Anda di halaman 1dari 13

PESERTA DIDIK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS

Disusun Oleh :
Kelompok 2 :
1. Elisa Septiana Dewi 2019143083
2. Rima Juniarti 2019143109
3. Siti Ngaisah 2019143097

Kelas 6C / PGSD
Dosen Pengampuh : Nurlela M. Pd

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN


PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
UNIVERSITAS PGRI PALEMBANG
TAHUN PELAJARAN 2021-2022
PESERTA DIDIK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS
Peserta didik berkebutuhan khusus (PDBK)merupakan salah satu sumber daya
manusia yang harus diperhitungkan. Tidak sedikit PDBKyang mampu mengharumkan nama
bangsa dalam dunia internasioanal dengan prestasi yang dimilikinya. PDBKsebagai salah
satu bagian dari anak bangsa merupakan anak yang memerlukan perhatian secara khusus
karena memiliki keterbatasan tertentu baik secara fisik maupun non fisik. Salah satu
keterbatasan yang dimiliki PDBKadalah ketidakmampuan dalam melakukan kegiatan
sehari-hari secara mandiri, sehingga mereka memerlukan bantuan dari orang lain agar
dapat melakukan aktivitas sehari-hari dengan normal (Lestari, 2017).
Menurut (Nuryetty, 2011)ketidakmampuan seseorang untuk melakukan aktivitas
sehari-hari secara normal disebut dengan kesulitan fungsional atau functional difficulty,
yang terdiri darikesulitan melihat, mendengar, berjalan, mengingat, berkonsentrasi atau
berkomunikasi hingga kesulitan dalam mengurus diri sendiri. Ironisnya sebagian masyarakat
masih menganggap penyandang disabilitas atau PDBKpada umumnya sebagai masyarakat
kelas dua sehingga PDBKseringkali mengalami diskriminasi (Suminar, 2015).
Diskriminasi terhadap PDBKmasih sering dijumpai di dalam masyarakat tidak terkecuali
dalam dunia pendidikan. Dewasa ini perhatian terhadapPDBKtelah menuai titik terang.
Negara Barat telah mempelopori pendidikan inklusif hingga menyebar ke negara-negara
berkembang, salah satunya adalah Indonesia. Pola pelayanan terhadap peserta didik
berkebutuhan khusus (PDBK) di sekolah telah bergeser dari diskriminasi menuju layanan
pendidikan inklusif (Dewi, Suryana, & Widnyana, 2016).
Layanan pendidikan yang diskriminatif sejatinya memang harus ditinggalkan karena
tidak sesuai dengan prinsip dasar Hak Asasi Manusia (HAM). Lingkungan pendidikan harus
menjadi pelopor implementasi HAM dengan memberikan kesempatan yang sama
kepada PDBKuntuk belajar bersama dengan teman-teman seusianya. PDBK dengan
segala kekurangan maupun kelebihannya membutuhkan perhatian yang lebih dari guru
dan lembaga pendidikan tempat mereka belajar, perhatian tersebut berupa layanan khusus
agar mereka dapat belajar dengan baik. Hal ini sesuai dengan pendapat (Mardini, 2015)bahwa
PDBK dalam proses pembelajaran di kelas reguler membutuhkan pendampingan khusus
karena daya tangkap kognitif PDBK dan kemampuan lainnya berbeda dengan anak
normal.Peserta didik dengan kebutuhan khusus seharusnya memiliki kesempatan yang sama
dalam hal pendidikan. Sekolah Luar Biasa (SLB) atau sekolah khusus yang telah
dipersiapkan oleh pemerintah dengan ternyata belum mampu mengakomodir kebutuhan
PDBK secara keseluruhan. Maka dari itu pemerintah membuat programpendidikan inklusif
dengan mengintegrasikan sekolah reguler menjadi sekolah inklusi agar PDBK yang tidak
dapat menjangkau SLB mendapatkan layanan pendidikan di sekolah inklusi tersebut.
Pendidikan inklusif merupakan sistem layananan yang diberikan kepada PDBK
dalam bidang pendidikan dengan memberikan kesempatan yang sama untuk belajar di
sekolah terdekat pada kelas yang sama bersama dengan teman-teman seusianya
(Hermanto, Wiyono, Imron, & Arifin, 2016). Permendiknas No. 70 Tahun 2009
menyebutkan bahwa pendidikan inklusif adalah sistem penyelenggaraan pendidikan
yang memberikan kesempatan kepada semua peserta didik yang memiliki kelainan dan
memiliki potensi kecerdasan dan/atau bakat istimewa untuk mengikuti pendidikan atau
pembelajaran dalam satu lingkungan pendidikan secara bersama-sama dengan peserta
didik pada umumnya (Republik Indonesia, 2009).
Pendidikan inklusif mengasumsikan pembelajaran secara berdampingan pada
kelas yang sama dengan menampung peserta didik yang beragam dan menghargai
keunikan karakter yang dibawa oleh masing-masing peserta didik (Tichá, Abery, Johnstone,
Poghosyan, & Hunt, 2018). Lebih lanjut (Tichá et al., 2018)menyatakan bahwa penerapan
pendidikan inklusif tidaklah mudah, banyak masalah dan tantangan yang harus di
selesaikan dalam pengembangan keterampilan sosial anak penyandang cacat di sekolah
inklusi. Sekolah inklusi sendiri menurut (Hermanto et al., 2016)adalah sekolah yang
menyelenggarakan pendidikan inklusif, menampung semua siswa pada kelas yang sama,
menyediakan layanan yang layak sesuai dengan kebutuhan siswa serta memberikan
bantuan dan dukungan agar keberhasilan siswa dalam belajar dapat tercapai.
Sungguhpun demikian masih saja ditemukan anak PDBKyang tidak dapat mengenyam
pendidikan inklusif dengan berbagai kendala seperti terkendala jarak dan lain-lain, kalaupun
ada sekolah inklusi terdekat fasilitas yang sesuai dengan kebutuhan PDBKtersebut
masih terbatas (Anjarsari, 2018).

A. PRAVARENSI PESERTA DIDIK BERKEBUTUHAN KHUSUS


Sekitar 12,8% anak (9360 perkiraan populasi) di Amerika Serikat merupakan anak
berkebutuhan khusus pada tahun 2001. Prevalensi tinggi pada anak laki-laki, usia sekolah,
dan berasal dari keluarga dengan keadaan sosial ekonomi rendah (van Dyck, 2004).
Prevalensi meningkat dengan bertambahnya usia. Anak dengan usia lebih muda (lahir - 5
tahun) memiliki prevalensi lebih rendah dibandingkan anak yang lebih tua (12-17 tahun),
sesuai gambar 1 (CAHMI, 2010).

Gambar 1. Persentase anak berkebutuhan khusus dari total populasi anak di


California berdasarkan usia.
Berdasarkan jenis kelamin, prevalensi anak berkebutuhan khusus berjenis kelamin
laki-laki adalah sebesar 18,5, dan 10,3% adalah perempuan sesuai dengan gambar 2
(CAHMI, 2010).

Grils ages 0-17

Boys ages 0-17

Gambar 2. Persentase anak berkebutuhan khusus usia 0-17 tahun berdasarkan jenis kelamin

Keberadaan anak berkebutuhan khusus termasuk penyandang cacat secara nasional


maupun sebarannya pada masing-masing provinsi belum memiliki data yang pasti. Menurut
data sensus nasional biro pusat statistik tahun 2003 jumlah penyandang cacat di Indonesia
sebesar 0,7% dari jumlah penduduk sebesar 211.428.572 atau sebanyak 1.480.000 jiwa. Dari
jumlah tersebut 24,405% atau au 360 1.860 diantaranya adalah anak-anak usia 0-18 tahun
dan 21,402% atau 317. 016 anak merupakan anak cacat usia sekolah (5-18 tahun). Sekitar
66.610 anak usia sekolah penyandang cacat (14,4% dari seluruh anak penyandang cacat) ini
terdaftar di sekolah luar biasa (SLB).

Setiap manusia memerlukan ilmu pengetahuan untuk mencapai cita-cita dan


kesuksesan dalam hidup, hal ini di wujudkan salah satunya melalui pendidikan. Tidak
terkecuali bagi anak berkebutuhan khusus tanpa adanya diskriminasi atas kekurangan
mereka. Anak berkebutuhan khusus wajib mendapatkan pelayanan khusus sesuai hambatan
mereka, berhak mendapatkan pendidikan yang layak dengan mutu dan kualitas yang sama
atau setara dengan anak normal.
Lahirnya kebijakan pemerintah tentang kesetaraan kualitas pendidikan dan
pengangkatan derajat anak berkebutuhan khusus di tengah masyarakat menjadi sarana serta
harapan baru bagi anak berkebutuhan khusus untuk terus maju mengejar cita-cita mereka
hingga perguruan tinggi dengan berbagai jaminan dari pemerintah. Hal ini di landasi oleh UU
NO 8 Tahun 2016 tentang pemenuhan hak disabilitas termasuk dalam penyetaraan fasilitas,
kualitas dan mutu telah di bahas secara jelas dalam pasal 40-44 sampai kepada pendidikan
hingga perguruan tinggi melalui barbagai jalur yang telah di sediakan pemerintah.
Provinsi Sumatra Barat adalah provinsi ke 8 sebagai penyelenggara pendidikan
inklusif di Indonesia. Namun masih banyak daerah yang masih awam terhadap pendidikan
inklusif dan juga pendidikan dengan layanan khusus bagi anak berkebutuhan khusus yang
seharusnya telah mereka dapatkan.
Menurut (Salma, 2019) Anak berkebutuhan khusus dibedakan kedalam beberapa
jenis, yaitu anak yang mengalami kelainan fisik, kelainan mental, dan kelainan emosi.
Sehingga karena keterbatasan yang mereka miliki tersebut maka anak yang mengalami
keterlambatan dalam aspek perkembangan dan pertumbuhannya harus mendapatkan
pendidikan secara khusus.Kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini bahwa anak
berkebutuhan khusus belum mendapat perhatian, baik yang berada di sekolah reguler maupun
yang tidak besekolah dari pemerintah setempat karena dinas terkait sendiri kurang
mengetahui berapa jumlah anak berkebutuhan khusus.

B. JENIS-JENIS PESERTA DIDIK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS


A. Kelainan Fisik
Kelainan fisik adalah kelainan yang terjadi pada satu atau lebih organ tubuh
tertentu. Akibat kelainan tersebut timbul suatu keadaan pada fungsi fisik dan tubuhnya tidak
dapat menjalankan tugasnya secara normal. Tidak berfungsinya anggota fisik terjadi pada :
a). Alat indra fisik, misalnya kelainan pada indra pendengaran atau (tunarungu),kelainan pada
indra penglihatan (tunanetra), kelainan pada fungsi organ bicara (tunawicara)
b. Alat motorik tubuh, misalnya kelainan otot dan tulang (poliomyelitis), kelainan pada sistem
saraf di otak yang berakibat gangguan pada fungsi motorik (cerebral palsy), kelainan anggota
badan akibat pertumbuhan yang tidak sempurna, misalnya lahir tanpa tangan atau kaki
amputasi, dan lain-lain. Untuk kelainan pada alat motorik tubuh ini dikenal dengan kelompok
tunadaksa.
Pengertian kelainan penglihatan yang perlu diintervensi khusus, yaitu kelainan yang
dialami anak yang memiliki visus sentralis 6/60 lebih kecil dari itu, atau yang tidak mungkin
menggunakan fasilitas pendidikan dan pengajaran yang ada dan umumnya digunakan oleh
anak normal atau orang awas (bratanata 1979). Berdasarkan gradasi ketajaman penglihatan,
kondisi anak yang yang berkelainan penglihatan dapat dikelompokkan menjadi:
1. Kelompok anak berkelainan penglihatan yang masih memiliki kemungkinan untuk
dikoreksi melalui pengobatan atau alat optiK.
2. Anak berkelainan penglihatan yang tidak dapat dikoreksi melalui pengobatan atau alat
optik.

Anak berkelainan indra pendengaran atau tunarungu secara medis dikatakan, jika
dalam mekanisme pendengaran karena sesuatu sebab terdapat satu atau lebih organ
mengalami gangguan atau rusak, akibatnya organ tersebut tidak mampu menjalankan
fungsinya untuk menghantarkan dan mempersepsi rangsang suatu yang ditangkap untuk
diubah menjadi tanggapan akustik.
Secara pedagogis, seorang anak dapat dikategorikan berkelainan indera pendengaran
atau tunarungu, jika dampak dari disfungsi nya organ-organ yang berfungsi sebagai
penghantar dan persepsi pendengaran mengakibatkan ia tidak mampu mengikuti program
pendidikan anak normal sehingga memerlukan layanan pendidikan khusus untuk meniti
perkembangannya. Selain itu, terminologi kelainan bicara atau tunawicara adalah
ketidakmampuan seseorang dalam mengomunikasikan gagasannya kepada orang lain
(pendengar) dengan memanfaatkan organ bicaranya, karena celah langit-langit, bibir
sumbing, kerusakan otak, tunarungu, dan lain-lain (Patton 1991). Akibatnya, pesan yang
terlihat sederhana ketika disampaikan kepada lawan bicara menjadi tidak sederhana, sulit
dipahami, dan membingungkan.
Kelainan fungsi motorik tubuh atau tunadaksa adalah gangguan yang terjadi pada satu
atau beberapa atribut tubuh yang menyebabkan penderitaan nya mengalami kesulitan untuk
mengoptimalkan fungsi si tubuh nya secara normal. Berdasarkan jenisnya, kelainan alat
motorik tubuh dibedakan menjadi anak berkelainan fungsi anggota tubuh ortopedi (tunadaksa
ortopedi) dan anak berkelainan fungsi anggota tubuh saraf (tunadaksa neurologis). Tunadaksa
ortopedi ialah anak yang mengalami ketunaan, kecacatan, ketidak sempurnaan tertentu pada
motorik tubuhnya, terutama pada bagian tulang tulang-tulang, otot tubuh, dan daerah
persendian. Beberapa contoh kelainan yang termasuk dalam kategori tunadaksa ortopedi
antara lain poliomielitis, tubercolosis tulang, osteomyelitis, arthritis, hemiplegia, muscle
dystrophia, kelainan pertumbuhan atau anggota badan yang tidak sempurna dan lain-lain.
Adapun tunadaksa neurologis adalah anak yang mengalami kelainan pada fungsi
anggota tubuh (kelainan motorik tangan dan kaki) yang disebabkan oleh gangguan pada
susunan sarafnya. Salah satu kategori penderita tunadaksa saraf ini dapat dilihat pada anak
penderita celebral palsy (CP). Cerebral palsy adalah bentuk kelainan yang terjadi pada aspek
motorik yang disebabkan oleh di fungsinya sistem persyarafan otak. Gambaran klinis yang
diakibatkan oleh luka pada otak, di masa salah satu komponennya menjadi penghalang dalam
gerak sehingga timbul kondisi yang tampak semenjak kanak-kanak dengan sifat, seperti
lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpanan fungsi gerak yang disebabkan
oleh patologi pusat kontrol gerak di otak. Jenis-jenis cerebral palsy yang dapat dikenali dalam
kehidupan sehari-hari, antara lain spasticity, athetoris, ataxia, Tremor, dan rigidity
(Patton,1991).

B. Kelainan Mental
Anak berkelainan dalam aspek mental adalah anak yang memiliki penyimpangan
kemampuan berpikir secara kritis, logis dalam menanggapi dunia sekitarnya. Kelainan pada
aspek mental ini dapat menyebar ke dua arah, yaitu kelainan mental dalam arti lebih
(supernormal) dan kelainan mental dalam arti kurang (subnormal). Kelainan mental dalam
arti lebih atau anak tunggal, menurut tingkatannya dikelompokkan menjadi:
a. Anak mampu belajar dengan cepat (rapid learner),
b. Anak berbakat (gifted),dan
c. Anak genius (extremelly gifted).
Karakteristik anak yang termasuk dalam kategori mampu belajar dengan cepat jika
hasil kecerdasan menunjukkan bahwa indeks kecerdasannya berada pada rentang 110-120,
anak berbakat jika indeks kecerdasannya berada pada rentang 120-140, dan akan sangat
berbakat atau genius jika indeks kejelasannya berada pada rentang di atas 140.
Secara umum karakteristik anak dengan kemampuan mental lebih, di samping
memiliki potensi kecerdasan yang tinggi dalam prestasi, juga memiliki kemampuan menonjol
dalam bidang tertentu, antara lain:
1. Kemampuan intelektual umum,
2. Kemampuan akademik khusus,
3. Kemampuan berpikir kreatif produktif,
4. Kemampuan dalam salah satu bidang kesenian,
5. Kemampuan psikomotorik, dan
6. Kemampuan psikososial dan kepemimpinan
(Tirtonegoro,1984).
Anak yang berkelainan mental dalam arti kurang atau tunagrahita, yaitu anak yang
diidentifikasi memiliki tingkat kecerdasan yang sedemikian rendahnya (dibawah normal)
sehingga untuk mengamati tugas perkembangannya memerlukan bantuan atau layanan
secara khusus, termasuk didalamnya kebutuhan program pendidikan dan bimbingannya.
Kondisi tunagrahitaan dalam praktik kehidupan sehari-hari di kalangan awam seringkali
disalah persepsikan, terutama bagi keluarga yang mempunyai anak tunagrahita, yakni
berharap dengan memasukkan anak tunagrahita ke dalam lembaga pendidikan, kelak anaknya
dapat berkembang sebagaimana anak normal lainnya.
Perlu dipahami bahwa kondisi anak tunagrahita tidak bisa disamakan dengan
penyakit, atau yang berhubungan dengan penyakit, tetapi keadaan tunagrahita suatu kondisi
sebagaimana adanya, "Mental retarded is not disease but a condition" (kirk,1970). Atas dasar
itulah tunagrahita dalam gradasi manapun tidak bisa disembuhkan atau diobati dengan
penyakit apapun. Berdasarkan kapabilitas kemampuan yang bisa dirujuk sebagai dasar
pengembangan potensi, anak tunagrahita dapat diklasifikasikan menjadi:
a. Anak tunagrahita memiliki kemampuan umum dididik dengan rentang IQ 50-75,
b. Anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk dilatih dengan rentang IQ 25-50,
c. Anak tunagrahita memiliki kemampuan untuk dirawat dengan rentang IQ 25-ke bawah
(Hallahan & kauffman,1991).

C. Kelainan Perilaku Sosial


Kelainan perilaku atau tunalaras sosial adalah mereka yang mengalami kesulitan
untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan, tata tertib, normal sosial, dan lain-lain.
Manivestasi dari mereka yang dikategorikan dalam kelainan perilaku sosial ini, misalnya
kompensasi berkelebihan, sering bentrok dengan lingkungan, pelanggaran hukum atau norma
maupun kesopanan (Amin & Dwidjosumarto,1979).
Mackie (1957) mengemukakan bahwa anak yang termasuk dalam kategori kelainan
perilaku sosial adalah yang mempunyai tingkah laku yang tidak sesuai dengan adat kebiasaan
yang ada di rumah, di sekolah, dan di masyarakat lingkungannya (dalam kirk 1970). Hal yang
lebih penting dari itu semua adalah akibat tindakan atau perbuatan yang dilakukan dalam
merugikan diri sendiri maupun orang lain, " A Behavior deviation is that Behavior of a child
which;(i) has a destrimental effect on his development and adjustment and/ or (ii) interferers
with the lives of other people."(kirk,1970) sehingga perlu diupayakan tindakan pengendalian,
baik yang bersifat preventif, kuratif,represif, maupun perseverasi terhadapnya.

C. KARAKTERISTIK PESERTA DIDIK YANG BERKEBUTUHAN KHUSUS


Karakteristik anak berkebutuhan khusus dengan kategori higher-incidence disabilities
Karakteristik siswa atau anak berkebutuhan khusus dengan kejadian kecacatan tinggi
yang banyak terdapat di sekolah antara lain siswa dengan gangguan bahasa atau bicara,
kesulitan belajar, retardasi mental, dan gangguan emosional. Di Indonesia, anak ABK dengan
kecacatan tinggi ini termasuk dalam anak tunagrahita dengan kategori seperti down
syndrome, ADHD, autis,cerebral palsy, dll. Sesuai dengan pengelompokan kelas di sekolah
luar biasa, siswa dengan tunagrahita termasuk dalam kelas C.
1.siswa ABK dengan gangguan berbicara atau bahasa
Siswa yang memiliki gangguan atau kelainan bicara atau bahasa merupakan siswa
dengan keterbatasan dalam memproduksi suara atau bunyi yang merupakan dasar dalam
bahasa yang merupakan bentuk dari komunikasi. Biasanya siswa dengan gangguan bicara
atau bahasa terkait dengan gangguan atau kelainan lainnya, seperti kesulitan belajar, cerebral
palsy, cedera otak, maupun cacat berat lainnya.

2. Siswa ABK dengan kesulitan belajar


Kesulitan belajar didefinisikan sebagai disfungsi otak minimal, disleksi (kemampuan
membaca), kerusakan otak, diskalkulia (kemampuan matematika),disgrafia (kemampuan
menulis, cacat pendidikan, cacat perseptual maupun gangguan perhatian dan hiperaktif).
Dampak dari kondisi ini mempengaruhi cara belajar siswa dan cara mengajar guru. Beberapa
anak kesulitan belajar memiliki kesulitan dalam praktik pembelajaran sehingga memerlukan
perhatian khusus dari guru dan pihak sekolah. Penyesuaian dan penyelarasan terhadap
karakteristik tersebut harus didasarkan pada kebutuhan dan kemampuan anak sehingga anak
kesulitan belajar dapat melawan keterbatasan dan memberikan usaha maksimal dalam proses
pembelajaran.

3. Retardasi mental
Definisi anak yang mengalami retardasi mental atau keterbelakangan mental menurut
beberapa pendapat ahli bermacam-macam. Sebagian besar ahli mendefinisikan atau
memberikan istilah anak keterbelakangan mental dengan IQ sebagai indikator. Namun, tidak
sedikit juga yang mendefinisikan anak dengan keterbelakangan mental dengan indikator
perilaku.

4. Gangguan emosional
Anak dengan gangguan emosional didefinisikan sebagai anak yang mempunyai
ketidakmampuan dalam mengendalikan perilaku yang sangat mempengaruhi proses belajar,
terutama dalam mencapai kemajuan akademik dan hubungan interpersonal yang baik.
Walaupun telah dilakukan pendampingan ataupun layanan konseling tetapi masih
menunjukkan sikap yang sulit untuk berubah. Gangguan emosional yang dimiliki anak
menuntut guru untuk dapat melakukan intervensi yang tepat dan efektif dalam rangka
memenuhi akademik, sosial, dan perilaku anak agar tercapai tujuan pembelajaran. guru harus
mampu mengidentifikasi karakteristik siswa secara mendetail agar intervensi yang dilakukan
memberikan dampak positif kepada diri siswa, baik untuk jangka pendek, terlebih jangka
panjang siswa.

Karakteristik anak berkebutuhan khusus dengan kategori lower-incidence disabilities

Beberapa kategori siswa atau anak berkebutuhan khusus dengan kategori sebagai
kesehatan lainnya yang banyak ditemui oleh siswa ABK dengan kecacatan seperti tunanetra,
tunarungu, maupun kelainan fisik lainnya.

1. Gangguan visual (tunanetra)


Kelainan visual atau tunanetra merupakan gangguan yang berhubungan dengan
penglihatan dengan berbagai kategorinya. Beberapa definisi tunanetra dalam istilah sejenis
adalah sebagai individual yang memiliki kelainan dengan indera penglihatannya.
Penyebab dari kelainan visual dapat disebabkan oleh beberapa hal, sebagaimana yang
dinyatakan oleh WHO bahwa penyebab tunanetra secara umum antara lain :
A. Kesalahan refraksi yang tidak dikoreksi (miopia, hiperopia, atau astigmatisme) sebesar
43%
B. Sebesar 33% katarak yang tidak dioperasi
C. Sebesar 2% glaukoma
Penyebab lain kelainan visual adalah penyakit perinatal yaitu kerusakan jalur visual yang
terkait dengan hipoksia kelahiran dan retinopati prematuritas. Penyakit ini dapat memicu bayi
lahir prematur dan menyebabkan kebutaan dengan berat badan lahir yang sangat rendah.

Kategori Ketajaman visual


Derajat kelainan Definisi alternatif
penglihatan dengan koreksi
Tidak ada sedikit Lebih atau sama
Normal dengan 6/7,5 Mendekati normal
kurang dari 6/7,5
Sedang parah/berat Kurang dari 6/18 Penglihatan
rendah (sedang).
Low vision Kurang dari 6/48 Penglihatan rendah (berat)
Menghitung jari pada jarak 6
meter atau kurang.
Sangat berat Kurang dari 3/60 Penglihatan rendah sangat
berat atau kebutaan sedang,
menghitung jari pada jarak 3
meter.
Hampir buta Kurang dari 1/60 Parah atau hampir buta total
.Blindness
(kebutaan) penghitungan jari pada jarak
1 meter atau kurang dari
pergerakan pada jarak 5
meter atau kurang.
Buta total Tidak ada
Buta total
persepsi cahaya

Jika melihat kategori dan penyebab kelainan visual yang terjadi, penting bagi guru
khususnya dalam pembelajaran merancang kegiatan, menempatkan siswa tunanetra dalam
kelas inklusif sesuai dengan keterbatasannya. Hal ini dilakukan agar proses pembelajaran
dapat diikuti oleh siswa tunanetra.

2. Gangguan pendengaran (tunarungu)


Gangguan pendengaran merupakan salah satu gangguan yang berhubungan dengan
kurang atau tidak berfungsinya alat pendengaran sehingga menyebabkan hilangnya
kemampuan mendengar sebagian mampu seluruhnya.
Beberapa penyebab terjadinya kehilangan pendengaran antara lain hereditas atau
keturunan, rubella atau German measles pada ibu yang mengandung, kelahiran prematur,
meningitis (bakteri/virus) yang menyebabkan sistem pendengaran, serta kerusakan sel dan
jaringan saraf pada waktu kehamilan.

Beberapa tingkatan dalam gangguan pendengaran diuraikan sebagai berikut:


A. titik kehilangan pendengaran yang paling rendah 27-40, tidak mengalami kesulitan dalam
banyak situasi
B. Kehilangan pendengaran ringan 41-55, kehilangan sampai 50% suara dengan suara yang
lama
C. Kehilangan pendengaran sedang 56-70, hanya dapat mendengarkan suara yang sangat
keras
D. Kehilangan pendengaran berat 71-90, hanya dapat mendengar suara dari jarak minimal 1
langkah kaki dari telinga serta terjadinya gangguan ucapan
E. Kehilangan pendengaran sangat parah >90, hanya mendengar sedikit suara, hanya
mengandalkan getaran

Siswa dengan gangguan pendengaran memiliki hambatan dalam mengikuti pembelajaran.


Untuk itu, guru harus dapat merancang pembelajaran yang dapat mengakomodasi kebutuhan
siswa dengan gangguan pembelajaran.

3. Cacat fisik dan gangguan kesehatan lainnya


Definisi dari cacat fisik dapat mencakup berbagai kesulitan yang dihadapi seseorang
dalam melakukan fungsi fisik. Biasanya cacat fisik dideskripsikan sebagai kelainan ortopedik
yang melibatkan kerusakan pada sistem kerangka dan kelainan neuromotor yang melibatkan
kelainan sistem saraf beberapa cacat fisik yang terjadi dapat dikaitkan dengan berbagai
macam jenis kondisi medis atau kelainan kesehatan lainnya yang mempunyai dampak
mobilitas pada seseorang.
Di Indonesia cacat fisik tergolong dalam istilah tunadaksa yang merupakan cacat
tubuh atau kerusakan tubuh. Beberapa jenis cacat fisik atau gangguan kesehatan lainnya yang
terlihat seperti cerebral palsy, spina bifida, muscular dystrophy, hidrosefalus, limb loss,
epilepsi, asthma, diabetes mellitus (tipe 1), dan lain-lain.

1. Cerebral Palsy
Cerebral Palsy merupakan gangguan pada otak untuk mengendalikan Gerakan tubuh.
beberapa penyebab cerebral palsy adalah adanya kerusakan otak yang disebabkan oleh
asfiksia, yaitu kerusakan otak pada saat sebelum, selama, dan sesudah kelahiran, Pendarahan
otak, meningitis, ensefalitis, atau penyakit kuning.

2. Spina Bifida
Spina bifida merupakan Suatu kondisi satu atau lebih tulang belakang gagal menutup
dengan benar atau tidak sempurnanya tabung saraf untuk berkembang. Faktor utama
penyebabnya adalah lokasi lesi dan tingkat kerusakan pada saraf tersebut.
3. Muscular Distropi
Merupakan suatu kelainan otot progresif yang menyebabkan otot menjadi lemah dan
terbuang. Biasanya jenis duchenne paling banyak menyerang anak laki-laki dengan gejala
melemahnya otot secara terus-menerus, serta tidak berkembang dengan memadai sehingga
tetap diganti dengan jaringan serat dan lemak.

D. Epilepsi
Epilepsi merupakan kondisi neurologis yang menyebabkan kejang tiba-tiba, serta
terjadi berulang-ulang yang diindikasikan dengan adanya aktivitas listrik yang tidak
terkendali di otak. Secara fisik, penderita epilepsi tidak menunjukkan perbedaan dengan anak
lainnya, atau terlihat normal, namun, ketika terjadinya serangan atau kejang yang terjadi tiba-
tiba akan terlihat perbedaannya, kejang-kejang ini terjadi karena kontraksi otot, gerakan tanpa
terkontrol, ataupun kejang otot yang menyebabkan kerasnya beberapa atau keseluruhan
anggota badan.
Penyebab epilepsi sampai saat ini masih diteliti, walaupun beberapa penyebab yang sering
dijumpai pada umumnya dikarenakan kerusakan otak yang dapat terjadi karena akibat
kecelakaan disertai dengan pendarahan pada otak, atau beberapa penyebab meningitis atau
kekurangan oksigen juga dapat menyebabkan epilepsi.

E. Asma
Asma merupakan penyakit yang biasanya dialami anak pada masa kecil, yang terjadi
karena penyempitan saluran udara paru-paru sehingga menyebabkan sulit bernafas serangan
asma biasanya terjadi secara tiba-tiba. Beberapa penyebab timbulnya asma antara lain alergi,
stress cuaca dingin, infeksi virus maupun asap kendaraan dan cat. Gejala yang umum terjadi
antara lain sesak napas, mengi, batuk yang berulang, dada menjadi kencang dan sulit
bernapas.

F. Diabetes Mellitus
Diabetes mellitus merupakan suatu kondisi ketika gula tidak mengalami metabolisme
dengan benar, karena tidak cukupnya insulin di dalam pankreas. Akibat tidak cukup insulin,
kadar glukosa dalam darah menjadi lebih tinggi. Hal ini menyebabkan rasa haus yang
ekstrem mengeluarkan urine yang berlebihan. Dengan demikian, dampaknya dapat
mempengaruhi turunnya berat badan karena badan tidak mampu menyimpan glukosa yang
menyebabkan kelelahan dan kelaparan terus-menerus. Diabetes melitus tipe 1 biasanya
menyerang anak-anak pada usia 10-16 tahun, yang rentan dengan usia sekolah.

G. Autis
Autis merupakan suatu sindrom yang terjadi karena defisit dalam perkembangan
kognitif afektif maupun sosial. Penyebab terjadinya autis sampai saat ini masih diselidiki
untuk dapat melihat penyebab autis. Beberapa ahli menyatakan bahwa penyebab autis
disebabkan oleh faktor genetik yang diturunkan dari orang tua yang memiliki anak autis akan
mempunyai resiko bagi anak yang lain terkena autis juga. Penyebab lain, seperti pengaruh
lingkungan yang berkaitan dengan adanya racun pada saat sebelum kelahiran maupun
komplikasi pada persalinan Ibu pada saat melahirkan. Biasanya perkembangan kecacatan
berlangsung dimulai sebelum usia 3 tahun. Belum ada obat secara medis untuk dapat
menyembuhkan anak-anak penderita autis tetapi selama ini dengan pengurangan gluten atau
kasein, serta penambahan gizi makanan bagi penderita autis berdasarkan pengalaman orang
tua dapat mempengaruhi dampak autis.

Karakteristik anak berkebutuhan khusus dengan kategori kebutuhan belajar khusus


lainnya

Beberapa karakteristik siswa atau anak berkebutuhan khusus dengan kebutuhan


belajar khusus lainnya dapat dikategorikan seperti attention defisit hyperactivity disorder
(ADHD) dan anak berbakat atau kreatif atau jenius.

1. Attention Defisit Hyperactivity Disorder (ADHD)


ADHD merupakan gangguan perkembangan dalam hal sulit memberikan perhatian
atau hiperaktif, kelainan perilaku, maupun gangguan yang menimbulkan pembangkangan.
walaupun beberapa Pendapat yang menyatakan bahwa penderita ADHD adalah sebagian
berasal dari munculnya dari penderita asperger syndrome tetapi tidak menutup kemungkinan
bahwa penderita ADHD juga penderita autis, dengan ciri-ciri yang hampir sama antara
penderita tersebut.
Beberapa penyebab munculnya ADHD dapat muncul dari berbagai penyebab, seperti
pengaruh biologi dan lingkungan, termasuk berhubungan dengan perbedaan otak atau
kimiawi dengan orang normal walaupun masih memerlukan penelitian lebih lanjut. Hasil
penelitian juga menyatakan bahwa faktor genetik sangat mempengaruhi munculnya ADHD
bahkan juga lambatnya perkembangan beberapa bagian otak. secara khusus, munculnya
gangguan neurobiologis yang menyebabkan timbulnya masalah neurotransmitter kimia otak
pada bagian dopamin atau norepinefrine. Dewasa ini, terbukti juga bahwa pola makan, jenis
kelamin, terpaparnya racun pada lingkungan atau bahkan pola asuh orang tua terhadap anak
juga mempengaruhi munculnya ADHD.

2. Anak Berbakat/Kreaktif/Jenius
Sebagian besar para ahli sejak dulu mendefinisikan anak berbakat atau kreatif dan
menghubungkannya dengan intelegensinya yang sangat tinggi hal ini dibuktikan dengan tes
intelegensi yang dilakukan oleh Stanford Binet intelligence test yang kemudian
dikembangkan oleh berbagai ahli lainnya seperti Lewis terman. Angka yang menandai bahwa
anak-anak ini sangat berbakat dengan intelligence quotient (IQ) 130-140.
Anak berbakat merupakan anak yang memiliki kategori kemampuan di atas standar
anak lainnya, mempunyai komitmen kuat dalam menyelesaikan tugas, serta kreativitas yang
tinggi. Definisi lain menyatakan bahwa anak yang berbakat atau kreatif adalah anak yang
memiliki potensi sangat jauh melebihi anak seusianya. Keperbakatan ini biasanya merupakan
hasil kombinasi dari motivasi, tempramen lingkungan, serta mempunyai hubungan dengan
bakat bawaan yang dimiliki.
DAFTAR PUSTAKA

Arief Widodo, Dyah Indraswati (Corresponding Author), Deni Sutisna, Setiani


Novitasari. "Indentifikasi Bakat Peserta Didik Berkebutuhan Khusus (PDBK) Di Madrasah
Inklusi Kabupaten Lombok", Volume 3 Nomor 2 Tahun 2020 e-ISSN: 2580-9806
Diana Dwi Jayanti. "Strategi Optimalisasi Potensi Siswa Berkebutuhan Khusus
Melalui Program Pembelajaran Individual" Volume 8 Nomor 2, Desember 2014
Agung Ria, Misyanto & Dwi Sari Usop. KARAKTERISTIK ANAK
BERKEBUTUHAN KHUSUS DI SEKOLAH DASAR NEGERI (INKLUSI) DI KOTA
PALANGKA RAYA,Volume 17,Desember2017
Khairun Nisa, Sambira Mambela, Lutfi Isni Badiah. Jurnal "Karakteristik Dan
Kebutuhan Anak Berkebutuhan Khusus" Volume 02, Nomor 1 Juli 2018
Tina Oktarina, Fatmawati. "Prevelensi Anak Berkebutuhan Khusus di Kecamatan
Matur. Volume 5 Nomor 2 Tahun 2021
Sukadari. PELAYANAN ANAK BERKEBUTUHAN KHUSUS (ABK) MELALUI
PENDIDIKAN INKLUSI. Volume 2. Juli 2020
Lisa Adhia. Prevalensi, Karakteristik, dan Pelayanan Kesehatan Bagi Anak
Berkebutuhan. Bandung April 2012
Garnida Dadang.(2015). Pengantar Pendidikan Inklusif.Bandung: PT Revika
Aditama.
Atmaja Jati.(2018) Pendidikan Dan Bimbingan Anak Berkebutuhan Khusus.Bandung:
PT Remaja Rosdakarya.
Rasmitadila.(2020). Penyelenggaraan pendidikan inklusif.Depok: PT Raja Grafindo
Persada.
Irdamurni.(2020). Pendidikan Inklusif Solusi Dalam Mendidik Anak Berkebutuhan
Khusus.Kencana: PT Prenadamedia Group.

Anda mungkin juga menyukai