Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas pada Mata Kuliah Keperawatan Jiwa
Dosen Koordinator : Rahmi Imelisa, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.J
Dosen Pembimbing : Rahmi Imelisa, M.Kep.,Ns.,Sp.Kep.J
Oleh :
Sevia mariana
2350321141
Tanggal : Tanggal :
Rata-
Rumah Sakit Paraf CI dan Nilai Nilai
Paraf Dosen Rata
Stempel
A. PENGERTIAN
Bunuh diri adalah tindakan yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping
yang digunakan dalam mengatasi masalah (Damaiyanti & Iskandar, 2014).
Bunuh diri suatu keadaan dimana individu mengalami resiko untuk
menyakiti diri sendiri untuk melakukan tindakan yang dapat mengancam
nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai perilaku
destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapatmengarah
kepada kematian.
American Psychiatric Association (APA) mengartikan perilaku
bunuh diri sebagai bentuk tindakan dari individu dengan cara membunuh
dirinya sendiri dan paling sering terjadi diakibatkan oleh adanya tekanan,
depresi ataupun penyakit mental lainnya. Bunuh diri adalah setiap aktivitas
yang jika tidak dicegah dapat mengarah pada kematian. Risiko bunuh diri
adalah rentan terhadap menyakiti diri sendiri dan cedera mengancam jiwa
(Keliat & dkk, 2015).
B. ETIOLOGI
1. Faktor Predisposisi
Menurut Iyus Yosep (2010), terdapat beberapa factor yang
berpengaruh dalam bunuh diri, anatara lain:
a. Faktor mood dan biokimia otak.
b. Faktor riwayat gangguan mental.
c. Faktor meniru, imitasi, dan factor pembelajaran.
d. Faktor isolasi sosial dan human relations.
e. Faktor hilangnya rasa aman dan ancaman kebutuhan dasar.
f. Faktor religiusitas.
2. Faktor Presipitasi
Perilaku destruktif dapat ditimbulkan oleh stress yang berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya seringkali kejadian hidup yang
memalukan, melihat atau membaca melalui media tentang orang yang
melakukan bunuh diri ataupun percobaan bunuh diri (Fitria, 2010).
D. RENTANG RESPON
E. PENATALAKSANAAN
Menurut Rini (2020) penatalaksanaan medis pada pasien dengan risiko
bunuh diri yaitu :
1. Farmakoterapi
Pasien dengan ekspresi marah perlu perawatan dan pengobatan
mempunyai dosis efektif tinggi contohnya: clorpromazine HCL yang
berguna untuk mengendalikan psikomotornya. Bila tidak ada bisa
mengunakan dosis efektif rendah contohnya trifluoperasineestelasine,
bila tidak ada juga maka dapat digunakan transquilizer bukan obat anti
psikotik seperti neuroleptika, tetapi meskipun demikian keduanya
mempunyai efek anti tegang, anti cemas, dan anti agitasi.
2. Terapi okupasi
Terapi ini sering diterjemahkan dengan terapi kerja. Terapi ini bukan
pemberian pekerjaan atau kegiatan itu sebagai media untuk melakukan
kegiatan dan mengemmbalikan kemampuan berkomunikasi, karena itu
dalam terapi ini tidak harus diberikan pekerjaan tetapi segala bentuk
kegiatan seperti membaca koran, main catur dapat pula dijadikan
media yang penting setelah mereka melakukan kegiatan itu diajak
berdialog atau berdiskusi tentang pengalaman dan arti kegiatan itu bagi
dirinya. Terapi ini merupakan langkah awal yang harus dilakukan oleh
petugas terhadap rehabilitasi setelah dilakukannya seleksi dan
ditentukan program kegiatannya.
3. Peran serta keluarga
Keluarga merupakan sistem pendukung utama yang memberikan
perawatan langsung pada setiap keadaan (sehat-sakit) pasien. Perawat
membantu keluarga agar dapat melakukan lima tugas kesehatan, yaitu
mengenal masalah kesehatan, membuat keputusan tindakan kesehatan,
memberi perawatan pada anggota keluarga, menciptakan lingkungan
keluarga yang sehat, dan mengunakan sumber yang ada pada
masyarakat. Keluarga yang mempunyai kemampuan mengatasi
masalah akan dapat mencegah perilaku maladaptif (pencegahan
primer)dan memulihkan perilaku maladaptif ke perilaku adaptif
(pencegahan tersier) sehingga derajat kesehatan pasien dan keluarga
dapat di tingkatkan secara optimal
F. DIAGNOSA KEPERAWATAN (DATA FOKUS)
1. Masalah keperawatan
a. Risiko Bunuh Diri (D.0135)
2. Data yang perlu dikaji Faktor Risiko:
a. Gangguan perilaku (mis. Suforia mendadak setelah depresi,
perilaku mencari senjata berbahaya, membeli obat dalam jumlah
banyak, membuat surat wasiat)
b. Demografi (mis. Lansia, status perceraian, janda/duda, ekonomi
rendah, pengangguran)
c. Gangguan fisik (mis. Nyeri kronis, penyakit terminal)
d. Masalah sosial (mis, berduka, tidak berdaya, putus asa, kesepian,
kehilangan hubungan yang penting, isolasi sosial)
e. Gangguan psikologis (mis. Penganiayaan masa kanak-kanak,
riwayat bunuh diri sebelumnya, remaja homoseksual, gangguan
psikiatrik, penyalahgunaan zat).
G. INTERVENSI KEPERAWATAN
Damaiyanti, M., & Iskandar. (2014). Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.
Refika Aditama.
Fitria. (2009). Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan dan
Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan. Jakarta. Salemba Medika.
Keliat, B. a., & Akemat. (2019). Model Praktik Keperawatan Profesional Jiwa.
Jakarta: EGC
Keliat, B. a., & dkk. (2015). Diagnosis Keperawatan : Definisi dan Klasifikasi.
Jakarta: EGC.
Rini, Zamiah Elfa. (2020). Studi Dokumentasi Pada Pasien Risiko Perilaku
Kekerasan Dengan Skizofrenia. Akademi Keperawatan YKY Yogyakarta.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2017). Standar Diagnosa Keperawatan Indonesia.
Jakarta : DPP PPNI.
Yosep, Iyus. (2010). Keperawatan Jiwa. Edisi revisi, cetakan III. Bandung: PT.
Refika Aditama.