52 95 1 SM
52 95 1 SM
MOH. AININ
Universitas Negeri Malang
aininmohammad@gmail.com
8
Para psikolog menemukan bahwa motivasi memiliki dua komponen utama,
yaitu kebutuhan (need) dan dorongan (drive) (Sprinthall, 1990). Keberadaan kebutuhan
pada diri manusia disebabkan oleh adanya kekurangan (defisit) pada diri manusia
baik kebutuhan fisik maupun psikis. Kebutuhan fisik terkait dengan pemenuhan
kebutuhan unsur-unsur yang bersifat jasmani (tubuh) misalnya kebutuhan air,
makanan, sek, kebutuhan tidur (istirahat) dan lain-lain. Motivasi yang berhubungan
dengan kebutuhan fisik disebut dengan motivasi fisiologis. Sementara itu, kebutuhan
psikis terkait dengan kebutuhan kejiwaan, misalnya kebutuhan untuk mendapatkan
restu, penghargaan atau penguatan, kekuasaan, prestise, dan lain-lain. Kebutuhan
yang terjadi pada diri manusia melahirkan suatu dorongan (drive) melalukan suatu
tindakan untuk mencapai suatu kebutuhan yang diinginkan.
Dalam konteks pembelajaran, motivasi dapat dimaknai sebagai suatu gerak
jiwa yang mendorong siswa terlibat dalam pembelajaran untuk mencapai tujuan yang
diharapkan. Para pakar dan hasil penelitian menyimpulkan bahwa motivasi terkait
erat dengan prestasi belajar siswa. Motivasi akan melahirkan kinerja atau keterlibatan
kerja yang berimplikasi pada prestasi. Suatu fakta empirik menyatakan bahwa
motivasi merupakan komponen utama dalam pembelajaran dan merupakan faktor
non-intelektual yang berperan utama dalam menentukan keberhasilan belajar siswa.
(Sprinthall, 1990). Hubungan antara motivasi dan prestasi belajar oleh Ginting (2008)
digambarkan sebagai berikut.
9
SMA yang secara kurikuler merupakan salah satu matapelajaran yang diajarkan di
sekolah tersebut, sebagai matapelajaran wajib maupun pilihan.
Berpijak dari permasalahan di atas, maka jihad untuk mengeksiskan kembali
bahasa Arab di Madrasah maupun di sekolah mutlak tugas kita bersama.
Mengeksiskan kembali ini dapat diwujudkan dalam bentuk pengupayaan PBA yang
motivasional, sehingga bahasa Arab tidak dipandang dengan ’ainus sukhthi’ tetapi
dengan ’ainur ridha’. Terkait dengan permasalahan ini, makalah ini mencoba menjawab
pertanyaan (a) faktor-faktor apa sajakah yang menyebabkan fenomena demotivasi
dalam PBA, (b) jenis motivasi apa sajakah yang lazim terjadi dalam PBA, (c)
bagaimanakah penciptaan pembelajaran bahasa Arab yang motivasional.
10
pimpinan PT Muhammadiyah yang saya visit, Organisasi Muhammadiyah
mewajibkan semua PT Muhammadiyyah di Indonesia membuka Prodi Bahasa dan
Sastra Arab atau Prodi Pendidikan Bahasa Arab, karena prodi ini dan prodi Tafsir-
Hadits merupakan prodi misi, tanpa harus mempertimbangkan keuntungan
finansial yang diperoleh.
3) Pengalokasian jam pelajaran bahasa Arab di madrasah, khususnya madrasah
negeri yang tampak deskriminatif. Jumlah jam pelajaran bahasa Arab di MI = 2 jam
perminggu, MTs = 3 jam perminggu, di MA 4 jam perminggu (untuk kelas X) dan
2 jam perminggu untuk kelas XI dan XII (termasuk pada program Ilmu bahasa.
Bandingkan dengan jumlah jam pelajaran bahasa Inggris yang 4 jam perminggu
baik di MI maupun MTs dan 6 jam perminggu untuk bahasa Indonesia. Untuk
matapelajaran rumpun IPA sekitar 4 sampai 5 jam perminggu. Pengalokasian jam
pelajaran seperti ini secara psikologis dapat membentuk opini peserta didik dan
pendidik bahwa bahasa Arab itu tidak atau kurang penting.
4) Dari aspek pembelajaran, ada kecendrungan PBA lebih mengedepankan metode
gramatika-terjemah. Model PBA yang mengedepankan metode ini menyebabkan
peseta didik merasa kesulitan dan merasa bosan. Pada akhirnya kurang tertarik
belajar bahasa Arab.
5) Penggunaan bahasa Arab di kelas secara gradual sebagai bahasa komunikasi di
kelas kurang intensif, sehingga yang tampak bukan lingkungan PBA melainkan
lingkungan Pembelajaran Bahasa Indonesia.
6) Penggunaan media pembelajaran yang kurang maksimal dan kurang fungsional.
Media pembelajaran memang bukan tujuan, melainkan sebagai alat (Shini, et all.,
1984). Akan tetapi, tidak diragukan lagi kalau penggunaan media baik elektronik
maupun non-elektronik berpengaruh terhadap peningkatan kualitas proses dan
hasil belajar. Apalagi saat ini dapat kita dapati berbagai bentuk media berbasis
software.
7) Teknik pembelajarannya kehilangan unsur pemerolehan (iktisab) dan lebih
menekankan pada ta’allum (learning). PBA yang mengedepankan aktivitas
pemerolehan (iktisab) dapat menciptakan lingkungan kelas yang arabi, karena guru
membiasakan penggunaan bahasa Arab yang secara otomatis peserta didik akan
memperoleh masukan bahasa Arab melalui pajanan dari guru. Berbeda dengan
aktivitas belajar (learning) yang lebih menekankan belajar bentuk bahasa, bukan
penggunaan bahasa.
8) Lingkungan berbahasa Arab di kelas maupun di luar kelas kurang kondusif.
Lingkungan baik formal maupun non-formal secara signfikan berpengaruh
terhadap keberhasilan PBA. Realita menunjukkan bahwa lingkungan berbahasa
Arab (bi’ah arabiyyah) baik di kelas maupun di luar kelas di beberapa madrasah
atau sekolah kurang mendukung.
9) Buku Ajar atau Bahan Ajar yang digunakan sering kurang memperhatikan tingkat
keterbacaan yang baik. Berdasarkan telaah sekilas terhadap salah satu buku ajar
bahasa Arab yang digunakan di salah satu SMK swasta, materi maharah (kalam dan
qira’ah) terlalu sulit dan teksnya terlalu panjang. Dalam teori Krashen (1985) yang
disebut dengan Hipotesis Input, materi bahasa yang terlalu sulit ini tidak akan
bisa menjadi masukan atau input berbahasa (berbahasa Arab) dan berdampak
pada keengganan mereka belajar bahasa Arab.
JENIS MOTIVASI
Dari jenisnya, motivasi dapat dikelompokkan menjadi motivasi intrinsik dan
ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi internal untuk melakukan sesuatu demi
sesuatu itu sendiri (tujuan), misalnya siswa belajar menghadapi ujian karena dia
11
menyukai mata pelajaran yang diujikan. Sementara itu, motivasi ekstrinsik adalah
suatu motivasi yang muncul pada diri seseorang untuk melakukan suatu tindakan
karena untuk mendapatkan sesuatu yang lain. Motivasi ekstrinsik sering dipengaruhi
oleh insentif eksternal misalnya imbalan dan hukuman (Santrock, 2010).
Dalam terminologi agama, motivasi semakna dengan niat. Niat seseorang
melakukan ibadah, baik ibadah sosial maupun ibadah ritual (ibadah mahdlah) ada yang
bersifat ekstrinsik dan ada yang intrinsik. Secara hierarkis, niat dikelompokkan
menjadi tiga tingkatan. Pertama, orang beribadah karena ingin mendapat pujian dari
orang lain (riya’) dan niat seperti ini tergolong ekstrinsik-negatif. Kedua, orang
beribadah karena ingin mendapatkan pahala (imbalan) dari Allah (niat ekstrinsik-
positif), misalnya orang melakukan salat berjamaah karena pahalanya lebih besar
daripada salat sendirian, yakni 1 berbanding 27. Tingkatan niat atau motivasi yang
mendasarkan pada pahala ini menurut pandangan kaum sufi ibarat pedagang yang
selalu memperhitungkan untung-rugi. Ketiga, orang beribadah karena beribadah itu
(sosial-ritual) merupakan kebutuhan pokok rohani untuk mendekatkan diri kepada-
Nya dan untuk mendapatkan ridlo dari-Nya, tanpa memperhatikan berapa besar
pahala yang diterima (motivasi intrinsik), apalagi hanya karena pujian dari orang lain.
Dalam terminologi pemerolehan bahasa kedua (L₂ acquisition), Gardner dan
Lambert (1959) membedakan motivasi instrumental dan motivasi integratif (Dulay, et
all., 1982 dan Brown, 2007). Motivasi instrumental sebagai suatu keinginan untuk
menguasai bahasa baru atas asas manfaat atau untuk kepentingan praktis, misalnya
untuk memperoleh pekerjaan, untuk kepentingan karier tertentu, untuk keperluan
pendidikan, atau untuk tujuan yang bersifat finansial. Sementara itu, motivasi
integratif adalah suatu keinginan untuk menguasai bahasa baru agar dapat
berpartisipasi dalam kehidupan masyarakat penutur bahasa baru tersebut. Motivasi ini
merefleksikan keinginan dan minat pribadi dalam suatu komunitas dan kebudayaan
yang direpresentasikan oleh kelompok lain (Dulay, et all., 1982). Gardner dan kawan-
kawan (dalam Krashen,1983) juga menemukan bahwa siswa yang memiliki motivasi
integratif selalu memberikan respon dengan benar terhadap stimulus yang diberikan
di kelas dan mereka mendapatkan penguatan yang positif dari gurunya.
Dalam studinya, Gardner dan Lambert (dalam Dulay, et all., 1982) memberikan
kuesioner langsung kepada siswa untuk membuat urutan (ranking) atas empat alasan
mereka mempelajari bahasa Perancis. Keempat urutan alasan tersebut adalah belajar
bahasa Perancis berarti (1) bermanfaat untuk mencari pekerjaan, (2) membantu
pemahaman terhadap rakyat Canada keturunan Perancis dan pandangan hidup
mereka, (3) memungkinkan bertemu dan berbicara dengan lebih banyak orang dan
bermacam-macam orang, (4) menyebabkan seseorang menjadi terdidik lebih baik.
Menurut Gardner dan Lambert, alasan (1) dan (4) termasuk motivasi instrumental,
sedangkan alasan (2) dan (3) termasuk motivasi integratif. Temuan penelitian
menunjukkan bahwa baik motivasi integratif maupun instrumental secara positif
mempengaruhi percepatan penguasaan bahasa kedua. Akan tetapi, di antara kedua
motivasi tersebut, motivasi integratif lebih kuat pengaruhnya daripada motivasi
instrumental untuk pengembangan keterampilan komunikasi (Dulay, et all., 1982).
12
1) Pembelajaran Bahasa Arab bukan tentang Bahasa Arab
Pembelajaran bahasa berbeda dengan pembelajaran tentang bahasa.
Pembelajaran bahasa lebih pada pembelajaran penggunaan bahasa Arab sebagai alat
komunikasi, baik lisan maupun tulis. Pembelajaran bahasa Arab lebih menekankan
pada aktivitas pemerolehan (iktisab) bahasa Arab bagi peserta didik dan
menumbuhkembangkan mereka untuk menguasai maharah lughawiyyah secara ”semi
alamiah” atau syibhu ath-thabi’iy. Model pembelajaran seperti ini dapat dijumpai di
berbagai lembaga pendidikan atau madrasah, misalnya di lingkungan Madrasah
Aliyah Keagamaan.
Sementara itu, pembelajaran tentang bahasa berarti pembelajaran ilmu bahasa
atau bentuk-bentuk bahasa. Luaran pembelajaran tentang bahasa adalah pengetahuan
tentang kaidah-kaidah bahasa Arab yang rumit dan sangat kognitif. Pembelajaran
tentang bahasa Arab yang rumit dan sangat kognitif ini membuat peserta didik merasa
sulit belajar bahasa Arab dan ujung-ujungnya mereka tidak berminat belajar bahasa
Arab. Oleh karena itu, tidaklah dipersalahkan apabila bahasa Arab dikesankan sebagai
bahasa yang sulit.
Hal-hal yang dilakukan untuk mewujudkan pembelajaran bahasa Arab bukan
tentang bahasa Arab adalah sebagai berikut.
(1) Guru hendaknya membiasakan penggunaan bahasa Arab secara gradual sebagai
alat komunikasi di kelas (bahkan di luar kelas), baik dalam menjelaskan materi
pelajaran maupun saat berinteraksi dengan peserta didik.
(2) Materi pembelajaran difokuskan pada maharah lughawiyyah secara utuh, mulai dari
istima’, kalam, qira’ah, dan kitabah. Masing-masing maharah mempunyai teknik
pembelajaran tersendiri. Dalam kenyataannya, maharah istima’ ini jarang diajarkan
secara khusus, melainkan diintegrasikan dengan maharah kalam atau qira’ah.
Padahal maharah ini merupakan maharah yang pertama kali diajarkan kepada
peserta didik. Khusus untuk maharah istima’ sebaiknya diperdengarkan suara
penutur asli.
(3) Hindari pembelajaran kaidah yang tidak atau kurang fungsional yang pada
akhirnya dapat mengurangi waktu untuk pembelajaran kemahiran berbahasa
Arab. Apabila ada, maka kaidah-kaidah bahasa Arab itu diajarkan secara
fungsional dalam konteks penggunaan bahasa.
13
simulasai, bermain peran, kuis. Bahkan dapat dipadukan dengan model-model
pembelajaran kooperatif, misalnya Jigsaw, Student Teams Achievment Devision (STAD),
Team Games Tournament (TGT). Kebervariasian teknik yang dikembangkan pada
dasarnya menekankan pada aktivitas siswa dalam berbahasa Arab baik aktivitas tulis
maupun lisan.
14
Dalam konteks ini, media cukup berperan sebagai “pengganti” sementara bahasa lisan
guru. Untuk itu, media yang digunakan hendaknya komunikatif, praktis, dan atraktif.
Media yang dapat digunakan dalam pembelajaran bahasa Arab dapat
dikelompokkan menjadi media elektronika dan non-elektronika. Media elektronika
yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran bahasa Arab misalnya tape recorder,
laboratorium bahasa, dan multi media lainnya. Di era teknologi informasi ini, guru
dapat mengembangkan media pembelajaran berbasis web dengan aneka pilihan
program, misalnya program swish max, adobe flash maupun adobe dream weaver Mx.
Sementara itu, media non-elektronika yang dapat dimanfaatkan untuk pembelajaran
bahasa Arab misanya gambar tunggal maupun berseri, bagan, benda asli, maupun
benda tiruan, kartu kata, kartu kalimat, dan jenis media lainnya yang relevan.
15
memperlajari bahasa Arab dan semangat belajar ini juga muncul karena siswa takut
akan memperoleh punishments manakala dia memperoleh nilai ujian rendah. Bahkan
nasionalisasi ujian matapelajaran bahasa Arab ini akan memacu kepala madrasah
untuk berkomitmen secara kaffah terhadap eksistensi bahasa Arab.
PENUTUP
Motivasai merupakan energi utama bagi seseroang untuk melakukan suatu
tindakan. Dalam konteks PBA, motivasi merupakan faktor utama untuk menentukan
keberhasilan belajar. Peserta didik bahasa Arab yang kurang atau tidak bermotivasi
belajar bahasa Arab, berarti dia tidak memiliki energi untuk menguasai bahasa Arab.
Ditengarai saat ada fenomena kekurangan energi peserta didik dalam belajar bahasa
Arab.
Untuk memulihkan energi mereka untuk belajar bahasa Arab dan mereka
bangga saat belajar bahasa Arab, diperlukan suatu pembelajaran bahasa Arab yang
motivasional. Hal hal yang perlu dilakukan agar tercipta kelas belajar bahasa Arab
yang motivasional adalah sebagai berikut (a) pembelejaran bahasa Arab bukan
tentang bahasa Arab, (b) penggunaan metode PBA yang komunikatif-partisipatif, (c)
pembentukan lingkungan Arabi, (d) pemilihan materi yang readibilitas tinggi, (e)
pemanfataan media yang atraktif dan komunikatif, (f) profesionalitas dan integritas
guru bahasa Arab, dan (g) pemosisian bahasa Arab sebagai penguat visi dan misi
madrasah.
DAFTAR RUJUKAN
Brown, H. Douglash. 2007. Teaching by Principles An Interactive Approach to Language
Pedagogy. (Third Edition). San Francisco. Longman.
Dulay, Heidi, Mariana Burt dan S. Krashen. 1982. Language Two. New York: Oxford
Univesitiy Press.
Ginting, Abdorrakhman. 2008. Esensi Praktis Belajar dan Pembelajaran. Bandung:
Humaniora.
Krashen, Stephen D dan Terrell, Tracy D. 1983. The Natural Approach: Language
Acquisition in the Classroom. New York: Pergamon Press.
Krashen, Stephen D. 1985. The Input Hypothesis: Issues and Implications. New York:
Longman.
Nunan, David. 1991. Language Teaching Methodoloy. New York: Prentice Hall
International (UK), Ltd.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 74 Tahun 2009 tentang Ujian Akhir
Sekolah Dasar/Madrasah Ibtidaiyah/Sekolah Dasar Luar Biasa
(SD/MI/SDLB) Tahun Pelajaran 2009/2010.
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 75 Tahun 2009 tentang Ujian Nasional
Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), SMP Luar
Biasa, Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA) SMA Luar
Biasa, dan Sekolah Menengah Kejuruhan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010.
Santrock, John W. 2010. Educational Psychology. Terjemahan oleh Tri Wibowo, B.S.
Jakarta: Kencana.
Sardiman, A.M. 1986. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada.
Shini, Mahmud Ismail, Abdullah, dan Umar Ashshddiq. 1984. Al-mu’inat Al-
bashariyyah fi Ta’allumi Al-lughah. Riyadl: Jami’atu Al-malik Su’ud.
Slavin, Robert E. 2009. Educational Psychology: Theory and Practice. Terjamahan oleh
Marianto Samosir. Jakarta: PT Indeks.
16