Anda di halaman 1dari 5

Masalah Pendidikan Peserta Didik Tuli

Om Swastiastu,

Bapak / Ibu calon pemimpin Bali.

Pendidikan adalah bekal awal untuk meraih cita-cita. Setiap warga negara berhak

mendapat pendidikan sesuai dengan Pasal 31 Ayat 1 UUD 1945 yakni setiap

warga negara berhak mendapat pendidikan. Warga negara yang dimaksud adalah

setiap orang tanpa kecuali, laki-laki, perempuan, anak-anak, dewasa, disabilitas

maupun non disabilitas. Pemerolehan hak pendidikan memang menjadi tanggung

jawab semua pihak. Orang tua bertanggung jawab dalam memilih satuan

pendidikan untuk anaknya dan berhak mendapat informasi tentang perkembangan

pendidikan anaknya. Dirumah, orang tua wajib memberikan pendidikan dasar

kepada anaknya. Penyelenggaraan pendidikan dilaksanakan oleh pemerintah

melalui Dinas Pendidikan, baik pendidikan umum, khusus maupun pendidikan

inklusi. Terkait pendidikan khusus maupun pendidikan inklusi yang

diselenggarakan untuk anak disabilitas, ada pertanyaan yang menggelitik, apakah

pemerintah sudah memberikan akses yang layak untuk ragam disabilitas?

Jawabannya ternyata tidak saudara saudara.

Saya ajak saudara-saudara untuk berfokus pada ragam disabilitas Tuli. Selama ini

banyak sekali hambatan yang dirasakan teman Tuli saat melanjutkan pendidikan

di perguruan tinggi. Berdasarkan interaksi dengan mahasiswa Tuli di Bali,

ditemukan mahasiswa Tuli mengalami kesulitan mengikuti pembelajaran di

kampus. Mereka sulit memahami Bahasa Indonesia yang kompleks, tidak dapat
menyusun kalimat yang baik saat membuat tugas, dan tidak mampu melakukan

presentasi di depan kelas. Apakah saudara-saudara tau penyebab mereka tidak

dapat mengikuti perkuliahan dengan baik? Pertama, karena akses yang tidak

tersedia denga layak. Kampus menerima mahasiswa Tuli, namun tidak

menyediakan akses yang sesuai sehingga mereka tidak bisa belajar dengan baik.

Kedua, faktor pendidikan dasar menengah yang telah diikuti siswa Tuli. Salah

satunya adalah penggunaan SIBI (Sistem Isyarat Bahasa Indonesia) yang

membinggungkan bagi siswa Tuli. Menurut Ade Wirawan, seorang aktivis Tuli di

Bali, pemakaian SIBI yang dipaksakan mengakibatkan terjadinya Deprivasi

Bahasa yang berdampak pada tidak berkembangnya kognitif anak Tuli.

Nah jika bukan SIBI, lalu apa? Pasti akan muncul pertanyaan ini, SIBI kan resmi,

formal digunakan di sekolah? Jika anda ingin tahu, jawabannya adalah BISINDO.

BISINDO adalah Bahasa Isyarat Indonesia, merupakan Bahasa alami yang

muncul dan berkembang di komunitas Tuli. BISINDO bukan Bahasa pergaulan

komunitas Tuli, namun Bahasa yang merupakan representasi budaya Tuli. Itulah

mengapa komunitas, organisasi dan aktivis Tuli memoerjuangkan penggunaan

Bahasa Isyarat Indonesia dalam sistem pendidikan yang ditujukan untuk peserta

didik Tuli. Karena BISISNDO adalah bahasa yang tepat untuk mereka. terkait

penggunaan bisindo di satuan pendidikan, pemerintah sudah berperan dalam

pendidikan Tuli dengan dikeluarkannya PP No. 13 tahun 2020 tentang akomodasi

yang layak bagi peserta didik penyandang disabilitas. Khususnya untuk disabilitas

runggu wicara atau Tuli tertera pada pasar 15. Berikutnya surat eadaran dari
Direktur Dirjen Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus bertanggal 23

September 2021, tentang penggunaan BISINDO secara luas di satuan pendidikan

khusus komunitas tunarungu atau Tuli di lingkungan masyakrakat luas. PP No.

13 tahun 2020 maupun surat eadaran diatas sudah sesuai dengan UU No. 8 tahun

2016 tapi ternyata dalam pelaksanaanya belum berjalan dengan seharusnya.

Banyak yang belum memberikan akomodasi yang layak untuk peserta didik

ataupun guru yang menguasai Bahasa isyarat secara kompleks.

Dengan menggunakan SIBI yang dibuat oleh orang dengar, Tuli tidak memahami

konteks yang dibahas. Pemerintah harus memberikan pengenalan ragam

disabilitas kepada guru di tingkat sekolah dasar karena di tingkat ini murid akan

mendapatkan pedoman yang akan menjadi bekal melanjutkan pendidikan di

jenjang yang lebih tinggi.

Pemerintah telah memberikan label sekolah inklusi ke beberapa sekolah, tapi

apakah akses sudah tersedia? Apa guru sudah mempunyai kompetensi untuk

mengajar anak-anak Tuli? Sekolah inklusi bukan hanya label semata, tapi

bagaimana implementasi nyata di dalamnya. Ini harus kita evaluasi bersama-

sama. Kalau tidak dilakukan segera, akan terbentuk pola yang terus berulang.

Hambatan sosialisasi, hambatan pemahaman pendidikan, hambatan mendapat

informasi, dan masih banyak lagi. SIBI membuat kemampuan kognitif anak tidak

berkembang sehingga kemampuan berpikir kritis tidak timbul. Ini akan


menyebabkan ketidakmampuan bersaing saat melanjutkan pendidikan di jenjang

perguruan tinggi.

Pemerintah wajib melakukan penyesuaian kurikulum yang sesuai dengan

kebutuhan Tuli, penyesuaian ini harus melibatkan Tuli secara aktif. Karena

pengalaman dari Tuli adalah poin evaluasi penting. Disabilitas adalah ahlinya

karena sudah mengalaminya secara langsung. Pemerintah harus memiliki

kesadaran tentang pemenuhan hak untuk masyarakat disabilitas. Tuli juga

membayar pajak tapi akses yang diberikan masih sangat minim.

Setelah kurikulum dibentuk, tingkatkan sumber daya manusia berupa tenaga

pendidik. Berikan pelatihan peningkatan kapasitas sumber daya guru. Kurikulum

tidak akan tersampaikan dengan baik tanpa adanya guru yang kompeten.

Pendidikan sekolah dasar sebagai modal awal untuk bekal di perguruan tinggi,

maka hal tersebut harus debenahi. Dengan adanya pendidikan dasar yang sesuai,

kemampuan berpikir kritis dan logika anak akan berkembang dengan maksimal.

Calon pemimpin Bali lihat dan pahamilah masalah hambatan pendidikan ini, lalu

benahi segera. Kalau tidak, rantai masalah ini akan terus mengakar dan

melahirkan hambatan yang semakin kompleks. Pemilu adalah ajang yang tepat

untuk membenahi masalah yang sebetulnya sudah lama terjadi.

Bapak/Ibu calon pemimpin Bali apakah anda orang yang tepat?


Om Santhi Santhi Santhi Om

Anda mungkin juga menyukai