Anda di halaman 1dari 20

LAPORAN PENDAHULUAN RESIKO BUNUH DIRI

Oleh :

NAVA SYAFAAT ARAFAT USMAN

14420231070

CI Lahan CI Institusi

(………….………..) (……………………)

FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2023

1
A. KONSEP KEPERAWATAN
1. Definisi
Bunuh diri adalah tindakan agresif yang merusak diri sendiri dan dapat
mengakhiri kehidupan. Perilaku bunuh diri yang tampak pada seseorang
disebabkan karena stress yang tinggi dan kegagalan mekanisme koping yang
digunakan dalam mengatasi masalah (Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014
dalam Asuhan Keperawatan Jiwa yang disebutkan oleh keliat dan akemat,
2009 )
Bunuh diri adalah suatu keadaan dimana individu mengalami resiko
untuk menyakiti diri sendiri untuk melakukan tindakan yang dapat
mengancam nyawa. Dalam sumber lain dikatakan bahwa bunuh diri sebagai
perilaku destruktif terhadap diri sendiri yang jika tidak dicegah dapat
mengarah kepada kematian. Perilaku destruktif diri yang mencakup setiap
bentuk aktivitas bunuh diri, niatnya adalah kematian dan individu menyadari
hal ini sebagai sesuatu yang diinginkan (Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014
dalam Asuhan Keperawatan Jiwa yang disebutkan oleh stuart dan sundeen,
1995).

2. Etiologi
a. Faktor predisposisi
Lima faktor predisposisi yang menunjang pada pemahaman perilaku
destruktif diri sepanjang siklus kehidupan adalah sebagai berikut:
- Diagnosis psikiatrik
Lebih dari 90% orang dewasa yang mengakhiri hidupnya dengan cara
bunuh diri mempunyai riwayat gangguan jiwa. Tiga gangguan jiwa
yang dapat membuat individu berisiko untuk melakukan tindakan
bunuh diri adalah gangguan efektif, penyalagunaan zat, dan
skizofrenia.

2
- Sifat kepribadian
Tiga tipe kepribadiaan yang erat hubungannya dengan besarnya resiko
bunuh diri adalah antipati, implusif, dan depresi.
- Lingkungan psikososial
Faktor predisposisi terjadinya perilaku bunuh diri, antaranya adalah
pengalaman kehilangan, kehilangan dukungan sosial, kejadian-
kejadian negatif dalam hidup, penyakit kronis, perpisahan, atau
bahkan perceraian. Kekuatan dukungan social sangan penting dalam
menciptakan intervensi yang terapeutik, dengan terlebih dahulu
mengetahui penyebab masalah, respon seseorang dalam menghadapi
masalah tersebut, dan lai-lain.
- Riwayat keluarga
Riwayat keluarga yang pernah melakukan bunuh diri merupakan
faktor penting yang dapat menyebabkan seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.
- Faktor biokimia
Data menunjukkan bahwa klien dengan resiko bunuh diri terjadi
peningkatan zat-zat kimia yang terdapat dalam otak seperti serotonin,
adrenalin, dan dopamine. Peningkatan zat tersebut dapat diliham
melalui rekaman gelombang otak electro encephalo graph (EEG).
b. Faktor presipitasi
Perilaku destriktif diri dapat ditimbulkan oleh stress berlebihan yang
dialami oleh individu. Pencetusnya sering kali berupa kejadian hidup yang
memalukan. Faktor lain yang dapat menjadi pencetus adalah melihat atau
membaca melalui media mengenai orang yang melakukan bunuh diri atau
percobaan bunuh diri. Bagi individu yang emosinya labil, hal tersebut
menjadi sangat rentan.
c. Perilaku koping

3
Klien dengan penyakit kronik atau penyakit yang mengancam kehidupan
dapat melakukan perilaku bunuh diri dan sering kali orang ini secara sadar
meminta untuk melakukan tindakan bunuh diri. Perilaku bunuh diri
berhubungan dengan banyak faktor, baik faktor sosial maupun budaya.
Struktur sosial dari kehidupan bersosial dapat menolong atau bahkan
mendorong klien melakukan perilaku bunuh diri. Isolasi sosial dapat
menyebabkan kesepian dan meningkatkan keinginan seseorang untuk
melakukan bunuh diri. Seseorang yang aktif dalam kegiatan masyarakat
lebih mampu menoleransi stress dan menurungkan angka bunuh diri. Aktif
dalam kegiatan keagamaan juga dapat mencegah seseorang melakukan
tindakan bunuh diri.

d. Mekanisme koping
Seseorang klien mungkin memakai beberapa variasi mekanisme koping
yang berhubungan dengan perilaku bunuh diri. Termasuk denial,
rasionalization, regrassion, dan magical thingking. Mekanisme
pertahanan diri yang ada seharusnya tidak ditentang tanpa memberikan
koping alternatif.(Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014 dalam Asuhan
Keperawatan Jiwa )

3. Tanda dan gejala


Menurut Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014 dalam Buku Asuhan
Keperawatan Jiwa, (yang di sebutkan oleh fitrya, 2009 ) tanda dan gejala
dari resiko bunuh diri adalah:
a. Mempunyai ide untuk bunuh diri
b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
d. Implusif

4
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya menjadi sangat
patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g. Verbal terselubung (berbicara tentang kematian, menanyakan tentang obat
dosis mematikan).
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas meningkat,panik, marah dan
mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai orang yang depresi,
psikosis dan menyalagunakan alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit kronik atau
terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau mengalami
kegagalan dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
m. Status perawinan (mengalami kegagalan dalam perkawinan).
n. Pekerjaan
o. Konflik interpersonal
p. Latar belakang keluarga
q. Orientasi seksual
r. Sumber-sumber personal

5
4. Proses Terjadinya

Motivasi Niat Penjabaran Krisis Bunuh Tindakan


gagasan diri Bunuh Diri

Hidup atau Konsep  Jeritan Minta Tolong


mati Bunuh Diri  Catatan Bunuh Diri

Setiap upaya percobaan bunuh diri selalu diawali dengan adanya motivasi
untuk bunuh diri dengan berbagai alasan, berniat melaksanakan bunuh diri,
mengembangkan gagasan sampai akhirnya melakukan bunuh diri. Oleh
karena itu, adanya percobaan bunuh diri merupakan masalah keperawatan
yang harus mendapatkan perhatian serius. Sekali pasien berhasil mencoba
bunuh diri, maka selesai riwayat pasien. Untuk itu, perlu diperhatikan
beberapa mitos (pendapat yang salah) tentang bunuh diri.
( Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015 )

6
5. Patofisiogram
Masalah interpersonal, dipermalukan di depan umum
kehilangan pekerjaan, ancaman pengurungan

Koping individu tidak efektif

Ide bunuh diri

Isyarat bunuh diri verbal/noverbal

Pertimbangan untuk melakukan bunuh diri

Ancaman bunuh diri

Kurangnya respon positif (putus asa )

Upaya bunuh diri/pencederaan diri

Bunuh diri

7
(Azizah, L. M., Zainuri, I. & Akbar, A. 2016dalam Buku ajar Keperawatan
Kesehatan Jiwa yang disebutkan ole Stuart&Sundeen,2006 )

6. Rentang respon
Menurut Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014 dalam Buku Asuhan
Keperawatan Jiwa yang di kutip dari yosep (2009);
Respon adaptif Respon maladaptif

Peningkatan berisiko destruktif diri pencederaan


bunuh diri
diri destruktif tidak langsung diri

Perilaku bunuh diri menunjukkan kegagalan mekanisme koping. Ancaman


bunuh diri mungkin menunjukkan upaya terakhir untuk mendapatkan
pertolongan agar dapat mengatasi masalah. Bunuh diri yang terjadi
merupakan kegagalan koping dan mekanisme adaptif pada diri seseorang.
a. Peningkatan diri. Seseorang dapat meningkatkan proteksi atau pertahanan
diri secara wajar terhadap situasional yang membutuhkan pertahan diri.
Sebagai contoh seseorang mempertahankan diri dari pendapatnya yang
berbeda mengenai loyalitas terhadap pimpinan ditempat kerjanya.
b. Berisiko destruktif. Seseorang memiliki kecendrungan atau berisiko
mengalami perilaku destruktif atau menyalahkan diri sendiri terhadap
situasi yang seharusnya dapat mempertahankan diri, seperti seseorang
merasa patahsemangat bekerja ketika dirinya dianggap tidak loyal
terhadap pimpinan padahal suda melakukan pekerjaan secara optimal.
c. Destruktif diri tidak langsung. Seseorang telah mengambil sikap yang
kurang tepat (maladaptif)terhadap situasi yang membutuhkan dirinya

8
untuk mempertahankan diri. Misalnya, karena pandangan pimpinan
terhadap kerjanya yang tidak loyal, maka seseorang karyawan menjadi
tidak masuk kantor atau bekerja seenaknya dan tidak optimal.
d. Pencederaan diri. Seseorang melakukan percobaan bunuh diri atau
pencederaan diri akibat hilangnya harapan terhadap situasi yang ada.
e. Bunuh diri. Seseorang telah melakukan kegiatan bunuh diri sampai
dengan nyawanya hilang.
7. FaseResikoBunihDiri
Perilaku bunuh diri berkembang pada fase diantaranya :

a. Suicidal ideation, Pada tahap ini merupakan proses contemplasi dari


suicide, atau sebuah metoda yang digunakan tanpa melakukan aksi/
tindakan, bahkan klien pada tahap ini tidak akan mengungkapkan idenya
apabila tidak ditekan. Walaupun demikian, perawat perlu menyadari
bahwa pasien pada tahap ini memiliki pikiran tentang keinginan untuk
mati
b. Suicidal intent, Pada tahap ini klien mulai berpikir dan sudah melakukan
perencanaan yang konkrit untuk melakukan bunuh diri,
c. Suicidal threat, Pada tahap ini klien mengekspresikan adanya keinginan
dan hasrat yan dalam , bahkan ancaman untuk mengakhiri hidupnya .
d. Suicidal gesture, Pada tahap ini klien menunjukkan perilaku destruktif
yang diarahkan pada diri sendiri yang bertujuan tidak hanya mengancam
kehidupannya tetapi sudah pada percobaan untuk melakukan bunuh diri.
Tindakan yang dilakukan pada fase ini pada umumnya tidak mematikan,
misalnya meminum beberapa pil atau menyayat pembuluh darah pada
lengannya. Hal ini terjadi karena individu memahami ambivalen antara
mati dan hidup dan tidak berencana untuk mati. Individu ini masih
memiliki kemauan untuk hidup, ingin di selamatkan, dan individu ini
sedang mengalami konflik mental. Tahap ini sering di namakan “Crying

9
for help” sebab individu ini sedang berjuang dengan stress yang tidak
mampu di selesaikan.
e. Suicidal attempt, Pada tahap ini perilaku destruktif klien yang mempunyai
indikasi individu ingin mati dan tidak mau diselamatkan misalnya minum
obat yang mematikan . Walaupun demikian banyak individu masih
mengalami ambivalen akan kehidupannya.
f. Suicide. Tindakan yang bermaksud membunuh diri sendiri . Hal ini telah
didahului oleh beberapa percobaan bunuh diri sebelumnya. 30% orang
yang berhasil melakukan bunuh diri adalah orang yang pernah melakukan
percobaan bunuh diri sebelumnya. Suicide ini yakini merupakan hasil dari
individu yang tidak punya pilihan untuk mengatasi kesedihan yang
mendalam.
8. Jenis Bunuh Diri
Menurut Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014 dalam Asuhan Keperawatan Jiwa
yang disebutkan oleh Durkheim (1951), bunuh diri di bagi menjadi tiga jenis.
Yaitu :
a. Bunuh diri egoistic ( factor dalam diri seseorang )
Individu tidak mampu berinteraksi dengan masyarakat, ini di sebabkan
oleh kondisi kebudayaan atau karena masyarakat yang menjadi individu
itu seolah-olah tidak berkepribadian. Kegagalan integrasi dalam keluarga
dapat menerangkan mengapa mereka tidak menikah atau blebih rentan
untuk melakukan percobaan bunuh diri di bandingkan mereka yang
menikah. Contohnya orang yang putus cinta atau putus harapan kerap
membuat seseorang mengakhiri hidupya.
b. Bunuh diri allturuistik ( terkait kehormatan seseorang )
Individu terkait pada tuntutan tradisi khusus ataupan ia cenderung untuk
bunuh diri karena identifikasi terlalu kuat dengan suatu kelompok. Ia
merasa kelompok tersebut sangat mengharapkannya contohnya konsep

10
kehormatan dapat mendorong seseoang untuk melakukan ritual bunuh diri
jika mereka percaya bahwa mereka telah membawa aib pada kelompok
sosial utama mereka.
c. Bunuh diri anomik ( factor lingkungan dan tekanan )
Hal ini terjadi bila terjadi bila terdapat gangguan keseimbangan integratis
antara individu dan masyarakat, sehingga individu tersebut
meningggalkan norma-norma kelakuan yang biasa. Individu kehilangan
pegangan dan tujuan. Masyarakat atau kelompoknya tidak memberikan
kepuasaan padanya karena tidak ada pengaturan atau pengawasan
terhadap kebutuhan-kebutuhannya contohnya angka bunuh diri cenderung
meningkat karna individu gagal menghadapi perubahan yang cukup
drastis yang menimpa dirinya

9. Mekanisme Koping
Mekanisme pertahanan ego yang berhubungan dengan perilaku pengerusakan
diri tak langsung adalah pengingkaran (denial ) .Sementara, mekanisme
koping yang paling menonjol adalah rasionalisasi, intelektualisasi, dan
regresi. ( Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015 )

10. PenatalaksanaanMedis
Penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan pada klien resiko bunuh
diri salah satunya adalah dengan terapi farmakologi. Menurut (videbeck, 2008
dikutip dari http://www.academia.edu/15320155/asuhan keperawatan pada
klien dengan resiko bunuh diri).Obat-obat yang biasanya digunakan pada
klien resiko bunuh diri adalah :
a. SSRI (selective serotonine reuptake inhibitor (fluoksetin 20 mg/hari per
oral), venlafaksin (75-225 mg/hari per oral)
b. Nefazodon (300-600 mg/hari per oral)

11
c. Trazodon (200-300 mg/hari per oral)
d. Bupropion (200-300 mg/hari per oral).
Obat-obat tersebut sering dipilih karena tidak berisiko letal akibat
overdosis. Mekanisme kerja obat tersebut akan bereaksi dengan sistem
neurotransmiter monoamin di otak khususnya norapenefrin dan serotonin.
Kedua neurotransmiter ini dilepas di seluruh otak dan membantu mengatur
keinginan, kewaspadaan, perhataian, mood, proses sensori, dan nafsu makan.
penatalaksanaan keperawatan Terapi Lingkungan pada Kondisi Bunuh Diri
a) Ruangan aman dan nyaman, terhindar dari alat yang dapat digunakan
untuk mencederai diri sendiri atau orang lain.
b) Alat-alat medis, obat-obatan, dan jenis cairan medis di lemari dalam
keadaan terkunci.
c) Ruangan harus ditempatkan di lantai satu dan keselur4uhan ruanagn
mudah dipantau oleh petugas kesehatan.
d) Ruangan yang menarik, misalnya dengan warna cerah, ada poster dll.
e) Hadirkan musik yang ceria, televisi, film komedi, bacaan ringan dan
lucu.
f) Adanya lemari khusus untuk menyimpan barang pribadi klien.
g) Lingkungan sosial: komunikasi terapeutik dengan cara semua petugas
menyapa pasiien sesering mungkin, memberikan penjelasan setiap
akan melakukan tindakan keperawatan atau kegiatan medis lainnya,
menerima pasien apa adanya tidak engejek atau merendahkan,
meningkatkan harga diri pasien, membantu menilai dan meningkatkan
hubungan social secara bertahap, membantu pasien dalam berinteraksi
dengan keluarganya, sertakan keluarga dalam rencana asuhan
keperawatan, jangan biarkan pasien sendiri dalam waktu yang lama.
(Yosep, 2010)

12
B. PROSES KEPERAWATAN
1. Pengkajian
a. Data Fokus
Format/Data focus pengkajian pada klien dengan resiko Bunuh Diri (Yusuf,
Fitryasari & Nihayati, 2015 dalam Buku Ajar Keperawatan Kesehatan Jiwa
yang dikutip dar Keliat dan Akemat 2009).
1. Keluhan utama: keluhan yang muncul pada saat pengkajian yang
mengarah pada tanda-tanda resiko bunuh diri
2. Pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan
a. Riwayat percobaan bunuh diri dan mutilasi diri.
b. Riwayat keluarga terhadap bunuh diri.
c. Riwayat gangguan mood, penyalahgunaan NAPZA dan skizofrenia.
d. Riwayat penyakit fisik yang kronik, nyeri kronik.
e. Klien yang memiliki riwayat gangguan kepribadian boderline,
paranoid, antisosial.
f. Klien yang sedang mengalami kehilangan dan proses berduka.
3. Konsep diri
Klien umumnya mengatakan hal yang negatif tentang dirinya, yang
menunjukkan harga diri rendah
4. Alam perasaan
 Sedih
 Putus asa
(klien umumnya merasakan kesedihan dan keputus asaan yang sangat
mendalam).
5. Interaksi selama wawancara
 Tidak koperatif
 Defensive

13
 Kontak mata kurang
 Curiga
(klien biasanya menunjukkan afek yang datar atau tumpul )
6. Afek
 Datar
 Tumpul
7. Mekanisme koping maladaftif
 Mencederai diri
 Menghindar
(klien biasanya menyelesaikan masalahnya dengan cara menghindar
dan mencederai diri)
8. Masalah psikososial dan lingkungan
 Masalah dengan dukungan keluarga
 Masalah dengan perumahan
b. Masalah Keperawatan
Risiko bunuh diri
( Yusuf, Fitryasari & Nihayati, 2015 )
c. Analisa Data
NO DATA MASALAH

1. a. Mempunyai ide untuk bunuh diri


b. Mengungkapkan keinginan untuk mati
c. Mengungkapkan rasa bersalah dan keputusasaan
d. Implusif
e. Menunjukkan perilaku yang mencurigakan (biasanya
menjadi sangat patuh).
f. Memiliki riwayat percobaan bunuh diri
g. Verbal terselubng (berbicara tentang kematian, Risiko Bunuh
menanyakan tentang obat dosis mematikan). Diri
h. Status emosional (harapan, penolakan, cemas
meningkat,panik, marah dan mengasingkan diri).
i. Kesehatan mental (secara klinis, klien terlihat sebagai
orang yang depresi, psikosis dan menyalagunakan

14
alkohol).
j. Kesehatan fisik (biasanya pada klien dengan penyakit
kronik atau terminal).
k. Pengangguran (tidak bekerja, kehilangan pekerjaan, atau
mengalami kegagalan dalam karier).
l. Umur 15-19 tahun atau diatas 45 tahun.
m. Status perawinan (mengalami kegagalan dalam
perkawinan).
n. Pekerjaan
o. Pekerjaan
p. Konflik interpersonal
q. Latar belakang keluarga
r. Orientasi seksual
s. Sumber-sumber personal
a. Pohon Masalah
Risiko perilaku kekerasan
(pada dirisendiri,orang lain,
lingungan dan verbal
Effect

Risiko Bunuh Diri


Core problem

Harga Diri Rendah Kronik


Causa

(Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014)


b.

15
2. Diagnosa Keperawatan
Risiko Bunuh Diri(Damaiyanti, M dan Iskandar, 2014)
3. Intervensi KeperawataN

Manajemen Mood (I.09289)

Intervensi manajemen mood dalam Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia (SIKI) diberi kode (I.09289).

Manajemen mood adalah intervensi yang dilakukan oleh perawat


untuk mengidentifikasi dan mengelola keselamatan, stabilisasi,
pemulihan, dan perawatan gangguan mood (keadaan emosional yang
bersifat sementara)

Tindakan yang dilakukan pada intervensi manajemen mood berdasarkan


SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi mood (mis: tanda, gejala, Riwayat penyakit)


 Identifikasi risiko keselamatan diri atau orang lain
 Monitor fungsi kognitif (mis: konsentrasi, memori, kemampuan membuat
keputusan)
 Monitor aktivitas dan tingkat stimulasi lingkungan
Terapeutik

 Fasilitasi pengisian kuesioner self-report (mis: beck depression inventory,


skala status fungsional), jika perlu
 Berikan kesempatan untuk menyampaikan perasaan dengan cara yang
tepat (mis: sandsack, terapi seni, aktivitas fisik)
Edukasi

 Jelaskan tentang gangguan mood dan penanganannya


 Anjurkan berperan aktif dalam pengobatan dan rehabilitasi, jika perlu
 Anjurkan rawat inap sesuai indikasi (mis: risiko keselamatan, deficit
perawatan diri, sosial)
 Ajarkan mengenali pemicu gangguan mood (mis: situasi stres, masalah
fisik)
 Ajarkan memonitor mood secara mandiri (mis: skala tingkat 1 – 10,
membuat jurnal)

16
 Ajarkan keterampilan koping dan penyelesaian masalah baru
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat, jika perlu


 Rujuk untuk psikoterapi (mis: perilaku, hubungan interpersonal,
keluarga, kelompok), jika perlu

Pencegahan Bunuh Diri (I.14538)

Intervensi pencegahan bunuh diri dalam Standar Intervensi Keperawatan


Indonesia (SIKI) diberi kode (I.14538).

Pencegahan bunuh diri adalah intervensi yang dilakukan oleh


perawat untuk mengidentifikasi dan menurunkan risiko pasien
merugikan diri sendiri dengan maksud mengakhiri hidup.

Tindakan yang dilakukan pada intervensi pencegahan bunuh diri


berdasarkan SIKI, antara lain:

Observasi

 Identifikasi gejala risiko bunuh diri (mis: gangguan mood, halusinasi,


delusi, panik, penyalahgunaan zat, kesedihan, gangguan kepribadian)
 Identifikasi keinginan dan pikiran rencana bunuh diri
 Monitor lingkungan bebas bahaya secara rutin (mis: barang pribadi, pisau
cukur, jendela)
 Monitor adanya perubahan mood atau perilaku
Terapeutik

 Libatkan dalam perencanaan perawatan mandiri


 Libatkan keluarga dalam perencanaan perawatan
 Lakukan pendekatan langsung dan tidak menghakimi saat membahas
bunuh diri
 Berikan lingkungan dengan pengamanan ketat dan mudah dipantau (mis:
tempat tidur dekat ruang perawat)
 Tingkatkan pengawasan pada kondisi tertentu (mis: rapat staf, pergantian
shift)
 Lakukan intervensi perlindungan (mis: pembatasan area, pengekangan
fisik), jika diperlukan
 Hindari diskusi berulang tentang bunuh diri sebelumnya, diskusi
berorientasi pada masa sekarang dan masa depan

17
 Diskusikan rencana menghadapi ide bunuh diri di masa depan (mis:
orang yang dihubungi, ke mana mencari bantuan)
 Pastikan obat ditelan
Edukasi

 Anjurkan mendiskusikan perasaan yang dialami kepada orang lain


 Anjurkan menggunakan sumber pendukung (mis: layanan spiritual,
penyedia layanan)
 Jelaskan tindakan pencegahan bunuh diri kepada keluarga atau orang
terdekat
 Informasikan sumber daya masyarakat dan program yang tersedia
 Latih pencegahan risiko bunuh diri (mis: latihan asertif, relaksasi otot
progresif)
Kolaborasi

 Kolaborasi pemberian obat antiansietas, atau antipsikotik, sesuai indikasi


 Kolaborasi tindakan keselamatan kepada PPA
 Rujuk ke pelayanan kesehatan mental, jika perlu
4. Implementasi Keperawatan
Sebelum tindakan keperawatan diimplementasikan perawat perlu
memvalidasi apakah rencana tindakan yang ditetapkan masih sesuai dengan
kondisi pasien saat ini (here and now). Perawat juga perlu mengevaluasi diri
sendiri apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan
teknikal sesuai dengan tindakan yang akan dilaksanakan.Setelah tidak ada
hambatan lagi, maka tindakan keperawatan bisa diimplementasikan.
Saat memulai untuk implementasi tindakan keperawatan, perawat
harus membuat kontrak dengan pasien dengan menjelaskan apa yang akan
dikerjakan dan peran serta pasien yang diharapkan. Kemudian penting untuk
diperhatikan terkait dengan standar tindakan yang telah ditentukan dan aspek
legal yaitu mendokumentasikan apa yang telah dilaksanakan. ( Yusuf,
Fitryasari & Nihayati, 2015 )
DalammelakukanImplementasiharusmemperhatikan 4 fase di
antaranya :
1. Faseorientasi

18
a. Salam terpeutik : Mengucapsalamdanmenyapapasien
b. Validasi : Menanyakankabarpasien
c. Kontrak : topik, waktudantempat
2. FaseKerja : proses perkenalandiridan BHSP
3. Faseterminasi : melakukanevaluasiobejektifdanevaluasisubjektif
4. Faserelaksasi : Perasaantindaklanjut
5. Evaluasi
Evaluasi merupakan proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari
tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi ada dua macam, yaitu (1)
evaluasi proses atau evaluasi formatif, yang dilakukan setiap selesai
melaksanakan tindakan, dan (2) evaluasi hasil atau sumatif, yang dilakukan
dengan membandingkan respons pasien pada tujuan khusus dan umum yang
telah ditetapkan.
Evaluasi dilakukan dengan pendekatan SOAP, yaitu sebagai berikut.
S: respons subjektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
O: respons objektif pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah
dilaksanakan.
A: analisis terhadap data subjektif dan objektif untuk menyimpulkan apakah
masalah
masih tetap ada, muncul masalah baru, atau ada data yang kontradiksi
terhadap masalah
yang ada.
P : tindak lanjut berdasarkan hasil analisis respons pasien.
Rencana tindak lanjut dapat berupa hal sebagai berikut.

19
DAFTAR PUSTAKA

Azizah, L. M., Zainuri, I. & Akbar, A. 2016. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa-Teori dan Aplikasi Praktik. Yogyakarta: Indomedia Pustaka

Damaiyanti, M., Iskandar. 2014. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung: PT Refika


Aditama.

Keliat, B. A., Windrawati, H. D., Pawirowiyono, A., Subu, M. A. 2015. Diagnosis


Keperawatan : definisi dan Klasifikasi 2015-2017, Ed-10. Jakarta: EGC.

Yusuf, A. H., Fitryasari, R., Nihayati, H. E. 2015. Buku Ajar Keperawatan Kesehatan
Jiwa. Jakarta: Salemba Medika.

Yollanda, A. (2015).Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Resiko Bunuh Diri.


Diperoleh 11 November 2018,
darihttp://www.academia.edu/15320155/ASUHAN_KEPERAWATAN_P
ADA_KLIEN_DENGAN_RESIKO_BUNUH_DIRI

20

Anda mungkin juga menyukai