Anda di halaman 1dari 22

REVIEW JOURNAL PEDIATRI SOSIAL

DIFTERI

Pembimbing:
Evi Sinaga

Disusun Oleh:
Kharisma Gayuh Pangestuti (030.15.098)
Natasya Alexandra Patklina P. (030.15.133)
Via Anggraeni (030.13.199)

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEDOKTERAN KOMUNITAS/KESEHATAN MASYARAKAT
PERIODE 29 JULI 2020 – 22 AGUSTUS 2020
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA
HASIL REVIEW JURNAL

Jurnal 1: Risk factors for diphteria outbreak in childrean aged 1-10 years in East Kalimantan
Province, Indonesia
A. Problem/Characteristic
Meski program vaksinasi berhasil menurunkan Angka kejadian difteri di
dunia, difteri tetap menjadi masalah kesehatan terutama di kawasan Asia. WHO
melaporkan bahwa jumlah difteri pada tahun 2013 adalah 4.680 kasus dan
sebagian besar terkonsentrasi di benua Asia. Indonesia memiliki jumlah tertinggi
kedua kasus difteri sebanyak 775 kasus setelah India (3.313 kasus). Pada
November 2017, Kementerian Kesehatan RI menyatakan bahwa ada outbreak
difteri di Indonesia berdasarkan laporan dari berbagai dinas kesehatan provinsi.
Kalimantan Timur merupakan salah satu provinsi yang mengalami
outbreak difteri, dengan semua kasus terjadi di anak usia 1–10 tahun. Penyakit ini
kebanyakan terjadi pada anak di bawah usia 5 tahun, namun dapat juga terjadi
pada anak di atas 5 tahun (5–19 tahun) dan di orang dewasa. Beberapa penelitian
menunjukkan cakupan vaksinasi yang rendah, kerumunan dan migrasi, atau
kombinasi host ,agen, dan faktor lingkungan, dapat mempengaruhi kejadian
difteri. Faktor lain termasuk status gizi dan perilaku orang tua, kebersihan pribadi
anak, kepadatan hunian rumah, kelembapan dalam rumah, jenis lantai rumah dan
sumber penularan, pengetahuan orang tua tentang difteri, pendidikan orang tua,
usia anak, penerangan rumah, dan ventilasi rumah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko KLB difteri pada
anak usia 1–10 tahun di Kalimantan Timur dengan melibatkan faktor imunisasi,
faktor anak-anak, faktor lingkungan rumah dan faktor pengetahuan dan sikap.

B. Intervention
Jurnal ini merupakan hasil penelitian studi kasus kontrol dan tidak
dilakukan intervensi dalam penelitian.
C. Comparison
Terlampir pada tabel

D. Outcome
Status gizi, mobilitas anak dan sumber penularan secara signifikan terkait
dengan difteri. Kebanyakan anak yang penderita difteri (83,3%) telah menerima
imunisasi lengkap dari DPT. Mobilitas anak merupakan faktor risiko utama
difteri. Disarankan untuk melarang anak / orang tua berkunjung ke daerah di
mana wabah difteri terjadi, dan untuk meningkatkan kondisi status gizi anak.
Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk efektivitas vaksin difteri di Timur
Provinsi Kalimantan, Indonesia.

Jurnal 2: Faktor yang Berhubungan dengan Kasus Difteri Anak di Puskesmas Bangkalan Tahun
2016
A. Problem/Characteristic
Kasus difteri di Bangkalan mengalami peningkatan tiap tahunnya dan
ditetapkan tahun 2015 sebagai KLB difteri di Jawa Timur dengan angka
kematiannya cukup tinggi. Pada tahun 2014 di kabupaten/ kota Bangkalan kasus
difteri sebanyak 11 kasus dan pada tahun 2015 ditemukan kenaikan sebanyak 19
kasus dengan Case Fatality Rate (CFR) 15,79 % yang tersebar di 13
kelurahan/desa dan yang tertinggi di kecamatan. Data Dinas Kesehatan kabupaten
Bangkalan-Madura tahun 2015 difteri merupakan 10 penyakit tertinggi berbasis
lingkungan di Bangkalan.
Di Asia Tenggara pada tahun 2011 Indonesia menduduki peringkat kedua
sebanyak 806 kasus difteri, India menduduki peringkat pertama sebanyak 3485
kasus difteri dan Nepal merupakan negara ketiga sebanyak 94 kasus difteri.
80% kasus yang ditemukan, terjadi pada usia<15 tahun dan pada
kelompok yang tidak mendapatkan imunisasi dasar. Kelompok usia tersering 5-7
tahun, jarang pada bayi usia <6 bulan dan usia >10 tahun. Faktor resiko yang
mempengaruhi kasus difteri adalah usia, jenis kelamin, tingkat pendidikan dan
pengetahuan orangtua (ibu), kondisi lingkungan fisik rumah, status gizi, status
imunisasi yang tidak lengkap, serta ada riwayat kontak dengan penderita difteri.

B. Intervention
Penelitian ini menggunakan studi case control dengan menganalisis
hubungan antara karakteristik, status imunisasi DPT, dan kondisi lingkungan fisik
rumah dengan kasus difteri anak di puskesmas Bangkalan sejak Januari-
September 2016 dengan membandingkan anatara kelompok kasus dan kelompok
kontrol.
Sample kasus di ambil dari semua anak umur 1-7 tahun yang dinyatakan
difteri oleh dokter, sedangkan sample kontrol diambil dari semua anak umur 1-7
tahun yang bukan penderita difteri di puskesmas Bangkalan. Menggunakan
randem sampling, variabel independent adalah karakteristik (umur, jenis
kelamin,dan tingkat pendididkan), status imunisasi DPT, kondisi lingkungan fisik
rumah (didnding rumah, keberadaan langit-langit rumah, keberadaan lantai rumah,
kelembaban, pencahayaan alami, ventilasi) dan variabel dependen adalah kasus
difteri anak. Teknik wawancara dengan ibu/wali dengan kuesioner.

C. Comparison
Terlampir pada tabel
D. Outcome
Analisis univariat untuk melihat distribusi frekuensi masing-masing
variabel yang di teliti dan analisis bivariat untuk mengetahui terdapat hubungan
yang bermakna antara variabel bebas dan variabel terikat, uji statistik
menggunakan uji Chi-Square. Hasil analisis menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara karakteristik umur anak (p-value=0,151) dan jenis kelamin anak
(p-value=0,710) dengan kasus difteri anak dipuskesmas Bangkalan tahun 2016.
Pada variabel tingkat pendidikan diperoleh (p-value =0,016 terdapat hubungan
tingkat pendidikan dengan kasus difteri anak di puskesmas Bangkalan tahun 2016,
didapatkan nilai OR sebesar 1,67 artinya responden dengan tingkat pendidikan
rendah 1,67 kali lebih berisiko menderita difteri dibandingkan responden dengan
tingkat pendidikan formal yang lebih tinggi. Pada variabel status imunisasi DPT
diperoleh (p-value =0,037 terdapat hubungan antara status imunisasi DPT dengan
kasus difteri anak di puskesmas Bangkalan tahun 2016, didapatkan nilai OR
sebesar 4,667 artinya responden dengan setatus imunisasi tidak lengkap 4,667 kali
lebih berisiko menderita difteri dibandingkan responden dengan tingkat
pendidikan formal yang lebih tinggi. Dalam penelitian faktor paling dominan yang
berhubungan dengan tingginya kasus difteri anak di puskesmas Bangkalan tahun
2016 adalah status imunisasi DPT.

Jurnal 3: Pengaruh Imunisasi Dan Kepadatan Penduduk Terhadap Prevalensi Penyakit Difteri Di
Jawa Timur
A. Problem/Characteristic

Indonesia merupakan negara dengan kasus insiden difteri terbanyak kedua


dengan jumlah kasus difteri yang dilaporkan dari tahun 2011-2015 sebesar 3.203
kasus. Jumlah kasus difteri di Provinsi Jawa Timur masih mencapai 348 kasus
dengan Case Fatality Rate (CFR) sebesar 1,72. Kasus difteri diketahui mengalami
peningkatan dari tahun ke tahun dengan jumlah penderita yaitu 265 kasus pada
tahun 2015, 348 kasus pada tahun 2016 Jumlah kasus difteri tertinggi terjadi di
Kabupaten Blitar sebanyak 57 kasus dan Kabupaten Gresik sebanyak 36 kasus.
Kota Blitar merupakan wilayah dengan nilai prevalensi tertinggi diantara wilayah
lainnya di Jawa Timur, yaitu sebesar 122,20/1.000.000. Hal ini berarti terdapat
122-123 penduduk yang memiki penyakit difteri tiap 1.000.000 penduduk di Kota
Blitar. Kabupaten Blitar merupakan wilayah dengan jumlah kasus difteri tertinggi.

Penyakit difteri bila ditinjau dari nilai prevalensi, terdapat 15 wilayah


yang memiliki prevalensi diatas prevalensi Jawa Timur, yaitu Kota Surabaya,
Kota Pasuruan, Kabupaten Situbondo, Kabupaten Sidoarjo, Kabupaten Pasuruan,
Kabupaten Nganjuk, Kabupaten Tulungagung, Kabupaten Trenggalek, Kota Batu,
Kabupaten Gresik, Kota Malang, Kota Madiun, Kota Mojokerto, Kabupaten
Blitar, dan Kota Blitar (Gambar 3). Hal ini berarti, 39,47% wilayah di Provinsi
Jawa Timur masih memerlukan perhatian khusus untuk penanggulangan penyakit
difteri di Jawa Timur, terutama Kota Blitar, karena Kota Blitar merupakan kota
yang menyumbangkan proporsi penderita penyakit difteri terbanyak dibanding
wilayah yang lainnya.

B. Intervention
Jurnal ini merupakan hasil penelitian observasional dengan desain studi
cross sectional dengan menganalisis pengaruh imunisasi dan kepadatan
penduduk terhadap prevalensi difteri di Jawa Timur dengan sampel yang
didapatkan dari semua orang yang dinyatakan difteri dari 29 kabupaten dan
9 kota di Provinsi Jawa Timur, yang diperoleh dari data publikasi profil
kesehatan Provinsi Jawa Timur tahun 2016. Variabel independent adalah
persentase imunisasi dasar lengkap dan kepadatan penduduk Variabel
dependent dalam penelitian ini adalah prevalensi penyakit difteri pada
setiap kabupaten/kota di Jawa Timur tahun 2016.
Penyakit difteri dapat dicegah dengan pemberian imunisasi. Imunisasi
merupakan upaya untuk meningkatkan kekebalan tubuh seseorang secara
aktif terhadap suatu penyakit. Imunisasi DPT pada usia bayi dan pemberian
vaksin DT pada anak usia sekolah merupakan salah satu cara yang dapat
dilakukan untuk mencegah penyakit difteri. Kelengkapan imunisasi DPT
sebanyak 3 kali sebelum usia 4 tahun seperti yang dianjurkan WHO dapat
menstimulasi level antibodi melebihi level minimum protektif Responden yang
tidak mendapatkan status imunisasi DPT secara lengkap memiliki risiko
terserang penyakit difteri 4,67 kali lebih besar dibandingkan dengan responden
yang mendapatkan imunisasi secara lengkap.

C. Comparison
Terlampir pada tabel

D. Outcome
Jumlah kasus difteri di Jawa Timur pada tahun 2016 mencapai 348 kasus,
dengan kasus tertingginya yaitu sebanyak 57 kasus. Jumlah kasus difteri di
Kabupaten Blitar pada tahun 2016 menempati urutan pertama sebagai
kabupaten/kota yang memiliki kasus tertinggi. Hasil analisis
menggunakan uji regresi linier berganda antara imunisasi dasar lengkap dan
kepadatan penduduk terhadap prevalensi penyakit difteri di Provinsi Jawa Timur
tahun 2016 menghasilkan nilai signifikansi sebesar 0,01 yang
menunjukkan bahwa adanya pengaruh imunisasi dasar lengkap (p < 0,05) dan
kepadatan penduduk (p < 0,05) terhadap prevalensi penyakit difteri di Jawa
Timur tahun 2016. Variabel yang paling dominan dalam mempengaruhi
prevalensi penyakit difteri di Jawa Timur adalah persentase imunisasi dasar
lengkap, karena memberikan pengaruh yang lebih besar yaitu 0,33 kali,
sedangkan kepadatan penduduk hanya mampu memberikan pengaruh
sebesar 0,01 pada prevalensi penyakit difteri di Jawa Timur tahun 2016
Hasil Review Jurnal 1 Jurnal 2 Jurnal 3
1. Topik Risk factors for diphteria outbreak Faktor yang Berhubungan
dengan Pengaruh Imunisasi Dan
Kepadatan Penduduk Terhadap
in childrean aged 1-10 years in East Kasus Difteri Anak di Puskesmas
Prevalensi Penyakit Difteri Di
Kalimantan Province, Indonesia Bangkalan Tahun 2016 Jawa Timur
2. Identifikasi Masalah
a. Populasi Studi Studi kasus kontrol pada 37 Populasi kasus dalam penelitian ini Semua orang yang dinyatakan
responden (18 kasus anak difteri
adalah semua anak umur 1-7 tahun yang difteri dari 29 kabupaten dan 9
dan 19 kontrol, anak sehat),
antara April hingga Agustus 2018 diyatakan difteri oleh dokter dan bukan kota di Provinsi Jawa Timur
penderita difteri yang tercatat dalam
data rekam medik di puskesmas
kecamatan Bangkalan sejak 1 Januari
sampai 30 September 2016
b. Lokasi Kalimantan Timur (Kota Puskesmas Bangkalan, Madura Jawa Timur
Samarinda, Bontang, Balikpapan
dan Kabupaten Kutai Kartanegara,
Kutai Timur dan Berau)
c. Faktor risiko Cakupan vaksinasi yang rendah, - Kasus difteri dipengaruhi oleh - Kasus difteri dipengaruhi
faktor lingkungan, dapat status gizi anak, status imunisasi oleh status imunisasi.
mempengaruhi kejadian difteri. yang tidak lengkap, adanya - Imunisasi dasar lengkap
Faktor lain termasuk status gizi dan riwayat kontak dengan berpengaruh secara
perilaku orang tua, kebersihan penderita. signifikan terhadap
pribadi anak, kepadatan hunian - Usia 1-7 tahun (paling sering prevalensi penyakit
rumah, kelembapan dalam rumah, usia 5-7 tahun) difteri
jenis lantai rumah dan sumber - Jenis kelamin : anak laki-laki > - Kepadatan penduduk
penularan, pengetahuan orang tua anak perempuan karena anak secara signifikan
tentang difteri, pendidikan orang laki-laki lebih sering berpengaruh terhadap
tua, usia anak, penerangan rumah, menghabiskan aktivitas di luar prevalensi penyakit
dan ventilasi rumah. rumah dan berpotensi lebih difteri di Jawa Timur.
besar sebagai faktor penularan Semakin tinggi
penyakit difteri. kepadatan berarti
- Tingkat pendidikan orangtua semakin tinggi kontak
berdampak pada pengetahuan penderita difteri dengan
orangtua tentang pencegahan orang yang sehat,
difteri dengan imunisasi DPT sehingga semakin banyak
untuk anak. orang yang terpapar
- Program imunisasi DPT tidak kuman difteri.
lengkap memiliki faktor risiko -
5x lebih berisiko menderita
difteri dibandingkan dengan
responden dengan status
imunisasi DPT lengkap.
- Tingkat ke sibukan ibu sehingga
membuat imunisasi anak tidak
sesuai jadwal posyandu
- Kondisi lingkungan fisik rumah
d. Masalah kesehatan - Jurnal ini mengidentifikasi - Kasus difteri di Bangkalan - Jumlah kasus difteri di
Provinsi Jawa Timur
faktor risiko KLB difteri mengalami peningkatan tiap
masih mencapai 348
pada anak usia 1-10 tahun tahunnya dan ditetapkan tahun kasus dengan Case
Fatality Rate (CFR)
di Kalimantan Timur 2015 sebagai KLB difteri di
sebesar 1,72.
dengan melibatkan faktor Jawa Timur dengan angka - Kabupaten Bangkalan
juga sempat terjadi KLB
imunisasi, faktor anak-anak, kematiannya cukup tinggi.
difteri pada tahun 2005
faktor lingkungan rumah - Pencapain program imunisasi - Kasus difteri diketahui
mengalami peningkatan
dan faktor pengetahuan dan DPT untuk pencegah penularan
dari tahun ke tahun
sikap difteri tidak memenuhi target dengan jumlah penderita
yaitu 265 kasus pada
- Kalimantan Timur 100% (74,6% tahun 2012),
tahun 2015 menjadi 348
merupakan salah satu (97,81% tahun 2011), (98,08% kasus pada tahun 2016
dan 6 kejadian
provinsi yang mengalami tahun 2010), (99,09% tahun
meninggal
outbreak difteri di Indonesia 2009), (92,57% 2008).
- Tingkat pendidikan (ibu) dan
pengetahuan mempengaruhi cara
berfikir dalam memahami
informasi dalam penyuluhan dan
cara pencegahan penyakit difteri
dengan melakukan vaksinasi
DPT pada program PIN tidak
berjalan dengan baik.
- Ibu yang bekerja cenderung
lebih sibuk sehingga anak
terlambat di imunisasi sesuai
jadwal Posyandu, padahal daya
imunitas anak di pengaruhi oleh
frekuensi pemberian imunisasi
dasar lengkap
- Kondisi lingkungan fisik seperti
lantai dan suhu rumah yang
tidak memenuhi syarat
memepengaruhi kelembaban
ruangan dapat meningkatkan
pertumbuhan mikroorganisme
khususnya Corynebacterium
Diphtheria.
.
Metode Studi kasus kontrol Studi kasus kontrol Cross sectional
3. Penerapan/intervensi Jurnal ini meneliti mengenai faktor Jurnal ini meneliti mengenai faktor Jurnal ini meneliti mengenai
Pediatri Sosial yang berhubungan dengan kasus yang berhubungan dengan kasus difteri pengaruh imunisasi dan
difteri anak di Kalimantan Timur anak di puskesmas Bangkalan tahun kepadatan penduduk dengan
Variabel yang diteliti berupa: 2016 prevalensi penyakit difteri di
- Usia Variabel yang diteliti berupa: Jawa Timur
- jenis kelamin - Usia
- Status imunisasi DPT - jenis kelamin Variabel yang diteliti berupa:
- Status gizi - Tingkat pendidikan - Status imunisasi dasar
- Mobilitas anak (riwayat anak - Status imunisasi DPT - Kepadatan penduduk
yang bepergian / tinggal di luar - Lingkungan fisik rumah
kota domisili, satu minggu sebelum
sakit)
- Sumber penularan (riwayat kontak
dengan penderita difteri)
- Pengetahuan mengenai penyakit
dan sikap terhadap program
pencegahan difteri
- Faktor lingkungan rumah
(penerangan, ventilasi, tipe dinding
rumah, tipe lantai rumah)
4. Hasil Studi Kelompok kasus sebagian besar - Diatribusi frekuensi responden pada Jumlah kasus difteri di Jawa
adalah laki-laki (66,6%), umur > 5 penelitian ini perbandingan besar Timur pada tahun 2016
mencapai 348 kasus, dengan
–10 tahun (66,6%), status imunisasi sampel antara kasus : kontrol = 1:5,
kasus tertingginya yaitu
DPT lengkap (83,3%), status gizi yang memenuhi kriteria 8 orang kasus sebanyak 57 kasus
buruk (72,2%), mobilitas anak “ya” difteri dan 40 orang sebagai kontrol. Jumlah kasus difteri tahun 2015
yang dilaporkan pada profil
(61,15%), sumber penularan - Dimana frekuensi tertinggi kelompok
Dinas Kesehatan Provinsi Jawa
“tidak” (77,7%), pengetahuan kasus difteri : didapatkan usia 1-4 tahun Timur berjumlah 0 kasus,
difteri seimbang antara baik dan sebanyak 5 kasus (55%), laki-laki sedangkan tahun 2016 jumlah
kasus difteri di Kabupaten Blitar
buruk (50%), sikap terhadap sebanyak 5 kasus (52,5%), tingkat
sudah meningkat sebanyak 57
program pencegahan difteri baik pendidikan SMA sebanyak 4 kasus kasus.
(55,5%), luas ventilasi rumah (50%), status imunisasi DPT tidak Kota Blitar merupakan wilayah
buruk (77,7%), kepadatan hunian lengkap sebanyak 5 kasus (77,5%) dengan nilai prevalensi tertinggi
diantara wilayah lainnya di Jawa
baik (72,2%), jenis dinding rumah - Diatribusi frekuensi tertinggi kondisi Timur, yaitu sebesar
terbuat dari batako tanpa plesteran lingkungan fisik rumah belum 122,20/1.000.000. Hal ini berarti
(61,1%) dan tipe lantai rumah memenuhi persyaratan sesuai terdapat 122-123 penduduk yang
memiki penyakit difteri tiap
keramik (66,6%). Permenkes RI No. 1077 tahun 2011
1.000.000 penduduk di Kota
tentang Pedoman Penyehatan Udara Blitar.
Kelompok kontrol sebagian besar Ruang Dalam Rumah: didapatkan Hasil analisis menggunakan uji
regresi linier berganda antara
laki-laki (52,6%), umur 1–5 tahun frekuensi tertinggi dinding rumah
imunisasi dasar lengkap dan
(52,6%), status imunisasi DPT menggunakan bata/batako sebanyak 40 kepadatan penduduk terhadap
lengkap (63,1%), status gizi baik (100%) dari kelompok kontrol dan 8 prevalensi penyakit difteri di
Provinsi Jawa Timur tahun 2016
(63,1%), mobilitas anak “ya”, (100%) dari kelompok kasus,
menghasilkan nilai signifikansi
(84,2%), sumber penularan “ya” keberadaan langit-langit rumah
sebesar 0,01 yang menunjukkan
63,1%), pengetahuan difteri baik menggunakan gypsum sebanyak 27
bahwa adanya pengaruh
(52,6%), sikap terhadap program (67,5%) dari kelompok kontrol dan imunisasi dasar lengkap (p <
pencegahan difteri (52,6%), luas menggunakan triplek/asbes sebanyak 6 0,05) dan kepadatan penduduk
ventilasi rumah buruk (68,4%), (60,4%) dari kelompok kasus, (p < 0,05) terhadap prevalensi
penyakit difteri di Jawa Timur
kepadatan hunian baik (63,1%), keberadaan lantai rumah menggunakan tahun 2016.
tembok rumah terbuat dari batako papan/keramik sebanyak 25 (62,5%) Variabel yang paling dominan
tanpa plesteran (57,8%) dan jenis dari kelompok kontrol dan 5 (62,5%) dalam mempengaruhi prevalensi
penyakit difteri di Jawa Timur
lantai rumah sebagian besar adalah dari kelompok kasus, kelembaban tidak
adalah persentase imunisasi
keramik (63,1%) memenuhi syarat sebanyak 40 (100%) dasar lengkap, karena
dari kelompok kontrol dan 8 (100%) memberikan pengaruh yang
lebih besar.
Hasil uji bivariat menunjukkan dari kelompok kasus, ventilasi ≥ 20 m2
status gizi, mobilitas dan sumber sebanyak 32 (80%) dari kelompok
penularan bermakna terkait dengan kontrol dan ≤ 20 m2 sebanyak 6 (29,2%)
kejadian difteri di Kalimantan dari kelompok kasus, kepadatan hunian
Timur. Variabel mobilitas adalah yang memenuhi syarat sebanyak 31
faktor risiko utama difteri. (77,5%) dari kelompok kontrol dan
yang tidak memenuhi syarat sebanyak 8
(100%) dari kelompok kasus
- Tidak terdapat hubungan karakteristik
umur (p-value=0,151, OR 0,85) dan
jenis kelamin (p-value=0,710, OR 1,08)
dengan tingginya kasus difteri anak di
Puskesmas Bangkalan tahun 2016.
- Terdapat hubungan bermakna antara
tingkat pendidikan responden (p-
value=0,016, OR 1,67), status imunisasi
DPT (p-value=0,037, OR 4,667),
kondisi lingkungan fisik rumah (p-
value=0,003, OR 4,18) dengan
tingginya kasus difteri anak di
Puskesmas Bangkalan tahun 2016.
Program Pemerintah Mengenai Imunisasi pada Anak
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomer 12 Tahun 2017 tentang
Penyelenggaraan Imunisasi

1. Pedoman penyelenggaraan imunisasi

Menurut Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, Imunisasi


merupakan salah satu upaya untuk mencegah terjadinya penyakit menular yang
merupakan salah satu kegiatan prioritas Kementerian Kesehatan sebagai salah satu
bentuk nyata komitmen pemerintah untuk mencapai Sustainable Development Goals
(SDGs) khususnya untuk menurunkan angka kematian pada anak.
Kegiatan Imunisasi diselenggarakan di Indonesia sejak tahun 1956. Mulai tahun
1977 kegiatan Imunisasi diperluas menjadi Program Pengembangan Imunisasi (PPI)
dalam rangka pencegahan penularan terhadap beberapa Penyakit yang Dapat Dicegah
Dengan Imunisasi (PD3I) yaitu Tuberkulosis, Difteri, Pertusis, Campak, Polio,
Tetanus serta Hepatitis B. Beberapa penyakit yang saat ini menjadi perhatian dunia
dan merupakan komitmen global yang wajib diikuti oleh semua negara adalah
eradikasi polio (ERAPO), eliminasi campak dan rubela dan Eliminasi Tetanus
Maternal dan Neonatal (ETMN).
Cakupan Imunisasi harus dipertahankan tinggi dan merata di seluruh wilayah. Hal
ini bertujuan untuk menghindarkan terjadinya daerah kantong yang akan
mempermudah terjadinya kejadian luar biasa (KLB). Untuk mendeteksi dini
terjadinya peningkatan kasus penyakit yang berpotensi menimbulkan KLB, Imunisasi
perlu didukung oleh upaya surveilans epidemiologi.
Seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi, penyelenggaraan
Imunisasi terus berkembang antara lain dengan pengembangan vaksin baru
(Rotavirus, Japanese Encephalitis, Pneumococcus, Dengue Fever dan lain-lain) serta
penggabungan beberapa jenis vaksin sebagai vaksin kombinasi misalnya DPT-HB-
Hib.

2. Jenis dan jadwal imunisasi


A. Imunisasi Program

Imunisasi Program adalah Imunisasi yang diwajibkan kepada seseorang sebagai


bagian dari masyarakat dalam rangka melindungi yang bersangkutan dan masyarakat
sekitarnya dari penyakit yang dapat dicegah dengan Imunisasi. Imunisasi Program
terdiri atas :

a. Imunisasi rutin
b. Imunisasi tambahan
c. Imunisasi khusus.

Imunisasi diberikan pada sasaran yang sehat untuk itu sebelum pemberian
Imunisasi diperlukan skrining untuk menilai kondisi sasaran.

a. Imunisasi Rutin

- Imunisasi Dasar
Tabel 1. Jadwal Pemberian Imunisasi

Interval Minimal untuk jenis


Umur Jenis
Imunisasi yang sama
0-24 Jam Hepatitis B
1 bulan BCG, Polio 1
2 bulan DPT-HB-Hib 1, Polio 2
3 bulan
DPT-HB-Hib 2, Polio 3
1 bulan
DPT-HB-Hib 3, Polio 4,
4 bulan
IPV
9 bulan Campak

Catatan :
 Pemberian Hepatitis B paling optimal diberikan pada bayi <24 jam pasca
persalinan, dengan didahului suntikan vitamin K1 2-3 jam sebelumnya,
khusus daerah dengan akses sulit, pemberian Hepatitis B masih diperkenankan
sampai <7 hari.
 Bayi lahir di Institusi Rumah Sakit, Klinik dan Bidan Praktik Swasta,
Imunisasi BCG dan Polio 1 diberikan sebelum dipulangkan.
 Pemberian BCG optimal diberikan sampai usia 2 bulan, dapat diberikan
sampai usia <1 tahun tanpa perlu melakukan tes mantoux.
 Bayi yang telah mendapatkan Imunisasi dasar DPT-HB- Hib 1, DPT-HB-Hib
2, dan DPT-HB-Hib 3 dengan jadwal dan interval sebagaimana Tabel 1, maka
dinyatakan mempunyai status Imunisasi T2.
 IPV mulai diberikan secara nasional pada tahun 2016
 Pada kondisi tertentu, semua jenis vaksin kecuali HB 0 dapat diberikan
sebelum bayi berusia 1 tahun.

- Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan kegiatan yang bertujuan untuk menjamin terjaganya
tingkat imunitas pada anak baduta, anak usia sekolah, dan wanita usia subur (WUS)
termasuk ibu hamil.
Vaksin DPT-HB-Hib terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi, tingkat
kekebalan yang protektif akan terbentuk pada bayi yang sudah mendapatkan tiga dosis
Imunisasi DPT- HB-Hib.Walau Vaksin sangat efektif melindungi kematian dari penyakit
difteri, secara keseluruhan efektivitas melindungi gejala penyakit hanya berkisar 70-90
%.
Tabel 2. Jadwal Imunisasi Lanjutan pada Anak Bawah Dua Tahun

Umur Jenis Imunisasi Interval minimal setelah Imunisasi dasar


DPT-HB-Hib 12 bulan dari DPT-HB-Hib 3
18 bulan
Campak 6 bulan dari Campak dosis pertama

Catatan:
 Pemberian Imunisasi lanjutan pada baduta DPT-HB-Hib dan Campak dapat
diberikan dalam rentang usia 18-24 bulan
 Baduta yang telah lengkap Imunisasi dasar dan mendapatkan Imunisasi lanjutan
DPT-HB-Hib dinyatakan mempunyai status Imunisasi T3.

b. Imunisasi Tambahan
o Backlog fighting : Merupakan upaya aktif di tingkat Puskesmas untuk
melengkapi Imunisasi dasar pada anak yang berumur di < 3 tahun. Kegiatan ini
diprioritaskan untuk dilaksanakan di desa yang selama dua tahun berturut-turut
tidak mencapai UCI.
o Crash program : Kegiatan ini dilaksanakan di tingkat Puskesmas yang ditujukan
untuk wilayah yang memerlukan intervensi secara cepat untuk mencegah
terjadinya KLB. Kriteria pemilihan daerah yang akan dilakukan crash program
adalah:

1) Angka kematian bayi akibat PD3I tinggi;


2) Infrastruktur (tenaga, sarana, dana) kurang; dan
3) Desa yang selama tiga tahun berturut-turut tidak mencapai UCI.
Crash program bisa dilakukan untuk satu atau lebih jenis Imunisasi,
misalnya campak, atau campak terpadu dengan polio.

o Pekan Imunisasi Nasional (PIN) : Merupakan kegiatan Imunisasi massal yang


dilaksanakan secara serentak di suatu negara dalam waktu yang singkat. PIN
bertujuan untuk memutuskan mata rantai penyebaran suatu penyakit dan
meningkatkan herd immunity (misalnya polio, campak, atau Imunisasi lainnya).
Imunisasi yang diberikan pada PIN diberikan tanpa memandang status Imunisasi
sebelumnya.
o Cath Up Campaign (Kampanye) : Merupakan kegiatan Imunisasi Tambahan
massal yang dilaksanakan serentak pada sasaran kelompok umur dan wilayah
tertentu dalam upaya memutuskan transmisi penularan agent (virus atau bakteri)
penyebab PD3I. Kegiatan ini biasa dilaksanakan pada awal pelaksanaan kebijakan
pemberian Imunisasi, seperti pelaksanaan jadwal pemberian Imunisasi baru.
o Sub PIN : Merupakan kegiatan serupa dengan PIN tetapi dilaksanakan pada
wilayah terbatas (beberapa provinsi atau kabupaten/kota).
o Imunisasi dalam Penanggulangan KLB (Outbreak Response
Immunization/ORI) : Pedoman pelaksanaan Imunisasi dalam penanganan KLB
disesuaikan dengan situasi epidemiologis penyakit masing- masing.
c. Imunisasi Khusus

- Imunisasi Meningitis Meningokokus


- Imunisasi Yellow Fever (Demam Kuning)
- Imunisasi Rabies
- Imunisasi Polio

B. Imunisasi Pilihan

Imunisasi pilihan adalah Imunisasi lain yang tidak termasuk dalam Imunisasi program,
namun dapat diberikan pada bayi, anak, dan dewasa sesuai dengan kebutuhannya dan
pelaksanaannya juga dilakukan oleh tenaga kesehatan yang berkompeten sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sesuai dengan kebutuhan program, Menteri dapat menetapkan jenis Imunisasi pilihan
menjadi Imunisasi program setelah mendapat rekomendasi dari ITAGI. Dalam membuat
rekomendasi, ITAGI mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut:
1. Beban penyakit (burden of disease);
2. Penilaian Vaksin, yang terdiri dari: kemampuan vaksin untuk menimbulkan
kekebalan (efficacy), keamanan vaksin (safety), ketersediaan vaksin yang terus
menerus (sustainable), keterjangkauan harga (affordable);
3. Cost effectiveness dari vaksin;
4. Memperkuat kesehatan Nasional (National Health Security), setelah dilakukan
analisis terhadap manfaat yang didapat dari vaksin ini terhadap kesehatan
masyarakat (Public Health Impact Analysis) sehingga sudah menjadi prioritas
untuk diberikan; dan
5. Kesinambungan pembiayaan.
Beberapa vaksin yang digunakan dalam pelaksanaan Imunisasi Pilihan saat ini
adalah;Vaksin Measles, Mumps, Rubela

 Vaksin Tifoid
 Vaksin Varisela
 Vaksin Hepatitis A
 Vaksin Influenza
 Vaksin Pneumokokus
 Vaksin Rotavirus
 Vaksin Japanese Ensephalitis
 Vaksin Human Papillomavirus (HPV)
 Vaksin Herpes Zoster
 Vaksin Hepatitis B
 Vaksin Dengue

Anda mungkin juga menyukai