Anda di halaman 1dari 9

PEMBELAJARAN BAHASA ARAB MOTIVASIONAL

MOH. AININ
Universitas Negeri Malang
aininmohammad@gmail.com

Abstrak: Motivasi merupakan energi utama seseorang untuk


melakukan suatu tindakan. Dalam konteks Pembelajaran Bahasa
Arab (PBA), motivasi merupakan faktor utama untuk menentukan
keberhasilan belajar. Saat ini, motivasi belajar bahasa Arab di
madrasah/sekolah tidak sebagaimana yang diharapkan. Fenomena
ini disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Terkait dengan
permasalahan ini, perlu diupayakan pembelajaran bahasa Arab yang
motivasional sehingga peserta didik merasa senang dan bangga
belajar bahasa Arab. Implikasinya, PBA baik dari sisi proses maupun
hasil menjadi berkualitas.
Kata kunci: motivasi belajar, bahasa Arab, pembelajaran
motivasional.

Motivasi merupakan ruh atau penggerak (to move) seseorang untuk


melakukan segala aktivitas, baik yang besifat psikis maupun fisik. Sebagai penggerak,
keberadaan motivasi secara signifikan mementukan kualitas proses dan hasil dari
aktivitas yang dilakukan. Tanpa motivasi pada diri seseorang, maka tidak akan
terwujud suatu gerakan atau aktivitas, atau apabila terjadi suatu aktivitas, maka
aktivitas atau gerakan yang muncul menjadi lemah, lamban, stagnan, dan tidak
mampu mencapai titik akhir dari tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu, tidaklah
berlebihan apabila dikatakan, bahwa motivasi itu adalah energi utama yang
mendorong seseorang untuk melakukan tindakan.
Terkait dengan eksistensi motivasi, Slavin (2009) menyatakan bahwa motivasi
merupakan penyebab seseorang berjalan, membuat dirinya tetap berjalan, dan
menentukan ke mana arah seseorang berusaha berjalan. Para ahli psikologi
mendefinisikan motivasi sebagai proses internal yang mengaktifkan, menuntun, dan
mempertahankan perilaku dari waku ke waktu (Murphy & Alexander, 2000, Pintrich,
2003, Schunk, 2000, Stipek, 2002 dalam Salvin, 2009). Santrock. (2010) mendefinisikan
motivasi sebagai suatu proses yang memberi semangat, arah, dan kegigihan perilaku.
Artinya, perilaku yang termotivasi adalah perilaku yang penuh energi, terarah, dan
bertahan lama. Motivasi dapat berbeda-beda menurut intensitas maupun arah (Ryan &
Deci, 2000, dalam Salvin, 2009). Dua siswa dapat saja termotivasi untuk bermain game
video, tetapi salah seorang di antaranya mungkin mempunyai motivasi yang lebih kuat
untuk melakukannya daripada yang lainnya. (Salvin, 2009).
Begitu kuatnya pengaruh motivasi terhadap kualitas aktivitas, keberhasilan
Lance Amstrong sebagai pembalap unggul disebabkan oleh motivasi yang tinggi.
Diceritakan, Lance Amstrong adalah pembalap sepeda yang hebat, tetapi kemudian
dia didiagnosis mengidap penyakit kanker pada 1996. Peluang kesembuhannya secara
medik diperkirakan kurang dari 50%. Saat pembalap itu mengikuti kemoterapi
emosinya memburuk. Akan tetapi, dengan motivasi tinggi, Lance pulih dari penyakit
itu dan bertekad memenangkan lomba Tour de France sejauh kurang lebih 2.000 mil,
sebuah lomba balap sepeda paling bergensi di dunia. Hari demi hari Lance berlatih
keras, terus bertekad memenangkan lomba itu, Lance kemudian berhasil
memenangkan lomba balap Tour de France bukan hanya sekali, tetapi empat kali
(1999, 2000, 2001, dan 2002). (Santrock, 2010).

8
Para psikolog menemukan bahwa motivasi memiliki dua komponen utama,
yaitu kebutuhan (need) dan dorongan (drive) (Sprinthall, 1990). Keberadaan kebutuhan
pada diri manusia disebabkan oleh adanya kekurangan (defisit) pada diri manusia
baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kebutuhan fisik terkait dengan pemenuhan
kebutuhan unsur-unsur yang bersifat jasmani (tubuh) misalnya kebutuhan air,
makanan, sek, kebutuhan tidur (istirahat) dan lain-lain. Motivasi yang berhubungan
dengan kebutuhan fisik disebut dengan motivasi fisiologis. Sementara itu, kebutuhan
psikis terkait dengan kebutuhan kejiwaan, misalnya kebutuhan untuk mendapatkan
restu, penghargaan atau penguatan, kekuasaan, prestise, dan lain-lain. Kebutuhan
yang terjadi pada diri manusia melahirkan suatu dorongan (drive) melalukan suatu
tindakan untuk mencapai suatu kebutuhan yang diinginkan.
Dalam konteks pembelajaran, motivasi dapat dimaknai sebagai suatu gerak
jiwa yang mendorong siswa terlibat dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Para pakar dan hasil penelitian menyimpulkan bahwa motivasi terkait
erat dengan prestasi belajar siswa. Motivasi akan melahirkan kinerja atau keterlibatan
kerja yang berimplikasi pada prestasi. Suatu fakta empirik menyatakan bahwa
motivasi merupakan komponen utama dalam pembelajaran dan merupakan faktor
non-intelektual yang berperan utama dalam menentukan keberhasilan belajar siswa.
(Sprinthall, 1990). Hubungan antara motivasi dan prestasi belajar oleh Ginting (2008)
digambarkan sebagai berikut.

Motivasi Kinerja atau Prestasi


Belajar Partisipasi Belajar Belajar

Motivasi merupakan energi utama yang mendorong seseorang untuk


melakukan suatu tindakan. Sebagai energi utama, maka keberadaan motivasi
berfungsi sebagai penggerak (to move) keberlansungan suatu tindakan. Tanpa ada
motivasi pada diri seseorang maka tidak akan terwujud suatu gerakan atau paling
tidak gerakan yang terjadi menjadi lemah, lamban, dan tidak mampu mencapai titik
akhir yang diharapkan dari tujuan itu sendiri. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan
oleh Mc. Donald (dalam Sardiman, 1986), bahawa motivasi adalah perubahan energi
dalam diri seseorang yang ditandai dengan munculnya feeling dan didahului dengan
tanggapan terhadap tujuan.
Dari uraian di atas, dapat dekemukakan, bahwa keberadaan motivasi pada diri
peserta didik dalam proses pembelajaran merupakan salah satu komponen utama dan
pratama untuk penciptaan pembelajaran bahasa Arab (PBA) yang kondusif, kreatif,
dan prestatif. Permasalahannya adalah bahwa motivasi belajar bahasa Arab di
madrasah maupun di sekolah cenderung rendah dan merupakan kebalikan dari
motivasi mereka saat belajar bahasa Inggris, seklipun di lembaga pendidikan
keagamaan Islam, misalnya MI, MTs, maupun MA (kecuali mungkin di madrasah-
madrasah salafiyyah). Gejala ini yang disebut dengan gejala fenomena demotivasi
belajar bahasa Arab.
Keadaan ini sungguh jauh berbeda dengan keberadaan bahasa Arab di
lingkungan madrasah sebelum tahun 80-an. Saat itu, bahasa Arab di madrasah-
madrasah menjadi matapelajaran primadona dan menjadi kebanggaan akademik
peserta didik. Akan tetapi, akhir-akhir ini (sekitar awal tahun 90-an) di madrasah-
madrasah (khususnya madrasah nengeri), bahasa Arab bukan menjadi matapelajaran
primadona, melainkan menjadi matapelajaran sekunder yang jauh berbeda dengan
posisi matapelajaran bahasa Inggris, matematika, dan IPA. Justru sejak tahun 90-an,
matapelajaran bahasa Arab mulai menggeliat di sekolah-sekolah umum, misalnya di

9
SMA yang secara kurikuler merupakan salah satu matapelajaran yang diajarkan di
sekolah tersebut, sebagai matapelajaran wajib maupun pilihan.
Berpijak dari permasalahan di atas, maka jihad untuk mengeksiskan kembali
bahasa Arab di Madrasah maupun di sekolah mutlak tugas kita bersama.
Mengeksiskan kembali ini dapat diwujudkan dalam bentuk pengupayaan PBA yang
motivasional, sehingga bahasa Arab tidak dipandang dengan ’ainus sukhthi’ tetapi
dengan ’ainur ridha’. Terkait dengan permasalahan ini, makalah ini mencoba menjawab
pertanyaan (a) faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan fenomena demotivasi
dalam PBA, (b) jenis motivasi apa sajakah yang lazim terjadi dalam PBA, (c)
bagaimanakah penciptaan pembelajaran bahasa Arab yang motivasional.

MOTIVASI BELAJAR BAHASA ARAB RENDAH, MENGAPA?


Peristiwa demotivasi yang melanda peserta didik dalam PBA di madrasah
atau di sekolah tidak bisa dibebankan pada diri mereka sebagai pembelajaran bahasa
Arab. Secara substansial motivasi seringkali berkaitan dengan tingkat kebutuhan
(need) seseorang terhadap objek atau subjek tertentu. Apabila seseroang itu merasa
butuh, baik itu diharuskan atau dipaksa butuh atau dengan sendirinya butuh, maka
motivasi akan muncul. Demikian pula, tinggih-rendahnya motivasi peserta didik
terhadap bahasa Arab juga tidak terlepas dari seberapa besar mereka membutuhkan
bahasa Arab atau seberapa besar bahasa Arab dianggap memberikan nilai tambah bagi
mereka (baik nilai tambah secara fisik maupun psikologis).
Pada dasarnya, posisi peserta didik terhadap suatu objek atau subjek
termasuk terhadap matapelajaran BA itu lebih bersifat netral. Artinya, pada awalnya
dalam diri peserta didik itu, tidak terbesit kekurangsukaan atau kesukaan terhadap
setiap matapelajaran. Kekurangsukaan atau kesukaan ini muncul dikarenakan oleh
berbagai situasi dan kondisi yang kita sebut dengan variabel. Dalam konteks PBA,
berbagai variabel yang membuat bahasa Arab itu sendiri kurang disukai atau kurang
diminati oleh mereka adalah sebagai berikut.
1) Keberadaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) No. 74 tahun
2009 tentang Ujuan Nasional (UN) untuk Sekolah Dasar/MI dan Permendiknas
No. 75 tentang UN untuk Sekolah Mengenah Pertama/MTs maupun Sekolah
Menengah Atas/MA. Dalam Permendiknas No 74 tahun 2009 tentang Ujian
Nasional di SD/MI, pasal 3 mengisyaratkan bahawa matapelajaran bahasa Arab
bukan matapeajaran yang di-UN-kan Sementara itu, permendiknas No. 75 tahun
2009 tentang materi UN untuk SMA/MA memposisikan bahasa Arab sebagai
bahasa Asing (bahasa asing pilihan yang di-UN-kan untuk Program Bahasa. Lebih
ironis lagi, bahasa Arab di MA Program Keagamaan juga tidak di-UN-kan, yang
di-UN-kan adalah Bahasa Indonesaia, Bahasa Inggris, Matematika, Tafsir, Hadits,
dan Fikih.
2) Kepedulian dan komitmen pimpinan madrasah (kepala Madarasah dan para
wakilnya) terhadap bahasa Arab. Kepala Madrasah merupakan top leader di
madrasah. Sebagai top leader, maka yang bersangkutan memiliki pengaruh
menegrial yang kuat dalam menentukan arah kebijakan pembelajaran, termasuk
menentukan eksistensi matapelajaran bahasa Arab. Kepala Madrasah yang
memiliki kepedulian dan komitmen tinggi terhadap eksistensi matapelajaran
bahasa Arab, secara sosiologis dan psikologis akan berdampak positif terhadap
pencitraan bahasa Arab, implikasinya, matapelajaran bahas Arab di madrasah akan
diapresiasi oleh para guru dan peserta didik. Sebaliknya, apabila kepala Madrasah
kurang peduli terhadap eksistensi bahasa Arab, maka posisi bahasa Arab akan
dipertanyakan. Ada pengalaman yang menarik bagi saya sebagai asesor di Badan
Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi (BAN-PT). Saya memperoleh informasi dari

10
pimpinan PT Muhammadiyah yang saya visit, Organisasi Muhammadiyah
mewajibkan semua PT Muhammadiyyah di Indonesia membuka Prodi Bahasa dan
Sastra Arab atau Prodi Pendidikan Bahasa Arab, karena prodi ini dan prodi Tafsir-
Hadits merupakan prodi misi, tanpa harus mempertimbangkan keuntungan
finansial yang diperoleh.
3) Pengalokasian jam pelajaran bahasa Arab di madrasah, khususnya madrasah
negeri yang tampak deskriminatif. Jumlah jam pelajaran bahasa Arab di MI = 2 jam
perminggu, MTs = 3 jam perminggu, di MA 4 jam perminggu (untuk kelas X) dan
2 jam perminggu untuk kelas XI dan XII (termasuk pada program Ilmu bahasa.
Bandingkan dengan jumlah jam pelajaran bahasa Inggris yang 4 jam perminggu
baik di MI maupun MTs dan 6 jam perminggu untuk bahasa Indonesia. Untuk
matapelajaran rumpun IPA sekitar 4 sampai 5 jam perminggu. Pengalokasian jam
pelajaran seperti ini secara psikologis dapat membentuk opini peserta didik dan
pendidik bahwa bahasa Arab itu tidak atau kurang penting.
4) Dari aspek pembelajaran, ada kecendrungan PBA lebih mengedepankan metode
gramatika-terjemah. Model PBA yang mengedepankan metode ini menyebabkan
peseta didik merasa kesulitan dan merasa bosan. Pada akhirnya kurang tertarik
belajar bahasa Arab.
5) Penggunaan bahasa Arab di kelas secara gradual sebagai bahasa komunikasi di
kelas kurang intensif, sehingga yang tampak bukan lingkungan PBA melainkan
lingkungan Pembelajaran Bahasa Indonesia.
6) Penggunaan media pembelajaran yang kurang maksimal dan kurang fungsional.
Media pembelajaran memang bukan tujuan, melainkan sebagai alat (Shini, et all.,
1984). Akan tetapi, tidak diragukan lagi kalau penggunaan media baik elektronik
maupun non-elektronik berpengaruh terhadap peningkatan kualitas proses dan
hasil belajar. Apalagi saat ini dapat kita dapati berbagai bentuk media berbasis
software.
7) Teknik pembelajarannya kehilangan unsur pemerolehan (iktisab) dan lebih
menekankan pada ta’allum (learning). PBA yang mengedepankan aktivitas
pemerolehan (iktisab) dapat menciptakan lingkungan kelas yang arabi, karena guru
membiasakan penggunaan bahasa Arab yang secara otomatis peserta didik akan
memperoleh masukan bahasa Arab melalui pajanan dari guru. Berbeda dengan
aktivitas belajar (learning) yang lebih menekankan belajar bentuk bahasa, bukan
penggunaan bahasa.
8) Lingkungan berbahasa Arab di kelas maupun di luar kelas kurang kondusif.
Lingkungan baik formal maupun non-formal secara signfikan berpengaruh
terhadap keberhasilan PBA. Realita menunjukkan bahwa lingkungan berbahasa
Arab (bi’ah arabiyyah) baik di kelas maupun di luar kelas di beberapa madrasah
atau sekolah kurang mendukung.
9) Buku Ajar atau Bahan Ajar yang digunakan sering kurang memperhatikan tingkat
keterbacaan yang baik. Berdasarkan telaah sekilas terhadap salah satu buku ajar
bahasa Arab yang digunakan di salah satu SMK swasta, materi maharah (kalam dan
qira’ah) terlalu sulit dan teksnya terlalu panjang. Dalam teori Krashen (1985) yang
disebut dengan Hipotesis Input, materi bahasa yang terlalu sulit ini tidak akan
bisa menjadi masukan atau input berbahasa (berbahasa Arab) dan berdampak
pada keengganan mereka belajar bahasa Arab.

JENIS MOTIVASI
Dari jenisnya, motivasi dapat dikelompokkan menjadi motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan), misalnya siswa belajar menghadapi ujian karena dia

11
menyukai mata pelajaran yang diujikan. Sementara itu, motivasi ekstrinsik adalah
suatu motivasi yang muncul pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan
karena untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi
oleh insentif eksternal misalnya imbalan dan hukuman (Santrock, 2010).
Dalam terminologi agama, motivasi semakna dengan niat. Niat seseorang
melakukan ibadah, baik ibadah sosial maupun ibadah ritual (ibadah mahdlah) ada yang
bersifat ekstrinsik dan ada yang intrinsik. Secara hierarkis, niat dikelompokkan
menjadi tiga tingkatan. Pertama, orang beribadah karena ingin mendapat pujian dari
orang lain (riya’) dan niat seperti ini tergolong ekstrinsik-negatif. Kedua, orang
beribadah karena ingin mendapatkan pahala (imbalan) dari Allah (niat ekstrinsik-
positif), misalnya orang melakukan salat berjamaah karena pahalanya lebih besar
daripada salat sendirian, yakni 1 berbanding 27. Tingkatan niat atau motivasi yang
mendasarkan pada pahala ini menurut pandangan kaum sufi ibarat pedagang yang
selalu memperhitungkan untung-rugi. Ketiga, orang beribadah karena beribadah itu
(sosial-ritual) merupakan kebutuhan pokok rohani untuk mendekatkan diri kepada-
Nya dan untuk mendapatkan ridlo dari-Nya, tanpa memperhatikan berapa besar
pahala yang diterima (motivasi intrinsik), apalagi hanya karena pujian dari orang lain.
Dalam terminologi pemerolehan bahasa kedua (L₂ acquisition), Gardner dan
Lambert (1959) membedakan motivasi instrumental dan motivasi integratif (Dulay, et
all., 1982 dan Brown, 2007). Motivasi instrumental sebagai suatu keinginan untuk
menguasai bahasa baru atas asas manfaat atau untuk kepentingan praktis, misalnya
untuk memperoleh pekerjaan, untuk kepentingan karier tertentu, untuk keperluan
pendidikan, atau untuk tujuan yang bersifat finansial. Sementara itu, motivasi
integratif adalah suatu keinginan untuk menguasai bahasa baru agar dapat
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat penutur bahasa baru tersebut. Motivasi ini
merefleksikan keinginan dan minat pribadi dalam suatu komunitas dan kebudayaan
yang direpresentasikan oleh kelompok lain (Dulay, et all., 1982). Gardner dan kawan-
kawan (dalam Krashen,1983) juga menemukan bahwa siswa yang memiliki motivasi
integratif selalu memberikan respon dengan benar terhadap stimulus yang diberikan
di kelas dan mereka mendapatkan penguatan yang positif dari gurunya.
Dalam studinya, Gardner dan Lambert (dalam Dulay, et all., 1982) memberikan
kuesioner langsung kepada siswa untuk membuat urutan (ranking) atas empat alasan
mereka mempelajari bahasa Perancis. Keempat urutan alasan tersebut adalah belajar
bahasa Perancis berarti (1) bermanfaat untuk mencari pekerjaan, (2) membantu
pemahaman terhadap rakyat Canada keturunan Perancis dan pandangan hidup
mereka, (3) memungkinkan bertemu dan berbicara dengan lebih banyak orang dan
bermacam-macam orang, (4) menyebabkan seseorang menjadi terdidik lebih baik.
Menurut Gardner dan Lambert, alasan (1) dan (4) termasuk motivasi instrumental,
sedangkan alasan (2) dan (3) termasuk motivasi integratif. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa baik motivasi integratif maupun instrumental secara positif
mempengaruhi percepatan penguasaan bahasa kedua. Akan tetapi, di antara kedua
motivasi tersebut, motivasi integratif lebih kuat pengaruhnya daripada motivasi
instrumental untuk pengembangan keterampilan komunikasi (Dulay, et all., 1982).

PEMBELAJARAN BAHASA ARAB MOTIVASIONAL


Mengingat posisi bahasa Arab, khususnya di madrasah tidak ”semapan” bila
dibandingkan dengan posisi bahasa Inggris, maka PBA yang motivasional merupakan
ijtihad yang harus kita upayakan secara berkelanjutan. Melalui pembelajaran
motivasional, maka peserta didik akan bangga belajar bahasa Arab. Berdasarkan
permasalahan yang telah dikemukakan, maka upaya untuk mewujudkan PBA yang
motivasional adalah sebagai berikut.

12
1) Pembelajaran Bahasa Arab bukan tentang Bahasa Arab
Pembelajaran bahasa berbeda dengan pembelajaran tentang bahasa.
Pembelajaran bahasa lebih pada pembelajaran penggunaan bahasa Arab sebagai alat
komunikasi, baik lisan maupun tulis. Pembelajaran bahasa Arab lebih menekankan
pada aktivitas pemerolehan (iktisab) bahasa Arab bagi peserta didik dan
menumbuhkembangkan mereka untuk menguasai maharah lughawiyyah secara ”semi
alamiah” atau syibhu ath-thabi’iy. Model pembelajaran seperti ini dapat dijumpai di
berbagai lembaga pendidikan atau madrasah, misalnya di lingkungan Madrasah
Aliyah Keagamaan.
Sementara itu, pembelajaran tentang bahasa berarti pembelajaran ilmu bahasa
atau bentuk-bentuk bahasa. Luaran pembelajaran tentang bahasa adalah pengetahuan
tentang kaidah-kaidah bahasa Arab yang rumit dan sangat kognitif. Pembelajaran
tentang bahasa Arab yang rumit dan sangat kognitif ini membuat peserta didik merasa
sulit belajar bahasa Arab dan ujung-ujungnya mereka tidak berminat belajar bahasa
Arab. Oleh karena itu, tidaklah dipersalahkan apabila bahasa Arab dikesankan sebagai
bahasa yang sulit.
Hal-hal yang dilakukan untuk mewujudkan pembelajaran bahasa Arab bukan
tentang bahasa Arab adalah sebagai berikut.
(1) Guru hendaknya membiasakan penggunaan bahasa Arab secara gradual sebagai
alat komunikasi di kelas (bahkan di luar kelas), baik dalam menjelaskan materi
pelajaran maupun saat berinteraksi dengan peserta didik.
(2) Materi pembelajaran difokuskan pada maharah lughawiyyah secara utuh, mulai dari
istima’, kalam, qira’ah, dan kitabah. Masing-masing maharah mempunyai teknik
pembelajaran tersendiri. Dalam kenyataannya, maharah istima’ ini jarang diajarkan
secara khusus, melainkan diintegrasikan dengan maharah kalam atau qira’ah.
Padahal maharah ini merupakan maharah yang pertama kali diajarkan kepada
peserta didik. Khusus untuk maharah istima’ sebaiknya diperdengarkan suara
penutur asli.
(3) Hindari pembelajaran kaidah yang tidak atau kurang fungsional yang pada
akhirnya dapat mengurangi waktu untuk pembelajaran kemahiran berbahasa
Arab. Apabila ada, maka kaidah-kaidah bahasa Arab itu diajarkan secara
fungsional dalam konteks penggunaan bahasa.

2) Penggunaan Metode PBA yang Komunikatif-Partisipatif


Metode memang bukanlah suatu tujuan, tetapi merupakan salah satu
komponen utama yang berpengaruh terhadap kualitas pembelajaran, khususnya
menggairahkan minat belajar peserta didik. Dari sekian banyak metode pembelajaran
bahasa Arab, secara umum dapat direduksi menjadi dua, yaitu metode yang
menekankan pada kemampuan reseptif, misalnya metode tatabahasa terjemah dan
metode yang menekankan pada kemampuan produktif, misalnya metode langsung,
metode alamiah, metode campuran, metode audio-lingual, dan metode komunikatif.
Apabila pendidik bahasa Arab masih merasa kesulitan menerapkan metode
komunikatif, maka metode Audio-Lingual (thariqah sam’iyyah syafawiyyah) dapat
digunakan. Metode ini menekankan pada dril-dril lisan maupun tulis. Secara bertahap
peserta didik akan memilik kelancaran, kefasihan, dan ketepatan ujaran berbahasa
Arab. Selanjutnya metode ini akan membawa peserta didik memiliki kemahiran
berbahasa Arab (maharah istima’, kalam, qira’ah, dan kitabah). Penerapan metode ini
(dengan segala kelemahan dan keunggulannya) dapat menciptakan suasana kelas
bahasa Arab yang kondusif.
Dalam kondisi tertentu dan untuk menghilangkan kejenuhan, metode ini bisa
dipadukan dengan strategi pembelajaran yang lain. Misalnya strategi bermain,

13
simulasai, bermain peran, kuis. Bahkan dapat dipadukan dengan model-model
pembelajaran kooperatif, misalnya Jigsaw, Student Teams Achievment Devision (STAD),
Team Games Tournament (TGT). Kebervariasian teknik yang dikembangkan pada
dasarnya menekankan pada aktivitas siswa dalam berbahasa Arab baik aktivitas tulis
maupun lisan.

3) Pembentukan Lingkungan Arabi


Lingkungan merupakan salah satu komponen utama yang secara signifikan
berperan untuk meningkatkan gairah dan penguasaan belajar bahasa Arab.
Lingkungan bahasa menurut Dulay, et all. (1982) meliputi segala sesuatu yang
didengar dan dilihat oleh pembelajar bahasa. Bentuk lingkungan dapat bervariasi,
misalnya pertemuan di restoran dan toko, percakapan dengan teman, menonton
televisi, membaca tanda-tanda di jalan dan surat kabar, maupun kegiatan-kegiatan di
kelas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor lingkungan memperngaruhi
penguasaan belajar bahasa.
Pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah siapakah yang
bertanggungjawab untuk menciptakan dan mengembangkan lingkungan bahasa Arab.
Dulay, et all. (1982) menegaskan bahwa tanggungjawab penciptaan lingkungan bahasa
(khususnya bahasa Arab) di kelas adalah guru bahasa. Mengajarkan bahasa kedua
atau bahasa asing berarti menciptakan sebagian atau seluruh lingkungan bahasa
sasaran bagi siswa.
Dalam implementasinya di sekolah atau di madrasah, bentuk lingkungan
yang dapat dikembangkan dapat berupa lingkungan verbal dan visual. Lingkungan
bahasa Arab dalam bentuk verbal dapat dikembangkan melalui aktivitas komunikasi
lisan di kelas maupun di luar kelas misalnya tegur sapa antarteman dengan
menggunakan bahasa arab, penyampaian pegumuman secara lisan berbahasa Arab,
lomba-lomba berbahasa Arab, misalnya pidato berbahasa Arab, debat berbahasa Arab.
Lomba-lomba ini dapat dilakukan dalam momentum milad madrasah/sekolah atau
pada acara haflah imtihan. Sementara itu, pengembangan lingkungan dalam bentuk
visual dapat dilakukan melalui membahasaarabkan papan nama, pengumuman secara
tertulis, mading berbahasa Arab, pemajangan kosa kata (mufradat) secara periodik,
dan kata-kata hikmah (mahfudzat).

4) Pemilihan Materi yang Readibilitas Tinggi


Pergantian kurikulum yang begitu cepat merupakan permasalahan tersendiri
dalam PBA, terutama yang terkait dengan penggunaan buku ajar. Pergantian
kurikulum yang begitu cepat dan tampak dipaksakan dapat berimplikasi pada
penyusunan buku ajar secara instan (cepat saji). Buku ajar yang disusun ala cepat saji
kurang memperhatikan prinsip readibilitas atau tingkat keterbacaan yang tinggi.
Rendahnya readibilitas buku ajar dapat menurunkan minat belajar peserta didik.
Untuk menggairahkan belajar bahasa Arab, sebaiknya digunakan buku ajar yang
memiliki readibilitas tinggi sesuai dengan kemampuan awal mereka. Secara kesat
mata, seorang guru dengan pengalaman mengajarnya dapat memilah dan memilih
mana buku ajar yang memiliki readibilitas tinggi dan mana yang rendah.

5) Pemanfataan Media yang Atraktif dan Komunikatif


Media di samping dapat meningkatkan motivasi, menghilangkan kejenuhan
siswa dalam pembelajaran bahasa Arab, dan meningkatkan hasil belajar siswa, ia juga
dapat menutupi kelemahan guru yang bertipe kepribadian introvert atau menutupi
kelemahan guru dalam menggunakan bahasa Arab sebagai alat komunikasi di kelas.

14
Dalam konteks ini, media cukup berperan sebagai “pengganti” sementara bahasa lisan
guru. Untuk itu, media yang digunakan hendaknya komunikatif, praktis, dan atraktif.
Media yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab dapat
dikelompokkan menjadi media elektronika dan non-elektronika. Media elektronika
yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa Arab misalnya tape recorder,
laboratorium bahasa, dan multi media lainnya. Di era teknologi informasi ini, guru
dapat mengembangkan media pembelajaran berbasis web dengan aneka pilihan
program, misalnya program swish max, adobe flash maupun adobe dream weaver Mx.
Sementara itu, media non-elektronika yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran
bahasa Arab misanya gambar tunggal maupun berseri, bagan, benda asli, maupun
benda tiruan, kartu kata, kartu kalimat, dan jenis media lainnya yang relevan.

6) Profesionalitas dan Integritas Guru Bahasa Arab


Menjadi guru bahasa Arab di madrasah atau di sekolah untuk saat ini
memang ”tidak selempeng” menjadi guru bahasa Inggris, karena posisi bahasa Inggris
di Madrasah yang ”dianakemaskan”. Untuk mengembalikan ”keemasan” bahasa Arab di
madrasah dibutuhkan seorang guru yang berkerpibadian tangguh, motivator, ulet,
bangga menjadi guru bahasa Arab, dan tekun. Selain itu, guru bahasa Arab harus
mampu menjadi ’pemasar’ bahasa Arab yang canggih. Tentu saja juga dibutuhkan
komptensi profesionalitas dan pedagogik. Pepata Arab mengatakan: Athoriqatu
ahammu minal mawad, al-mudarrisu ahammu minat thariqah, wa ruhul mudarrisu ahammu
kulli syaiin (Metode itu lebih penting daripada materi, guru lebih penting daripada
metode, dan integritas guru lebih penting dari segalanya).

7) Pemosisian Bahasa Arab Sebagai Penguat Visi dan Misi Madrasah


Sebagaimana dikemukakan, bahwa posisi matapelajaran bahasa Arab di
madrasah secara kurikuler dan secara institusional kurang diapresiasi sebagaimana
bahasa Inggris. Posisi seperti ini berdampak pada minat peserta didik terhadap bahasa
Arab rendah, mereka kurang bangga belajar bahasa Arab, mereka merasa tidak
memperoleh manfaat apabila belajar bahasa Arab. Terkait dengan hal ini, maka
memposisikan bahasa Arab oleh madrasah sebagai penguat visi dan misi madrasah
perlu dilakukan.
Salah satu cara yang dapat dilakukan, khususnya oleh Kemeterian Agama
adalah menasionalkan ujian untuk matapelajaran bahasa Arab. Hal ini beralasan
karena bahasa arab secara fungsional dan kesejarahaan sangat erat dengan
pemahaman dan pengamalan nilai-nilai ajaran Islam. Bukankah kata kunci dalam visi
madrasah adalah keagamaan atau ke-Islaman. Visi ini akan tercapai manakala salah
satu unsur utama yang mengantarkan peserta didik memahami dan menghayati ajaran
Islam secara maksimal mendapatkan perhatian memadai, yaitu bahasa Arab. Apabila
Kementerian Agama menasionalkan ujian matapelajaran bahasa Arab, maka motivasi
belajar peserta didik untuk mempelahari bahasa Arab akan muncul, sekalipun
motivasi tersebut pada awalnya bersifat ekstrinsik-negatif (dorongan belajar karena
ada rasa takut akan hukuman, yakni takut tidak lulus UN). (Gintings, 2008)
Dalam perspektif teori behaviorisme, nasionalisasi ujian mata pelajaran
bahasa Arab dapat dikagorikan sebagai bentuk rewards atau phunisment. Artinya, siswa
yang menguasai bahasa Arab akan diapresiasi oleh UN berupa skor ujian yang tinggi
(rewards), demikian pula siswa yang kurang menguasai bahasa arab akan diapresiasi
oleh UN berupa skor ujian yang rendah (phunisment). Keberadaan rewards maupun
punishments berimplikasi pada semangat siswa untuk mempelajari bahasa Arab.
Semangat belajar ini muncul karena siswa akan memperoleh rewards ketika

15
memperlajari bahasa Arab dan semangat belajar ini juga muncul karena siswa takut
akan memperoleh punishments manakala dia memperoleh nilai ujian rendah. Bahkan
nasionalisasi ujian matapelajaran bahasa Arab ini akan memacu kepala madrasah
untuk berkomitmen secara kaffah terhadap eksistensi bahasa Arab.

PENUTUP
Motivasai merupakan energi utama bagi seseroang untuk melakukan suatu
tindakan. Dalam konteks PBA, motivasi merupakan faktor utama untuk menentukan
keberhasilan belajar. Peserta didik bahasa Arab yang kurang atau tidak bermotivasi
belajar bahasa Arab, berarti dia tidak memiliki energi untuk menguasai bahasa Arab.
Ditengarai saat ada fenomena kekurangan energi peserta didik dalam belajar bahasa
Arab.
Untuk memulihkan energi mereka untuk belajar bahasa Arab dan mereka
bangga saat belajar bahasa Arab, diperlukan suatu pembelajaran bahasa Arab yang
motivasional. Hal hal yang perlu dilakukan agar tercipta kelas belajar bahasa Arab
yang motivasional adalah sebagai berikut (a) pembelejaran bahasa Arab bukan
tentang bahasa Arab, (b) penggunaan metode PBA yang komunikatif-partisipatif, (c)
pembentukan lingkungan Arabi, (d) pemilihan materi yang readibilitas tinggi, (e)
pemanfataan media yang atraktif dan komunikatif, (f) profesionalitas dan integritas
guru bahasa Arab, dan (g) pemosisian bahasa Arab sebagai penguat visi dan misi
madrasah.

DAFTAR RUJUKAN
Brown, H. Douglash. 2007. Teaching by Principles An Interactive Approach to Language
Pedagogy. (Third Edition). San Francisco. Longman.
Dulay, Heidi, Mariana Burt dan S. Krashen. 1982. Language Two. New York: Oxford
Univesitiy Press.
Ginting, Abdorrakhman. 2008. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Humaniora.
Krashen, Stephen D dan Terrell, Tracy D. 1983. The Natural Approach: Language
Acquisition in the Classroom. New York: Pergamon Press.
Krashen, Stephen D. 1985. The Input Hypothesis: Issues and Implications. New York:
Longman.
Nunan, David. 1991. Language Teaching Methodoloy. New York: Prentice Hall
International (UK), Ltd.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 74 Tahun 2009 tentang Ujian Akhir
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa
(SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2009/2010.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), SMP Luar
Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) SMA Luar
Biasa, dan Sekolah Menengah Kejuruhan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010.
Santrock, John W. 2010. Educational Psychology. Terjemahan oleh Tri Wibowo, B.S.
Jakarta: Kencana.
Sardiman, A.M. 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Shini, Mahmud Ismail, Abdullah, dan Umar Ashshddiq. 1984. Al-mu’inat Al-
bashariyyah fi Ta’allumi Al-lughah. Riyadl: Jami’atu Al-malik Su’ud.
Slavin, Robert E. 2009. Educational Psychology: Theory and Practice. Terjamahan oleh
Marianto Samosir. Jakarta: PT Indeks.

16

Anda mungkin juga menyukai