751 Loknas Und Luring&Daring
751 Loknas Und Luring&Daring
Lampiran : 1 berkas
Perihal : Undangan
Yang Terhormat,
Daftar Undangan Terlampir
di
Jakarta
Ketua
Komisi Nasional Disabilitas
Dante Rigmalia
A. LATAR BELAKANG
Pembentukan Komisi Nasional Disabilitas (KND) merupakan amanat Undang-
Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas dan Peraturan
Presiden Nomor 68 Tahun 2020 tentang Komisi Nasional Disabilitas. Untuk
melaksanakan tugas dan fungsi KND, pada tanggal 1 Desember 2021 telah dilantik
tujuh komisioner melalui Surat Keputusan Presiden Nomor 53/M tahun 2021
tertanggal 30 November 2021. KND adalah lembaga non-struktural yang bersifat
independen, dan bertanggung jawab kepada Presiden. KND mempunyai tugas untuk
melakukan pemantauan, evaluasi, serta advokasi atas pelaksanaan penghormatan,
pelindungan dan pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas. Untuk melaksanakan
tugas tersebut, KND memiliki fungsi, yaitu:
1. Penyusunan rencana kegiatan KND dalam upaya pelaksanaan
penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak Penyandang Disabilitas
2. Pemantauan dan evaluasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan
pemenuhan hak Penyandang Disabilitas
3. Advokasi pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan pemenuhan hak
Penyandang Disabilitas
4. Pelaksanaan kerja sama dalam penanganan Penyandang Disabilitas
dengan pemangku kepentingan terkait
Tugas dan fungsi tersebut sebagaimana yang diamanatkan dalam Pasal 4 dan Pasal
5 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas.
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas
menjadi landasan hukum dalam pelaksanaan penghormatan, pelindungan, dan
pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas, yang meliputi 22 hak dasar penyandang
disabilitas, 4 hak spesifik perempuan dengan disabilitas, dan 7 hak spesifik anak
dengan disabilitas. Empat hak spesifik perempuan dengan disabilitas, yaitu:
1. Hak atas kesehatan reproduksi
2. Hak menerima atau menolak penggunaan alat kontrasepsi
3. Hak mendapatkan Pelindungan lebih dari perlakuan diskriminasi berlapis
4. Hak untuk mendapatkan Pelindungan lebih dari tindak kekerasan, termasuk
kekerasan dan eksploitasi seksual.
Berdasarkan Pasal 83 ayat (4) Undang – Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak
Pidana Kekerasan Seksual, Komisi Nasional Disabilitas (KND) bersama Komisi Nasional
Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan
(Komnas Perempuan), dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menjadi
pelaksana pemantauan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana
Kekerasan Seksual (UU TPKS).
Merujuk pada tugas dan amanat yang diemban oleh KND serta pentingnya
partisipasi penyandang disabilitas dalam memantau pelaksanaan UU TPKS, maka penting
bagi Lembaga Nasional Hak Asasi Manusia (LNHAM), organisasi penyandang disabilitas,
Pemerintah pusat dan Pemerintah daerah, penyedia layanan, aparat penegak hukum,
serta pihak terkait lainnya untuk memiliki perspektif yang tepat dan proporsional dalam
memahami isu-isu TPKS serta implementasi UU TPKS, khususnya terkait dengan
penyandang disabilitas. Setelah UU TPKS disahkan, KND mengupayakan sosialisasi
serta pemantauan UU TPKS utamanaya bagi penyandang disabilitas. KND juga sudah
sudah menandatangani Nota Kesepahaman dengan Rutgers, Nomor:
475/003.01/RWPF/08/2022 dan Nomor: 31/MoU.KND/8/2022 tentang Pelaksanaan
Technical Partner Program Right Here Right Now 2 (RHRN2) yang berhubungan dengan
Hak Kesehatan Seksual dan Reproduksi (HKSR) termasuk bagi penyandang disabilitas.
Penyandang disabilitas, baik perempuan dan anak, adalah kelompok yang rentan
terhadap kekerasan seksual. Menurut Data Sistem Informasi Online Perlindungan
Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) pada Tahun 2019 setidaknya tercatat 69 kasus
kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas. Berdasarkan Catatan Tahunan
(CATAHU) Tahun 2021 Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan tercatat
dari 77 kasus kekerasan terhadap perempuan disabilitas, 42% di antaranya mengalami
kekerasan seksual. Sedangkan Catatan Tahunan (CATAHU) 2022 Kekerasan Berbasis
Gender dan Disabilitas (KBGD) yang dirilis oleh Yayasan Sentra Advokasi Perempuan
Difabel dan Anak (SAPDA) mencatat adanya 18 kausus kekerasan seksual perkosaan
terhadap penyandang disabilitas.
UU TPKS sudah mengakomodir kepentingan penyandang disabilitas yang menjadi
korban kekerasan seksual dengan menegaskan bahwa kasus kekerasan seksual
terhadap penyandang disabilitas adalah bukan delik aduan, penambahan 1/3 masa
hukuman bagi pelaku, dan penjaminan akomodasi yang layak bagi penyandang
disabilitas. Namun, regulasi ini juga mengamanatkan kepada lembaga layanan UPTD
PPPA, unit pelaksana teknis, dan unit pelaksana teknis daerah di bidang sosial, Lembaga
Penyedia Layanan Berbasis Masyarakat, dan/atau kepolisian yang bisa melakukan proses
hukum kasus kekerasan seksual, sehingga diperlukan sinergisitas pihak-pihak yang
terlibat.
Tugas pemantauan dan advokasi yang dilakukan oleh KND seringkali menemukan
gap yang terjadi di lapangan. Perempuan dengan disabilitas korban kekerasan seksual
dihadapkan dengan pilihan restorative justice atau melanjutkan perkara, dan tidak sedikit
yang memilih restorative justice dengan berbagai pertimbangan tertentu. Begitu pula
korban kekerasan seksual lainnya yang tidak berani bersuara sering kali dijumpai di
lapangan, yang bisa jadi hal ini dikarenakan kurang dipahaminya mekanisme penanganan
kasus korban kekerasan seksual terhadap penyandang disabilitas, baik oleh penyandang
disabilitas sebagai korban atau pihak-pihak lain yang terlibat. Menyadari hal ini, KND akan
melaksanakan kegiatan lokakarya nasional dengan tema Pengembangan Mekanisme
Penanganan Kasus Kekerasan Seksual terhadap Penyandang Disabilitas dengan
menghadirkan narasumber dari lembaga layanan pemerintah, jaringan layanan Civil
Society Organization (CSO) dan organisasi penyandang disabilitas, serta layanan Aparat
Penegak Hukum.
B. NAMA KEGIATAN
Kegiatan ini bernama Lokakarya Nasional Pengembangan Mekanisme Layanan Aparat
Penegak Hukum (APH) Penanganan Kasus Kekerasan Seksual Terhadap Penyandang
Disabilitas.
C. TUJUAN
1. Sosialisasi mekanisme penanganan kekerasan seksual terhadap penyandang
disabilitas di layanan Lembaga Aparat Penegak Hukum (APH);
2. Mensosialisasikan perspektif HAM penyandang disabilitas;
3. Mendokumentasikan informasi terkini terkait mekanisme penanganan kekerasan
seksual terhadap penyandang disabilitas di layanan Lembaga Aparat Penegak
Hukum (APH);
4. Pemetaan peluang dan tantangan dalam penanganan kekerasan seksual terhadap
penyandang disabilitas di layanan lembaga Aparat Penegak Hukum (APH)
termasuk rancangan model integrasi penanganan antar lembaga; dan
5. Menyusun laporan kegiatan yang komprehensif yang bisa dijadikan sebagai
rujukan.
D. LUARAN
1. Tersosialisasikannya mekanisme penanganan kekerasan seksual terhadap
penyandang disabilitas di layanan Lembaga Aparat Penegak Hukum (APH);
2. Tersosialisasikannya perspektif HAM penyandang disabilitas;
3. Informasi terkini terkait mekanisme penanganan kekerasan seksual terhadap
penyandang disabilitas di layanan Lembaga Aparat Penegak Hukum (APH);
4. Terpetakannya peluang dan tantangan dalam penanganan kekerasan seksual
terhadap penyandang disabilitas di layanan lembaga Aparat Penegak Hukum (APH)
termasuk rancangan model integrasi penanganan antar lembaga; dan
5. Tersusunnya laporan kegiatan yang komprehensif
6. Adanya dokumen-dokumen administrasi dan finansial yang lengkap dan sesuai
standar RID
E. PESERTA KEGIATAN
Peserta Luring:
Peserta Daring:
F. SUSUNAN ACARA