LAPORAN PRAKTIKUM 1
Oleh:
Kelompok 4
LAPORAN PRAKTIKUM 1
disusunkan guna melengkapi laporan praktikum mata kuliah Perawatan Pasien
Berkebutuhan Khusus dengan dosen pembimbing: Ns. Kushariadi, M. Kep
Oleh:
Ikbar Nurkholisah Imaniar
Riana Vera Andantika
Rizky Meidwigita Paradis
Erna Dwi Putri Cahyani
Eka Yuli Ana
Risha Putri Mahardika
Desi Rahmawati
Ria Novitasari
Reny Dwi Nurmasari
Tri Ayu Diah Andjani
Umamul Faqih Nurul Y.
Alfun Hidayatulloh
Riski Dafianto
Fakhrun Nisa Fiddaroini
Nilla Sahuleka
Indra Sarosa
NIM 122310101004
NIM 122310101006
NIM 122310101010
NIM 122310101012
NIM 122310101013
NIM 122310101016
NIM 122310101021
NIM 122310101022
NIM 122310101032
NIM 122310101038
NIM 122310101044
NIM 122310101047
NIM 122310101052
NIM 122310101064
NIM 122310101070
NIM 122310101073
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Anak berkebutuhan khusus adalah anak yang membutuhkan layanan atau
perlakuan khusus untuk mencapai perkembangan yang optimal sebagai akibat
dari kelainan atau keluarbiasaan yang disandangnya. Istilah anak berkebutuhan
khusus memiliki cakupan yang sangat luas. Dalam paradigma pendidikan
kebutuhan khusus keberagaman anak sangat dihargai. Setiap anak memiliki latar
belakang kehidupan budaya dan perkembangan yang berbeda-beda. Oleh karena
itu, setiap anak dimungkinkan akan memiliki kebutuhan khusus serta hambatan
belajar yang berbeda beda pula, sehingga setiap anak sesungguhnya memerlukan
layanan pendidikan yang disesuiakan sejalan dengan hambatan belajar dan
kebutuhan masing-masing anak. Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan
sebagai seorang anak yang memerlukan pendidikan yang disesuiakan dengan
hambatan belajar dan kebutuhan masing-masing anak secara individual.
Secara umum anak mempunyai hak dan kesempatan untuk berkembang
sesuai potensinya terutama dalam bidang pendidikan. Anak berkebutuhan khusus
atau diffable usia sekolah adalah anak dengan karakteristik khusus yang berbeda
dengan anak pada umumnya tanpa selalu menunjukan pada ketidakmampuan
mental, emosi atau fisik. Yang termasuk kedalam Anak Berkebutuhan Khusus
antara lain tunanetra, tunarungu, tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan
belajar, gangguan prilaku, anak berbakat, anak dengan gangguan kesehatan. istilah
lain bagi anak berkebutuhan khusus adalah anak luar biasa dan anak cacat. Anak
luar biasa adalah anak yang memiliki penyimpangan sedemikian rupa / signifikan
dari anak pada umumnya dalam segi fisik, kecerdasan, sosial, emosi atau
gabungan dari kelainan tersebut sehingga untuk mengembangkan potensinya
secara optimal diperlukan layanan pendidikan khusus. Karena karakteristik dan
hambatan yang dimiliki, Anak Berkebutuhan Khusus memerlukan bentuk
pelayanan pendidikan khusus yang disesuaikan dengan kemampuan dan potensi
mereka. Anak berkebutuan khusus biasanya bersekolah di Sekolah Luar Biasa
(SLB) sesuai dengan kekhususannya masing-masing
Salah satu anak berkebutuhan khusus adalah anak tuna daksa. Menurut
Sutjihati Somantri, bahwa tunadaksa adalah suatu keadaan rusak atau terganggu
sebagai akibat gangguan bentuk atau hambatan pada tulang, otot dan sendi dalam
fungsinya yang normal. Kondisi ini dapat disebabkan oleh penyakit, kecelakaan
atau dapat juga disebabkan oleh pembawaan sejak lahir. Sedangkan menurut
Mohammad Efendi, bahwa tunadaksa adalah ketidakmampuan anggota tubuh
untuk melaksanakan fungsinya disebabkan oleh berkurangnya kemampuan
anggota tubuh untuk melaksanakan fungsi secara normal akibat luka, penyakit,
atau pertumbuhan yang tidak sempurna.
Selama ini cara pandang terhadap anak berkebutuhan khusus, masih negatif
maka pemenuhan hak anak berkebutuhan khusus juga belum dapat memperoleh
hak yang sama dengan masyarakat lainnya. Persamaan hak sebenarnya telah
diatur dengan berbagai perangkat perundangan formal, tetapi permasalahannya
tidak adanya sanksi yang jelas terhadap pelanggaran peraturan yang ada, sehingga
masih banyak anak-anak berkebutuhan khusus yang belum memperoleh haknya.
Sehubungan dengan itu maka guru sebagai ujung tombak pendidikan formal perlu
memberikan layanan secara optimal bagi semua siswa termasuk anak
berkebutuhan khusus. Dalam UU Nomor 4 Tahun 1997 tentang penyandang cacat
disebutkan bahwa setiap penyandang cacat mempunyai hak yang sama dalam
segala aspek kehidupan dan penghidupan. Tentunya aspek-aspek tersebut
mencakup pula aspek pendidikan yang menjadi kebutuhan semua orang.
Kemudian terdapat penjelasan tentang pendidikan khusus ini disebutkan pada
pasal 32 ayat 1, pendidikan merupakan pendidikan bagi peserta didik yang
memiliki tingkat kesulitan dalam mengikuti proses pembelajaran karena kelaianan
fisik, emosional, mental, sosial, dan atau memiliki potensi kecerdasan. Terkait
dengan peluang untuk memperoleh pendidikan, UU Nomor 20 Tahun 2003
tenyang Pendidikan Nasional dalam pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa setiap warga
negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.
Pada pasal 5 ayat 2 Warga Negara yang mempenyai kelainan fisik, emosional,
mental, intelektual dan atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.
Salah satu upaya untuk meningkatkan kemampuan atau pemberdayaan
terhadap penyandang tunadaksa adalah meningkatkan kemampuan memasang
kancing baju melalui media model yang direkomendasikan oleh sebuah penelitian
Andrian (2013). Salah satu media pembelajaran yang diperkirakan tepat dan
cocok untuk mengajarkan materi menolong diri sendiri pada aspek memakai
baju berkancing adalah media model. Media model merupakan media yang
baik untuk mengajarkan anak dan memudahkan pemahaman anak terhadap
kedalaman materi ajar.
Di banyak negara, respons terhadap situasi anak penyandang disabilitas
umumnya terbatas pada institusionalisasi, ditinggalkan atau ditelantarkan.
Respons-respons semacam ini merupakan masalah, dan itu sudah mengakar
dalam asumsi-asumsi negatif atau paternalistik tentang ketidakmampuan,
ketergantungan dan perbedaan yang muncul karena ketidaktahuan. Yang
dibutuhkan sekarang adalah komitmen terhadap hak-hak anak ini dan masa
depan mereka, dengan memprioritaskan anak yang paling tidak beruntung sebagai
masalah kesetaraan dan manfaat bagi semua. Anak-anak penyandang disabilitas
menghadapi berbagai bentuk pengucilan dan itu mempengaruhi mereka dalam
berbagai tingkatan tergantung dari jenis disabilitas yang mereka alami, di mana
mereka tinggal dan budaya serta kelas sosial mereka. Gender juga merupakan
sebuah faktor penting. Anak-anak perempuan penyandang disabilitas juga kecil
kemungkinan untuk mendapatkan pendidikan, mendapatkan pelatihan kerja atau
mendapatkan pekerjaan dibandingkan dengan anak laki-laki dengan disabilitas
atau anak perempuan tanpa disabilitas.
Anak-anak penyandang disabilitas seringkali dianggap rendah, dan ini
menyebabkan mereka menjadi lebih rentan. Diskriminasi karena disabilitas
berujung pada marginalisasi dari sumber daya dan pembuatan keputusan, dan
bahkan pada kematian anak. Pengucilan seringkali muncul dari invisibilitas. Tidak
banyak negara yang memiliki informasi yang bisa diandalkan tentang berapa
banyak warganya yang merupakan anak-anak penyandang disabilitas, disabilitas
macam apa yang mereka alami atau bagaimana disabilitas ini mempengaruhi
kehidupan mereka. Dengan demikian, anak-anak yang dikucilkan tidak tahu dan
oleh sebab itu terputus dari pelayanan publik yang sebenarnya mereka berhak
untuk mendapatkannya. Pembatasan ini bisa memiliki efek yang panjang yang
membatasi akses mereka ada pekerjaan atau partisipasi mereka dalam masalahmasalah kemasyarakatan di kemudian hari, misalnya. Tapi akses pada pelayanan
dan teknologi bisa memosisikan anak penyandang disabilitas untuk mengambil
tempat di dalam masyarakat dan memberikan kontribusinya.
Angka kejadian disabilitas menurut Susenas 2012 mendapatkan penduduk
Indonesia yang menyandang disabilitas sebesar 2,45%. Peningkatan dan
penurunan persentase penyandang disabilitas yang terlihat pada gambar di bawah
ini, dipengaruhi adanya perubahan konsep dan definisi pada Susenas 2003 dan
2009 yang masih menggunakan konsep kecacatan, sedangkan Susenas 2006 dan
2012 telah memasukkan konsep disabilitas. Walaupun demikian, jika kita
bandingkan antara Susenas 2003 dengan 2009 dan Susenas 2006 dengan 2012
terjadi peningkatan prevalensi.
Gambar 1. Persentase Penduduk Penyandang Disabilitas
Berdasarkan Data Susenas 2003, 2006, 2009, dan 2012.
Sumber: BPS
2.1.2.4 Indikator
Indikator dalam kebijakan penanganan anak berkebutuhan khusus
adalah:
a. Adanya data anak berkebutuhan khusus yang akurat;
b. Terselenggaranya layanan pendidikan kepada anak berkebutuhan khusus
yang meliputi akses terhadap informasi program pendidikan anak
berkebutuhan khusus; tersedianya guru/pendamping khusus; dan
peningkatan sarana prasarana yang memberikan kemudahan bagi anak
berkebutuhan khusus;
c. Peningkatan pemahaman dan keterampilan orang tua, keluarga, dan
masyarakat dalam penanganan anak berkebutuhan khusus;
d. Peningkatan pendidikan keterampilan kerja dan pemasaran hasil produk
anak berkebutuhan khusus;
e. Tersedianya layanan konsultasi kesehatan pra nikah dan pengasuhan anak
berkebutuhan khusus;
f. Tersedianya fasilitas pelayanan kesehatan yang ramah anak berkebutuhan
khusus, tenaga kesehatan spesialis dan jaminan kesehatan yang mudah
diakses melalui Jamkesmas;
g. Tersedianya panti rehabilitasi dan pelayanan rehabilitasi yang bersumber
daya masyarakat;
h. Terlindunginya anak berkebutuhan khusus dari pemenuhan hak asasinya;
i. Peningkatan kesempatan dan penghargaan anak berkebutuhan khusus
untuk berprestasi;
j. Pemberian penghargaan terhadap prestasi anak berkebutuhan khusus di
bidang pendidikan, olahraga, dan kesenian;
k. Terlibatnya anak berkebutuhan khusus dalam forum anak.
2.1.3 Kedudukan Kebijakan
2.1.3.1 Kedudukan Kebijakan Internasional
1. Negara-Negara Pihak berjanji untuk menjamin dan memajukan realisasi
penuh dari semua hak asasi manusia dan kebebasan fundamental bagi
semua penyandang disabilitas tanpa diskriminasi dalam segala bentuk
apapun yang didasari oleh disabilitas. Untuk itu, Negara-Negara Pihak
berjanji:
a. Mengadopsi semua peraturan perundang-undangan, administratif dan
kebijakan lainnya yang sesuai untuk implementasi hak-hak yang
diakui dalam Konvensi ini;
b. Mengambil semua kebijakan yang sesuai, termasuk peraturan
perundang-undangan, untuk mengubah atau mencabut ketentuan
Pasal 7
Penyandang Disabilitas Anak
1. Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan
untuk menjamin penikmatan penuh semua hak asasi manusia dan kebebasan
fundamental oleh penyandang disabilitas anak atas dasar kesetaraan dengan
anak lainnya.
2. Dalam semua tindakan yang menyangkut penyandang disabilitas anak,
kepentingan terbaik bagi anak harus menjadi pertimbangan utama.
3. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa penyandang disabilitas anak
memiliki hak untuk mengemukakan pandangan mereka secara bebas pada
semua hal yang mempengaruhi mereka, pandangan mereka
dipertimbangkan sesuai dengan usia dan kematangan mereka, atas dasar
kesetaraan dengan anak lainnya, dan disediakan bantuan disabilitas dan
sesuai dengan usia mereka untuk merealisasikan hak dimaksud.
Pasal 8
Peningkatan Kesadaran
1. Negara-Negara Pihak berjanji untuk mengadopsi kebijakan-kebijakan yang
segera, efektif, dan sesuai sebagai berikut:
a) Untuk meningkatkan kesadaran seluruh masyarakat, termasuk pada
tingkat keluarga, mengenai penyandang disabilitas, dan untuk
memelihara penghormatan atas hak-hak dan martabat para penyandang
disabilitas;
b) Untuk melawan stereotip, prasangka, dan praktik-praktik yang merugikan
menyangkut penyandang disabilitas, termasuk yang didasarkan jenis
kelamin dan usia, dalam seluruh bagian kehidupan;
c) Untuk memajukan kesadaran atas kemampuan dan kontribusi dari para
penyandang disabilitas.
2. Kebijakan-kebijakan untuk mencapai tujuan tersebut meliputi:
a) Mengawali dan mempertahankan secara efektif kampanye kesadaran
masyarakat yang dirancang untuk:
(i)
Menumbuhkan penerimaan atas hak-hak penyandang disabilitas;
(ii)
Meningkatkan persepsi positif dan kesadaran sosial yang lebih besar
terhadap para penyandang disabilitas;
(iii)
Memajukan pengakuan terhadap keahlian, kualitas dan kemampuan
penyandang disabilitas, serta kontribusi mereka pada tempat kerja
dan pasar tenaga kerja;
b) Memelihara di semua tingkatan sistem pendidikan, termasuk pada semua
anak sejak usia dini, suatu sikap hormat terhadap hak-hak penyandang
disabilitas;
c) Mendorong semua komponen media untuk menggambarkan penyandang
disabilitas dalam cara yang konsisten sesuai dengan tujuan Konvensi ini;
d) Memajukan program pelatihan peningkatan kesadaran mengenai
penyandang disabilitas dan hak-hak penyandang disabilitas.
Pasal 9
Aksesibilitas
1. Agar penyandang disabilitas mampu hidup secara mandiri dan berpartisipasi
secara penuh dalam semua aspek kehidupan, Negara-Negara Pihak harus
mengambil kebijakan yang sesuai untuk menjamin akses bagi penyandang
disabilitas, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, terhadap lingkungan
fisik, transportasi, informasi, dan komunikasi, termasuk teknologi dan
sistem informasi dan komunikasi, serta terhadap fasilitas dan layanan
lainnya yang terbuka atau tersedia untuk publik, baik di daerah perkotaan
maupun pedesaan. Kebijakan-kebijakan ini, yang harus meliputi identifikasi
dan penghapusan kendala serta halangan terhadap aksesibilitas, harus
diterapkan pada, antara lain:
a) Gedung, jalan, sarana transportasi, dan fasilitas dalam dan luar ruang
lainnya, termasuk sekolah, perumahan, fasilitas medis, dan tempat kerja;
b) Informasi, komunikasi, dan layanan lainnya, termasuk layanan elektronik
dan layanan gawat darurat.
2. Negara-Negara Pihak harus juga mengambil kebijakan-kebijakan yang tepat
untuk:
a) Mengembangkan, menyebarluaskan, dan memantau pelaksanaan standar
minimum dan panduan untuk aksesibilitas terhadap fasilitas dan layanan
yang terbuka atau tersedia untuk publik;
b) Menjamin bahwa sektor swasta yang menawarkan fasilitas dan layanan
yang terbuka atau tersedia untuk publik mempertimbangkan seluruh
aspek aksesibilitas bagi penyandang disabilitas;
c) Menyelenggarakan pelatihan bagi pemangku kepentingan tentang
masalah aksesibilitas yang dihadapi oleh penyandang disabilitas;
d) Menyediakan di dalam gedung dan fasilitas lain yang terbuka untuk
publik, tanda-tanda dalam huruf Braille dan dalam bentuk yang mudah
dibaca dan dipahami;
e) Menyediakan bentuk-bentuk bantuan langsung dan perantara, termasuk
pemandu, pembaca, dan penerjemah bahasa isyarat profesional, untuk
memfasilitasi aksesibilitas terhadap gedung dan fasilitas lain yang
terbuka untuk publik;
f) Meningkatkan bentuk bantuan dan dukungan lain yang sesuai bagi
penyandang disabilitas untuk menjamin akses mereka terhadap
informasi;
g) Meningkatkan akses bagi penyandang disabilitas terhadap sistem serta
teknologi informasi dan komunikasi yang baru, termasuk internet;
h) Memajukan sejak tahap awal desain, pengembangan, produksi, dan
distribusi teknologi dan sistem informasi dan komunikasi yang dapat
diakses, sehingga teknologi dan sistem ini dapat diakses dengan biaya
yang minimum.
Pasal 10
Hak untuk Hidup
Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa setiap manusia memiliki hak
yang melekat untuk hidup dan wajib mengambil seluruh langkah yang diperlukan
untuk menjamin pemenuhan secara efektif oleh penyandang disabilitas atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya.
Pasal 11
Situasi Berisiko dan Darurat Kemanusiaan
Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang diperlukan untuk
menjamin perlindungan dan keselamatan penyandang disabilitas dalam situasi
berisiko, termasuk situasi konflik bersenjata, darurat kemanusiaan, dan terjadinya
bencana alam, selaras dengan kewajiban mereka di bawah hukum internasional,
termasuk hukum humaniter internasional dan hukum hak asasi manusia
internasional.
Pasal 12
Kesetaraan Pengakuan di Hadapan Hukum
1. Negara-Negara Pihak menegaskan kembali bahwa penyandang disabilitas
memiliki hak atas pengakuan sebagai individu di hadapan hukum di mana
pun berada.
2. Negara-Negara Pihak harus mengakui bahwa penyandang disabilitas
merupakan subyek hukum yang setara dengan lainnya di semua aspek
kehidupan.
3. Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan yang sesuai untuk
menyediakan akses oleh penyandang disabilitas dalam bentuk dukungan
yang mungkin diperlukan oleh mereka dalam melaksanakan kewenangan
mereka sebagai subyek hukum.
4. Negara-Negara Pihak harus menjamin bahwa semua kebijakan, yang
menyangkut pelaksanaan kewenangan sebagai subyek hukum,
mengandung pengamanan yang sesuai dan efektif untuk mencegah
penyalahgunaan berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional.
Pengamanan tersebut harus menjamin bahwa kebijakan menyangkut
pelaksanaan kewenangan sebagai subyek hukum menghormati hak-hak,
kehendak dan pilihan penyandang disabilitas bersangkutan, bebas dari
konflik kepentingan dan pengaruh yang tidak semestinya, proporsional
dan disesuaikan dengan keadaan penyandang disabilitas bersangkutan,
diterapkan dalam waktu sesingkat mungkin dan dikaji secara teratur oleh
otoritas atau badan judisial yang kompeten, mandiri dan tidak memihak.
Pengamanan harus bersifat proporsional hingga pada tingkat di mana
kebijakan semacam ini memberikan dampak terhadap hak dan kepentingan
penyandang disabilitas bersangkutan.
5. Merujuk dengan ketentuan-ketentuan dalam pasal ini, Negara-Negara
Pihak harus mengambil segala kebijakan yang sesuai dan efektif untuk
menjamin kesamaan hak bagi penyandang disabilitas dalam memiliki atau
mewarisi properti, dalam mengendalikan masalah keuangan mereka dan
Pasal 18
Kebebasan Bergerak dan Kewarganegaraan
1. Negara-Negara Pihak harus mengakui hak-hak penyandang disabilitas atas
kebebasan bergerak, kebebasan memilih tempat tinggal dan
kewarganegaraan, atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya, termasuk
dengan menjamin bahwa penyandang disabilitas:
a) Memiliki hak untuk memperoleh dan mengubah kewarganegaraan dan
tidak dirampas kewarganegaraannya secara sewenang-wenang atau
berdasarkan disabilitasnya;
b) Tidak dibatasi kemampuannya, atas dasar disabilitas, untuk
memperoleh, memiliki, dan menggunakan dokumen kewarganegaraan
mereka atau identitas lainnya, atau untuk memanfaatkan proses-proses
relevan seperti yang proses keimigrasian, yang mungkin diperlukan
untuk memfasilitasi penggunaan hak kebebasan bergerak;
c) Bebas meninggalkan suatu negara, termasuk negara asalnya;
d) Tidak dirampas hak untuk masuk kembali ke negara asalnya, secara
sewenang-wenang atau atas dasar disabilitas.
2. Penyandang disabilitas anak segera setelah kelahiran harus didaftarkan,
dan sejak lahir harus memiliki hak atas sebuah nama, hak untuk
memperoleh kewarganegaraan dan, selama memungkinan, hak untuk
mengetahui dan diasuh orang tuanya.
Pasal 19
Hidup Secara Mandiri dan Dilibatkan Dalam Masyarakat
Negara-Negara Pihak pada Konvensi ini mengakui hak yang sama dari semua
penyandang disabilitas untuk dapat hidup di dalam masyarakat, dengan pilihanpilihan yang setara dengan yang lainnya, dan harus mengambil kebijakankebijakan yang efektif dan sesuai untuk memfasilitasi penikmatan penuh atas hak
ini oleh penyandang disabilitas dan keterlibatan dan partisipasi penuh mereka di
dalam masyarakat, termasuk dengan menjamin bahwa:
a) Penyandang disabilitas memiliki kesempatan untuk menentukan tempat
tinggal serta di mana dan dengan siapa mereka tinggal atas dasar
kesetaraan dengan yang lainnya dan tidak diwajibkan hidup dengan
pengaturan khusus;
b) Penyandang disabilitas memiliki akses ke berbagai pelayanan, baik
yang diberikan di dalam rumah, di tempat pemukiman, dan pelayanan
dukungan masyarakat lainnya, termasuk bantuan pribadi yang
dibutuhkan agar dapat hidup dan terlibat di dalam masyarakat, serta
untuk menghindari pengasingan atau pemisahan dari masyarakat;
c) Layanan dan fasilitas masyarakat bagi masyarakat umum tersedia atas
dasar kesetaraan bagi penyandang disabilitas, dan tanggap terhadap
kebutuhan mereka.
Pasal 20
Mobilitas Pribadi
Negara-Negara Pihak harus mengambil kebijakan-kebijakan yang efektif untuk
menjamin mobilitas pribadi dengan kemandirian seluas-luasnya bagi penyandang
disabilitas, termasuk dengan:
a) Memfasilitasi mobilitas pribadi penyandang disabilitas dengan cara dan
pada waktu sesuai pilihan mereka, serta dengan biaya terjangkau;
b) Memfasilitasi akses penyandang disabilitas terhadap bantuan mobilitas,
alat, teknologi pendukung, serta bentuk-bentuk bantuan langsung dan
perantara yang berkualitas, termasuk menyediakannya dengan biaya
terjangkau;
c) Menyediakan pelatihan mengenai keterampilan mobilitas bagi
penyandang disabilitas dan para spesialis yang menangani penyandang
disabilitas;
d) Mendorong entitas-entitas yang memproduksi bantuan mobilitas, alat,
dan teknologi pendukung, dengan mempertimbangkan semua aspek
mobilitas penyandang disabilitas.
Pasal 21
Kebebasan Berekspresi dan Berpendapat, serta Akses
Terhadap Informasi
Negara-Negara Pihak harus mengambil semua kebijakan yang sesuai untuk
menjamin bahwa penyandang disabilitas dapat menggunakan hak atas kebebasan
berekspresi dan berpendapat, termasuk kebebasan untuk mencari, menerima, dan
memberikan informasi dan ide atas dasar kesetaraan dengan yang lainnya dan
melalui semua bentuk komunikasi sesuai pilihan mereka, sebagaimana tertuang
dalam Pasal 2 dari Konvensi ini, termasuk dengan:
a) Menyediakan informasi yang ditujukan untuk masyarakat umum
kepada penyandang disabilitas dalam bentuk dan teknologi yang dapat
dijangkau sesuai dengan berbagai jenis disabilitas secara tepat waktu
dan tanpa biaya tambahan;
b) Menerima dan memfasilitasi penggunaan bahasa isyarat, Braille,
komunikasi augmentatif dan alternatif, dan semua cara, alat, dan bentuk
komunikasi lainnya yang dapat dijangkau sesuai dengan pilihan
penyandang disabilitas dalam interaksi resmi;
c) Menyerukan entitas-entitas swasta yang menyediakan layanan kepada
masyarakat umum, termasuk melalui internet, untuk menyediakan
informasi dan layanan dalam bentuk yang dapat dijangkau dan
digunakan oleh penyandang disabilitas;
d) Mendorong media massa, termasuk penyedia informasi melalui
internet, untuk membuat layanan mereka dapat dijangkau oleh
penyandang disabilitas;
e) Mengakui dan memajukan pemakaian bahasa isyarat.
Pasal 7
Pelaksanaan program dan kegiatan Kebijakan Penanganan Anak Berkebutuhan
Khusus di daerah dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah yang
menyelenggarakan urusan anak dengan melibatkan dinas instansi terkait dan
lembaga masyarakat di daerah yang disesuaikan dengan tugas pokok dan fungsi
masing-masing.
2.1.3.3 Kedudukan Kebijakan Lokal
Hak setiap warga negara adalah mendapatkan pendidikan yang layak dan
tanpa diskriminasi. Hak pendidikan ini juga berlaku kepada orang berkebutuhan
khusus atau penyandang cacat atau yang biasa disebut difabel (different ability).
UU No. 4 Tahun 1997 tentang Penyandang Cacat dan UU No. 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional menekankan hak setiap warga negara untuk
memperolah pendidikan sesuai dengan jenjang, jalur, satuan, bakat, minat, dan
kemampuannya tanpa diskriminasi. Dengan kata lain, dalam sektor pendidikan
formal seharusnya tidak ada lagi sekat sosial yang membedakan para difabel
dengan masyarakat umum. Orang tua bisa mendaftarkan anak difabel mereka ke
sekolah umum. UU No. 4 Tahun 1997 pasal 12 mewajibkan lembaga-lembaga
pendidikan umum menerima para difabel sebagai siswa. Kewajiban seperti inilah
yang disebut sebagai model inklusi.
Model inklusi adalah peluang bagi terjadinya interaksi sosial antara para
difabel dan masyarakat pada umumnya. Sejak disyahkannya Peraturan Walikota
Yogyakarta No : 47 / 2008 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Inklusi di kota
Yogyakarta, Pendidikan Inklusi mulai di laksanakan secara intensif. Dinas
Pendidikan Kota Yogyakarta memaknai Perwal tersebut sebagai dasar bahwa
untuk menyusun regulasi yang memudahkan akses bagi Anak Berkebutuhan
Khusus (ABK) untuk dapat bersekolah di sekolah umum bersama sama dengan
anak normal lainnya. Setiap anak usia sekolah wajib diterima di sekolah umum,
selama sekolah yang bersangkutan mempunyai kemampuan untuk melayaninya.
Sekolah Inklusi memberikan peluang bagi siswa dengan setiap perbedaannya
untuk dapat berhasil dalam belajar di sekolah reguler (umum). Sehingga sekolah
inklusi mensyaratkan adanya keterbukaan, keadilan, tanpa diskriminasi, ramah
dan terbuka dengan mengedepankan tindakan menghargai dan merangkul
perbedaan yang ada pada siswa /ABK. Hal ini berbeda dengan kurun waktu
sebelumnya, pendidikan bagi ABK hanya dapat dilayani oleh Sekolah Luar Biasa
(SLB).
Keputusan Kepala Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta No : 0063/2009
tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pendidikan Inklusif di Kota Yogyakarta,
mempunyai implikasi pada kebijakan pemberian SK bagi sekolah yang
mempunyai anak didik berkebutuhan khusus menjadi sekolah penyelenggara
Pendidikan Inklusi (SPPI). Tercatat sebagi sekolah penyelenggara pendidikan
inklusi saat ini 21 sekolah mulai jenjang PAUD/TK, SD, SMP, SMA dan SMK.
Kebijakan ini gayung bersambut dengan semangat yang tinggi para Guru
Pendamping Khusus (GPK) dan Guru Reguler yang mempunyai anak didik
berkebutuhan khusus (ABK). Mereka layak mendapat apresiasi, karena beban
kerja ekstra untuk memodifikasi kurikulum, metode dan proses pembelajaran,
mampu dilaksanakan tanpa mengeluh. Kesulitan dalam mendidik ABK menjadi
tantangan dan menjadi bahan kajian dalam pertemuan konferensi kasus pada
Forum Guru Pendamping Khusus (GPK), hal ini berdampak pula pada
peningkatan mutu dan jiwa korps GPK Kota Yogya.
2.2 Trend Isu Perawatan Pasien dengan Kebutuhan Khusus
Dalam jurnal dengan judul Meningkatkan Kemampuan Memasang
Kancing Baju Melalui Media Model Bagi Anak Tunadaksa ( Single Subject
Research kelas D/V di SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung), penelitian
data terbukti bahwa media model efektif digunakan untuk
meningkatkan
kemampuan memasang kancing baju pada anak tunadaksa. Hal ini terbukti dari
hasil grafik data yaitu kecenderungan kondisi (A) kemampuan anak dalam
memasang kancing baju tidak begitu meningkat, dan pada kondisi intervensi (B)
arah kecenderungan dari data hasil kemampuan anak dalam memasang kancing
mengalami peningkatan yang sangat besar (+) dan bervariasi. Kemampuan dalam
meningkatkan kemampuan memasang kancing baju yang dapat dilihat
berdasarkan intervensi yang telah dilakukan oleh anak melalui penggunaan media
model, dan menunjukkan hasil kemampuan anak dalam memasang kancing baju
sangat meningkat. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada kondisi baseline (A)
kemampuan anak dalam memasang kancing baju masih rendah yaitu hanya
memperhatikan kancing baju yang mana yang akan dimasukkan ke lobang
kancing. Penggunaan media model dapat meningkatkan kemampuan memasang
kancing baju bagi anak tunadaksa, ini terlihat dari perkembangan kemampuan
yang sangat pesan setelah diberikan perlakuan. Artimya media model dapat
meningkatkan kemampuan memasang kancing baju pada anak tuandaksa kelas
DV di SDLB Negeri 64 Surabayo. Hasil penelitian ini dapat dipertanggung
jawabkan karena kesimpulan diperoleh dari perhitungan angka-angka statistik
yang diolah secara cermat. Namun demikian hasil penelitian ini tidak terlepas dari
kekurangan-kekurangan yang disebabkan karena keterbatasan penelitian.
Dalam jurnal dengan judul Penerapan Strategi Self-Management Untuk
Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa Tunadaksa Cerebral Palcy Kelas IV
SDLB-D YPAC Surabaya, penelitian dalam skripsi ini berfokus pada penerapan
strategi self-management untuk meningkatkan disiplin belajar anak tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 SDLB-D YPAC Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengupayakan untuk anak-anak penyandang tunadaksa Cerebral Palsy mampu
menerapkan strategi self managemen dengan segala keterbatasan yang ada dan
mengunggulkan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan
disiplin belajar mereka. Subjek penelitian ini adalah 5 orang siswa tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 di SDLB-D YPAC Surabaya yang memiliki tingkat disiplin
belajar rendah. Perilaku yang muncul pada siswa sebelum perlakuan penerapan
self-management diantaranya mengobrol pada saat jam pelajaran sekolah,
mengganggu teman saat belajar, bermain dan bernyanyi sendiri, serta tidak
memperhatikan penjelasan dari guru. Setelah dilakukan perlakuan, terdapat
perubahan yang lebih baik pada tingkat disiplin belajar siswa siswa tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 di SDLB-D YPAC Surabaya. Perubahan perilaku tersebut
ditunjukkan perilaku tertib ketika proses belajar-mengajar, tidak mengobrol saat
pelajaran, tidak mengganggu serta memperhatikan penjelasan dari guru.
Dalam jurnal dengan judul Pengaruh Pelatihan Penerimaan Diri Terhadap
Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa Karena Kecelakaan,
terdapat pengaruh pemberian pelatihan penerimaan diri terhadap kebermaknaan
hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Hal tersebut terlihat dari skor
kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan antara sebelum dan
sesudah diberikan pelatihan penerimaan diri. Sebelum diberikan pelatihan
penerimaan diri, mean pada subjek penelitian sebesar 71, sedangkan setelah
diberikan pelatihan penerimaan diri mean meningkat menjadi 83,6. Pelatihan
penerimaan diri efektif dalam meningkatkan kebermaknaan hidup remaja
tunadaksa karena kecelakaan. Sehingga pelatihan penerimaan diri brpengaruh
signifikan terhadadp peningkatan kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena
kecelakaan.
BAB 3. PEMBAHASAN
3.1 Terkait Kebijakan International, Nasional, dan Lokal
a. Kebijakan International
Hasil penelitian pada jurnal dengan judul Penerapan Strategi SelfManagement Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa Tunadaksa
Cerebral Palcy Kelas IV SDLB-D YPAC Surabaya dengan dilakukannya
pelatihan penerimaan diri terdapat perubahan yang lebih baik pada tingkat disiplin
belajar siswa siswa tunadaksa Cerebral Palsy kelas 4 di SDLB-D YPAC Surabaya.
Perubahan perilaku tersebut ditunjukkan perilaku tertib ketika proses belajarmengajar, tidak mengobrol saat pelajaran, tidak mengganggu serta memperhatikan
penjelasan dari guru.
Intervensi yang dilakukan oleh peneliti merupakan salah satu pelaksanaan
untuk menangani klien berkebutuhan khusus khususnya pada klien dengan tuna
daksa dengan tujuan untuk dapat meningkatkan disiplin belajar anak tunadaksa
Cerebral Palsy. Hal ini sesuai dengan kebijakan di tingkat international dalam hal
pendidikan yang tercantum dalam Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas
(Convention on the Rights of Persons with Disabilities) disepakati pada tanggal
13 Desember 2006 oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa Bangsa dengan
Resolusi 61/106. Adapun pasal yang mengatur tentang pendidikan dalam
peraturan ini terdapat dalam pasal 24 yang berbunyi:
1. Negara-Negara Pihak mengakui hak penyandang disabilitas atas
pendidikan. Dalam rangka memenuhi hak ini tanpa diskriminasi dan
berdasarkan kesempatan yang sama, Negara-Negara Pihak wajib
menjamin sistem pendidikan yang bersifat inklusif pada setiap tingkatan
dan pembelajaran seumur hidup yang terarah kepada:
a) Pengembangan seutuhnya potensi diri dan rasa rnartabat dan harga
diri, serta penguatan penghormatan atas hak asasi manusia, kebebasan
fundamental dan keanekaragaman manusia;
b) Pengembangan atas kepribadian, bakat dan kreatifitas, serta
kemampuan mental dan fisik dari penyandang disabilitas hingga
mencapai potensi sepenuhnya;
c) Memungkinkan penyandang disabilitas untuk berpartisipasi secara
efektif di dalam masyarakat umum.
2. Dalam memenuhi hak tersebut, Negara-Negara Pihak wajib menjamin:
a) Penyandang disabilitas tidak dikecualikan dari sistem pendidikan
umum berdasarkan alasan disabilitas, dan bahwa penyandang
disabilitas anak tidak dikecualikan dari pendidikan dasar wajib dan
gratis atau dari pendidikan lanjutan berdasarkan alasan disabilitas;
Judul
Penulis
Tahun
Sampel
Kelompok
Perlakuan
Kelompok
Kontrol
Metode
Hasil
1.
MENINGKATKAN
KEMAMPUAN
MEMASANG
KANCING BAJU
MELALUI MEDIA
MODEL BAGI ANAK
TUNADAKSA (Single
Subject Research kelas
D/V di SDLB Negeri
64 Surabayo Lubuk
Basung)
Adriance
2013
anak
tunadaksa
yang duduk
di kelas V di
SDLB
Negeri
Surabayo
Lubuk
Basung
Data
dikumpulkan
oleh peneliti
melalui
observasi dan
tes. Tes yang
peneliti lakukan
dapat
menemukan
masalahmasalah yang
dihadapi anak,
sehingga dalam
teknik ini
terlihat
kemampuan
pada anak,
seperti
kemampuan
Eksperimen
dalam bentuk
Single Subject
Research (SSR)
anak dalam
memasang
kancing baju
melalui media
model.
kecenderungan dari
data hasil kemampuan
anak dalam memasang
kancing mengalami
peningkatan yang
sangat besar (+) dan
bervariasi.
Kemampuan dalam
meningkatkan
kemampuan
memasang kancing
baju yang dapat
dilihat berdasarkan
intervensi yang telah
dilakukan oleh anak
melalui penggunaan
media model, dan
menunjukkan hasil
kemampuan anak
dalam memasang
kancing baju sangat
meningkat. Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa
pada kondisi baseline
SDLB Negeri 64
Surabayo. Hasil
penelitian ini dapat
dipertanggung
jawabkan karena
kesimpulan diperoleh
dari perhitungan
angka-angka statistik
yang diolah secara
cermat. Namun
demikian hasil
penelitian ini tidak
terlepas dari
kekurangankekurangan yang
disebabkan karena
keterbatasan
penelitian.
2.
Pengaruh Pelatihan
Penerimaan diri
Terhadap peningkatan
Kebermaknaan Hidup
Remaja Tunadaksa
karena kecelakaan
Khabibah
Solikhah,
Salmah
Lilik,
Aditya
Nanda
2013
Remaja tuna
daksa akibat
kecelakaan
Pelatihan
penerimaan diri
diberikan oleh
dua orang
fasilitator
sebanyak dua
Kuasi
eksperimen
dengan desian
penelitian one
group pretestpostest design.
Terdapat
pengaruh
pemberian
pelatihan
penerimaan diri
terhadap
Priyatama
kali pertemuan
dengan durasi
setiap
pertemuan
selama 180
menit. Pelatiahn
penerimaan diri
ini dengan
metode cermah,
diskusi kasus,
role play, dan
simulasi.
kebermaknaan
hidup remaja
tunadaksa karena
kecelakaan. Hal
tersebut terlihat
dari skor
kebermakanaan
hidup remaja
tunadaksa karena
kecelakaan
antara sebelum
dan sesudah
diberikan
pelatihan
penerimaan diri.
Sebelum
diberikan
pelatihan
penerimaan diri,
mean pada
subjek penelitian
sebesar 71,
sedangkan
setelah diberikan
pelatihan mean
meningkat
menjadi 83,6.
3.
PENERAPAN
STRATEGI SELFMANAGEMENT
UNTUK
MENINGKATKAN
DISIPLIN BELAJAR
PADA SISWA
TUNADAKSA
CEREBRAL PALCY
KELAS IV SDLB-D
YPAC SURABAYA
Nikmatus
Sholihah,
Retno Tri
Hariastuti,
Denok
Setiawati,
Titin Indah
Pratiwi
2013
siswa tuna
daksa
cerebral
palcy kelas
IV yang
mempunyai
disiplin
belajar yang
kurang
Kelompok
eksperimen pada
penelitian ini
akan diberikan
tes awal (pretest) dengan
menggunakan
observasi,
kemudian
diberikan
treatment
dengan strategi
selfmanagement
selama jangka
waktu tertentu,
setelah itu
diberikan tes
akhir (post-test)
melalui
observasi
Quasi
Experiment
dengan
menggunakan
model one group
pre-test and posttest design.
Hasil analisis
penelitian
menunjukkan bahwa
hipotesis yang
berbunyi Penerapan
strategi
SelfManagement
dapat meningkatkan
disiplin belajar pada
siswa tuna daksa
cerebral palcy kelas
IV SDLB-D YPAC
Surabaya dapat
diterima. Dengan
demikian dapat
disimpulkan bahwa
strategi selfmanagement dapat
meningkatkan disiplin
belajar pada siswa
tuna daksa cerebral
dengan lembar
observasi yang
diberikan pada
saat tes awal. P
BAB 4.PENUTUP
BAB 4.1 Kesimpulan
Anak berkebutuhan khusus dapat diartikan sebagai seorang anak yang
memerlukan pendidikan yang disesuikan dengan hambatan belajar dan kebutuhan
masing-masing anak secara individual. Secara umum anak mempunyai hak dan
kesempatan untuk berkembang sesuai potensinya terutama dalam bidang
pendidikan. Anak berkebutuhan khusus atau diffable usia sekolah adalah anak
dengan karakteristik khusus yang berbeda dengan anak pada umumnya tanpa
selalu menunjukan pada ketidakmampuan mental, emosi atau fisik. Yang termasuk
ke dalam Anak Berkebutuhan Khusus antara lain tunanetra, tunarungu,
tunagrahita, tunadaksa, tunalaras, kesulitan belajar, gangguan prilaku, anak
berbakat, anak dengan gangguan kesehatan.
Dalam jurnal dengan judul Meningkatkan Kemampuan Memasang
Kancing Baju Melalui Media Model Bagi Anak Tunadaksa (Single Subject
Research kelas D/V di SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung), penelitian
data terbukti bahwa media model efektif digunakan untuk meningkatkan
kemampuan memasang kancing baju pada anak tunadaksa. Hal ini terbukti dari
hasil grafik data yaitu kecenderungan kondisi (A) kemampuan anak dalam
memasang kancing baju tidak begitu meningkat, dan pada kondisi intervensi (B)
arah kecenderungan dari data hasil kemampuan anak dalam memasang kancing
mengalami peningkatan yang sangat besar (+) dan bervariasi.
Dalam jurnal dengan judul Penerapan Strategi Self-Management Untuk
Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa Tunadaksa Cerebral Palcy Kelas IV
SDLB-D YPAC Surabaya, penelitian dalam skripsi ini berfokus pada penerapan
strategi self-management untuk meningkatkan disiplin belajar anak tunadaksa
Cerebral Palsy kelas 4 SDLB-D YPAC Surabaya. Penelitian ini bertujuan untuk
mengupayakan anak-anak penyandang tunadaksa Cerebral Palsy mampu
menerapkan strategi self managemen dengan segala keterbatasan yang ada dan
mengunggulkan kemampuan yang dimiliki untuk menyelesaikan permasalahan
disiplin belajar mereka. Dalam jurnal dengan judul Pengaruh Pelatihan
Penerimaan Diri Terhadap Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa
Karena Kecelakaan, terdapat pengaruh pemberian pelatihan penerimaan diri
terhadap kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan. Hal tersebut
terlihat dari skor kebermaknaan hidup remaja tunadaksa karena kecelakaan antara
sebelum dan sesudah diberikan pelatihan penerimaan diri.
DAFTAR PUSTAKA
Adriance. 2013. Meningkatkan Kemampuan Memasang Kancing Baju Melalui
Media Model Bagi Anak Tunadaksa (Single Subject Research kelas D/V di
SDLB Negeri 64 Surabayo Lubuk Basung). Diakses melalui
http://ejournal.unp.ac.id/index.php/jupekhu/article/view/983/833
[pada
tanggal 11 September 2015]
Sholihah, Nikmatul & Retno Tri Hariastuti. 2013. Penerapan Strategi SelfManagement Untuk Meningkatkan Disiplin Belajar Pada Siswa
Tunadaksa Cerebral Palcy Kelas IV SDLB-D YPAC Surabaya. Diakses
melalui
http://ejournal.unesa.ac.id/index.php/jurnal-bkunesa/article/view/3068 [pada tanggal 11 September 2015]
Sholikah, Habibah. 2013. Pengaruh Pelatihan Penerimaan Diri Terhadap
Peningkatan Kebermaknaan Hidup Remaja Tuna Daksa Karena
Kecelakaan. Diakses melalui http://eprints.uns.ac.id/12310/ [pada tanggal
11 September 2015]