Anda di halaman 1dari 40

APLIKASI KONSEP PERAWATAN PASIEN DENGAN

KEBUTUHAN KHUSUS, KEBIJAKAN, DAN


HASIL RISET

LAPORAN PRAKTIKUM 1

Oleh:
Kelompok 4

PROGRAM STUDI ILMUKEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2015

APLIKASI KONSEP PERAWATAN PASIEN DENGAN


KEBUTUHAN KHUSUS, KEBIJAKAN, DAN
HASIL RISET

LAPORAN PRAKTIKUM 1
disusunkan guna melengkapi laporan praktikum mata kuliah Perawatan Pasien
Berkebutuhan Khusus dengan dosen pembimbing: Ns. Kushariadi, M. Kep

Oleh:
Ikbar Nurkholisah Imaniar
Riana Vera Andantika
Rizky Meidwigita Paradis
Erna Dwi Putri Cahyani
Eka Yuli Ana
Risha Putri Mahardika
Desi Rahmawati
Ria Novitasari
Reny Dwi Nurmasari
Tri Ayu Diah Andjani
Umamul Faqih Nurul Y.
Alfun Hidayatulloh
Riski Dafianto
Fakhrun Nisa Fiddaroini
Nilla Sahuleka
Indra Sarosa

NIM 122310101004
NIM 122310101006
NIM 122310101010
NIM 122310101012
NIM 122310101013
NIM 122310101016
NIM 122310101021
NIM 122310101022
NIM 122310101032
NIM 122310101038
NIM 122310101044
NIM 122310101047
NIM 122310101052
NIM 122310101064
NIM 122310101070
NIM 122310101073

PROGRAM STUDI ILMUKEPERAWATAN


UNIVERSITAS JEMBER
2015

BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan layanan atau
perlakuan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal sebagai akibat
dari kelainan atau keluarbiasaan yang disandangnya. Istilah anak berkebutuhan
khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan
kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar
belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan
belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan
layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan
sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan
hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang
sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan. Anak berkebutuhan khusus
atau diffable usia sekolah adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan
mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam Anak Berkebutuhan Khusus
antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah
lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak
luar biasa adalah anak yang memiliki penyimpangan sedemikian rupa / signifikan
dari anak pada umumnya dalam segi fisik, kecerdasan, sosial, emosi atau
gabungan dari kelainan tersebut sehingga untuk mengembangkan potensinya
secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus. Karena karakteristik dan
hambatan yang dimiliki, Anak Berkebutuhan Khusus memerlukan bentuk
pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi
mereka. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing
Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah anak tuna daksa. Menurut
Sutjihati Somantri, bahwa tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan
atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Sedangkan menurut
Mohammad Efendi, bahwa tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan

anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit,
atau pertumbuhan yang tidak sempurna.
Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif
maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh
hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah
diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya
tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga
masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya.
Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu
memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak
berkebutuhan khusus. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat
disebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan. Tentunya aspek-aspek tersebut
mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang.
Kemudian terdapat penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada
pasal 32 ayat 1, pendidikan merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelaianan
fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan. Terkait
dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, UU Nomor 20 Tahun 2003
tenyang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Pada pasal 5 ayat 2 Warga Negara yang mempenyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan atau pemberdayaan
terhadap penyandang tunadaksa adalah meningkatkan kemampuan memasang
kancing baju melalui media model yang direkomendasikan oleh sebuah penelitian
Andrian (2013). Salah satu media pembelajaran yang diperkirakan tepat dan
cocok untuk mengajarkan materi menolong diri sendiri pada aspek memakai
baju berkancing adalah media model. Media model merupakan media yang
baik untuk mengajarkan anak dan memudahkan pemahaman anak terhadap
kedalaman materi ajar.
Di banyak negara, respons terhadap situasi anak penyandang disabilitas
umumnya terbatas pada institusionalisasi, ditinggalkan atau ditelantarkan.
Respons-respons semacam ini merupakan masalah, dan itu sudah mengakar
dalam asumsi-asumsi negatif atau paternalistik tentang ketidakmampuan,
ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena ketidaktahuan. Yang
dibutuhkan sekarang adalah komitmen terhadap hak-hak anak ini dan masa
depan mereka, dengan memprioritaskan anak yang paling tidak beruntung sebagai
masalah kesetaraan dan manfaat bagi semua. Anak-anak penyandang disabilitas
menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam

berbagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, di mana
mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Gender juga merupakan
sebuah faktor penting. Anak-anak perempuan penyandang disabilitas juga kecil
kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pelatihan kerja atau
mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas
atau anak perempuan tanpa disabilitas.
Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini
menyebabkan mereka menjadi lebih rentan. Diskriminasi karena disabilitas
berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan
bahkan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak
banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa
banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas
macam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi
kehidupan mereka. Dengan demikian, anak-anak yang dikucilkan tidak tahu dan
oleh sebab itu terputus dari pelayanan publik yang sebenarnya mereka berhak
untuk mendapatkannya. Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang yang
membatasi akses mereka ada pekerjaan atau partisipasi mereka dalam masalahmasalah kemasyarakatan di kemudian hari, misalnya. Tapi akses pada pelayanan
dan teknologi bisa memosisikan anak penyandang disabilitas untuk mengambil
tempat di dalam masyarakat dan memberikan kontribusinya.
Angka kejadian disabilitas menurut Susenas 2012 mendapatkan penduduk
Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan
penurunan persentase penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah
ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan
2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan
2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita
bandingkan antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012
terjadi peningkatan prevalensi.
Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012.

Sumber: BPS

Berdasarkan data Susenas tahun 2012 penyandang disabilitas terbanyak adalah


penyandang yang mengalami lebih dari satu jenis keterbatasan, yaitu sebesar
39,97%, diikuti keterbatasan melihat, dan berjalan atau naik tangga seperti pada
gambar di bawah ini.
Sensus Penduduk 2010 mengumpulkan data mengenai penduduk yang
mengalami kesulitan melihat, mendengar, berjalan atau naik tangga, mengingat
atau berkonsentrasi atau berkomunikasi dan kesulitan mengurus diri sendiri. Data
yang dapat disajikan adalah data disabilitas pada penduduk usia 10 tahun ke atas
karena ditemukan ketidakwajaran data untuk usia kurang dari 10 tahun yang
dimungkinkan karena kesalahan pemahaman konsep dan definisi. Berikut ini
adalah persentase penduduk usia 10 tahun ke atas yang mengalami kesulitan
fungsional berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 2010.
Gambar 2. Distribusi Penyandang Disabilitas Menurut Jenis Disabilitas
Berdasarkan Data Susenas Tahun 2012

Persentase penyandang disabilitas di Indonesia berdasarkan hasil Susenas


tahun 2012 adalah sebesar 2,45%. Provinsi dengan persentase penyandang
disabilitas tertinggi adalah Bengkulu (3,96%) dan terendah adalah Papua (1,05%).
Prevalensi masing-masing provinsi digambarkan pada grafik di bawah ini.

Gambar 3. Persentase Penyandang Disabilitas Menurut Provinsi


Berdasarkan Data Susenas Tahun 2012.

Menurut permasalahan di atas maka dapat kita simpulkan perlu uapaya


lebih untuk meningkatkan kebijakan terkait anak kebutuhan khusus, khususnya
anak dengan gangguan tuna daksa seperti salah satunya mendukung dan memberi
masukan terhadap pemerintah secara berkesinambungan sehingga diharapkan
kebijakan dapat segera diturunkan oleh pemerintah. Selain itu tindakan dalam
memberdayakan anak tunadaksa banyak dijelaskan dalam penelitian-penelitian
salah satunya yaitu dengan meningkatkan kemampuan memasang kancing baju
melalui media model yang direkomendasikan oleh sebuah penelitian Andrian
(2013). Salah satu media pembelajaran yang diperkirakan tepat dan cocok
untuk mengajarkan materi menolong diri sendiri pada aspek memakai baju
berkancing adalah media model. Media model merupakan media yang baik
untuk mengajarkan anak dan memudahkan pemahaman anak terhadap
kedalaman materi ajar. Dalam membelajarkan materi harus diawali dari yang
mudah, sedikit sulit, hingga ke yang benar-bebar sulit. Melalui tahapantahapan belajar ini akan lebih menjamin terjadinya proses belajar. Melalui media
model memasang baju berkancing diharapkan anak dapat memasang baju
berkancing dengan optimal. Keterampilan melalui model tersebut dapat menarik
anak, anak tidak cepat bosan dan dapat berkreatifitas, yang selama ini
dilakukannya memasang baju berkancing hanya melalui dirinya sendiri yang
membuat anak bosan, dikarenakan jari tangannya sulit memasukkan buah bajunya
kedalam lubang dengan tepat. Kadangkala tepat, tetapi waktu ditarik kebawah
ujung bajunya panjang sebelah mengakibatkan anak bosan.

1.2 Rumusan Masalah


1) Bagaimana keefektifan kebijakan terkait anak tunadaksa ?
2) Apa saja tren dan isu perawatan anak berkebutuhan khusus dengan klien
tunadaksa ?
1.3 Tujuan
1) mengetahui keefektifan kebijakan anak tunadaksa;
2) mengetahui tren dan isu perawatan anak berkebutuhan khusus dengan
klien tunadaksa.

BAB 2. TINJAUAN KONSEP


2.1 Kebijakan
2.1.1 Definisi Kebijakan
Kebijakan adalah rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan
rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan atau kepemimpinan dan cara
bertindak (Balai Pustaka, 2007). Menurut Ealau dan Pewitt (1973) (Edi Suharto,
2008), kebijakan adalah sebuah ketetapan yang berlaku, dicirikan oleh perilaku
yang konsisten dan berulang baik dari yang membuat atau yang melaksanakan
kebijakan tersebut. Menurut Titmuss (1974) (Edi Suharto, 2008), kebijakan adalah
prinsip- prinsip yang mengatur tindakan dan diarahkan pada tujuan tertentu.
Kebijakan adalah suatu ketetapan yang memuat prinsip-prinsip untuk
mengarahkan cara bertindak yang dibuat secara terencana dan konsisten untuk
mencapai tujuan tertentu. Menurut Carl Friedrich, kebijakan adalah suatu tindakan
yang mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai
tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan. Anderson merumuskan
kebijakan sebagai langkah tindakan secara sengaja dilakukan oleh seorang aktor
atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan tertentu
yang dihadapi (Winarno, Budi, 2002).
2.1.2 Arah Kebijakan
2.1.2.1 Tujuan Kebijakan
1. Tujuan Umum:
Terpenuhinya hak-hak anak berkebutuhan khusus untuk dapat hidup,
tumbuh dan berkembang, dan berpartisipasi secara wajar baik secara
rohani, jasmani, maupun sosial sesuai dengan harkat dan martabat
kemanusiaan.
2. Tujuan Khusus:
a. Meningkatkan peran serta pemerintah, pemerintah daerah
masyarakat, keluarga untuk memenuhi kebutuhan yang diperlukan
bagi anak berkebutuhan khusus.
b. Terpenuhinya anak berkebutuhan khusus memperoleh identitas dan
akta kelahiran.
c. Terpenuhinya anak berkebutuhan khusus mendapat pengasuhan dari
orangtua/keluarga.
d. Terpenuhinya anak berkebutuhan akan pelayanan pendidikan dan
kesehatan.

e. Terlindunginya anak berkebutuhan khusus dari tindakan kekerasan


dan diskriminasi.
f. Terpenuhinya anak berkebutuhan khusus untuk berpartisipasi.
2.1.2.2 Prinsip Kebijakan
Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus mengacu kepada prinsip
umum yang terkandung didalam Konvensi Hak Anak (KHA), yaitu:
1. Nondiskriminatif, yaitu pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus
diberikan kepada anak berkebutuhan khusus seluruhnya tanpa
membedakan berdasarkan latar belakang agama, suku, ras, golongan
gender, dan status sosial.
2. Kepentingan terbaik untuk anak, yaitu peningkatan layanan pendidikan,
kesehatan, pelatihan kerja, kesejahteraan aksesibilitas, perlindungan dan
partisipasi diberikan untuk kepentingan terbaik bagi anak berkebutuhan
khusus.
3. Hak anak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan tumbuh kembang, yaitu
pelayanan khusus kepada anak berkebutuhan khusus dilakukan untuk
menjamin hak dan kelangsungan hidup serta tumbuh kembang anak
berkebutuhan khusus.
4. Menghormati pandangan anak, yaitu dalam memberikan pelayanan khusus
kepada anak berkebutuhan khusus terutama yang menyangkut segala
sesuatu yang berhubungan dengan anak berkebutuhan khusus dilakukan
dengan melibatkan partisipasi anak berkebutuhan khusus sehingga
anakberkebutuhan khusus dapat menikmati hasil atau mendapatkan
manfaat dari pelayanan tersebut.
5. Keamanan dan keselamatan, pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus
dilaksanakan dengan memperhatikan keamanan dan keselamatan.
2.1.2.3 Strategi
Kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus mengacu pada pendekatan
secara terpadu, menyeluruh dan berkesinambungan dengan strategi sebagai
berikut:
a. Advokasi kepada pihak-pihak penyelenggara pelayanan ABK;
b. Fasilitasi
penyelenggaraan
perlindungan
ABK
kepada
Kementerian/Lembaga, Pemda, dan Lembaga Masyarakat;
c. Sosialisasi perlindungan ABK kepada masyarakat;
d. Mengefektifkan koordinasi dengan pemangku kepentingan pusat dan
daerah.
e. Pemberdayaan keluarga dan masyarakat berbasis pemenuhan hak-hak anak
berkebutuhan khusus.

2.1.2.4 Indikator
Indikator dalam kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus
adalah:
a. Adanya data anak berkebutuhan khusus yang akurat;
b. Terselenggaranya layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus
yang meliputi akses terhadap informasi program pendidikan anak
berkebutuhan khusus; tersedianya guru/pendamping khusus; dan
peningkatan sarana prasarana yang memberikan kemudahan bagi anak
berkebutuhan khusus;
c. Peningkatan pemahaman dan keterampilan orang tua, keluarga, dan
masyarakat dalam penanganan anak berkebutuhan khusus;
d. Peningkatan pendidikan keterampilan kerja dan pemasaran hasil produk
anak berkebutuhan khusus;
e. Tersedianya layanan konsultasi kesehatan pra nikah dan pengasuhan anak
berkebutuhan khusus;
f. Tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah anak berkebutuhan
khusus, tenaga kesehatan spesialis dan jaminan kesehatan yang mudah
diakses melalui Jamkesmas;
g. Tersedianya panti rehabilitasi dan pelayanan rehabilitasi yang bersumber
daya masyarakat;
h. Terlindunginya anak berkebutuhan khusus dari pemenuhan hak asasinya;
i. Peningkatan kesempatan dan penghargaan anak berkebutuhan khusus
untuk berprestasi;
j. Pemberian penghargaan terhadap prestasi anak berkebutuhan khusus di
bidang pendidikan, olahraga, dan kesenian;
k. Terlibatnya anak berkebutuhan khusus dalam forum anak.
2.1.3 Kedudukan Kebijakan
2.1.3.1 Kedudukan Kebijakan Internasional
1. Negara-Negara Pihak berjanji untuk menjamin dan memajukan realisasi
penuh dari semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi
semua penyandang disabilitas tanpa diskriminasi dalam segala bentuk
apapun yang didasari oleh disabilitas. Untuk itu, Negara-Negara Pihak
berjanji:
a. Mengadopsi semua peraturan perundang-undangan, administratif dan
kebijakan lainnya yang sesuai untuk implementasi hak-hak yang
diakui dalam Konvensi ini;
b. Mengambil semua kebijakan yang sesuai, termasuk peraturan
perundang-undangan, untuk mengubah atau mencabut ketentuan

hukum, peraturan, kebiasaan, dan praktik-praktik yang berlaku yang


mengandung unsur diskriminasi terhadap para penyandang disabilitas;
c. Mempertimbangkan perlindungan dan pemajuan hak asasi manusia
dari penyandang disabilitas dalam semua kebijakan dan program;
d. Menahan diri dari keterlibatan dalam tindakan atau praktik apapun
yang bertentangan dengan Konvensi ini dan menjamin bahwa otoritas
dan lembaga publik bertindak sesuai dengan Konvensi ini;
e. Mengambil semua kebijakan yang sesuai untuk menghilangkan
diskriminasi yang didasari oleh disabilitas yang dilakukan oleh setiap
orang, organisasi atau lembaga swasta;
f. Melaksanakan atau memajukan penelitan dan pengembangan barang,
jasa, peralatan, dan fasilitas yang didesain secara universal,
sebagaimana dijelaskan pada Pasal 2 dalam Konvensi ini, yang
memerlukan penyesuaian seminimal mungkin dan biaya terkecil guna
memenuhi kebutuhan khusus penyandang disabilitas, untuk
memajukan ketersediaan dan kegunaannya, dan untuk memajukan
desain universal dalam pengembangan standar-standar dan pedomanpedoman;
g. Melaksanakan atau memajukan penelitan dan pengembangan, dan
untuk memajukan ketersediaan dan penggunaan teknologi baru,
termasuk tekonologi informasi dan komunikasi, alat bantu mobilitas,
peralatan dan teknologi bantu, yang cocok untuk penyandang
disabilitas, dengan memberikan prioritas kepada teknologi dengan
biaya yang terjangkau;
h. Menyediakan informasi yang dapat diakses kepada para penyandang
disabilitas mengenai alat bantu mobilitas, peralatan dan teknologi
bantu bagi penyandang disabilitas, termasuk teknologi baru serta
bentuk-bentuk bantuan, layanan dan fasilitas pendukung lainnya;
i. Memajukan pelatihan bagi para profesional dan personil yang bekerja
dengan penyandang disabilitas tentang hak asasi manusia
sebagaimana diakui di dalam Konvensi ini sehingga mereka lebih
dapat memberikan bantuan dan pelayanan yang dijamin oleh hak-hak
tersebut.
2. Terkait dengan hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, setiap Negara Pihak
mengambil tindakan sejauh dimungkinkan sumber daya yang ada dan,
bilamana perlu, di dalam kerangka kerja sama internasional dengan
maksud agar dapat mencapai perwujudan penuh hak-hak ini secara
progresif, tanpa menaruh prasangka terhadap kewajiban-kewajiban yang
terdapat di dalam Konvensi ini yang menurut hukum internasional dapat
segera diterapkan.
3. Dalam pengembangan dan pelaksanaan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan untuk implementasi Konvensi ini, dan dalam proses
pengambilan keputusan lainnya menyangkut masalah-masalah yang terkait
dengan penyandang disabilitas, Negara-Negara Pihak harus berkonsultasi
secara erat dan aktif melibatkan para penyandang disabilitas, termasuk

penyandang disabilitas anak, melalui organisasi-organisasi yang mewakili


mereka.
4. Dalam Konvensi ini, tidak terdapat hal-hal yang dapat mempengaruhi
setiap ketentuan yang lebih kondusif terhadap realisasi hak-hak
penyandang disabilitas dan yang mungkin ada dalam ketentuan hukum
Negara Pihak atau hukum internasional yang berlaku untuk Negara Pihak.
Tidak boleh ada pembatasan atau pengurangan apa pun atas hak asasi
manusia dan kebebasan fundamental yang telah diakui atau terdapat di
suatu Negara Pihak pada Konvensi ini berdasarkan hukum, konvensi,
peraturan atau kebiasaan, dengan alasan bahwa Konvensi ini tidak
mengakui hak-hak atau kebebasan tersebut, atau mengakuinya pada
tingkatan yang lebih rendah.
5. Ketentuan-ketentuan yang ada di dalam Konvensi ini harus menjangkau
seluruh bagian negara-negara federal tanpa pembatasan atau pengecualian.
Pasal 5
Persamaan dan Nondiskriminasi
1. Negara-Negara Pihak mengakui bahwa semua manusia adalah setara di
hadapan dan di bawah hukum dan berhak, tanpa diskriminasi, untuk
mendapatkan perlindungan dan manfaat hukum yang setara.
2. Negara-Negara Pihak harus melarang semua diskriminasi yang didasari oleh
disabilitas serta menjamin perlindungan hukum yang setara dan efektif bagi
penyandang disabilitas terhadap dikriminasi yang didasari oleh alasan apa
pun.
3. Dalam rangka memajukan kesetaraan dan menghapuskan diskriminasi,
Negara-Negara Pihak harus mengambil langkah-langkah yang sesuai untuk
menjamin tersedianya akomodasi yang beralasan.
4. Kebijakan-kebijakan khusus yang diperlukan untuk mempercepat atau
mencapai kesetaraan de facto bagi penyandang disabilitas tidak boleh
dianggap sebagai diskriminasi di bawah ketentuan-ketentuan yang ada
dalam Konvensi ini.
Pasal 6
Penyandang Disabilitas Perempuan
1. Negara-Negara Pihak mengakui bahwa penyandang disabilitas perempuan
dan anak perempuan adalah rentan terhadap diskriminasi ganda, dan dalam
kaitan ini harus mengambil kebijakan-kebijakan untuk menjamin
penikmatan penuh dan setara bagi mereka atas semua hak asasi manusia dan
kebebasan fundamental.
2. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang sesuai untuk
menjamin pengembangan, pemajuan, dan pemberdayaan perempuan secara
penuh, dengan bertujuan untuk memberikan jaminan kepada mereka atas
pelaksanaan dan penikmatan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental
sebagaimana ditetapkan dalam Konvensi ini.

Pasal 7
Penyandang Disabilitas Anak
1. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan
untuk menjamin penikmatan penuh semua hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental oleh penyandang disabilitas anak atas dasar kesetaraan dengan
anak lainnya.
2. Dalam semua tindakan yang menyangkut penyandang disabilitas anak,
kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
3. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa penyandang disabilitas anak
memiliki hak untuk mengemukakan pandangan mereka secara bebas pada
semua hal yang mempengaruhi mereka, pandangan mereka
dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan mereka, atas dasar
kesetaraan dengan anak lainnya, dan disediakan bantuan disabilitas dan
sesuai dengan usia mereka untuk merealisasikan hak dimaksud.
Pasal 8
Peningkatan Kesadaran
1. Negara-Negara Pihak berjanji untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang
segera, efektif, dan sesuai sebagai berikut:
a) Untuk meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat, termasuk pada
tingkat keluarga, mengenai penyandang disabilitas, dan untuk
memelihara penghormatan atas hak-hak dan martabat para penyandang
disabilitas;
b) Untuk melawan stereotip, prasangka, dan praktik-praktik yang merugikan
menyangkut penyandang disabilitas, termasuk yang didasarkan jenis
kelamin dan usia, dalam seluruh bagian kehidupan;
c) Untuk memajukan kesadaran atas kemampuan dan kontribusi dari para
penyandang disabilitas.
2. Kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut meliputi:
a) Mengawali dan mempertahankan secara efektif kampanye kesadaran
masyarakat yang dirancang untuk:
(i)
Menumbuhkan penerimaan atas hak-hak penyandang disabilitas;
(ii)
Meningkatkan persepsi positif dan kesadaran sosial yang lebih besar
terhadap para penyandang disabilitas;
(iii)
Memajukan pengakuan terhadap keahlian, kualitas dan kemampuan
penyandang disabilitas, serta kontribusi mereka pada tempat kerja
dan pasar tenaga kerja;
b) Memelihara di semua tingkatan sistem pendidikan, termasuk pada semua
anak sejak usia dini, suatu sikap hormat terhadap hak-hak penyandang
disabilitas;
c) Mendorong semua komponen media untuk menggambarkan penyandang
disabilitas dalam cara yang konsisten sesuai dengan tujuan Konvensi ini;
d) Memajukan program pelatihan peningkatan kesadaran mengenai
penyandang disabilitas dan hak-hak penyandang disabilitas.

Pasal 9
Aksesibilitas
1. Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi
secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak harus
mengambil kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang
disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan
fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan
sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan
lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan. Kebijakan-kebijakan ini, yang harus meliputi identifikasi
dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas, harus
diterapkan pada, antara lain:
a) Gedung, jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang
lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas medis, dan tempat kerja;
b) Informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik
dan layanan gawat darurat.
2. Negara-Negara Pihak harus juga mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat
untuk:
a) Mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar
minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan
yang terbuka atau tersedia untuk publik;
b) Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan
yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh
aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
c) Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan tentang
masalah aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas;
d) Menyediakan di dalam gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk
publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dan dalam bentuk yang mudah
dibaca dan dipahami;
e) Menyediakan bentuk-bentuk bantuan langsung dan perantara, termasuk
pemandu, pembaca, dan penerjemah bahasa isyarat profesional, untuk
memfasilitasi aksesibilitas terhadap gedung dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik;
f) Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang sesuai bagi
penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka terhadap
informasi;
g) Meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem serta
teknologi informasi dan komunikasi yang baru, termasuk internet;
h) Memajukan sejak tahap awal desain, pengembangan, produksi, dan
distribusi teknologi dan sistem informasi dan komunikasi yang dapat
diakses, sehingga teknologi dan sistem ini dapat diakses dengan biaya
yang minimum.

Pasal 10
Hak untuk Hidup
Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak
yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan
untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya.
Pasal 11
Situasi Berisiko dan Darurat Kemanusiaan
Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk
menjamin perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi
berisiko, termasuk situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya
bencana alam, selaras dengan kewajiban mereka di bawah hukum internasional,
termasuk hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia
internasional.
Pasal 12
Kesetaraan Pengakuan di Hadapan Hukum
1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas
memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di hadapan hukum di mana
pun berada.
2. Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas
merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di semua aspek
kehidupan.
3. Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk
menyediakan akses oleh penyandang disabilitas dalam bentuk dukungan
yang mungkin diperlukan oleh mereka dalam melaksanakan kewenangan
mereka sebagai subyek hukum.
4. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa semua kebijakan, yang
menyangkut pelaksanaan kewenangan sebagai subyek hukum,
mengandung pengamanan yang sesuai dan efektif untuk mencegah
penyalahgunaan berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional.
Pengamanan tersebut harus menjamin bahwa kebijakan menyangkut
pelaksanaan kewenangan sebagai subyek hukum menghormati hak-hak,
kehendak dan pilihan penyandang disabilitas bersangkutan, bebas dari
konflik kepentingan dan pengaruh yang tidak semestinya, proporsional
dan disesuaikan dengan keadaan penyandang disabilitas bersangkutan,
diterapkan dalam waktu sesingkat mungkin dan dikaji secara teratur oleh
otoritas atau badan judisial yang kompeten, mandiri dan tidak memihak.
Pengamanan harus bersifat proporsional hingga pada tingkat di mana
kebijakan semacam ini memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan
penyandang disabilitas bersangkutan.
5. Merujuk dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, Negara-Negara
Pihak harus mengambil segala kebijakan yang sesuai dan efektif untuk
menjamin kesamaan hak bagi penyandang disabilitas dalam memiliki atau
mewarisi properti, dalam mengendalikan masalah keuangan mereka dan

dalam memiliki kesetaraan akses terhadap pinjaman bank, kredit


perumahan, dan bentuk-bentuk lain kredit keuangan, dan harus menjamin
bahwa penyandang disabilitas tidak dikurangi kepemilikannya secara
sewenang-wenang.
Pasal 13
Akses terhadap Keadilan
1. Negara-Negara Pihak harus menjamin akses yang efektif terhadap
keadilan bagi penyandang disabilitas atas dasar kesetaraan dengan yang
lainnya, termasuk melalui pengaturan akomodasi secara prosedural dan
sesuai dengan usia, dalam rangka memfasilitasi peran efektif penyandang
disabilitas sebagai partisipan langsung maupun tidak langsung, termasuk
sebagai saksi, dalam semua persidangan, termasuk dalam penyidikan dan
tahap-tahap awal lainnya.
2. Dalam rangka menolong terjaminnya akses efektif terhadap keadilan bagi
penyandang disabilitas, Negara-Negara Pihak harus meningkatkan
pelatihan yang sesuai bagi mereka yang bekerja di bidang
penyelenggaraan hukum, termasuk polisi dan sipir penjara.
Pasal 14
Kebebasan dan Keamanan Penyandang Disabilitas
1. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa penyandang disabilitas, atas
dasar kesetaraan dengan yang lainnya:
a) Menikmati hak atas kebebasan dan keamanan;
b) Tidak dicabut kebebasannya tanpa alasan hukum atau secara sewenangwenang, dan bahwa setiap pencabutan kebebasan adalah selaras dengan
hukum, dan bahwa adanya disabilitas tidak boleh menjadi alasan
pembenaran bagi pencabutan kebebasan.
2. Negara-Negara Pihak harus menjamin jika penyandang disabilitas dicabut
kebebasannya melalui proses apa pun, mereka berhak, atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap jaminan-jaminan yang selaras
dengan hukum hak asasi manusia internasional dan harus diperlakuan
sesuai dengan tujuan dan prinsip Konvensi ini, termasuk ketentuan
akomodasi yang beralasan.
Pasal 15
Kebebasan dari Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman lain yang
Kejam, Tidak Manusiawi, atau Merendahkan Martabat Manusia
1. Tidak seorangpun boleh disiksa atau mendapat perlakuan atau
penghukuman yang kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat
manusia. Secara khusus, tidak seorangpun boleh dijadikan percobaan
medis atas ilmiah tanpa persetujuan bebas dari yang bersangkutan.
2. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan peraturan
perundang-undangan, administratif, yudisial atau kebijakan lainnya yang
efektif guna mencegah penyandang disabilitas, berdasarkan kesetaraan
dengan yang lainnya, menjadi korban dari penyiksaan atau perlakuan atau

penghukuman kejam, tidak manusiawi, dan merendahkan martabat


manusia.
Pasal 16
Kebebasan dari Eksploitasi, Kekerasan, dan Pelecehan
1. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang sesuai di
bidang peraturan perundang-undangan, administratif, sosial, pendidikan
dan kebijakan lainnya untuk melindungi penyandang disabilitas dari semua
bentuk eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan, termasuk aspek-aspek
berbasis gender dari tindakan-tindakan tersebut, baik di dalam maupun di
luar rumah;
2. Negara-Negara Pihak harus juga mengambil kebijakan yang sesuai untuk
mencegah semua bentuk eksploitasi, kekerasan, dan pelecehan dengan
menjamin, antara lain, bahwa bantuan dan dukungan yang diberikan
kepada penyandang disabilitas, keluarganya, dan perawatnya, sesuai
bentuknya dan sensitif terhadap gender serta usia, termasuk menyediakan
informasi dan pendidikan tentang bagaimana mencegah, mengenali dan
melaporkan kasus-kasus eksploitasi, kekerasan dan pelecehan. NegaraNegara Pihak harus menjamin bahwa pelayanan perlindungan bersifat
sensitif usia, gender dan disabilitas.
3. Untuk mencegah terjadinya segala bentuk eksploitasi, kekerasan dan
pelecehan, Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa semua fasilitas
dan program didesain untuk melayani penyandang disabilitas dipantau
secara efektif oleh otoritas independen.
4. Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai guna
memajukan pemulihan fisik, kognitif dan psikologis, rehabilitasi dan
reintegrasi sosial penyandang disabilitas yang menjadi korban dari segala
bentuk eksploitasi, kekerasan atau pelecehan, termasuk melalui
penyediaan pelayanan perlindungan. Pemulihan dan reintegrasi tersebut
harus dilaksanakan dalam lingkungan yang menjamin kesehatan,
kesejahteraan, penghormatan, martabat dan kemandirian orang serta harus
mempertimbangkan kebutuhan yang berdasarkan gender dan usia.
5. Negara-Negara Pihak harus menerapkan peraturan perundang-undangan
dan kebijakan yang efektif, termasuk kebijakan dan perundang-undangan
yang terfokus pada perempuan dan anak, untuk menjamin bahwa kasuskasus eksploitasi, kekerasan dan pelecehan terhadap penyandang
disabilitas diidentifikasi, diselidiki, dan dihukum apabila dipenuhi syarat.
Pasal 17
Melindungi Integritas Penyandang Disabilitas
Setiap penyandang disabilitas memiliki hak untuk mendapatkan penghormatan
atas integritas mental dan fisiknya atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya.

Pasal 18
Kebebasan Bergerak dan Kewarganegaraan
1. Negara-Negara Pihak harus mengakui hak-hak penyandang disabilitas atas
kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal dan
kewarganegaraan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, termasuk
dengan menjamin bahwa penyandang disabilitas:
a) Memiliki hak untuk memperoleh dan mengubah kewarganegaraan dan
tidak dirampas kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau
berdasarkan disabilitasnya;
b) Tidak dibatasi kemampuannya, atas dasar disabilitas, untuk
memperoleh, memiliki, dan menggunakan dokumen kewarganegaraan
mereka atau identitas lainnya, atau untuk memanfaatkan proses-proses
relevan seperti yang proses keimigrasian, yang mungkin diperlukan
untuk memfasilitasi penggunaan hak kebebasan bergerak;
c) Bebas meninggalkan suatu negara, termasuk negara asalnya;
d) Tidak dirampas hak untuk masuk kembali ke negara asalnya, secara
sewenang-wenang atau atas dasar disabilitas.
2. Penyandang disabilitas anak segera setelah kelahiran harus didaftarkan,
dan sejak lahir harus memiliki hak atas sebuah nama, hak untuk
memperoleh kewarganegaraan dan, selama memungkinan, hak untuk
mengetahui dan diasuh orang tuanya.
Pasal 19
Hidup Secara Mandiri dan Dilibatkan Dalam Masyarakat
Negara-Negara Pihak pada Konvensi ini mengakui hak yang sama dari semua
penyandang disabilitas untuk dapat hidup di dalam masyarakat, dengan pilihanpilihan yang setara dengan yang lainnya, dan harus mengambil kebijakankebijakan yang efektif dan sesuai untuk memfasilitasi penikmatan penuh atas hak
ini oleh penyandang disabilitas dan keterlibatan dan partisipasi penuh mereka di
dalam masyarakat, termasuk dengan menjamin bahwa:
a) Penyandang disabilitas memiliki kesempatan untuk menentukan tempat
tinggal serta di mana dan dengan siapa mereka tinggal atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya dan tidak diwajibkan hidup dengan
pengaturan khusus;
b) Penyandang disabilitas memiliki akses ke berbagai pelayanan, baik
yang diberikan di dalam rumah, di tempat pemukiman, dan pelayanan
dukungan masyarakat lainnya, termasuk bantuan pribadi yang
dibutuhkan agar dapat hidup dan terlibat di dalam masyarakat, serta
untuk menghindari pengasingan atau pemisahan dari masyarakat;
c) Layanan dan fasilitas masyarakat bagi masyarakat umum tersedia atas
dasar kesetaraan bagi penyandang disabilitas, dan tanggap terhadap
kebutuhan mereka.

Pasal 20
Mobilitas Pribadi
Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan-kebijakan yang efektif untuk
menjamin mobilitas pribadi dengan kemandirian seluas-luasnya bagi penyandang
disabilitas, termasuk dengan:
a) Memfasilitasi mobilitas pribadi penyandang disabilitas dengan cara dan
pada waktu sesuai pilihan mereka, serta dengan biaya terjangkau;
b) Memfasilitasi akses penyandang disabilitas terhadap bantuan mobilitas,
alat, teknologi pendukung, serta bentuk-bentuk bantuan langsung dan
perantara yang berkualitas, termasuk menyediakannya dengan biaya
terjangkau;
c) Menyediakan pelatihan mengenai keterampilan mobilitas bagi
penyandang disabilitas dan para spesialis yang menangani penyandang
disabilitas;
d) Mendorong entitas-entitas yang memproduksi bantuan mobilitas, alat,
dan teknologi pendukung, dengan mempertimbangkan semua aspek
mobilitas penyandang disabilitas.
Pasal 21
Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, serta Akses
Terhadap Informasi
Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang sesuai untuk
menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat menggunakan hak atas kebebasan
berekspresi dan berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan
memberikan informasi dan ide atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan
melalui semua bentuk komunikasi sesuai pilihan mereka, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 dari Konvensi ini, termasuk dengan:
a) Menyediakan informasi yang ditujukan untuk masyarakat umum
kepada penyandang disabilitas dalam bentuk dan teknologi yang dapat
dijangkau sesuai dengan berbagai jenis disabilitas secara tepat waktu
dan tanpa biaya tambahan;
b) Menerima dan memfasilitasi penggunaan bahasa isyarat, Braille,
komunikasi augmentatif dan alternatif, dan semua cara, alat, dan bentuk
komunikasi lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan
penyandang disabilitas dalam interaksi resmi;
c) Menyerukan entitas-entitas swasta yang menyediakan layanan kepada
masyarakat umum, termasuk melalui internet, untuk menyediakan
informasi dan layanan dalam bentuk yang dapat dijangkau dan
digunakan oleh penyandang disabilitas;
d) Mendorong media massa, termasuk penyedia informasi melalui
internet, untuk membuat layanan mereka dapat dijangkau oleh
penyandang disabilitas;
e) Mengakui dan memajukan pemakaian bahasa isyarat.

2.1.3.2 Kedudukan Kebijakan Nasional


Menimbang: a. bahwa setiap anak termasuk anak berkebutuhan khusus berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak
atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi yang dijamin
oleh Undang-Undang Dasar Tahun 1945;
b. bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang
Perlindungan Anak mewajibkan Negara dan Pemerintah untuk
menghormati dan menjamin hak asasi setiap anak tanpa
membedakan kondisi fisik dan mental anak;
c. bahwa anak berkebutuhan khusus belum dapat terpenuhi hakhaknya baik di lingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat
karena pengaruh kondisi sosial dan keterbatasan kemampuan
keluarga;
d. bahwa dalam upaya untuk meningkatkan peran Pemerintah dan
masyarakat dalam pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus
diperlukan Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b, huruf c,
dan huruf d perlu menetapkan Peraturan Menteri Negara
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik
Indonesia tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus;
Mengingat: 1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan
Anak (Lembaran) Negara Republik Indonesia Tahun 1979
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3143);
2. Undang-undang Nomor 4 Tahun 1997 tentang Penyandang
Cacat (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997
Nomor 9, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3670
Menetapkan : PERATURAN MENTERI NEGARA PEMBERDAYAAN
PEREMPUAN
DAN PERLINDUNGAN ANAK REPUBLIK INDONESIA
TENTANG KEBIJAKAN PENANGANAN ANAK BERKEBUTUHAN
KHUSUS.
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Peraturan Menteri ini yang dimaksud dengan:
1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,
termasuk yang masih dalam kandungan.
2. Anak Berkebutuhan Khusus adalah anak yang mengalami
keterbatasan/keluarbiasaan baik fisik, mental-intelektual, sosial, maupun
emosional yang berpengaruh secara signifikan dalam proses pertumbuhan
dan perkembangannya dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya.
3 Penanganan anak berkebutuhan khusus adalah segala kegiatan untuk

menjamin dan melindungi anak dan hak-hak anak berkebutuhan khusus


agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara optimal
sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan.
Pasal 2
Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus dapat menjadi acuan bagi
kementerian/lembaga, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat
dalam melaksanakan program dan kegiatan yang terkait penanganan anak
berkebutuhan khusus.
Pasal 3
1. Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus meliputi program di
bidang umum, pendidikan, pelatihan keterampilan kerja, kesehatan,
perlindungan dan partisipasi anak berkebutuhan khusus.
2. Program dan kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dirumuskan
sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan yang diperlukan bagi anak yang
berkebutuhan khusus.
Pasal 4
1. Mengenai program kegiatan Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus dan kementerian/lembaga terkait,
2. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota serta masyarakat yang
melaksanakannya sebagaimana ditetapkan dalam Lampiran Peraturan
Menteri ini.
Pasal 5
1. Dalam melaksanakan Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus, Deputi Bidang Perlindungan Anak :
a. membentuk kelompok kerja penanganan anak berkebutuhan khusus;
b. melaksanakan sosialisasi dan advokasi kepada Pemerintah Daerah
dan masyarakat tentang Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus;
c. menyusun model penanganan anak berkebutuhan khusus bagi orang
tua, keluarga, dan masyarakat; dan
d. fasilitasi pelaksanaan kegiatan penanganan anak berkebutuhan khusus.
Pasal 6
1. Kelompok Kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a bertujuan
untuk memantau, membahas masalah dan hambatan serta mensinergikan
pelaksanaan langkah-langkah program dan kegiatan penanganan anak
berkebutuhan khusus.
2. Kelompok Kerja Penanganan Anak Berkebutuhan Khusus sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) melaksanakan pertemuan secara berkala minimal 2
(dua) kali dalam 1 (satu) tahun yang diikuti oleh seluruh
kementerian/lembaga terkait, lembaga masyarakat yang terlibat dalam
pelaksanaan program dan kegiatan anak berkebutuhan khusus.

Pasal 7
Pelaksanaan program dan kegiatan Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus di daerah dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan anak dengan melibatkan dinas instansi terkait dan
lembaga masyarakat di daerah yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing.
2.1.3.3 Kedudukan Kebijakan Lokal
Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan
tanpa diskriminasi. Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan
khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel (different ability).
UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk
memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan
kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan
formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel
dengan masyarakat umum. Orang tua bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke
sekolah umum. UU No. 4 Tahun 1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga
pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah
yang disebut sebagai model inklusi.
Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para
difabel dan masyarakat pada umumnya. Sejak disyahkannya Peraturan Walikota
Yogyakarta No : 47 / 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di kota
Yogyakarta, Pendidikan Inklusi mulai di laksanakan secara intensif. Dinas
Pendidikan Kota Yogyakarta memaknai Perwal tersebut sebagai dasar bahwa
untuk menyusun regulasi yang memudahkan akses bagi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) untuk dapat bersekolah di sekolah umum bersama sama dengan
anak normal lainnya. Setiap anak usia sekolah wajib diterima di sekolah umum,
selama sekolah yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk melayaninya.
Sekolah Inklusi memberikan peluang bagi siswa dengan setiap perbedaannya
untuk dapat berhasil dalam belajar di sekolah reguler (umum). Sehingga sekolah
inklusi mensyaratkan adanya keterbukaan, keadilan, tanpa diskriminasi, ramah
dan terbuka dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul
perbedaan yang ada pada siswa /ABK. Hal ini berbeda dengan kurun waktu
sebelumnya, pendidikan bagi ABK hanya dapat dilayani oleh Sekolah Luar Biasa
(SLB).
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta No : 0063/2009
tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota Yogyakarta,
mempunyai implikasi pada kebijakan pemberian SK bagi sekolah yang
mempunyai anak didik berkebutuhan khusus menjadi sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusi (SPPI). Tercatat sebagi sekolah penyelenggara pendidikan

inklusi saat ini 21 sekolah mulai jenjang PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan SMK.
Kebijakan ini gayung bersambut dengan semangat yang tinggi para Guru
Pendamping Khusus (GPK) dan Guru Reguler yang mempunyai anak didik
berkebutuhan khusus (ABK). Mereka layak mendapat apresiasi, karena beban
kerja ekstra untuk memodifikasi kurikulum, metode dan proses pembelajaran,
mampu dilaksanakan tanpa mengeluh. Kesulitan dalam mendidik ABK menjadi
tantangan dan menjadi bahan kajian dalam pertemuan konferensi kasus pada
Forum Guru Pendamping Khusus (GPK), hal ini berdampak pula pada
peningkatan mutu dan jiwa korps GPK Kota Yogya.
2.2 Trend Isu Perawatan Pasien dengan Kebutuhan Khusus
Dalam jurnal dengan judul Meningkatkan Kemampuan Memasang
Kancing Baju Melalui Media Model Bagi Anak Tunadaksa ( Single Subject
Research kelas D/V di SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung), penelitian
data terbukti bahwa media model efektif digunakan untuk
meningkatkan
kemampuan memasang kancing baju pada anak tunadaksa. Hal ini terbukti dari
hasil grafik data yaitu kecenderungan kondisi (A) kemampuan anak dalam
memasang kancing baju tidak begitu meningkat, dan pada kondisi intervensi (B)
arah kecenderungan dari data hasil kemampuan anak dalam memasang kancing
mengalami peningkatan yang sangat besar (+) dan bervariasi. Kemampuan dalam
meningkatkan kemampuan memasang kancing baju yang dapat dilihat
berdasarkan intervensi yang telah dilakukan oleh anak melalui penggunaan media
model, dan menunjukkan hasil kemampuan anak dalam memasang kancing baju
sangat meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi baseline (A)
kemampuan anak dalam memasang kancing baju masih rendah yaitu hanya
memperhatikan kancing baju yang mana yang akan dimasukkan ke lobang
kancing. Penggunaan media model dapat meningkatkan kemampuan memasang
kancing baju bagi anak tunadaksa, ini terlihat dari perkembangan kemampuan
yang sangat pesan setelah diberikan perlakuan. Artimya media model dapat
meningkatkan kemampuan memasang kancing baju pada anak tuandaksa kelas
DV di SDLB Negeri 64 Surabayo. Hasil penelitian ini dapat dipertanggung
jawabkan karena kesimpulan diperoleh dari perhitungan angka-angka statistik
yang diolah secara cermat. Namun demikian hasil penelitian ini tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan penelitian.
Dalam jurnal dengan judul Penerapan Strategi Self-Management Untuk
Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa Tunadaksa Cerebral Palcy Kelas IV
SDLB-D YPAC Surabaya, penelitian dalam skripsi ini berfokus pada penerapan
strategi self-management untuk meningkatkan disiplin belajar anak tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 SDLB-D YPAC Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengupayakan untuk anak-anak penyandang tunadaksa Cerebral Palsy mampu

menerapkan strategi self managemen dengan segala keterbatasan yang ada dan
mengunggulkan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan
disiplin belajar mereka. Subjek penelitian ini adalah 5 orang siswa tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 di SDLB-D YPAC Surabaya yang memiliki tingkat disiplin
belajar rendah. Perilaku yang muncul pada siswa sebelum perlakuan penerapan
self-management diantaranya mengobrol pada saat jam pelajaran sekolah,
mengganggu teman saat belajar, bermain dan bernyanyi sendiri, serta tidak
memperhatikan penjelasan dari guru. Setelah dilakukan perlakuan, terdapat
perubahan yang lebih baik pada tingkat disiplin belajar siswa siswa tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 di SDLB-D YPAC Surabaya. Perubahan perilaku tersebut
ditunjukkan perilaku tertib ketika proses belajar-mengajar, tidak mengobrol saat
pelajaran, tidak mengganggu serta memperhatikan penjelasan dari guru.
Dalam jurnal dengan judul Pengaruh Pelatihan Penerimaan Diri Terhadap
Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa Karena Kecelakaan,
terdapat pengaruh pemberian pelatihan penerimaan diri terhadap kebermaknaan
hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Hal tersebut terlihat dari skor
kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan penerimaan diri. Sebelum diberikan pelatihan
penerimaan diri, mean pada subjek penelitian sebesar 71, sedangkan setelah
diberikan pelatihan penerimaan diri mean meningkat menjadi 83,6. Pelatihan
penerimaan diri efektif dalam meningkatkan kebermaknaan hidup remaja
tunadaksa karena kecelakaan. Sehingga pelatihan penerimaan diri brpengaruh
signifikan terhadadp peningkatan kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena
kecelakaan.

BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Terkait Kebijakan International, Nasional, dan Lokal
a. Kebijakan International
Hasil penelitian pada jurnal dengan judul Penerapan Strategi SelfManagement Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa Tunadaksa
Cerebral Palcy Kelas IV SDLB-D YPAC Surabaya dengan dilakukannya
pelatihan penerimaan diri terdapat perubahan yang lebih baik pada tingkat disiplin
belajar siswa siswa tunadaksa Cerebral Palsy kelas 4 di SDLB-D YPAC Surabaya.
Perubahan perilaku tersebut ditunjukkan perilaku tertib ketika proses belajarmengajar, tidak mengobrol saat pelajaran, tidak mengganggu serta memperhatikan
penjelasan dari guru.
Intervensi yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu pelaksanaan
untuk menangani klien berkebutuhan khusus khususnya pada klien dengan tuna
daksa dengan tujuan untuk dapat meningkatkan disiplin belajar anak tunadaksa
Cerebral Palsy. Hal ini sesuai dengan kebijakan di tingkat international dalam hal
pendidikan yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(Convention on the Rights of Persons with Disabilities) disepakati pada tanggal
13 Desember 2006 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dengan
Resolusi 61/106. Adapun pasal yang mengatur tentang pendidikan dalam
peraturan ini terdapat dalam pasal 24 yang berbunyi:
1. Negara-Negara Pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas
pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan
berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-Negara Pihak wajib
menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan
dan pembelajaran seumur hidup yang terarah kepada:
a) Pengembangan seutuhnya potensi diri dan rasa rnartabat dan harga
diri, serta penguatan penghormatan atas hak asasi manusia, kebebasan
fundamental dan keanekaragaman manusia;
b) Pengembangan atas kepribadian, bakat dan kreatifitas, serta
kemampuan mental dan fisik dari penyandang disabilitas hingga
mencapai potensi sepenuhnya;
c) Memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara
efektif di dalam masyarakat umum.
2. Dalam memenuhi hak tersebut, Negara-Negara Pihak wajib menjamin:
a) Penyandang disabilitas tidak dikecualikan dari sistem pendidikan
umum berdasarkan alasan disabilitas, dan bahwa penyandang
disabilitas anak tidak dikecualikan dari pendidikan dasar wajib dan
gratis atau dari pendidikan lanjutan berdasarkan alasan disabilitas;

b) Penyandang disabilitas dapat mengakses pendidikan dasar dan lanjutan


yang inklusif, berkualitas dan gratis atas dasar kesamaan dengan orang
lain di dalam masyarakat yang mereka tinggali;
c) Penyediaan akomodasi yang beralasan bagi kebutuhan individual
tersebut;
d) Penyandang disabilitas menerima dukungan yang dibutuhkan, di dalam
sistem pendidikan umum, guna memfasilitasi pendidikan yang efektif;
e) Sarana pendukung individu yang efektif tersedia di lingkungan yang
dapat memaksimalkan pengembangan akademis dan sosial, konsisten
dengan tujuan untuk penyertaan penuh.
3. Negara-Negara Pihak wajib memungkinkan penyandang disabilitas untuk
mempelajari kehidupan dan keahlian pengembangan sosial untuk
memfasilitasi partisipasi penuh dan setara dalam pendidikan dan sebagai
anggota masyarakat. Untuk mencapai tujuan ini, Negara-Negara Pihak
wajib mengambil langkah-langkah yang tepat, termasuk:
a) Memfasilitasi pelajaran Braille, tulisan alternatif, bentuk, sarana dan
format komunikasi yang bersifat augmentatif dan alternatif serta
orientasi dan keterampilan mobilitas, serta memfasilitasi sistem
dukungan dan mentoring sesama penyandang disabilitas;
b) Memfasilitasi pelajaran bahasa isyarat dan pemajuan identitas
linguistik dari komunitas tuna rungu;
c) Menjamin bahwa pendidikan orang-orang, termasuk anak-anak, yang
tuna netra, tuna rungu atau tuna netra-rungu, disampaikan dalam
bahasa, bentuk dan sarana komunikasi yang paling cocok bagi
individu dan di dalam lingkungan yang memaksimalkan
pengembangan akadernis dan sosial.
d) Dalam rangka menjamin pemenuhan hak tersebut, Negara-Negara
Pihak wajib mengambil langkah yang tepat untuk mempekerjakan
guru-guru, termasuk guru dengan disabilitas, yang memiliki
kualifikasi dalam bahasa isyarat dan/atau Braille, dan untuk melatih
para profesional dan staf yang bekerja dalam berbagai tingkatan
pendidikan. Pelatihan akan mengikut sertakan kesadaran mengenai
disabilitas dan penggunaan bentuk-sarana dan format komunikasi
serta teknik dan bahan pendidikan yang bersifat augmentatif dan
alternatif guna mendukung penyandang disabilitas.
4. Negara-Negara pihak wajib menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat
mengakses pendidikan umum menengah, pelatihan kejuruan, pendidikan
dewasa, dan pembelajaran seumur hidup tanpa diskriminasi dan atas dasar
kesamaan dengan orang lain. Untuk mencapai tujuan ini, negara-negara

pihak wajib menjamin bahwa akomodasi yang beralasan bagi penyandang


disabilitas.
Jika dikaitkan antara undang-undang yang telah ditetapkan oleh tingkat dunia
terhadap pendidikan yang diterapkan pada anak kebutuhan khusus, terutama pada
anak tuna daksa maka dapat disimpulkan bahwa yang telah diterapkan pada jurnal
telah sesuai dengan undang-undang International. Dengan adanya kegiatan yang
telah diaplikasikan pada jurnal maka hal ini dapat menyetarakan hak anak
kebutuhan khusus dalam hal pendidikan sehingga dapat menyetarakan hak anak
normal dengan anak kebutuhan khusus.
b. Kebijakan Nasional
Hasil penelitian pada jurnal Meningkatkan Kemampuan Memasang Kancing
Baju Melalui Media Model Bagi Anak Tunadaksa ( Single Subject Research kelas
D/V di SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung), terbukti bahwa media model
efektif digunakan untuk meningkatkan kemampuan memasang kancing baju
pada anak tunadaksa. Hal ini terbukti dari hasil grafik data yaitu kecenderungan
kondisi (A) kemampuan anak dalam memasang kancing baju tidak begitu
meningkat, dan pada kondisi intervensi (B) arah kecenderungan dari data hasil
kemampuan anak dalam memasang kancing mengalami peningkatan yang sangat
besar (+) dan bervariasi.
Intervensi yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu pelaksanaan
untuk menangani anak yang berkebutuhan khusus. Hal ini sesuai dengan
kebijakan pemerintah terkait anak dengan kebutuhan kusus yang tercantum dalam
peraturan Menteri negara pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak
republik indonesia nomor 10 tahun 2011 tentang kebijakan penanganan anak
berkebutuhan khusus. Dalam pasal 5 disebutkan beberapa pelaksanakan kebijakan
penanganan anak berkebutuhan khusus, deputi bidang perlindungan anak,
meliputi:
1. Membentuk kelompok kerja penanganan anak berkebutuhan khusus;
2. Melaksanakan sosialisasi dan advokasi kepada pemerintah daerah dan
masyarakat tentang kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus;
3. Menyusun model penanganan anak berkebutuhan khusus bagi orang tua,
keluarga, dan masyarakat; dan
4. Fasilitasi pelaksanaan kegiatan penanganan anak berkebutuhan khusus.
Dengan adanya peraturan yang mendasari penanganan anak yang
berkebutuhan khusus terutama pada anak tunadaksa, pelaksanaan program untuk
kegiatan peanganan anak tunadaksa dapat berjalan dengan semestinya. Tidak
hanya terbatas sebagai peraturan pemerintah namun dapat diaplikasikan dan
dilaksanakan oleh seluruh elemen masyarakat dan dinas terkait yang sesuai
dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing. Selain itu peran lingkungan dan
keluarga juga menjadi peran penting dalam penanganan anak dengan tuna daksa.

Sehingga anak dengan berkebutuhan khusus dapat menjalankan kehidupannya dan


mendapatkan hak serta kewajiban yang sama dengan orang normal lainnya.
c. Kebijakan Lokal
Selain UU No 4 tahun 1997 yang khusus mengatur pemenuhan hak difabel,
Pemerintah juga telah mengeluarkan Undang-Undang Undang Nomor 25 Tahun
2009 tentang Pelayanan Publik. UU NO 25/2009 tersebut bertujuan untuk
memberikan kejelasan dan pengaturan mengenai pelayanan publik bagi seluruh
warga negara termasuk penduduk yang berkebutuhan khusus yaitu kaum difabel.
Adanya kedua undang-undang tersebut diharapkan menjadikan dasar setiap
daerah untuk membuat kebijakan maupun program yang mampu menunjang hakhak penyandang tuna daksa.
Keberadaan undang-undang tersebut belum mampu menggerakkan pemerintah
daerah untuk mengembangkan ataupun mengeluarkan peraturan-peraturan yang
dapat menunjang hak asasi difabel terutama pada penyandang tuna daksa secara
maksimal. Pelaksanaan penerapan kebijakan lokal terkait tuna daksa masih belum
dilaksanakan di daerah. Di Indonesia hanya sedikit daerah yang menerapkan
kebijakan lokal tersebut. Salah satu daerah yang telah menerapkan kebijakan ini
adalah Yogyakarta.
Di Yogyakarta sendiri, sudah ada kebijakan yang mengatur kelompok
disabilitas yaitu Perda No 4 tahun 2012 tentang Perlindungan Dan Pemenuhan
Hak-Hak Penyandang Disabilitas. Pemerintah Yogyakarta memiliki beberapa
program terkait upaya yang menunjang kebijakan pada penyandang disabilitas.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh pmerintah Yogyakarta antara lain: pendidikan
inklusi, kursus sulam, program bantuan pemberian alat bantu bagi kaum difabel,
program pemberdayaan keluarga, kegiatan pemberdayaan tenaga kerja penca,
pengembangan dan penyaluran kerja, penggunaan transjogja dengan pelayanan
halte dan ram ram yang ramah terhadap penyandang disabilitas.
Dalam jurnal dengan judul Pengaruh Pelatihan Penerimaan Diri Terhadap
Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa Karena Kecelakaan,
terdapat pengaruh pemberian pelatihan penerimaan diri terhadap kebermaknaan
hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Hal tersebut terlihat dari skor
kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan penerimaan diri. Pelatihan penerimaan diri efektif
dalam meningkatkan kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan.
Sehingga pelatihan penerimaan diri brpengaruh signifikan terhadadp peningkatan
kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Jurnal tersebut
menjelaskan salah satu upaya untuk mengaplikasikan kebijakan yang
berhubungan dengan pemberdayaan tuna daksa. Aplikasi tesebut baiknya
diterapkan pada keluarga seperti pada kebijakan yang dikeluarkan oleh
Pemerintah Yogyakarta yaitu program pemberdayaan keluarga.

Adanya pelaksanaan penerapan kebijakan lokal yang belum optimal di setiap


daerah hendaknya menjadi perhatian bagi semua pihak. Sebagai tenaga kesehatan
yang peduli, kita dapat menyadarkan masyarakat sekitar tentang keberadaan dan
kesamaan hak yang dimiliki oleh penyandang tuna daksa. Selain itu, untuk
menjamin kesejahteraan dan hak-hak penyandang tuna daksa diperlukan peran
pemerintah daerah untuk membuat kebijakan maupun program-program yang
dapat bermakna bagi penyandang disabilitas. Program tersebut hendaknya dapat
melibatkan masyarakat, ditunjang dengan sarana dan prasarana yang perlu
dibenahi lagi untuk penyandang disabilitas.

3.2 Hasil Riset


Perlakuan
No.

Judul

Penulis

Tahun

Sampel

Kelompok
Perlakuan

Kelompok
Kontrol

Metode

Hasil

1.

MENINGKATKAN
KEMAMPUAN
MEMASANG
KANCING BAJU
MELALUI MEDIA
MODEL BAGI ANAK
TUNADAKSA (Single
Subject Research kelas
D/V di SDLB Negeri
64 Surabayo Lubuk
Basung)

Adriance

2013

anak
tunadaksa
yang duduk
di kelas V di
SDLB
Negeri
Surabayo
Lubuk
Basung

Data
dikumpulkan
oleh peneliti
melalui
observasi dan
tes. Tes yang
peneliti lakukan
dapat
menemukan
masalahmasalah yang
dihadapi anak,
sehingga dalam
teknik ini
terlihat
kemampuan
pada anak,
seperti
kemampuan

Eksperimen
dalam bentuk
Single Subject
Research (SSR)

Dari hasil penelitian


data terbukti bahwa
media model efektif
digunakan untuk
meningkatkan
kemampuan
memasang kancing
baju pada anak
tunadaksa. Hal ini
terbukti dari hasil
grafik data yaitu
kecenderungan
kondisi (A)
kemampuan anak
dalam memasang
kancing baju tidak
begitu meningkat, dan
pada kondisi
intervensi (B) arah

anak dalam
memasang
kancing baju
melalui media
model.

kecenderungan dari
data hasil kemampuan
anak dalam memasang
kancing mengalami
peningkatan yang
sangat besar (+) dan
bervariasi.
Kemampuan dalam
meningkatkan
kemampuan
memasang kancing
baju yang dapat
dilihat berdasarkan
intervensi yang telah
dilakukan oleh anak
melalui penggunaan
media model, dan
menunjukkan hasil
kemampuan anak
dalam memasang
kancing baju sangat
meningkat. Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa
pada kondisi baseline

(A) kemampuan anak


dalam memasang
kancing baju masih
rendah yaitu hanya
memperhatikan
kancing baju yang
mana yang akan
dimasukkan ke lobang
kancing. Penggunaan
media model dapat
meningkatkan
kemampuan
memasang kancing
baju bagi anak
tunadaksa, ini terlihat
dari perkembangan
kemampuan yang
sangat pesan setelah
diberikan perlakuan.
Artimya media model
dapat meningkatkan
kemampuan
memasang kancing
baju pada anak
tuandaksa kelas DV di

SDLB Negeri 64
Surabayo. Hasil
penelitian ini dapat
dipertanggung
jawabkan karena
kesimpulan diperoleh
dari perhitungan
angka-angka statistik
yang diolah secara
cermat. Namun
demikian hasil
penelitian ini tidak
terlepas dari
kekurangankekurangan yang
disebabkan karena
keterbatasan
penelitian.
2.

Pengaruh Pelatihan
Penerimaan diri
Terhadap peningkatan
Kebermaknaan Hidup
Remaja Tunadaksa
karena kecelakaan

Khabibah
Solikhah,
Salmah
Lilik,
Aditya
Nanda

2013

Remaja tuna
daksa akibat
kecelakaan

Pelatihan
penerimaan diri
diberikan oleh
dua orang
fasilitator
sebanyak dua

Kuasi
eksperimen
dengan desian
penelitian one
group pretestpostest design.

Terdapat
pengaruh
pemberian
pelatihan
penerimaan diri
terhadap

Priyatama

kali pertemuan
dengan durasi
setiap
pertemuan
selama 180
menit. Pelatiahn
penerimaan diri
ini dengan
metode cermah,
diskusi kasus,
role play, dan
simulasi.

kebermaknaan
hidup remaja
tunadaksa karena
kecelakaan. Hal
tersebut terlihat
dari skor
kebermakanaan
hidup remaja
tunadaksa karena
kecelakaan
antara sebelum
dan sesudah
diberikan
pelatihan
penerimaan diri.
Sebelum
diberikan
pelatihan
penerimaan diri,
mean pada
subjek penelitian
sebesar 71,
sedangkan
setelah diberikan

pelatihan mean
meningkat
menjadi 83,6.
3.

PENERAPAN
STRATEGI SELFMANAGEMENT
UNTUK
MENINGKATKAN
DISIPLIN BELAJAR
PADA SISWA
TUNADAKSA
CEREBRAL PALCY
KELAS IV SDLB-D
YPAC SURABAYA

Nikmatus
Sholihah,
Retno Tri
Hariastuti,
Denok
Setiawati,
Titin Indah
Pratiwi

2013

siswa tuna
daksa
cerebral
palcy kelas
IV yang
mempunyai
disiplin
belajar yang
kurang

Kelompok
eksperimen pada
penelitian ini
akan diberikan
tes awal (pretest) dengan
menggunakan
observasi,
kemudian
diberikan
treatment
dengan strategi
selfmanagement
selama jangka
waktu tertentu,
setelah itu
diberikan tes
akhir (post-test)
melalui
observasi

Quasi
Experiment
dengan
menggunakan
model one group
pre-test and posttest design.

Hasil analisis
penelitian
menunjukkan bahwa
hipotesis yang
berbunyi Penerapan
strategi
SelfManagement
dapat meningkatkan
disiplin belajar pada
siswa tuna daksa
cerebral palcy kelas
IV SDLB-D YPAC
Surabaya dapat
diterima. Dengan
demikian dapat
disimpulkan bahwa
strategi selfmanagement dapat
meningkatkan disiplin
belajar pada siswa
tuna daksa cerebral

dengan lembar
observasi yang
diberikan pada
saat tes awal. P

palcy kelas IV SDLBD YPAC Surabay.

BAB 4.PENUTUP
BAB 4.1 Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang
memerlukan pendidikan yang disesuikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan
masing-masing anak secara individual. Secara umum anak mempunyai hak dan
kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang
pendidikan. Anak berkebutuhan khusus atau diffable usia sekolah adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa
selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk
ke dalam Anak Berkebutuhan Khusus antara lain tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
Dalam jurnal dengan judul Meningkatkan Kemampuan Memasang
Kancing Baju Melalui Media Model Bagi Anak Tunadaksa (Single Subject
Research kelas D/V di SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung), penelitian
data terbukti bahwa media model efektif digunakan untuk meningkatkan
kemampuan memasang kancing baju pada anak tunadaksa. Hal ini terbukti dari
hasil grafik data yaitu kecenderungan kondisi (A) kemampuan anak dalam
memasang kancing baju tidak begitu meningkat, dan pada kondisi intervensi (B)
arah kecenderungan dari data hasil kemampuan anak dalam memasang kancing
mengalami peningkatan yang sangat besar (+) dan bervariasi.
Dalam jurnal dengan judul Penerapan Strategi Self-Management Untuk
Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa Tunadaksa Cerebral Palcy Kelas IV
SDLB-D YPAC Surabaya, penelitian dalam skripsi ini berfokus pada penerapan
strategi self-management untuk meningkatkan disiplin belajar anak tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 SDLB-D YPAC Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengupayakan anak-anak penyandang tunadaksa Cerebral Palsy mampu
menerapkan strategi self managemen dengan segala keterbatasan yang ada dan
mengunggulkan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan
disiplin belajar mereka. Dalam jurnal dengan judul Pengaruh Pelatihan
Penerimaan Diri Terhadap Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa
Karena Kecelakaan, terdapat pengaruh pemberian pelatihan penerimaan diri
terhadap kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Hal tersebut
terlihat dari skor kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan antara
sebelum dan sesudah diberikan pelatihan penerimaan diri.

BAB 4.2 Saran


Seorang anak dengan kebutuhan khusus seperti tuna daksa memerlukan
berbagai macam strategi yang dapat digunakan untuk melakukan perawatan dan
memberikan pelajaran. Strategi yang digunakan pada ketiga jurnal yang dibahas
dalam laporan ini dinilai cukup efektif digunakan pada anak penyandang
tunadaksa. Seorang perawat hendaknya menumbuhkan sifat empati kepada setiap
pasiennya, termasuk pada anak dengan tuna daksa, untuk dapat memberikan
asuhan keperawatan yang komprehensif. Penggunaan ketiga metode dalam jurnal
yang dibahas tersebut hendaknya dapat diterapkan oleh perawat dalam
memberikan asuhan keperawatan khususnya pada anak dengan tunadaksa.

DAFTAR PUSTAKA
Adriance. 2013. Meningkatkan Kemampuan Memasang Kancing Baju Melalui
Media Model Bagi Anak Tunadaksa (Single Subject Research kelas D/V di
SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung). Diakses melalui
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/view/983/833
[pada
tanggal 11 September 2015]
Sholihah, Nikmatul & Retno Tri Hariastuti. 2013. Penerapan Strategi SelfManagement Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa
Tunadaksa Cerebral Palcy Kelas IV SDLB-D YPAC Surabaya. Diakses
melalui
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bkunesa/article/view/3068 [pada tanggal 11 September 2015]
Sholikah, Habibah. 2013. Pengaruh Pelatihan Penerimaan Diri Terhadap
Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa Karena
Kecelakaan. Diakses melalui http://eprints.uns.ac.id/12310/ [pada tanggal
11 September 2015]

Anda mungkin juga menyukai