tes kelompok dalam pengajaran bahasa tidak
semata-mata dengan pertimbangan tenaga dan waktu. Pengukuran terhadap
kemampuan berbicara melalui tes kelompok, misalnya, memberi kesempatan kepada
guru untuk melakukan pengamatan dan penilaian terhadap tingkat kemampuan
berbahasa yang diperlukan dalam berinteraksi dengan orang lain, yakni dalam
penggunaan bahasa senyatanya.
f. Kriteria Bentuk Jawaban
1) Tes Esai
Tes ini mewajibkan testi memberikan jawaban dalam bentuk esai atau uraian.
Sebagai suatu esai, isi, susunan, dan panjang-pendeknya jawaban tidak dapat
ditentukan. Semua bergantung pada masalah yang ditanyakan serta keinginan dan
kemampuan setiap testi dalam menjawabnya. Dalam pengajaran bahasa, tes esai
terutama digunakan dalam bentuk tes mengarang (mengukur kemampuan menulis),
juga dalam tes bahasa yang lain, baik dalam hubungannya dengan penguasaan
38
3) Tes Pilihan
Dalam tes ini, testi tidak menuliskan jawaban secara produktif, tetapi dengan
jalan memilih salah satu alternatif jawaban yang telah disediakan. Cara menjawabnya
sangat sederhana, sekadar memberi tanda (silang, lingkaran, cawang) pada lembar
jawaban yang khusus disediakan untuk itu. Termasuk dalam tes ini adalah tes benar
salah, penjodohan, dan pilihan ganda. Dalam pengajaran bahasa, tes pilihan
(khususnya pilihan ganda) digunakan untuk mengukur berbagai kemampuan
berbahasa dan komponen bahasa. Hal itu terutama disebabkan oleh kepraktisan
pemakaiannya.
2) Tes Objektif
Dalam tes ini, penilaian terhadap jawaban dilakukan secara objektif, dengan
meniadakan atau menekan sampai serendah-rendahnya unsur subjektivitas penilai.
Sifat objektif itu mengacu pada cara penilaian yang dapat dilakukan secara ajeg,
dengan hasil yang sama, tidak berubah, meskipun jika penilaian itu dilakukan
berulang-ulang, oleh penilai berbeda (karena ada kunci jawaban sebagai patokan yang
mengikat). Jawaban testi dianggap benar jika sesuai dengan kunci jawaban,
sedangkan yang tidak sesuai berarti salah.
nilai akhir terikat oleh kelompok testi tertentu, dapat dimengerti bahwa hasil tes
acuan norma ini tidak berlaku bagi kelompok yang lain. Konsekuensinya, seseorang
yang mendapat nilai A pada suatu kelompok, belum tentu lebih pandai daripada yang
mendapat nilai B atau (bahkan) C dari kelompok yang lain.
tanpa konteks kalimat. Dalam kenyataannya, tidak selalu mungkin (tepat) untuk me-
nerapkan pengertian itu secara ketat dan konsekuen.
secara serentak, di samping pemahaman hubungan semua itu dengan konteks yang
melatarbelakanginya.
dalam bentuk tes esai dan bersifat komunikatif; atau, tes kemampuan membaca dibuat
oleh guru yang diberikan secara tertulis dalam bentuk esai (dengan demikian
termasuk tes subjektif) dan diberikan secara berkelompok. Disikapi dari butir-butir
soalnya, tes tersebut dapat saja merupakan tes bahasa integratif, bahkan mungkin
pragmatik atau komunikatif. Demikian seterusnya ….
b. Tes Kosakata
Tes kosakata dapat mengambil bentuk sebagai berikut:
b. membuat kalimat
(diberikan beberapa kata bentuk dasar, testi diminta membuat kalimat)
c. menyusun kalimat
(testi diminta menyusun kalimat dari sejumlah kata yang diacak susunannya)
d. mengubah kalimat
(mengubah kalimat aktif – pasif, kalimat langsung – tidak langsung)
d. Tes Menyimak
Menyimak merupakan kegiatan berbahasa yang bersifat pasif-reseptif, dalam
arti bahwa inisiatif komunikasi tidak datang dari diri penyimak, tetapi dari orang lain;
ia hanya menerima. Akan tetapi, dalam memahami secara utuh dan tepat, ia tidak
sepenuhnya pasif, tetapi aktif memproses secara linguistik sesuatu yang disimak.
Oleh karena itu, menyimak sesungguhnya bersifat aktif-reseptif. Pokok uji dalam
menyimak meliputi kegiatan menangkap bunyi-bunyi bahasa yang membentuk kata
dan kalimat, memahami makna kata dan kalimat, dan menyimpan ujaran tersebut
untuk direproduksi.
Tes menyimak meliputi bentuk-bentuk sebagai berikut:
(1) tes menyimak pertanyaan (frasa)
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menjawab pertanyaan dalam wujud
frasa)
(2) tes menjawab pertanyaan (kalimat)
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menjawab pertanyaan dalam wujud
kalimat)
(3) tes merumuskan inti wacana
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta merumuskan secara singkat intinya)
(4) tes menjawab pertanyaan (wacana)
(diperdengarkan suatu wacana, testi diminta menjawab pertanyaan dalam wujud
wacana singkat)
(5) menceritakan kembali
48
f. Tes Membaca
Membaca bersifat pasif-reseptif karena pembaca hanya menerima, bukan
menyampaikan pesan tertulis. Akan tetapi, dalam memahami secara utuh dan tepat, ia
tidak sepenuhnya pasif, tetapi aktif secara linguistik memproses sesuatu yang dibaca.
Oleh sebab itu, membaca disebut juga bersifat aktif-reseptif. Pokok uji dalam
membaca meliputi kegiatan menangkap simbol-simbol grafonik yang membentuk
kata dan kalimat, memahami kata dalam konteks kalimat, dan memahami kalimat
dalam konteks wacana.
Tes membaca meliputi bentuk-bentuk seperti berikut:
(1) melengkapi wacana
(testi diminta melengkapi wacana rumpang)
(2) menjawab pertanyaan
(testi diminta menjawab pertanyaan bacaan)
(3) meringkas isi bacaan
(cukup jelas)
(4) menceritakan kembali isi bacaan
(testi diminta menceritakan kembali isi bacaan dengan menggunakan kata-kata
sendiri)
g. Tes Berbicara
Berbicara bersifat aktif-produktif, karena menuntut prakarsa nyata dalam
penggunaan bahasa untuk mengungkapkan diri secara lisan. Sebagai bagian kemam-
puan berbahasa aktif-produktif, kemampuan berbicara menuntut penguasaan terhadap
berbagai aspek dan kaidah penggunaan bahasa: lafal, kosakata, tata bahasa ditambah
isi dan makna pesan serta pemahaman terhadap lawan bicara.
49
h. Tes Menulis
Menulis bersifat aktif-produktif, karena merupakan usaha mengungkapkan
pikiran dan perasaan pemakai bahasa melalui bahasa tulis. Dibandingkan dengan
berbicara, menulis lebih banyak memiliki kesempatan untuk menyiapkan dan meng-
atur diri, baik dalam kaitannya dengan sesuatu yang akan diungkapkan maupun cara
pengungkapannya. Menulis mencakup pemahaman ejaan, tata bahasa, kosakata, dan
isi karangan ditambah dengan nada dan gaya penyampaian.
Tes menulis dapat diselenggarakan secara terbatas atau terkendali (dilakukan
dengan batasan tertentu, seperti masalah dan judul, waktu dan panjang tulisan, serta
gaya bahasa yang digunakan) dan secara bebas (menentukan sendiri sesuatu yang
akan ditulis, cara menyusun tulisan, dengan rambu-rambu yang ditetapkan secara
minimal).
Tes menulis dapat memilih bentuk seperti berikut:
50
i. Tes Dikte
Simaklah teks yang dibacakan ini baik-baik. Teks yang dibacakan ini terdapat pada
lembaran yang telah dibagikan, kecuali beberapa bagian yang telah dihilangkan.
Tuliskanlah hanya bagian teks yang tidak terdapat pada lembaran itu!
Seperti dikte, cloze terkait dengan berbagai aspek kemampuan berbahasa dan
komponen bahasa (memiliki ciri integratif dan pragmatik). Kemampuan mengerjakan
tes cloze mengandalkan kemampuan memahami wacana tulis yang meliputi dan
ditunjang oleh penguasaan tata bahasa, kosakata, dan tataran wacana secara umum.
Ciri pokoknya adalah proses memahami wacana yang disertai dengan melengkapi
kekurangan-kekurangan yang ada. Proses melengkapi kekurangan itu terjadi secara di
bawah sadar, sebagai bagian kemampuan berbahasa. Kekurangan yang harus
dilengkapi itu terdiri atas kata-kata yang merupakan bagian wacana, yang dengan
sengaja dihilangkan dari teks aslinya. Itulah sasaran tes cloze.
Penghilangban dilakukan secara sistematis, menggunakan rumus yang dikenal
sebagai penghilangan kata ke-n; maksudnya, penghilangan kata ke-sekian (seperti
ke-5, ke-6, atau ke-7) dari teks yang dipilih, sehingga meninggalkan tempat kosong.
Dengan demikian, pada teks yang digunakan tes terdapat sejumlah tempat kosong
secara ajeg, yaitu setiap kata ke-n.
Dalam pengerjaannya, testi harus berusaha menentukan kata yang hilang dan
memasukkannya kembali ke tempatnya yang sesuai sedemikian rupa sehingga teks
itu kembali utuh secara kebahasaan dan makna seperti teks aslinya. Untuk itu,
dibutuhkan kemampuan berbahasa yang bersifat menyeluruh, tidak semata-mata
penguasaan ejaan, penulisan, tata bahasa, kosakata, tetapi juga pemahaman terhadap
wacana secara keseluruhan dengan berbagai hubungan antarbagian yang ada di
dalamnya.
Semakin panjang teks yang digunakan, semakin banyak jumlah kata, semakin
banyak jumlah kata yang dapat dihilangkan, dan semakin jarang jarak penghilangan
53
katanya, semakin mudah soal itu. Semakin rapat jarak penghilangan, semakin banyak
kata yang hilang, semakin sulit tes itu. Jadi, tes cloze dengan jarak penghilangan kata
ke-5 lebih sulit daripada tes serupa dengan jarak penghilangan kata ke-9. Sementara
itu, jarak penghilangan yang lazim digunakan berkisar antara kata ke-7 dan ke-10,
dengan catatan, kalimat pertama dan terakhir teks tetap utuh untuk memberi
gambaran yang lebih utuh tentang latar belakang dan akhir isi teks.
Variasi terhadap format tes ini dapat dalam bentuk antara lain
(1) membiarkan huruf awal kata yang hilang dengan atau tanpa menunjukkan jumlah
hurufnya (seperti m…… untuk membina atau m…. untuk marah),
(2) memilih alternatif jawaban yang disediakan (cloze pilihan ganda), dan
(3) penghilangan kata secara selektif, tidak mengikuti rumus kata ke-n.
Pengeskoran atau penilaian yang paling baku dan konvensional dilakukan atas
dasar beberapa hal, yaitu
(1) kata yang tepat sama (hanya jawaban yang tepat sama dengan dalam teks asli
yang dinya-takan benar),
(2) kata yang hampir sama (sinonim), dan
(3) ketepatan kontekstual (sesuai dengan konteks secara keseluruhan).
k. Tes C
Tes C merupakan satu bentuk usaha pengembangan tes cloze, dimaksudkan
untuk menanggulangi kesulitan tes cloze. Seperti tes cloze, tes C ini menggunakan
wacana sebagai bahan tes. Bedanya adalah sebagai berikut: jika tes cloze mengguna-
kan wacana utuh yang panjang, tes C menggunakan beberapa teks wacana pendek. Di
samping itu, penghilangan kata ke-n pada tes cloze diganti dengan formula kaidah
serba dua pada tes C; maksudnya, bagian kedua dari setiap dua kata, dimulai dari
kata kedua pada kalimat kedua dihilangkan, dengan membiarkan kalimat pertama dan
terakhir tetap utuh. Yang dimaksud dengan bagian kata adalah huruf-huruf yang
membentuk kata, yang mungkin berjumlah genap atau ganjil. Bagian yang
dihilangkan adalah bagian yang lebih besar daripada bagian yang dipertahankan.
54
Contoh,
Kata kalimat, misalnya, akan menjadi ka….., paragraf menjadi pa…, dan wacana
menjadi wa….. Bagian yang dihilangkan diganti dengan ruang kosong atau dengan
tanda titik dalam jumlah yang sama dengan huruf yang dihilangkan.
DAFTAR BACAAN
Tayibnapis, Farida Yusuf. 2008. Evaluasi Program dan Instrumen Evaluasi untuk
Program Pendidikan dan Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta.
Wahyuni, Sri. 2004. Modul Mata Kuliah Evaluasi Pembelajaran Bahasa dan Sastra
Indonesia. Malang: Universitas Unisma.
Wakhinuddin, 2010. Evaluasi Hasil Belajar, Pengukuran (Measurement), Tes.
http://wakhinuddin.wordpress.com/category/evaluasi-hasil-belajar. Diakses,
21 April 2010.
Daftar Rujukan
Burns, P.C, Roe, B.D, dan Ross, E.P. 1996 Teaching Reading in Today’s Elementary
School. Boston Houghton Mifflin Company.
Gruber, B. 1993. 100 % Practical : Strategies for Teacher. Torrance: Frank Schffer
Publication.
Sistem evaluasi belajar dengan teknik tes baku konvensional yang selama ini
dilakukan guru-guru mengarahkan siswa pada penghafalan informasi faktual, seperti
tata bahasa dan bentuk kata dalam bahasa Indonesia. Teknik tes pilihan ganda, betul
salah, penjodohan dan jawaban pendek tidak bisa melihat kemajuan kemampuan
berbahasa Indonesia yang mencakup kemampuan membaca, menulis, menyimak dan
berbicara. Menurut Degeng (2000) praktik pembelajaran sekarang telah gagal, karena
tidak mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan tentang bagaimana anak belajar.
56
Oleh karena itu, perlu dilakukan perubahan radikal revolusioner, yaitu dari cara
pandang pembelajaran secara behavioristik (tradisional) ke konstruktivistik.
Malley dan Pierce (1996) mengemukakan bahwa dalam praktik pembelajaran
dengan sudut pandang konstruktivistik, maka evaluasi belajar dengan teknik
konvensional yang berupa tes baku jelas tidak lagi mampu menggambarkan apa yang
seharusnya dievaluasi atau tingkat validitasnya rendah. Alternatif yang tepat untuk
mengevaluasi proses pembelajaran bahasa Indonesia yang menggunakan pendekatan
komunikatif adalah asesmen otentik.
Goodman (dalam Burns, 1996) menjelaskan karena asesmen terjadi selama
proses belajar mengajar, jenis asesmen ini merupakan suatu bahagian yang integral
dari kurikulum. Asesmen otentik tidak mengukur bahasa sebagai seperangkat
keterampilan yang terpenggal-penggal, asesmen otentik memperlakukan bahasa lisan
dan tertulis sebagai suatu keseluruhan yang terintegrasi. Asesmen tersebut terjadi
dalam konteks fungsional, belajar yang relevan. Evaluasi diri sendiri merupakan
aspek penting dalam asesmen. Siswa harus menyadari keberhasilan dan kemajuan
belajarnya sendiri.
Guru seharusnya memahami bahwa belajar merupakan proses holistik
konstruksi makna, siswa dengan aktif dibelajarkan dengan pengalaman menyimak,
berbicara, membaur dan menulis lintas kurikulum konteks kelas. Model belajar
seperti ini direfleksikan dalam asesmen otentik yang dilaksanakan secara terus
menerus dalam konsteks kelas serta mencakup informasi dari pengamatan guru,
catatan anekdot (anecdot record), check list, rating scale, pertemuan dengan siswa
dan hasil kerja siswa (seperti menulis, jurnal, laporan bacaan, portofolio dan proyek).
Asesmen otentik lebih mempercayai informasi yang dikumpulkan oleh siswa dan
guru selama kegiatan kelas yang reguler dari pada hanya hasil tes (paper and pencil
tests). Sedangkan menurut Wolf (1993:519) informasi yang paling berharga dan valid
tentang kemajuan belajar siswa tidak datang dari snapshot yang terpisah dan tidak
kontekstual tetapi berasal dari informasi yang berhasil dikumpulkan dari pekerjaan
siswa sehari-hari yang dilakukan dengan cermat.
57
sumbangan yang positif terhadap pencapaian hasil belajar siswa. Penilaian juga harus
berorientasi pada kompetensi yang dimaksud dalam kurikulum.
Penilaian harus adil terhadap semua siswa dengan tidak membedakan latar
belakang sosial-ekonomi, budaya dan jender. Yang juga perlu diperhatikan ialah
kriteria penampilan dan dasar pengambilan keputusan harus jelas dan terbuka untuk
semua pihak. PBK hendaknya juga dilakukan secara terus-menerus
(berkesinambungan) untuk memperoleh gambaran tentang perkembangan belajar
siswa sebagai hasil kegiatan belajarnya.
Penilaian seharusnya juga dilaksanakan secara menyeluruh, dilakukan dengan
berbagai teknik dan prosedur termasuk pengumpulan berbagai bukti hasil belajar
siswa yang meliputi kognitif, keterampilan, dan afektif yang direfleksikan dengan
kebiasaan berpikir dan bertindak. Prinsip terakhir dari PBK ialah penilaian yang
bermakna. Yang dimaksud dengan bermakna ialah penilaian hendaknya mudah
dipahami, mempunyai arti berguna dan bisa ditindak lanjuti oleh semua pihak
(Depdiknas, 2003).
Pengajaran bahasa Indonesia yang utuh membutuhkan pengarahan yang lebih
luas, perlunya suatu penilaian yang menilai bagaimana kekompleksitasan belajar
siswa. Tujuan ini bisa dicapai dengan menggunakan kegiatan-kegiatan nyata yang
mencerminkan kegiatan tersebut dalam kelas.
Menjaga keseimbangan antara semua metode ini akan memberikan penilaian
(asesemen) lengkap tentang keberhasilan anak dalam program pembelajaran bahasa
yang utuh. Pada bagian berikut akan dibicarakan secara lebih rinci jenis penilaian
(asesmen).
Ada beberapa asesmen otentik yang bisa digunakan dalam Penilaian Berbasis
Kelas (PBK). Beberapa kemungkinan bisa digunakan sesuai dengan tujuan
khusus pembelajaran yang akan dinilai mengadaptasi pendekatan untuk
menemukan kebutuhan pembelajaran dan kebutuhan siswa. Tabel berikut
merupakan rincian jenis asesmen, pendeskripsian dan keuntungan dari masing-
masing jenis asesmen.
60
Wawancara
Wawancara lisan dimasudkan untuk mendapatkan informasi tentang sikap,
minat, dan kemajuan dalam membaca, (Burns dkk, 1996) mengemukakan beberapa
contoh pertanyaan wawancara seperti berikut.
- Sukakah kamu membaca. Mengapa ya dan mengapa tidak.
- Menurutmu apakah membaca penting. Mengapa ya dan mengapa tidak.
- Buku apa saja yang baru kamu baca. Apa yang kamu sukai dan tidak kamu
sukai dari buku tersebut.
- Apakah kamu seorang pembaca yang baik. Mengapa kamu berpikir
demikian.
- Apa yang kamu lakukan ketika menemukan masalah dalam memahami
bacaan.
Kegiatan mewawancara bisa dilakukan ketika mengadakan pertemuan
(konferensi) dengan siswa. Konferensi bisa dijadwalkan atau dilaksanakan dengan
spontan.
ekpositori dan bentuk karangan lain seperti biografi, dongeng, sehingga siswa bisa
memahami berbagai jenis teks (Johnson dalam Burns dkk, 1996). Mula-mula guru
mendorong siswa menceritakan kembali, tanpa menawarkan bantuan. Ketika melihat
siswa telah selesai, guru kemudian membantu siswa dengan memberikan pertanyaan
terbuka yang akan merangsang siswa bisa menceritakan kembali selanjutnya. Dengan
menyimak dengan hati-hati dan membuat catatan, guru akan lebih mengetahui
tentang pemahaman dan penghayatan siswa tentang suatu cerita.
Dalam kegiatan ini guru bisa memberi angka tentang yang dikemukakan
siswa dengan menggunakan format skala rating (rating scale). Dalam skala dituliskan
komponen penilaian menceritakan kembali cerita yang mencakup struktur cerita,
tanggapan tentang cerita, dan kemampuan berbahasa siswa.
Contoh-contoh Tulisan
Sebagai bagian dari pengajaran, siswa sering disuruh memberikan contoh
tulisan yang dibuatnya dengan tujuan yang berbeda-beda. Tugas menulis bisa berupa
tulisan ekspresif dan naratif (pengalaman pribadi, cerita atau puisi) ekspositori atau
tulisan informatif, menjelaskan atau mengklarifikasikan suatu konsep atau proses
(sering dari suatu mata pelajaran) laporan persuasif atau beberapa kombinasi dari
tujuan yang berbeda-beda (O’Malley & Pierce, 1996).
Observasi
Waktu bisa dapat dilakukan guru setiap hari untuk mengamati siswanya secara
informal, dan kemudian menulis catatan kecil tentang kegiatan yang dilakukan siswa.
Bentuk asesmen ini hendaknya merupakan suatu kegiatan yang menyenangkan dan
diatur dalam program pembelajaran bahasa Indonesia.
Berdasarkan pada observasi informal yang dilakukan guru bisa memodifikasi
strategi pengajaran, mengklarifikasi penjelasan, memberikan bantuan secara individu,
menggunakan berbagai motivasi, menyesuaikan teknik pengelolaan kelas dan
menyediakan reinforcement bila diperlukan.
63
Letakkan suatu cek (√) disamping setiap karateristik yang ditampilkan siswa.
Letakkan cek (√) di samping setiap tingkah laku yang ditampilkan siswa.
Portofolio
Portofolio berisi kumpulan tugas siswa yang mengilustrasikan dengan benar
hasil belajar siswa. Tujuan portofolio ialah untuk memperlihatkan kemajuan siswa
dari tahun ke tahun serta memberikan format penilaian untuk diperlihatkan kepada
65
orang tua dan guru, juga siswa. Portofolio merupakan folder yang berisi contoh
pekerjaan siswa. Umumnya contoh pekerjaan dipilih oleh siswa atau guru dengan
siswa yang menggambarkan hasil belajar siswa.
Portofolio sebaiknya dibagikan kepada orang tua pada waktu ada pertemuan
dengan orang tua. Portofolio tersebut direview oleh siswa dan guru sepanjang tahun.
Kemudian portofolio hendaknya dibawa ke kelas berikutnya (kelas yang lebih tinggi).
Menurut Gruber (1993) beberapa guru mengirim portofolio siswa ke rumah
setiap 8 atau 10 minggu disertai surat yang berisi informasi untuk orang tua tentang
kemajuan belajar anak mereka. Sesudah orang tua membaca dengan teliti, orang tua
diharapkan memberikan tanggapan, mungkin berupa informasi tambahan tentang
anak mereka atau berupa saran untuk anak atau guru itu sendiri. Portofolio kemudian
harus dikembalikan ke sekolah.
Lebih lanjut Cochran (1993) menjelaskan portofolio hendaknya diatur
sehingga kegiatan ini tidak membuat guru maupun siswa tertekan. Guru mengarahkan
siswa memilih tugas yang menurut mereka bagus untuk dimasukkan ke dalam folder.
Contoh-contoh mata pelajaran hendaknya diletakkan dalam portofolio sekali setiap 3
atau 4 minggu. Namun, siswa hendaknya diberi kebebasan menambahkan tugas
khususnya jika dia menginginkannya. Catatan guru tentang kemajuan belajar siswa
sebaiknya disimpan oleh guru dalam portofolio yang terpisah.
Portofolio bisa dikumpulkan dalam satu file atau folder dengan sistematis.
Portofolio mungkin lebih efektif disimpan dalam dua atau tiga folder yang berisi hasil
kerja yang berbeda. Menurut Cochran (1993) folder bisa berisi (1) contoh tugas
matematik, laporan observasi dan seterusnya, (2) kaset audio tentang membaca
nyaring siswa, (3) menulis jurnal, buku yang telah dibaca siswa (reading logs),
proyek tematik dan lain-lain, (4) catatan anekdot yang dikumpulkan guru dan (5)
asesmen informal. Gruber, selain yang dikemukan Cochran (1993) menambahkan isi
folder yaitu (1) nilai tes, (2) evaluasi dari siswa itu sendiri, yang bisa dilakukan setiap
akhir bulan atau setiap triwulan.
66
bagaimana mencapai tujuan tersebut dan menilai kemajuan dalam menemukan tujuan
dalam rangka rasa memiliki dalam proses asesmen.
Menurut Burns, dkk (1996) dengan berbagi tape recorder dari membaca
nyaring, kartu catatan guru dan check list, guru bisa membantu siswa menyadari
kelebihan mereka dan cara yang mungkin untuk meningkatkannya. Melalui
wawancara guru bisa membantu siswa memusatkan perhatiannya pada kemajuan
mereka sendiri dengan menanyakan “Bagaimana kamu meningkatkan kemampuan
membacamu bulan lalu ?”, dan “Apa tujuan yang kamu sukai untuk menyusun sendiri
dalam membaca dan menulis?”
Rubrik (Rubrics)
Rubrik menyediakan kriteria untuk menggambarkan kinerja siswa pada
tingkat kemampuan pada mata pelajaran yang berbeda. Siswa menerima nilai yang
berupa angka yang menggambarkan tentang mutu pekerjaan dari yang paling rendah
sampai yang tertinggi tergantung pada jenis respon yang diberikan siswa.
Suatu rubrik yang dikonstruksi dengan baik akan memudahkan untuk
mengetahui yang diharapkan dari mereka dan membantu guru memberikan nilai hasil
kerja siswa dengan mudah. Batzle (dalam Burns dkk, 1996) mengemukakan ketika
mengonstruksi rubrik, guru mungkin mengajak siswa mendiskusikan kriteria
sehubungan dengan seluruh cakupan bentuk asesmen. Kemudian siswa menerima
angka (grade) yang mungkin lebih dipahami siswa karena mereka bisa merujuk pada
kriteria sebagai pengganti dari hanya mendapat angka atau huruf atau angka tanpa
penjelasan. Berikut diberikan beberapa contoh rubrik.
68
Daftar Rujukan
Burns, P.C, Roe, B.D, dan Ross, E.P. 1996 Teaching Reading in Today’s Elementary
School. Boston Houghton Mifflin Company.
Gruber, B. 1993. 100 % Practical : Strategies for Teacher. Torrance: Frank Schffer
Publication.